Anda di halaman 1dari 17

Menghiasi Diri Dengan Akhlak Mulia

Dalam realitas keseharian kita, kadangkala kita pernah menjumpai seorang Muslim yang mungkin dari sisi
ritualitas ibadahnya bagus, namun hal demikian sering tidak tercermin dalam perilaku atau akhlaknya. Shalatnya
rajin, tetapi sering tak peduli dengan tetangganya yang miskin. Shaum sunnahnya rajin, namun wajahnya jarang
menampakkan sikap ramah kepada sesama. Zikirnya rajin, tetapi tak mau bergaul dengan masyarakat umum.
Demikian seterusnya. Tentu saja, Muslim demikian bukanlah Muslim yang ideal.
Muslim yang ideal tentu adalah Muslim yang memiliki hubungan yang baik secara vertikal kepada Allah SWT
yang terwujud dalam akidah dan ibadahnya yang lurus dan baik, sekaligus juga memiliki hubungan yang baik
secara horisontal dengan sesama manusia yang tercermin dalam akhlaknya yang mulia.
Akhlak mulia (akhlaq al-karimah) adalah salah satu tanda kesempurnaan keimanan dan ketakwaan seorang
Muslim. Karena itu, tentu tidak dikatakan sempurna keimanan dan ketakwaan seorang Muslim jika ia tidak
memiliki akhlak mulia. Bahkan Baginda Rasulullah SAW menyebut keimanan yang paling sempurna dari seorang
Muslim ditunjukkan oleh akhlaknya yang mulia, Mukmin yang paling sempurna adalah yang paling baik
akhlaknya, demikian sabda beliau sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim. Karena
itu, tidak aneh jika Baginda Rasulullah SAW pun menyebut Muslim yang berakhlak mulia sebagai manusia
terbaik. Beliau bersabda,Sesungguhnya yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya. (HR
al-Bukhari dan Muslim).
Dalam sejumlah hadits lainnya, Baginda Rasulullah SAW menyebut sejumlah keistimewaan akhlak mulia ini.
Saat beliau ditanya tentang apa itu kebajikan (al-birr), misalnya, beliau lansung menjawab, Al-Birr husn al-khulq
(Kebajikan itu adalah akhlak mulia. (HR Muslim).
Beliau bahkan bersabda, Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat dalam timbangan seorang Mukmin pada Hari
Kiamat nanti selain akhlak mulia. Sesungguhnya Allah membenci orang yang berbuat keji dan berkata-keta
keji. (HR at-Tirmidzi).
Dalam kesempatan lain Baginda Rasulullah SAW pernah ditanya tentang apa yang paling banyak menyebabkan
orang masuk surga. Beliau menjawab, Takwa kepada Allah dan akhlak mulia. (HR at-Tirmidzi).
Akhlak mulia tentu saja bagian dari ketakwaan itu sendiri. Namun demikian, akhlak mulia disebut secara khusus
dalam hadits di atas. Ini menunjukkan betapa istimewanya akhlak mulia. Ibn al-Qayyim berkata, Penggabungan
takwa dengan akhlak mulia karena takwa menunjukkan baiknya hubungan seseorang dengan Tuhannya,
sementara akhlak mulia menunjukkan baiknya hubungan dirinya dengan orang lain. (Muhammad Alan, Dalil alFalihin, III/68).
Sebaliknya, saat Baginda Rasulullah SAW ditanya tentang apa yang paling banyak menyebabkan orang masuk
neraka. Beliau menjawab, Mulut dan kemaluan. (HR at-Tirmidzi).
Mengapa mulut? Sebab, dari mulut bisa meluncur kata-kata kekufuran, ghibah(membicarakan kejelekan orang
lain), namimah (mengadu-domba orang lain), memfitnah orang lain, membatalkan yang haq dan membenarkan
yang batil, dll.
Keutamaan kedudukan orang yang berakhlak mulia juga disejajarkan dengan keutamaan kedudukan orang yang
biasa memperbanyak ibadah shaum dan sering menunaikan shalat malam. Baginda Rasulullah SAW
bersabda, Sesungguhnya seorang Mukmin-karena kebaikan akhlaknya-menyamai derajat orang yang biasa
melakukan shaum dan menunaikan shalat malam. (HR Abu Dawud).
Bahkan kedudukan orang yang berakhlak mulia pada Hari Kiamat nanti dekat dengan kedudukan Baginda
Rasulullah saw., sebagaimana sabda beliau, Sesungguhnya orang yang paling aku cintai dan paling dekat
kedudukannya dengan majelisku pada Hari Kiamat nanti adalah orang yang paling baik akhlaknya. Sebaliknya,
orang yang aku benci dan paling jauh dari diriku adalah orang yang terlalu banyak bicara (yang tidak
bermanfaat, pen.) dan sombong. HR at-Tirmidzi).
Lalu apa yang dimaksud dengan akhlak mulia atau husn al-khulq? Di dalam tafsirnya, Abdullah ibn al-Mubarak,
sebagaimana diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi, menyebuthusn al-khulq sebagai: selalu bermuka manis; biasa
melakukan kebajikan, di antaranya dengan biasa memberikan nasihat kepada orang lain dengan kata-kata yang
baik, ringan tangan (mudah membantu orang lain), dll; serta sanggup menahan diri dari sikap menyakiti orang
lain baik lewat ucapan maupun tindakan.
Husn al-hulq sesungguhnya juga merupakan gabungan dari sikap suka memaafkan, biasa memerintahkan
kebajikan dan berpaling dari orang-orang yang jahil/bodoh, sebagaimana firman Allah SWT: Berilah maaf,

perintahkanlah kebaikan dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh (TQS al-Araf [7]: 199). (Muhammad
Alan, Dalil al-Falihin, III/72).
Wa ma tawfiqi illa bilLah! [] abi

Mengharap Rahmat dan Ampunan Allah SWT


Seorang Muslim dalam kehidupannya boleh jadi melakukan banyak dosa. Sebagian mereka mungkin pernah
terjatuh dalam perbuatan dosa besar seperti membunuh, berzina, memakan riba, mabuk, mencuri/merampas
harta orang lain, dll.
Meski demikian, Allah SWT sesungguhnya Maha Pengampun bagi siapa saja yang ingin bertobat, tentu
dengan tawbat[an] nashuha (tobat yang sungguh-sungguh), dengan memenuhi sejumlah syarat: memohon
ampunan kepada Allah SWT dengan sungguh-sungguh (dengan banyak ber-istighfar); menyesal dengan
penyesalan yang mendalam; bertekad untuk tidak mengulangi perbuatan dosa yang pernah dilakukan; rela
menerima hukuman (jika terkait dosa besar seperti mencuri, berzina, membunuh, dll); meminta maaf dan
mengembalikan hak (jika terkait dosa kepada-atau melanggar hak-orang lain).
Karena itu, sebetulnya tidak selayaknya seorang Muslim berputus asa dari rahmat dan ampunan Allah SWT,
karena Allah SWT sendiri berfirman (yang artinya): Katakanlah, Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas
terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni
dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (TQS az-Zumar [39]: 53).
Allah SWT pun berfirman (yang artinya): Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu (TQS al-Araf [7]: 157).
Selain banyak ayat yang serupa, juga terdapat sejumlah hadits yang sejatinya memberikan harapan kepada
setiap Muslim karena begitu luasnya rahmat Allah SWT. Baginda Rasulullah SAW, misalnya, bersabda, Siapa
saja yang bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, maka Allah
mengharamkan neraka atas dirinya. (HR Muslim).
Bagaimana luasnya rahmat Allah SWT juga tersirat dalam sabda Baginda Rasulullah SAW dalam sebuah
hadits qudsi yang berbunyi, Allah SWT berfirman: Siapa saja yang datang membawa kebajikan, bagi dirinya
pahala sepuluh kali lipat atau lebih banyak. Siapa saja yang datang membawa keburukan, maka balasan
keburukan itu adalah keburukan yang serupa atau Aku ampuni. (HR Muslim).
Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda, Allah telah menjadikan rahmat-Nya menjadi seratus bagian. Allah
menetapkan rahmat itu tetap di sisi-Nya sebanyak 99 bagian dan menurunkan rahmat itu ke bumi satu bagian
saja. Dengan sebab satu bagian itu berbagai makhluk bisa saling menyayangi
Dalam riwayat lain dinyatakan, Sesungguhnya Allah SWT memiliki seratus rahmat. Satu di antaranya diturunkan
di tengah-tengah jin, manusia, binatang (HR Mutaffaq alaih).
Dalam hadits lain juga dinyatakan, Allah SWT memiliki seratus rahmat. Satu rahmat di antaranya menjadikan
berbagai makhluk menyayangi satu sama lain, sementara 99 rahmat (diberikan) pada Hari Kiamat. (HR Muslim).
Sebagaimana rahmat Allah SWT begitu luas, demikian pula ampunan-Nya. Dalam hal ini, Rasulullah SAW
bersabda, Demi jiwaku yang berada di tangan-Nya. Seandainya kalian tidak berbuat dosa, Allah pasti
melenyapkan kalian, lalu mendatangkan kaum yang lain yang berbuat dosa, kemudian mereka meminta
ampunan kepada Allah, lalu Allah pun mengampuni mereka. (HR Muslim).
Rasulullah SAW makhluk yang berbuat dosa, lalu mereka memohon ampunan kepada-Nya, kemudian Allah
mengampuni mereka. (HR Muslim).
Menurut Ibn Malik, hadits ini tidak berarti mendorong manusia untuk berbuat dosa, tetapi untuk meluaskan dada
sebagian sahabat Nabi SAW yang merasa sempit karena begitu besarnya rasa takut mereka akan dosa-dosa
mereka hingga sebagian mereka ada yang lari ke puncak-puncak gunung untuk fokus hanya beribadah dan
sebagian lain menjauhi (tidak mau menikahi) kaum wanita (Muhammad bin Allan, Dalil al-Falihin, II/265). Intinya,
hadits ini menyadarkan kita betapa luasnya ampunan Allah SWT sehingga mendorong kita untuk selalu berharap
ampunan-Nya tanpa harus berputus-asa.
Begitu luasnya ampunan Allah SWT, juga tergambar dalam sabda Baginda Rasulullah SAW yang
berbunyi, Sesungguhnya Allah senantiasa membentangkan tangan-Nya sepanjang malam untuk mengampuni
para pendosa pada siang harinya; Allah pun membentangkan tangan-Nya sepanjang siang untuk mengampuni
para pendosa pada waktu malamnya; (hal ini berlangsung) hingga matahari terbit dari tempat terbenamnya.(HR
Muslim).
Karena itu, tak ada alasan bagi siapapun untuk berputus asa dari rahmat dan ampunan Allah SWT. Sebaliknya,
hendaknya setiap diri kita senantiasa bersungguh-sungguh mengharap rahmat dan ampunan Allah SWT. Hanya

saja, rahmat dan ampunan Allah SWT tentu hanya akan Allah SWT berikan kepada mereka yang senantiasa
tunduk dan patuh kepada Allah SWT dengan berusaha menjalankan semua perintah-Nyaq dan menjauhi segala
larangan-Nya.
Wa ma tawfiqi illa bilLah [] abi

Memadukan Ilmu dan Amal


Ibnu Bathah menuturkan sebuah riwayat dari Masruq, dari Abdullah yang berkata, Sesungguhnya kalian berada
pada suatu zaman yang di dalamnya beramal adalah lebih baik daripada berpendapat. Kelak akan datang suatu
zaman yang di dalamnya berpendapat lebih baik daripada beramal. (Ibn Baththah, Al-Ibanah al-Kubra, I/207).
Ath-Thabrani juga meriwayatkan sebuah hadis dari penuturan al-Ala bin al-Harits, dari Hizam bin Hakim bin
Hizam, dari ayahnya, dari Baginda Nabi Muhammad saw. yang bersabda, Kalian benar-benar berada pada
suatu zaman yang di dalamnya banyak sekali fuqaha dan sedikit sekali para ahli pidatoPada zaman ini amal
adalah lebih baik daripada ilmu. Kelak akan datang suatu zaman yang di dalamnya sedikit sekali fuqaha dan
banyak para ahli pidatoPada zaman ini ilmu lebih baik daripada amal. (Ath-Thabrani, Al-Mujam al-Kabir
III/236)
Dari kedua hadis di atas setidaknya dapat dipahami bahwa pada zaman yang pertama (yakni generasi Sahabat
Nabi saw.) kebanyakan orang memahami Islam secara mendalam. Karena itu, yang dibutuhkan saat itu adalah
mengamalkan apa yang telah dipahami. Sebaliknya, pada zaman yang kedua-kemungkinan adalah zaman kita
hari ini-saat orang-orang yang memahami Islam secara mendalam sangat sedikit maka banyak orang yang
beramal tanpa ilmu. Karena itu, pada zaman kini memahami dan mendalami Islam-yang kemudian diamalkantentu lebih penting daripada beramal tanpa didasarkan pada ilmu.
Kesimpulan ini setidaknya sesuai dengan makna riwayat yang diungkapkan oleh Imam Malik saat menuturkan
hadis penuturan Yahya bin Said yang berkata bahwa Abdullah bin Masud pernah berkata kepada seseorang,
Sesungguhnya engkau berada pada suatu zaman yang di dalamnya banyak para fuqaha dan sedikit para
pembaca al-Quran yang menjaga hukum-hukumnya dan tidak terlalu fokus pada huruf-hurufnyaKelak akan
datang kepada manusia suatu zaman yang di dalamnya sedikit para fuqaha dan banyak para pembaca alQurannya yang menjaga huruf-hurufnya tetapi mengabaikan hukum-hukumnya. (Imam Malik, Al-Muwaththa,
II/44).
Dari hadis ini setidaknya dapat dipahami tiga perkara. Pertama: Ibn Masud tidak bermaksud menyatakan orangorang yang membaca al-Quran pada zamannya sedikit. Namun, yang beliau maksud bahwa orang-orang yang
membaca al-Quran pada zamannya-yang perhatiannya hanya pada bacaan tanpa memperhatikan hukumhukumnya-amatlah sedikit. Dengan kata lain, pada zaman Sahabat Nabi saw. orang-orang biasa membaca alQuran sekaligus memahami dan mengamalkan hukum-hukumnya, dan tidak memokuskan perhatiannya pada
huruf-hurufnya, karena memang al-Quran adalah bahasa mereka. Sebaliknya, pada zaman kini-zaman yang
mungkin diisyaratkan dalam hadis ini oleh Ibn Masud-banyak orang membaca al-Quran hanya fokus pada
bacaan (huruf-huruf)-nya saja, tetapi tidak memahami apalagi mengamalkan hukum-hukumnya.
Kedua: Akan datang suatu zaman-yang tentu berbeda dengan zaman Ibn Masud alias zaman Sahabat Nabi
saw.-yang di dalamnya sedikit para fuqaha (ahli fikih). Maksudnya, pada zaman itu-boleh jadi zaman kita hari iniorang-orang yang memahami Islam secara mendalam amatlah sedikit. Kebanyakan mereka adalah yang bisa
dan biasa membaca al-Quran tetapi tidak memahami isinya secara mendalam. Tentu hadis ini tidak sedang
mencela para pembaca dan penghapal al-Quran. Yang dicela adalah sedikitnya para fuqaha dari kalangan
mereka karena tujuan akhir mereka sebatas membaca dan menghapal al-Quran, bukan memahami isinya
apalagi mengamalkan dan menerapkan hukum-hukumnya.
Ketiga: Akan datang suatu zaman yang di dalamnya huruf-huruf al-Quran benar-benar dijaga, tetapi hukumhukumnya ditelantarkan. Maknanya, para pemelihara mushaf al-Quran jumlahnya banyak. Namun, kebanyakan
mereka tidak memahami isi al-Quran itu. Tidak pula pada saat itu-yang sesungguhnya telah terjadi pada zaman
kini-manusia dipimpin oleh imam atau para penguasa yang menerapkan al-Quran di tengah-tengah mereka.
Akibatnya, hukum-hukum al-Quran ditelantarkan. Ini jelas bertentangan dengan zaman Sahabat Nabi saw. saat

manusia dipimpin oleh para pemimpin yang berhukum dengan al-Quran dan menerapkan al-Quran kepada
mereka (Lihat: Al-Muntaqa Syarh al-Muwaththa, I/429).
Alhasil, pesan inti dari hadis di atas sesungguhnya adalah: Pertama, dorongan kepada setiap Muslim untuk
membaca dan memahami al-Quran atau mendalami Islam. Kedua, mengamalkan isi al-Quran termasuk
berusaha terus mendorong para penguasa untuk menerapkan hukum-hukumnya (syariah Islam) di tengahtengah masyarakat.
Inilah wujud nyata dari sikap memadukan ilmu dan amal. Sudahkah kita melakukannya? WalLahu alam bi ashshawab. [] abi

Menjadi Hamba yang Pandai Mensyukuri Nikmat


REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Seorang sahabat bernama Atha, suatu hari menemui Aisyah RA. Lalu ia
bertanya, "Beritahukanlah kepadaku sesuatu yang menakjubkan dari Rasulullah SAW?" Mendengar pertanyaan
itu, tiba-tiba Aisyah menangis. Lalu Aisyah berkata, "Bagaimana tak menakjubkan, pada suatu malam beliau
mendatangiku, lalu pergi bersamaku ke tempat tidur dan berselimut hingga kulitku menempel dengan kulitnya."
Kemudian Rasulullah berkata, "Wahai putri Abu Bakar, biarkanlah aku beribadah kepada Tuhanmu." Aisyah
menjawab, "Saya senang berdekatan dengan Anda. Akan tetapi, saya tidak akan menghalangi keinginan Anda."
Rasulullah lalu mengambil tempat air dan berwudhu, tanpa menuangkan banyak air.
Nabi SAW pun shalat, lalu menangis hingga air matanya bercucuran membasahi dadanya. "Beliau ruku, lalu
menangis. Beliau sujud lalu menangis. Beliau berdiri lagi lalu menangis. Begitu seterusnya hingga sahabat
bernama Bilal datang dan aku mempersilakannya masuk," papar Aisyah.
"Ya Rasullulah, apa yang membuat Anda menangis? Padahal Allah telah mengampuni dosa-dosa Anda yang lalu
maupun yang akan datang," tanya Aisyah. "Tak bolehkah aku menghendaki agar menjadi seorang hamba yang
bersyukur?" ungkap Nabi SAW.
Kisah yang tercantum dalam kitab Mukasyafah al-Qulub: al-Muqarrib ila Hadhrah allam al-Ghuyub Fi'ilm atAshawwuf karya Imam Ghazali itu mengandung pesan bahwa umat manusia harus selalu mensyukuri setiap
nikmat yang dianugerahkan Allah SWT.
Pentingnya bersyukur telah dijelaskan dalam surah Ibrahim ayat 17. Allah SWT berfirman, ". Sesungguhnya
jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku),
maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih."
Sepertinya, kita perlu belajar dari sejarah Kaum Saba'. Dikisahkan, Kaum Saba' begitu maju peradabannya.
Mereka menguasai teknologi yang tertinggi pada zamannya, yakni telah berhasil membangun bendungan Ma'rib.
Menurut penulis Yunani, Ma'rib merupakan salah satu kota termaju saat itu (sekarang Yaman) dan memiliki lahan
yang subur.
Bendungan Ma'rib mampu mengairi sekitar 9.600 ha lahan subur. Negeri itu pun kaya-raya. Namun, karena
mereka tak bersyukur atas nikmat yang begitu melimpah, maka Allah menurunkan banjir besar yang
menghancurkan semua kekayaan yang dimiliki penduduk negeri Saba'. Dalam suatu tafsir dijelaskan, mereka
diberi azab karena tak taat kepada seruan nabi utusan Allah.
Akhir-akhir ini, bangsa kita didera bencana yang beruntun, mulai dari bencana alam hingga kecelakaan yang
merenggut begitu banyak korban jiwa. Sepanjang tahun, bencana dan kecelakaan datang silih berganti.
Boleh jadi, semua itu merupakan ujian dari Allah untuk menguji keimanan kita. Bisa pula, bencana itu merupakan
peringatan atau bahkan siksaan (azab) dari Allah karena kita tak bersyukur atas nikmat yang diberikan-Nya.
Semoga kita senantiasa selalu menjadi insan yang pandai bersyukur. Wallahu 'alam

Kewajiban Mensyukuri Nikmat


Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 039

Wahai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepada kalian. Adakah Pencipta selain Allah yang dapat
memberikan rizki kepada kalian dari langit dan bumi? Tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar selain dia,
maka mengapa kalian berpaling? (Fathir: 3)
Di dalam ayat tersebut Allah l memerintahkan kepada seluruh manusia agar mereka mengingat nikmat-nikmatNya. Karena yang demikian ini akan mendorong seseorang untuk bersyukur kepada Allah l.
Kaum muslimin yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah l,
Ketahuilah, bahwa bersyukur kepada Allah l akan menyebabkan terjaganya nikmat yang dikaruniakan kepada
seseorang dan menyebabkan datangnya nikmat-nikmat Allah l yang lainnya. Namun sebagaimana diterangkan
oleh Al-Imam Ibnu Al-Qayyim t, syukur itu tidak akan terwujud kecuali jika terbangun di atas lima perkara. Yaitu
dengan merendahkan dirinya kepada Allah l, mencintai-Nya, mengakui bahwa nikmat tersebut merupakan
karunia dari Allah l, memuji Allah l dengan lisannya, dan tidak menggunakan nikmat tersebut untuk perkara yang
dibenci oleh Allah l. Oleh karena itu, sudah semestinya bagi kita untuk melihat kembali usaha kita dalam
mewujudkan rasa syukurnya kepada Allah l. Karena apabila salah satu dari lima perkara yang harus dipenuhi
tersebut tidak dilakukan, maka belum dikatakan orang tersebut telah bersyukur.
Dengan demikian, bersyukur itu tidaklah cukup dengan mengucapkan alhamdulillah atau dengan sekadar
menyadari bahwa nikmat tersebut datangnya dari Allah l. Bahkan tidak cukup pula meskipun kemudian dia
tunjukkan dengan menghinakan diri serta tidak menyombongkan dirinya kepada Allah l. Akan tetapi harus
dilengkapi dengan mencintai Allah l dan membuktikan cintanya tersebut dengan menggunakan nikmat-nikmat
tersebut di jalan yang diridhai-Nya.
Maasyiral muslimin rahimakumullah,
Allah l telah memberitakan dalam ayat-Nya, bahwa keridhaan-Nya hanya akan diberikan kepada hamba-hambaNya yang bersyukur, sebagaimana dalam firman-Nya:
Dan jika kalian bersyukur, niscaya Dia akan meridhai kalian (dari perbuatan syukur tersebut). (Az-Zumar: 7)
Oleh karena itu, sudah semestinya bagi orang-orang yang mengharapkan surga Allah l untuk memperbaiki
dirinya dalam bersyukur kepada Allah l. Karena kalau tidak demikian, maka bisa jadi seseorang menyangka
dirinya telah bersyukur namun ternyata tidak demikian kenyataannya. Padahal Allah l sebagaimana dalam
firman-Nya, telah membagi manusia menjadi dua kelompok. Yaitu kelompok orang-orang yang bersyukur dan
kelompok orang-orang yang kufur, sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; maka (manusia) ada yang bersyukur dan ada pula
yang kafir. (Al-Insan: 3)
Maka marilah kita berusaha melihat pada diri kita masing-masing. Pada kelompok yang mana kita berada?
Sudahkah kita mensyukuri nikmat waktu, nikmat sehat, penglihatan, pendengaran, lisan dan lain-lainnya dengan
menggunakannya untuk beribadah di jalan Allah l? Sudahkah kita mensyukuri nikmat yang dikaruniakan-Nya
kepada kita, kemudahan dalam sarana transportasi dan komunikasi serta yang semisalnya untuk digunakan di
jalan Allah l? Ataukah justru sarana tersebut digunakan untuk bermaksiat kepada Allah l?
Maasyiral muslimin rahimakumullah,
Ingatlah, bahwa nikmat-nikmat Allah l yang dikaruniakan kepada kita sangat banyak dan kita akan dimintai
pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Oleh karena itu, marilah kita mensyukuri nikmat-nikmat Allah l dan
jangan mengkufurinya. Rasulullah n telah mencontohkan kepada umatnya dan menganjurkan umatnya untuk
mensyukuri nikmat. Tersebut di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim
rahimahumallah dalam Shahih keduanya, melalui jalan sahabat Anas z: Bahwasanya Nabi n melewati sebiji
kurma ketika sedang berjalan, maka beliau n bersabda:



Kalaulah bukan (karena aku takut) kurma tersebut dari shadaqah, sungguh aku akan memakannya.

Dari satu hadits ini saja, kita bisa mengetahui betapa besarnya perhatian Nabi n terhadap nikmat Allah l,
sehingga tidak membiarkan meskipun hanya sebiji kurma untuk dibuang dan rusak tanpa dimanfaatkan. Kalau
kita bandingkan dengan keadaan sebagian kita, akan kita dapatkan perbedaan yang sangat jauh. Makanan yang
dibuang sia-sia merupakan pemandangan yang mungkin setiap hari dijumpai di sebagian rumah kita. Baik
karena berlebihan dalam memasaknya atau membelinya yang kemudian menjadi rusak dan busuk sehingga
kemudian dibuang sia-sia. Padahal terkadang makanan tersebut bukanlah makanan yang murah harganya atau
mudah mendapatkannya. Sementara di sekitar rumahnya banyak orang-orang fakir miskin yang tidak memiliki
makanan. Sudah semestinya bagi kita semua untuk berusaha memperbaiki dirinya dalam bersyukur kepada
Allah l.
Saudara-saudaraku yang mudah-mudahan dirahmati Allah l,
Ketahuilah, bahwa seseorang apabila tidak mensyukuri nikmat Allah l, maka dia akan berada pada satu dari dua
keadaan. Kemungkinan yang pertama, Allah l akan mengambil nikmat tersebut darinya dan kemungkinan yang
kedua, nikmat tersebut akan terus bersamanya namun akan menambah beratnya siksa di akhirat kelak. Maka
tentunya kita semua tidak ingin terjatuh pada salah satu dari kedua keadaan tersebut.
Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka, bahwa dibiarkannya mereka (terus mendapat nikmat)
adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami membiarkan mereka hanyalah supaya bertambahtambah dosa mereka; dan bagi mereka nantinya adzab yang menghinakan. (Ali Imran: 178)
.
Khutbah Kedua



:
:


Karena itu ingatlah kamu kepada-Ku, dan bersyukurlah kalian kepada-Ku, dan janganlah kalian mengingkari
(nikmat)-Ku. (Al-Baqarah: 152)
Hadirin yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah l,
Ketahuilah, bahwa nikmat yang paling besar yang Allah l karuniakan kepada hamba-hamba-Nya adalah nikmat
ber-Islam dan memahaminya dengan pemahaman yang benar. Yaitu memahaminya sebagaimana yang telah
diajarkan oleh Rasulullah n kepada para sahabatnya. Karena seseorang yang telah mendapatkan nikmat
tersebut berarti dia telah mengikuti satu-satunya jalan yang diridhai oleh Allah l, yang akan mengantarkan dirinya
pada kebahagiaan yang selamanya. Allah l berfirman:
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan
telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (Al-Ma`idah: 3)
Saudara-saudaraku seiman yang semoga senantiasa dirahmati Allah l,
Besarnya nikmat ber-Islam dan memahaminya dengan pemahaman yang benar tersebut akan dirasakan oleh
seseorang, ketika dia melihat bagaimana keadaan orang-orang yang tidak mendapatkan nikmat ini. Betapa
banyak orang-orang yang tersesat sehingga mengikuti akidah orang-orang kafir dan musyrikin. Betapa banyak
orang-orang yang menyimpang karena mengikuti aturan-aturan yang diada-adakan oleh pemimpinnya atau
pendiri kelompoknya sendiri. Begitu pula, betapa banyak orang-orang yang tersesat karena hanya mengikuti
kebiasaan atau tradisi masyarakatnya yang mengada-adakan amal ibadah yang tidak pernah dilakukan oleh
Rasulullah n dan para sahabatnya. Maka, orang-orang yang benar-benar mengikuti ajaran Islam dan
memahaminya dengan pemahaman yang benar, sungguh dirinya telah diselamatkan oleh Allah l dari berbagai
bentuk kesesatan.
Hadirin yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah l,
Besarnya nikmat Islam dan hidayah memahami agama Islam dengan benar juga akan dirasakan manakala
seseorang mengetahui janji Allah l bagi orang-orang yang mendapatkan nikmat ini dan ancaman-Nya bagi
orang-orang yang tidak mendapatkannya. Sebagaimana dalam firman-Nya:
Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada dalam tempat yang aman. (Yaitu) di dalam taman-taman dan
mata air-mata air. Mereka memakai sutera yang halus dan sutera yang tebal, (duduk) berhadap-hadapan.
Demikian pula Kami berikan kepada mereka bidadari. Di dalamnya mereka meminta segala macam buahbuahan dengan aman (dari segala kekhawatiran). Mereka tidak akan merasakan mati di dalamnya kecuali mati

di dunia dan Allah memelihara mereka dari adzab neraka. Sebagai karunia dari Rabbmu. Yang demikian itu
adalah keberuntungan yang besar. (Ad-Dukhan: 51-57)
Allah l menyebutkan balasan bagi orang-orang yang tidak mendapatkan nikmat Islam di dalam firman-Nya:
Dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang
dan neraka Jahannam adalah tempat tinggal mereka. (Muhammad: 12)
Maka marilah kita berusaha untuk mensyukuri nikmat yang paling besar ini. Meskipun nikmat yang lainnya pun
tidak boleh disepelekan. Namun nikmat mengikuti agama Islam merupakan nikmat yang paling besar dan tidak
bisa dikalahkan oleh nikmat apapun. Sekalipun dibandingkan dengan orang mendapatkan nikmat dunia dan
seisinya, namun tidak mendapatkan nikmat Islam. Marilah kita bersungguh-sungguh dalam mempelajari dan
mengamalkannya. Tidak sekadar mengikuti kebanyakan atau keumuman orang. Tidak pula dengan
mengandalkan semangat tanpa dilandasi ilmu. Namun harus didasarkan kepada Al-Qur`an dan hadits Nabi n
serta memahami keduanya dengan bimbingan para ulama yang mengikuti jalan generasi terbaik umat ini. Yaitu
jalannya para sahabat Nabi n. Karena mereka adalah orang-orang yang telah mempelajari agama ini dari lisan
Rasulullah n dan mengetahui bagaimana Rasulullah n mempraktikkan agama ini.
Dengan demikian kita akan diselamatkan dari berbagai ajaran yang menyimpang dan selanjutnya mendapatkan
janji Allah l, yaitu kenikmatan surga pada kehidupan yang selamanya nanti. Wallahu alam bish-shawab.

Antara Sabar dan Sukur


Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 030

(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah)


Pasang surut yang mewarnai kehidupan sebuah rumah tangga tak hanya dalam hal hubungan pribadi
antara suami dan istri, namun juga menyangkut anak dan rizki. Kesabaran dan sikap syukur menjadi
modal yang mesti dimiliki dalam hal ini.
Setiap insan yang hidup di muka bumi ini pasti pernah mengalami suka dan duka. Tak ada insan yang diberi
duka sepanjang hidupnya, karena ada kalanya kemanisan hidup menghampirinya. Demikian pula sebaliknya, tak
ada insan yang terus merasa suka karena mesti suatu ketika duka menyapanya. Bila demikian tidaklah salah
pepatah yang mengatakan, Kehidupan ini ibarat roda yang berputar, terkadang di atas, terkadang di bawah.
Terkadang bangun dan sukses, terkadang jatuh dan bangkrut, kadang kalah, kadang menang, kadang susah,
kadang bahagia, kadang suka dan kadang duka Begitulah kehidupan di dunia ini, kesengsaraannya dapat
berganti bahagia, namun kebahagiannya tidaklah kekal.






Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan
dan bermegah-megah di antara kalian serta berbangga-bangga dalam banyaknya harta dan anak, seperti hujan
yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kalian lihat
warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat nanti ada azab yang keras/pedih dan ada pula
ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Kehidupan dunia itu tidak lain kecuali hanya kesenangan yang
menipu. (Al-Hadid: 30)
Suka duka pun suatu kemestian yang dialami sepasang suami istri dalam mengarungi bahtera rumah tangga,
karena kesempitan atau kelapangan, kesulitan atau kemudahan datang silih berganti. Ketika diperoleh apa yang
didamba, mereka bersuka. Tatkala luput apa yang diinginkan atau hilang apa yang dicintai, mereka berduka.
Sebagai seorang yang beriman kepada Allah l dan mengimani takdir-Nya, sudah semestinya suka dan duka itu
dihadapi dengan syukur dan sabar. Allah l menggandengkan dua sifat ini di dalam firman-Nya:


Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi setiap orang yang banyak bersabar lagi
bersyukur. (Ibrahim:5)
Qatadah t menafsirkan ayat di atas dengan mengatakan, Dia adalah hamba yang bila diberi bersyukur dan bila
diuji bersabar. (An-Nukat wal Uyun, 3/122)
Rasul yang mulia n telah mengabarkan bahwa mukmin yang sabar atas musibah/duka yang menimpanya dan

bersyukur atas nikmat/suka yang diterimanya akan mendapatkan kebaikan. Kabar gembira ini tersampaikan
kepada kita lewat sahabat beliau yang mulia Shuhaib Ar-Rumi z. Shuhaib berkata: Rasulullah n pernah
bersabda:







Sungguh mengagumkan perkara seorang mukmin. Sungguh seluruh perkaranya adalah kebaikan baginya. Yang
demikian itu tidaklah dimiliki oleh seorangpun kecuali seorang mukmin. Jika mendapatkan kelapangan ia
bersyukur, maka yang demikian itu baik baginya. Dan jika ia ditimpa kemudaratan/kesusahan1 ia bersabar, maka
yang demikian itu baik baginya. (HR. Muslim no. 7425)
Ketika menjelaskan hadits di atas, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t menyatakan bahwa setiap
manusia tidak lepas dari ketetapan Allah l dan takdir-Nya. Bisa jadi ia dalam kelapangan dan bisa jadi dalam
kesempitan. Dalam hal ini manusia terbagi dua: mukmin dan selain mukmin. Seorang mukmin senantiasa dalam
kebaikan pada setiap keadaan yang Allah l takdirkan baginya. Bila ditimpa kesusahan ia bersabar dan menanti
datangnya kelapangan dari Allah l serta mengharapkan pahala, maka ia pun meraih pahala orang-orang yang
bersabar. Bila mendapatkan kelapangan berupa nikmat agama seperti ilmu dan amal shalih, ataupun nikmat
dunia berupa harta, anak dan istri, ia bersyukur kepada Allah l dengan taat kepada-Nya, karena yang namanya
bersyukur tidak sebatas mengucapkan Aku bersyukur kepada Allah l. Adapun selain mukmin, mendapat
kesempitan ataupun kelapangan sama saja baginya, karena ia selalu berada dalam kejelekan. Bila ditimpa
kesempitan/kesusahan ia berkeluh kesah, mencaci maki, dan mencela Allah l. Bila mendapat kelapangan ia tidak
bersyukur kepada Allah l, Dzat yang telah memberikan nikmat. (Syarhu Riyadhish Shalihin, 1/108)
Seorang mukmin dan mukminah dalam menjalani kehidupan rumah tangganya harus berada di antara
kesyukuran dan kesabaran. Karena ia tak luput dari takdir yang baik ataupun yang buruk. Mungkin ia belum
dikaruniai anak, maka ia harus bersabar karena anak adalah pemberian Allah l. Dia memberikannya kepada
siapa yang Dia kehendaki, dan terkadang Dia menguji hamba-Nya dengan tidak segera atau tidak sama sekali
memberinya keturunan.

.

Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi. Dia menciptakan apa saja yang Dia kehendaki. Dia
menganugerahkan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak laki-laki kepada
siapa yang Dia kehendaki. Atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang
dikehendaki-Nya). Dia pun menjadikan mandul siapa saja yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha
Mengetahui lagi Maha Kuasa. (Asy-Syura: 49-50)
Anak diperoleh bukan karena kemahiran seseorang, bukan karena kejantanan, kekuatan, atau kepandaiannya.
Berapa banyak orang yang kuat dan memiliki keutamaan lagi kemuliaan namun Allah l tidak memberinya
keturunan. Lihatlah istri-istri Rasulullah n, mereka tidak beroleh keturunan dari pernikahan mereka dengan
Nabiyullah n, kecuali Khadijah x dan budak beliau Mariyah x. Lihat pula Nabi Ibrahim dan Nabi Zakariyya e,
keduanya dikaruniai anak tatkala usia telah senja, tulang-tulang telah melemah, rambut telah dipenuhi uban dan
istri pun telah tua lagi mandul2. Lihat pula Maryam ibunda Isa q dikaruniai anak tanpa pernah menikah dan
tanpa pernah disentuh oleh lelaki3. Dengan demikian beroleh anak atau tidak, perkaranya kembali kepada
Allah l. Dia yang memberi dan Dia yang menahan.
Bila seseorang diberi nikmat berupa anak, hendaklah ia bersyukur kepada Dzat yang telah memberikan
anugerah. Namun bila tidak, maka tidak ada yang bisa dilakukan oleh seorang mukmin kecuali tunduk, sabar,
ridha dengan ketetapan-Nya dan berbaik sangka kepada Allah k, karena Dia tak pernah berbuat dzalim kepada
hamba-hamba-Nya. Dia Maha Tahu apa yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya, sementara hamba-hamba-Nya
tidak tahu apa yang baik bagi mereka.

Allah Maha Mengetahui sementara kalian tidak mengetahui. (Al-Baqarah: 216)
Dalam masalah rizki juga demikian. Ketika seorang mukmin dalam kehidupan rumah tangganya tidak
memperoleh rizki yang lapang, dalam kemiskinan tiada berharta, ia pun harus bersabar. Karena kelapangan dan
sempitnya rizki, kaya atau miskinnya seseorang telah dicatat dan ditetapkan dalam catatan takdir dengan
keadilan Allah l. Dia memberi rizki kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Dia menyempitkannya kepada siapa
yang Dia kehendaki, sementara Dia tidak berbuat dzalim kepada hamba-hamba-Nya.
Ingatlah, kenikmatan, kemegahan, dan kekayaan dunia bukan jaminan keselamatan di akhirat nanti. Kalaulah

kekayaan itu suatu keutamaan dan keadaan yang paling afdhal niscaya Allah l akan menjadikan kekasih-Nya,
manusia pilihan-Nya, junjungan anak Adam, yakni Rasulullah n, sebagai orang yang terkaya di dunia,
bergelimang harta dan kemewahan.
Tapi ternyata tidak demikian kenyataannya. Beliau n hidup dengan penuh kesahajaan dan kesederhanaan.
Terkadang tidak ada makanan yang dapat disantap di rumah beliau sehingga beliau berpuasa. Dikisahkan hal ini
oleh istri beliau yang shalihah Ummul Mukminin Aisyah x:
n
: . : :
Suatu hari Rasulullah n masuk ke rumahku, lalu bertanya, Apakah ada makanan pada kalian (yang bisa
kumakan)? Tidak ada, jawab kami. Kalau begitu aku puasa, kata beliau. (HR. Muslim no. 2708)
Sampai-sampai untuk membeli makanan, beliau n pernah berhutang dengan menyerahkan baju besi beliau
sebagai jaminan. Masih dari kisah Ummul Mukminin Aisyah x:


Rasulullah n pernah membeli makanan dengan pembayaran di belakang (akan dibayar pada waktu yang telah
ditentukan), beliau memberi baju besinya kepada si Yahudi sebagai jaminan. (HR. Muslim no. 4090)
Betapa sabarnya istri-istri Rasulullah n dengan kekurangan dunia yang mereka terima selama hidup dengan
suami mereka Rasulullah n, dan beliau pun wafat tanpa meninggalkan warisan untuk mereka. Kata Amr ibnul
Harits, saudara Ummul Mukminin Juwairiyyah bintul Harits x:


n


Rasulullah n tatkala wafatnya tidak meninggalkan dinar, dirham, budak laki-laki, budak perempuan, dan tidak
meninggalkan harta sedikitpun kecuali seekor bighalnya yang berwarna putih yang dulunya biasa beliau
tunggangi dan pedangnya serta sebidang tanah yang beliau jadikan sebagai sedekah untuk musafir. (HR. AlBukhari)
Demikian sebagai anjuran untuk bersabar dengan kesulitan hidup
Ketika rizki datang pada si mukmin dan kelapangan hidup menyertainya maka rasa syukur kepada Allah l harus
diwujudkan. Tidak hanya mengucapkan syukur dengan lisan disertai keyakinan hati, namun harus pula diiringi
dengan amalan, yaitu membelanjakan harta tersebut di jalan yang diridhai oleh Sang Pemberi Nikmat dengan
infak dan sedekah.
Memiliki rasa syukur ini sungguh suatu keutamaan dan anugerah karena sedikit dari hamba-hamba Allah l yang
mau bersyukur, sebagaimana dinyatakan dalam Tanzil-Nya:

Dan sedikit dari hamba-hamba-Ku yang mau bersyukur. (Saba`: 13)
Siapa yang bersyukur, Allah l akan menambah nikmat-Nya. Adapun orang yang enggan untuk bersyukur, ia akan
diazab:


Apabila kalian bersyukur, Aku sungguh-sungguh akan menambah kenikmatan bagi kalian dan sebaliknya bila
kalian kufur nikmat maka sungguh azabku sangat pedih. (Ibrahim: 7)
Hadapilah liku-liku kehidupan berumah tangga dengan sabar dan syukur, niscaya kebaikan akan diperoleh.
Memang Sungguh mengagumkan perkara seorang mukmin.
Wallahu taala alam bish-shawab.
Catatan Kaki:
1 Kemudaratan di sini sifatnya umum, baik yang menimpa tubuhnya ataupun menimpa keluarga, anak, atau
hartanya. (Bahjatun Nazhirin, 1/82)
2 Nabi Zakariyya q ketika berdoa minta keturunan kepada Allah l menyatakan:

Wahai Rabbku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah
kecewa dalam berdoa kepada-Mu, wahai Rabbku. (Maryam: 4)
Allah l mengabulkan doa Nabi Zakariyya q dengan memberi kabar gembira kepadanya akan beroleh seorang
putra. Nabi Zakariyya q pun takjub dengan berita tersebut hingga beliau berkata dengan heran:

Wahai Rabbku, bagaimana aku akan beroleh anak, padahal istriku adalah seorang yang mandul dan aku sendiri

sudah mencapai umur yang sangat tua. (Maryam: 8)


3 Ketika malaikat Jibril q menemui Maryam dalam bentuk seorang manusia guna memberi kabar gembira
kepada Maryam bahwa ia akan beroleh seorang putra, Maryam pun berkata dengan heran:

Maryam berkata, Bagaimana aku akan beroleh anak, sementara tidak ada seorang lelaki pun yang pernah
menyentuhku dan aku sendiri bukan seorang pezina?. (Maryam: 20)

Meraih Cinta Ilahi


Muslim manapun tentu amat berharap dapat meraih cinta suci Allah Rabbul Izzati. Masalahnya, tak setiap
Muslim benar-benar mewujudkan harapannya itu dengan sungguh-sungguh meraih cinta-Nya yang sejati. Sering
harapannya itu hanya terbersit di lubuk hati dan sekadar terucap di ujung lisan, tidak sampai termanifestasikan
dalam perbuatan. Padahal meraih cinta-apalagi cinta suci Ilahi-tentu mengandung konsekuensi dan butuh
pembuktian, bukan sekadar klaim dan angan-angan. Lalu apa konsekuensi dan pembuktiannya?
Allah SWT sendiri menjawab pertanyaan ini dengan berfirman (yang artinya): Katakanlah (Muhammad), Jika
kalian mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Dia akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Allah
Maha Pengampun dan Maha Penyayang(TQS Ali Imran [3]: 31).
Ayat ini turun saat orang-orang Yahudi mengklaim di hadapan Baginda Nabi SAW, Kami adalah anak-anak Allah
dan para kekasih-Nya.
Manakala mereka mengklaim demikian, Allah SWT menyuruh kekasihnya, Baginda Rasulullah, untuk
menyatakan kepada mereka, Kalau memang begitu, ikutilah aku.
Sebagai imbalannya, Allah SWT pun akan mencintaihamba yang mencintai Dia, sekaligus mengampuni dosadosanya (Lihat: Muhammad Alan ash-Shiddiqi, Dalil al-Falihin li ath-Thuruq Riyadh ash-Shalihin, II/213).
Dengan demikian, cinta sejati Allah Yang Mahasuci akan kita raih semata-mata jika kita mengikuti Baginda Nabi
SAW. Lalu apa di antara tanda bahwa Allah SWT mencintaihamba-Nya? Dalam hal ini Allah SWT berfirman
(yang artinya): Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian murtad dari agama Allah, Allah pasti akan
mendatangkan suatu kaum yang Dia cintai dan mereka pun mencintai Dia; mereka bersikap lembut kepada
kaum Mukmin dankeras terhadap orang-orang kafir; mereka berjihad di jalan Allah; mereka tidak takut terhadap
celaan para pencela. Itulah karunia Allah yang Dia berikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Allah
Mahaluas dan Mahatahu (TQS al-Maidah [5]: 54).
Ayat ini menghubungkan realitas orang-orang yang Allah cintai itu dengan orang-orang yang senantiasa bersikap
lembut kepada kaum Mukmin, keras terhadap kaum kafir, berjihad di jalan Allah dan tidak takut terhadap celaan
para pencela.
Selain itu, di antara tanda bahwa Allah mencintai hamba-Nya tersurat dalam sebuah hadits qudsipenuturan Abu
Hurairah ra. Disebutkan bahwa Baginda Nabi SAWpernah bersabda, Siapa saja yang memusuhi wali-Ku, maka
ketahuilah bahwa Aku telah memaklumkanperang terhadap dia. Tidaklah seorang hamba ber-taqarrub kepada
Diri-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku sukai daripada perkara yang telah Aku wajibkan kepada dirinya. Seorang
hamba terus-menerus bertaqarrub kepada Diri-Ku dengan amalan-amalan nafilah hingga Aku mencintai dia. Jika
Aku mencintai dia, Aku menjadi pendengarannya yang dengan itu dia mendengar; menjadi penglihatannya yang
dengan itu dia melihat; menjadi tangannya yang dengan itu dia meraba; menjadi kakinya yang dengan itu dia
berjalan. Jika dia meminta kepada Diri-Ku, Aku pasti mengambulkan permintaannya. Jika dia meminta
perlindungan-Ku, Aku pun pasti melindungi dirinya. (HR al-Bukhari).
Dari hadits qudsi ini dapat dipahami bahwa cinta Allah SWT kepada hamba-Nya memiliki sejumlah tanda.
Pertama: Allah SWT senantiasa menjaga pendengarannya dari hal-hal yang haram untuk didengar, seperti
ghibah (menggunjingkan aib orang lain) dan namimah (mengadu-domba) dan yang semisalnya. Kedua: Allah
SWT senantia menjaga pandangannya dari perkara-perkara yang haram untuk dipandang (misal: pornografi dan
pornoaksi, pen.). Ketiga: Allah SWT senantiasa menjaga tangannya dari menyentuh hal-hal yang haram (misal:
menggandeng atau merangkul wanita asing [ajnabi], pen.). Keempat: Allah SWT senantiasa menjaga
langkahnya sehingga tidak melangkah ke tempat-tempat yang diharamkan. Dengan demikian, Allah SWT
senantiasa mememelihara dirinya dan anggota tubuhnya hingga terlepas dari syahwat dan sebaliknya tenggelam
dalam ketaatan. Dengan itu, pendengaran, pandangan, tangan dan langkahnya tidak digunakan kecuali yang
memang sesuai dengan tuntunan syariah.Kelima: Allah SWT mengabulkan permohonannya saat ia memohon

kepada-Nya. Kelima: Allah SWT melindungi dirinya saat ia memohon perlindungan-Nya (Muhammad Alan ashShiddiqi, Ibid., II/215).
Terkait dengan orang-orang yang Allah cintaiini, Baginda Nabi SAWjuga bersabda, Jika Allah SWT mencintai
seorang hamba, Dia memanggil Jibril dan berfirman, Sesungguhnya Allah SWT mencintai si fulan, maka
cintailah dia. Jibril pun mencintai dia. Jibril lalu menyeru penduduk langit, Sesungguhnya Allah mencintai si
fulan, maka cintailah oleh kalian dia. Penduduk langit pun mencintai dia. Kemudian ia pun diterima dan dicintai
penduduk bumi. (Mutaffaq alih).Semoga kita dapat meraih cinta sejati, cinta AllahRabbul Izzati. Wa ma tawfiqi
illa bilLah.[]abi

Mewarnai Puasa Dengan Kesabaran


Allah SWT telah menyiapkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi bagi mereka yang bertakwa, yaitu
mereka yang menghiasi dirinya dengan berbagai sifat yang baik, di antaranya: Orang-orang yang menahan
amarahnya dan memaafkan orang. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan. (TQS. Ali Imran [3] :
134). Dalam firman-Nya ini, Allah SWT memuji mereka yang mampu menahan amarahnya, dan memaafkan
orang, padahal ia mampu membalasnya jika ia mau. Kemudian setelah itu diikuti dengan sebuah khabar bahwa
Allah SWT mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan. Hal ini menjadi isyarat bahwa kedua amal tersebut:
menahan amarah dan memaafkan orang, maka kedua perbuatan termasuk di antara perbuatan ihsn (baik).
Dan di antara contoh ideal terkait potret kesabaran adalah kesabaran Ahnaf bin Qais. Ia ditanya dari siapa Anda
belajar kesabaran? Ia menjawab: Saya belajar kesabaran dari Qais bin Ashim al-Minqari. Suatu hari aku
mendatanginya ketika ia yang sedang duduk memeluk lutut dengan punggung dan kedua kakinya diikat serban.
Kemudian orang-orang datang membawa putranya yang terbunuh dan sepupunya yang diikat erat dengan tali.
Mereka berkata bahwa keponakanmu ini telah membunuh putramu. Mendengar dan melihat hal itu ia tetap diam
dan tidak beridiri dari tempatnya, namun ia menoleh pada salah seorang putranya, lalu berkata: Hai putraku,
berdirilah, lepaskan sepupumu, kebumikan saudaramu, dan berikan seratus onta pada ibu dari anak yang
terbunuh itu, karena ia akan merasa kehilangan, semoga dengannya ia terhibur.
Dalam hal ini, mungkin orang yang paling membutuhkan kesabaran adalah oarang yang sedang berpuasa.
Sebab ada di antara manusia yang tidak tahan merasakan lapar dan haus dalam waktu yang lama, sehingga
kami mendapatinya begitu cepat marah. Oleh karena itu, Rasulullah Saw berwasiat agar orang yang berpuasa
itu ingat selalu bahwa dirinya sedang berpuasa, agar hal itu dapat mencegahnya dari marah, dan mencegah dari
membalas kejahatan dengan kejahatan yang sama.
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah Saw bersabda: Jika salah seorang dari kalian suatu hari berpuasa,
maka jangan mengeluarkan kata-kata kotor, dan jangan pula marah. Jika salah seorang mencacinya atau
mengajaknya bertengkar, maka katakan: Sungguh saya seorang yang sedang berpuasa. (HR. Bukhari).
Namun, puasa bagi orang yang berpuasa bukan alasan (dalil) ia tidak melakukan kejahatan atau membalas
kejahatan dengan kejahatan yang sama. Sebab terkait hal ini ada dalilnya sendiri.
Mungkin seorang yang sedang berpuasa itu mengatakan bahwa ia sulit untuk mengendalikan dirinya pada saat
berpuasa, dan mencegahnya dari kemarahan. Kami jawab bahwa, Kesabaran itu terbentuk hanya dengan
berusaha sabar, innam al-hilmu bit-tahallumi. Artinya, barangsiapa yang membiasakan dirinya bermurah hati,
maka ia akan menjadi seorang yang pemurah hati. Dan barangsiapa yang membiasakan dirinya bersabar, maka
ia akan menjadi seorang yang penyabar.
Dengan demikian, bagi seseorang, khususnya yang sedang berpuasa wajib berusaha sabar dan menahan diri
ketika marah, bahkan untuk itu ia harus memaksa dirinya. Memang memulai kebaikan seperti sangat berat.
Namun perlu diingat bahwa barangsiapa membiasakan dirinya dengan sesuatu, maka sesuatu itu akan menjadi
mudah dan membantunya untuk terus melakukan. Al-Bushiri berkata dalam qasidahnya yang memuji kebaikan
akhlak Rasulullah Saw: Jiwa itu seperti anak kecil. Sehingga jika ia dibiarkan terus menyusu, maka hingga
tumbuh dewasa ia akan tetap senang menyusu. Sebaliknya jika ia disapih, maka ia akan berhenti menyusu.
Rasulullah Saw adalah orang yang paling penyabar, paling mampu menahan diri, dan paling mampu untuk tidak
marah. Namun jika ada pelanggaran terhadap apa-apa yang diharamkan Allah, maka tampak merah wajahnya
karena marah, sebab adalanya pelanggaran terhadap apa-apa yang diharamkan Allah. Bahkan berulang kali
Rasulullah Saw berwasiat kepada para sahabatnya yang mulia: Jangan marah, jangan marah.

Siapakah yang lebih utama dari orang yang berpuasa dengan kesabaran, menahan amarah, dan memaafkan
orang, apalagi semua itu diperintahkan? Apakah ia akan membiarkan dirinya melampaui batas kemarahan, dan
membalas keburukan dengan keburukan yang sama? Ataukah tidak lebih utama jika ia mengumpulkan
keutamaan (fadhilah) puasa, keutamaan memaafkan orang, keutamaan menahan amarah, dan keutamaan
sabar? Semoga Allah menguatkan kita untuk bisa mengumpulkan semua itu dalam diri kita.

Suatu malam saat sepasang suami isteri usai sholat malam mereka berdo'a bersama. Usai berdoa sang
isteri mencium tangan suaminya dan mengatakan. "Abi,, Aku sangat mencintai Abi." Sang suami pun
tersenyum lalu bertanya pada isterinya.
"Umi,,.. Ummi tau gak perbedaan antara Ummi dengan angka 12..??
Sang Isteri berpikir keras lalu menyerah..
"Ummi gak tau Abi.. Emang apa?" Tanya sang isteri."
"Kalau angka 12 itu kan ada angka 2-nya. Tapi kalau Ummi tidak ada 2-nya di hati Abi. Hanya Ummi
seorang yg akan selalu ada di hati Abi.."
"Ah Abi.. Bisa aja.." (Bermanja-manja di pangkuan suami)
*Seorang suami yang baik adalah yang bisa menghibur isterinya sehingga menambah rasa cinta
diantara keduanya. Isteri yg baik pun senantiasa mengungkapkan cinta. Dalam islam jika kita mencintai
pasangan kita maka dianjurkan untuk mengungkapkannya dalam bentuk kata-kata sebagaiman
Rosulullah pernah menganjurkan kepada seorang sahabat untuk mengungkapkan cinta. Tentunya pada
orang yang sudah halal bagi kita.

Beginilah Akhlak Suami-Istri Keluarga


Muslim
PROF. Dr. Sayyid Muhammad Al-Maliki, ulama besar dari kota Makkah, dalam bukunya Adabul Islam Fi
Nidzaamil Usrah, mengetengahkan adab, etika, dan akhlak pasangan suami-istri dalam berkeluarga. Dalam
bukunya dijelaskan tentang pentingnya akhlak pergaulan baik dari pihak suami maupun istri. Keduanya samasama memiliki kewajiban dan keharusan untuk menjadikan akhlak rumah tangga nabi sebagai pedoman
paripurna.
Bagi seorang suami hal pertama yang wajib diketahui dalam mempergauli istri adalah mengedepankan sikap
welas asih, cinta, dan kelembutan.
Dalam Al-Qur`an, Allah berfirman;

Dan bergaullah dengan mereka (para istri) secara patut, kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka
bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang
banyak. (Qs. An-Nisa` : 19)
Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam bersabda, seperti diriwayatkan oleh Ibnu Majah,
Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya, dan aku adalah orang yang paling baik
perlakuannya kepada keluargaku.
Kedua, Sebagai seorang kepala keluarga, suami dianjurkan untuk memperlakukan istri dan anak-anaknya
dengan kasih sayang dan menjauhkan diri dari sikap kasar.
Adakalanya seorang suami menjadi tokoh terpandang di tengah masyarakat, ia mampu dan pandai sekali
berlemah lembut dalam tutur kata, sopan dalam perbuatan tapi gagal memperlakukan keluarganya sendiri
dengan sikapnya saat berbicara kepada masyarkat.

Ketiga, seorang suami sangat membutuhkan pasokan kesabaran agar ia tangguh dalam menghadapi keadaan
yang tidak mengenakkan. Suami tangguh adalah suami yang tidak mudah terpancing untuk lekas naik pitam saat
melihat hal-hal yang kurang tepat demi cinta dan rasa sayangnya kepada istri.
Betapa sabarnya Rasulullah sebagai seorang suami dalam mengurusi para istrinya.
Begitu sabarnya, sampai-sampai sebagai sahabat beliau mengatakan, Tidak pernah aku melihat seseorang
yang lebih pengasih kepada keluarganya melebihi Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam.(HR. Muslim).
Contoh seorang suami yang penyayang lainnya dapat kita simak dari kisah Sayidina Umar bin Khaththab Ra.
Beliau yang terkenal ketegasan dan sikap kerasnya dalam mengahadapi kemunkaran, pernah berkata saat
didatangi oleh orang Badui yang akan mengadukan sikap cerewet istrinya. Di saat bersamaan, Umar pun baru
saja mendapat omelan dari istri dengan suara yang cukup keras.
Umar memberi nasihat kepada si Badui, Wahai saudaraku semuslim, aku berusaha menahan diri dari sikap
(istriku) itu, karena dia memiliki hak-hak atas istriku. Aku berusaha untuk menahan diri meski sebenarnya aku
bisa saya menyakitinya (bersikap keras) dan memarahinya. Akan tetapi, aku sadar bahwa tidak ada orang yang
memuliakan mereka (kaum wanita), selain orang yang mulia dan tidak ada yang merendahkan mereka selain
orang yang suka menyakiti. Aku sangat ingin menjadi orang yang mulia meski aku kalah (dari istriku), dan aku
tidak ingin menjadi orang yang suka menyakiti meski aku termasuk orang yang menang.
Umar meneruskan nasihatnya, Wahai Saudaraku orang Arab, aku berusaha menahan diri, karena dia (istriku)
memiliki hak-hak atas diriku. Dialah yang memasak makanan untukku, membuatkan roti untukku, membuatkan
roti untukku, menyusui anak-anakku, dan mencucui baju-bajuku. Sebesar apapun kesabaranku terhadap
sikapnya, maka sebanyak itulah pahala yang aku terima.
Keempat, seorang suami hendaknya mampu mencandainya. Adanya canda dan tawa dalam kehidupan
berumah tangga lazim selalu dilakukan. Bayangkan apa yang terjadi jika pasangan suami-istri melalui hariharinya tanpa canda. Lambat laun rumah tangganya menjadi bak areal pemakaman yang sepi, senyap, hampa.
Suami yang ingin menunaikan hak-hak istrinya akan berusaha mengundang canda, gurauan, yang mencairkan
suasana dengan senyum dan tawa; berusaha untuk bermain perlombaan dengan istri seperti yang dilakukan
Rasulullah kepada istrinya Aisyah Ra.
Dalam diri setiap manusia terdapat sifat kekanak-kanakan, khususunya pada diri seorang wanita. Istri
membutuhkan sikap manja dari suaminya dan karenanya jangan ada yang menghalangi sikap manja seorang
suami untuk istrinya.
Maurice J. Elias Ph. D dkk dalam bukunya Emotionally Intelligent Parenting: How to Rise a Self-Disiplined,
Responsible, Socially Skilled Child, menyinggung fungsi humor dalam proses kimiawi dan psikologis tubuh kita.
Humor kecil sehari-hari seperti vitamin ampuh untuk membangun dan mempertahankan kemampuan Anda
secara positif menanggapi tugas-tugas keayahbundaan dan tantangan hidup lainnya.
Menyisipkan humor dalam hubungan dengan pasangan dan anak-anak, menurut Maurice, dimaksudkan untuk
menjaga agar kita tetap dalam kerangka berpikir optimis. Cobalah melakukan hal-hal yang bisa membawa Anda
ke dalam suasana humor setiap hari, meskipun hanya sebentar. Kalau tidak bisa setiap hari, coba sesering yang
bisa Anda lakukan, pesannya dalam buku yang telah dialih bahasakan berjudulCara-cara Efektif Mengasuh
Anak dengan EQ.
Akhlak Seorang Istri
Adapun kewajiban bagi pihak istri adalah tidak akan membebani suaminya dengan hal-hal yang tidak sanggup ia
kerjakan dan tidak menuntut sesuatu yang lebih dari kebutuhan. Sikap ini dapat menjadi bantuan untuk suami
dalam urusan finansial.
Alangkah mulianya seorang wanita yang berjiwa qana`ah, cermat dalam membelanjakan harta demi mencukupi
suami dan anak-anaknya. Dahulu kala, para wanita kaum salaf memberi wejangan kepada suami atau ayahnya,
Berhatilah-hatilah engkau dari memperoleh harta yang tidak halal. Kami akan sanggup menahan rasa lapar
namun kami tak akan pernah sanggup merasakan siksa api neraka. Inilah akhlak pertama bagi pihak istri.
Kedua, istri shalihah adalah istri yang berbakti kepada suaminya, mendahulukan hak suami sebelum hak dirinya
dan kerabat-kerabatnya. Termasuk dalam masalah taat kepada suami adalah berlaku baik pada ibu mertua.

Ketiga, istri sebagai guru pertama bagi anak-anak, hendaknya mendidik mereka dengan pendidikan yang baik,
memperdengarkan kata-kata yang baik, mendoakan mereka dengan doa yang baik pula. Semuanya itu
merupakan implementasi bakti istri kepada suaminya.
Keempat, karakter istri dengan adab baik adalah tidak mengadukan urusan rumah tangga dan mengungkitungkit perkara yang pernah membuat diri si istri sakit hati dalam pelbagai forum. Hal yang sering terjadi pada diri
seorang wanita yaitu menceritakan keadaan buruk yang pernah menimpanya kepada orang lain. Seakan dengan
menceritakan masalah yang melilit dirinya urusan akan terselesaikan. Namun yang terjadi sebaliknya, keburukan
dan aib keluarga justru menjadi konsumsi orang banyak, nama baik suami dan keluarga terpuruk, dan jalan
keluar tak kunjung ditemukan.
Bentuk adab kelima, tidak keluar dari rumahnya tanpa memperoleh izin terlebih dahulu dari suami. Mengenai
hal ini, Nabi telah mewanti-wanti dengan bersabda, Hendaknya seorang wanita (istri) tidak keluar dari rumah
suaminya kecuali dengan seizin suami. Jika ia tetap melakukannya (keluar tanpa izin), Allah dan malaikat-Nya
melaknati sampai ia bertaubat atau kembali pulang ke rumah. (HR. Abu Dawud, Baihaqi, dan Ibnu `Asakir dari
Abdullah bin Umar).
Demikian halnya dalam masalah ibadah non-wajib seperti puasa sunnah, hendaknya seorang istri tidak
melakukannya kecuali setelah suami memberi izin.
Betapa indah kehidupan pasangan suami-istri yang menjadikan rumah tangga Nabi Muhammad Shallallahu
alaihi Wassalam sebagai titik singgung dalam menghidupkan hubungan harmonis. Tidak ada yang sempurna
dari pribadi pria sebagai suami dan wanita sebagai istri. Kelebihan dan kekurangan pasti adanya. Suami-istri
yang sadar antara hak dan kewajibannya akan melahirkan generasi penerus kehidupan manusia yang saleh,
pribadi bertakwa, dan menjadikan ridha Allah sebagai tujuan utama.
Membina rumah tangga bahagia perlu keterampilan, kepandaian, dan kebijakan pengelolalnya. Masing-masing
pasangan dituntut untuk pandai dan bijak mengelola rumah tangga keduanya, pandai dan bijak mengelola
hubungan dengan buah hati mereka, pandai dan bijak mengatur waktu antara bekerja dan bercengkrama
dengan pasangannya, pandai dan bijak mengelola keuangannya, bahkan pandai dan bijak mengelola cintanya.

Menyemat Cinta di Hati Kekasih


Posted by Khoirunnisa Syahidah on 13:29 // 1 komentar

khoirunnisa-syahidah.blogspot.com - Ia adalah bagian dari tulang


rusukmu, Ia adalah belahan jiwamu, Ia adalah tawanan di tanganmu, Padanya sumber ketenangan, cinta kasih
dan ketentraman karena demikanlah Allah menciptakannya untukmu, Ia adalah pakaian bagimu, dan yang
terutama dan utama ia adalah amanah yang Allah berikan untukmu, Bagaimanakah engkau memperlakukan
amanah

itu??

Terlalu banyak wasiat tersebar untuk para istri seakan islam adalah agama yang hanya mengutamakan para
suami dan kaum lelaki. Padahal tidaklah demikian,islam membela kaum wanita memuliakan dan mengangkat
derajat mereka.Wanita adalah orang yang di sucikan, ibu para ulama, ibu para panglima, dan ibu para pembesar,
Bukankah ia adalah ibu Umar,ibu Anas,ibu Umar bin Abdil Aziz, ibu imam Ahmad, ibu imam Syafii, ibu
Shalahudin,ibu Ibnu Taymiyah, ibu Ibnul Qayyim dan yang lainnya?? Untuk para suami risalah ini kutulis sebagai

penyejuk

hati

bagi

kaum

wanita

dan

para

istri.

Wahai hamba Allah yang bertakwa, berbahagialah dan bersyukur pada-Nya atas nikmat istri yang Allah
karuniakan kepadamu.Dengannya terjagalah jiwa dan tubuhmu dari melakukan hal-hal yang diharamkanNya. Ketika habis masa bulan madumu,tiba-tiba kini engkau tidak lagi memiliki waktu. Waktu untuk bergurau
dan bercengkrama dengan istri tercinta. Bila sang istri meminta, maka kaupun berkilah betapa lelah dan
penatnya hari-harimu disibukkan dengan pekerjaanmu. Rumah hanya menjadi hotel untukmu, datang dan pergi
sesuka hatimu, Ketika kepalamu menyentuh bantal engkau mendengkur laksana tiada orang lain di sisimu.
Seakan engkau lupa bahwa sumber teladan kita adalah manusia yang paling sibuk diatas muka bumi pada
waktu itu. Beliau memiliki lebih dari 4 orang istri, dan lihatlah dalam sejarah adakah diantara istri- istrinya lepas
dari pengawasan beliau? Adakah yang mengeluhkan tentang kesibukan beliau? Beliau shalallahu alaihi
wassalam ditimpa berbagai macam persoalan umat dan masalah yang sekiranya diletakkan (dibebankan)
kepada banyak orang, niscaya mereka tak akan sanggup mengembannya. Tapi lihatlah ketika sahabat bertanya
kepada Aisyah radhiyallahu anha: bagaimana sikap Rasulullah bila menemui kalian? Ia menjawab: Beliau masuk
dengan tertawa dan tersenyum.Seakan tidak ada beban di pundak beliau yang mulia, seakan beliau tidak
memiliki beban dan persoalan yang berat. Sehingga istri-istri beliau merasa nyaman dan senang bercanda
dengan beliau.Dalam kitab Bukhari bab Al-Adab, Zaid bin Tsabit berkata tentang Rasulullah : suka bercanda
dengan istrinya, dihormati diluar rumah. Tentu berbeda, sebagian suami kita temukan mereka suka bercanda
dan tertawa dengan teman-temannya akan tetapi cemberut dan bermuka masam terhadap keluarganya di
rumah.
Wahai para suami Rasulullah telah bersabda: Sesungguhnya istrimu memiliki hak atasmu (dikeluarkan oleh
Muslim 3652, Ahmad 26917, Abu Dawud 2285). Istri adalah wanita yang lemah lembut, menginginkan kasih
sayang, cinta kasih, keramahan dan kebajikan. Karena itu hendaklah suami senantiasa bertakwa kepada Allah
dalam menghadapi istri dengan memberikan kasih sayang, kelembutan, kesetiaan dalam menjaganya,
memberinya nafkah sesuai dengan kemampuan suami, pakaian dan janji setia. Sebagaimana yang
dikumandangkan oleh beliau pada haji Akbar(dalam hadits yang sangat panjang) yaitu ketika mengumumkan
hak-hak wanita dan hak seluruh manusia, beliau bersabda: Allah, Allah, pada wanita karena mereka itu adalah
tawanan disisi kalian. Dan saling berpesanlah agar berlaku baik terhadap wanita (hadits riwayat Tirmidzi, hasan
shahih)
Adalah Aisyah ketika ditanya tentang perilaku Rasulullah yang paling membekas dan berkesan dikalbunya
sepeninggal beliau maka ia hanya mampu meneteskan airmata seraya berkata:Semua sikap dan perilakunya
mengesankan bagiku ( kaana kullu amrihi ajabani). Bagaimana tidak Rasulullah seakan selalu punya waktu
untuknya. Rasulullah pernah mengajaknya berlomba lari, beliau Shalallahu alaihi wassalam pernah kalah dan
pada kesempatan yang lain beliau memenangkannya sehingga beliau tertawa seraya berkata: Ini adalah
pembalasanku dari kekalahanku yang dulu. Adakah hal ini dicontoh oleh para suami? Tidaklah harus di
lapangan atau dijalan raya cukuplah ketika tidak ada orang lain dirumah kita bisa melakukannya.
Justru yang sering kita dengar dan membuat hati ini miris dan berduka, istri yang lari ketakutan karena dikejarkejar suaminya yang sedang marah, yang dimana jika kita bertanya bagaimana keadaan rumah tangganya, tibatiba airmata yang keluar, tampak kesedihan dan kebencian diwajahnya. Yang hadir adalah rasa takut, jengkel,
duka dan lara bila mendengar suaminya di sebut. Sebab yang tergambar dalam benaknya adalah masa-masa
yang penuh penderitaan, penganiayaan, dan duka nestapa yang dijalaninya bersama suaminya.Tidakkah para
suami membaca hadits ini? Dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah bersabda: Orang mukmin yang paling

sempurna imannya ialah yang paling baik akhlaknya, dan orang yang paling baik diantara kalian ialah yang
paling baik terhadap istrinya (HR.Tirmidzi, Ibnu Hibban, hadits hasan shahih). Dalam suatu lafazh dari hadits
Aisyah di sebutkan: Yang paling lemah lembut diantara mereka terhadap keluarganya.(HR. Tirmidzi dan
Hakim).Dalam riwayat lain, juga dari Aisyah disebutkan: Yang paling baik diantara kalian adalah yang paling
baik terhadap keluarganya dan aku adalah yang paling baik di antara kalian kepada keluargaku (HR. Ibnu
Hibban

dalam

kitab

Sahihnya).

Ironis memang, dan inilah yang penulis dapati bahkan telah menjadi slogan di negri ini (Saudi Arabia) 3 hal yang
senang dilakukan sebagian kaum lelaki disini pertama senang bergonta-ganti telpon genggam (HP) kedua
mereka senang bergonta-ganti mobil dan yang ketiga mereka senang bergonta-ganti istri,waliyyadzubillah.
Kepada Allah kita memohon pertolongan, istri bagi mereka disamakan dengan telepon genggam dan mobil.
Mereka

tidak

berusaha

mengurus

rumah

tangga

dengan

baik.

Kecenderungan mereka adalah bersenang-senang dengan para wanita serta mencari kenikmatan dari setiap
wanita, sehingga hal itu menjadikan mereka sering melakukan thalak dan nikah.Padahal Rasulullah telah
bersabda: Aku tidak menyukai laki-laki yang senang mencicipi wanita dan wanita yang senang mencicipi lakilaki (HR. Thabrani dan Daruquthni). Semoga Allah memberi mereka hidayah dan menunjuki mereka kejalan
yang

lurus,

amin.

Hal lain yang sering dilakukan para suami adalah seringnya mereka memukuli para istri ketika mereka sedang
emosi atau marah. Mereka beralasan dengan memukul istri maka istri mereka akan takut kepada suami, suami
menjadi berwibawa. Padahal bila mereka mau sedikit melirik kepada Rasulullah, beliau adalah manusia yang
paling berwibawa akan tetapi tidak pernah ditemukan beliau memukul istri-istrinya tangan beliau hanya
digunakan untuk memukul musuh-musuh Allah. Wahai para suami yang senang memukuli istri takutlah kepada
Allah dan camkanlah hadits berikut ini: Dari Muawiyah bin Haidah dia berkata: Aku bertanya,Wahai Rasulullah
apa hak istri salah seorang diantara kami atas dirinya?Be liau menjawa:Hendaklah engkau memberinya makan
jika engkau makan, memberinya pakaian jika engkau mengenakan pakaian, janganlah memukul muka,
janganlah engkau berdoa agar Allah memburukannya dan janganlah engkau menghindarinya kecuali di dalam
rumah (HR.Abu Dawud dan Ibnu Hibban) dan juga sabda beliau: Berlemah lembutlah terhadap wanita (HR.
Bukhari

{no.6018,6059,6066}

dan

Muslim

{no.5989,

5992})

Wahai para suami, setiap rumah tangga tentu mempunyai problema, karena memang demikianlah sebagai ujian
dan cobaan bagi hamba-hamba-Nya yang beriman.Sebagai seorang suami dan kepala rumah tangga dituntut
untuk

pandai

dan

cermat

menyiasati

apa

yang

terjadi

diantara

hubungan

mereka

berdua.

Kelapangan hati untuk meredam emosi akan membawa pada kebaikan dan keindahan. Kehalusan sikap akan
mencairkan hati yang beku dan melunakkan gunung yang keras.Lihatlah bagaimana Rasulullah dalam
menghadapi kemarahan Aisyah, beliau justru tersenyum menghadapi hal itu dengan penuh kesabaran dan
keagungan. Atau engkau bisa melihat kepada Umar bin khattab amirul mukminin ketika sahabat datang ingin
mengadukan perihal istrinya justru ia mendapati suara istri Umar lebih tinggi dan nyaring dibandingkan dengan
suara Umar.Karena Umar adalah seorang yang bijak, maka ia berkata: Kehidupan itu harus ditempuh dengan
cara yang maruf. Ia adalah istriku.Ia membuatkan untukku roti, mencucikan pakaianku dan melayaniku. Jika aku
tidak berlemah lembut padanya maka kami tidak akan hidup bersama. Tidakkah engkau menyimak perkataan
Umar?? Semoga Allah meridhainya beliau adalah seorang Amir al-Faruq yang tegas dan berwibawa yang
ditakuti musuh-musuhnya bahkan iblispun takut berpapasan dengannya.Lihatlah bagaimana ia lemah lembut
dan mengalah terhadap kemarahan istrinya.Atau sejenak engkau berkaca pada Ali, dalam hadits shahih,

rasulullah datang kerumah Fatimah putrinya untuk menanyakan padanya tentang Ali radhiyallahu anhu. Lalu
Fatimah radhiyallahu anha menjawab: Aku telah marah padanya sehingga ia keluar.(HR. Bukhari no.436 dan
Muslim

no.6182).Ali

memilih

keluar

daripada

bersitegang

dan

bertengkar

dengan

istrinya.

Duhai para suami tercinta, engkau berharap istri-istrimu mencintaimu dengan sepenuh hati. Engkau meminta
mereka untuk setia dan taat kepadamu. Engkau meminta mereka agar bakti dan kasihnya tercurah padamu.
Engkau mendambakan agar mereka merindukanmu ketika jauh darimu. Tapi engkau lupa menyematkan cinta
kasih dihati istri-istrimu??.Cukuplah ayat dibawah ini sebagai penutup dan renungan bagi para suami yang
mendambakan kebahagiaan dalam rumah tangga mereka di dunia dan akhirat. dan pergaulilah mereka dengan
cara yang patut kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, maka bersabarlah karena mungkin kamu tidak
menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak {An-Nisaa:19}. Wallahu alam bis
shawwab. [khoirunnisa-syahidah.blogspot.com]

Anda mungkin juga menyukai