Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Ayakan
Pengukuran ukuran butiran tanah merupakan hal penting dalam
mengetahui sifat - sifat tanah yang sangat tergantung pada ukuran butirnya.
Disamping itu ukuran tanah juga digunakan dalam pengklasifikasian
bermacam - macam tanah tertentu. Menurut Bailey (1986), ada dua cara yang
umum digunakan untuk mendapatkan distribusi ukuran butir tanah yaitu:
1. Analisis ayakan
2. Analisis hidrometer
Analisis ayakan (sieve analisis) adalah suatu percobaan menyaring contoh
tanah melalui satu set ayakan, dimana lubang-lubang ayakan tersebut makin
kecil secara berurutan kebawah. Menurut Budi (2011), Analisa ayakan adalah
metode yang dipakai untuk mengetahui penyebaran (distribusi) butiran tanah
yang mempunyai ukuran lebih besar dari 0,075 mm (ayakan No. 200 American
Society for Testing and Materials (ASTM), sedangkan untuk menentukan
penyebaran ukuran butiran tanah yang mempunyai ukuran lebih kecil dari
0,075 mm dipakai analisa Hydrometer.

2.2 Ukuran Ayakan


Ukuran butiran tanah ditentukan dengan menyaring sejumlah tanah
melalui seperangkat saringan yang disusun dengan lubang yang paling besar
berada paling atas dan makin kebawah makin kecil. Jumlah tanah yang tertahan
pada saringan tersebut disebut salah satu dari ukuran butir contoh tanah itu.
Pada kenyataannya pekerjaannya hanya mengelompokan sebagian dari tanah
terlekat di antara dua ukuran (Hanafiah,2010).
Ukuran butir tanah tergantung dari diameter partikel tanah yang
membentuk dari masa tanah itu. Pada pemeriksaan mikroskopis, masa tanah
menunjukan hanya sedikit apabila memang ada partikel-partikel yang bundar
dan mempunyai diameter, kita dapat menarik kesimpulan bahwa ini adalah
deskripsi mengenai tanah yang agak longsor.
Dikenal umum dengan nama Skala Wentworth, skema ini digunakan untuk
klasifikasi materi partikel aggregate. Pembagian skala dibuat berdasarkan
faktor 2; contoh butiran pasir sedang berdiameter 0,25 mm – 0,5 mm, pasir
sangat kasar 1 mm-2 mm, dan seterusnya. Skala ini dipilih karena pembagian
menampilkan pencerminan distribusi alami partikel sedimen; sederhananya,
blok besar hancur menjadi dua bagian, dan seterusnya.
Berikut adalah ukuran yang terdapat dalam skala Wenworth :
1. Gravel, terbagi atas 4 bagian yakni : bolders/bongkah (>256mm),
cobble/berangkal (64-256mm), pebble/kerakal (4-64mm), dan
grit/granule/butiran (2-4mm).
2. Sand, pasir sangat kasar (1-2mm), Pasir Kasar (1/2-1mm), pasir sedang
(1/4-1/2mm), pasir halus (1/8-1/4mm), dan pasir sangat halus(1/16-
1/8mm)
3. Mud, terbagi atas 2 : silt/lanau (1/256-1/6mm) dan clay/lempung
(<1/256mm)

Ukuran ayakan yang umum dipakai untuk menentukan distribusi butiran


tanah adalah metode American Society for Testing and Materials (ASTM),
British Standard (BS 410 : BS 1377, 1975) dan American Association of State
Highway and Transportation Officials (AASHTO). Ukuran lubang dari
beberapa standar dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Diameter Lubang Ayakan Beberapa Standar
American Society for
British Standard BS 1377
Testing and Materials, AASHTO
: 1975
ASTM
Nomor Ukuran Ukuran lubang Nomor Ukuran lubang
ayakan lubang (mm) (mm) Ayakan (mm)
No. 4 4,76 4,75
No. 6 3,35
No. 8 2,36 2,36 No. 8 2,057
No. 10 2,00
No. 16 1,18 1,18 No. 16 1,003
No. 20 0,841
No. 30 0,595 0,600 No. 30 0,500
No. 36 0,422
No. 40 0,425
No. 50 0,300 0,300 No. 52 0,295
No. 60 0,250 No. 60 0,251
No. 80 0,180 No. 85 0,178
No. 100 0,150 0,150 No. 100 0,152
No. 140 0,106
No. 170 0,088 0,090
No. 200 0,075 0,075 No. 200 0,076
(Sumber : Budi, 2011)
Untuk semua instalasi ayak berlaku bahwa, bahan ayak harus tersebar
merata di atas permukaan ayak. Selanjutnya, penting pula untuk mengatur
kecepatan takar sesuai dengan kapasitas ayakan. Dengan cara demikian dapat
dicegah pembebanan lebih atau kurang (Subowo,2011).
Tabel 2.2 Ukuran lubang ayakan (U.S standart)

No ayakan Diameter lubang ayakan (mm)

4 4,750
6 3,350
8 2,360
10 2,000
12 1,680
16 1,180
20 0,850
30 0,600
40 0,425
50 0,300
60 0,250
80 0,180
100 0,150
140 0,106
200 0,075

2.3 Penyebaran Butiran Tanah


Ada dua macam cara untuk menentukan penyebaran butiran tanah,yang
pertama adalah cara kering (dry method) dan yang kedua adalah cara basah
(wet method).
A. Pengujian Ayakan Cara Kering (Dry Method)
Pengujian ayakan cara kering dipergunakan apabila tanah (batuan)
yang akan ditentukan penyebaran butirannya cukup bersih dan hanya
sedikit mengandung butiran halus yang mempunyai diameter kurang dari
0.075 mm. sedangkan cara basah dipakai jika tanah yang akan diayak
mengandung cukup banyak partikel halus dengan diameter kurang dari
0.075 mm. secara umurn, ayakan cara basah ini lebih teliti dibandingkan
dengancara kering karena partikel halus yang kemungkinan menempel
pada partikel yang lebih besar dan partikel halus yang menggumpal dapat
terlepas.

(Sumber : Budi, 2011)


Gambar 2.1 Skema Pengujian Ayakan

(Sumber : Budi, 2011)


Gambar 2.2 Grafik Tipikal Distribusi Ukuran Butiran Tanah
Tabel 2.3 Berat Minimum Contoh Tanah

(Sumber : Budi, 2011)


1. Koefisien Keseragaman (Uniformity coefficient)
Koefisien keseragaman (uniformity coefficient) didefinisikan
sebagai kemiringan (slope) dari grafik penyebaran butiran tanah.
Keseragaman dipresentasikan sebagai perbandingan antara ukuran
ayakan dimanamasing-masing 60 persen dan 10 persen tanah lolos pada
ukuran lubang ayakan tersebut. Koefisien keseragaman yang
dinotasikan U, dirumuskan sebagai:

𝐷
𝑈 = 𝐷60 ….………………………………………………….(2.1)
10

Dimana:
U = Koefisien keseragaman (uniformity coefficient)
D60 = Ukuran lubang ayakan dimana 60% butiran tanah lolos
pada ukuran lubang tersebut
D10 = Ukuran efektif, yaitu ukuran lubang ayakan dimana 10%
butiran tanah lolos pada ukuran lubang tersebut
2. Koefisien Gradasi (Coefficient of gradation)
Koefisien gradasi (CZ) dirumuskan sebagai:
(𝐷30 )2
𝐴=𝐷 ………………………………………………………(2.2)
60 𝑥𝐷10

Dimana :
D60, D30, D10 = Ukuran lubang ayakan dimana masing-masing
60%, 30% dan 10% butiran tanah lolos pada
ukuran lubang tersebut.
Besarnya nilai D60, D30, D10 dapat ditunjukkan pada Gambar 2.3.

(Sumber : Budi, 2011)


Gambar 2.4 Penentuan D60, D30, D10

B. Pengujian Ayakan Cara Basah (Wet Method)


Data dari analisa ayakan dengan cara kering hanya akurat untuk
material yang non-kohesif (kepasiran) dan bersih dari tempelan tanah
lempung dan lanau. Apabila ada indikasi campuran tanah lempung dan
atau lanau pada tanah non-kohesif, maka ada kemungkinan tanah lempung
tersebut menempel pada butiran tanah (tidak lepas meskipun sudah
dikeringkan). Untuk menghindari hal ini, maka sebaiknya dilakukan
pengayakan dengan metode basah.
Tabel 2.4 Contoh Analisa Ayakan

(Sumber : Budi, 2011)

2.4 Bentuk Ayakan


Bentuk bahan yang diayak dan jenis permukaan ayakan memainkan peranan
penting. Sering terdapat bulatan-bulatan halus, batang-batang halus berbentuk
sllinder, kerucut kecil, dna sebagainya. Pengayakan bulatan halus melalui
lubang ayakan tidak menimbulkan masalah khusus. Bagaimana cara bulatan
halus sampai di permukaan ayakan tidak membawa perbedaan. Lain halnya
dengan batang dan kerucut halus. Bahan seperti ini dapat melalui permukaan
ayakan dalam keadaan tegak. Tetapi tidak dapat melalui lubang ayakan jika
tidur di atas permukaan ayakan. Pada pengayakan sejumlah batang halus
dengan ukurna tepat sama, sebagian bahan akan terayak, sedangkan sebagian
lain tidak terayak. Berhubung dengan gejala ini, selain lubang ayak yang bulat
ada juga berbentuk bujur sangkar, segi panjang atau berbentuk aluran.
Permukaan ayak dapat terdiri atas berbagai macam bahan.
1. Batang baja
Batang-batang baja berjarak sedikit satu sama lain. Batang ini digunakan
untuk mengayak bahan kasar seperti: batu, batu bara, dan lain-lain.
2. Pelat berlubang
Garis tengah lubang biasanya 1 cm atau lebih. Ukuran tebal pelat
meningkat sesuai dengan bertambah besarnya garis tengah lubang.
3. Anyaman kawat
Biasa dipakai kawat baja, karena kuat.
4. Sutera Tenun
Bahan ini digunakan untuk mengayak zat yang sangat halus, seperti
bunga dan tepung.
5. Rol Berputar
Permukaan ayak semacam ini terdiri atas sejumlah rol berusuk yang
disusun berdampingan dan digerakkan dengan kecepatan berlainan.
Pengayakan pada permukaan ayak semacam ini adalah sangat efektif.

2.5 Jenis Agregat


A. Jenis Agregat Berdasarkan Berat
Ada tiga jenis agreagat berdasarkan beratnya, yaitu agregat normal, agregat
ringan dan agregat berat.
1. Agregat normal
Dihasilkan dari pemecahan batuan dengan quarry atau langsung dari
sumber alam. Agregat ini biasanya berasal dari granit, basalt, kuarsa dan
sebagainya.
2. Agregat ringan
Digunakan untuk menghasilkan beton yang ringan dalam sebuah
bangunan yang memperhitungkan berat dirinya.
3. Agregat berat
B. Jenis Agregat Berdasarkan Bentuk
Bentuk agregat belum terdefinisikan secara jelas, sehingga sifat-sifat
tersebut sulit diukur dengan baik. Sejumlah peneliti telah banyak
membicarakan hal ini, salah satunya adalah Mather yang menyatakan
bahwa bentuk butir agregat ditentukan oleh dua sifat yang tidak saling
tergantung yaitu kebulatan/ketajaman sudut (sifat yang tergantung pada
ketajaman relatif, secara numerik dinyatakan dengan rasio antara jari-jari
rata-rata dari sudut lengkung ujung atau sudut butir dari jari-jari maksimum
lengkung salah satu ujung/sudutnya) dan oleh sperikal yaitu rasio antara
luas permukaan dengan volume butir.
1. Agregat bulat
Agregat ini terbentuk karena terjadinya pengikisan oleh air atau
keseluruhannya terbentuk karena pergeseran. Rongga udaranya
minimum 33%, sehingga rasio luas permukaannya kecil.
2. Agregat bulat sebagian atau tidak teratur
Agregat ini secara alamiah berbentuk tidak teratur. Sebagian terbentuk
karena pergeseran sehingga permukaan atau sudut-sudutnya berbentuk
bulat. Rongga udara pada agregat ini lebih tinggi, sekitar 35%-38%,
sehingga membutuhkan lebih banyak pasta semen agar mudah
dikerjakan.
3. Agregat bersudut
Agregat ini mempunyai sudut-sudut yang Nampak jelas, yang terbentuk
ditempat-tempat perpotongan bidang-bidang dengan permukaan kasar.
Rongga udara pada agregat ini berkisar antara 38%-40%, sehingga
membutuhkan lebih banyak lagi pasta semen agar mudah dikerjakan
4. Agregat panjang
Agregat ini panjangnya lebih besar lebarnya lebih besar tebalnya.
Agregat disebut panjang jika ukuran terbesarnya lebih dari 9/5 ukuran
rata-rata.
5. Agregat pipih
Agregat disebut pipih jika perbandingan tebal agregat terhadap ukuran-
ukuran lebar dan tebalnya lebih kecil. Agregat pipih sama dengan
agregat panjang, tidak baik untuk campuran beton mutu tinggi.
Dinamakan pipih jika ukuran terkecilnya kurang dari 3/5 ukuran rata-
ratanya. Untuk contoh diatas agregat disebut pipih jika lebih kecil dari
9 milimeter.
6. Agregat pipih dan panjang
Agregat jenis ini mempunyai panjang yang jauh lebih besar daripada
lebarnya, sedangkan lebarnya jauh lebih besar dari tebalnya.
C. Jenis Agregat Berdasarkan Tekstur Permukaan
Menurut Hardjowigeno (2003), umumnya agregat dibedakan
menjadi kasar, agak kasar, licin, agak licin. Berdasarkan pemeriksaan
visual, tekstur agregat dapat dibedakan menjadi sangat halus (glassy), halus,
granular, kasar, berkristal (crystalline), berpori, dan berlubang-lubang.
Secara numerik belum dipakai untuk menentukan definisi dari susunan
permukaan agregat.
Jenis agregat berdasarkan tekstur permukaannya dapat dibedakan
sebagai berikut:
1. Agregat licin/halus (glassy)
Agregat jenis ini lebih sedikit membutuhkan air dibandingkan dengan
agregat dengan permukaan kasar. Dari hasil penelitian, kekasaran
agregat akan menambah kekuatan gesekan antara pasta semen dengan
permukaan butir agregat lapis.
2. Berbutir (granular)
Pecahan agregat jenis ini berbentuk bulat dan seragam.
3. Kasar
Pecahan kasar dapat terdiri dari batuan berbutir halus atau kasar yang
mengandung bahan-bahan berkristal yang tidak dapat terlihat secara
visual.
4. Kristalin (crystalline)
Agregat jenis ini mengandung Kristal-kristal yang nampak dengan jelas
melalui pemeriksaan visual.
5. Berbentuk sarang lebah (honeycombs)
Tampak dengan jelas pori-porinya dan rongga-rongganya. Melalui
pemeriksaan visual, kita dapat melihat lubang-lubang pada batuannya.
DAFTAR PUSTAKA

Bailey. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah . Universitas Lampung: Lampung


Budi, Gogot Setyo. 2011. Pengujian Tanah Di Laboratorium; Penjelasan dan
Panduan/Gogot Setyo Budi-Edisi Pertama. Graha Ilmu :Yogyakarta.
Subowo,G., 2011. ‘’Penambangan sistem terbuka ramah lingkungan dan upaya
reklamasi pasca Tambang untuk memperbaiki kualitas sumberdaya lahan
dan hayati tanah’’. Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 5 No. 2; 84-86.
Hanafiah, Ali Kemas. 2010. Dasar–Dasar Ilmu Tanah . Raja Grafindo Persada:
Jakarta.
Hardjowigeno, H. S. 2003. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis . Akademika
Pressindo: Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai