Anda di halaman 1dari 195

PEKGEPIJKGM

rprii Tt yfiTi}
£ KILfuilSUf

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002


Ten tang Hak Cipta
Lingkup Hak Cipta
Pasal 2:
1. Hak Cipta metupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak Ciptaan- nya, yang timbul secara otomatis setelah
suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Ketentuan Pidana:
Basal 72
1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau
denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama
7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau
menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak
terkait sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
JONATHAN STROUD
IWEPUMM
TERAKHIR
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jakarta, 2011
KOMPAS GRAMEDIA

THE LAST SIEGE


by Jonathan Stroud
Copyright © 2006 by Jonathan Stroud
Copyright arranged with The Laura Cecil Agency
17 Aiwyne Villas, London N12HG, England
through Tuttle-Mori Agency Co., Ltd.
PENGEPUNGAN TERAKH1R
Alih hahasa: Ribkah Sulci to
Editor Primadonna Angela
GM 322 01 11 0022
Ilusoasi cover Eduard Iwan Mangopang
© Penerbit PT Grained ia Pustaka Utama
Jl Palmerah Barat 29-37
Blok 1, Lt. 5
Jakarta 10270
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
anggota 1KAP1,
Jakarta, Oktober 2011
288 him.; 20 cm.
ISBN: 978 - 979 - 22 - 7611 - 4
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab percetakan

Untuk Eli dan Matt

DI-IVAII BENTENW

PETUNJUK

Tangga spiral Anaktangga


n
Palang atau jaring Jendeia

LANTAI DUA
Belton Rieng UWne
(TUMfc (*+<

□ Area tanpa a tap


A
Celah untuk memanah
dengan ambang

Pintu
KEJAHATAN pertama Emily ringan saja, disebabkan salju.
Ia tersandung akar pohon, sepatu botnya terlempar dalam tumpukan salju. Butiran
salju berjatuhan beku di atas topi, alis, dan bahunya. Perlahan ia menyelipkan tubuh
melewati celah pada pagar semak belukar yang tebal. Batang pohon yang ter- tutup salju
menusuk dan menggesek mantelnya. Buliran salju mendarat di kelopak mata,
membuatnya mengerjap. Di bela- kang, kereta saljunya tersangkut sesuatu. Dengan
kasar ia me- renggut talinya hingga keretanya terlepas.
Ia melangkah dan berdiri di halaman kastil, jantungnya berdetak cepat, matanya
mewaspadai kalau-kalau ada bahaya. Sejauh ini, semuanya baik-baik saja. Tidak ada
seorang pun di sana.
Ia berusaha berdiri tegak di atas tumpukan salju yang mulai menggunung di dalam
pagar semak belukar. Jauh di sebelah kanan, sekumpulan burung beterbangan di langit
mendung di atas hutan, sementara pagar semak belukar terlihat seperti garis hitam yang
tidak rata di atas putihnya salju. Lubang-lubang
11

kecil di Castle Field tertutup salju, tapi ada bayangan di sana, menandakan pant
pertahanan yang mengelilingi kastil. Re- runtuhan dinding berserakan dari tepi parit kastil
yang letak- nya lebih tinggi di bagian dalam.
Di halaman belakang, menara kastil menjulang seperti iempengan batu hitam.
Emily berbalik sambil menarik tali keretanya. Tiba-tiba ke- reta luncumya terenggut
keluar, tersangkut lagi di belakang kumpulan akar dan duri belukar. Ia berlutut dan
menarik tali plastik berwama kuning itu, menguraikannya agar terbebas dari akar serta
duri. Kemudian ia menarik kereta luncumya keluar dari pagar semak belukar dan
membiarkannya jatuh di atas tumpukan salju.
la menajamkan pendengarannya. Tawa yang menggema ter- dengar dari arah parit
kastil, suaranya teredam karena jauhnya jarak serta salju yang menyelimuti. Bagus, ada
yang juga mene- robos masuk, dan tidak ada siapa pun yang berusaha menang- kap
mereka. Semuanya akan baik-baik saja.
la mutai berjalan menyeberangi tanah lapang, setiap lang- kah membuat kakinya
tertutup serpihan salju. Hawa dingin menembus celana jinsnya. Nantinya mungkin akan
jadi lembap dan menimbulkan iritasi kulit, namun sekarang, hal itu me- nyemangatinya.
Setiap langkah mencairkan kebosanan dalam dirinya selama beberapa hari terakhir.
la turun ke dalam lubang yang tidak terlalu dalam. Seka- rang ia tidak lagi dapat
melihat menara kastil, hanya sebagian dinding luar abu-abunya yang tertutup salju.
Langit dibebani salju yang sebentar lagi akan turun. Napasnya berbaur dengan udara
sejuk.
Berbagai suara terdengar dari parit kastil yang paling curam,
12

dan Emily perlahan-lahan melangkah mendekatinya. Ter- gantung siapa yang ada di
sana. Karen pemah berkata ia mung- kin akan pergi ke kastil minggu itu, dan Emily sangat
me- nyukai Karen. Jika Karen berada di sana, Emily akan tinggal. Kalau tidak...
Sekelompok orang merangkak naik dari dalam parit, me- nyeret kereta luncur
berwama merah. Dua anak perempuan dan empat anak laki-laki—semuanya berjalan
terseret-seret sambil menyumpah dan tersengal-sengal. Pakaian mereka se- tengahnya
tertutup salju. Karen tidak ada di antara mereka.
Ketika semua sudah muncul di permukaan, tiga anak lelaki mulai bercanda dan saling
mendorong di tepi parit kastil. Mereka berseru keras saat bertengkar, berharap mendapat
per- hatian dari semua anak perempuan yang mengabaikan mereka, sementara anak-
anak perempuan itu menyaksikan anak lelaki keempat (yang paling besar) menyiapkan
kereta luncur dalam posisi yang tepat. Satu anak perempuan duduk di atas kereta luncur,
dan anak perempuan lainnya melesakkan diri dengan canggung di belakangnya. Lalu
anak lelaki yang paling besar mengempaskan diri melewati pangkuan anak perempuan
yang duduk di depan sambil menyuarakan pekikan dan erangan gembira. Kereta luncur
itu bergerak perlahan-lahan menuruni lereng, dan terlihat hampir berhenti karena
tertahan kaki dan lengan yang menjulur keluar. Pada saat bersamaan anak lelaki dan
anak perempuan yang duduk di depan jatuh terguling- guling dan pengendara yang
masih tersisa meluncur dengan cepat di sepanjang lereng, berteriak ketakutan, sampai
ia jatuh dengan kepala lebih dulu mengenai timbunan salju di bawah- nya. Anak-anak
lelaki lain, yang tadinya bergulat tanpa se- mangat, menghentikan aktivitas mereka dan
mulai tertawa iri
13
pada anak leiaki bertubuh paling besar, yang terjatuh di atas tubuh anak perempuan
dalam perjalanan menuruni lereng.
Deirdre Pollard, Katie Fern, Allen bersaudara. Emily me- monyongkan bibir dan pergi
menjauh. la akan berseluncur sendin. Deirdre dan Katie itu bodoh, dan Allen bersaudara
memiliki reputasi buruk. Hanya Simon, anak termuda, yang masth bersekolah. Sisanya
keluyuran mengelilingi desa, dengan berangasan menolak melakukan apa pun. Martin
Allen, anak tertua, adalah yang paling garang, tapi sudah lama ia tidak ke- lihatan. Emily
mendengar kabar bahwa ia dipenjara.
Ketika ia sudah berada cukup jauh dari rombongan itu, Emily berhenti, menempatkan
kereta luncumya di atas lereng, kemudian duduk. Di bawahnya terbentang jalur meluncur
ber- wama putih menyeramkan yang curam, bebatuan dan lubang- lubangnya tertutup
salju. Emily berhenti sebentar, mengertak- kan gigi, dan muiai mendorong.
Percikan hujan salju, tumpahan udara beku, pusaran putih yang memusingkan.
Kemudian ia mengumpulkan tenaga dan beristirahat dengan bersandar pada bagian
bawah lereng yang berada di belakangnya. la mengentakkan badan ke depan, se- patu
botnya terjulur, menancap ke dalam salju.
Waktu berhenti. Dan itu berlangsung selama tiga detik.
Emily duduk di sana mengatur napasnya, menyeringai ka- rena terpicu adrenalin.
Kemudian sesuatu mengenai wajahnya.
Emily mengentakkan kepala ke satu sisi, rasa dingin yang menyakitkan terasa merobek
pipi hingga merenggut napasnya. Kejadian yang tiba-tiba itu membingungkannya. Ia tahu
itu adalah bola salju, tapi rasanya seperti ditonjok.
Terdengar tawa keras. Lalu ada yang mendesing di depan
14

wajahnya. Peluru lain mengenai kaki, gumpalan salju me- merciki matanya.
Emily berusaha untuk berdiri tegak, tersandung tali kereta luncur, dan nyaris tak dapat
melihat akibat terkena bola salju. Seakan melalui kaca yang basah, ia melihat bahwa
penyerang- nya berada di dasar parit kastil. Bola-bola salju dilemparkan melintasi udara,
beberapa mengenai dada dan perutnya. Ia ber- lutut mengambil tali, berbalik, dan
terhuyung-huyung melewati timbunan salju.
Ia meluncur, hampir terjatuh, lalu memperbaiki posisinya— kemudian ada pukulan
dahsyat di belakang kepalanya, topinya terjatuh dalam hujan butiran es, dan ia tahu
dirinya akan me- nangis.
Ia terns berlari, meninggalkan topinya. Tidak mungkin ia bisa berlari cepat—saljunya
terlalu tebal—tapi perlahan tembak- an beruntun pun berkurang dan cemoohan pun
teredam. Pe- luru lain mengenai kakinya, tembakan lain mengenai kuping- nya, kemudian
serangan pun berhenti.
Emily terns berlari di sepanjang parit kastil. Sedikit me- nangis karena sedih dan gusar.
Akhimya ia mengawasi bagian belakangnya, dan melihat bahwa lekukan lereng
membuatnya terlindung dari pandangan.
Ia berjalan dengan susah payah. Di sisi lain, lereng terlalu curam untuk bisa didaki.
Tapi ia tahu kalau melanjutkan per- jalanan, ia akan mencapai tempat ia bisa melangkah
di atas rumput menuju jembatan. Lalu ia dapat menemukan jalan menuju pagar semak
belukar dan pulang.
Reruntuhan dinding luar kastil tampak menjulang di atas salju, di tepi kanan sungai.
Emily berharap ia dapat meroboh- kannya pada orang-orang bodoh yang sudah
menyerangnya. Ia
15

sudah berhenti menangis sekarang dan dengan kesal me- nendangi salju sambil
melangkah. Katie Fem, Deirdre Pollard— ia akan membalas dendam pada mereka, lihat
saja nanti. Tapi udak ada yang bisa ia lakukan terhadap para anak lelaki itu— mereka
terlalu besar, termasuk Simon, si dungu itu.
Ia benci mereka! Ia membenci seluruh penduduk desanya! Mereka semua tolol dan
tidak berotak, dan ia selalu ditinggal sendirian tanpa bisa melakukan apa pun. Berseluncur
adalah satu-satunya kegiatan yang mungkin dilakukan untuk me- ngurangi kebosanan
selama liburan Natal—dan sekarang ia dihajar karena melakukannya! Ia juga tidak bisa
pergi ke tem- pat lain. Dalam radius dua puluh mil, wilayahnya tidak me- narik—tanah
lapang putih abu-abu seperti taplak meja tiada berujung, terbuat dari parit, selokan, dan
anak sungai yang di- penuhi gundukan es. Di mana-mana ada lumpur dan air, dan sejauh
mata memandang tidak ada lereng sama sekali. Parit kastil adalah satu-satunya tempat
untuk berseluncur, dan se¬karang ia sudah terusir dari Sana, kembali ke rumah yang
mem- bosankan, orangtua yang menjemukan—
la terperangkap dalam kemarahan dan keputusasaan se- hingga tidak menyadari sosok
di dekatnya sampai berada ham- pir tepat di depannya. Adanya gerakan mendadak
membuatnya mengangkat wajah. Anak lelaki yang tidak dikenalnya berdiri di depannya,
di dasar parit kastil.
Anak lelaki itu kelihatan sedikit lebih tua daripadanya, ber- usia sekitar lima belas
tahun, kurus, rambutnya hitam lurus, seakan berlomba keluar dari topi wol biru gelapnya.
Mantel biru melindunginya dari udara dingin, tapi ia juga memakai sepatu kanvas, dan
Emily tahu sepatunya pasti sudah basah terkena resapan air. Dan anak itu tidak memakai
sarung ta-
16

ngan. Ia sedang membuat bola salju, dan dengan tangan telan- jang ia meraadatkan
salju dengan susah payah, lalu melempar- kannya pada reruntuhan dinding di atas
lereng. Setiap lemparan mengenai dinding batu atau menghilang dengan suara empasan
pelan saat mengenai salju di dasar dinding. Sejauh mata Emily memandang, tidak ada
orang lain di dekat dinding batu. Anak lelaki itu sendirian.
Emily berdiri mengawasinya. Anak lelaki itu tidak me- lihatnya, tapi mengumpulkan
lagi segenggam salju. Ia me- lemparkannya, sekuat tenaga, kemudian meneriakkan kata-
kata celaan ketika bola saljunya berhamburan mengenai tepi le¬reng.
Tangannya memerah karena udara dingin.
’’Apakah kau berusaha melampaui bagian atas?” tanya Emily.
Anak lelaki itu tidak menoleh untuk mengamati Emily. ”Iya.”
”Tinggi sekali.”
”Aku pemah melakukannya sekali, tapi lenganku mulai lelah sekarang.”
’’Kenapa kau nggak berhenti saja?”
Anak lelaki itu tidak menjawab, tapi membuat bola salju lagi dengan jemarinya yang
mulai membeku lalu melempar- kannya. Bola saljunya dengan setengah hati jatuh di
tengah jalan menuju lereng.
’’Kalau aku jadi kau, aku akan berhenti,” ujar Emily.
’’Yang aku butuhkan adalah mesin tempur,” anak lelaki itu menjelaskan,
menggosokkan kedua tangan dan menyelipkannya ke dalam kantong jaketnya. ”Tahu
kan, katapel raksasa. De¬ngan demikian, aku bisa melakukannya dari jarak jauh.”
17

’’Melakukan apa?”
"Melemparkan batu ke arah musuh. Atau membakar potong- an sejenis batu bara
untuk membumihanguskan tempat ini. Cara terbcdk untuk metakukannya.”
Emily menatap anak lelaki itu. Bentuk wajahnya panjang dan berekspresi serius,
dengan kulit pucat dan mata gelap yang boiak'balik memperhatikan Emily dan dinding di
atasnya.
"Kupikir kastil terbuat dari batu,” Emily mencoba mem- beritahu anak itu. ”Api nggak
akan bisa berbuat banyak untuk mmghancurkan nya. ”
"Banyak bangunan yang bagian luamya terbuat dari kayu,” jawab anak lelaki itu. ’Tapi,
yah, kau benar. Tentu saja, api nggak akan bisa berbuat banyak selain membakar
beberapa musuh. Tentu saja,” ia melanjutkan, ’’pilihan lainnya adalah kepala.”
"Kepala?"
"Kepala musuh. Banyak tentara atau penduduk desa ter- bunuh dalam perang. Kita
akan memancung kepala mereka dan melemparkannya tinggi-tinggi melampaui tembok,
kemu- dian kepala-kepala itu menghujani keluarga dan teman-teman mereka. Taktik
perang psikologis.”
”Aku lebih suka bertempur menggunakan salju,” kata Emily.
Keheningan tercipta. ”Kau dari sekitar sini?” akhimya anak lelaki itu bertanya.
"Dari desa. Kau?”
”Aku bersepeda dari King’s Lynn. Hanya butuh waktu se- tengah jam.”
”Jadi, di mana sepedamu?”
”Aku tinggalkan di lubang dekat pagar semak belukar.”
18

”Oh.”
Ini sepertinya akan mengakhiri percakapan. Emily dapat melihat anak tangga dari
dasar menuju ke atas parit kastil. Emily membiarkan anak lelaki itu memulai pembicaraan.
’’Apakah kau nggak menyukai kastil?” tiba-tiba anak lelaki itu .bertanya.
”Suka, tapi sekarang aku kedinginan. Aku harus pergi.”
’’Kastil sangatlah hebat. Setiap kastil tampak berbeda. Me- reka harus terns mengubah
desainnya, kau tahu, kan, karena adanya perkembangan militer. Tentu saja, yang satu
ini adalah kastil yang paling awal.”
’’Benarkah?” Emily bergeser dari kaki yang satu ke kaki lain, tapi sepertinya tidak sopan
untuk pergi sementara anak lelaki itu berbicara panjang lebar dengan cara yang tidak
menarik.
’’Bisa diketahui hanya dengan melihat menara kastilnya. Di kemudian hari, mereka
menganggap menara itu tidaklah begitu penting. Menara itu tangguh, tapi terlalu sesak.
Dan jika ada bagian kastil di sudut yang berbentuk persegi, mereka akan menyerangnya
dari bawah. Tahu kan, menggunakan terowong- an.”
’’Kastil ini nggak seperti itu,” ujar Emily, merasakan kebangga- an penduduk setempat.
”Aku tahu. Lihatlah dinding bagian luamya. Seseorang te- lah menghancurkannya.
Siapa yang melakukannya?” Ia lang- sung bertanya, mengharap sebuah jawaban.
’’Entah.”
”Oh,” anak lelaki itu berkata dengan nada kecewa yang sedikit mengganggu Emily.
’’Beberapa pasukan memiliki mesin tempur yang hebat,” lanjutnya. ’Tapi temboknya kan
nggak selalu harus dihancurkan. Kau tahu mengenai orang Mongolia?
19

Mereka menyerbu kastil-kastil orang Kristen. Di Turki, se- pertinya. Mereka tidak dapat
masuk. Jadi tahukah kau apa yang mereka lakukanT
Tidak."
"Mereka mengambil mayat prajurit Mongolia yang mati karena wabah penyakir. Tubuh
mereka dipenuhi bisul-bisul hitam. Orang-orang Mongolia itu menanti sampai bisulnya
benar-benar parah, siap untuk meletus—”
la berhenti sesaat, seolah berharap Emily akan mengatakan sesuaru. Emily diam saja.
”—kemudian mereka melontarkan mayat-mayat itu me- lewari tembok, masuk ke
tengah kota. Tidak lama kemudian musuh pun mulai terkena wabah penyakit, yang
segera me- nyebar, dan mereka terperangkap di sana bersama wabah. Tidak dapat
melankan diri. Banyak dari mereka yang mati. Kemudian orang-orang Mongolia pun
meninggalkan mereka. Mereka nggak bisa masuk ke dalam kastil, tapi siapa peduli?
Mereka sudah berhasil membalas dendam dengan cara yang mengerikan!"
"Curang!” Emily merengutkan wajah untuk membuktikan keberatannya. la terkesan.
Anak lelaki itu menyeringai.
"Dan ketika orang-orang Kristen yang selamat kembali ke Eropa, mereka juga
membawa wabah penyakit itu. Begitulah cara wabah penyakit tiba di sini. Menyebar ke
mana-mana. Semua karena perang yang berkepanjangan.”
"Bagaimana kau bisa tahu hal itu?” tanya Emily.
"Membacanya di suatu tempat.” Ia melemparkan bola lagi. Bolanya perlahan
membentur salju. "Kau nggak suka mem- bacar
"Yeah, tapi bukan topik-topik seperti itu.”
20

”Kau harusnya mencari tahu mengenainya. Aku punya ingatan yang baik tentang hal-
hal seperti itu.”
Emily mengangkat bahu. Angin menderu kencang, dan bahkan di dasar parit kastil
yang terlindung, ia bisa merasakan angin menembus pakaiannya. ”Yah,” akhimya ia
berkata, ”Aku mau pulang. Lagi pula kita seharusnya nggak berada di sini.” ”Itu bagian
dari bersenang-senang, bukan?” Anak lelaki itu menilainya dengan meliriknya sekilas.
”Hei, sebelum pergi, bagaimana kalau kau melempar bola salju bersamaku ? Kau akan
merasa hangat nanti. Kau bisa menjadi pihak yang ber- tahan. Atau yang menyerang,
jika kau mau, meski lebih mu- dah jadi yang bertahan. Kau boleh berada di atas sana,
dekat lubang itu—”
”Ttdak, terima kasih. Aku sudah bosan bermain bola salju hari ini.”
Anak lelaki itu kelihatan sangat kecewa. "Terserah. Pasti menyenangkan, aku berani
bertaruh. Kau bisa berpura-pura melemparkan minyak panas padaku—tahu kan, ambil
se- genggam penuh salju dan lemparkan! Kalau aku kena lempar- anmu berarti kau
menang. Kemudian kita bertukar tempat.” Emily mempertimbangkannya. Ia benar-benar
tidak ingin melakukan pertarungan bola salju lagi, meskipun demikian, semangat anak
lelaki itu menular padanya. Kelihatannya ini lebih baik daripada menyelinap pulang
sendirian. Lagi pula, melempari anak lelaki itu dengan salju adalah kesempatan baik
untuk melepaskan kemarahannya yang tertahan.
’’Siapa namamu?” tanyanya.
’’Marcus. Namamu?”
’’Em. Jadi, bagaimana aku harus memulainya?”
Wajah anak lelaki itu menjadi cerah. ’’Bagus! Yeah, sedikit
21

curam di sint, tapi ada bebetapa anak tangga di sebelah sana. Begitulah caraku tururt”
Emily mengemtkan dahi, "Aku nggak mau lewat situ. Aku alcan memanjatnya.”
Tapi Emily belum lagi bcrjalan melewatt lereng ketika men- dengar langkah kaki
memecah salju di belakangnya. Ia merosot ke bawah dan mcngaman. Seotang anak lelaki
sedang berjalan mendckati dasar pant kastil.
Emily menytpitkan mata. Tcmyata Simon Allen, dan Simon membawa topinya.
la berbalik unruk berhadapan dengan Simon, menatapnya dengan pandangan dingm.
Kedua lengannya terasa kaku di sisi tubuh. Wajah anak lelaki ltu merah dan gelisah. Ia
berhenti di depan Emily dan berdiri di sana, menatap lekat-lekat tumpukan salju yang
membosankan di dekat kakinya. Emily tidak berkata apa-apa. la bisa melihat Marcus
memperhatikan merelca bergantian.
Simon Allen menyorongkan topinya. Emily melangkah dan mengambilnya, hampir
merenggutnya dari tangan Simon. Ia tidak langsung mengenakannya, tapi
mengembalikan kedua lengan ke samping tubuh dan memaksa diri untuk menatap wajah
Simon.
Seperti saudara-saudara lelakinya, Simon bertubuh besar, tingginya hampir menyamai
lelaki dewasa, walaupun ia hanya satu tahun lebih tua daripada Emily. Tidak seperti
saudara le- lakinya, berat badannya belum berlebihan—ia masih cukup langsing. Lengan
dan kakinya terlihat sedikit janggal, sedikit terlalu panjang untuknya. Rambumya seperti
wama pasir, cokelat kekumngan dan dipotong pendek, wajahnya merah berbindk-bintik,
dan matanya bim. Mulutnya sedikit terbuka
22

ketika ia berusaha keras untuk mengatakan sesuatu. Emily me- nunggu, menatapnya.
Akhimya mulutnya terbuka lebar. ”Aku menemukannya," katanya. ”Aku—kupikir topi
itu milikmu.”
'Topi ini memang milikku,” ujar Emily. ’’Makanya aku ambil. Aku bukan pencuri.” Ia
sengaja berhenti berbicara. ’Tidak seperti orang-orang tertentu.”
Wajah anak lelaki itu memerah dan ia mengepalkan tinju- nya. ”Apa maksudmu?”
Emily menyeringai. ”Aku nggak melihat abangmu tadi. Ia sedang menikmati hari
Natalnya, bukan?”
"Kurang ajar kau—tarik kembali kata-katamu tadi!” ’’Enyahlah.”
Simon Allen bergerak maju. Emily tersenyum mengejek, meski hatinya takut-. ’’Benar
sekali. Memukul anak perempuan. Dua kali di pagi hari, hebat sekali.”
Anak lelaki itu menghentikan langkah, mulutnya merengut penuh kemarahan.
’’Dengarkan aku, anak kurang ajar,” kata¬nya, ”Aku datang menemuimu, untuk minta
maaf dan me- ngembalikan topimu—”
”Hmm, mengapa kau nggak melakukannya?”
”Apa?”
’’Minta maaf, Bodoh.”
”Aku—aku ...” Anak lelaki itu terlihat bimbang di antara kebingungan luar biasa dan
kemarahan yang tidak bisa diucap- kan. Saat ia berdiri sambil menggerutu, Marcus
bertanya, ”Apa yang sudah dilakukannya?”
’’Melemparkan bola salju padaku. Sakit sekali.”
Simon Allen menatapnya.”Aku sama sekali nggak me- lemparkan bola salju. Anak-anak
lain yang melakukannya.”
23

"OK, iya deh, kau memang nggak melakukannya.” "Memang nggak! Yah, aku memang
melempamya sekali, tapi meleset. Carl yang paling sering melemparmu.”
"Jadi kau penembak yang payah. Di situlah perbedaannya." "Begini," ujar Marcus,
menyela pada saat Simon baru saja akan meledak marah, "Aku punya saran. Bagaimana
kalau ia minta maaf padamu dan kau menerimanya, dan kemudian kalian berdua tutup
mulut? Jadi kita dapat bertarung secara add. Sepern yang tadi akan kira mainkan, tapi
dengan dua penyerang—menurutku akan lebih mudah untuk pihak yang bertahan. Dua
penyerang akan menyeimbangkan permain- annya. Bagaimana kalau ia yang bertahan
dan kita menyerang? Akan lebih adil. Jadi kalian berdua punya kesempatan untuk balas
dendam.”
Emily dan Simon Allen menatap Marcus, bengong. Emily sangat terkejut dengan
perkataan Marcus hingga sudah ke- hilangan arah pembicaraan mereka. Hal terakhir di
dunia ini yang ia inginkan adalah berurusan dengan Simon, namun ke- tika berusaha
mengatakan keberatannya, ia merasa akan ter- kesan picik dan bodoh. Hal yang sama
pun terjadi pada Simon, la batuk dan kembali menatap salju di bawahnya. "Yah,”
gumamnya, "aku minta maaf soal bola salju itu.” "...Baiklah.” Emily hampir saja tidak
sanggup mengatakan- nya.
Marcus menyeringai. "Hebat! Kita bisa mulai bermain se- karang. Kalian naik ke atas
lereng, Sobat, dan—” Tiba-tiba ia berhenti. "Rombongan siapa ini? Sukarelawan lagi?”
Emily mengamati, hatinya kecut. Lima sosok, lima wajah penuh seringai berjalan
mendekati dasar parit kastil. Katie Fem, Deidre Pollard, dan tiga bersaudara Allen.
!4

"Parit kastil ini seperti jalan bebas hambatan,” ujar Marcus. Saudara lelakinya yang
bertubuh paling besar berkata, ’’Kami kehilangan kau, Si,” katanya. ’’Sedikit khawatir.
Nggak tahu tadi kau pergi ke mana.”
”Yah, sekarang kalian sudah menemukanku,” kata Simon sebal. "Nggak banyak yang
dapat dilihat, kan 7’
”Apa yang kaulakukan di bawah sini? Mencari teman baru?”
"Sudahlah, Carl.” Suara Simon terdengar sangat lelah. ’’Mungkin kami nggak cukup
baik untukmu?”
’’Sudahlah. Aku nggak melakukan apa pun.”
Katie Fern menunjuk kereta luncur Emily. ”Ia tadinya akan berkereta luncur,” katanya.
Carl bersiul. ’’Menggunakan benda itu?”
”Tidak, aku tidak akan meluncur menggunakannya.”
’’Kereta luncur mainan,” ujar Carl. Ia tertawa, memicu suara cekikikan yang menggema
dari dua anak perempuan.
’’Memangnya kereta luncur kita kenapa?” Carl bertanya pada Simon.
"Nggak kenapa-kenapa.”
"Sepengetahuanmu sih, begitu. Baru saja pantat Deirdre me- rusaknya.” Suara
cekikikan lagi. 'Tapi bukan itu masalahnya,” lanjut Carl, mendekati Simon. ”Ini—apa yang
kaulakukan dengan anak perempuan sok gaya yang kurang ajar ini?”
Emily geram. Ia menyumpahinya.
’’Memesona,” ujar satu dari tiga bersaudara itu.
’’Kotor,” Katie Fern menyetujui.
”Oh, Manis,” kata Carl. ’’Perhatikan bahasamu jika berada dekat Simon kami, Cinta. Ia
anak lelaki yang baik.”
’’Enyahlah." Emily mengambil tali kereta luncumya dan
25
berbalik, tapt Carl menghalangi dengan lengannya yang besar.
"Tunggu,” katanya. ”Aku ingin iihat apa bagusnya benda ini." la merenggut tali dari
tangan Emily dan duduk di atas kereta luncur. Terdengar suara berderak. Dua anak
perempuan memekik kegirangan.
Scpercik kemarahan menembus Emily seperti muatan listrik. Sebelum sadar apa yang
sedang dilakukannya, ia sudah melompat dan menendang kuat-kuat tulang kering Carl
Allen. Carl bertenak kesakitan dan terjatuh, sambil mencengkeram kakinya. Satu dari ciga
bersaudara maju dan menyerang dengan tinjunya. Dalam keadaan setengah sadar Emily
terjatuh ke atas salju. Anak lelaki itu melangkahinya, mengangkat sepatu bot- nya—Oh
Tuhan, ia akan menendangnya!—kemudian Emily melihat Simon menerjang saudaranya
dari samping dan me- nyeretnya ke samping kereta luncur. Emily berusaha bangkit.
Simon dan saudaranya berkelahi, Simon bam saja mendaratkan tonjokan, Carl Allen
masih saja memegangi tulang keringnya yang terasa nyeri, saudaranya yang lain
melangkah maju—dan tiba-tiba Katie Fem menindihnya, memukul dengan kedua
tinjunya.
Seketika mereka bergulat dan Katie Fem menjambak ram- but Emily, Emily balas
menjambak. Dalam kesakitan dan ke- putusasaan ia menendang pergelangan kaki Katie
dan men- dorongnya dengan kejam. Katie roboh sambil mengaduh dan jatuh terlentang.
Emily menatap sekelilingnya. Simon sudah bangkit lagi menghindari kedua
saudaranya, tapi ia kehabisan waktu. Carl bangkit perlahan-lahan, mendorong
saudaranya ke samping, meraih Simon, lalu memukulnya kuat-kuat. Simon terjatuh.
26

Carl mengangkat tinjunya lagi. Tiba-tiba sesuatu yang tidak diharapkan terjadi.
Entah dari mana, peluru dengan kecepatan tinggi muncul. Bertubmkan dengan Carl.
Peluru itu berbentuk sosok tinggi kurus yang melingkarkan lengan pada leher Carl dan
me- muntimya ke belakang kuat-kuat sampai Carl kehilangan kese- imbangan dan
ambruk ke tanah. Marcus duduk di sebelahnya, menatapnya seakan kebingungan.
’’Hebat, Marcus!” teriak Emily, kemudian—”Awas!”
Carl Allen memukul Marcus keras-keras di wajahnya. Marcus roboh ke atas salju. Carl
mengangkat kakinya dan me- nendangnya sekali, kemudian, dengan hati-hati memijit
leher- nya, berbalik dan mulai berjalan terhuyung-huyung di se- panjang dasar parit
kastil.
Mundumya Carl adalah tanda berakhimya pertarungan itu. Yang lain mengikuti jejak
pemimpinnya, Katie Fem membe- lalak jahat pada Emily seperti yang pemah
dilakukannya dulu. Deirdre Pollard, yang menyaksikan pertempuran itu sebagai penonton
yang paling keras berteriak, memantatinya.
’’Menyerah?” Terengah-engah Simon berseru pada mereka.
Saudaranya menoleh, ’’Kami tunggu kau di rumah.”
Satu per satu mereka hilang di tikungan parit kastil. Suara batuk dan kaki mereka yang
diseret menghilang perlahan. Tiga orang tersisa di medan perang, merawat luka-luka
mereka.
27

SlMON Allen memperlambat langkah dan menggosok rahang- nya. Ia menatap Emily.
"Kau baik-baik saja?”
"Yeah.” la merasa seolah banyak rambutnya yang tercabut dari akar. ”Baik.” Ia
menarik napas dalam-dalam. ”Terima kasih sudah menolongku.”
"Nggak masalah. Kau mengalahkan Katie, aku lihat.” "Yeah.”
"Bagus. la anak perempuan bodoh yang kurang ajar. Dan kaki Carl akan terasa sakit
untuk sementara waktu. Bagus juga.”
Ada erangan kesakitan di samping mereka. Marcus duduk di atas salju. Sedikit darah
mengalir dari lubang hidungnya. Simon berjongkok di sebelahnya. ”Apa kau baik-baik
saja?” ’’Mnngh.”
”Aku minta maaf... Abangku—hebat sekali saat kau me- nyerbunya. Ia tidak menyadari
apa yang menerjangnya.” Marcus bangkit dengan bertopang pada satu siku dan
meng¬gosok pipinya. ”Aku pun begitu,” ujamya dengan suara le- mah.
28

”Maaf.” Simon menatap Emily. ”Tadi hebat sekali, eh? Kau memberi Carl pelajaran.”
”Ia menjatuhkan ini.” Emily memegang sebuah botol kuningan dengan panel mengilap
di sisinya. Cairan berwama kekuningan tumpah dari dalam botol.
”Oh, itu punyaku.” Marcus mengulurkan tangan. ”Akan sangat berguna bagiku
sekarang.” Ia mengambil botol itu dari Emily, membuka tutupnya, dan minum seteguk.
Kemudian ia mengulurkan tangannya lagi. ’’Minumlah.”
”Apa itu?” tanya Simon.
”Wiski, kau pikir apa?”
”Aku tidak—” Emily memulai, tapi Simon sudah meng- ambil botolnya. Saat ia minum,
ia batuk sebentar lalu memberi' kannya pada Emily. Emily terdiam.
’’Ayolah,” ujar Marcus. ’’Wiski nggak akan membunuhmu.” Emily mengambil botol dan
mendekatkan ke bibimya. Wiski menyengat mulut, memenuhinya dengan rasa panas
membakar dan aroma lumut yang kuat. Buru-buru ia menelannya, gemetar, dan suaranya
jadi parau. Simon menyeringai. ’’Nggak suka? Wiskinya sedikit keras.”
’’Kualitas terbaik,” ujar Marcus. ’’Bell’s. Membuat hidungku nggak tersumbat.”
Ia meneguk lagi dan menyimpan botol itu dalam kantong- nya.
’’Dari mana kau mendapatkan minuman itu?” tanya Simon. "Nggak mungkin kau
membelinya.”
Marcus mengangkat bahu. ’’Dari ayahku.”
”Apa ia nggak akan mengulitimu?”
"Ia nggak akan memperhatikannya.”
Emily menghapus air mata terakhir dari matanya. ”Kau
29

sebaiknya berdiri dan jangan duduk di salju,” katanya. ”Kau muiai basah."
Marcus berdiri dan muiai membersihkan salju yang me- nempel penuh semangat.
Emily melihat jam tangannya.
”Aku harus pergi,” ujamya.
"Aku tadinya mau melihat apa yang ada di dalam kastil,” kata Marcus. "Kalian berdua
mau nggak, menemaniku?”
"Kau nggak bisa pergi ke sana,” ujar Emily. "Kastil ditutup. Seiama musim dingin ridak
dibuka."
”Apa? Kau nggak bisa masuk?”
"Tidak. Semuanya dikunci.”
"Wow, hebat,” ujamya tiba-tiba. "Maksudmu bangunan kastilnya utuhT
"Tidak,” bantah Simon. "Sudah rusak. Nggak ada yang ting- gal di sana.”
"Dindingnya masih ada empat, jika itu maksudmu,” jawab Emily.
"Atapnya sudah runtuh,” lanjut Simon. ’Tempat yang kotor. Penuh sarang burung.”
Marcus sepertinya tidak peduli. ’’Ada kastil di dekat tempat tinggalku,” katanya. "Aku
biasa pergi ke sana setiap waktu untuk membaca atau semacamnya. Letaknya di atas
tan ah pe- kuburan, masih ada sisa dinding dengan beberapa jendela dan pemandangan
yang bagus dari atas. Saat masih kecil aku sangat menyukainya. Kupikir kastil itu yang
terbaik, dan aku adalah rajanya. Sekarang tidak lagi. Tidak banyak yang tersisa dari kastil
itu—kau nggak bisa lagi berkhayal dengan baik di sana.” Ia mengusap hidung dengan
tisu. ’Tapi tempat ini,” lanjumya, "benar-benar nyata. Kalian pasti sering datang ke sini.”
’Tidak,” kata Emily.

”Tiga setengah poundsterling,” ujar Simon.


Marcus mengerutkan dahi. ”Apa?”
’Tiga setengah pounds. Itu biaya masuk kastil saat buka. Tiga setengah pounds untuk
melihat beberapa dinding batu dan kotoran burung di sepatumu. Nggak ada yang benar-
benar mengantre untuk masuk.”
"Aku pemah sekali,” ujar Emily, tertawa. "Sebelum pindah ke sini. Lumayan juga, kok.”
’’Lumayan?” Marcus berteriak. Ia kelihatan hampir marah. ’’Kalian tidak tahu betapa
beruntungnya kalian! Kalau aku tinggal di dekat sini, aku akan datang setiap hari.”
Simon mengangkat bahu. "Silakan saja kau datang sendiri. Jadi—” Katanya pada Emily,
”Kau mau pergi sekarang?”
"Sepertinya.”
Simon mendorong kereta luncur Emily dengan tumit sepatu botnya. "Menurutku, Carl
nggak terlalu parah merusaknya. Kita masih bisa berseluncur, kalau mau. Aku nggak
buru-buru ingin pulang.”
Emily ragu-ragu. Ia masih sedikit ingat serangan pertama, dengan Simon di tengah
mereka yang mengejeknya. Kemudian ia memikirkan sore yang panjang, duduk tenang
di sebelah orangtuanya, menonton televisi dan makan kacang yang mem- buat
tenggorokannya gatal, dan ia bersyukur atas tawaran Simon.
’’Ayolah,” katanya. ’’Bagaimana dengan kau, Marcus?”
Marcus sudah berpindah tempat sedikit jauh, menendang- nendang salju di antara
sepatunya. Alisnya berkerut, ia tidak menatap mereka. "Tidak,” jawabnya. ”Aku sudah
bilang. Aku akan pergi mengelilingi kastil.” Tanpa banyak bicara lagi, ia melangkah gontai
menyusuri parit kastil, ia memasukkan ta-
31

ngannya dalam-dalam Ice kantong, kepalanya menunduk, bahu- nya yang kurus
diangkat tinggi.
Simon mengawasmya pergi. "Menurutku ia anak yang aneh,” ujamya.
”la anak yang baik. Tadi ia menolongmu.”
"Yeah. Sepertmya.”
Di luar dugaan Emily, berseluncur dengan Simon benar-benar menyenangkan. Untuk
mendapatkan kecepatan ekstra, mereka bergantian mendorong kereta luncur di jalumya
sampai ke tebing. Simon mendorong dengan sangat cepat hingga Emily merasa dirinya
akan jatuh saat bergerak di atas tebing. Ia juga temyata lebih cerdas daripada
penampilannya dan dapat me- narik kereta luncur menaiki lereng tanpa kesulitan.
Setelah setengah jam, salju di lereng di bawah dipenuhi jejak kereta luncur. Mereka
tertegun dan mengamati langit yang mulai gelap. Mengamati a wan gelap yang
menggantung di atas Castle Field, dan butiran salju pun mulai turun.
’’Salju mulai turun,” ujar Simon. ”Kita sudahi saja seka- rang?”
’’lya. Aku kedinginan.”
Bersama-sama mereka meninggalkan dasar parit kasil me- nuju anak tangga yang
membawa mereka mendekati jembatan. Mereka berjalan dalam keheningan yang
selanjutnya berkem- bang menjadi canggung. Emily mencari bahan pembicaraan.
’Terima kasih sudah membawakan topiku,” akhimya ia ber- kata.
Simon mengangguk. ’’Nggak masalah.” Hening lagi.
”Kau nggak perlu repot-repot sebenamya.”
32

Hening. Emily kehabisan ide. Mereka berjalan beberapa langkah lagi.


la mencoba lagi. ”Jadi, kau punya empat saudara lelaki, kan?”
Simon mengangguk. ’’Yeah. Dan saudara perempuan, Pauline.”
”Kau yang termuda, ya?”
’’Yeah, Mark yang tertua, dua puluh tiga tahun.”
”Ia yang—” Emily tidak jadi melanjutkan.
”Ia yang dipenjara, kalau itu maksudmu.” Nada suaranya datar, netral. Mungkin ia
tidak suka membicarakan hal itu. Emily sendiri tidak akan suka seandainya ia jadi Simon.
”Aku ingin punya saudara lelaki,” katanya.
Simon menatap tajam padanya, mungkin mengira-ngira apakah Emily sedang
menyindimya. ”Kau yakin?” katanya. ”Kau lihat sendiri mereka seperti apa. Memukuliku
sepanjang waktu, karena aku anak paling kecil. Aku berharap punya adik. Jadi aku sekali-
kali bisa memukuli orang lain.”
’’Bagaimana dengan saudara perempuanmu?”
’’Saudara peretnpuanku? Ia yang paling payah di antara kami semua! Kucing betina
jahat. Kau nggak punya saudara lelaki, ya?”
”Tidak. Saudara perempuan juga tidak. Hanya aku, Mom, dan Dad.”
Simon mengangguk. ”Tidak sanggup membayangkannya. Pasti sepi.”
’’Sangat.”
Mereka hampir sampai di anak tangga ketika langit kelabu secara tiba-tiba dan diam-
diam melepaskan bebannya. Serpihan salju sebesar batu kerikil mulai turun, awalnya
seperti gerimis,
33

kemudian lebat, dan cahaya di sekeliling mereka mulai me- mudar. Angin yang sangat
dingin menerbangkan salju ke wajah mereka, menyengat kulit.
"Dan mana datangnya ini semua?" tanya Emily, ”Aku nggak bisa melihat apa-apa.”
"Ayo kita ke pos penjaga," teriak Simon. Emily hampir ti- dak dapat mendengamya.
Angin kencang menyerang penutup kepala jaket wol yang menucupi telinganya. Saat
menaiki anak cangga, Emily berjalan di depan, kakinya mencari tempat ber- pijak setiap
hendak melangkah. Di sebelah kirinya, ada saluran air seperti sumur yang tidak terlalu
dalam, berisi salju dan kotoran.
Pada anak tangga ke dua puluh satu, dinding batu kelabu pos penjaga mulai tampak
di samping. Pada anak tangga ke dua puluh empat, Emily riba di atas jembatan kayu,
dibangun melintasi pant kasril oleh perusahaan yang menjaga kelestarian bangunan
kuno. Kayunya yang berbentuk segi empat berwama kekuningan, tertutup salju setebal
beberapa inci. Reruntuhan kubah pos penjaga ada di sebelah kanan Emily, dan ia cepat'
cepat melompat masuk. Di baliknya, menembus rirai salju yang menggunung, ia sekilas
melihat bayangan besar menara yang ada di kasril itu.
Bibir Simon biru karena kedinginan. ”Ayo,” katanya. "Ruang- an pos penjaga akan lebih
baik daripada ini.”
Ia pergi melewati kubah dan masuk ke arah kanan. Empat anak tangga yang diselimuti
es membawanya ke pintu rendah tembok pos penjaga. Simon menghilang di kegelapan
dan riba- riba berteriak keras-keras.
"Ada apa.7” Emily berada dekat di belakangnya, jantungnya berdebar kencang.

34

"Nggak ada apa-apa.” Suara Simon terdengar jengkel. ”Ha- nya si bodoh ini.
Mengagetkanku, itu saja.”
Emily datang menghampiri, menyesuaikan penglihatannya di ruangan yang setengah
gelap. ’’Marcus!”
’’Senangnya bertemu denganmu di sini.”
Marcus menyeringai senang pada mereka. Ia berdiri di sudut ruangan pos penjaga.
Ruangan itu kecil, lembap, hawa jahat menguar di sana, hanya diterangi cahaya dari
pintu dan celah kecil pada dinding di seberangnya. Ada semacam bilah papan yang dapat
dijadikan tempat duduk. Lantainya terbuat dari pe- cahan batu ubin besar, dipenuhi
bebatuan dan sampah.
Marcus menggosok tangannya. Kemurungannya sudah hi- lang. ’’Badai yang luar
biasa," katanya, ’’Berseluncumya menye- nangkan?”
”Iya. Bagaimana dengan kastilnya? Dikunci?”
’’Seperti yang kaukatakan. Tapi dengar, aku menemukan sesuatu yang menarik. Aku
senang bertemu dengan kalian— aku ingin—”
’’Ada yang merokok di sini,” kata Simon tiba-tiba.
’’Bukan itu saja,” ujar Emily, mengerutkan hidung. Sebuah ide menyerangnya. ”Kau
nggak berpikir ada seorang penjaga di sekitar sini, kan?”
Marcus menyeringai. ”Tidak untuk selama hampir empat ratus tahun.”
”Kau tahu maksudku. Mungkin saja ada petugas keaman- an.”
’Tidak dalam cuaca seperti ini,” kata Simon, ”Ia akan ting- gal di rumah.”
’’Apakah ada seseorang?” tanya Emily. ’’Seorang penjaga?”
’’Ada seorang pengurus. Namanya Harris. Kau pasti pemah
35

melihatnya. Lelaki berwajah merah. Tinggal di rumah di dalam hutan. Kami biasa
bersembunyi di semak-semak dan me* lempannya kerika ia berada di kebunnya.
Membnatnya meng- amuk. Ia seorang lelaki pemarah.”
”Aku juga akan marah jika kau melempariku,” ujar Marcus.
"Oh, hanya buah cemara, kastanye, dan sejenisnya. Tapi pemah sekali ia menangkap
Carl yang menyelinap lewat pintu belakang. Ia benar-benar marah. Ia menyeret Carl ke
dalam kebunnya, dan, tahu pancang untuk berkebun, lean? Yah, ia mencabut satu dari
tanah, menggantung Carl di atas pagar, lalu memukuli pantatnya.”
"Keren." Emily teikesan. "Ia melakukan hal itu pada Carl? Ia pasti sebesar Goliath.”
"Bukan, kejadiannya bertahun-tahun yang lalu. Carl belum terlalu besar. Namun
demikian, malamnya ayah kami datang dan menghajar Harris. Ia tidak menelepon polisi
atau semacam- nya, demikian ceritanya. Tapi ia memang lelaki tua yang nggak
menyenangkan.”
"Kalau begitu, jangan sampai ia menemukan kita ada di sini,” kata Emily.
"Jangan khawatir, ia pasti ada di rumah, duduk dekat per- apian.”
"Seandainya aku juga seperti itu,” ujar Emily. Ia duduk di atas bangku papan. Simon
duduk di sebelahnya.
"Aku nggak sedang buru-buru pulang ke rumah,” kata Simon dengan muram. "Carl
dan Neil pasti sedang menungguku.” Ia menghela napas.
"Apa, sih, masalah mereka?” tanya Emily kesal.
Simon tidak menjawab. Ia menendangkan kaki ke depan dan belakang. Marcus tidak
terlibat dalam percakapan itu dan
36

berdiri di atas bangku papan, menyipitkan mata, mengintip lewat celah di tembok.
Angin menyusup dari celah batu. Serpihan salju juga menerobos dari arah sana.
Simon tiba-tiba memaki. ”Aku benar-benar muak!” katanya. ”Muak dikerjain terus-
terusan. Bahkan Pauline juga begitu, meski ia hanya lebih tua satu tahun daripadaku.
Dan dia anak perempuan.”
’’Maksudmu?” kata Emily.
”Kau tahu maksudku. Ah, apa gunanya?” Simon kembali diam karena kesal.
’’Mungkin kau nggak perlu memikirkanya,” ujar Marcus. ’’Lupakan mereka. Sedikit
memberontak. Lakukan sesuatu yang berbeda, untuk mengganti suasana.”
’’Sesuatu yang berbeda? Nggak ada lagi yang bisa dilakukan. Kau sudah pemah melihat
desa ini. Ada apa di sini? Sebuah kantor pos. Toserba—hanya buka setengah hari. Kedai
minum- an yang nggak bisa aku kunjungi... Itu saja! Oh, dan bengkel, setengah mil di
jalan menuju kota. Lalu nggak ada apa-apa kecuali lapangan dan rawa hingga King’s
Lynn dan di sana juga banyak berandalan.”
”Sama juga bagiku,” ujar Emily.
’’Kukira kau menyukainya.”
’’Menurutmu begitu? Aku benar-benar bosan.”
’’Bagaimana bisa kau bosan di sini?” Marcus menghampiri dari arah celah sempit. Ia
sepertinya sudah melupakan udara dingin. ’’Lihat sekelilingmu! Tempat ini hebat.”
”Tidak,” kata Emily. ’’Sangat dingin di sini, nggak ada ca- haya, dan baunya—”
’’Yeah, tapi itu hanya permukaannya.” Marcus duduk di se- belah mereka. ’’Maksudku
selain itu semua. Aku harap kita bisa
37

menunggu di sini sampai hari gelap. Kemudian kita mungkin akan melihat sesuatu."
"Seperti apa?’
"Hantu, mungkin.”
"Yeah, yang benar saja."
"Yah, pikirkan ini..." Suara Marcus berubah menjadi seperti bistkan orang yang sedang
bersekongkol. Tanpa sadar, Emily dan Simon mcncondongkan tubuh berusaha
menangkap per- kataannya. "Ruang penjaga ini pasti berhantu. Pikirkan pe- perangan
yang pemah terjadi di balik tembok ini. Semua serangan. Pasti banyak selcaii yang sudah
terjadi. Pasukan pe- manah di sini pastilah yang terbaik. Mereka sudah membunuh
ratusan orang... memanah sampai parit kastil dipenuhi mayat. Tapi beberapa dan mereka
mungkin ada yang terbunuh di sini juga, tertembak anak panah tepat di jantung melalui
jendela- jendela ini, atau dibunuh dengan pedang ketika musuh me- nerobos masuk.
Pasti pemah terjadi. Aku bisa merasakannya.” Emily melihat sekelilingnya. Ruangan itu
dipenuhi bayang- an.
"Setelah semua itu,” lanjut Marcus, "pasti ada setidaknya satu roh kesepian yang
kembali, merintih di sekitar tempat hidupnya berakhir, dan mungkin membalas dendam
pada orang- orang yang masih hidup.”
”Aku nggak percaya adanya hantu,” ujar Emily, menyelipkan tangan kuat-kuat ke
dalam saku bajunya.
"Aku percaya," kata Marcus.
"Bagaimana bisa?’
"Aku pemah melihatnya.”
Emily mendengus. ”Kau benar-benar pembohong.”
"Nggak usah percaya kalau nggak mau. Tapi”—Marcus men-
38
I

jatuhkan diri dari bangku papan ke ubin—”itu bukanlah satu- satunya alasan untuk
bersenang-senang di sini. Aku akan me- nunjukkan sesuatu pada kalian, di atas menara
kastil.”
Emily mengayunkan kaki ke arah Marcus. ’’Jangan mengalih- kan pembicaraan! Kau
nggak bisa cukup cepat mengarang cerita, kan? Aku tahu kau belum pemah melihat
hantu.” Marcus mengangkat bahu. ”Aku akan memberitahumu jika sedang ingin
menceritakannya.suatu hari nanti. Tapi dengar, sebelum badai menerpa, aku tadi kembali
untuk menunjukkan pada kalian apa yang aku lihat di menara. Aku sulit percaya kalian
belum menyadarinya.”
”Apa?”
’’Ikuti aku dan akan kutunjukkan pada kalian.”
Simon mengerang. ’’Ceritakan saja pada kami,” gerutunya. ”Di luar sedang ada badai
salju.”
’’Saljunya sudah berhenti. Ayolah, cuma beberapa menit.” Emily berjalan menuju pintu
dan melihat keluar. Hanya beberapa serpihan salju yang melayang di udara. Angin mulai
berembus lebih perlahan.
’’Sudah berhenti,” ujamya, melihat jam tangannya. ’’Begini, aku benar-benar hams
pulang. Bisakah kau cepat-cepat me- nunjukkannya, dalam perjalanan pulang?”
’Tentu saja. Ayo—” Marcus mendorong Simon, yang jelas masih tampak enggan. ’’Pasti
berguna. Ini akan membuatmu melupakan saudara-saudara lelakimu yang bodoh.”
”Dan Pauline,” ujar Emily.
’’Baiklah.” Simon mengangkat tubuhnya untuk berdiri. ”Aku memang berutang pada
kalian tadi. Tapi sebaiknya hal ini benar-benar menarik.”
Marcus memimpin mereka berjalan keluar dan menaiki
39

anak tangga. Cahayanya lebih terang sekarang dan mereka bisa mengamati
sekeiilingnya. Untuk sesaat Marcus berhenti.
"Cepadah," ujar Simon.
"Yeah, sebentar." Marcus berdiri terpesona, menatap lurus ke depani
Kastil itu berbentuk segi empat, berdiri tegak setinggi bangunan bertingkat empat.
Terletak di tengah dataran, tanah berpagar yang ditutupi purihnya salju, dikelilingi
gundukatl tepi daiam parit kastil, Dan di sana-sini ada bentangan dinding pembatas yang
sudah runtuh. Dibangun dari batu kelabu de- ngan menara segi empat di setiap sudutnya.
Kecuali di bagiaif dasar yang leieng luamya curam, temboknya tinggi dan bersih. j Di
bagian bawah dinding tidak ada celah sama sekali kecuali bagian untuk anak panah, tapi
lebih ke atas, dekat dengaffl bagian dinding yang mulai retak, terlihat jendela kecil yang
melengkung, dipisahkan pilar yang ditumbuhi tanaman me- rambat.
”Apa kalian nggak ingin masuk ke sama?” tanya Marcus, si
"Pasta," jawab Hmily. "Tapi kan dikunci.”
"Seperti yang sudah kami katakan,” tambah Simon. .
"Haiti aku.” Marcus melangkah melintasi salju, menujsifra sudut sebelah kin kastil
"Seperti apa di daiam sanaf’ tanya' nya,
"Um, menarik,” jawab Emily. "Menarik untuk anak-anak. ] Ada tangga, lorong, dan
sejenisnya.”
"Ada penjara bawah tanabnya?”
"Um... aku lupa. Sudah lama nggak pemah masuk kel situ."
"Bagaimana dengan menara itu? Dapatkah kau memanjat- nya? Kelihatannya masih
utuh.”
40

"Sepertinya. Datanglah di rousim semi—kau bisa memanjat- nya nanti.”


’Tiga setengah pounds,” Simon mengingatkan Marcus. "Ajaklah ayah dan ibumu
sekalian.”
”Aku bisa meiakukan lebih baik daripada itu.”
Mereka meiewati sudut menara di sebelah kiri. Di baliknya ada gerbang batu
melengkung bertepian sempit, dart pilar batu pada sisi dinding; lain. Pada gerbang batu
melengkung ada dua pintu kayu besar, dipenuhi paku hitam. Lubang kunci ber- ukuran
besar, setinggi dada, ada di pegangan pintu kiri. Marcus mengintip lewat lubang kunci
itu, tapi tidak bisa melihat apa- apa.
”Ada tangga di sana,” ujar Emily; ”Ada atapnya, makanya gelap.”
Marcus mendorong; pintu, tapi kayu kokoh yang kasar itu tidak bergeser. Ia mundur
dan melihat ke atas, ’’Gaya Norman- dia,” ujamya. ”Kau bisa mengetahuinya dari
lengkungan batu- nya. Pasti sudah lama sekali.” ?;
"Apakah ini yang ingin kautunjukkan T' tanya Simon.
’’Bukan. Ayo.” Marcus bergerak di sepanjang sisi kastil. "Se-kali kau masuk ke sana,
kau bisa tahan berbulan-bulan. Kau bisa menghalangi pintu, .Mungkin menaruh palang
besi di baliknya jadi rousuh nggak bisa menghancurkarmya. Kemudian duduk tenang.
Nggak ada yang bisa meiewati tembok-tembok ini,” la raenjulurkan leher untuk melihat
batu besar yang ber-diri menjulang ke langit putih.
’’Pasukan tentara nggak perlu menghancurkan tembok-tem¬bok itu,” ujar Emily,
’’Mereka hanya perlu membuatmu mati kelaparan.”
Marcus menggelengkan kepala. ’’Kalau akan berperang,
41

mereka akan puny a persediaan makanan melimpah. Ada ban yak gudang persediaan
besar di dalam, fondasinya dalam, dan kau bisa menyimpan gartdum atau apa pun.
Bagus, gelap, dan sejuk, jadi persediaanmu akan awet. Dan kau juga me- miliki suplai air
bereih yang rerus-menerus.”
"Dari anak sungaiT tanya Simon.
"Bukan, sumur. Ada satu di gudang bawah tanah, digali menembus bebatuan menuju
sumber air. Nggak akan pemah kering. Nah, setelah ruangan ini..."
Mereka mengeliiingi menara kedua, dan sisi lain kastil terentang di depan mereka.
Setelah menyusuri sisi itu sejauh tiga perempatnya, Marcus berhenti dan menunjuk. Emily
dan Simon melihat ke atas tembok. Jelas terlihat bangunan batunya dulu pemah menjadi
sasaran pengeboman yang hebat. Bagian atasnya tidak rata, lebih rendah daripada
bagian lain kastil. Di satu tempat, celah vertikal besar melintasi separuh jalan ke bawah
tembok. Celah itu berliku-liku melewati beberapa jen- dela yang hancur dan berakhir di
sebuah lubang, agak bulat, hanya lima meter jaraknya dari tanah.
"Lihat lubang itu? Nggak terlalu tinggi tempatnya,” Marcus berkata sembari merenung.
"Memangnya kenapa?” ujar Simon.
"Lihat ke dalamnya,” lanjut Marcus. "Lihat dua batang logam yang melintasi lubang?
Menurutku di baliknya ada se¬buah lorong atau semacamnya. Ada nggak, Em? Kau
pemah masuk—kau harusnya ingat.”
Emily mengerutkan dahi. "Yeah, mungkin...” katanya ragu. "Kau bisa beijalan
berkeliling di dalam kastil, di atas semacam papan. Kenapa? Apakah itu penting?”
Mata Marcus bersinar penuh semangat. Ia menyeringai.
42

’Tergantung apakah kau mau masuk atau tidak! Periksalah dasar tembok ini.”
Mereka memeriksanya. Hampir menyamai tinggi mereka semua, tembok kastil itu
letaknya vertikal. Tapi sekitar tiga meter dari atas tanah, dindingnya menjorok secara
diagonal, menusuk tajam di sudutnya sampai ke salju. Ini berarti dasar temboknya
membentuk jalur yang sangat curam dan licin karena es.
’’Mereka melakukan ini untuk memperkuat struktur ba- ngunan,” kata Marcus, ’’untuk
berjaga-jaga kalau musuh ber- usaha menggali terowongan untuk meruntuhkan tembok.
Tapi yang penting kalau kau berhati-hati, kau dapat memanjat jalur miring yang kecil itu.
Kau sudah berada setengah jalan menuju lubang. Simon mungkin dapat mencapai lubang
dari sana jika ia meregangkan badannya. Nah, jika kalian memanjat tembok, yang nggak
akan terlalu sulit, bisa dilakukan sambil tertawa— kalian bisa menjejalkan tubuh melintasi
lubang sampai ke lorong!” ia berhenti penuh kemenangan.
’Terlalu banyak pengandaian di Sana,” ujar Simon.
”Kita nggak bisa memanjatnya,” kata Emily datar. ’Terlalu tinggi. Tapi, itu ide yang
bagus.”
'Tapi kalian mengerti maksudku, kan?” Marcus bertanya pada Simon. ’’Sebagian jalur
itu ada di bagian landai.” Tanpa peringatan, tiba-tiba ia berlari secepat mungkin pada
bagian landai di kaki dinding, melompat di atasnya dalam dua atau tiga langkah. Pada
langkah ketiga, sepatu kanvasnya tergelincir dan ia jatuh ke atas batu bersalju, kemudian
perlahan-lahan tergelincir menuruni jalur landai menuju ke bawah.
’’Hebat sekali,” kata Emily.
Marcus mengabaikannya. ’’Jalur ini sungguh licin,” katanya,
43

sainbil berusaha berdiri, ”tapi fcita bisa dengan mudah mengikis esnya. Kemudian kita
bisa memanjat sampai ke atas dasar dan mendekad lubang.”
Tidak sedekat itu,” ujar Simon. ”Kita nggak bisa men- jangkaunya, dan bahkan jika
bisa, tidak semua di antara kita sanggup memanjat naik.” Penekanannya pada kata ’’tidak
se- mua” seolah berarti dua di antara tiga.
’’Bisakah kita memanjat dindingnya ?'
Emily menatap jam tangannya. Ia tidak punya waktu untuk meladeni antusiasme gila-
gilaan Marcus. Tapi ia juga tidak nyaman memperhatikan Simon, yang bukannya
mengacuhkan kebodohan Marcus, malah mulai terpengaruh ide itu. Tantang- an yang
terkandung dalam ide Marcus seakan menarik hati Simon, la sudah mendekati lubang
dan menatap bangunan batu di baliknya.
’’Sangat terjal,” katanya. "Batu-batu di sana licin, dan batu- batu yang di sebelah sini
sudah lapuk. Kupikir aku dapat men- cari pijakan di sana. Dapatkah aku memanjat?
Mungkin. Tapi tidak tahu sampai seberapa jauh.”
”Batu-batu yang aus tepat menuju ke arah lubang,” tunjuk Marcus. ”Kau dapat
melakukannya, Simon. Dan jika kau sudah berada di dalamnya, kau dapat membantu
kami juga.”
Emily berpikir inilah saatnya untuk ikut campur. ’’Yeah, lakukanlah,” katanya. ”Kalau
ingin lehermu patah.”
"Nggak sesulit itu,” ujar Marcus. ’’Ayolah Simon, kita harus mencobanya!”
”Aku pergi sekarang,” kata Emily. ”Aku nggak ingin ada orang-orang idiot mendarat di
atasku.”
Simon diam saja. la hanya berdiri di sana, mengamati din- ding. Emily berjalan
mondar-mandir. Marcus melompat ke
44

dinding dengan sedikit tidak sabar. Akhimya, setelah satu menit penuh kebisuan,
Simon berbicara.
’Tidak,” katanya. ’’Menurutku Em benar. Aku mungkin saja bisa melakukannya, tapi
kalian akan jatuh dan mematahkan sesuatu.”
Tapi—| Marcus memulai.
’’Gagasan yang bodoh,” ujar Simon. ’’Siapa juga yang ingin masuk ke dalam kastil?
Apa yang akan kita lakukan di dalam sana? Ayolah, kita pergi.”
Marcus mengucapkan sesuatu dengan sangat perlahan dan menjauh dari dinding.
Dalam keheningan yang muram, mereka berjalan pulang. Emily yang pertama. Ia
mengelilingi sudut kastil dan berjalan mendekati lelaki yang berdiri di sana. Emily
menjerit. Lelaki itu merentangkan tangan dan menarik pe- nutup kepala mantel wol
Emily. Emily berusaha melepaskan diri, tapi lelaki itu menariknya kuat-kuat ke
hadapannya sampai kain penutup kepalanya robek.
Di belakangnya, Simon dan Marcus terpaku ketakutan.
”Kau tidak akan pergi kemana-mana!” ujar lelaki itu, mengguncang kuat penutup
kepala Emily. ”Kau pikir apa yang kaulakukan? Eh? Eh?” Setiap berseru ia
menggoncangkan tubuh Emily, membuatnya merengek ketakutan. Emily sangat takut
sehingga ia sulit untuk fokus, yang dapat ia lihat adalah sosok berambut putih, berwajah
merah padam, menatapnya dengan marah.
’’Lepaskan dia,” perintah Simon dengan suara bergetar. ”Anda tidak perlu melakukan
hal itu.”
Lelaki itu menatap Simon. ”Aku mengenalmu,” katanya. ’’Menerobos masuk lagi? Kau
harus dikurung bersama anggota keluargamu.”
45

Simon pucat pasi. la tidak berkata apa-apa.


Tangannya masih mencengkeram penutup kepala Emily, Iclaki itu mengisyaratkan
pada mereka untuk mulai berjalan menuju pos penjaga.
”Ayo jalan!” tenaknya. "Setiap musim dingin selalu sama. Kalian para berandal berpikir
kalian dapat bersenang-senang di sini, merusak baru-batu, mengisap ganja,
meninggalkan kotoran di mana-mana seolah tempat ini adalah pembuangan sampah...
Tidak, Nak, kemarilah!” panggilan ini untuk Marcus, yang diam-diam bergerak menjauhi
rute yang dituju pengawas. Langkah yang cepat ke arahnya, sentakan di kepala, dan
Marcus kembali di rute yang sama, mengelus kulit kepala sam- bil cerkaget-kaget.
'Tidak mengharapkan hal itu, bukan?” ujar si pengawas pen- dek, mundur sedikit,
supaya ia bisa menatap tiga anak yang berdiri di depannya. ”ltu yang didapat anak nakal
jika mereka menyelinap. Dan kalau mereka belum kapok, kita lihat apa yang akan
dikatakan polisi tentang hal ini. Mengerti?” la merenggut penutup kepala Emily.
"Kami tidak melakukan kejahatan,” ujar Simon. Di antara mereka, Simon-lah yang
tidak terlalu kaget dengan penangkap- an mereka. Marcus dan Emily tidak sanggup
berbicara. 'To- long, jangan memanggil polisi untuk datang kemari,” lanjutnya dengan
nada bicara yang sedih. ’’Kami tidak akan melakukan- nya lagi.”
”Sebaiknya memang kalian tidak melakukannya lagi, Nak. Karena aku akan mencari
kalian. Aku ada di sini tiap hari, paham? Hujan atau salju, aku akan menangkap kalian
jika be- rani menginjakkan kaki di sini. Lewat mana kalian—melewati pagar semak
belukar?” Ia menyentak Emily lagi. ”Hmm? Bi-
46

caralah! Kau masuk lewat pagar semak belukar itu, bukan? Eh?"
Emily mengangguk seperti orang dungu.
"Setiap tahun selalu sama. Kalian pikir berapa umur pagar semak belukar itu? Tidak,
kalian pasti tidak sempat memikir- kan hal itu, kan? Dua ratus tahun, dan kalian
bersenang- senang membuat lubang di dalamnya supaya bisa masuk dan bermain salju!
Kalian anak-anak yang tidak punya otak, dan jika aku bisa melakukan dengan caraku,
aku akan mengurung kalian untuk memberikan pelajaran yang keras. Benar, lewat sini—
” Mereka sampai di pos penjaga. ”—sekarang menuju pintu masuk gerbang. Iya, kau
tidak tahu, kan, di mana letak- nya, Nona? Tidak pemah membeli tiket masuk, eh? Terns
jalan...”
Omelan seperti ini menemani mereka ketika mereka ber- jalan dengan muram menuju
gerbang, terali besi yang bisa berputar dipasang di pagar semak belukar bersebelahan
dengan pondok kayu kecil. Si pengawas berdiri mengamati saat mereka buru-buru
melewati pintu terali besi, mendengar pintu dikunci lagi di belakang mereka.
"Bagus,” katanya, menatap mereka lewat jeruji sempit. "Kali ini kalian dibebaskan.
Sekarang, pergilah. Aku sudah memberi- tahu kalian apa yang akan kulakukan jika aku
melihat kalian datang ke sini lagi—”
Tapi, ketiga anak itu sudah berlari menjauh darinya secepat mungkin, melewati jalan
di pinggir pagar semak belukar yang membeku. Jalanan terasa begitu tebal dilapisi es
beku dan se- telah beberapa langkah, Emily terpeleset, kehilangan kese- imbangan, dan
terjatuh, mendarat keras di atas satu siku. Ter- dengar suara tawa keras si pengawas
dari pintu gerbang. Tanpa
47

bersuara, Simon dan Marcus menolongnya berdiri. Mereka me- lanjuckan perjalanan.
Akhimya Simon menoleh ke belakang mereka. ”Ia sudah menghilang,” katanya,
berhenti di jalanan. ’’Bajingan."
"Orang yang menyebalkan,” ujar Marcus.
"Alangkah kejamhya lelaki itu.”
"Memperlakukan idea seperti pembuat onar, seperti berandal- an.”
"Kalau saja aku lebih besar, aku akan memberinya pelajar- an.”
"Seperti orang bodoh—memangnya kita seperti anak-anak yang suka merusak."
”Biar ia tahu rasa.”
"Orang yang kasar.”
Simon menatap Marcus. "Kau masih punya wiski itu?” ta- nyanya.
”Aku meminumnya sampai habis.”
"Oh.”
Emily diam saja. Pertemuan yang mengejutkan tadi masih memengaruhmya. Ia
mendengus.
"Hei, jangan mengkhawatirkan lelaki itu, Em,” kata Simon. "Ia bisanya hanya
mengancam saja.”
’’Yeah.” katanya pelan.
’’Apakah kau khawatir ia akan mengadukanmu pada ayah- mu?”
la mengerutkan dahi. "Tidak!” Kata-katanya terdengar lebih tajam daripada yang ia
maksudkan. ’’Bukan itu. Hanya saja... ia begitu mengerikan.”
"Lupakan. Ia bukan siapa-siapa.”
48
’’Yeah. Tapi ia menang, lean? Kita semua berdiri di sana dan mengakui
kemenangannya.” Ketakutannya berubah dan mengeras jadi kemarahan. ”Kita semua
berbaris, taat, dan ben jalan di depannya seperti anak-anak yang baik. Dan ia me- nang,
dengan mudah. Seperti saudaramu. Ia memukuli kita dan menang juga.”
’’Carl tidak menang! Marcus membuatnya kelihatan seperti orang bodoh di depan
gadis-gadis itu.”
’’Dengan mengorbankan hidungku,” ujar Marcus.
”Rasanya tidak seperti kemenangan,” kata Emily. ”Ya sudah- lah, kita diusir dan nggak
banyak yang dapat kita lakukan, bukan?” Ia menendangkan sepatu pada tepi sungai yang
ber- salju di perbatasan jalan.
’’Carl tidak menang,” gumam Simon.
”Yah, menurutku kita harus melakukan sesuatu,” kata Marcus.
’’Seperti apa?” Simon menatapnya. ”Aku hanya akan di- pukuli lagi. Aku sudah
memesan satu tendangan untuk diriku malam ini.”
”Aku tidak membicarakan soal Carl. Kastil. Si pengawas yang menyebalkan. Jadi,
memangnya kenapa kalau ia menang kali ini? Kau terlalu mengalah, Em. Dipukuli oleh
musuh bu- kanlah hal yang memalukan. Dalam setiap pertempuran se- muanya sama.
Pihak yang bertahan akan melawan dengan serangan mendadak, membuat mereka yang
menyerang kabur, membunuh beberapa orang—kemudian, ketika mereka tidak dapat
meruntuhkan pertahanan musuh, mereka harus segera kembali ke dalam kastil dan
bersembunyi seperti semula. Dan mereka akan menghentikan serangan. Permainan yang
mem- butuhkan kesabaran.”
49

"Apa, permainan kartuT' Emily menyeringai lemah, mem- benci dirinya.


Marcus bertenak kesal, ”Kau tahu, lean! Maksudku, permain- an strategi. Sanaa seperti
posisi kita sekarang.”
"]adi, kita akan masuk ke sana Iagi, dan cepat atau lambat La akan menemukan kita
dan mengusir kita sekali lagi! Apa tujuannya?”
"la nggak akan menemukan kita—” ujar Marcus,”—kalau kita ada di da lam kastil.”
Suasana hening.
"Tapi kita lean sudah bilang—” Emily memulai.
”Aku tahu apa kita katakan. Tapi itu tadi. Dan Simon tahu kita dapat melakukannya.”
Emily menatap Simon. Ia diam saja.
"Pikirlcan hal itu. Kita akan berada di dalam, mengawasinya betjalan menerobos salju
mencari kita. Ia nggak pemah me- medulikan kastil. Pikirkan betapa asyiknya hal itu.”
Emily berpikir. Sepertinya memang asyik.
"Menuiutku, aku dapat masuk ke sana,” ujar Simon. ”Dan jika aku punya tali, mungkin
kau juga bisa. Aku bisa mendapat- lean semuanya. Ayahku punya beberapa di gudang."
"Hebat!" Marcus bertepuk tangan. "Akhimya man tap su- dah! Kita akan memulihkan
kehormatan diri. Besok?”
Setelah beberapa saat, Simon mengangguk, ”Oke,” jawabnya perlahan. "Kalau Em
mau ikut.”
Mereka menatapnya. Emily mengingat wajah kelabu di- penuhi kemarahan, sentakan
berulang-ulang pada penutup ke- palanya. Lehemya terasa sakit.
”Aku ikut,” ujamya.
Marcus nyengir. "Jadi, pukul berapa?”
50

’’Harus setelah tnakan siang,” jawab Emily. ’’Pukul dua. Ada bibiku yang datang
berkunjung sampai waktu makan siang. Bagaimana dengan kau, Simon?”
’’Pukul dua. Kalau aku masih hidup.” Ia menggamk dagunya penuh rasa sesal.
’’Marcus?”
’’Pukul berapa saja oke.”
”Apa orangtuamu nggak menginginkan kehadiranmu untuk melakukan sesuatu?”
’Tidak. Yah, sepedaku disimpan di jalan ini. Aku akan me- nemui kalian di sini pukul
dua. Selamat bersenang-senang dengan bibimu. Selamat menendang.” Ia tiba-tiba
berbalik dan pergi, menyusuri pagar semak belukar. Emily dan Simon meng- awasinya
pergi.
”Ia anak yang aneh, tahu,” kata Simon.
’’Sepedaku disimpan di jalan itu juga,” kata Emily akhimya. ’’Apakah kau akan baik-
baik saja?”
”Oh, yeah, aku akan baik-baik saja.”
’’Besok...”
’’Kita akan coba. Kalau sulit, kita akan menyerah. Seperti kata Marcus.”
’’Sampai bertemu besok kalau begitu.”
”Yqah.”
Simon melangkah pelan menuruni jalanan. Emily pergi ke arah yang berlawanan. Ia
sangat terlambat.
51

PEKANGKAPAN

3
PAD A pukul setengah tiga, Emily tiba di jalan kecil, gelisah setelah acara makan siang
yang panjang dan ucapan selamat tinggal yang tidak habis-habisnya. Ia sedang
bersemangat, gugup, dan terlambat. Ketika keluar dari pepohonan di bawah langit
kelabu, ia melihat Simon dan Marcus sedang menunggu- nya di dekat tempat mereka
berpisah kemarin. Mereka berdua berdiri canggung dalam diam, Simon menggendong
ransel besar di atas satu bahunya, Marcus merokok. Marcus terbatuk-batuk saat
mendekat, terlihat sakit dan wajahnya pucat, tapi ketika ia melihat mata Emily yang
menyiratkan ketidaksetujuan, ia mengisap rokoknya. Ujung rokoknya menyala merah,
kemudian matL
"Kupikir aku ingin mencobanya,” katanya menantang.
’’Lanjutkan saja,” ujar Emily. ’’Kalau mau bunuh diri.”
”Iya.” Berhenti sejenak. Emily melihat ke arah Simon. Simon mengangguk,
menyambutnya.
"Menurutku, kau nggak pemah merokok,” kata Marcus.
"Nggak.”
55

”Apa, nggak pemah sama sekali?”


"Nggok.”
"Yang benar. Kau pasti pemah mencobanya. Ah, wajahnwsi raemerah.”
"Wajahku nggak raemerah. Diamlah.”
”Aku bawa tali,” ujar Simon.
"Hm, berani bertaruh, Simon pasti pemah merokok,” lanjut Marcus. "Kau pemah, kan?”
Simon mengabaikannya. "Alai mengambilnya dari gudang. ayahku. Duiu biasa
digunakan untuk mobil trailemya. Menurut- ku talinya cukup panjang.”
la membuka bagian atas ransel dan membiarkannya terbuka agar Emily bisa melihat
isinya. Ranselnya dipenuhi tali kasarj berwama coklat
’’Seperti tali yang ada di sekolah,” ujar Emily.
"Yeah, tapi lebih tipis. Bisakah kau menggunakaimya untuk memanjatr
"Sepertkiya bisa.”
"Bagaimana denganmu?” Simon mengulurkan ranselnya ke-1 pada Marcus. ”Kau bisa
menggunakannya untuk memanjaid Nggak ada gunanya kami memanjat kalau kau nggak
bisa.” 4
Rokok Marcus terbakar habis sampai ke ujungnya. Ia me^l lemparkannya ke salju dan
menginjaknya. ”Tentu saja. Manafl mungkin kusarankan begitu kalau nggak bisa, kan?
Sebaiknya J kiita cepat-cepat menyelesaikannya. Beberapa jam lagi hard sudah gelap.”
"Apakah kalian melihatnya? Harris, maksudku.” Emily mengfl amati bayangan pagar
semak belukar di samping mereka.
”Aku tahu siapa yang kaumaksud,” ujar Simon kesal. Jelas
56

sekali ia sama gugupnya dengan Emily. "Tidak, kita belum me- lewati pagar semak
belukar. Kita harus berhati-hati.”
"Di mana kita akan masuk.7”
"Lebih jauh sedikit. Tempat pagar semak belukar berada paling dekat dengan parit
kastil. Kalau ketahuan, kita nggak harus berlari terlaiu japh-”..
Simon mengencangkan: tali ransel dan menyandangkannya di bahu. Kemudian
mereka bertiga berjalan di sepanjang pagar semak belukar. Ketika mereka tiba di pintu
gerbang masuk, mereka menyelinap satu per satu melalui celahnya, terns me- nunduk,
mengawasi salju di balik pintu terali besi kalau-kalau ada gerakan di sana. Semuanya
aman. Mereka melanjutkan perjalanan di sepanjang pagar semak belukar, sedikit
memutar untuk menghindari melangkah di atas gundukan salju terdalam. Emily dapat
merasakan jantungnya berdebar kencang, padahal sampai saat ini dia bahkan belum
melanggar hukum. Ia ber- jalan dekat di belakang Simon, dengan Marcus berjalan ter-
seret-seret dan terpeleset di sebelahnya. Beberapa kali ia men- dengar Marcus batuk
dengan hebatnya. la sedang berada dalam suasana hati yang aneh. Mungkin ia juga
gugup.
Mereka menyeberangi lapangan parkir dan sedikit berputar melewati pintu gerbang
sampai ke lapangan selanjutnya, yang tidak rata, disebabkan lubang-lubang yang
membeku. Pagar semak belukar kastil ada di sebelah kanan mereka, dan Simon berusaha
untuk berada sedekat mungkin dengan pagar itu. Akhimya mereka sampai ke tempat
pagar semak belukar yang sudah menipis. Simon meletakkan tas ranselnya dan berlutut
di salju, mengamati lubang di antara ranting-ranting- Yang lain bermunculan di
sarapingnya.
"Aku nggak bisa melihat apa pun,” bisik Simon- ”Kita
57

belum ketahuan-—dan kalau kau berhenti batuk mungkin akan tetap begito.”
Ditujukan untuk Marcus, yang menutup mulut* nya karena batuk lagi.
’Tenggorokanku gatal.”
"Salah sendiri,” ujar Emily.
"Yeah, yeah."
"Baiklah” Simon mengambil tas tansel dan muiai men' dorongnya melaiui celah sempit
di depan mereka. ”Aku dulu- an. Aku akan melempamya sampai ke tepi parit kastil. Kalau
semuanya aman, aku akan melambai padamu untuk mengikutgj Emily. Kemudtan
Marcus. OkeT
la mendorong tas ranselnya, dan muiai berguling setelahnysuJ merangkak melewati
salju dan memaki pelan setiap kali akat \ atau semak berduri menjeratnya. Dalam waktu
tiga puluh detik j ia sudah berdiri, dan dengan cepat memperhatikan sekeliling- nya. la
sudah berada di Castle Field, terpelanting hampir dua | kali ketika berlari. Emily dan
Marcus mengawasinya pergi. 1 "Ia menikmatinya, bukan?” ujar Marcus.
"la sudah sampai!”
Simon menoleh dan memberi tanda dengan cepat. Emily 9 segera merangkak
mendesakkan diri ke dalam lubang, meng- abaikan udara dingin yang menyebar ke
seluruh pakaiannya. ■ Kemudian ia keluar dan memanjat lalu berlari melewati salju. a
Sepanjang jalan ia dipenuhi ketakutan mendengar suara peng- awas yang mengerikan,
melihatnya muncul dari tempat per- 4 sembunyian dari dalam tanah.
"Sejauh ini semuanya aman,” ujar Simon, ketika Emily 1 setengah terjatuh muncul di
sisinya di bibir parit kastiL Ia me- l noleb untuk memberi tanda pada Marcus. Emily melibat
se- 1 keliling dan mengerti bahwa Simon sudah memilih rute J
58

mereka dengan baik. Mereka ada di sisi kastil yang tepat: ia dapat melihat celah besar
membelah dari dinding batu sampai ke lubang. Letaknya sangat tinggi. Ia
menggelengkan kepala karena memikirkan kebodohan rencana mereka.
Marcus muncul di sebelah mereka, mendengus pelan. Lebih cepat daripada Simon, ia
sudah membenamkan dirinya di parit kastil. ’’Curam,” katanya. ”Tapi sebaiknya kita
menyeberang di sini. Kalau kita berkeliling, mencoba untuk menemukan cara yang sedikit
mudah, kita mungkin saja ketahuan.”
Menggelincir turun cukup mudah, sebaliknya mendaki adalah hal sulit. Mereka harus
sedikit menyentakkan tubuh saat mendaki, memasukkan jemari mereka yang beku ke
bawah salju untuk mencengkeram rumput kering di bawahnya. Ketika mere' ka tiba di a
tas, mereka hanya sejauh lima puluh meter dari tern- bok kastil. Masih belum ada tanda-
tanda orang yang datang. Simon menyeringai. ”Ayolah,” ujamya.
Ketiganya berlari, sampai di dekat tembok kastil bersama- an.
”Untunglah tidak turun salju,” ujar Marcus. ’’Jejak kita seka- rang akan bercampiir
dengan jejak kita kemarin. Nggak akan ketahuan. Yah—pergilah, Simon.”
’Tunggu sampai napasku normal. Dan aku perlu merencana- kan ruteku dan
sebagainya.”
Simon kesulitan membuka tas ranselnya, menjatuhkannya ke tanah dalam gulungan
tali yang berat. Ia mencari bagian ujung dan akhimya berhasil menariknya. Di ujungnya
ada tali tebal yang diikat kencang. Simon melingkarkan tali ini bebe- rapa kali di belakang
ikat pinggangnya dan mengikatnya de- ngan simpul yang rumit. Marcus dan Emily
memperhatikannya, antusias.
59

”Apa nggak terlalu berat untuk diangkat!” tanya Emily.


"Nggak apa-apa selama kalian mengulur talinya, jadi beban- nya nggak akan terlalu
berat bagi diriku, atau kaitnya, atau apa pun. Satu di antara kalian hams melakukan hal
itu. Yang lainnya terns mengawasi. Kalau ada tanda kehadiran Harris atau orang lain,
segera beritahu aku atau kita semua akan di' tangkap.”
Marcus menawarkan untuk memegang tali, dan Simon me- nyiapkan din untuk
memanjat. Setelah memeriksa talinya berada dalam keadaan bebas lepas di belakangnya,
ia meletak' kan tangannya tinggi dan melebar pada dinding penopang yang licin karena
es. Jari-jarinya dibenamkan di antara bebatu- an untuk mencari pegangan. Kemudian ia
menapakkan salah satu sepatu botnya, lalu yang satunya lagi pada dinding di ba-
wahnya, memotong lapisan-lapisan es supaya tumit sepatu bisa dijejakkan dalam celah
yang diciptakannya. Ketika kedua kakinya sudah aman, ia merentangkan tubuhnya lebih
tinggi dan membenamkan jari-jarinya lagi. Dengan cara ini, perlahan- lahan, dengan
ragu-ragu, dan beberapa kali tergelincir, ia mulai memanjat dinding penopang dengan
tali yang menggantung bebas di belakangnya.
’’Hebat, SimonJ” ujar Emily. Ia mengatakannya dengan bisik- an yang keras, sambil
memperhatikan setiap suara yang ter- dengar. Ketika ia berbicara, ia berjalan di dekat
menara dan mengamati sekelilingnya di sisi sebelah kastil. Sepanjang sisi itu, semua
aman.
"Masalah akan muncul jika Harris mengelilingi sudut di ujung itu,” katanya pada
Marcus, yang berdiri di bawah din- - ding penopang, mengulurkan tali. ”Ia akan
mengenali kita dari jauh.”
60

’Tidak akan,” ujar Marcus. ”Ia nggak akan muncul, maksud- ku. Namun demikian,
kalau ia muncul, aku akan kabur. Ia mungkin tahu di mana kalian berdua tinggal, tapi ia
nggak tahu apa pun mengenai aku.”
’’Hebat. Senang sekali mengetahuinya. Hei, lihat—Simon berhasil!”
Simon memanjat dinding penopang dan sudah hampir sam- pai di puncaknya.
Sekarang ia duduk di atasnya, sepatu botnya menapak pada pijakan kaki sementara
tangannya mencari pegangan yang tepat pada batu tegak lurus pertama. Ada dua batu
yang tepinya sudah aus dimakan cuaca. Simon memegang batu-batu itu, dan dengan
sebuah entakan tangkas, ia berdiri. Penyesuaian diri yang cepat, dan tidak lama kemudian
ia berdiri tegak, jari-jarinya menekan dinding, kakinya menapak pada puncak dinding
penopang.
”Luar biasa!” bisik Marcus. ”Kau hampir sampai!” Kelihatannya bagi Simon, bagian
yang sulit sudah selesai. Sekarang setelah ia sampai pada bagian yang tidak rata dari
din-ding itu, gerakannya lebih cepat dan lebih percaya diri. Mereka mengawasinya
merangkak naik, lebih dekat menuju lubang.
Marcus mengulurkan tali. ”Ia hebat dalam hal ini,” katanya ringan. ”Kau bilang
saudaranya ada di dalam penjara atau se- macamnya? Apakah karena ia merampok
rumah?”
Emily merengut padanya. ’’Diamlah, Marcus. Semuanya ka-rena ide tololmu—makanya
ia melakukannya.”
”lya, aku hanya mengatakan ia memiliki bakat alam, itu saja.”
"Ada apa denganmu hari ini? Diamlah!” Emily membalik- kan badannya tiga ratus enam
puluh derajat, menatap kaki langit. Kemudian melangkah menuju pinggir menara dan
meng-
61

amatinya lagi. Tidak ada orang. Sebuah teriakan gembira yang tertahan terdengar di
belakangnya. Marcus sedang melambaikaife tangannya dan menunjuk-nunjuk.
"la berhasil!" ujamya dengan suara serak. ”Ia berhasib masuk!" Emily melihat ke atas
pada saat sepatu boc Simon menghilang ke dalam lubang di dinding kastil. Diam
sejenakia Tali sudah berhenti diulurkan dan tangan Marcus. Saat tali itu menghilang ke
dalam lubang, tali itu bergerak sekali atau dua kali, selain itu talinya tetap betgeming.
Emily dan Marcus! berdiri berdampingan, mata mereka menatap lubang lekajt-J lekat.
Tidak terjadi apa-apa.
Kemungkinan yang menakutkan bermunculan di benakj Emily, la menatap Marcus
dengan panik. ”Apa yang terjadi?” I ia mendesis. ”Apa barangkali Harris...V
Marcus mengerutkan dahi, menggelengkan kepalanya. "Tidak. ldta pasri sudah
mendengar sesuatu. Ia baik-baik saja. Nggak mungkin jatuh juga karena talinya tidak
lepas.” Marcus teriihat tidak terlalu yakin.
Tiba-tiba tali di tangannya tersentak, mengejutkan mereka | berdua. Kepala Simon
muncul dari dalam lubang, menyering^fl l'ebar. la mengacungkan jempolnya.
"Sangat mudah!” ia memanggil. ’’Kalian harus melihatnya 1 di atas sini! Luar biasa!
Tunggu sebentar, aku mau membere&fl kan tali.” Wajahnya menghilang perlahan.
"Benar-benar seorang bin tang!” ujar Emily.
Marcus mengangkat bahu, menggumamkan sesuatu yang* tidak dapat ditangkap
Emily.
Setelah beberapa saat, Simon muncul kembali di atas me-« reka. ”Oke,” katanya. Tali
sudah diikat ke pagar. Satu di antara kalian bisa naik.”
62

Marcus menatap Emily. ”Jadi,” katanya, ”siapa yang akan mengikuti sang bin tang?”
"Oh, kau bisa,” kata Emily cepat-cepat. "Lagi pula, ini se- mua gagasanmu.”
"Yeah. Oke.” Dengan enggan ia menjawab, tapi Emily tne- lihat wajahnya menjadi
lebih cerah.
Sedikit lebih berhata-hati, Marcus mendekati pinggir din- ding penopang, menyatukan
tali di dua tangannya dan, dengan kakinya mendorong di atas dasar dinding, mulai naik.
Ia naik pelan-pelan, membutuhkan waktu yang lama antara setiap cengkeraman dan
mengayunkan badan dari satu sisi ke sisi lain dengan cam yang berlebihan. Kakinya
berjuang untuk berpijak pada dinding penopang.
Simon mengawasinya dari atas. ’’Ayolahl” ia memanggil pelan. "Letakkan berat
badanmu dengan benar pada dinding. Jejakkan kakimu pada bagian yang rata. Mudahi”
Marcus tidak menjawah. Emily menjadi tegang saat melihat wajah Marcus sudah
bersemu merah penuh semangat sekaligus kelelahan. la belum sampai di atas dinding
penopang tapi sudah kesulitan. Dua kali, salah satu kakinya terpeleset di atas batu dan
hampir saja kehilangan pegangannya, berputar-putar tidak berdaya sebelum
berhasiLmenyeimbangkan dirinya lagi. Emily dapat mendengamya' mengambil napas
sering-sering dan melepaskannya lagi dengan cepat.
”Ambil napas dengan mantap,” seiu Emily. "Kau sudah me- lakukannya dengan baik!
Bukankah demikian, Simon?”
Simon mengembuskan napas dan menatap langit. ’Teah,” serunya. ”Baik. Usahakan
kakimu nggak lebih tinggi daripada tanganmu. Darah bisa mengalir ke kepalamu.”
Emily berjalan mondar-mandir dengan tidak sabar di dasar
63

tcmbok. Memutusfean lebih baik bend in pada posisi yang amaivj kalau-kalau Marcus
terjatuh, ia berjalan enggan menuju tepi I menara dan menatap sekelilingnya.
Dan riba-tiba kaku karena terkejut.
Harris sedang berjalan di sepanjang dasar tembok kastiM menuju ke arahnya. Ia ada
di ujung, tepat di sebelah menara™ yang ada di seberangnya, dan untungnya ia berbelok
di su-® dut.
Saat ttu, ia terlihat kesal mengamati jarak pandang teijauh di Castle Field untuk tanda-
tanda penerobosan. Ketika Emily ■ mengawasi, Harris berhenti, mengangkat tangan ke
dekatfl matanya, dan menyipitkan mata ke arah pagar semak belukar yang jauh. Untung
bagi Emily, karena jika saja Harris melihatS hirus ke depan ia pasti akan melihatnya.
Emily segera bersembunyi, darahnya terasa dingin saat meng^fl aliri pembuluh
darahnya.
”la datang!” Ia berlari ke tempatnya semula, mengeraskan || bisikannya. Yang
menakutkannya, Marcus kelihatannya tidak lebih tinggi memanjat daripada saat ia
terakhir melihatnya. " Marcus seperti membeku pada posisinya, tidak mampu naik
ataupun tunm.
’’Harris! Ia datang!”
Marcus menggumamkan keputusasaan, dan di atasnya, SimoHH meninju dinding batu
yang tidak rata.
’’Cepatlah, Marcus! Kau harus lebih cepat! Harris datang!”jM
Marcus menggumam lagi. ”Aku nggak bisa... aku tersanglH kut!”
”Kau harus bisa! Atau kita semua akan ditangkap!” ;
”Oh, Tuhan...” lengan Marcus gemetar karena berpeganJH erat-erat pada tali. Ia
melepaskan tangan dari tali dam me-
64

nempatkannya di atas tangan yang satunya. Dan demikian seterusnya. Hal itu tidak
membuatnya memanjat terlalu tinggi. Air mukanya berubah, kakinya gugup menapak
pada dinding. Di atasnya, Simon bersandar di lubang, mengulurkan lengan- nya.
"Seperti itu! Naik sedikit lagi dan aku akan menarikmu! Di mana Harris?” Pertanyaan
ini untuk Emily.
’’Dekat menara yang ada di ujung! Ia berhenti, tapi akan segera sampai di sini!” Emily
membeku dalam kepanikan, tidak bisa memutuskan apakah hams lari atau memanjat.
Tanah lapang berwama putih .itu tidak menawarkan perlindungan. Mungkin parit kastil...
tapi kemudian ia akan meninggalkan Marcus—dan Simon—menghadapi takdir mereka.
Matanya cepat mengamati antara Marcus yang sedang terayun-ayun di atas, ke tempat
kosong di sudut menara. Setiap saat Harris bisa saja rouneul. :
"Ayolah, Marcus!” Kaki Marcus membabi buta menendang dinding, seolah ia ingin
berlari di atasnya. Emily bisa men' dengar Simon menggumamkan kata-kata yang
membangkitkan semangat sekaligus makian. Tangannya terulur. Marcus meng- ayunkan
tububnya ke depan dan belakang, dengan setiap ayunan tubuhnya, sedikit demi sedikit
bergerak ke atas.
Ia tidak akan pemah berhasil, dan seandainya bisa Emily tidak akan dapat
menyusulnya. Ia teringat pada usaha pertama- nya untuk memanjat dengan tali di ruang
olahraga sekolah- nya—rasa nyeri pada lengan, otot-otot yang lemas. Ia sama sekali
tidak punya harapan.
Simon berada setengah di luar lubang sekarang, mencegah dirinya agar tidak terjatuh
dengan mengunei bagian belakang lututnya di bawah dua gerendel logam yang melintasi
celah.
65

Jari-jarinya yang temlur mengenai udara sedikit di acas kepaiag Marcus yang terayun.
"Ulurkan tanganrau!” desisnya sambil mengertakkjJj gigi.”Aku akan menarikmu!”
Marcus berjuang dengan luar biasa hebatnya, la menj jejakkan kaki di atas dinding,
mengangkat tangan, mencengkeS ram, tegang—dan terns memanjat. Tangannya yang
lainy terulur, menggapai—dan dengan kuat ditangkap oleh Simona sampai Marcus
bertenak kesakitan. Dengan segera, ..Simoa| mulai bergerak kembali mendekati lubang,
mendorong rububJ nya dengan tangannya yang bebas. Ketika ia mundur, MarciJ teriihat
melayang: ia terlihat melompati tembok karena ke-| inginannya sendiri. Dalam hitungan
detik, ia sudah berada di dekat lubang. Unnik sesaat pantat dan kakinya menjuntai di
udara, kemudian sebuah tangan muncul, menarik belakang drat.; pinggang dan
menyentakkannya. Ada suara mendengking dari kejauhan.
Emily sudah memegang tali. Tldak lama setelah Marcus-, menghilang, ia memegang
tali dan mulai memanjat, membabffl buta mencengkeram tali dengan tangannya secara
bergantian, mengabaikan keraguan, terpeleset, dan rasa sakit di ototnyB Matanya lekat
menatap dinding batu di depannya, tapi ia btsa?| merasakan jauhnya jarak untuk naik
dan dekatnya kengerian yang ada di sudut menara. Sangat sunyi. Tldak ada suara Marcus
atau Simon. Sepatu botnya menapak di atas batu. Da-J| rahnya berdentam di telinga.
Tangan di atas tangan. Langkah demi langkah. PuncaB dinding penopang mulai
terlihat. Ada cengkeraman, yang leM bih man tap di atas batu-batu ini—ia bisa
mendorong tubuh dengan kakinya, seperti naik tangga. Urat'urat di bahunyB
66

terasa sakit, seperti dirobek-robek. Ia berusaha melupakan ingatannya tentang


kegagalan menggunakan tali di ruang olahraga sekolah.
Di dalam benaknya ia bisa melihat Harris sedang berjalan. Ia past! sudah sangat dekat
sekarang. Langkah detni langkah. Petjalanan yang panjang, Kepala terjulur ke depan.
Mata terbuka. Sudah semakin dekat. Seekor burung pemangsa ada di sudut menara.
Harris akan mendengar suara kakinya menapak di atas batu, mendengar suara tali
menggesek dinding. Sekarang ia akan berlari dengan tangan terbuka, siap mengelilingi
sudut dan me' nangkap tali, menggoyang Emily sampai pegangannya lepas dari tali, dan
membiarkarmya jatuh.
Tangan di atas tangan^ di atas tangan.
Tiba-tiba penutup kepalanya ditangkap dan diangkat hingga ia jatuh terjerembap ke
dalam lubang. Dua tangan menangkap- nya, menariknya melewati batu yang
permukaannya bergerigi, dan jatuh lagi di atas lantai batu. la menggelinding dan jatuh
telentang pada punggungnya.
’’Cepat, cepat.” Sebuah bisikan. Gulungan tali yang sangat panjang turun di atas
tubuhnya. Empat lengan mengangkatnya dan kemudian ujung tali berdesis saat melesat,
memukut benda logam yang menimbulkan benturan benda tumpul. Simon dan Marcus
berjongkok di sisi Emily, wajah pucat, mata menatap nanar.
Tldak seorang pun bemapas.
Dalam keheningan mereka mendengar langkah kaki me- nerobos salju.
Langkah kaki itti berhenti.
Mereka tidak saling menatap. Emily mengamati goresan di
67

tumit sepatu botnya. Ada lima goresan di sepatu bot kiri, tigg panjang, dua keciL
la mendengar Marcus mengeluh sedikit.
Langkah kaki itu terdengar lagi. Terpaku, mereka mendengarkan langkah kaki itu
melewati tepi dinding menuju keheningan.
Langkah kaki itu sudah pergi.
Tidak seorang pun bergerak. Tidak seorang pun berbicaisM
68

4
’’HEBAT, Emily.” g
la rWwk, menatap Simon. , ^
.. ”Aku belum pemah melihat orang yang memanjat begitu cepat Kau memanjat lebih
cepat daripadaku. ”
. ”Karena aku benar-bepar putus asa.” Ia mati rasa. Semua otQtnya terasa sakit.
’’Apakah.kau yang menarikku?”
’’Yeah. Marcus yang membereskap tali.”
"Hebat. Hebat, Marcus. Jadi, akhimya kita berhasil.” ’’Hampir. Harris muncul tepat
ketika aku berjongkok, Ia mungkin saja melihat tali sebelum kita sempat masuk ke
lubang, kalau melongok ke atas.”
’Tapi ia tidak melakukannya.”
Tidak.” Simon bersandar ke dinding sebelah dalaxn. ’’Hebat juga, Marcus,” tambahnya.
Marcus duduk di seberangnya, terjepit di antara mereka, bersandar pada pagar terali.
la begitu pucat, kecuali dua titik merah di pipinya. Dadanya mengembang dan mengempis
tidak teratut.
69

"Nggak perlu berbaik hati,” ia menggerutu. ”Aku tahu diri- ku payah."


”Kau berhasil masuk,” ujar Emily. ”Itu yang penting.”
”Aku sangat lelah. Rasanya seperti mau mati saja.”
"Isttrahatlah sebentar, kau akan baik-baik saja.”
"Aku Lngin merokok."
"Nggak boleh sama sekali. Itu akan membuat Harris me- ngejar kita.”
”Bagaimana bisa? la nggak akan pemah bisa mencium bail- nya.” Marcus mulai
meraba-raba saku jaketnya.
"Silakan dan tan^ung nsikonya. Dan lihat apa yang teijadi kalau ia masuk ke sini.”
”Kita hams berhati-hati,” kata Simon tenang. ’’Pertama- tama, kalau ia masuk, kita
akan terlihat di atas sini. Kita harus pindah.”
"Bagaimana cara Harris bisa masuk? Pintunya terkunci.” Meski demikian, Marcus
bergeser sedikit untuk melihat posisi mereka. Ketika ia melakukan hal itu, tangannya
berhenti me- rogoh saku jaket dan ia berhenti berbicara, bergeming.
"Oh, ya," ujamya pelan. "Inilah alasan kita datang.”
Mereka duduk di atas lorong batu dengan lebar kurang' lebih satu meter di bagian
dalam dinding kastil. Rata-rata masih ada atapnya, tapi di tempat mereka duduk, atapnya
sudah hancur karena benturan keras yang merusak batu di luar lubang. Setiap tiga meter
atau lebih, ada lengkungan kubah menopang langitdangit, dan di seberang setiap
lengkungan, jeruji modem terpancang ke dalam batu. Menyediakan per- lindungan yang
aman untuk setiap orang yang berjalan di ba- wahnya.
Tmdakan pencegahan yang diperlukan, karena di balik
70

setiap lengkungan ada celah. Jauh di bawahnya terbentang lapisan salju mumi.
"Lantainya sudah rusak,” ujar Marcus.
’’Mungkin saja, aku tidak tahu.”
’Tentu saja sudah rusak. Lihat perapian yang berada di lantai yang sama dengan
ruangan ini?” Tergantung di sana, tonjolan berukir yang terbuka lebar dengan jarak enam
meter atau lebih dari atas lantai. ’’Besar sekali. Bisa menampung ruangan besar, yang
ada di sini, di tempat kita berdiri. Kita bisa ke sana melalui jalan ini. Tapi ruangan utama
sudah ambruk. Di bawah sana, kuharap, pasti ada ruang penyimpan- an.”
”Ayo kita lihat,” ujar Simon.
Ketika mereka berjalan, Marcus berseru, ”Apa itu?” Ia me- nunjuk celah pada benda
kecil dari kayu yang ada di atas salju. "Kelihatannya seperti gudang perlengkapan kebun.”
Emily melihatnya. ”Itu toko. Menjual buku petunjuk, kartu pos, dan lain-lain.”
"Pelankan suaramu!” ujar Simon berbisik.
”Oke, Bos. Ayo kita cari tangga.” Selera humor Marcus sudah kembali. ’’Jalan mana?
Menurutku lewat sebelah kiri.”
Ia bergerak, dengan segera melewati lorong suram yang ter- tutup salju. Salju tertiup
masuk melewati lengkungan di atas, tapi sebagian besar lantai batu itu gelap dan basah.
Emily men- cium bau lembap aneh dari bebatuan, yang sepertinya terpisah dari bekunya
udara di tengah hari musim dingin.
"Aha!” Marcus berhenti. Lorong di depan berubah arah dan berlanjut dengan putaran
sembilan puluh derajat, tapi di sini juga ada lengkungan rendah menuju tangga. Anak
tangga naik dan turun, menghilang dalam kegelapan.
71
"Turun dulu,” ajar Marcus. ”Kita hams meninjau wilayah {dta, unruk tnendapatkan
kendali.”
Sesuatu da lam kata'kacanya menyemangati mereka. Sambi{ berdckatan mereka
menuroni anak tangga, melewati beberapa celah unruk memanah, dan keluar dan sebuah
lengkungan me- nuju cahaya terang dan salju.
Mereka riba di lapangan bersalju, beratapkan langit. Mereka ndak berhenti, rapi terns
berjalan, menyebar seperti peluru yang ditembakkan dari sebuah pistol, membuat jalan
setapak di atas salju, di daerah terbuka. Mereka dikelilingi dinding hijau kelabu dan
berbagai lengkungan. Sadar mereka harus retap hening, mereka menahan pekik
kemenangan di tengd gorokan masing-masing, tapi mereka malah dikuasai doronga®.
lain yang lebih dahsyat—untuk berlari, menari, menendang salju di air mancur ketika
mereka berjalan, menuliskan kehadija an mereka di tempat terlarang. Mereka berlari
mondar-mand|J bergerak jungkir balik dan melingkar, lengan terentang seperti pesawat
terbang, saling melempar tapi tanpa pemah me- nyentuh, tidak pemah saling
memandang. Sekali, Simon meng-d ambil segenggam salju dan melemparkannya ke
Emily, tapi* dilakukan secengah hati, dan kalaupun Emily menyadarinya, ia tidak
merespons.
Mereka berhenti secara terpisah, Marcus dulu, kemudian Simon dan Emily di tempat
yang berbeda. Marcus dan Simara meiompati dua anak tangga pintu di bawah
lengkungan yangi terbuka lebar. Emily menopang tubuh di atas bangunan batu di
sepanjang dinding, mendongakkan kepala, dan memejamkaM mata.
la merasakan darah berdenyut di pelipis, pergelangan* tail ngan, dan kakinya.
Dadanya gemetar karena debar jantungrtyfl
72

Gelombang pening menyerang, bayangan kembang api ber- wama putih meledak di
retinanya. Ketika semua berakhir, ia membuka matanya lagi.
Pinggiran bangunan batu itu membingkai langit, seakan menusuk awan dengan
tepiannya yang patah. Cahaya musim dingin yang lemah jatuh pada batu yang terletak
paling atas. Doa ekor burung, entah gagak atau elang, terbang melintas dan menghilang
di patahan tiang yang mempakan kerangka jendela. Ranting-ranting berwama hitam yang
raenjadi sarang mereka terlihat berantakan dari beberapa lubang dan ambang di tetnbok.
Emily dapat mendengar angin berembus masuk lewat jendela paling atas, tapi di dalam
kastil, aliran udaranya te- nang. Denyut nadi Emily sudah kembali normal, ia merasa
hangat dan santai. Pikirarmya melayang, terpaku pada sepasang jendela sempit, terbuka
ke bagian dalam, di atas lengkungan yang besar. Mungkin, di tingkat atas ruangan besar
yang sudah lenyap, mereka yang dulu tinggal di sini membiarkan cahaya masuk sampai
ke kamar tidur penguasanya. Ia hampir dapat merasakan kesegaran dari kamar atas yang
menyenangkan, pemandangan hutan dan ladang dari kejauhan, gerakan di atas lantai
batu, perapian yang berderak...
Ada siulan pelan. Emily tersadar dan mengamati seke- lilingnya. Baik Marcus dan
Simon sudah menghilang.
la menunggu, tapi ketika siulan itu tidak diulang, Emily bersiap-siap dan berlari menuju
gudang. Ia menggosok jendela berlapis es dan melihat ke dalam. Pamflet petunjuk
murahan menumpuk rapi di atas rak, bersama-sama dengan peti uang kosong dan rak
kayu yang dipenubt berbagai suvenir—kartu pos, pembatas buku, pensil, penghapus.
Emily ingat in pemah

membeli satu penghapus saat berkunjung bertahun-tahun lalu. Wamanya pink,


dengan sketsa kastil berwama hitam di atas- nya. Dulu la senang sekali bisa membeli
penghapus itu. Seka- rang semua benda di sana terasa murahan, hanya cocok untuk
anak-anak-
Di belakang rak ada kursi, lemari, dan benda yang mirip dengan pemanas ruangan.
Lebih banyak berharap dan bukan- nya menduganya, Emily mengelilingi pinggir gudang
dan men- coba membuka pmtunya. la sangat terkejut karena pintunya bisa dibuka. la
berdiri kaku untuk beberapa saat, jantungnya berdebar keras, kemudian mengangkat
bahu. Ia mungkin tidak dapat menerobos masuk lagi semudah sekarang. Ia melangkah
masuk.
Lantainya dilapisi karpet usang. Tumpukan majalah dan buku lama disimpan di bawah
rak. Barangkali untuk menghilangkan kebosanan penjaga toko suvenir. Selebihnya
gudang itu kosong. Emily mencoba membuka pintu lemari, dan temyata pintu lemarinya
digembok. Perhatiannya tertuju pada pemanas ruangan. Pemanas itu tidak memiliki
kabel, jadi bukan pemanas listrik. Kalau itu adalah pemanas gas atau pemanas minyak
tanah dan masih ada bahan bakar yang tersisa di dalamnya, mungkin ia dapat
menghidupkannya. Pasti menarik...
la mengamati pemanas itu dengan teliti, tapi memutuskan untuk tidak mengambil
risiko dengan menekan tombol apa pun. Simon mungkin tahu apa yang harus dilakukan.
Terdengar siulan lagi ketika ia keluar. Marcus muncul dari pintu gelap di balik sebuah
gubuk dan dengan semangat mem- ben isyarat dengan cubuhnya
"Aku menemukan sumur itu!” semnya. ”Di mana Simon?”
"Entahlah. Ayo kita lihat.”
74

Emily mengikuti Marcus menuruni dua anak tangga yang pendek, saking usangnya
sampai membentuk cekungan di bagi- an tengah, menjauhi salju, menjauhi cahaya,
sampai ke kamar gelap yang hanya diterangi lengkungan serta celah sempit di dinding.
Udara di dalamnya tercium basah, seperti sebuah gua. Emily dapat melihat Marcus
bergerak di ujung ruangan, ia ber- henti sebentar untuk menyesuaikan diri dengan
kegelapan.
”Di sini. Lihat, di bawah terali.”
Suaranya menggema di sekeliling ruangan. Ia sedang ber- lutut sekarang, mencoba
menarik-narik sesuatu. Emily meng- hampiri. Lantainya licin karena air.
”Agak longgar. Kita mungkin bisa menariknya.”
’’Jangan bodoh, Marcus.” Ia dapat melihat apa yang sedang dilakukan Marcus
sekarang. Ada Iubang besar di lantai batu, celah bundar tanpa ujung yang sangat gelap.
Di atasnya ada kisi'kisi dari lempengan logam yang digerendel ke batu pada empat
sisinya. Ia menyentakkan satu sisi hingga terdengar suara pelan.
’’Berhentilah menariknya. Jangan sampai longgar. Mungkin nanti ada yang jatuh ke
dalam sini.”
”Aku penasaran ingin tahu seberapa dalamnya. Beberapa sumur seperti ini dalamnya
bisa mencapai ratusan meter sampai ke dasar bebatuan. Mari kita lihat...” Ia menoleh,
membung- kukkan badan, dan mulai merangkak di atas lantai, meraba- raba. ”Aha—” ia
mengambil batu dan menjatuhkannya lewat kisi-kisi. ’’Dengarkan...”
Muncul kesunyian yang panjang. Kemudian terdengar suara gedebuk, jauh di bawah.
”Huh.” Marcus menegakkan badan. ’’Kelihatannya sumur ini kering.”
75

"Yeah,” kata Emily. ”Jadi, kita biarkan saja, ya.r’


"Terns trrang, mungkin saja ini bukan sumur. Bisa saja ini penjara bawah tanah,
tempat mereka melemparkan tnusuh don menmggalkannya di sana sampai merabusuk.
Ada kata da lam bahasa Prancis onruk hal ltu, tapi aku Iupa. Yeah, bisa saja seperri itu.
Yang kita buruhkan adalah sen ter.”
"Ayo pergi dan iihat apa yang sedang dikerjakan Simo***! la tahu hal ini ndak masuk
aka], tapi Emily sangat ingin memd bimbing Marcus keluar dari kamar geiap itu dan
menjauh dari ptntu besi. Tidak jadi masalah apakah itu sebuah sumur atau penjara bawah
tanah. Lubang itu mengarah ke suatu tempat^ di sana tulang-tulangmu akan tetsimpan
dan terlupakan, jau'h dan dunia serta cahaya.
"Apa yang kalian berdua lakukan?” Ketika mereka menr dekati papan berwama terang
yang menandai pintu masuk, tubuh Simon setengah menghalanginya. ’’Kemari dan
lihatla&g apa yang telah aku temukan! Lebih baik daripada keluyuran di sini,"
Mereka mminggalkan ruangan dan keluar menuju halaman yang diselimuti salju.
"Lewat sini.” Simon menunjuk .sepanjang sisi tembc^S sampai ke kn^cungan geiap
di sisi lain.
"Apa itur Marcus melindungi matanya dari cahaya. 4
"Aku akan mengejutkan kalian. Kau bisa mengingatnyaff
EtaT
"Aku nggak bisa mengingat apa pun. Sudah terlalu lama.”
Simon mulai melangkah dan Emily mengikuti di belakangw nya, tapi Marcus tetap diam
di tempatnya. "Sebentar lagi,” katanya. "Aku mau memeriksa pondok itu sebentar.”
Emily menoleh, tapi Marcus sudah setengah jalan menuju
76

pondok. Simon tidak memedulikannya. la masuk ke bawah iengkungan dan melewati


ruangan lain yang betcahaya remang- remang menuju tangga spiral yang tersembunyi
di sudut. Me- reka menaiki tangga, kaki mereka menggesek di atas bebatuan. Setelah
beberapa putaran mereka melewati landasan dengan Iengkungan yang tidak berujung,
tapi Simon terus memanjat. Akhimya mereka sampai di tingkat berikutnya. Ada lorong di
sebelah kiri, di belakang pintu terali yang terkunci, ada jeruji yang menghalangi untuk
lebih jauh menaiki tangga. Tepat di sebelah kanan ada pintu yang terbuat dari kayu
berwama pu- cat.
"Periksalah,” ujar Simon.
Emily mendorong pintu dan melewatinya, menuruni dua anak tangga menuju sebuah
ruangan.
"Oh. Indahnya,” ujamya.
Ruangan itu terang. Sangat kecil dan lantainya terbuat dari kayu sederhana berwama
cokelat krem, dan ia segera tahu lantainya pasti dibangun di zaman modem. Dindingnya
terbuat dari batu yang diberi lapisan putih, di satu sisi ada jendela besar di bawah
Iengkungan tajam yang dipasangi kaca. Pada saat itu, matahari pasti sudah tidak tertutup
awan, karena ca- hayanya menerobos masuk melalui kaca, menyebar pada putih- nya
dinding. Lewat jendela ia bisa melihat pemandangan yang tertutup salju sejauh mata
memandang, titik-titik garis pagar semak belukar dan untaian wama biru di langit.
"Pasti menyenangkan tinggal di sini,” kata Simon.
Emily mengangguk. Dengan cahaya mentari yang menyinari, ruangan itu hampir
terasa hangar.
"Dan lihatlah ini.” Simon mengamati perapian raksasa, me- nonjol kokoh dari dinding
di depannya. Wamanya juga putih,
77

dihiasi jeruji logam modem. Emily meneruskan langkahnya dan menyelipkan kepalanya
di ceruk.
”Aku bisa melihat langit,” katanya, mendengar suarany^j menggema. "Cerobong asap
ini masih berfungsi."
"Seluruh isi ruangan ini sudah direstorasi,” ujar Simon.
Ada suara langkah kaki di cangga.
"ini hebat sekali!” Marcus muncul dari pintu dan menurnrij anak tangga. Ia
melambaikan sebuah pamflet. "Kalian hams lihat apa—” la berhenti dan mengamati
sekitamya. "Oh, manga® yang bagus. Kalian hams lihat apa yang aku temukan di sinifli
lanjutnya. "Semuanya ada di sini! Aku hanya membacanya sekilas, tapi kelihatannya
sangat menarik, dan aku benar—di sink pemah terjadi banyak pertempuran. Cromwell
yang meng»| hancurkan rembok bagian depan. Ia meletakkan tong-tong bubuk mesiu
dalam lubang di bawahnya, dan akan melakukan hal yang saraa di dekat kastil karena
penduduk mendukung sang raja, namun ia dipanggil sehingga harus pergi. Sebentat... ”
Ia membalik halaman pamflet. "Yeah. Ada pertempuran besar dekaCa kastil. Dua ribu
orang tewas sebelum Roundheads berkuasa.^11
"Benarkah?” Suara Simon terdengar sangat bosan.
"King John mengepung kastil, sangat terburu-burasS|se- benamya. Dan Edward Kedua
pemah tinggal di sini duluij Menurutmu bagamana ia meninggal? Hmm, akan kuberitahdM
Tongkat pengorek perapian yang panas membara menembus pantatnya!”
"Ditulis seperti itu di sana?” tanya Emily, kaget.
’Yah, nggak, sih—"
"Marcus,” ujar Simon, ”Kau hanya bicara sembarangan.”
"Benar, kok! Sumpah! Aku nggak mengarangnya. Aku mem^j bacanya di buku.”
78

"Kau terlalu banyak membaca buku. Omong kosong!”


"Aku yakin Edward matinya demikian. Begitulah caranya sehingga nggak ada yang
bisa tahu bahwa dia dibunuh, paham, bin. Ttdak ada luka yang terlihat. Mereka
membaringkan jenazahnya meraakai jubah putih dan rakyat yang berduka cita datang
untuk melihatnya terlihat manis dan tidak berdosa. Dan tidak ada seorang pun di antara
ribuan orang yang bet' kabung tahu kebenaran jahat yang sesungguhnya—“ia tewas
dibunuh dengan brutal!”
"Lalu kok sekarang kita bisa tahu hal itu?” tanya Simon, merasa kasihan. "Padahal dulu
saja nggak ada yang tahu?”
"Yah,” ujar Marcus, kelihatan sedikit malu, "Jelas sekali ada yang membocorkan hal
ini. Mereka nggak bisa menyimpan rahasia mengerikan ini. Kabar burung diam-diam
menyebar dan—perlahan, bertahap—-kenyataan menyeramkan ini ter- papar."
Simon menarik napas dalam-dalam. ’T)an apa hubungarmya hal itu dengan kastil
kita?” -
"Nggak ada. Kecuali bahwa Edward pemah di sini—seorang raja! Mungkin 4a pemah
berdiri di tempat kita berada seka- rang”-
"Memangnya kenapa kalau benar begitu?” Simon tidak ben maksud untuk
mengejeknya,, tapi Marcus tidak kesal karena- nya.
"Dan sekarang hanya ada kita,” lanjutnya. "Nggak ada yang lain. Sempuma! Apakah
kalian pemah mengunjungi Windsor?”
"Yeah, saat ada study tour," ujar Emily. Simon tidak men' jawab.
"Aku hanya melihatnya di televisi. Kastil terbesar di inggris, tapi nggak terlalu menarik
bagiku. Terlalu teratur. Semuanya
79

nyaman dan diroodemisasi, dengan antena parabola dan lapang^ an parkir di


halaman. Ada Sang Ratu jugs di dalamnya, benaN benar nggak menarik. Maksudku,
membosankan. Kastil terbaik itu yang benikuran kecil—hancur dan terpencil seperti ini:
Mungkrn sudah nggak ada isinya dan oerasing, tapi masih ada sesuatu... Aku bcrpikir
kastil itu masih hidup—kalian* tab® nggak sih, maksudkuT
"Nggak,” jawab Simon. Ia sedang menatap ke luar jendela. Matahari sudah mulai
tenggelam di bawah pepohonam-sdi hutan.
"Aku mengerti,” jawab Emily pelan. "Kastil itu hidup ka- rena kau dapat
menafsirkannya sesukamu. Kastil itu bisa menJ jadi apa pun yang kaupikirkan. Kau bisa
membayangkan bagaia mana kastil itu dulunya, ketika belum hancun ketika orang-orang
tinggal di dalanmya. Dan setiap orang bebas untukJ membayangkan hal berbeda.”
Marcus mengangguk. "Yeah, tapi nggak serruianya tentang masa lalu,” katanya. "Ada
kita—sekarang. Kita sudah mea nguasai tempat ini, dan kita harus memutuskan apa yang
abam ; kita lakukan. Sekarang kastil ini memiliki penguasa lagL” i "Yeah, sampai malam
datang,” ujar Simon- ’’Menurutku, kita masih punya waktu setengah jam lagi, paling
lama.” “Setengah jam? Kita bahkan belum mulai berkeliling!”»j "Baiklah, kau bisa onggal
lebih lama, dan mencoba untuk turun setelah hari gelap. Pakai otakmu.”
Marcus mengerang. "Kenapa juga kita nggak memulainyB lebih awal! Buang-buang
waktu sajal”
Simon mengangkat bahu. "Begini, kirn sudah melakukam apa yang jadi tujuan kita
datang ke sini.”
"Kita bam saja memeriksa sebagian isinya! Ah! LihalsdH
80

Marcus membuka halaman tengah pamflet. “Lihatlah petanya: masih ada banyak
ruangan dan tangga. Periksalah! Kita nggak boleh pulang sekarang!”
"Sudahlah, Marcus,” kata Emily. ’’Berhentilah menjadi orang yang terlalu bersemangat.
Kita .sudah mengalahkan Harris, belum. ada seorang pun yang pemah melakukan hal
ini—"
’’Kita terlambat memulainya! Ini salahmu, Em. Kalau bukan karena bibi-bibimu yang
bodoh kita pasti bisa memulainya lebih awal, bukannya pukul dua siang! ”
"Dasar pembuat masalah! Kau nggak akan pemah bisa masuk tanpa aku. Kalau bukan
karena aku kau pasti masih terayun-ayun seperti seekor monyet ketika Harris muncul dan
menangkapmu.”
"Bisa-bisanya kau berpikir seperti itu? Aku naik sendiri,
kok.”
"Nyatanya kau harus dibantu naik!”
"Enyahlah!"
’’Berhentilah marah-marah! ”
Simon berjalan dengan kesal menuju jendela. “Ayolah,” katanya. ’’Kita sebaiknya
pulang. Di sini nggak asyik.”
Emily dan Marcus menarik napas dalam-dalam. ’Tapi mak- sudku, begini,” kata Marcus
dengan suara yang lebih tenang, menunjuk denah yang ada di pamflet, “ada lubang
kematian di sini dan banyak hal lainnya.”
"Apa?’ tanya Simon.
"Lubang kematian. Ada di atas atap dekat pintu masuk. Jadi pihak yang bertahan dapat
menuangkan minyak panas atau menembakkan anak panah pada siapa saja yang
berusaha mendobrak pintu. Bayangkan itul Kau hanya perlu duduk di ruangan atas,
menunggu. Kemudian saat seseorang muncul di
81

bawah, kau tinggal meminngkan bejana penampungan minyak dan tnemberikan


siraman maut pada orang itu!”
Simon mendengus. "Kau sangat menyukainya, bukan? Jadi di mana letak lubang-
lubang fra?”
”Di atas pintu masuk. Kita perlu menjelajah sedikit untuk menemukannya.”
"Nggak ada waktu. Maaf. Bisakah kita pergi, Em?”
"Apa?" Emily sedang memandangi perapian dengan jening logamnya yang mengilap.
"Maaf,” katanya pelan. ”Aku harm saja berpikir. Tahu nggak, kita bisa saja
melakukannya—tinggal di sini, maksudku.”
"Yeah!" ujar Marcus. "Nah, begitu, dong. Kita masih bisa mencari jalan keluar sekitar
satu jam lagi, setidaknya.”
"Maksudku bukan hari ini...” lanjut Emily dengan nada- berhati-hati. "Sudah pasti—
kita akan jatuh dan mematahlqS leher kita. Maksudku lain waktu. Kita bisa membawa
kantong tidur dan senter serta makanan, dan—”
"Ini pertengahan musim dingin,” Simon menj elaskaiujj "Kita bisa menyalakan api.
Itulah gunanya perapian, kan?” Hening yang sarat ketakjuban. Baik Marcus dan Simon.
*-J dang mencema apa yang bam saja mereka dengan Akhirnya Simon mengerutkan
dahi. "Otrang-orang akan melihat asap " yang keluar dari cerobong dan datang
mendekat,” katanya. ”lde yang bodoh, Em. Cukup parah, seperti salah satu idenya Marcus
saja.”
Emily tersenyum. "Mereka nggak akan melihat asap kalauj kita menyalakan api setelah
hari gelap!" lanjutnya. "Kita akan menggunakan senter untuk melihat, kemudian kita
nyalakam| api dan meletakkan kantong tidur di depan perapian, dan. kita
82

bahkan bisa memasak sesuatu di atasnya kalau kita berhati-


had—”
"Em—” .
"Lagi pula, ada pemanas gas di bawah. Kita dapai mengguna- kannya sepanjang siang,
dan malam juga kalau kita bisa mem- bawanya ke sini. Sekali kita masuk, seperti hari ini,
nggak akan ada yang bisa menghentikan rkita.” ,
"Harris akan melihat cahaya api melalui jendela,” kata Marcus. "Ia bisa melihatnya dari
jauh.’».|g
Emily berjalan ke jendela dan melibat keluar. "Maria mung- kin. Nggak ada apa pun
selain halaman terbuka di sana—ha- nya tanah lapang yang tidak berujung. Tempat
Harris ada di sisi lain. Senter atau api, nggak akan ada yang dapat melihat' nya. Kita
harus berhati-hati dengan cahaya di dekat jendela, tentu saja.”
Simon ma$ih kelihatan ragu. "Ide yang gila,” ujamya. "Kita sudah mengambil risikp
terlalu banyak dengan masuk ke sink Bisa jadi kita menyalakan. api dan terbakar sampai
mati, atau membuat did kita tertangkap,”
Ejpaily menyeringai padanya. ’Yeah,” katanya, "tapi kau ma- sih ingin melakukannya,
bukan, Simon? Ayolah—pastinya kau bukan seorang pengecut.” ,
Wajahnya memerab, ’Tentu saja bukan.”
“Yah, baiklah. Kami nggak bisa melakukannya tanpa kau, tentu saja. Kami nggak bisa
masuk atau keluar sendirian, be- gitu kan, Marcus?” Tidak ada jawaban untuk pertanyaan
ini. “Dan aku nggak akan tahu bagaimana caranya menyalakan api, atau menghidupkan
pemanas itu.” la mencoba terang-terangan membujuk, tapi Simon sepertinya mengerti.
Ia mengangguk dengan bijaksana.
83

"Aku bisa membawa kayu bakar,” katanya. "Dad masih me- nyimpan beberapa.”
’’Begttu, dong. Ayolah! Ini akan jadi petualangan yang se- benamya, seperti yang
selama ini dicari Marcus.”
Ketika ia berbicara ia mengamati Marcus dari sudut mata- nya. Wajah Marcus kelihatan
berbayang dalam cahaya remang- remang. Semakin banyak Emily berbicara, semakin ia
sadar bahwa Marcus sama sekali tidak nyaman dengan gagasannya. Bukannya
mengambil kesempatan dan mengambil ide itu se- bagai gagasannya sendiri, seperti yang
diharapkan Emily, Marcus malah bergeming, tidak seperti biasanya. Emily tidak tahu
kenapa Marcus diam saja, tapi ia tahu heningnya Marcus membuatnya tidak tenang. la
sama sekali tidak mengeluarkan omong kosongnya, rasa sok tahunya, dan sindirannya
yang tidak habis-habis! Setumpuk keluhan yang sudah tumbuh de- ngan mancapnya di
dalam hati Emily sepanjang hari, ditambah dengan sifat pemarah Marcus, membakar
semangatnya untuk melakukan rencana. Ketika ia pertama kali berbicara, itu tidak lebih
dari sekadar gagasan kecil, secercah inspirasi. Tapi se- makin Marcus merasa tidak
nyaman, semakin Emily merasa bahwa rencananya bagus.
"Kau mau melakukannya, kan, Marcus?”
Bahkan dalam cahaya petang, Marcus jelas-jelas kelihatan tklak nyaman. "Mungkin.”
"Ada apa? Kupikir ini adalah mimpimu yang jadi kenyata-
"Yeah, hanya saja—”
"Saru hal," kata Simon. "Apa yang akan kita beritahukan ke orangtua kita? Maksudku,
orangtuaku nggak akan mencari-cari-
84

leu sampai tengah malam, tapi sesudahnya pasti mereka me- nyadari bahwa aku
nggak ada.”
”0h, yeah.” Emily tidak memikirkan hal ini. Benar, hal ini sulit. Tapi ketika ia hampir
saja membatalkan gagasannya, ia dapat merasakan Marcus mulai bersantai di
sebelahnya. Ia ter- lepas dari bebannya, untuk sementara.
’’Mudah!” ujar Emily. ’’Kita bisa bilang pada mereka bahwa kita menginap di rumah
teman. Katakan saja ada kumpul ber- sama di hari Natal atau semacamnya. Dengan
anak-anak lain di desa. Apakah orangtuamu akan bertanya-tanya, Simon? Orangtuaku
sih tidak.”
’’Entahlah. Mereka akan sedikit terkejut, mungkin. Ini bu- kan hal yang sering
dilakukan, menginap di rumah teman. Berbeda dengan menginap di kedai minuman.
Tapi, menurutku mereka nggak akan bertanya-tanya.”
’’Bagus. Jadi,” Emily dengan semangat melanjutkan, ’’bagai- mana dengan kau,
Marcus?”
Ia melepaskan topi dan dengan jengkel menggaruk kepala- nya. ”Aku tidak tahu,”
ujamya. ’’Mudah bagi kalian—kalian tinggal di sini. Kalian bisa saling menutupi. Apa yang
harus kulakukan? Aku nggak bisa berkata bahwa aku menginap di rumah kalian, bukan?”
Simon mengangguk setuju, tapi suasana hati Emily sedang tidak ingin berkompromi.
’’Bilang saja kau menginap di rumah teman di King’s Lynn. Tidak sulit. Tapi ini seandainya
kau pu- nya teman di sana.” Diam sejenak. Emily menatapnya. ”Kau pasti punya
beberapa teman, Marcus.”
Marcus diam saja. Emily mengubah ketidaknyamanannya menjadi ledakan
kejengkelan.
”Oh, ya sudahlah,” katanya, ’’nggak usah mengkhawatirkan-
85

nya. Kslau kau cidak mau melakukannya karena alasan apa pun, nggak masalah. Kau
bisa cetap tinggal di rumah. Simon dan aku akan pergi.”
Ini menghastlkan reaksi lebih kuat daripada yang diharapw kan Em. Marcus menank
lengan Emily.
"Ow! Marcus—sakit!”
"Trdak tanpa diriku, nggak balcalan! Kau nggak akan me- lakukan sesuaru di sini tanpa
aku. Kastil ini—gagasan untuk menyelinap? Gagasanku! Semua gagasanku. Aku yang
punya gagasan itu. Tanpa aku kau masih akan bermain di salju di luar sana seperti
anak<anak! Jadi jangan pemah berpikir kau bisa keluyuran di dalam sini seolaholah ini
adalah idemu, pabam?”
"Paham!" Emily berusaha mengendurkan genggaman Marcusy Marcus terengah-
engah, matanya liar karena kesal. ’’Baiklah. Jadi kau ilcut, akhimya. Bagus. Kita bertiga,
yang seharusmM memang begitu. Kita lakukan besok. Jangan membuang wak-.j tu.”
"Apa yang akan kaukatakan pada orangtuamu, Marcus?” tanya Simon.
Marcus mendengus. "Nggak ada. Nggak perlu. Ayahku be- kerja di malam hari.”
"Bagaimana dengan ibumu?”
Jawabannya meremukkan hati. "Aku nggak perlu memintal izinnya, Simon. Mom sudah
meninggal.”
"Oh.”
Matahari sudah hampir seluruhnya hilang di balik pe- pohonan. Salju di Castle Held
berwama ungu kemerahan. Mereka berdiri dalam keheningan di ruangan itu.
Marcus melipat pamflet dan memasukkannya ke jaketnya. £
86

”Matahari terbenam,” kacanya. ”Sebaiknya kita pergi seka rang”


"Maafkan aku, Marcus,” kata Emily.
"Sebaiknya kita pergi,” kata Marcus.

PEKAKLIJKKAN

5
HARI yang sempuma untuk misi yang besar. Sepanjang pagi salju turun dengan
lebatnya, tapi sekitar pukul 2:30, ketika mereka bertemu lagi di celah dalam pagar semak
belukar, la- ngit sudah mulai cerah, dan udara dingin sudah hilang. Sua- sana pedesaan
terasa tenang, semua suara yang ada di sekeliling mereka terkesan dibungkam. Semua
dahan dan ranting dilapisi lapisan salju yang lembut.
Gumpalan asap tipis naik dari cerobong asap rumah-rumah di balik hutan. Langit
berwama putih membosankan.
Karena mereka hanya mempunyai waktu satu jam lebih sedikit untuk bersiap-siap
sebelum hari gelap, mereka tidak membuang waktu. Setiap orang membawa tas ransel
besar dan berkeringat di bawah banyak lapisan yang dipakai dalam jaket yang
menggembung. Tanpa banyak bicara mereka satu per satu menerobos masuk melalui
pagar semak belukar dan tergesa-gesa melewati rute yang sudah dikenal baik menuju
parit kastil dan memanjat tembok.
^au kelihatan seperti Michelin Man—itu tuh, maskot
91

perusahaan Michehn, sosok menyerupai raanusia marshmallow bergumpal-gumpal,”


kata Marcus pada Simon ketika mereka berhenti untuk bemapas di dekat dinding
penopang, ”Berap> banyak baju hangat yang kaupakai?”
”Enam. Aku mengambil punya saudaraku. Dan aku punya dua lagi di dalam tas.”
"Wow, aku hanya punya empat.”
"Tersamar dengan baik, kan?” ujar Simon. "Hanit mengamatinya dengan saksama,
bam bisa menyadarinya.” Ia menunjuk tali yang ia pakai di pinggangnya ketika memanjat
tembok untuk pertama kalinya. Sekarang tali itu menggantndj* dan iubang, tersamar
dengan batu abu-abu dan putih. Ujung tali teigantung tepat di a tas dinding penopang.
Di belakang Iubang dan terlindung dari penglihatan, tali itu diikat pada gulungan
tambang. Sehari sebelumnya, setelah Marcus dan Emily turun, Simon menarik tali itu dan
menyembunyikafc^^B di dinding yang rusak. Setelah meninggalkan tali1 itu tergantung,
ia menuruni dinding dan meluncur ke sepanjarig dinding penopang.
”KaIau mata Harris tajam, ia bisa melihatrrya,” ujar Emily
"Lehih baik daripada mencoba memanjatnya dari nbl lagi. Awas.”
Simon mundur beberapa Iangkah sebeium melompat singkat penuh kekuatan pada
dinding penopang. la sudah hampir se- tengah jalan, memegang tali kuat'kuat, meleset
dan meluncur jacuh ke tanah.
"Apa yang terjadi pada wajahmu, Marcus?** Emily menatap Marcus lekat-lekat untuk
pertama kalinya. ’’Kelihatannya' beng' kak.”
“Aku terjatuh kemarin."
92

”Aduh. Sudah kubilang, bodoh kalau bergerak daiam ke- gelapan.”


”Yeah. Hati-hati menempatkan kakimu, Simon! Mataku nyaris tercongkel karenanya.”
"Berhasil!” Kali ini, tangan Simon yang terentang mengenai sasaran. Ia mendarat di
salju dengan tali di genggamarmya. Di hiar Iubang, ujung talinya kelihatan, ketika Simon
terus me- narik, seluruh bagian talinya muncul sampai menjuntai di atas tanah. Ia
menyeringai. ’’Bagaimana, aku genius, kan?”
Emily kembali setelah mengintai tepian menara.
”Semua aman,” katanya. ”Hari ini, aku yang memanjat dulu- an.”
Ketika mereka bertiga sedang berjalan dan tali sudah ditarik, Simon memanggul
bawaannya dan pergi mendekati tangga.
’Tunggu!” Marcus menunjuk sepanjang koridor di arah yang berlawanan. ’’Kalian
melewati jalan yang lebih jauh.” Ia meng- ambil pamflet kusut dari kantongnya dan
menaruhnya di atas batu datar, dengan gambar kastil menghadap ke atas.
”Lihat, kita ada di sini... Kalau kita mengikuti jalan ini, kita menaiki tangga menuju
ruangan kita. Daiam waktu se- bentar kita sudah sampai di sana.”
’’Sepertinya oke. Kau yang memimpin.”
Setelah beberapa meter mereka berjalan di balik lengkungan yang terbuka di atas
bagian kosong ruang utama yang besar, lorongnya menjadi jalan kecil buntu. Lurus dan
berakhir di tangga spiral, dengan pintu di sebelah kiri.
”Lihat, kita mengabaikan daerah ini dua kali kemarin.”
93

Marcus melangkah ke pintu. "Ruangan kita ada di atas, tapi ada yang lain di sini. Mari
kita periksa."
Ada lorong pendek menuju ke kamar terbuka—lebih besar, tapi jauh lebih gelap
dibandingkan kamar yang sudah diresto- rasi. Ruangan itu hanya memiliki tiga pintu
keluar, salab satu- nya menuju ruang utama. Satu set jeruji dan sehelai jaring
menggantung menghalangi pintu ini. Ada perapian, beberapa jendela sempit, serta
suasana lembap dan dingin yang meresap.
”Aku jauh lebih suka mangan kita,” ujar Emily. ’’Ayolah, kita segera ke atas dan
menempatkan semua barang kita.” '*1
Mereka berbalik menuju tangga, Simon berjalan di depan.
"Mereka menduga itu adalah ruangan bangsawan penguasa^ kata Marcus. "Ruangan
itu mengarah ke kapel kastil. Aku ingin—”
”Sst!" Simon tiba-tiba berhenti berjalan.
°—melihat—”
"Diamlah!” Desisannya mengakibatkan Emily dan Marcus berhenti berbicaia,
menunduk di belakangnya.
Mereka mendengarkan. Emily mendengar desah napas me-reka, seekor burung gagak
berkaok terbawa angin, tapi tidak ada suara yang lain.
"Apa yang tadi kaudengar?” bisiknya. Simon menggelengkan kepalanya dengan
marah, merengut dengan tegang. '
Tidak ada apa-apa...
Kemudian—suara langkah kaki yang diseret terdengar di bawah tangga.
Batuk periahan, menggumamkan makian.
Perasaan Emily bercampur aduk. Kakinya terasa kaku. la tidak dapat bergerak.
94

Simon memutar badannya dengan amat, sangat perlahan. la menutup mulut dengan
tangannya. Perlahan-lahan, dengan tenang, ia berbisik. ’’Ada orang... datang. Sembunyi.”
Panik. Emily selalu menghubungkan kata itu dengan ke' bisingan, dengan orang
banyak dan kekacauan, dengan suara keras, gerakan liar, jeritan, dan teriakan. Tapi
sekarang, sangat yakin dan pasti—kepanikan sunyi membekukan otaknya dan membuat
rahangnya mengendur. Waktu berlalu seperti tetesan simp yang kental. Ia tidak tahu apa
yang harus dilakukan. la melihat Marcus berbalik, ketakutan terukir di wajahnya, ia
merasakan Marcus menghilang di balik pintu menuju ruangan yang dingin. la hampir
mengikuti mereka, tapi ia terganggu dengan perilaku Simon: awalnya Simon seperti akan
naik ke tangga—dia mengambil dua langkah lebar-lebar, kemudian ber- hentL Dia
berbalik, menggelengkan kepala padanya, lalu mulai mengikuti Marcus, dan berhenti lagi.
Emily melihatnya meng' gumamkan kata makian. Kemudian dia melewatinya dan meng'
hilang di koridor menuju lorong kecil tempat mereka lewat tadi.
Langkah kaki yang pelan di atas tangga menjadi semakin keras.
Ia tidak tahu mengapa Simon memilih jalan itu. Ia tidak tahu apakah sebaiknya
mengikuti Simon atau tidak. Mungkin ia bisa. la melangkah—dan lewat sudut matanya ia
bisa melihat ada bayangan bergerak membelok naik sepanjang tembok me' nuju tangga
spiral, dan ia tahu beberapa saat lagi pemilik bayang- an itu akan muncul di tikungan dan
bisa melihat jelas apa yang ada di depannya. Kemudian orang itu bisa melihat Emily.
Dengan cepat ia mcmutuskan untuk mundur, memutar, dan menghilang di tangga
naik.
95
Dm tidak lama setelah ia menghilang ia ingat bahwa ruang. an mereka adalah jalan
buntu. Tidak ada jalan keluar sama sekaii di atas sana.
Tapi mungkin saja pemtltk bayangan itu tidak akan meng- ikutinya. Ada dua rate lain
yang bisa ia ambit Jadi semuanya akan batk-baik saja. la bisa menunggu sambil
hersembunyi di tangga sampai area di bawahnya atnan.
la berdiam diri di keremangan cahaya di antara dua celah untuk memanah.
Mendengarium...
Tidak ada suara yang bisa didengar. Apakah pemilik bayang- an itu sudah pergi?
Masih tidak terjadi apa-apa. Emily mengembuskalii napas panjang karena lega
melewati celah bibirnya yang kering.
Kemudian ia mendengar langkah kaki menaiki tangga.
Menaiki tangga mendekatinya.
Oh tidak. Oh tidak.
la memaksa diri untuk bangkit dan berjalan di atas kakinya yang mati rasa, berat dan
dingin seperti lantai pualam. Sara domi satu, satu demi satu, menyelirtap diam-diam di
atas tangga.
Oh tidak. Oh, Tuhan. Oh tidak.
Itu Harris, pasti Harris, dan saat Harris menemukannyflia akan membunuh Emily.
Mungkin ia tahu mereka ada di dates kastil, makanva ia datang. la datang untuk
menemukan dan membunuhnya, dan ia akan melakukannya di ruangan bfen dinding
putih di atas tangga.
Emily naik secepat mungkin, kemudian ia sudah sampai di atas. Di sana ada terali besi
hitam menghalangi sepanjang lorong kecil, dan jalan menuju tangga naik ke pintu yang
ter' buka sampai di ruangan cahaya. Emily menerobos masuk, meng' a mati sekelilingnya.
Tidak ada tempat untuk bersembunfci. if
96

Suara batuk berdesing di belakangnya, tidak jauh seka- tang-


Hanya—mungkin cerobong asap...? Ia berlari menuju
cctobong asap, menunduk. Tidak ada waktu untuk memper- timbangkan hal lain. Ia
melangkah masuk ke jeruji besi per- apian, berdiri tegak di dalamnya.
Kepala dan bahu tersembunyu Tidak cukup.
Ia mengangkat tangan, berpegangan pada dinding bata. Dinding bata itu kasar, tidak
beraturan. Dengan dua tangan berpegangan pada batu bata di depan cerobong asap, ia
meng' ayunkan kaki satnpai ke atas atap, bersandar pada tembok be' )ahng cerobong.
Gerakannya janggal—ia terpelintir seperti seekor kucing yang terjun bebas, kepalanya
ada di bawah. dan kakinya jnenghadap ke samping—tapi itu membuatnya tetap bertahan
di sana. Tas ransel berayun di punggungnya. Tangan kanannya berhasi 1 menemukan
pegangan sedikit lebih tinggi. Ia memegangnya, menyesuaikan tangan kirinya juga, dan
de- ngan gerakan yang jauh. lebih. bebas, menyandarkan punggung pada lengkungan
dan menggerakkan kaki naik beberapa langkah lagi pada dinding yang berlawanan.
Bubuk berwama team kecokelatan jatuh ke lantai berbarengan dengan per- geseran
posisi Emily.
Seseorang memasuki ruangan.
imily berhenti bergerak. Ia menggantung di sana, terjepit dalam gelap. Satu sisi
wajahnya menekan jelaga di dinding batu Kara. Dengan mata setengah terbuka ia dapat
melihat ke bawah melalui celab antara pergelangan tangan ke arah kumpulan cahaya
yang melewati perapian. Bahkan dengan mata setengah terbuka, kotoran dan bubuk
jelaga di jetuji besi perapian di bawah meneriakkan keberadaannya.
97

Ada suara langkah kaki yang tidak jelas. Suara langkah Iraki ltu betfeenti. Seseorang
bersin dengan keras dan jorok Beberapa kali mengendus. Kemudian batuk.
Emily tidak tabu apakah kakinya berada di tempat cukup tmggi, apakah kakinya tidak
terlihat. la membayangkan kakinya tampak di ujung perapian yang hangat dan bersih,
bermandikan cahaya melingkar. la berhatap, sangat berharap, sepatu botnya dicat wama
putth untuk menyamarkan dari pandangan, dan bukannya berwama cokelat tua dengan
bayangan merah. Di atas segalanya, ia berharap ia tidak pemah kembali ke kastil—tidak
pemah melihatnya sama sekali. Gagasan bodoh siapa yang sudah menyarankan untuk
kembali hari ini?
Gagasannya. la tidak bisa menyalahkan orang lain.
Otot di bahunya mulai tegang. Satu pangkal lengarmya mulai gemetar. Seperlahan
mungkin ia menggerakkan j&ri-jari tangannya untuk mengganti posisi ototnya. Jemarinya
meng* gesek bam bata yang rapuh. Secercah bubuk lembut berjatuhan ke atas perapian
yang terbuka. la menyaksikannya jatuh, ber- putar-putar dengan lembut di dalam cahaya.
Bagaimana bisa hal seperti itu tidak diperhatikan?
Menggigit bibir, memejamkan mata, ia menunggu... <B
Menanti...
Emily membuka mata. Ruangan itu terasa sangat sunyl Tidak ada bersin, batuk, atau
langkah kaki yang diseret. Tidak ada suara langkah kaki atau desiran pakaian yang
bergerak. Bahkan, sekeras apa pun ia berusaha untuk mendeteksi hal paling kecil
sekalipun, tidak ada lag! perasaan akan kehaditan seseorang di sana.
Meskipun demikian, ia bertahan di sana.
Lima menit berlalu. Sakit di bahu Emily semakin menjadb
98

jadi. Masih tidak terdengar suara dari luar. Tapi semakin ia menunggu dan semakin
keras ia berusaha untuk mendengarkan, semakin ia yakin bahwa kesunyian itu
berbahaya. la mem- bayangkan Harris sedang menunggu di sana, tidak bergerak sama
sekali seperti seekor belalang besar, matanya menatap |plrar pada perapian yang-
terbuka- Ia sedang bersenang'senang. la tabu di mana Emily berada, Ia akan menunggu
sampai Emily berpikir ia benanbenar aman, sampai ia keluar dengan takut-takut seperti
seekor tikus yang keluar dari lubang—ke' mudian ia akan menangkap Emily.
Ia berpegangan dengan kuat, meski lengan, tangan, dan jari'jarinya gemetar. Seluruh
punggungnya yang melengkung tersiksa oleh rasa sakiL Ia merasa kesal dalam hati.
Rasanya ia sudah berada di dalam cerobong asap ini selama berj am-jam, bethan-hari....
Ia tidak sanggup bertahan lebih lama...
Kemudian jari-jarinya terlepas. Di antam debu batu bata dan jelaga abad pertengahan
yang berjatuhan, Emily terjatuh ke dalam perapian, pergelangan kakinya terkilir di atas
jeruji besi. Ia berguling ke lantai, telentang, dengan lengan terentang seperti jarum jam.
Kakinya terkulai dalam perapian. Gumpalan berwama hitam memenuhi sekelilingnya
perlahan'lahan.
Menerobos asap yang menutupi, ia dapat melihat langit' langit kayu. Tidak ada yang
melihatnya dari atas—tidak ada wajah yang penuh kemarahan. Tidak ada yang datang
me- nangkapnya. Ia sendirian di sana
Ia berbaring dalam waktu yang lama, mengumpulkan napas, terlalu lelah untuk
menangis.
Setelah sekian lama, ia bergerak, meringis sedikit menahan sakit di pergelangan kaki.
Perlahan ia mulai berdiri dan ben jalan tertatih'tatih mendekati jendela. Menaruh tas
ransel di
99

rak yang ada di sebclahnya, ia menempatkan diri dengan sa- ngat haci'hati, raenatap
salju jauh di bawahnya. Di balik parit kastil beberapa anak scdang bermain. Merdka
berada dekat pagar semak belukar, nyaris berada di daiamnya, saling me- lemparkan
bola salju. Emily mengamaci mereka dengan malas. Mereka terlalu jauh, sehingga Emily
cidak dapac mengerali wajaH mereka.
Ia kembali waspada ketika mendengar langkah kaki lagi di tangga. Baiklah, biarkan
Harris datang. Ia begitu lelab, ia tidak terlalu pedulL
"Di situ kau n^panya!"
Ia melihat ke seberang. Marcus ada di pintu. *
"Selama ini kau ada di sini? Apa yang terjadi? Tidak—-ja- ngan katakan padaku—kau
memanjat cerobong asapl Ha-ha! Kacau sekali! Coba lihat dirimu—kau kelihatan seperti
panda yang kurus!" Marcus tertawa riang dan mendekati jendela.
’’Geser sedikit.”
"Adah! Hati-bati, kakiku!”
"Maaf. Tadi kenapa, terkilir?” Ia duduk di seberang Emily. Emily belum pemah
melihatnya begitu gembira.
"Yeah, dan ini benar-benar nggak lucu. Sangat menyafe- kan.”
"Aku sedih mendengamya. Thpi, Em, kita berhasilT Kita bisa bertahan pada ronde ini.
Kita harusnya bangga pada diri kita!”
"Aku terlalu sakit untuk berbangga. Dan lihatlah aku—aku tertutup jelaga.”
"Luka adalah bagian dari perang, Em. Dan kita memenangi pertempuran ini. Hei, kita
benar-benar memenangirtysL”
"Kita hampir saja tertangkap, itu yang telah terjadi. Kalau
100

I sajaaku nggak menyelipkan diriku di atas sana aku pasti sudah I mati-”
Marcus bersiul. "Ia sungguh-sungguh datang fee atas sink I jean? HebatJ Kau
melakukannya dengan baik, Em. Sangat baik. I Kau benar-benar nyaris tertangkap. Lebih
parah daripada aku. ft Aku—”
"Di manaj%non?"
Tidak tahu, Ikpi dia nggak tertangkap. Harris—”
”Jadi tadi ® Harris?”
"Siapa la|f selain Harris? Tapi dia sudah pergi dan dia I nggak raenemukan Simon.
Tapi tebak apa yang sedang dia ft lakukan.”
^Mencari kita.”
"Tentu saja bukan! Dia nggak akan pemah membayangkan I siapa pun bisa masuk ke
sini. Itulah indahnya. Tidak, dia tadi I sedang mengecek keadaan burung-burung.”
"Apa?”
"Burung gagak dan yang lainnya. Kau sudah melihat tiang I dan jaring dan sebagainya
yang ada di sini. Mereka nggak I ingin burung-burung masuk ke bagian kastil yang
tertutup.
I Kalau burung-burung itu masuk dan bersarang, mereka dengan I cepat akan
memenuhinya dengan kotoran. Harris sedang me- | lakukan hal itu, mengecek dua kali,
ada tidaknya burung gagak I yang menerobos masuk selama hari Natal. Aku
mendengamya I menggumamkan hal itu. Dan dia mengupil—aku melihatnya I dari balik
pilar.”
"Aku nggak butuh semrn keterangan itu, Marcus. Jadi apa I yang terjadi padamu?
Harris naik dan nyaris menangkapku.
[ Laiu, apa?”
101

"Yah, aku masuk ke ruang bangsawan penguasa. Tidak ada tempat bersembunyi di
sana—aku nggak akan beranl mencoba naik ke cerobong asap! Tapi ada dua jaian keluar.
Jadi aku menuju ke jaian keluar terdekat, dan coba cebak apakah itu? Jaian buntu! Aku
hampir ngompol, yang sepertinya pantas karena jaian buntu itu adalah toilet. Sebuah
tempat duduk di ujung dengan lubang bundar yang menarik. Tapi kupikir aku akan
tertangkap karena nggak menyadari dia naik untuk mengejarmu. Jadi akhimya, aku
masuk dan melewaci pintu berikutnya, dan temyata jauh lebih baik—pintu itu menuju
kapeL"
"Apa, sebuah gereja?” Emily metasakan sebagian energinya kembali. Semangat
Marcus menular padanya.
"Bukan, hanya ruangan kosong dengan ceruk yang dulunya mungkin adalah altar.
Tempat pasangan bangsawan penguasa tempat ini berdoa. Dugaanku Raja Edward juga
pemah meng- gunakannya, ketika beliau—■"
"Marcus..."
"Oke. Jadi aku masuk dan beristirahat. Mungkin Harris nggak akan menyusulku,
akhimya. Jadi aku berkeliaran di sana, dan nggak berapa lama aku mendengamya masuk
ke ruangan sebelumnya, kamar itu. Wah, aku sangat takut! Kau pasti nggak bisa
membayangkannya.”
Emily menatapnya.
"Oh yeah, kau pasti bisa membayangkannya. Maaf. Akhir- nya, aku merangkak
melewati lengkungan dan sampai di ruang' an berikumya, dan ruangan itu besar,
dipenuhi pilar-pilar. Aku bisa mendengamya datang, jadi aku berlari menuju pilar dan
bersembunyi di salah satunya. Kemudian ia masuk dan aku da- pat mendengamya
melangkah semakin dekat, berbicara pad®
102

dirinya sendiri sepanjang waktu. Ia menggerutu tentang burung- buning, berharap


dapat menetnbaki mereka.”
"Kurang ajar sekali!” ujar Emily.
"Lupakan burung-burung itu—aku berdiri di sana dengan membahayakan diriku
sendird -Aku tabu ia akan menuju pilar itu, tapi aku nggak tahu dari sisi yang mana. Jadi
aku memutus- tan—”
"Halo.” Dengan terkejiit mereka melihat Simon berdiri di sana. Ia pucat namun
menyeringai. Salah satu tangannya di- bungkus saputangan kotor. Ada noda merah di
sana.
Peigelangan kaki Emily berdenyut ketika ia berbalik dari tempat ia duduk penuh rasa
ingin tahu. "Simon, apa yang ter- jadf?”
"Jadi aku memutuskari1—”
”0h, nggak apa-apa. Hanya terluka, itu saja.”
"Kok bisa? Kemarilah vdan duduk di sini.”
"Nggak apa-apa, sungguh.” fJamun, ia melangkah dan ber- sandar di djnding dekat
mereka, mengamati ruangan itu. ”Apa yang terjadi di sini? Seseorang bersembunyi di
dalam cerobong asap?”
”lya. Aku. Bagaimana dengan tangammu? Bagaimana bisa sampai terluka?”
"Nggak penting, sih. Aku bergantung di tali. Tergelincir sedikit, tanganku terluka
tergores batu.”
"Ngapain kau bergelantungan di tali? Kau berusaha untuk kabur?” Suara Marcus
terdengar ragu.
Tentu saja tidak. Aku berusaha untuk menyembunyikan ali; Tali itu menggantung di
dinding, ingat? Kalau saja Harris melewatinya, permainan kita pasti sudah selesai, bukan?
Bah-
103

lean jika ia hanya melihat dari tangga di sepanjang lorong ia mungkin saja bisa melihat
tali itu. Jadi aku berlari turun, men- cari pegangan, dan memanjat dinding. Aku nggak
punya waktu untuk melepaskannya dari pagar terali, jadi aku bergantung di sana.
Sebenamya sih kurang berguna. Kalau saja ia mampir ke sana, ia pasti sudah melihat
besi pengikat tali dan menangkap- ku—tapi ia nggak datang, jadi semuanya baik-baik
saja.” "Berapa lama kau bergantungan di sana.7”
"Sekitar dua puluh menit. Aku takut ia akan turun ke ruangan utama ketika aku naik,
jadi aku bergantungan selama mungkin.”
Emily menatapnya dengan takjub. ”Dua puluh menit! Ku- pikir aku sudah hebat dengan
berdiam diri di cerobong asap selama lima menit.”
”Kau sudah melakukan hal yang perlu untuk meloloskan diri. Jadi, menurut kalian ia
sudah pergi?”
"lya, ia sudah pergi, dan kalau kalian memberi kesempatan padaku untuk berbicara,
aku akan menceritakannya!” Marcus kelihatan sedikit gusar. Simon akhimya
memperhatikannya.
”Tentu saja, Marcus. Jadi, Emily berada di atas cerobong asap, aku tergantung di tali—
apa yang kaulakukan?”
”la bersembunyi di balik pilar,” ujar Emily sepenuh hati, ketika Marcus mulai berbicara.
"Cukup menarik,” tanggap Simon. ”Dan kau melihat Harris pergi?"
Marcus menghela napas. "Yeah, ada lorong panjang di beta- kang ruangan yang
banyak pilamya. Jalan itu menuju ke luar. Harris lewat situ, dan aku mengikutinya.
Beberapa burung me- nerobos masuk ke ujung ruangan itu, di sana ada tangga yang
besar. Harris menghabiskan waktu dengan menembaki burung-
104

jjmung itu dan menghalau mereka Jcngmi tongkaf StiOM l»« r kaok-kaok dan bulu
beterbangan mengix ruaniptn 1 "Dia benar-benar jahat!"
"Ketika ia selesai mengusir burung-burung iui, in frWtiK hilang di tikungan dan aku
mendengar suarn pintu dltutup, Aku nggak berani terlalu dekat, rapi aku mini In ludnh
p»'/gI karena saat aku kembali ke ruangan berpilar, aku mcngaman nya keluar di bawah
Iubang kematian.”
"Kau menemukan lubang-lubang itu, akhimya,” Simon meng- gerutu.
"Yeah. Lubang-lubang itu besar. Cukup besar untuk rnc- lemparkan batu-batu yang
berat.”
"Aku kaget kau nggak berusaha melempari Harris dari lu- bang itu saat ia pergi,” ujar
Emily.
"Aku sebenamya ingin, percaya deh, tapi ada selembar plastik yang dipaku di sekeliling
lubang-lubang itu. Nah, aku jadi ingat, kita mungkin bisa membuka tutupnya. Tampaknya
nggak terlalu sulit.”
"Aku lebih tertarik pada Harris,” ujar Simon. ’’Jadi ia sudah pergi?”
"Mengunci pintu dan pergi. Kita bisa bersantai sekarang." "Sebentar lagi. Kita yakin,
kan?” ujar Emily, ”bahwa kita ingin menyelesaikan ini semua? Maksudku belum terlamhat
untuk pulang. Kita nggak perlu bermalam.” la memandang yang lainnya—Simon dengan
tangannya yang terluka, Marcus dengan wajahnya yang memar. Mereka menatap Emily
dalam keheningan. Emily bergerak, mencoKi melenturkan pergelangan kakinya yang
sakit.
"Kalian benar,” katanya. "Kita sudah bergerak terlalu lauh untuk mundur sekarang.”
105

lean jifea ia hanya melihat dari tangga di sepanjang lorong ia mungkin saja bisa melihat
tali itu. Jadi aku berlari turun, men- cari pegangan, dan memanjat dinding. Aku nggak
punya waktu untuk melepaskannya dari pagar terali, jadi aku bergantuQg d£ sana.
Sebenamya $ih kutang berguna. Kalau saja ia mampiE ke sana, ia pasri sudah melihat
besi pengikat tali dan menangkapf ku—tapi ia nggak datang, jadi semuanya baik-baik
saja.” || "Berapa lama kau beigantungan di sana?”
"Sekitar dua puluh menu. Aku takut ia akan jturun ke ruangan utama ketika aku naik,
jadi aku bergantungan selama mungkin.”
Emily menacapnya dengan takjub. ”Dua puLuh menit! Ku- pikir aku sudah hebat
dengan berdiam diri di cerobong asap selama lima menit.”
"Kau sudah melakukan hal yang perlu untuk meloloskan diri. Jadi, menurut kalian ia
sudah pergi?”
”lya, ia sudah pergi, dan kalau kalian memberi kesempatan padalcu untuk berbicara,
aku akan mencentakannya! ” Marcus kelihatan sedikit gusan Simon akbimya
memperhatikannya, "Tentu saja, Marcus. Jadi, Emily berada di atas ccroben^ asap, aku
tergantung di tali—apa yang kaulakukani** ^
”Ia bersembunyi di balik pilar,” ujar Emily sepenuli hati, ketika Marcus nrulai berbicara.
"Cukup menarik,” tanggap Simon. ”Dan kau melihat Harris pergi?”
Marcus menghela napas. "Yeah, ada lorong panjang dr bek* kang ruangan yang
banyak pilamya. Jalan itu menuju ke luar. Harris lewat situ, dan aku mengikutinya.
Beberapa burung me* nerobos masuk ke ujting ruangan itu, di sana ada tangga yang
besar. Harris menghabiskan waktu dengan menembaki burung*-
104

burung itu dan menghaiau mereka dengan tongkat. Suara ber- kaok-kaok dan bulu
beterbangan mengisi ruangan.”
”Dia benar-benar jahat!” gj
"Ketika ia seiesai mengusir burung-burung itu, ia meng- hilang di tikungan dan aku
mendengar suara pintu ditutup. Aku nggak berani terlalu dekat, tapi aku tahu ia sudah
pergi karena saat aku kembali ke ruangan berpilar, aku mengamati- nya keluar di bawah
lubang kematian.”
"Kau menemukan lubang-lubang itu, akhimya,” Simon meng- gerutu.
"Yeah. Lubang-lubang itu besar. Cukup besar untuk me- lemparkan batu-batu yang
berat.”
"Aku kaget kau nggak berusaha melempari Harris dari lu¬bang itu saat ia pergi,” ujar
Emily.
"Aku sebenamya ingin, percaya deh, tapi ada selembar plastik yang dipaku di sekeliling
lubang-lubang itu. Nah, aku jadi ingat, kita mungkin bisa membuka tutupnya. Tampaknya
nggak terlalu sulit.”
"Aku lebih tertarik pada Harris,” ujar Simon. ’’Jadi ia sudah pergi?"
"Mengunci pintu dan pergi. Kita bisa bersantai sekarang.” "Sebentar lagi. Kita yakin,
kan?” ujar Emily, ’’bahwa kita ingin menyelesaikan ini semua? Maksudku belum terlambat
untuk pulang. Kita nggak perlu bermalam.”
Ia memandang yang lainnya—Simon dengan tangannya yang terluka, Marcus dengan
wajahnya yang memar. Mereka menatap Emily dalam keheningan. Emily bergerak,
mencoba raeJenturkan pergelangan kakinya yang sakit.
"Kalian benar,” katanya. ’’Kita sudah bergerak terlalu jauh untuk mundur sekarang.”

”AKI J bam saja berpikir,” kata Emily, ketika ia bermalas-mtdas- an di dalam kantong
tidumya dengan penerangan yang remang-remang. "Bagus juga salju turun tadi pagi,
kalau nggak Harris akan melihat jejak kaki kita kemarin di mangan urania.”
"Bahkan cuaca pun memihak kita.” Marcus menguap. ”Kica- lah penguasa kastil ini.
Bagaimana apinya, Simon?” 4
Simon tidak menoleh dari tempatnya di dekat jeruji besi perapian. la menggerutu tidak
jelas. Sudah lima menit ia ber- juang untuk menyalakan tumpukan ranting dan potongan
kayu rusak yang telah ia taruh dalam perapian. Meskipun sudah banyak usaha yang
dilakukan untuk menyalakan api dengan koran bekas yang dilipat-lipat, korek api, dan
pemantik, sejauh ini ia belum berhasil.
"Cobalah menghidupkan pemanasnya,” saran Emily. belumnya, dengan banyak
embusan napas dan makian, Simon menyeret pemanas ini sejauh dua tingkat dari pondok
di ruang- an utama yang terbuka.
106

Ia menggelengkan kepala. ”Aku nggak mau menyia -nyiakan- nya. Kalau kita berhasil
menyalakan api, akan menghangatkan kita sepanjang malam. Pemanas akan lebih aman
dihidupkan kedka kita sedang tidur. Isinya juga setengah penuh.”
Ia mulai meremas-remas kertas menjadi bulatan seperti bola. Emily menggeliat di
dalam kantong tidumya dan memikirkan markas mereka. Malam menjelang. Cahaya
remang-remang me- nerangi posisi jendela. Ruangan itu dipenuhi bayangan, dan pintu
menuju tangga spiral menganga terbuka, hitam dan di- ngin, sampai akhimya ditutup
Marcus. Dua lampu senter di- nyalakan—memperjelas sebagian ruangan sambil
menandai perbatasannya. Simon menggunakan lampu sentemya ketika mencoba
menyalakan api, Marcus menggunakan lampu senter- nya untuk tnembaca buku. Emily
belum menyalakan senter.
Meskipun gelap, ruangan itu hampir terlihat nyaman. Tlga buah kantong tidur diatur
di depan perapian seperti jari-jari roda. Setiap orang memiliki bantal yang dibuat dari
pakaian, untuk Emily, dibuat dari baju hangat berbahan wol. Di sana- sini berserakan
makanan dan minuman yang mereka bawa sebagai bekal. Persediaan yang
mengesankan, meskipun kontxi- busi Simon tak lebih dari dua kaleng persik. Saat
ditanyakan, tanpa menjawab ia hanya menunjuk setumpuk alat pemantik api yang ia
selipkan di dalam tas ranselnya, dan bahkan Marcus pun mengakui bahwa ini adalah
alasan wajar yang dapat diterima.
Di antara mereka, Emily dan Marcus membawa antara lain: empat kaleng Coke, satu
botol bekas limun yang diisi air, enam bungkus biskuit cokelat, separuh roti tawar yang
sudah diiris, tiga stoples berisi selai, satu kantong keju cheddar yang belum dibuka,
bungkusan besar plastik berisi daging kalkun dingin,
107

riga kantong keripik yang sudah hancur (keripik ini ada di tag ransel Emily ketika
terjatuh di perapian), dua jeruk (jenik yang keriga sudah hancur pada insiden perapian
yang sama), dua pisau, dan satu stoples moster Inggris.
"Untuk apa kau membawanya?” tanya Simon ragu ketika Marcus dengan bangga
membuka mosternya.
"Nggak bisa makan keju tanpa benda ini. Aku memertu- kannya untuk
menyembunyikan rasa keju yang lengket^M Dengan atau tanpa hadimya moster,
perlengkapannya sudah cukup mengesankan. Yang mereka butuhkan sekarang adalah
api untuk menghangatkan—dan lebih cepat mereka mendapat- kannya, akan lebih baik,
karena udara dingin mulai meme- ngamhi mereka. Emily bisa merasakan udara sejuk
menerribus bajunya yang berlapis-lapis. Hidungnya membeka, setiap helaan napas
memompakan kabut uap di keremangan, d&n ia mulai menggigil kedingman. Marcus
sudah bersembunyl? di kantong tidumya sedalam mungkin. Hanya Simon,
membungkukkan badan di dekat perapian, masih berusaha untuk menyalakan perapian
dengan semangat tinggi. Ia menyalakan korek apt dan memegangnya di bawah
tumpukan ranting kecil. >>*1
“Ini dia,” gumamnya. ’’Mungkin saja berhasil. Tahan napas kalian.”
Percikan cahaya menyebar dari dasar perapian. Dua bola kertas koran yang dilipat-
iipat terbakar di tepinya—kuniiig terang, Mu perlahan menjadi jingga. Cahaya itu
memperjelas bentuk ranting-ranting berwama hitam yang mengelillngi kertas koran
seperti tenda. Selama beberapa detik kertas-kertas itu terbakar, kemudian satu ranting
di atasnya mulai berpijar. Simon menangkupkan tangan di atas tumpukan kecil itsa, me-
lindungmya dari angin dingin yang berembus dari cerobong
108

agap. Dua ranting lagi terbakar. Terdengar suara ranting her- derak.
Simon tetap berada di tempatnya, berlutut selama beberapa menit, menjaga api yang
mulai menyala. Akhimya ia berusaha untuk meletakkan empat pasak kayu yang lebih
besar di atas tumpukan yang terbakar, kemudian ia mematikan lampu senter dan berdiri
kesakitan.
Tolong awasi,” ujamya. ’’Apinya beluna' terlalu besar.” "Asyik,” Marcus berkata dengan
suara teredam dari dalam kantong tidumya.
"Bagus, Simon,” Emily setuju. "Mari kita raakan.”
’Tedh, aku membutuhkarfoyC” Ia melepas sepatu botnya dan duduk di tempat masuk
ke kantong tidumya. ’’Siapa yang mau buah peiisikf” ?
; ’’Menurutku kau bisa memakannya sendiri.” Emily meng- ambil sekantong rofi.
’’Apakah kau punya pembuka kalengf* ”0h. Mggak. Aku lupa.” . ■
Seperti uj&E bulu besar atau seekor larva, Marcus memutar tubuhnya di dalam
kantongnya sehingga ia bisa menghadap makanan. Tangannya mencari-cari daging
kalkun dingin. ”Kau membawa makanan kaleng tapi nggak membawa pembuka ka- lepg?
Kau akan kelaparan, dong.”
"la bam saja menyalakan api untuk kita,” Emily menegur- nya ketika ia memotong
seiris keju cheddar. "Kita harus berbagi sap rata,”
%/Aku tahu. Hanya bercanda.”
"Aku tahu ini bodoh, tapi aku pergi terburu-buru,” kata Simon. ’’Awabya mimpi buruk.
Semua saudaraku curiga, ingin tahu ke mana saja aku pergi beberapa hah terakhir ini.
Sulit
109

bagiku untuk melarikan diri dari mereka. Mereka semua ber- keliaran di dapur,
menggangguku.”
"Mereka pasti tahu kau bersama kami,” kata Emily, dengan mulut penuh.
"Carl belum memaafkanmu T' tanya Marcus.
"Oh, ia memukuliku dengan tongkat karena berbagai alasan setelah kejadian dulu itu.
Berikan keripiknya. Pertengkaran duiu itu sudah nggak diingatnya bgi. Neil lebih buruk—
ia te- rus menyinggung soal itu.”
"Apinya sudah menyab dengan baik,” ujar Emily, ^
"Berikan mostemya kalau kau nggak ingin memakanayi^
"Daging kalkun, keju, dan moster dalam rota isi? Mareus, kau menjijikkan.”
"Ini hidangan yang pantas untuk seorang raja,” ujar Marcus. "Dan sudah selayaknya.
Ini adalah pesta perjamuan terbesar sejak tahun 1313.”
"Memangnya apa yang terjadi saat itu?”
"Terjadi ketika Raja Edward tinggal di sini. Ini mencerita- kan padamu semuanya—”
Ia menunjuk buku yang terbuka ffl sebelahnya. ”Aku menemukannya di dalam pondok.
Mencerita- kan banyak kisah tentang kastil ini, dan asal tahu saja, ada beberapa yang
mengagumkan. Edward datang ke sini dalam acara kunjungan kerajaan dan tinggal
bersama seorang baron— aku lupa namanya—dan melakukan perjamuan yang sangat
besar. Sebuah perjamuan yang berlangsung selama seminggu. Kalian nggak akan
percaya apa yang mereka makam lusirmn sapi, kambing, dan babi, semuanya dibakar di
atas tongkat 'best untuk memanggang—kita belum melihat dapumya, tapi kita pasti bisa
menemukannya—juga tumisan burung puyuh, bunatg bangau, dan—eoba dengar hal
ini—burung merakl Mereka
110

memasaknya kemudian menyusun burung-burung yang sudah dihias dengan bulu ekor
mereka. Dam ada seekor beruang, kin—”
Emily berbicara terengah-engah. "Mereka nggak mungkin makan bemang! Sangat
mengerikani”
"Kau mengada-ada,” ujar Simons*
Ttdak,” Marcus mengerang. "Seekor beruang yang menari! Beruang itu menghibur
mereka di ruangan utama saat mereka makan.”
"Hebat,” kata Stmoji.*■
Tetap saja mengerikan,” ujar Emily. "Beruang yang ma- lang.”
"Rupanya raja dan rombongannya makan sangat banyak sehingga si baron harus
mengirimkan orang ke salah satu kastilnya yang lain untuk mendapatkan hidangan
tambahan. Hal ini inembuat baron bangknit. Dan tabu, nggak? Raja nggak berterima
kasih sama sekali. Beberapa tabun kemudian, ia mengambil alih kastil, memberikannya
pada orang lain, dan mengasingkan baron ke Prancis. Nggak adil, bukan?” Ia ber- henti
untuk mengambil napas (km memakan roti isinya dengan sebuah gigitan besar.
"Bagaimana kau bisa mengingat semua itu?” tanya Emily.
"Karena ia mengarangnya,” ujar Simon. "Mana ada yang mau makan burung merak.”
Karena cerita itu menarik minatku,” kata Marcus dengan ffl.uk penuh. "Ada beberapa
kisah hebat di sini- Beberapa sa-ngat menyeramkan. Ada satu di mana—Mnnnfl” Tiba-
tiba ia jatuh ke belakang, menggosok matanya yang berair.
Tahu rasa,” ujar Simon. "Moster dengan keju. Minumlah.”
Ill

”]adi semua saudaramu masih tinggal dengan ibu dan mu, bukan, Simon?” lanya Emily.
"Nggak ada yang beketjaf ’Ttdak. Mereka hanya memenuhi rumah sampai Icedai
minuman buka. PenuK sesak. Kami bertiga tidur di kamat^ Pauline punya feaxnar tidur
send in, karena ia anak perempuan. Nggak pemah ada kedamaian."
"Rutnahku jauh lebih sepi,” ujar Emily dengan muram. "Me- rasa lebih baik?”
”Bulu hidungku sepetti terbakar, sumpah! Aku nggak akan bisa mencium bau apa
pun!”
"Kau tetap saja bau,” kata Simon, mengemyitkan hidurig- nya. "Percayalah padaku.
Ada yang nggak berubah.” i* "Ha-ha. Dan sedikit potongan daging kalkun masuk %'lain
kantong ridurku.”
"Hanya kau yang ada di rumah, lm?”
"Hanya aku.”
"Apa pekerjaan ayahmu?”
"Akuntan."
"Wow, keren.”
"Nggak sehebat itu. Bagaimana dengan ayahmu?” >!J "Sekarang menganggur.
Biasanya bekerja di perkebunan. Kau tahu Miller’s? la bekerja di sana hingga
menghancurkan tangannya. Kecelakaan di tempat kerja.”
”Masa! Kecelakaan seperti apa?”
"Sebuah bak dari timah jatuh menimpany&i”
"Bak dari timah!”
"Jangan tertawa—atau aku akan membuatmu menelan sisa rooster ini."
"Tapi apa—”
"Mereka menggunakannya untuk memberi makan babi
112

Metnasukkannya ke mobil trailer. Menjatuhlcannya. Menimpa tangan Dad.


Memutuskan uratnya. Hancur deh.”
"Lelaki yang malang.”
’’Lelaki tua pemarah, lebih tepacnya.”
”Apa pekerjaan ayahmu, Marcus?”
"Ayahlcu? Aku nggak tahu, Nggak peduli. Kerja di pabrik. Kerja malam.”
"Ayahmu senang melihatmu keluar malam ini, bukan?”
"Past!”
Marcus mengambil buku dan mulai membolak-balik halam- annya. Emily
mengamatinya.
"Jadi akhimya kau bilang apa pada ayahmu?” tanyanya. "Tencang malam ini.” rt
Marcus sepertinya tidak mendengax Emily. la membuka ha- laman buku dengan
tenang dan berhati-hati.
"Ayolah, Marcus,” ujamya. "Nggak boleh ada rahasia malam ini. Stem, dan aku sudah
berbicara tentang keluarga kami dan ■semacamnya. Apa masalahnya?”
’ Marcus menoleh. "Aku belum mendengar kau menceritakan apa pun,” katanyav
"Yah, apa yang ingin kauketahui? Nggak banyak yang bisa dieeritakan.”
"Yah, nggak banyak juga yang bisa kuceritakan.”
"Baiklah. Keluargaku. Mari kita lihat...” Emily mengerutkan dahi dan mulai menghitung
jari tangannya. "Ada aku, Mom, Dad. Nggak terlalu sering melihat Dad. la bekerja hampir
di setiap akhir minggu, membawa kertas-kertas pulang dan duduk di flieja makan. Nggak
suka diganggu. Mom kebanyakan ada di rumah, menonton TV. Keluargaku biasa-biasa
saja. Mereka membiarkan aku mengerjakan urusanku sendiri, kecuali ketika
113
ada anggota keluarga lain berkunjung, barulah aku harm setor muka. Selebihnya, aku
bisa pergi ke mana pun aku suka. Asalkan aku muncul untuk makan bersama, mereka
senang. Itu saja. Membosankan, ya P
"Kau benar,” ujar Marcus. ”ltu membosankan- Pasti mengsn- km, berada di rumah, ibu
dan ayahmu membiarkanmu melaku- kan apa pun yang kauinginkan.”
"Kedengarannya baik-baik saja untukku," kata Simons ”Se- tidaknya kau nggak
diganggu.”
Marcus mengerang. ”Aku tadi sarkastis,” katanya dengan letih. nOke, apa yang
kautanyakan padaku? Ten tang ayahku dan malam ini. Yeah, aku nggak bilang apa-apa
padanya. la nggak tahu. Ia pergi ke pabrik pukul sepuluh lewat tiga puluh menit malam
ini dan nggak akan kembali sarnpai pukul sent' bilan pagi besok, saat itu aku akan kembali
ada di rumah dan di dapui, menyiapkan sarapan untuknya.”
Simon mengerutkan dahi. ”Kau memasak makan pagi untuk- nyaP
"lya, lima hari dalam seminggu.” Ia menatap mereka feer- gantian. ”Aku juga mencuci
pakaiannya. Setiap hari Minggu. Ada hal lain yang ingin kalian ketahui?”
Emily terlihat sedikit terkejut. "Tidak. Sudah cukup," kata-nya.
"Aku punya pertanyaan,” ujar Simon, ”Ini belum pukul se- puluh lewat tiga puluh
menit. Jadi ayahmu pasti tahu kau se- karang nggak ada di rumah.”
"Pasti ia tahu. la tahu aku ada di perpustakaan, Aku bilang padanya kalau aku belajar
di sana malam ini. Untuk-tugas sekolab. Aku bisa berbohong dengan sangat baik. Ia pikir
aku ini semacam kutu buku, tapi ia membiarkannya.” %
114

"Tapi perpustakaan tutup pada pukul sebelas,” ujar Emily.


*Yah, ia pasti nggak mengetahuinya, kan? Ia nggak pemah fliasuk ke perpustakaan
sepanjang hidupnya.”
Hening sejenak. ’’Besok kau harus pulang awal,” kata Emily. "Kau bawa beker?”
”Iya. Boleh aku minta daging kalkun lagiF
Percakapan berhenti. Sementara Marcus melanjutkan roa- kan, Simon berusaha keluar
dart kantong tidumya dan berjalan dengan memakai kaus kaki untuk menaruh ranting-
ranting ke- cil di perapian. Nyala api berpijar dengan indah. Asap menipis dan raenghilang
melewati cerobong asap. Pijar api berwama merah yang berkelip-kelip memenuhi mulut
perapian yang besar dan meittberikan permainan cahaya serta bayangan tiada hentinya
pada wajah mereka. Sisa ruangan itu gelap. Panas api cokup menghangatkan twajah
mereka, tapi belum bisa meng- enyahkan udara dingin yang tidak kelihatan. Tidak
seorang pun melepas-topi, dan Emily masih memakai sarung tangannya, yang sekarang
berminyak terkena keju dan daging kalkun.
”Ayo hidupkan pemanasnya juga,’" katanya.
#Belum saatnya.” Dengan hati'hati Simon memasukkan byu ukuran besar ke dalam
perapian. ”Tunggu sampai kayu- byu ini tetbakar, kita akan mendapatkan kehangatan
yang sebenamya.”
Ia kembali ke kantong tidumya. Marcus sudah berguling ke dalam kantongnya dan
membaca bukunya lagi, memegang lam- pu sentemya dengan satu tangan. Emily
beisandar pada satu siku dan memperhatikan permainan cahaya api. Perlahan-lahan
apinya bertambah besar, dan ruangan pun menjadi hangat. Bayangan menari-nari di
dinding dan langit-langit.
Waktu berlalu. Emily merasa iebih hangat dan lebih nya-
115

man dart kapan pun sepanjang hari itu. la sedang mendekati waktu yang
menyenangkan, samar-samar, tidak pasti antara sadar dan mengantuk, ketika tiba-tiba
Marcus mulai bicara lagL
”Aku benar mengenai apa yang aku ceritakan soal pepe- rangan itu ” katanya. ”ltu,
tuh, ketika kita ada di pos penjaga. Pemah terjadi pertarungan besar di sini."
Pikiran Emily yang sedang mengantuk kembali tersadar Ada gerutuan dari arah Simon
seolah mengisyaratkaa bahwa ia berada pada tingkat telaksasi yang sama.
"Pertempuran paling besar adalah ketika Raja John datang ke sini untuk menyerang
Baron Hugh,” lanjut Mareus. Tara baron metnberontak me la wan kekuasaan raja dan
John ingin menghukum mereka. Ia menyerbu ke sini tahun 1215 dan me- nyusun
serangan besar-besaran. Hugh dan prajuritnya serta penduduk setempat terkurung di
dalam kastil dengan per- bekalan yang cukup untuk membuat mereka bertahan hidup
selama enam bulan jika perlu. Raja bermarkas di sekitar parit kastil. la memiliki pasukan
yang terdiri atas dua ribu orang, sernentara Hugh hanya memiliki empat ratus orang.
Raja mbro= beritahu Hugh bahwa jika ia menyerah dengan segera Raja hanya akan
mengambil alih kastil untuk sernentara waktu. Hugh akan dibuang selamanya, tapi
anaknya, Roger; dapat me' warisi kastil ketika ia dewasa.
"Yah, itu nggak cukup baik untuk Hugh, yang berhaffip beberapa baron lainnya akan
segera datang untuk menoloag' nya. Hugh menolak usulan itu dan memutuskan. untuk
ber-tahan. John marah dan melancarkan serangan pada hari yang sama. Prajuritnya
berusaha untuk menyerang pos penjaga di seberang jembatan, tapi prajurit pemanab
Hugh melumpuMsan
116

meIeka. Parit kastil di sekeliling gerbang dipenuhi tubuh manu-ka dan air yang
bercampur darah. Sia-sia berusaha untuk ma- suk, jembatan adalah satu-satunya tempat
yang berada di atas parit kastil dan dipertahankan dengan sangat kuat. Jadi John mundur
dan menunggu. Bulan-bulan berlalu.”
"Bagaimana dengan baron yang lainnya?” tanya Simon dari aiah kantong tidumya.
’’Apakah mereka muncul?”
"Tidak, mereka tidak muncul. John nggak membutuhkan semua prajuritnya untuk
menyerang kastil, jadi setengah pasuk- annya sudah pergi dan menumpas para
pemberontak di kastil- kasdt sekitamya. Hugh terperangkap, sepenuhnya terasing. Tapi
ia nggak menyerah begitu saja. Menurutnya John mungkin saja bosan, dipanggil kembali
ke istana, atau semacamnya. Setiap hari Hugh mengunjungi menara pengintainya,
berbieara de¬ngan prajurimya, menyemangati mereka untuk tetap waspada,
memberitahu mereka bahwa bantuam akan datang. Anaknya yang masih kecil, Roger,
mendampinginya. Ia masih berumur dua betas tahun, tapi sangat pemberani, dan setiap
orang di kastil itu menyayanginya.” -
"Mungkin ini kamamya Roger,” kata Emily. ’’Rasanya mung- Idn saja. Kamar yang
indah untuk anak lelaki baron.” ;
"Lanjutkan, Marcus,” kata Simon. ’’Jadi apa yang terjadi? Apakah John menemukan
cara untuk masuk?”
"Tidak, tapi orang lain yang melakukan itu untuknya. Me- nurut beberapa biarawan
hal itu adalah pengkhianatan paling huruk dalam sejarah Inggris, yang kedengarannya
terlalu ekstrcra, tapi menurutku—”
"Lanjutkan ceritamu!”
"Baiklah. Hugh dan prajuritnya bertahan selama enam bu- !®i pada saat itu persediaan
makanan sudah habis. Tapi me-
117
reka sudah bertindak bijaksana, mereka berhemat, jadi raasih ada sisa makanan.
Persediaan air cukup—mereka punya sunn# Dua bulan lagi berlalu, sekarang persediaan
gandum hampit habis. Daging yang diasinkan sudah. lama habis, dan orang. orang mulai
melemah. Beberapa orang tua dan perempuan meninggal, dan muncul kasak-kusuk
untuk membunub kiida dan anjing kemudian memakannya. Yak, Hugh tetap trdak mau
menyerah—ia tahu apa yang akan terjadi jika tunduk pada kekuasaan Raja. Tapi nggak
semua prajuritnya merasakan hal yang sama dengannya, satu di antara mereka
adalabpe- ngelola kastil, tangan kanan Hugh- la berkeliling dan melibat setiap orang di
dalam kastil mulai kelaparan, sementara di luar tembok kastil ada perkemahan Raja,
terpancang sama per- manennya dengan ladang dan hutan. Musim dingia sebentai lagi
tiba, dan menurutnya gila untuk membiarkan hal ini terus berlanjut Jadi ia memutuskan
untuk membantu Jobn agar me- nang.”
’’Orang yang bijaksana,” kata Emily. ;
"Yang benar sajai” ujar Simon ketus. ”la seorangr peng- khaanan”
Marcus terkekeh. Ia senang ceritanya* bisa memengaruH pendengamya. ”la memang
seorang pengkhianaty’ katanya. ”Dan inilah yang dilakukannya. Ia membujuk beberapa
orang dari pos penjaga agar berpihak padanya, dan dengan bantuan mereka,
menyelundupkan pesan ke perkemahan Raja Is berkata akan membukakan pintu gerbang
pada tanggal yang dijanjikan, dengan syarat ia dan teman-temannya*1 diampuni saat
pertempuran selesai.”
"Dasar bodoh,” ujar Simon.
"Yah, Raja setuju, dan malam berikutnya si pengelola tW'
118

nfdinap ke pos penjaga sebelum fajar. la dan anak buahnya membunuh pengawal
yang tidak mau berkhianat, keraudian mereka membuka pintu best dan gerendel pintu
yang besar.
1 Ketika semuanya siap, si pengumas menyalakan obor di salah satu jendela pos
penjaga^—itu adalah tanda untuk Raja.
Tidak lama setelah obor dinyalakan, trompet berbunyi dan pasukan John menyerbu ke
arah jembata^, tnelewati pintu gerbang yang terbuka dan masuk ke halaman depan
kastil. Para penjaga kastil membunyikan tanda bahaya, tapi sudah terlambat bagi prajurit
di tembok bagian luar. Sebelum mereka bisa bersiap-siap, panah-panah menghujani
punggung mereka, dan pasukan Raja menerobos masuk dalam rumah-rumah dan ■ istal,
membakamya dan membunuhi penduduk yang mem- beiontak ketika mereka berlarian.”
* ’Semuanya terjadi di siai?” tanya Emily, kageL "Sangat me- | ngerikan!”
* IHebat sekali,” ujar Simon. "Jadi, apa yang tetjadi—apakah | Hugh terbunuh?”
’’Ada satu kejadian lagi,” lanjut Marcus. "Hugh dan ke- luaiganya ada di dalam kastil
ketika musuh menerobos masuk, danJJugh segera memerintahkan untuk mengamankan
pintu masuk ke bagian tengah kastil. Menurutnya John mungkin me- rebut tembok di
bagian luar, tapi ia nggak akan bisa menerobos ke dalamnya. Jadi sementara bangunan
di luar terbakar, Hugh memanjat salah satu menara dan bergabung dengan pasukan,'
nya, yang sedang memanahi pasukan Raja di bawah. Di tengah jalan, ia berhenti untuk
memanggil anak lelakinya, Roger, yang selalu ia inginkan ada di dekatnya. Yah, setelah
beberapa saat, 13 sadar Roger nggak muncul, jadi ia memanggilnya lagi. Roger juga
tidak menampakkan diri. Normalnya tidak begini—
119

biasanya Roger adalah orang pertama yang ada di sisi ayahnya. Jadi Hugh pun turun
dan melihat semua pelayannya mencari anaknya di mana-mana—tapi tidak seorang pun
menemukan Roger.
’’Dengan khawatir, Hugh kembaii ke menara pengintai untuk melanjutkan perlawanan,
tapi belum lama ia di sana, ia melihat pemandangan yang membekukan aliran darahnya.
Bisa- kah aku minta minum? Tenggorokanku mulai kering.”
’’Nggak! Nggak bisa!” teriak Simon. ’’Jauhkan minuman itu darinya, Em, sampai ia
menyelesaikan ceritanya.”
Marcus menyeringai. ”Aku akan menyingkatnya, kalau begitu. Yah, matahari sudah
terbit sekarang, dan cahaya mulai masuk ke halaman kastil yang membara. Hugh
menatap ke bawah dari menara pengintainya, dan tiba-tiba melihat apa yang paling ia
takutkan. Di sana, ada anak lelakinya, terbaring di atas lumpur. la mengenakan pakaian
tidumya dan ia me- megang pedang di tangan. Tapi ia sudah tewas—terbaring di atas
kolam darah. la ditusuk sampai tembus!
’’Kemudian Hugh tahu apa yang sudah terjadi. Ketika tanda bahaya berbunyi, anaknya
yang berani tidak menunggu dirinya dipanggil, tapi langsung mengambil pedang dan
meninggalkan kastil untuk menghadapi bahaya yang mengadang. Sebelum ia dapat pergi
jauh, salah satu prajurit John menusuknya.
’’Ketika ia melihatnya, Hugh memberikan perintah baru dan prajuritnya mengikutinya.
Mereka meninggalkan menara pengintai, segera menuju kastil, dan menerobos pintu
untuk membalas dendam pada Raja. Sebuah langkah penghabisan yang gagah berani,
tapi juga nekat. Tidak lama kemudian Hugh pun terbunuh, tenggorokannya ditembus
anak pariah Pasukannya ada yang terbunuh atau tertangkap. Beberapa
menit kemudian orang-orang yang selamat menyerah. Serangan besar-besaran pun
selesai. Ketika semuanya sudah tenang, John memasuki kastil.”
"Maksudmu ia bahkan nggak ikut berperang?” tanya Emily. "Benar-benar pengecut!”
"John nggak seperti itu. Tapi ia melakukan satu hal yang baik."
"Apa?”
"Ia memanggil pengelola dan teman-temannya yang ber- khianat. Hanya mereka yang
tersisa di kastil itu, yang tidak mati atau terluka, dan mereka sangat senang karena
rencana mereka berhasil. ’Jadi’ kata John. ’Kurasa kalian sudah siap untuk mengabdi
padaku?’ Orang-orang itu mengiakan. Timm,’ lanjut John. ’Seperti setiap bangsawan di
negeri ini harus ber- sumpah setia pada Raja dan tidak pemah mengkhianatinya, jadi
setiap orang harus bersumpah setia kepada tuannya. Tuan kalian mengkhianatiku dan
sudah membayar harganya, tapi kalian juga mengkhianatinya. Dan orang yang
mengkhianati tuannya hanya membuktikan satu hal—bahwa ia tidak pantas untuk
dipekerjakan, dipercaya—atau hidup.’ Dengan kalimat ini, pengurus dan teman-
temannya menjatuhkan diri dan ber- lutut memohon pengampunan, tapi sia-sia saja.
Mereka diseret dan dibunuh.”
Marcus menyelesaikan ceritanya dengan nada suara yang menunjukkan kepuasan
besar.
"Sepertinya terlalu berlebihan,” ujar Emily. ’’Maksudku, aku tahu mereka jahat, tapi
mereka juga membantu John menakluk- kan kastil.”
’Tidak, mereka pantas menerimanya,” kata Simon.
’’Entahlah...”
121

"Kisah yang menarik, bukan?” tanya Marcus. ’’Itulah satu. satunya saat kastil berhasil
dikuasai orang lain. Dengan peng- khianatan. Ada dua kali penyerbuan yang lain,
rupanya, tapi kastil ini berhasil bertahan.”
”Dan semua yang terjadi di sini...” Simon berbaring dengan tangan berada di belakang
kepalanya. ’’Bayangkan menatap ke bawah dari menara dan melihat anak lelakimu
terbaring mati."
"Menara yang mana itu?” tanya Emily. ’’Mungkin menara yang ada di atas kita.”
"Kurasa nggak ada seorang pun yang tahu.”
"Sayang kita nggak bisa memanjat sampai ke atas.” 'Tunggu.” Marcus meraba-raba ke
dalam tasnya dan me- ngeluarkan pamflet kumalnya. ’’Kupikir... ayo kita lihat...” la
mengamati peta kastil di bawah sinar lampu sentemya. ”Iya, salah satu menara itu masih
dibuka. Menara yang ada di seberang. Entah menara itu dikunci sekarang atau tidak, tapi
kita bisa pergi dan melihatnya kapan-kapan.”
”Ayo kita pergi sekarang,” ujar Emily, yang mulai sedikit ke- panasan dan gatal di
dalam kantong tidumya. Perapian me- manaskan ruangan itu secara efektif. ’’Kenapa
tidak? Nggak akan lama.”
’’Pasti akan dingin," ujar Simon. ’’Bagaimana kalau nanti saja?"
"Aku nggak bisa tinggal di sini sampai besok,” ujar Marcus, la menurunkan kantong
tidumya dan mulai menggeliat keluar. ’’Ayolah—akan sangat menakutkan berada dalam
gelap.” I
Emily mengikuti ajakannya. Simon mengerang tapi me- nurutinya-
"Padahal aku baru saja merasa nyaman,” katanya.

122

If
9
MEREKA memakai sepatu dan lapisan baju tambahan. Simon menamh sepotong kayu
terakhir di perapian, kemudian ber- gabung dengan mereka di pintu. Mereka bertiga
membawa lampu senter, Marcus mengarahkan sentemya ke peta yang ada di tangannya.
”Oke,” katanya. ’’Kita meninggalkan markas. Kita punya dua rute yang mungkin
dilewati. Saat kita sampai di iantai bawah, kita bisa memutari kastil melalui lorong dan
melewati dapur, atau melalui kamar dan kapel.”
’’Jalan mana yang lebih hangat?” tanya Simon.
’’Kedua jalan itu mungkin sama saja dinginnya. Tapi rute kapel akan lebih terlindungi,
kalau salju turun atau semacam- nya. Mari kita melewati jalan itu. Aku juga bisa
menunjukkan lubang kematian pada kalian.”
’’Cepat tutup pintu,” ujar Simon. ’’Supaya ruangan tetap hangat.”
Marcus mengayunkan pintu dan melangkah menuju tangga yang sangat gelap. Lampu
sentemya menerangi batu pilar yang
123

tebal—batU'batu itu bersinar dingin dalam cahaya ya^g remang-remang. Ia menuruni


anak tangga, diikuti Simon dan kemudian Emily, yang menutup pintu di belakangnya.
"Jangan sampai cahaya memancar keluar jendela,” bisik Emily. ’’Siapa tahu ada yang
mengawasi.”
”Kita aman di sini,” Simon balik berbisik. ”Yang menghadap desa itu, bagian kastil di
sisi lain.”
"Meskipun demikian...”
Mereka menuruni anak tangga, udara beku menggigiti wajah mereka. Simon dan Emily
mengikuti sosok hitam Marcus, yang bergerak-gerak mengikuti cahaya lampu senter-
nya. Di lantai berikutnya ia berbelok ke kanan dan menuruni lorong menuju kamar
bangsawan penguasa kastil. Di sini ia menyorotkan lampu senter ke sekelilingnya,
menerangi perapi- an dan lengkungan pengbalang menuju ruangan utama yang sudah
menghilang. Marcus tidak berhenti. Ia mengabaikan jalanan di bawah kubah di sebelah
kanan—”ltu toiletnya,” ia mendesis lewat bahunya—dan menunduk melewati lengkungan
lalu berjalan lurus. Dengan segera mereka sampai ke ruangan yang lebib kecil.
”Kapel,” ucapnya.
’’Mengapa kita berbisik?" tanya Simon.
’’Entah.”
”Hm, bisakah kita berhenti berbisik?”
”Bisa saja.”
Tetapi lebib mudah bicara daripada melakukannya. Kastil mengurung mereka.
Keheningannya begitu mutlak bingga se- pertinya berbicara keras merupakan kejahatan.
Ketiganya sudah terbiasa dengan kesunyian pedesaan. Tapi dalam kesunyian itu
124

biasanya masih ada suara: suara deruman jalan di kejauhan, bisingnya mesin
pertanian, kicau burung, angin di pepohonan. Kesunyian malam biasanya dipenuhi aneka
suara juga: suara burung hantu, mobil, gonggongan anjing, atau, lagi-lagi, deru angin
yang tak kenal lelah. Di sini, di dalam kastil, keheningan malam dan keheningan pedesaan
yang terpisah menyatu dan semakin pekat, dan meskipun hal ini tidak me- nekan mereka,
tapi membuat mereka waspada dan dipenuhi rasa hormat. Mereka berjalan hati-hati,
menyelinap perlahan- lahan, seperti pencuri di dalam rumah yang penghuninya se- dang
tertidur.
Simon dan Emily dengan penuh semangat mengikuti sinar lampu senter yang berkelok-
kelok, mengawasi napas Marcus menguap di depannya. Ia memimpin mereka melewati
kapel, di bawah lengkungan kubah dan masuk ke ruangan yang bentuk dan ukurannya
tidak jelas. Terdiri atas beberapa pilar yang terbuat dari lempengan batu bulat. Marcus
mengarahkan sentemya ke atas.
"Atapnya sudah runtuh,” katanya pelan. ’’Kalian bisa me- lihat bintang-bintang.”
Di tempat sinar sentemya tertuju, langit-langit berakhir pada celah yang gelap.
"Pindahkan sentermu,” kata Simon. ”Aku nggak bisa me- lihat langit.”
Marcus mengayunkan sentemya ke bawah—dan sesuatu memotong cahayanya,
gerakan menurun yang buram. Udara berembus di depan wajah mereka. Marcus dan
Emily berteriak, Marcus menjatuhkan sentemya. Ada suara derak. Cahaya pun padam.
Kegelapan. Keheningan.
125

’’Nggak ada apa-apa, dasar bodoh,” ujar Simon. ”ltu ke. ielawar. Mungkin ada dua."
"Lupakan apa itu tadi," kata Marcus dengan suara gemetar dan lantai. "Hidupkan
lampu sentermu. Aku nggak bisa me- nemukan senterku.”
"Kau bisa mengamati bintang-bintang sekarang, Jj-alau mgin.”
Ada cahaya yang sangat lemah tidak berbentuk, gelap tanpa batas, titik-titik kecil yang
sangat banyak, yang menuiut Emily dapat dilihatnya dengan lebih jelas jika menahaa
arah tatap- annya sedikit ke sisi lain dari tempat mereka beradsu dj Suara Marcus
terdengar lagi. "Indah sekali. Sekarang, senter- nya.
Emily menyalakan senter. Marcus meraup sentemya dan memungutnya.
”Sial, senterku rusak.”
"Nggak apa-apa, kita masih punya dua.”
"Yeah, tapi itu senter ayahku. Bagaimana kalau ia mem- butuhkannya?”
"Kau bisa memperbaikinya. Ayolah.”
"Ben kami cahaya. Aku tabu jalannya.” Marcus menganM senter Emily dan terns
berjalan melewati pilar-pilar. Ia me- nyorotkan cahaya sentemya ke lantai,
memusatkanny® pads dua lubang hitam bundar di sana. "Lubang kematian,” katanya
mantap dan melanjutkan perjalanannya.
Mereka mengikuti Marcus masuk ke lorong yang lain, sea-ler Marcus menerangi
dinding di kedua sisi, cahaya menonj^ kan tekstur kedua dinding. Emily membayangkan
bagaimanm lorong ini dulunya ketika kastil ini masih barn dibangupj obor berjajar
menyala, dipenuhi asap dan cahaya keemasan, 4I
126

Masih belum ada langit-langit di atas mereka. "Hati-hati,” Its® Simon pada Marcus.
”Kau menyorot cahaya ke angkasa. (^ang bisa saja melihatnya. Bisakah kau memat-
ikannyar "Tidak.” Meskipun demikian, Marcus sekarang menutupi senter dengan
tangannya, menghalangi cahaya kecuali jejak setengah lingkaran yang ada di lantai untuk
memandu lang- | lahnya.
Di ujung lorong ada ruangan yang luas, lengkap dengan acapnya, Emily hanya bisa
samar-samar merasakannya karena terbatasnya penerangaru Ada tangga spiral yang
lebar di depan daft beberapa jendela di dinding.
"Lihat M?” Marcus mengarahkan cahaya ke pintu kayu yang tebal. ’’Itu jalan keluar.
Tangga turun menuju fee pintu masuk/I^pi feita afean ke atas.”
Ia berhenti. ”Ayo kita naik tangga, kemudian aku akan me- matikan senter,” .katanya.
’’Kira bisa terlihat orang dari balik seiftua jendela ini.” *
V Ketika mereka menaiki anak tangga spiral, tangan mereka terentang antara tembok
sebelah kiri dan bagian tengah pilar, Marcus memadkan senter dan kegelapan menguasai
mereka. Setelah menyesuaikati diri beberapa saat, mereka muiai ber- jalan naik.
Di kegelapan rasanya lama sekali. Pikiran Emily yang te- gang berkurang karena
mendengar langkah kaki dan merasakan batu dingin dan licin dengan ujung jari sarung
tangannya. Udara musim dingin membakar wajah mereka. Di atasnya, ia m widen gar
Marcus batuk. Ia tidak bisa melihat apa-apa, dan fmajinasinya muiai menciptakan
berbagai hal. la mendengar sesuatu terseok-seok dS belafeangnya, ia merasakan napas
meng- gelitik lehemy&r^^i
127

Tiba-tiba langkah-langkah kaki di depan berhendi .(fe. sesaat feemudian ia menubruk


punggung Simon yang fid^y ^ gerak.
"Ada apa?’ bisiknya.
"Dinding sebelah kiti menghilang. Sedikit mengejudea. Tapi nggak apa-apa, kita ada
di laiicai berikutnya. Kita haius terns naik, menurutku.”
Perjalanan dimulai lagi dan mereka melanjutkan naik lang- kah demi langkah. Mata
Emily sakit karena melihat di dalam kegelapan. Sesekali, setitik cahaya kuning lembut
muncul di sebelah kin. Ia tahu itu adalah cahaya dari rumah yang beiada di kejauhan dan
tentunya itu terlihat melalui jendela, tapi ti- dak mungkin juga untuk memastikan
bentuknya—cahaya itu berkedip, bening, dan menari di matanya seperti wiU'O’the-n/isp,
sampai kepalanya pusing. Kemudian ia terns melangkajja dan cahaya itu pun menghilang.
"Aku sudah sampai di sebuah pintu.” Suara Marcus betbisik di kesunyian. "Tunggu
sebentar.”
Hening sejenak.
”Aku menemukan semacam gerendel. Nggak bisa dibukggjw1 Terdengar suara makian
tertahan. ’’Ayolah, sialan...” Terdengar suara retakan logam dan kayu yang tiba-tiba
bergeser. Emily merasakan aliran udara dingin dan mendengar SimcM® me- langkah
maju. la maju lagi dan keluar di atap menara.
Sebuah kubah hitam dihiasi lengkungan bintang-bingjjfc yang bersinar di atas kepala
mereka. Luasnya membuat Emily terkesiap—hal itu, dan kulitnya yang terkelupas karenaj
udara tengah malam di musim dingin. Udara beku di sink lebih bersih dan lebih menusuk
daripada udara di dalam kastil. Me- nyengat dan membersihkannya ketika ia berjalan .
naik,
128

gerasakan keabadian. Untuk sesaat pikirannya seakan terbuka ketika merasakan


luasnya angkasa dan muncul rasa takut ka- rena merasa kecil dan tidak penting. Untuk
sejenak ia meman' dang alam semesta yang menurutnya tidak pemah ditinggali- nya,
walau bintang'bhntang yang sama bersinar dengan dingin... Sekilas saja, pikirannya tidak
dapat menanggungnya dan pemikiran itu bilang segera setelah dimulai. Sambil me' narik
napas dalam-dalam, ia menundukkan kepala. Bayangan bentuk tubuh Marcus dan Simon
terlihat di atas menara pengintai. Di belakang mereka ada sekumpulan cahaya di ke-
jauhan dari pedesaan, terlihat lembut, samar-samar dan ke- kuningan, bersebelahan
dengan bintang-bintang yang mem'
beku.
Ia bergabung dengan mereka, kakinya berderak menembus salju. Pemandangan
diselimuti kegelapan, tidak bisa melihat apa pun kecuali hutah yang berkabut di bawah
bintang-bintang terdekat Jauh di sebelah kiri, ada cahaya df kejauhan, di bawah langit,
menandafcan adanya kota yang lebih besar. i^^rodah, ujar Emily. '~/i
"Pasti dulu Hugh berdirf di sini,” kata Simon. "Menunggu datangnya pasukan Raja."
"Bertanya-tanyh apakah bantuan akan tiba se be turn musuh datang,” tambah Marcus.
’’Mengamati pohon-pohon, mencari tanda-tanda kedatangarF mereka—burung yang
terbang men- dadak, asap di hutan, api unggun di malam hari.”
■ "Kita berada di ketinggian,” lanjut Simon. ”Ia pasti merasa aman, bukanr . J
ttIa merasakan batu di bawah kakinya, merasakan kekuatan mereka sama seperti
kita,” kata Marcus. ’Tidak ada yang bisa masuk tanpa seizinnya. Kastil ini dapat bertahan
selamanya.”
129

"Dan kastil ini sudah bertahan," ujar Emily, ”Walan H\igh tidak. Dan kastil ini masih
kokoh. Pejamkan matamu dan kau bisa tnembayangkan hal yang sama untuk kita—
amanr di da- lam, mengasingkan musuh di luar.”
"Kita nggak perlu memejamkan mata,” ujar Marcus, la dfam untuk sesaat.
Emily berusaha untuk menemukan cahaya mans’ yang ber- asal dart rumah
orangtuanya, tapi sulit baginya untuk menebak jaian menuju rumahnya. Pemandangan
waktu malam mendStd beberapa perbedaan. Jauh dari udara dingin, kebosanSh^an
tanab raws. Marcus sepertinya memikirkan hal serupa.
"Seperti hutan belantara di luar Sana,” katanya. ”Aku nggak akan terkejut kalau
sekarang ada serigala dan beruang muncul dad hutan."
"Atau perampok," ujar Emily. "Buronan. t .
"Raja John adalah orang yang melawan Robin Hood, bu- kanJ”
"Yeah. Kebanyakan penjahat akan menggorok leherTO, barangkali, nggak akan
melepaskanmu." d
Pelan-pelan Simon tertawa sendiri. ”Aku baru saja berpikk," katanya. ”Aku ingin
melihat wajah Carl jika ia melihat kita di atas sini. Dan wajah NeiL Mereka sedang bermain
di parit kastil dan tiba'tiba mereka mendengar sebuab siulan. Mereka melihat ke Sana
kemari, tidak tahu dari maria asal siulan #di, mendengamya lagi, kemudian—tiba-t-iba—
datang bola salju dari ketinggian. Melumpuhkan mereka.”
"Atau anak panah,” ujar Marcus.
"Mereka nggak akan tahu harus berlari ke mana,
Aku suka itu.” la tertawa lagi. "Hei, mungkin mereka skan
130

jgtang besok. Bukankah itu luar biasa? Oh, aku suka kalau kita bisa menyergap
mereka. Aku akan suka sekali.”
Emily menyela. ”Yeah, tapi kita nggak ingin orang lain tahu Jcalau kita ada di sini,
kanP’
"Yah, kita belum punya persediaan amunisi,” ujar Marcus. 'Atau persediaan makanan.
Namuns demikian—” la mengamati jam tangannya, tidak bisa menentukan jam berapa
sekarang, menyerah. ”—aku harus melakukan satu hal.”
Simon menekan tombol di jam tangannya dan menyinari wajahnya. ’’Pukul dua belas
lewat sepuluh,” katanya.
- "Witching hour, jamnya para penyihir.” Marcus beranjak dari menara pengintai. ”Ayo,
kita kembali. Pikirkan perapian yang mfinunggu kita.”
131

PKRSELISIHAN

8
API sudah hampir mati ketika mereka kembali ke ruangan, tapi hangatnya masih
terasa, dan pijar merahnya kelihatan se- perti cahaya terang. Mereka dengan
bersemangat masuk ke kantong tidur masing-masing. Simon menyebutkan soal pe-
manas lagi.
”Aku nggak bisa diganggu untuk menyalakan pemanas im sekarang,” katanya.
’’Berteriaklah kalau kalian kedinginan.”
”Aku senang bisa kembali ke sini,” ujar Emily. ’’Menaranya mengagumkan, tapi
perjalanan ke sana dan kembali ke sini sedikit menakutkan. Terlalu banyak pintu yang
terbuka le- bar."
"Akan lebih buruk kalau saja kau tahu tentang hantunya,” kata Marcus tiba-tiba.
"Jangan, Marcus—" Suara Emily mengandung nada per- ingatan. ”Aku nggak bisa tidur
kalau kau mengarang cerita tentang sesuatu yang mengerikan.”
”Aku nggak mengarangnya! Kata orang, ada hantu di kastil ini.”
135

”Ttdak tertarik!”
”Aku mau mendengamya” tanggap Simon. ’’Asalkan ngggi membosankan.”
"Nggak, kok. Sangat mengerikan. Tapi Em nggak mau men- dengamya.”
"Oh, Em..,”
"Baiklah—tapi jangan salahkan aku kalau aku memaksa kalian untuk tetap terjaga
sepanjang malam.”
"Bagus. Mulailah, Marcus.”
”Hm. Kisahnya dimulai—kau yakin mau mendengar kisah ini, Em?"
”lya!"
"Kisahnya dimulai ketika beberapa bangsawan atau lain- nya—bukan Hugh, menurutku
kisah ini terjadi sesudah Hugh, pokoknya penguasa kastil ini sangat boros. Ia
menghabiskan semua uangnya untuk minuman anggur dan perempuan, akhir- nya ia
memiliki utang yang besar. Yah, ada yang menurumya bisa meminjami uang yang
dibutuhkannya, dan orang itu ada- lah kepala biara dari biara setempat. Kepala biara itu
dikenal karena sangat kaya dan licik. la memiliki usaha meminjamkan uang pada orang-
orang dan kemudian membebankan mereka tingkat bunga yang melebihi biasanya.
Setiap orang yang nggak sanggup mengembalikan pinjaman padanya akan mendapat
masalah—mereka dipenjara atau dipukuli oleh anak buah kepala biara—dan kepala biara
suka menyombongkan din tentang hal itu dengan berbagai car a, ia selalu mengumpulkan
apa yang menjadi haknya."
"Bagaimana seorang kepala biara bisa meminjamkan uangf sela Emily. "Kupikir mereka
harusnya hidup suci.”
"Bukan yang satu ini, ia nggak hidup suci. la kaya dan

jahat. Bangsawan itu tidak menemukan cara lain, selain me- minjam uang dari kepala
biara. Akhimya, bangsawan itu ber- pikir, aku akan menemukan cara untuk membayar
kepala biara. Yah, kepala biara membayar utang-utang bangsawan itu, dan semua orang
senang. Tapi tidak lama kemudian tibalah saat bangsawan itu harus membayar
pinjamannya, dan bangsawan itu berpikir keras apa yang harus ia lakukan, karena tentu
saja ia masih belum memiliki uang.
"Ketika bangsawan itu tidak sanggup membayar, kepala biara mengirim beberapa
pesan untuk mengingatkannya, tapi percuma saja. Akhimya, ia mengancam akan
membawa bangsa- wan itu ke pengadilan jika tidak melunasi utangnya minggu depan.
Bangsawan itu menjawab dengan tergesa-gesa bahwa akhimya ia punya uang, dan
mengundang kepala biara untuk datang—diam-diam—ke kastil, untuk mengambil uang
itu.”
"Kenapa diam-diam?” tanya Emily.
"Karena bangsawan itu nggak ingin ada orang yang tahu kalau ia sudah bangkrut,
menurutku. Kau mau aku mencerita- kan kisah ini atau tidak?”
"Aku sedang menunggu bagian yang mengerikan,” kata Simon tiba-tiba.
"Akan segera tiba. Jadi, pada satu malam yang gelap, kepala biara tiba di pintu
gerbang kastil, sendirian. Ia mengenakan topi biarawan jadi nggak ada yang
mengenalinya. Yah, bangsa¬wan itu menyambutnya secara pribadi dan mengantar
kepala biara menuju kamar pribadinya. Mereka berdua masuk, dan bangsawan itu
menutup pintu.”
Marcus berhenti. Emily dan Simon menanti.
"Lalu?” tanya mereka berdua, hampir bersamaan.
Marcus berkata dengan suara dalam dan pelan. ’’Kepala
137

biara Lta nggak pemah terlihat lagi. Seteiah ituv si bangsawan bersumpah bahwa ia
sudah membayar semua utang dan meng- antamya pulang semaLam, dan tidak seorang
pun bisa metn- buktikan sebaliknya. Tapi bisa dikatakan bahwa nggak ada jejak kepala
biara yang pemah ditemukan. Beberapa orang bcr- pikir ia sudah dibunuh oleh perampok
dalam hutan, tapi ba- nyak prang punya pendapat lain. Namun bangsawan iru tidak
peduli. la sudah membayar utangnya.
’Tahun-tahun berlalu. Bangsawan itu menghabiskan^bih banyak waktunya di kastil
lain, la jarangpulang ke kastil ini, dan kalau ia melakukannya, dapat dipastikan ia nggak.
pemah menginap. Tapi satu malam di musim dingin, ia terjebak badai dan salju di tengah
jalan. Kastil ini berada tidak jauh data tem- patnya berada, dengan enggan ia setuju
untuk kemball ke smi untuk makan dan beristirahat. Seteiah makan, ia naik menuju
kamamya-—”
"Bukan kamar yang ini,” kata Emily. ’’Jangan katakan bah- Wa itu terjadi di kamar ini.”
”Aku meragukannya-—ini kan kastil yang besar. Yah,- saat ini adalah malam yang
dipenuhi angin kencang. Ang^me- lolong di luar seperti suara kutukan. Tapi di dalam
kastil beads- an begitu tenang, sampai beberapa pelayan terbangun karena mendengar
jeritan. Mereka berlari menuju ruang utamai dan melihat—di sana, di atas balkon, ada
dua sosnk yang berdki. Yang satu sosok bangsawan—ia berjalan mundur, menggumam,
berbicara, memohon, meski para pelayan tidak bisa mendengar apa yang bangsawan itu
katakan. Sosok yang satunya berada sedikit jauh di belakangnya dan sosok itu diam,
wajahnya seperti berada dalam bayangan. Tapfcpara pelayan bisa melihat sosok itu
mengenakan topi biarawan. Sekarang bangsaw^ffll

sudah berhenti bicara dan ia berjalan mundur dalam kehening- an, dan sosok yang
satunya berjalan tenang mendekatinya. Ajfhimya bangsawan itu terpojok di sudut, ia
berada di tepi susuran tangga di atas kastil la menengok ke kiri dan kanan, tapi tidak ada
jalan keluar... Kemudian sosok yang tnengena- kan topi biarawan itu bergerak dengan
cepat. Bangsawan itu oenjerit, tersandung saat berusaha menghindar, kehilangan
keseimbangan—dan terjatuhi Ia mendarat di lantai batu jauh di bawah, menciprati lantai
dengan darahnya. Para pelayan berlarian, tapi bangsawan' Itu sudah tewas—lehemjp-
patah. Ban ketika pelayan itu melihat ke atas, sosok di atas balkon sudah lenyap, dan
tidak seorang pun yang datang ke ruangan atama sesudah peristiwa*»itu dapat melihat
sisa jejaknya.”
Emily gemetar di dalam kantong tidumya. ’’Apakah cuma aktnsaja, atsau tiba-tifea di
sini jadi terasa dingin sekali?'
- “Cuma kau saja}’? jawab Simon. ”Jadi—apakah mereka pemah melihat hantu kepala
biara lagiF ’Tidak sepanjang yang aku ketahui. Nggak perlu. Kepala biara itu sudah
mendapatkan apa yang ia inginkan.”
"Bagaimana dengan tubuhnya? Apakah dikubur dalam dinding: di kastil ini?’ ^
’Tubuhnya nggak pemah ditemukan. Mungkin masih ada ’’Marcus!”
Api sudah menjadi hara yang tidak mempunyai cahaya. Suara Simon terdengar dari
dekat mereka. ”Kau menceritakan kisah yang bagus, Sobati” ujamya.
=>
"Bukankah kau pemah bilang bahwa kau pemah melihat hantu?’ *4

Diam sejenak ”Aku? Rasanya nggak pemah.”


"lya, beberapa hari yang lalu. Bukan demikian, Em?"
"Yeah. Di pos penjaga.”
"Aku nggak ingat...”
"OK, kau mungkin mengarangnya,” tukas Emily. Ia meng- geliat di dalam kantong
tidumya. "Yah, aku mau tidur. K«bu bisa, setelah mendengar kisah itu.”
"Yeah,” kata Simon. "Selamat tidur.”
Suara yang pelan, tidak seperti suata Marcus ketika ia berbicara cepat penuh
semangat, datang dari kegelapan. “Aku nggak mengarangnya,” katanya. ”Aku pemah
melihat bantu. Akan kuceritakan kalau kalian mau, tapi kalian harus berjanji untuk tidak
menceritakannya pada siapa pun.” *
Hening. Sesuatu pada suaranya membuat mereka terdiam. "Kalau nggak mau, nggak
usah,” ujar Emily,
"Yeah,” kata Simon. "Tentu saja tidak. Tapi kami nggak akan bilang siapa-siapa, kan,
Em?”
"Tidak..."
"Masalahnya, aku belum pemah menceritakan ini pada si' apa pun, selama ini aku
menyimpannya untuk diriku sendirL.. aku nggak sanggup kalau sampai cerita ini tersebar.
Aku akan bunnh diri. Kalian paham? Oh, entahlah... kalian bisa saja bilang aku
mengarangnya. Itu yang biasa kalian lakukaruf %
"Nggak akan, kalau kau bersumpah cerita itu benar,?Jkata Simon.
"Kau bisa memercayai kami,” kata Emily. ’Tapi kalau kau tidak—”
"Tidak, Baiklah. Aku akan bercerita. Nggak ada cerita, benamya. Bukan cerita yang
biasa dikisahkan, Baiklahsi.” la menarik napas dalam-dalam. "Kejadiannya tahun lalu
ketika
140

ibiiku masih ada. Aku bertengkar dengan Mo®, bukan sesuatu yang penting, tentang
menjaga kamarku tetap bersih. Hal yang jyjdoh, «nmggnb. Mom marah, aku juga, aku
kabur dari rumah. jvlailc sepeda dan meluncur ke pedesaan, pergi dengan perasaan kesal,
mengayuh pedal, mengayunkan'- tongkat ke pagar semak belukar ketika melewatinya.
Rasanya lama sekali, tapi akhimya aku berhasil melampiaskan rasa marahku dan aku
kembali ke rumah. Aku sedang bersepeda ketika belok di tikungan jalan dan melihat
sosok hitam berpakaian compang-camping bersem- bunyi di belakang pagar semak
belukar. Aku kaget, merabelok' kan sepeda, dan menabrak batu di jalan. Setang
sepedaku membelok ke kanan, mendarat di sisi seberang jalan, kepala di atas rumput,
kaki di pagar semak belukar. Aku beruntung—aku mendapatkan banyak luka dan meraar,
tapi nggak ada tulang yang patah, hanya saja sepedaku rusak. Roda depannya beng-
kok. Aku berdirk memungut sepeda, melihat pagar semak be- lukar tempat -aku melihat
sosok tadi...”
”Iya—apakahsfeu
"Orang-orangan sawah. Tapi seperti yang kubilang, sepedaku rusak. Aku berada di
jalanan yang sepi, jauh dari rumah. Jadi, aku mulai bergerak, mendorong sepedaku,
berjalan susah payah. Butuh waktu kurang-lebih satu setengah jam sebelum tiba di jalan
menuju rumahku, dan pada saat itu suasana bati- ku jauh lebih burak daripada ketika
aku pergi. Aku sangat lelah, seluruh badanku sakit, sepedaku rusak... Ketika aku-riba di
pekarangan rumah aku melihat Mom beidiri di taman depan. la memanggilku tapi aku
terlahi marah untuk meng- indahkarmya. Aku hanya melotot padanya dan mendorong
se¬peda ke samping rumah. Ketika aku lewat, featanya, ’Semua akan baik-baik saja,
Sayang,’ tapi aku mengabaikannya.
141

Melemparkan sepedaku di taman belakang dan mengentakkan kaki masuk ke rumah.


"Yah, aku sudah mandi, menempelkan Savalon—sejenis krim anriseptik—pada luka-
lukaku, berganti pakaian. Aku me- rasa sedikit lebih baik, jadi aku turun untuk berbaikan;
dengan Mom, tapi aku nggak menemukannya di taman atau dalam rumah. Tampaknya
Mom sedang keluar. jadi, aku duduk sambil makan keripik kentang dan menonton TV.
Beberapa saat ke- mudian Dad datang. Dad bekerja dalam shift tapi ia tidak pulang
seperti biasa—ia pulang lebih awal. Aku menatapnya dan Dad menangis. Ia bam saja dari
mmah sakit. Mom tadi pingsan di taman—karena perdaraban—tetania yang melihat-
nya... Yah, Mom sudah meninggal.”
"Ob, Marcus—”
"Yang anehnya, Dad ada di rumah sakit sepanjang siang, Aku memikirkan urutan
waktu sesudahnya. AmbulafiSiijlf panggil hanya dua pulub tnenit sesudah aku kabur naik
sepeda, dan ayahku pergi ke rumah sakit lima belas menit setelah kejadian itu. la ada di
sana selama itu. Dad menelepon fee ru- mab, katanya, tapi aku belum pulang. Tidak tabu
di mana S beradaanku. Dad memarahiku habiS'habLsan karena hal ini kemudian, seafean
aku kuiang membenci diri gara-gara bal ioi saja.” Suara Marcus tnenjadi pelan. "Yah,”
katanya, "Mom bet- tahan beberapa saat, kemudian ia pergi. Dad bertahan di sisi tempat
tidur Mom selama satu jam sebelum pulang rumah—tidak sekali pun berpikir untuk
meneleponku, tentu saja. Kalian mengerti kan, maksudku?”
Hening. Emily tidak tabu apa yang harus diucapkamaJH "Tentang taman dan waktu—

’’Yeah, pasti, Marcus...”
142

"lya,” ujar Simon* ’Tentu saja.” Dengan berisik ia ber- deham.


””Semua akan baik-baik saja, Marcus,’ kata Mom padaku.” "lya."
Hening lagi. Emily berbaring telentang, topinya ditarik itndah dan kantong tidumya
ditutup sampai ke dagu. Meski- pun memakai tiga pasang kaus kaki, kakinya masih terasa
beku, tapi terlalu dingin dan gelap untuk keluar dari kantong tidumya dan memakai kaus
kaki tambahan. la memandang hampa untuk beberapa saat, kegelapan berputar-putar di
seke- lilingnya seperti makhluk hidup.
’’Marcus,” akhimya ia berkata.
*^ku sedang* berpikir—tentang apa yang dikatakan jtenu.”
ffe^Hanya... Apakah semuanya sudah baik-baik saja?”
•* “Tidak, tentu Saja belurn. Tidurfah.”
143

CAHAYA pagi hari yang putih dan menyilaukan menyinari ruangan sampat ke sudut-
sudutnya. Emily membuka satu Mata dengan berat. Kepalanya sakit. Hidungnya terasa
dingindan basah. la berusaha mengangkat lengan untuk menyeka hidung- nya, dan
temyata ia sudah menyelipkan sarung tangamke da* lam celana panjangnya untuk
mencajti kehangatan tambahan. Ia menggerakkan lengan dan menyeka hidungnya
dengan, le¬ngan baju, menghilangkan salah satu sumber gangguan. Masih ada yang
lainnya. Punggungnya mulai sakit sekali karena se- malaman tidur di lantaL Topinya
terlepas dan menyebabkapt kepalanya dengan bebas terkena aliran udara dingin yang
ber- tiup di antara jendela dan pintu, Lehemya kaku ketika di- gerakkan, bibimya kering
dan pecah-pecah, dan terasa sakit ketika ia berusaha membasahinya-
EH luar, angin memukul-mukul kaca jendela.
Tidak jauh dari situ, seseorang mendengkur.
Ia mengerang dan dengan susah payah berusaha membgl®' kantong tidumya di satu
bagian. Kemudian ia duduk dengan
144

jjjkuk dan. melihat pemandangan yang menyedihkan. Kamar yang tadinya bersih,
disinati cahaya matahari dan berwama oUEih, kini tidak ada lagi- Lantainya dikotori debu
dan serpih- an pang, beterbangan dari petapian tertiup angin yang ber- ?mbus keras dari
cetobong. asap: ^
Selain itu ada jiuga berbagai sampah lainnya, terdiri atas tiga kantong tidur,
bermacani-tuacggp sepatu bot dan barang' barang seperti pakaian yang berantakan,
buku yang terbuka, dan (yang paling buruk) gundukan mengerikan dari makanan yang
hanya dimakaa setengahnya: kantong keripik kentang yang sobek, sepotong kecil keju,
kupasan kulit jeruk yang ber- ceceran, botol moster yang sudah dibuka, pisau kotor, dan
perabungkus plastik dengan sisa daging kalkun di dalamnya. Jdntuk menambah
gambaran yang tidak menyenangkan ini, ada dua kepal%*. setengah. menyembul dari
kantong, tidur mastog-masing. Mulut Marcus terbuka, mulut Simon tidak ke- Jttp&W tapi
mungkin mulutnya yang bertanggung jawab atas deffgkuran yang terputus-pt^® litu.
imily menggosok mata dan melihat jam tangaimya. Sudah puktil 9:20. Pikiran
tersembunyi di kepalanya mengingatkan bahwa mungkin ia akan segera terserang pilek.
Kondisinya buruk sekali karena kurang tidur, ia tetap terjaga selama kurang-lebih satu
jam setelah Marcus dan Simon tertidur. Cerita terakhir Marcus yang harus disalahkan
untuk hal ini. Cerita itygmendengung bolak-balik seperti iebah penyengat dalam
kepalanya, mendiami kegelapan dengan para hantu.
Sesuatu mengusik pikirannya- Sesuatu tentang Marcus... bukan tentang ceritanya,
meski ceritanya masih mengganggu Emily. Entah apa.
Dengan kaku, ia berdiri dan dengan mata lelah mtilai
145

mencari sepasang kaus kaki untuk menghangatkan jari kakinya, di antara semua
barangnya yang berceceran. Dalam waktu yang singkat, ia berhasil menemukan
sepasang kaus kaki, dan tanpa sengaja berdiri di atas paling tidak sepotong keju,
melekatdi serat kaus kaki yang ia pakai. Setelah itu ia menabrak sekaleng buah peisik
yang teisembunyi di bawah kantong plastik ko- song. la memaki sedikit dan melompat,
mencengkecaM'kaki- nya.
Marcus menggerakkan badan, membuka matanya yang ter- pejam.
"Waktunya bangun,” kata Emily.
Ketika ia duduk untuk memakai kaus kaki barunya^ ia me- lihat sesuatu. Setengah
keluar dari dalam tas ransel Marcus, jam beker.
Kemudian ia ingat semuanya: Ayah Marcus, tenggat waktu Marcus.
"Marcus!” teriak Emily. "Bangunlah! Kata semua ketidiff- an.”
”Whuh?” Matanya, dihiasi lingkaran abu-abuj 'tetap saja ter- pejam.
”Kita terlambat. Kau terlambat.”
Matanya setengah terbuka. ”Apa... Pukul berapa4^J
"Pukul sembilan lewat.”
”Apa! Oh Tuhanku!” Dengan tendangan panik terburu' buru, Marcus keluar dari
kantong tidur dan terjaga dari sisa tidumya. Dalam sekejap ia sudah ‘berdiri tegak, sedikit
fef' huyung, dan menjambak rambutnya. Ia memandang Emily dfr- ngan tatapan kosong.
”Aku lupa menyetel jam bekerku!' Ob tidak. Pukul sembfliift lewat berapa tepatnya?"
146
“Dua puluh... bukan, Lewat dua puluh lima.”
“Oh, tidak.” Ia menjambak rambut seakan^akan ingin men- cabutnya. ”Ia pasti sudah
pulang sekarang. Sebaiknya aku bagai' iBanaf
"Jangan panik. Berapa lama waktu yang kaubutuhkan untuk pulang?”
■“Hampir setengah jam setelah aku keluar dari kastil ber- lumut ini. Ia akati
membunuhla#' 5
Teriakan pertama Marcus mengganggu dengkuran Simon. Sekarang pertanyaah
sedikit keras dan kesal keluar dari ixjung kantong tidumytf?^
”Bisa nggak sffii, jangan fibdtf’
"Nggak, aku nggak blsal” bentakan Marcus pecah menjadi kegelisahan. ”Ia akan
membunuhku, Em. Apa yang harus aku jakukan?”
'Fasti ada jalan untuk menyelamatkan diri.” Emily duduk samu kaki diangkat dah satu
di lantai.
"Karanglah satu cerita,” ujar Simon, wajahnya nnmcul.
■ "Karang, apa£^|
"Karang satu cerita. Kau kan pandai membuat cerita. Ka- ranglah suatu kisah.”
"Aku nggak bisa, 1^ akan menyadarinya. Apa yang sebaiknya aku katakanlhaj
Emily memajukan duduknya. "Yah, ia nggak perlu tahu kau ada di luar rumah
semalaman, bukan? Aku tahu! Kau keluar pagi-pagi membeli makanan untuk sarapannya.
Kaukehabisan makanan. Telur, daging babi asin, roti, semacam itu.”
Marcus menepuk dahi dengan teiapak tangannya. "Jangan! Nggak akan berhasil!
Tokonya ada di sudut jalan. Aku hanya

perlii keiuar rumah dalam waktu lima menit. Lagiputa kattii punya banyak persediaan
makanan!”
’Tenanglah. legini saja, kita terus mencari ide sambil mem- bereskan barang-barang.
Ayo, Simon, bereskan barang-batang- mu. Kita hams segeta pergi. Siapa tahu—Hams
mungkin saja segera datang.”
Dengan caia yang kacau-balau mereka mulai membersihkan ruangan. Simon dengan
malas keiuar dari kepompongnyl| me' ngeluh keras-keras tentang udara dingin. Emily
memakai sepatu bot dan mulai menggulung kantong tidumya. Mereka berdua dengan
cepat mengumpulkan sisa-sisa hidangan perjamuajSi ma- lam yang berbau busuk, tapi
Marcus tetap diam di tempatnya, tidak bisa berbuat apa-apa, teiperangkap erat oleb
cengkeraman ketakutan.
Akhimya Emily dengan paksa menyodorkan ransel Marcus ke tangannya. ’’Bereskan
barang-barangmu! Kau akansetnakin terlambat kalau nggak bum-bum!”
"Lalu apa? Nggak akan ada bedanya.”
Lalu dengan gerakan kaku seperti: robot, Marcus memasok- kan kantong tidumya ke
dalam tas ransel dan mengump^Mi sisa barang-barangnya.
Ketika mereka sudah selesai, Emily mundur dan melihat sekeliling ruangan. Meskipun
tanpa sisa-sisa kekacauan mereka, ruangan itu kelihatan seperti pernah ditenipata-.
Deb<4 spa makanan, dan—sekarartg ketika sinar matahari itaenyiisiip masuk lewat
jendela—banyaknya jejak kaki di lantai menegas- kan kehadiran mereka.
"Oh, tidak,” katanya. "Mmrgkiri kita barns membersib^ jejak kaki ini.”
’’Bagaimana caranya?" tanya Simon kasar. ”Memangn$$®a

148

apu di tasmu?’ Ia kelihatan lebih parah karena semalam- L tidur di lant&U ,,


. »Kita nggak bisa meninggalkan jejak kaki—|
*>iapa peduli? Biar Harris yang membersihkannya. la layak Lendapatkannya! Malah,
mari kita tinggalkan lebih banyak Lmpah selama kita ada di sini. Benar-benar membuat
tempat inkberantakan.” :,
Hal ini membuat Emily sangat marah. la tahu bahwa se- bagian disebabkan oleh
kelelahan, tapi gagasan untuk dengan sengaja mengotori kastil sangat tidak bisa
dibenarkam
"Kau nggak bersungguh-sungguh,” ia berkata tajam. ”Diam- lah dan ayo pergiv’ ^j
"Entahlah...” Simon menyeringai pada Emily. ”Semaldn aku memikirkannya semakin
aku menyukainya. Kita bisa menulis di dinding menggunakan arang. Sesuatu yang lucu.
Mungkin sedikit kasar juga, Bisa membuat Harris terkena serangan jan- Ipng. Yeah, dan
aku ingiit. kenning, Kencing di sini dengan Jibing di tempat Iain, sauja saja. Kita semua
bisa. Silakan • jjgilih tempat masing'masinggj||£
.«$mily kehilangans kesabaran. ’’Jangan j'adi berandaian be- gitu!” teriaknya. ’Kau
kedengaran seperti salah satu saudaramu yang bodoh! Carl mungkin akan melakukan hal
semacam
|taif
"Yah, mungkin Qarl kadang-kadang punya gagasan yang begios! ”
"Yeah, benar. Seuraur hidupnya dia nggpk mungkin punya.
Dia kart kerai’-jlj
"Hei, kita kan sedang membicarakan saudaraku—*
"Jadi siapa yang kaucela semalam? Qrang lain? Yang henar saja!” ,«
149

Lebih banyak hinaan terlontar. Wajah Simon merah padam dan jelek. Emily merasakan
hal yang sama. Marcus berdiri de- kat mereka, sambil membuang muka. Tiba-tiba ia
mengentak- kan kaki dan berteriak, mengagetkan yang lain dan membuat mereka
terdiam.
’’Diamlah! Kalian berdua! Tentu saja kita nggak boleh me- ngotori ruangan ini—ini
kastil kita, lupa, ya? Siapa lagi yang pemah menginap di sini? Nggak seorang pun selama
tiga ratus lima puluh tahun. Siapa yang peduli pada kastil ini? Nggak ada—mereka hanya
menggunakannya untuk menghasilkan uang. Kastil ini milik kita, dan kita nggak akan
memperlaku' kannya seperti reruntuhan yang tidak berarti seperti yang di- lakukan orang
lain.”
Mereka menatapnya.
’’Simon benar,” Marcus melanjutkan dengan suara yang le- bib tenang. ’’Kita nggak
bisa membersihkannya sekarang. Tapi masih ada kesempatan lain.”
Emily berkata. ”Tidak, tidak ada. Kita sudah selesai. Kita akan pergi, dan kau sudah
terlambat.”
Emily mengucapkannya setajam tusukan belati. Marcus miuv dur ketakutan. Rasa
percaya dirinya mengalir keluar.
”Aku nggak akan pulang,” katanya. ”Aku akan tetap tinggal di sini.”
Simon menggelengkan kepala dan mengedipkan mata se- akan sulit memercayai apa
yang didengamya. ’’Sadarlah,” kata- nya. ”Kau sedang berusaha memberi kesan hebat
pada siapa, sih?”
”Aku nggak berusaha memberi kesan hebat pada siapa-si- apa. Aku nggak akan
pulang.”
’’Hanya karena ayahmu akan marah?"

"Kalian nggak mengenal ayahku.”


"Marcus.” Emily memotong perkataannya. ’’Banyak alasan kenapa kau nggak bisa
tinggal di sini, aku akan menyebutkan- nya unmkmu, oke? Kau tidak punya cukup
makanan, tidak punya persediaan air—jangan berceloteh panjang lebar me- ngenai
sumur—kau tidak punya pemanas. Yah, kau memang punya, tapi aku berani bertaruh
kau nggak bisa menghidupkan' nya. Meskipun kau bisa, pemanas itu hanya akan
bertahan selama beberapa jam, tidak lebih. Kau akan mati kedinginan sebelum merasa
kelaparan—bahkan, lihat saja dirimu, kau su- dah mulai menggigil. Kita semua lelah, kita
semua kotor, kita semua harus pulang. Mari kita bersiap-siap.”
Emosi campur aduk muncul di wajah Marcus—marah, ben- ci, dan ketakutan adalah
beberapa di antaranya. Bahunya tu- run. Wajahnya merengut penuh kekecewaan.
’Simon, pemanasnya,” ujar Emily. ”Kau sebaiknya membawa- nya turun, atau Harris
akan melihatnya dan permainan ini selesai.”
"Apa? Siapa yang peduli kalau permainan ini selesai? Kita nggak akan pemah kembali.”
"Simon, please.” Emily berusaha untuk tersenyum, tapi wa- jahnya terasa kaku dan
murung.
”Oh, baiklah. Minggir kalian.”
’Terima kasih. Harris nggak akan tahu ada orang yang datang kalau pemanas itu
dipindahkan.”
"Itu menurutmu. Buka pintunya.”
Simon mengangkat pemanas ke atas tangga, menggerakkan tangannya ke posisi yang
lebih baik, dan menghilang. Suaranya menggema di atas. ’’Bawakan tasku turun. Aku
akan menemui kalian di lubang.
151

la meninggaVkan Emily dan Marcus yang menatap niang^ \ kosong. : I


"Aku past! akan sadat bahwa petnah. ada otang di sini" l ujar Emily, "Sangat
berantakan.”
"Harris mungkin nggak akan memperhatikanttyal^M tidal peduli, kan? Tidak dengan
earn yang sama. la akan berpikir ada burung yang masuk lewat cerobong asap, dan
mengofod lantai dengan jelaga”
"Yeah, mungkin,"
Sambil menutup pintu di belakang mereka, mereka me- nuruni tangga menuju tingkat
di bawah. Mereka berjalaft da- lam lorong sampai ke lubang dan gulungan tali. Di bawah,
di ruangan utama, mereka dapat melihat Simon berjuang untuk membawa pemanas ke
dalam pondok. Angin menerpa pintu yang terbuka dan setengah menutupnya ketika
Simon mencoba melewatinya. Makiannya terdengar sampai ke telinga Emily dan Marcus,
menembus kastil yang kosong. Marcus memandaijg jauh ke luar, ke lapangan.
’’Kadang-kadang ia mengingatkanku pada ayahku,” kata Marcus.
"Ayahmu—galak, ya?” tanya Emily.
"Bisa dibilang begitu. Ia akan tnarah besar kalau aku k»- luyuran sendirian. Aku benci
itu. Ia nggak suka aku punya ke- hidupan sendiri. Dan karena kali ini aku menginap..
Marcus mendesah. "la akan membunuhku.”
”Apa yang akan kaukatakan pada ayahmu
"Entah. Aku nggak pemah berhubungan baik denganaw Em. Aku selalu lebih dekat
dengan Mom, Dad nggak suka itu, tento saja. Ia bilang aku manja. Dad dan aku tidak
banyak bicara, dan kalau kami melakukannya, kami hanya akan
152
[*rtengkar. Mom bisa mendamaikan kami berdua, tapi ketika ia meninggal... Kami
nggak punya banyak pilihan, kan? Aku harus menyesuaikan diri dengan keadaan. Bagai
mimpi bunjk. Saat pulang ke rumah ia selalu kelelahan dan marah-marah,
mengharapkanku melakukan semua hal untuknya. Ia tidak mengizinkanku keluar rumah.
’Aku mau kau di sint, di mam aku bisa meUhatmu’. Dan ia nggak suka aku membaca.
Hanya ingin aku menonton TV, dan tidak membuka-buka buku.”
"Orangtuaku nggak seperti itu. Tapi aku paham maksudmu. Pasti sulk."
Marcus menatapnys tajam. ’Tapi nggak terlalu sulit, itu maksudmu? Tidak cukup
dramatis untukmu? Kau nggak me- ngerti, Em. Ini membuatku gila. Aku nggak sanggup!
Aku akan melakukan- apa saja untuk bisa pergi jauh darinya.”
§s"Kau akan. bilangi apa begitu sampai di rumah?”
« "Entahlah."1
"Bagaimana jika kau menyalahkan aku—bilang salah sam temanmu—aku—
meneleponmu pagi ini dan butuh pertolong- an. Sangat mendesafe. Menginginkanmu
datang."
"Kenapa?”
"Entah ya, <mungkin karena aku sakit. Kecelakaan. Jangan, bku alasan yang bodoh."
”Iya.” v *
”Atau kau pergi ke perpuscakaan lagi—untuk menyelesaikan tugasmu. Kau benar-
benar harus melakukannya. Ujian.”
Terns kenapa aku nggak tneninggalkan pesan? Lagi pula,
Dad HHak akan percaya. Terima kasih, Em, tapi nggak ada gunanya.” 'H
Di bawah mereka Emily mendengar kaki Simon melangkah di atas salju menuju tangga
tetdekat.
153

”Aku senang sekali kemarin."


’’Yeah.”
”Aku suka ceritamu.”
"Simon nggak percaya pada ceritaku—semuanya. Ia mem- beritahuku pagi ini.
Katanya ceritaku hanya bualan.”
’’Ia nggak berkata demikian.”
”Iya. Bagaimana denganmu? Apa kau berpikir aku seorang pembohong juga?”
”Tentu saja tidak. Dengar, ya,” kata Emily, ’’bagaimana kalau kau memberikan nomor
teleponmu padaku? Aku bisa bertemu Simon kapan saja, tapi kau terlalu jauh. Kemudian
kita bisa bertemu. Melakukan sesuatu.”
Marcus memandangnya.”Apakah itu artinya kita nggak akan kembali ke sini?”
Emily memikirkan kakinya yang kedinginan, pileknya yang mulai menjadi,
keinginannya yang sangat besar untuk berada di dalam ruangan tertutup dan mandi air
panas. ”Yah...” "Tentu saja kita nggak akan kembali ke sini. Baiklah. Kau punya bolpoin?”
"Oh... Tidak.”
’’Baiklah, berikan nomor teleponmu. Aku akan mengingat- nya. Ingatanku bagus.’’
Emily memberitahu nomor teleponnya pada Marcus. Marcus mengulanginya untuk
yang kedua kali ketika Simon bergabung dengan mereka.
"Baiklah,” kata Simon, menatap mereka, curiga. "Kalian berdua duluan. Aku akan
menurunkan tali dan mengikuti kali- an.” Setelah memeriksa sekitamya sekilas dan
mendapati se* muanya aman, ia menggulung tali keluar dari lubang. Tanpa bicara,
Marcus merangkak di dinding dan menuruninya hingga

r
! kjjgjjg Jari pandangan. Simon mundur dan mengambil tas pnselnya.
"Bertukar nomor telepon?” tanyanya.
"Jadi?” jawab Emily, panas. ’’Bagaimana lagi kita bisa saling | berhubungan?”
”Kau yakin mau berhubungan lagi dengannya? Ia suka meng- ada-ada.”
’’Bukan itu yang kaukatakan semalam.” Emily berbicara de- ngan nada mengejek.
’’’Kisah yang luar biasa, Sobat! Ceritakan lagi kisah lamnya, Sobat!’”
’’Dasar perempuan sok keren kurang ajar. Giliranmu seka- rang.”
Emily perlahan menuruni tali, amarahnya mendidih. Simon benar-benar tidak sopan!
Sangat bodoh! Ia tidak bisa memaaf- kan Simon untuk kelakuannya yang menyebalkan.
Ia tidak lebih baik daripada saudara-saudaranya. Lebih buruk dalam beberapa hal—
setidaknya Carl jelas-jelas kelihatan parah se- hingga kau ingin menjauhinya.
la sampai di tanah. Marcus menunggunya di sana, terlihat pucat dan kurus. Cara
berdirinya mengingatkan Emily kerika pertama kali ia melihat Marcus melemparkan bola
salju di park kastil. Kesepian dan merana.
”Kau sebaiknya pergi,” katanya. ’’Jangan membuat keadaan bertambah buruk. Aku
akan menunggu si bodoh pemarah itu turun.”
’’Ada apa.7”
"Nggak ada apa-apa. Pergilah. Kuharap semuanya akan baik-baik saja.’’
la mengangkat bahu. Kemudian ia berbalik dan mulai ber- jalan dengan susah payah.
155

: 1 U-U ' tli»t ill«t i tully Irtity.m


Ills
y-itit (Ui l Hilly, ^tunyt
* rl^l
jjlt.L-.VrUI W 1'IMMMll l“*H* M*ll| ^
I»IU»HH L- ikUuitKV'i > '*'»K
,U»I nwurt «S*tetll inH MIKUMUW liUlllHMUti y.)(jy
IwiHl'M Mt*muHViliUVfl lltiH |»<IM1I £g —«t|M |.j t(l< HiiM)'!'lttt> M>I !\M liWH'W
l'*rtl‘( >I>1|1 M»|«, tm.
.ii.sH V»*Wniw<MH ilrtH Isgteytwi V'*M|i it'MMiu
1m «W*I«I, pikiiiiv^ 14.ll® il‘M |li® kyMiWl lugt
w*lwr*t ' __ -■ - - ——
I Ifl

I'l KAMI'AliAN Ml IS! HI ITffTAMA

”Hei!” tiba-tiba Emily bertetiak. ’’Jangan lupa nomor tele- ponkut”


Marcus menyebutkan nomor telepon Emily, sangat cepat, melewati bahunya, sampai
ke pinggir parit kastil dan meng- hilang ke dalamnya. Emily kembali ke dinding kastil.
Entah dari mana sebuah tali meluncur cepat, gulungan yang- me- lingkar, hampir
mengenainya dan jatuh ke salju. |
la memandang tali itu dengan mata bosan dan lelah, me- rasakan sisa kekecewaan
dan kelegaan yang samar.
itu saja, pikimya. Kita tidak bisa kembali lagi. Sudah selesai.

PENAMPAKAN MUSIJH PERTAMA

to
SATU haii lewat, kemudian hari lainnya juga. Kalau saja ada peristiwa penting daiam
hidup Emily dalam dua hari ini, mung- kin ia bisa melupakan segalanya tentang kastil itu.
Ia sangat tidak ingin memikirkannya. Awalnya, ia menyalahkan kastil itu untuk pilek yang
dideritanya saat ia tiba di rumah. Pilek raemaksanya untuk berbaring di tempat tidur,
yang setidaknya membuatnya bisa beristirab&t, tapi pilek di saat yang bersamaan juga
membuatnyain tersiksa. Penderitaan ini ditambah lagi de- ngan sikap Simon dan Marcus
yang membuatnya marah dan tagu. Sebagian dirinya mungkin akan merasa bahagia
melupa- kan mereka. Tapi- ia juga terjebak di tempat tidur dan tidak melakukan apa-
apa. Orangtuanya menonton televisi di bawah.
Ia berbaring sendirian dan mengingat banyak hal.
Dari keduanya, Marcus yang paling sering diingatnya. Meskipun ia masib kesal pada
Simon untuk sikapnya yang ku- rang ajar, kemarahannya yang membara sudah mulai
tenang segera setelah ia bisa tidur lelap. Saat mengingatnya ia tidak yakin benar
mengapa La jadi sangat marah. Tapi dengan
159

Marcus, tidaklah sesederhana itu. la berpikir tentang semangat* nya,


keingintahuannya, dan ceritanya yang tidak habis-habis, perpaduan yang
membingungkan antara kemarahan dan kepedulian. Marcus itu angin-anginan, dan itu
masalahnya—kau sulit mengenali suasana hatinya sebelum terjadi perubahan lagl la
memiliki emosi terpendam yang membuatnya sulit untuk diajak berteman.
Di hari kedua, seseorang meneleponnya ketika ia sedang tidur. Orang itu tidak
meninggalkan nama atau pesan. Emily tahu kira-kira siapa yang meneleponnya dan
kecewa karena orang itu tidak menelepon lagi. Membuatnya lebih ragu dari- pada
sebelumnya.
Di atas segalanya, nyaris sulit untuk diakui, Emily tidak da- pat membuang ingatannya
tentang kastil itu—kegelapan di semua koridomya, cahaya merah di perapian, menara
yang ber- atapkan bintang-bintang.
Di bari ketiga, pileknya sudah cukup membaik dan mem- buatnya bisa keluar rumah
setelah makan siang. Ia berjalan melewati lumpur salju pedesaan sampai ke pinggir
lapangan dan melibat kemuraman tanah rawa di musim dingin, teren- tang datar di
kejauhan. Pemandangan itu membuatnya kecil bati. la tidak ingin pergi lebib jauh menuju
arah itu. la kern- ball ke pusat desa dan keluar di sisi lain, menyusuri jalan kecil menuju
butan.
Melalui pepohonan ia bisa melibat sekilas wama kelabu bebatuan di kejauhan. la
berjalan mendekat, lebih jaub dari- pada yang diinginkannya. la tiba di satu tempat yang
memung- kinkannya mengamati semuanya, dinding penopang sampai ke menara
pengintai, dari menara ke menara. Ia mencoba meng- ingat menara mana tempat mereka
pemah berdiri di atasnya

jjjo akhimya menyadari bahwa menara itu berada paling jdcat, satu-satunya yang
terlihat masih lengkap.
Hari itu sejuk tapi angin bertiup kencang, salju masih perlahan berjatuhan dari ranting
pepohonan, dan hujan turun rintik-rintik tanpa henti dan bergemericik di dalam hutan.
Kepala Emily terasa panas setelah berjalan. Ia melepas topi dan raenggaruk kepalanya.
Ketika ia berbalik untuk pulang, ia melihat Simon muncul dari rumpun pohon holly
tebal di seberang jalan. Ia menengok ke kiri dan ke kanan, diam-diam.
Emily bersiul. Simon kaget.
"Kau kenapa? Merasa bersalah?”
Ia berjalan cepat menuju Emily. ”Kau kelihatan parah.” ’Terima kasih. Aku pilek.
Dengar—”
Aku minta maaf soal beberapa hari yang lalu. Sepertinya aku lelah saat itu.”
Aku juga. Lupakan saja. Jadi—apa yang sedang kaulaku- kan?”
"Sama seperti kau.”
Apa maksudmu? Aku hanya da tang untuk berjalan-jalan.” Simon menatap Emily lekat-
lekat. ’’Yang benarV'
’Tentu saja. Ini acara jalan-jalanku yang pertama sejak ter- akhir melihatmu. Jadi apa
yang kaulakukan.7”
Sekilas La mengamati jalan—tidak ada orang di sana—dan menarik napas dalam-
dalam. ’’Sesuatu sedang terjadi di kastil itu," ujamya. ”Atau sudah terjadi. Semalam. Aku
datang ke sini kemarin sekitar pukul enam. Tanpa alasan apa pun— buru-buru ia
menambahkan. ’’Hanya ingin keluar rumah untuk mencari sedikit kedamaian. Yah, hari
sudah gelap, pastinya.
Aku membawa senter, tapi ketika aku keluar dari hutan, aku
161

mematikan senter. Tahu kan, seperti yang kita lakukan di nara. Dan saat itulah aku
meiihatnya. Ada cahaya di kastil.”
”Apa? Di mana?”
"Lihat menara terdekat, menara yang kita datangi? Lihat jendela-jendela di bawahnya?
Di sana. Ada cahaya. Aku me- lihatnya semenit kemudian, melewati jendela besar di ||
panjang tembok. Cahaya kekuningan bergerak ke kanan. Kemudian menghilang seperti
sengaja dimatikan.”
Emily mengerutkan dahinya. ”Kira-kira siapa, ya?”
”Yah, menurutku itu bukan hantu kepala biara, aku ya- kin.”
”Bisa saja Harris,” kata Emily tiba-tiba. ’’Kalau ia melihat kekacauan yang kita
tinggalkan ia bisa saja menunggu, berjaga- jaga kalau kita kembali. Ia mimgkin
menyelinap ke sana se- lama beberapa jam sampai ia yakin semuanya tenang.”
”Aku pikir juga begitu. Mungkin saja. Tapi menurutku bu¬kan dia.”
’’Kenapa?”
’’Karena ketika aku berjalan pulang aku melewati pekarang- an depan rumah Harris.
Kau bisa sampai di sana dengan me- motong semak-semak yang ada di sana.” Ia
menunjuk pohon holly tempat ia muncul. ”Dan menurutku ia ada di rumah. Tirai
rumahnya hampir tertutup, tapi aku melihat istrinya mem- bawa piring ke dapur dari
ruangan belakang.”
’Tapi kau tidak meiihatnya, kan?”
’Tidak. Tapi istrinya nggak mungkin makan tanpa Harris, kart?”
’’Menurutku tidak. Jadi, kalau itu bukan Harris...” ia mem- biarkan pertanyaarmya
mengambang.
162

Simon menaikkan alisnya dan menatap Emily. ’Tepat se- kali-”


’Tapi bagaimana ia bisa kembali ke sinii”’
"Itulah yang menggangguku. Ia nggak pemah bisa memanjat tanpa tali. Tidak
mungkin.”
"Mungkin itu orang lain.”
"Yang benar saja, memangnya seisi desa sedang mengantre untuk menyelinap? Tidak,
pasti itu Marcus. Ia mencari cara, menemukan celah untuk menyusup. Ia sadar dapat
melakukan hal itu tanpa kita.”
"Mungkinkah ia melakukan hal itu?” Emily menendang akar pohon yang ada di
dekatnya, mematahkan bagiannya yang lerabap.
’Tentu saja mungkin! Ia lebih menyukainya tanpa kita. Tidak seorang pun
memerintahkan apa yang harus dikerjakan- nya. la nggak akan kesepian, ia punya peri-
peri untuk diajak berbicara kapan pun ia mau.”
”Ia nggak seperti itu—”
’Terserahlah. Masajahnya adalah ia bisa saja tertangkap. Cepat atau lambat, dan
dalam kasusnya Marcus berarti cepat, ia akan segera bertemu Harris, atau beberapa anak
akan me¬lihat pantatnya menghilang di talang air atau semacamnya. Jangan
menyangkal—kau tahu itu benar. Kalau ia terns kem¬bali, ia akan tertangkap dan kita
juga akan terlibat. Mereka akan membawanya ke kantor polisi, dan satu jam kemudian
mereka sudah berada di rumahmu dan rumahku. Percayalah padaku, aku tahu seperti
apa mereka. Mereka nggak akan ter- kecoh menghadapi anak-anak seperti Marcus.
"Itu nggak akan terjadi," kata Emily. Perasaan dingin men- jalari tulang belakangnya.
163

"Memang benar hal itu nggak akan terjadi,” ujar Simon tegas. ”Dan itu karena aku
akan masuk sekarang dan mengustr- nya”
"Kau sudah gila? Kau bahkan tidak tahu apakah ia ada di Sana bari ini. Kau ingin
ditangkap, rupanya.”
"Kali ini tidak demikian. Aku barn saja memata-matai Harris lagi. la sedang dikunjungi
beberapa teman. Ada tiga mobil diparkir di halaman depan rumahnya. Keadaan akan
aman untuk satu atau dua jam—mungkin sepanjang bari kalau ia minum-minum. Dan
untuk Marcus, kau benar, mungfcm bukan ia yang ada di sana, tapi menurutku ia yang
ada di sana. Ia nggak akan mampu melupakan kastil begitu saja.” Ketika mereka berdiri
di sana di daiam hutan, dikelihngi bunyi mendesir, suara salju yang mencair, Emily untuk
pertama kali memperbatikan tas ransel Simon yang menggembtffl§^J!r- gantung di
punggungnya. Tiba-tiba saja ia mengertS dan ter- tawa.
"la bukan satu-satunya,” katanya. ”Kita juga nggak'dapat melupakannya. Kau
barangkali benar tentang M'areds? yang mungkin tertangkap basab, tapi bukan itu satu-
satunya alasan kau ingin masuk ke sana lagi. Dan kau bertemu denganfewdi sini juga
bukan kebetulan.”
“Kau nggak periu ikut.”
"Memang, tapi aku raau ikut. Apa aku punya pilihan lain? Pulang dan menonton TV?
Tidak, terima kasib.” ~
“Kali ini kita tidak bermalam. Hanya akan berada di sana cukup lama untuk mengusir
si idiot itu.”
“Pasti."
Mereka berjalan sampai pinggiran hutan, sampai mencaprf perbatasan pagar semak
belukar yang masih dibebani ranting'
164

unting kehitaman. Ada jaring tipis kering yang sudah dtper- juat potongan-potongan
kawat Simon mendorong bagian yang kelihatan paling goyah di bawah.
“Ayo jalan, kemndian, melompadabu”'
"EM tempat terbuka begmi?’* I J
"Salju mulai mencair. Tidak akan ada orang yang datang. Aku nggak man menyelinap
lagi. Ayo, kau duluan.”
Mereka melompati pagar dan memasuki lapangan. Salju masih teronggok tebal di atas
pagar semak belukar, tapi sedikit menipis sekarang, dan basah. Mereka jatuh di atas
tumpukan salju tebal dan beijalan menuju jembatan pos penjaga.
• Ketika mereka? berjalan, Emily berkata, "Ada orang me- neleponku baru-bam ink
Tidak meninggalkan pesan, atan me- ngatakan siapa dirinya. Mungkin saja itu Marcus
yang mencoba mengontakku.”
«k"Hanya sekali menelepon? Kurang berusaha.”
Merangkak di dindirig jauh lebih mudah bagi Simon di- banding sebelumnya® karena
lapisan es yang membungkus dinding penopang sekarang sudah mencair, meninggalkan
ahir dan lekukan yang jelas terlihat. Emily menunggu giliran semen- tara Simon
memanjat, memindai kaki langit kalau-kalau ada bshaya, tapi Simon benar. Tidak ada
orang yang datang. Ia juga memeriksa salju di sekitar dinding penopang untuk men- cari
jejak kaki yang masih barn, tapi tidak menemukannya. Seluruh area dipenuhi salju yang
mencair.
Tidak berapa lama, tali dilemparkan dan Emily pun me- manjat, sedikit gemetar, otot-
ototnya kaku karena jarang ber- latih. Ramboci jatuh di sekitar wajahnya karena tertiup
angin, yang tampaknya berembus makin kencang. Mereka pun berdiri di atas lorong
seperd sebelumnya. Emily melibat fee bawah,
165

bagian dalam ruangan utama yang besar. Angin berembus me- lalui lengkungan kubah
yang nintuh di atas dinding kastil. [a dapat melihat bunmg gagak duduk muram di
sarangnya yang tidak beraturan.
"Nggak ada tanda-tanda keberadaan orang di sini.”
"Yah, tentunya di hari dingin seperti ini ia ingin meng- hangatkan diri. Dalam mangan
kita, kemungkinan besar.” Mereka lega bisa sampai di sebuah jalan kecil yang ter- 1
indung, teriepas dari angin kencang yang tiada henti-hentinya. Mereka naik tangga
menuju pintu, Simon memberi tanda agar Emily diam. Di bagian atas, dengan lembut ia
mendorong pintu dan mengintip ke dalam. Ia mengerutkan dahi, dan, mengabaikan
keinginan untuk berhati-hati, melangkah ma- suk.
"Nggak ada di sini,” katanya, mengatakan hal yang sudah jelas.
Emily memandang sekitar. ’’Nggak ada di atas cerobong asap?’
"Marcus? Tidak ada jelaga di sana.”
”Itu maksudnya. Ada yang membersihkan ruangan ini. Aku yakin ruangan ini tidak
seberantakan waktu kita meninggalkan- nya.”
’’Begitu menumtmu? Yah, ia nggak ada di sini sekarang. Kita teruskan pencariannya.”
Mereka menuruni tangga, berhenti di persimpangan jalan yang mengarah ke sebuah
kamar. ”]alan yang mana?” tanya Simon.
’’Lantai ini dulu. Lebih baik kita mencobanya secara siste- matis.”
Mereka berjalan cepat menuju bagian dalam kastil, mem-

LUka tnata dan menajamkan telinga. Mereka tidak melihat jpa-apa, dan satu-satunya
suara berasal dari angin dari lorong. pi dalam kamar, kapel, toilet, dan ruangan berpilar
tidak ada tanda-tanda Marcus, atau bekas keberadaannya di sana. Ruang¬an dengan
tangga utama juga kosong.
"Banyak jalan menuju ke sini,” ujar Simon. ”Kita berpencar. Aku akan memeriksa
menara, kau memeriksa apa yang ada di balik kedua pintu itu. Satunya menuju ke pintu
masuk utama, kalau kata-kata Marcus dulu dapat dipercaya.”
Simon menaiki anak tangga. Emily berjalan di bawah se¬buah lengkungan, dan
mendapati dirinya sedang memeriksa dapur yang dulu melayani ruangan utama yang
besar. Jalan buntu. Tiga buah tungku pemanggang dari batu bata dibangun dalam satu
dinding. Biasanya Emily akan tertarik pada hal se- macam ini, tapi sekarang ia tidak sabar
untuk pergi. Ia berbalik dan mendekati lengkungan kubah lain, yang ini dilengkapi pintu
modem.
Ia melepaskan gerendel hitam dari logam dan mendorong pintunya. Sebuah tangga
yang gelap—dan yang satu ini lu- nis—curam menuju ke bawah. Emily turun dan segera
sampai di pintu berikutnya. Pintu ini Iebih tua, gelap karena usia dan dipenuhi lubang
yang disebabkan cacing. Pintu ini sering di- gunakan, mengayun terbuka ketika disentuh.
Di baliknya, anak tangga berlanjut, dan dalam cahaya samar ia melihat bahwa anak
tangga itu berada dalam kondisi datar dan halus setelah digunakan berabad-abad. Anak
tangga itu berakhir pada lorong pendek yang lantainya terbuat dari batu, menuju pintu
rang- bp, tebal, bertaburan paku-paku logam. Ini adalah pintu ma¬suk menuju kastil.
Tidak lama setelah ia berbalik, Emily kemudian berhenti.

Tiba-tiba ia mual karena merasa sedang diawasi seseorang. la melihat ke artak tangga
kalau-kalau Simon sudah kembali, tapi pintu di kejauhan terbuka dan kosong. Tidak ada
siapa-siapa di sana... Tapi perasaan takut itu tetap ada. Cepat-cepat, ia melangkah
maju—
Dan mendengar suara gamkan tepat di atasnya.
Ia menengadahkan kepalanya, darahnya mulai membeku. Sesuatu di langit-langit?
Tidak—tapi ada dua lubang bundar di atas dinding batu, dalam dan gelap. Lubang
kematian. Satu ada tepat di atasnya, sedikit lebih besar daripada kepalanya. Ia menatap
lums ke dalamnya tapi tidak melihat apa-apa di situ kecuali bayang- an.
Marcus.
Emily berbalik dan lari menaiki tangga secepat mungkin, melewati pintu kedua dan
menuju pintu pertama, di sana ia hampir bertabrakan dengan Simon.
"Kau baik-baik saja?”
”la ada di ruangan berpilar! Di lubang kematian ayo!
la berjalan cepat memutari tikungan dan mengurangi ke- cepatan ketika menuruni
lorong panjang. Masuk ke dalam ruangan berpilar ia tergelincir, dengan Simon tepat di
belakang- nya—
Dan ruangan berpilar itu kosong.
Simon terengah-engah. ”Apa yang kaulakukan, Em? Apa yang membuatmu berpikir—

’Tadi ia ada di sini, raemata-mataiku lewat lubang itu. Aku mendengamya, aku tabu
aku mendengamya. Ya! Lihat penutup lubang itu. la melepasnya!”
Di antara lubang bunda. ada dua heUi plastik tembus
168
pandang yang sudah dilepas dari gerendel yang menguncinya di lantai.
"Bagaimana ia melakukannya?” Simon mendesah. ”la pasti punya semacam
peralatan.”
Tapi ketika ia masih berbicara, Emily berjalan menuju pintu di seberangnya.
”Ia pasti kabur lewat jalan ini. Ayo, kita bisa tnenangkap-
in
nya!
Mereka berlari kembali melewati kapel dan kamar sampai mereka tiba di tangga.
"Bagaimana menurutmu? Naik, turun, atau terns?”
"Jangan naik—itu jalan buntu. Kau turun, aku jalan te-
I)
ms.
Emily berlari menuruni tangga, berputar-putar, begitu cepat hingga ia merasa pusing.
Cahaya semakin terlihat samar-samar ketika ia berlari. Di lantai dasar ia masuk ke ruang
penyimpan- an yang besar dan gelap, diterangi oleh lengkungan di ujung dinding. la
mulai berlari menuju ke sana, kemudian berhenti dan berputar, mencoba untuk
mengawasi ceruk tersembunyi kamar itu. Mungkin saja Marcus bersembunyi di sini, me-
nunggunya untuk lewat dengan terburu-buru...
Tidak—ruangan itu kosong.
Ia keluar menuju cahaya. Ia kembali berada di ruangan utama yang besar dan terbuka.
Pondok berada dekat situ, pintu- nya terbuka.
Ada suara teriakan dari atas tempatnya berdiri. Simon ada di lorong di seberangnya,
melambai. ”la ada di sini! Aku me- nemukan barang-barangnya.
”Di mana?”
”Di atas tangga, di dalam menara pinggir. Nggak menuju ke
169

raana pun, tapi di sana ada barang-barang yang disembunyikan, pasri kau sulit
memercayainya! Banyak makanan, kompor untuk berkemah, segala macam barang.”
’Tapi nggak ada Marcus?”
”Menurutku ia ada di bawah sana. Aku pasti sudah melihat- nya kalau ia berada di
depanku.”
Kepala Simon menghilang dari tempat terbuka. Emily ber- jalan menyeberangi celah
yang merupakan pusat kastil me- lewati salju yang mencair. Ada beberapa pintu di bawah
lengkungan kubah yang bisa dilewati, mungkin Marcus melari- kan din ke dalamnya. Satu
pintu menuju ruangan yang ada sumumya. la mencoba pintu ini dulu.
Matanya butuh waktu lama untuk bisa fokus dalam pe- nerangan yang samar-samar.
Udara terasa lembap, air menetes dari lubang-lubang yang ada di langit-langit,
menyebar, me- mercik, dan berkumpul menjadi genangan di sudut ruangan yang
lantainya miring.
Emily melangkah masuk dan membiarkan matanya terbiasa dengan kegelapan.
Awalnya, ia tidak bisa melihat dengan jelas. Kemudian ia mulai bisa membedakan bagian
dalam kegelapan yang kelihatannya lebih dalam dan tidak terlalu jauh dibanding- kan
semua yang ada di sekitamya. Bagian itu rendah dan ko- tor, biru-hitam, kontras dengan
ruangan berwama kelabu hi-
Emily melangkah perlahan.
Dari dalam kegelapan tiba-tiba muncul suara keras benda yang bertabrakan, logam
menggesek logam. Jantung Emily melonjak dan ia hampir berbalik dan melarikan diri.
Malahan, ia mendengar dirinya sendiri berbicara dengan gagap. ’’Marcus?"
tarn.
170

Ttdak ada jawaban dari kegelapan biru kehitaman. Kegelap- . ^ bergeser sedikit.
Terdengar lagi suara keras logam ber- jdu. Emily gemetar karenanya.
"Marcus? Apakah itu kau?”
Sebentuk bayangan yang terbentang, menjadi panjang dan ramping. Suara yang
sudah dikenal berbicara dengan nada tersinggung.
"Tentu saja ini aku. Siapa lagi?”
"Apa yang sedang kaulakukan di sini?”
"Berusaha membongkar terali besi. Aku ingin tahu apakah itu penjara bawah tanah
atau bukan.”
"Bukan itu. Maksudku di sini, kembali ke kastil. Kau bisa saja ketahuan.”
"Kau juga.”
"Iya, tapi kami hanya datang untuk menemukanmu, me- nyadarkanmu. Kemudian kita
semua akan pergi.”
Kali ini ia tidak menjawab. Emily tahu Marcus sedang me- natapnya.
Ketika akhimya Marcus berbicara, suaranya kedengaran ganjil, dengan penekanan
pada akhir kalimatnya. ’’Kenapa kau bisa berpikir aku ada di sini? Siapa lagi yang mencari
aku?” "Kami—bukan—Simon melihat ada cahaya di kastil ini se- malam. Ia menebak pasti
kau. Nggak ada orang lain yang tahu, Marcus.”
”Kau yakin?”
’Tentu saja.” Ada keributan di luar sana, di suatu tempat. Emily berbalik menuju pintu
masuk dan berbicara di atas bahu- nya. ’’Keluarlah dari sana sebentar. Aku nggak bisa
berbicara kalau tidak melihatmu.” Emily berjalan menuju cahaya. Simon sedang
menunggu di luar.

”Ia ada di dalam Sana, bukan?”


”Iya. Ia sedang berjalan keluar, menurutku.”
"Bagus. Aku man menyampaikan beberapa hal padanya" Simon merendahkan
suaranya dan berdiri mendekat pada Emily. ’’Ketika mereka melihat lubang kematian
mereka akan bilang ini vandalisme,” ia berbisik. ”Dan orang pertama yang akan dipanggil
polisi adalah kau dan aku, karena Harris sering melihat kita ada di luar. Yah,” tambahnya
dengan nada getir, ”mereka akan memanggilku dulu, tapi mereka akan segera me-
ngetahui siapa kau sebenamya, percaya deh padaku.”
Emily merasa sedikit mual. ’’Bisakah kita menyuruhnya untuk memperbaiki
penutupnya?” tanyanya.
"Memperbaikinya? Ia merusak penutupnya dengan sent' puma. SatU'satunya yang bisa
kita lakukan adalah cepat-cepat keluar dari sini. Ah, itu dia,” katanya, meninggikan
suaranya. ”Sang pembela kastil.”
Sosok yang lamban muncul dari dalam bayangan di bawah kubah.
"jangan menghinaku,” katanya. Bayangan itu berjalan me- nuju cahaya.
”Oh, Marcus,” kata Emily.
”Ya ampun,” kata Simon. ”Apa yang terjadi padamu?”

TOPI Marcus ditarik sampai di atas alisnya. Syal wol yang tebal, yang tidak pemah
Emily lihat sebelumnya, menggulung tinggi di sekitar dagunya. Tapi ini tidak terlalu
membantu pe- nyamarannya, malah sebenamya lebih menonjolkan memar besar
berwama biru hitam yang membuat wajahnya terlihat jelek. Yang paling parah menyebar
luas di pipi kirinya, tapi ada yang lebih kecil, kebiru-biruan, di atas dahi. Selain itu, mata
kirinya benar-benar hitam, bengkak, dan setengah tertutup. Mata yang satunya kelihatan
lelah dan merah.
Wajahnya yang kacau sangat kontras dengan pakaian yang dikenakan Marcus.
Sebagus syal merahnya yang keren, Marcus terlihat memakai pakaian lengkap, semuanya
merupakan koleksi terbaru dari perlengkapan semua musim. Ia memakai jaket tamasya
besar dan cerah, dihiasi garis biru tipis mengilat dan pola jingga berliku-liku. Di bawahnya
muncul bagian atas baju dingin tebal merek Aran. Celana panjangnya yang ke- besaran
terbuat dari bahan yang sama dengan jaketnya, ujung- nya dilipat rapi dan dimasukkan
dalam kaus kaki berkemah
173
wama abu-abu yang halus. Semua itu muncul dari sepasan sepatu bot baru yang
berkilauan.
"Keren, eh?” tanya Marcus. Wajahnya menyeringai lemah. Emily dan Simon tidak
membalas cengirannya.
’’Marcus—kok kau bisa begitu?” tanya Simon.
"Kau bertanya soal pakaian, atau wajah?”
"Wajah, tentunya. Dan pakaian... Ceritakan saja pada kami apa yang terjadi.”
"Wajahmu...” ujar Emily. "Apakah kau terpeleset dan ja- tuhr
”Aku rasa nggak sesederhana itu, Em. Tidak.” Matanya yang tidak bengkak menatap
Emily dari bawah lipatan mata. ’’Sudah kubilang Dad nggak akan suka aku menginap,
dan ia nggak pemah senang akan apa pun.”
"Maksudmu—”
"Soal berbohong itu, rupanya, yang membuat Dad sangat marah, itu katanya, ketika
ia mengunci sepedaku. Berbohong.
Itu lebib buruk, jauh lebih buruk, daripada menyelinap, tidak peduli aku habis dari
mana. la nggak pemah peduli untuk me- ngetahui kebenaran, tapi ia tahu bahwa ia
sedang tidak men- dengamya. Oh, lucu sekali ketika aku pulang dan menceritakan kisah
pergi ke perpustakaan pagi-pagi—kau ingat, Em, cerita yang kauusulkan. Aku nggak
menyalahkanmu. Aku nggak bisa memikirkan hal yang lebih baik, itu saja. Aku
mendengarkan dtriku mengatakannya dan mengawasi tangan ayahku dan berpikir, ’Aku
tidak pemah mendengar kebohongan yang lebih payah daripada ini seumur hidupku.’ Aku
hampir saja memukul diriku sendiri, benar-benar dungu. Dan lucunya lagi aku berdiri di
ruangan utama, meracau tentang buku dan waktu yang ku- habiskan untuk belajar,
ayahku melihat tas ranselku yang ter-

bub—aku lupa menutupnya dengan baik ketika kita pergi dari sini—dan nggak melihat
apa-apa di dalamnya kecuali ujung lantong tidurku yang menyembul dengan riangnya.
Yah, aku seperti melihat sinar lampu neon yang mengerjap di kepalaku mengatakan ’Aku
seorang pembohong,’ dan Dad menyampaikan perasaannya dengan sangat jelas, Dad
memastikannya.”
’Tapi,” kata Emily, ”Ia... ia nggak boleh melakukan hal itu—”
"Jangan bilang padaku apa yang ia boleh dan nggak boleh lakukan!” Marcus menjawab
Emily dengan keras. ”Aku tahu lebih banyak soal itu dibandingkan kau! Dan bukan hanya
itu saja yang ia lakukan! Tidak, ia pergi ke gudangnya dan kern- bali dengan membawa
martil besar yang biasa ia gunakan di tempat kerja. Semacam yang digunakan untuk
memukul tonggak pagar. Kemudian ia menuju sepedaku yang aku taruh di samping
rumah dan meletakkannya di atas batu beton di halaman belakang. Lalu
menghancurkannya menjadi potongan- potongan logam. Cukup lama ia melakukannya.
Aku meng- hitung waktunya: enam menit dua puluh detik. Cukup keras juga ia bekerja.
Tapi aku tidak peduli. Aku tahu apa yang akan kulakukan bahkan ketika aku berdiri di
sana mengawasinya. Ketika ia sudah selesai, ia pergi berbaring—kelelahan, lelaki yang
malang. Aku membawa potongan-potongan sepedaku ke samping kebun seperti yang ia
perintahkan, agar tidak meng- halangi jalan. Kemudian aku pergi ke kamar mandi dan
men- cuci mukaku. Sarapan sereal. Tidur sepanjang siang.”
Marcus berhenti bicara dan menepuk lengan Emily dengan sarung tangannya yang
baru. la menunjuk pondok di dekat
’’Kalian berdua terlihat sedikit kedinginan,” katanya. ”Ayo

kita masuk ke Sana. Aku punya pemanas yang masih ber- fungsi.”
Dalam kebisuan, mereka mengikutinya sampai ke ruangan yang kecil. Dengan
pemanas, rak, lemari dan kursi, rasanya tidak cukup besar untuk mereka bertiga berdiri
bersamaan. Marcus menuju ke pemanas dan menekan tombolnya, semen- tara Emily
menutup pintu. Suara berdengung pelan terdengar, segera diikuti oleh bau debu
terbakar.
"Nggak perlu waktu lama untuk menghangatkan kita.” Marcus mengambil sekantong
biskuit yang ada di atas rak. ’’Ambil satu, Em—kau ambillah kursi.”
Biskuit itu dibagikan. Emily duduk di kursi, yang lain duduk di lantai. Beberapa saat
mereka makan biskuit dalam kehening- an yang janggal, merasakan panas yang perlahan
mengaliri tu- buh mereka. Emily gemetar berlebihan ketika tubuhnya mulai hangat, tapi
matanya tetap menatap Marcus lekat-lekat. Seka- rang Marcus kelihatan sangat tenang.
Simon mengambil kue krim custard.-nya yang ketiga. ”Jadi bagaimana kau bisa sampai
ke sini,” tanyanya, ”jika sepedamu hancur?”
"Menurutku,” kata Marcus, memeriksa bentuk biskuit yang ada dalam genggamannya,
”Dad berpikir dengan memindahkan sepedaku berarti dapat mencegahku untuk pergi
keluar rumah. Cara Dad memang sesederhana itu. Aku selalu bersepeda ha- nya untuk
melepaskan diri dari bawah pengawasannya, dan hal itu selalu membuatnya marah.
Mungkin ini bukan peris- riwa terburuk, tapi kurang-lebih nyaris seperti itu. Ia benci kalau
aku tidak ada saat ia membutuhkanku, atau ketika ia mengantuk dan mungkin terjaga
dan menginginkan se' suatu.”
"Aku nggak percaya ia memukulmu,” kata Emily tiba-tiba, jlchimya bicara juga.
"Yah, tidak seburuk itu. Sepedanya... Ceritanya—aku nggak mau berpanjang-lebar
lagi, jadi jangan khawatir, Simon—aku tidur sepanjang hari memikirkan apa yang ingin
aku lakukan. Keesokan harinya, ketika Dad pulang, aku ada di sana, dapat diandalkan,
seperti biasa. Membuatkannya sarapan, membawa- Ian korannya, menunggunya pergi
tidur. Ia minum obat supaya bisa tidur, jadi begitu ia tidur aku aman.
"Sisanya mudah sekali. Hanya tinggal mengumpulkan per- sediaan. Aku butuh
makanan, minuman, kehangatan, mungkin sedikit kenyamanan. Aku berpikir tentang
Baron Hugh, hagai- mana ia dengan saksama mengumpulkan jagung dan temak sebelum
menggerendel pintu kastil. Hal ini mengingatkanku— aku punya gagasan yang sangat
hebat untuk mengusir Harris, kalau perlu!” la berhenti untuk menggigit sepotong biskuit
lagi.
"Kalau pasukan kita ada di daerah kekuasaan musuh, mereka akan merampasnya,”
lanjutnya. ”Dan itulah yang aku lakukan dengan Dad. Pertama kurampas semua yang
bisa kuambil dari kulkas dan pantri, tidak banyak karena persediaan kami tinggal sedikit.
Beberapa makanan kaleng, sebagian besar—dan aku juga nggak lupa membawa
pembuka kaleng, Simon, kau pasti senang mengetahui hal ini. Aku mungkin bisa
menggunakan makanan untuk sarapan—telur, daging babi asin, tomat, tapi biarlah, aku
akan membelinya saja nanti. Jadi aku melemparkan mereka ke bak cuci piring dan
meninggalkannya. Membuka sekaleng kacang polong sebagai permulaan yang baik.
Kemudian aku naik ke loteng, ke kamar ayah, menemukan jaketnya, dan mengambil
dompetnya. Kau baik-baik saja, Em?

"lya. Lanjudcan."
”Aku menemukan dua puluh pounds. Hampir tidak cukup. Tapi ada kartu debitnya
juga, dan Dad sudah melakukan ke- saiahan besar. Beberapa waktu yang lalu, karena ia
lelaki yang malas, menyuruhku pergi ke ATM untuk mengambil uang. Jadi aku tahu
nomomya. Aku nggak akan melupakan hal semacam itu. Aku mengambil kartu dan uang
dua puluh pounds, dan melemparkan uang logam ke dalam bak cuci piring bersama yang
lainnya. Kemudian aku pergi. Membawa tas ransel tapi bukan kantong tidurku yang kotor.
Berjalan ke kota, mampir ke bank, dan berbelanja di Safeway dan Outdoor Center. Aku
punya lampu senter baru yang bagus, Teman-Teman, yang me- miliki tiga setelan jenis
sinar."
”Kau nggak membeli sepeda baru, kan?” tanya Simon. Ia menatap Marcus dengan
tatapan iri.
"Sayangnya, uangnya tidak cukup. Harus naik bus beberapa kali. Sampai di sini siang
hari.”
”Dan bagaimana kau bisa masuk?”
"Tapi, Marcus,” sela Emily, ”kau nggak akan tinggal di sini.”
’’Kenapa nggak? Aku nggak akan pulang, dan aku juga nggak mau tidur di jalanan.
Tempat ini menyediakan segala- nya, kecuali persediaan air, tapi aku bisa mencairkan
salju. Aku membawa buku-buku, peralatan pemanas... ada kayu ba^ kar di dekat sini.
Aku hanya perlu jalan ke desa untuk mem- beli makanan, dan aku bahkan nggak
memerlukannya dalam waktu dekat. Aku hanya harus memastikan kalian berdua tidak
akan memberitahukan keberadaanku di sini.”
”Kau akan segera tertangkap, Marcus,” ujar Emily.
178

”Kau benar-benar payah, Em, tahu, nggak? Ayahku nggak phu di mana aku berada,
aku tidak pemah memberitahu siapa pUn selain kalian, dan kastil ini tutup sampai bulan
Maret. ijcu bisa bersembunyi dari Harris. Aku sudah tahu rutenya.” ’Tapi bagaimana
caramu masuk?” tanya Simon tak sabar. Marcus tertawa. ’’Mudahl Harris membiarkanku
masuk!” ’’Maksudnya?”
’’Maksudnya aku beruntung. Aku menyimpan barang-barang- ku di bawah pagar
semak belukar—dan aku senang dapat me- nyingkirkannya! Hampir mematahkan
punggungku saat meng' angkumya dari desa. Aku sudah mempertimbangkan, dan aku
berpikir mungkin akan meneleponmu lagi, Em, ketika—”
”Jadi memang kau yang meneleponku kemarin. Kenapa kau nggak meninggalkan
pesan atau menelepon lagi?”
Marcus mengangkat bahu. Jaket santainya mengerut. ”Aku tidak tahu kenapa aku
meneleponmu, sungguh,” katanya. ”Aku menelepon ketika aku baru saja mau pergi.
Mungkin aku bingung, dan aku tidak tahu bagaimana caranya masuk. Aku sempat terpikir
untuk meminta tolong kau dan Simon untuk memasang tali lagi. Tapi ketika aku nggak
dapat menghubungi- mu, aku berubah pikiran dan memutuskan untuk pergi ke sini,
melihat situasi dulu. Kalau memungkinkan, aku nggak ingin kalian terlibat.”
Simon menatap Emily dengan tatapan ”apa kubilang”.
”Jadi,” lanjut Marcus, ”aku mengumpulkan barang-barangku lagi ketika melihat Harris
melintasi jembatan. Entah dia se- dang mengarah ke kastil atau tidak, tapi aku nggak
mau ke- hilangan kesempatan, jadi aku merayap di bawah pagar semak belukar dan
berjalan di belakangnya dalam jarak yang aman.
Aku berada di pos penjaga ketika ia sampai di kastil, dan—
179

lihatlah!—tepat di depan mataku ia membiarkan pintu tidak dikunci dan melangkah ke


dalam.
"Aku tnengambil kesempatan, jadi aku berlari ke menara se- cepat mungkin, dan
mengamati daerah sekitar pintu. Pintunya sedikit terbuka. Tak ada gunanya diam-diam
saja. Aku masuk, melewari pintu, dan berjingkat menaiki anak tangga menuju ke atas.
Itulah hal yang paling buruk. Aku nggak bisa mendengar apa-apa—selama itu, Harris
mungkin saja ada di balik pintu di atas. Aku hams mengambil risiko. Aku sampai di pintu
yang terakhir, mengintip ke dalam, melihat semuanya aman, dan melanjutkan
perjalanan. Aku nggak membuang-buang waktu, aku menaiki tangga ke menara dan
tetap berada di sana, di atas atap. Itu juga mengerikan. Setiap saat aku berpikir—”
Tapi Simon rupanya merasa sudah cukup paham.
"Yeah, kami dapat inti ceritanya,” ujamya. ’’Harris nggak muncul. Kau aman tinggal di
dalam bersama dengan barang- barangmu.”
"Kurang-lebih seperti itu,” Marcus mengakui. la berhenti berbicara. Simon menggeleng
pelan dan meng- ulurkan tangan untuk mengambil biskuit dari dalam kantong. Emily
duduk terkulai di kursi, menatap sebal pada Marcus, la sadar dirinya harus bertindak, tapi
ia sekarang terbebani oleh kegelisahan dan perasaan bersalah yang semakin berkembang
selama Marcus menceritakan kisahnya, dan ini membuatnya merasa tidak berdaya, panik,
dan sedikit muak pada saat ber- samaan.
Bagaimanapun, ia mencoba sebaik mungkin.
"Marcus,” kata Emily, "hebat sekali kau bisa masuk ke sini, dan kau juga luar biasa
dapat membawa perlengkapan dan se- galanya. Aku yakin kau bisa menghindari Harris
selama mung-
180

w
kin. Tapi cepat atau lamb'll, kau harus meninggalkan kastil jjji menyelesaikan masalah
dengan cara lain.
Ia mengawasinya lekat-lekat. Bibir Marcus merengut ketika j Emily mengatakan hal
ini.
”Apa yang dilakukan ayahmu memang salah,” lanjutnya i cepat, ”dan tindakanmu
memutuskan untuk pergi itu benar.
Tapi kau sebaiknya nggak mengurung dirimu seperti ini, seolah j sedang melarikan
diri.”
”Aku nggak sedang melarikan diri,” sela Marcus. ”Aku mun- dur ke posisi bertahan.
Dan tidak ada pilihan lain.”
’Tapi ada pilihan lain sebenamya,” kata Emily. ’’Pergilah ke polisi. Orangtua nggak
diperbolehkan memukul anak-anaknya. Itu melanggar hukum.”
"Aku nggak akan pergi ke polisi, Em. Mereka tidak akan tertarik.”
Tentu saja mereka akan tertarik. Mereka akan mengatasi- j nya untukmu, bukankah
demikian, Simon?” Ayolah, pikimya, bantu aku di sini.
Entahlah.” Ia sedang serius mengorek kukunya tanpa se- mangat.
’’Kukatakan padamu, Marcus, mereka bisa menghukum ayah- mu untuk hal ini.”
Ia tertawa parau. ”Kau pikir mereka akan percaya padaku?
Kau gila!”
’’Lihatlah wajahmu, demi Tuhan! Tentu saja mereka akan memercayaimu.”
”Lalu apa kalau mereka percaya? Misalnya saja mereka me- menjarakan Dad. Bagus!
Aku dibiarkan berkeliaran di rumahku sendiri, begitu? ’Rumah ini milik Anda, sekarang,
Pak.’ Kurasa tidak.”
181

"Peristiwa seperti ini sering terjadi! Selalu ada jalan ”


’’Benar sekali, selalu ada jalan. Dan menurutmu aku ber- akhir di jalan yang mana?"
"Yah, kau ada di mana sekarang? Membekukan pantatmu di sini!”
Simon tiba-tiba mendongak. "Sebaiknya kau nggak meng- andalkan polisi, Em,"
ujamya. "Kata-kata Marcus akan diban- dingkan dengan kata-kata ayahnya ketika
melibatkan polisi. Mereka akan lebih percaya pada ayahnya, ayahnya punya pe- kerjaan
yang baik dan semacamnya, lihatlah Marcus... Hmm....”
"Yeah?” jawab Emily ketus. "Kenapa polisi nggak akan me- mercayai Marcus?"
Bibir Simon menipis. ’"Bajunya bagus, Nak. Baru, ya? Kau beli dengan uangmu sendiri,
kan? Oh ya, begitu. Kau pasti pu- nya pekerjaan paruh waktu yang lumayan
menghasilkan. Me- mangnya gajimu berapa?1 Kau tidak mengenal mereka, Em. Mereka
akan melihat Marcus dan menganggapnya seorang pencuri."
Marcus mendengarkan, wajahnya pucat.
”Aku nggak akan mendatangi polisi,” katanya.
"Yeah, polisi bukan jawaban,” ujar Simon. "Aku juga tidak tahu apa solustnya.”
Emily mendengus. "Tepat,” katanya. "Kau nggak tahu apa- apa. Semuanya omong
kosong, Marcus, jangan dengarkan dia, Marcus."
"Aku tahu lebih banyak soal itu dibanding kau,” tegas Simon. "Ada satu hal yang aku
setuju dengan Em—kau sebaik¬
nya tidak tinggal di sini. Kau akan terserang radang paru-
paru.

182

"Yah, ke mana lagi aku bisa pergi?”


Simon mengangkat bahu. ’’Entah. Kau punya kerabat?” "Oh, pasti.” Suara Marcus
meninggi. ’’’Nick yang malang, semua ini pasti sulit baginya. Jadilah anak lelaki yang baik
untukNick, bisa kan...’ Kau pasti bercanda. Mereka menyaya- ogi ayahku.”
"Mmm, entahlah kalau begitu. Rumit. Ada gagasan lain, Em?”
Emily menatapnya. Hening. Mereka bertiga duduk sambil memandang sudut ruangan
dalam pondok, mendengarkan bu- nyi dengung pemanas. Akhimya Marcus berdiri dan
beraksi.
"Yah,” katanya. ”Aku belum lama berada di sini, dan aku juga tidak menyia-nyiakan
waktu. Aku harus menunjukkan se- suatu yang kutemukan pada kalian. Sungguh hebat.
Ayo!” la bangkit dengan energi yang tidak dimiliki oleh Simon maupun Emily, dan
membuka pintu pondok. Embusan udara dingin masuk ke bagian dalam pondok yang
hangat, men- dorong mereka untuk berjalan di belakang Marcus menye- berangi halaman
kastil menuju lengkungan yang belum pemah dijelajahi Emily. Lengkungan kubah itu
menuju tangga luas dan memutar, Marcus mendaki dua anak tangga sekaligus, yang lain
terseok-seok di belakangnya. Selanjutnya mereka sudah berada di ruangan dengan pintu
yang menuju tangga masuk. Pintu itu masih terbuka saat Emily melewatinya.
"Pintu ini ada gerendelnya,” ujar Marcus, menunjuk ge- rendelnya,”tapi tidak bisa
dikunci. Nggak ada kuncinya. Se- karang, berikutnya...” la menuruni anak tangga yang
cuiam dan panjang menuju pintu kedua. Pintu itu juga terbuka. Marcus mendorongnya
hingga gerendelnya bergeser. ’’Lihat ini.”
Ia menunjuk pada bentuk persegi panjang di kubah batu,
183

setengah jalan di atas pintu di sisi lain. Bentuknya satna I ”^au punva
peralatannya.”
seperti kotak surat, hanya sedikit lebih besar dan memutar I "Aku purvya. Aku
mengambil bebetapa milik Dad. Marti!,
sembilan puluh derajat hingga bisa bergerak tegak lurus, naik I nisau Stanley,
semacam itu.”
dan turun.
"Menurutmu apakah ini?” tanyanya.
Emily menggelengkan kepalanya, tapi mata Simon bersinar. "Aku tahu,” katanya.
’’Berfungsi sebagai palang atau semacam- nya. Untuk menjaga agar pintu tetap tertutup.”
Marcus mengangguk penuh semangat. ”Tepat sekali! Fungs!- nya sebagai balok
penghalang. Masukkan kayu kokoh ke dalam- nya dan kayu itu akan menjaga pintu agar
tidak bisa dibuka dari luar. Untuk menghancurkannya, dibutuhkan balok kayu untuk
mendobraknya.”
”Jadi?” Emily tidak tertarik.
”Kau tidak mengerti? Ini adalah satu titik lemah kastil, se- panjang yang kuketahui.
Harris atau orang lain yang mem- punyai kunci bisa membuka pintu ini di bawah sana
dan me- langkah masuk. Tapi dengan menyelipkan balok penghalang di smi, aku bisa
menghentikan mereka masuk ke kastil. Mereka akan terhalang di tangga.”
”Di bawah lubang kematian,” kata Simon. Seringai lebar muncul di wajahnya.
”Tepat. Ini nggak perlu dilakukan jika aku bisa menyem- bunyikan diri. Tapi kalau
terjadi masalah, aku punya balok penghalang yang siap dipakai.”
"Dari mana?”
’'Dari pondok. Terbuat dari papan yang lebamya tepat. Aku sudah memeriksanya—
papan-papan itu cocok. Ada beberapa yang longgar. Aku bisa membuangnya kalau
terpaksa.”
Simon bersiul. ’’Kerja yang bagus.”
”Aku nggak ikut-ikutan,” kata Emily tiba-tiba. ”Kau bisa tinggal kalau mau, Simon.” la
berbalik dan berjalan menaiki tangga.
”Kau mau pergi ke mana, Em?” ujar Marcus, mengikutinya.
"Aku masih punya bebetapa hal untuk diperlihatkan padamu.”
”Aku nggak tertarik. Aku sudah cukup melihat-lihat.”
’’Em—”
"Maaf, Marcus. Kau bisa tinggal di sini selama yang kau- iaginkan. Terserah.”
la berjalan ke pintu masuk ruangan, Marcus dan Simon berusaha mencegahnya.
’Tidak apa-apa, kalian tidak perlu mengikutiku,” katanya getir. ”Aku bisa berjalan ke
tempat tali sendirian. Teruskanlah permainan kalian. Akan sangat menyenangkan bagi
kalian, tapi aku mau kembali ke dunia nyata, kalau kalian nggak ke- beratan.”
Marcus mengangkat bahu. "Suka-suka, deh.” Ia melompat ke atas ambang yang
rendah di bawah salah satu jendela ruang¬an yang sempit. ”Aku akan baik-baik saja.”
Emily menatap Simon. ’’Bagaimana denganmu?” la berdiri tanpa bicara, belum
memutuskan. Emily berbalik dan pergi. 'Terserah. Sampai jumpa.”
Ketika ia berbalik, Marcus mengeluarkan bunyi tersedak yang aneh. la berjalan
sempoyongan mundur ke belakang ambang, kakinya roboh di bawah badannya ketika ia
jatuh ke lantai. Mulutnya menganga. Emily ketakutan karena Marcus

mulai mengerang terus-menerus dengan suara mengerang dnggj yang membuat bulu
kuduknya berdiri.
Emily, kcmudian Simon, bergerak cepat dan berlutut di sam- ping Marcus.
"Marcus, ada apa?”
"Apakah kau baik'baik saja?”
”Apa yang terjadi? Ada apa?”
"Seperti serangan tiba-tiba—"
"Apa kau perlu dokter? Simon, wajahnya pucar pasif^® Erangannya bembah menjadi
batuk tertahan. Matanya yang dan tadi menatap lums, mulai bergerak liar ke semua arah.
Mulutnya menu tup, kemudian terbuka lagi, ia sepertinya betusaha untuk berbicara.
"Ada apa, Sobatf’
"Bisakah kau duduk dengan benar? Ayo kita tegakkan; dia ke atas ambang jendela,
kita bisa menyandarkan punggungpya pada..."
Tiba-tiba cegukan Marcus mulai lagi ketika Emily meng- usulkan bal ini. Marcus
menggelengkan kepalanya berkali-kali dari kiri ke kanan.
"Jangan, jangan—di luar ...”
"Apa? Apa yang di luar?”
’’Apakah kau melihat sesuatu?”
"Apa yang ada di luar, Sobat?”
Mata Marcus akhimya bertemu pandang dengan mata mereka, ia menatap mata Simon
kemudian berganti ke Emily dan kembali lagi, kemudian menelan ludah dan berbicatJM
"Jangan pergi ke dekat jendela... dia mungkin saja melihat kalian-”
186
d

f
[ "Siapa yang raungkin melihat? Siapa yang ada di luar
IW
-Aka melihatnya, di bawah parit kastil, sedang menatap I ^1. Dia mungkin saja sudah
melihatkui” f "Siapa? Siapa yang kaulihat?"
Marcus menarik napas panjang, kemudian berbicara dengan I jjgia yang lebih mirip
bisikan.
"Ayahku.”
187

UNTUK sesaat Emily dan Simon hanya dapat menatap Marcus tanpa berkata-kata.
Kemudian Simon meluruskant pung- gungnya.
’’Ayokmu ada di luar sana?" katanya ragu. "Ayahmu? Yang bam!"
"Ayahku di luar sana! Jangan pergi ke dekat jendelal Ja- ngan, Simon!"
"Oh, aku akan berbati-hati, jangan khawatir. Tidak akan ada yang akan mclibatnya...”
Tetap bersandar pada dinding bacu, ia memanjat ke ambang jendela dan, maju
perlaham- lahan ke celah cahaya, mengamati ke luar.
"Ada seseorang di sana,” katanya. "Seorang lelaki berdiri dalam bayang-bayang
lengkungan kubah. Sulit mengenalinya. Apa yang membuatmu berpikir lelaki itu ayabmu,
Marcus?"
"Karena aku mengenali ayahku saat melihatny®.! Tuhan, bagaimana caranya
menemukanku ?”
"Kemarilah dan lihat lagi. Kau harus memastikannya.” 'i? "Tidak mau. la akan
melihatku."
188

1
“Marcus, ini adalah celah untuk memanah, dan kita berada |ketinggian sepuluh meter.
Kalau kau nggak memperlihatkan hidungmu, ia tidak akan mungkin bisa meiihatmu. Aku
mau kau melihatnya lagi dan memastikan bahwa itu ayahmu, (arena menurutku tidak
mungkin ayahmu akan datang men- carirau, kecuali kau bilang padanya dari mana saja
kau bebe- iapa hari terakhir ink”
Tentu saja aku tidak mengatakannya*1 Tapi itu ayahku^—”
"Yah, makanya pergilah ke sinf dan lihat sendiri!” bentak Simon.
Hampir seperti orang yang berjalan dalam tidur, Marcus melangkah dengan susah
payah dan mendekad jendela. Simon mundur dan memberinya tempat untuk berdiri di
tepi dalam ambang jendela berhadapan dengan seberfeas cahaya.
1 T&engamati' sekali, kemudian melompat mundur sambil mengerang.
PKitu ayahmd?” tanya Emily;
Marcus menganggdk seperti orang dungu. Simon menggeleng- kan kepalanytu
’’Bagaimana bisa-—^ Tidak masuk akal. Geser sedikit. Aku mau lihat apa yang
djlakukannya.”
Ia kembali ke posisi mengintai, sementara Marcus turun ke lantai lagi di samping Emily.
"Ia akan masuk dan menangkapku,” katanya dengan suara
boil
Emily menguluddm tangan dan menggenggam tangan Marcus. ’Tentu saja ia nggak
akan melakukannya.” Ia sedang berusaha untuk berbicara dengan suara yang terdengar
masuk akal dan biasa saja, tapi yang feeluar malah tinggi dan me- lengking. Ta tidak
punya kunci, bukan?”
189

"Harris mungkin saja memberikan kuncinya.”


”0h, bicaralah yang masuk akal! Tentu saja Harris nggak akan memberikan kunci. Jika
demikian, Harris pasti ada di sini. Sebenamya,” lanjutnya, suaranya mulai menenangkan,
"aku yakin dia tidak tahu kau ada di sini. Kalau kita tetap tenang ia akan pergi.”
"Mobil ayahmu apa?” kata Simon tiba-tiba.
"Ford Fiesta. Wama biru.”
"Berarti dia memang ayahmu, aku bisa melihatnya di tempat parkir mobil."
"Apa yang sedang dilakukannya?" tanya Emily. "Hanya me- lihat-lihat?”
"Yeah, la hanya berjalan-jalan. Ia kelihatan gelisah. Terus menoleh, melihat-lihat.
Seperti sedang dalam pelarian.”
"Yah, tempat ini sedang ditutup,” kata Emily. ”Ia seharusnya nggak boleh berada di
sini, bukanr’
Simon mengangguk. "Kegemaran menyelinap masuk seperti ini pasti sifamya turunan.
Tunggu-—ia bergerak!”
”Oh, Tuhan!” Marcus menggaruk rambutnya dengan bi- ngung. ”Ke mana ia pergi?’
; .I
”la menuju ke sini.”
”Oh, Tuhan.”
"Jangan khawatir—ia nggak bisa masuk. Em—talinya sudah disembunyikan, bukanr
"Yep.”
"Baiklah. Kita aman. Ia berjalan mengelilingi menara. Ia akan mencari pintu. Ayolah.”
Simon melompat dari ambang jendela dan berlari cepat menuju lorong.”
Marcus tiba-tiba berteriak. "Tunggu! Kau mau pergi ke mana?”
"Aku ingin melihat apa yang dilakukannya. Ikuti aku, tapi j Mgan berisik."
Berlomba-lomba mereka berlari menuruni lorong menuju I ^ngan berpilar, Marcus
langsung menunduk setiap kali ia mele- : #ati sebuah jendela atau celah untuk memanah.
Ketika sampai ] | ruangan, Simon memperlambat larinya kemudian berjalan ; diam-diam,
berjingkat dengan sepatu botnya yang besar. Yang lain mengikuti di belakangnya,
mempercepat langkah menuju jendela berkubah yang mengarah ke lapangan yang
dingin.
Belum lagi sampai di sana, mereka mendengar langkah kaki tepat di bawah mereka.
Ketika mereka berdiri kaku, terdengar suara berderak dan gemerincing tertahan, kedua
suara itu datang dari jendela dan merambat ke atas, melewati lubang kematian. Ada
yang berusaha membuka pintu kastil yang besar. Simon memberi tanda untuk diam,
sementara Marcus meng- gigit bibimya sampai pucat. Suara gemerincing itu terdengar
lagi, dua kali, kemudian berhenti. Emily pikir ia mendengar gerutu makian melalui jendela
ketika suara langkah kaki di atas salju yang mencair terdengar lagi di luar. Simon memberi
tanda untuk saling mendekat.
”Ia mengelilingi kastil,” desisnya.
"Mencari jalan masuk lain. Ia pasti sangat yakin kau ada di sini, Marcus.”
’Tapi bagaimana?” Emily balas mendesis. "Kalau kau tidak memberitahunya kau pergi
ke mana, bagaimana ia bisa—”
Suaranya menghilang. Ia mengawasi wajah Marcus ketika ia berbicara dan mengamati
campuran rasa mual dari ketakutan disertai sadamya ia akan sesuatu. Ia kelihatan sangat
pucat.
Simon menaikkan alis. ”Jadi,” katanya. ”Apa yang telah kaulakukan?"
190
191

Suara Marcus terdengar datar dan kehilangan harapan. Tamflet itu. Kau tahu, pamflet
yang ada peta kastil di dalanv nya. Aku raembawanya pulang untuk dibaca, dan aku
nggak mgat membereskannya... Fasti terjatuh dari pinggir tempat tidur atau
semacamnya, jadi aku nggak membawanya ketika pergi. Dan Dad pasti sudah
menemukannya...” la raenaruh kepalanya di tangan dan mengerang. ’’Pelankan
suaramu," kata Simon cepat.
Marcus mengerang diam-diam.
”Kau benar-benar bodoh, Marcus,” bisik Emily. ”Kau sudah membuat sebegitu banyak
persiapan, dan kau meninggalkan penunjuk jalan menuju tempat persembunyianmu.
Sekarang apa yang akan kaulakukan?”
Simon menepuk bahu Marcus. ’’Semuanya akan baik-baik saja,” katanya. ”Ayahmu
tidak bisa masuk, jadi ia juga pasti berpikir kau tidak bisa masuk. Memangnya kenapa
jika kau menghabiskan waktu di sini baru-baru ini? Tidak ada alasan bagi ayahmu untuk
berpikir kau tinggal di dalam kastil seka- rang.”
Marcus mengangguk lemah. "Kupikir kau benar.”
"Tentu saja aku benar. Pertama-tama kita akan mengawasi- nya sampai ia pergi. Ia
nggak akan berkeliaran di sini, angin mulai kencang lagi. Mari kita pergi ke sisi lain dan
terns meng' amatinya.”
Mereka berharis menuju pintu ruang masuk dan menempat- kan diri di jendela, Simon
berdiri, yang lain membungkukkan badan di ambang jendela. Saat melihat keluar, Emily
bisa melihat pos penjaga di dekat sana, beberapa reruntuhan tern- bok, bayangan pant
kastil yang besar dan muram, jauh di ujimg lapangan, ada batas pagar semak belukar.
Di baliknya

u tempat parkir mobil. Sebuah mobil biru diparkir di sana, rfjak todanya menggelincir
di atas lumpur salju yang licin. Me- ^ menunggu sejenak dalam keheningan.
Di kejauhan Simon menganggukkan kepalanya peian. Tubuh 1 Marcus menjadi kaku.
Emily menjulurkan lehemya ke depan Jan mengamati. Seorang lelaki muncul di kejauhan,
menuju ke | nos penjaga. Ia berjalan memunggungi mereka. Ia mengenakan j mantel
bulu domba hijau tua, celana jins hitam, dan topi wol I nierah yaing ditarik rendah di atas
kepalanya. Lelaki itu beijalan I peian menuju parit kastil, terpeleset sekali atau dua kali
di atas j tanah yang tidak rata. Saat ini ia sedang melewati kubah pos penjaga,
menyeberangi jembatan dan menjauh di seberang lapangan menuju pintu gerbang dekat
pagar semak belukar. Me- | mka mengawasinya pergi. Begitu sampai mobilnya, ia
menoleh | dan menatap kastil, tapi lelaki itu berdiri terlalu jauh hingga I Emily sulit
mengenali wajahnya. Ia berdiri di sana cukup lama, sebelum akhimya membuka pintu
mobil dan masuk.
Bahkan sekarang pun ia tidak tergesa-gesa untuk pergi. Untuk beberapa menit
mobilnya tetap tidak bergerak, penum- pangnya tidak kelihatan di balik jendela-jendela
yang buram.
Emily bisa mendengar Marcus memohon sambil menarik napas peian—’’Kenapa kau
nggak pergi-pergi? Kenapa kau nggak pergi saja?”—dan akhimya doanya terkabul dengan
suara mesin mobil yang menggeram di kejauhan.
Mobil itu bergerak menjauh, masuk ke hutan dan meng- hilang. Kemudian barulah
mereka bertiga bisa bersantai. Fung- gung Emily nyeri karena tegang.
"Yah,” kata Simon. "Ia sudah pergi.”
"Apakah kau melihatnya? Apakah kau melihat ekspresi wajahnya?” tanya Marcus,
suaranya meninggi karena gembira.

”Ia fflarah! Mukanya pucat karena marah! Ia sangat marah karena nggak dapat
menemukanku! Bahkan ketika aku me- ninggalkan petunjuk baginya, ia tidak bisa
melacakku!”
"la mencoba melakukannya dengan sangat baik,” kata Emily perlahan.
"Aku selamat di dalam kastilku! Pertahanannya menjagaku dengan baik. Apakah kau
melihat wajahnya, Simon? la sangat ingin menemukanku. Apakah kau melihatnya?”
Simon mengerutkan dahi. "Mungkin saja... jaraknya terlalu jauh.”
"Aku nggak bisa melihat wajahnya,” ujar Emily. "Sudahlah, itu nggak penting. Kita
hams memutuskan apa yang akan kau- lakukan sekaiang.”
"Lakukan? Aku akan tinggal di sini. Sekarang situasinya lebih baik setelah ia berkeliling
dan mendapati tidak muiigfein bagiku untuk tinggal di sini!” Marcus tertawa pada dirinya
sen- din. "Dengar, hari sudah mulai tnalam. Aku ingin benstirahat Dapatkah kau
membantuku mengangkut pemanas lagt, Simon? Aku perlu membawanya ke atas.”
”Ke atas sana lagi? Kau past! bercanda!”
"Petcayalah, itu akan sepadan—aku akan menunjukkan beberapa bentuk pertahanan
yang sudah aku rencanakan. Per- tahanan-pertahanan itu hebat!”
’’Pertahanan dulu, baru pemanas—itu kalau memang sepadan.”
"Setuju. Itu ada di bawah.”
Marcus berlari menurum tangga, dan Simon, dengan meng- angkat bahu, mulai
menyusul. Ketika ia menghilang di .nkung- an tangga, ia menatap balik pada Emily, yang
belum mulai berjalan, Emily menggelengkan kepalanya.
194

■ »/Jcu akan menyusul sebentar lagi,” ujamya.


I Kerika sudah sendirian, Emily meregangkan badan dan jojclebih nyaman di atas
ambang jendela. Kemudian ia me- l^jaflikan mata dan berusaha untuk berpikir dengan
cam yang I fcbih jemih dan masuk akal. Temyata tidak mudah. ^Pikiran-pikiran tidak
wajar melintasi benaknya seperti I nang'Oiang yang lalu-Jalang tidak betaturan,
menciptakan 1 juara bising yang menenggelamkan- semuanya kecuali perasaan I tidak
tenangnya. Sulit untuk berpikir logis dan memutuskan I jpa yang harus dilakukan.
1 la berkonsentrasi: Baiklah, pikiran nomor satu. Bodoh bagi I Marcus untuk terus
bersembunyi di dalam kastil. Sudah jelas. ia bisa saja mati karena cuaca atau tertangkap
dan dituduh melakukan vandalisme, memasuki wilayah tanpa kin, dan lain'
bin. Jadiv..
^ Pikiran nomor dua juga sama saja, atau kelihatannya demi' loan. Marcus sedang
dalam bahaya karena ayahnya. Tidak ada taaguan soal itu. Kalau kata-katanya tidak
cukup, bekas pukul- unnya berbicara keras dan jelas.
Bukannya orang lain tidak bisa memercayai kata-katanya, tentunya, namun...
Emily menghela napas. Masalahnya, Marcus terlalu banyak mengoceh. Sulit mengikuti
apa yang ia katakan, sulit membeda- kan banyak hal hingga kau dapat memahaminya
dengan baik. Kadang kau tidak bisa memastikan ia tidak bicara berlebihan. Tapi sudah
bisa dipastikan apa yang terjadi pada wajahnya— dan ayahnya sedang mencarinya.
Marcus berada dalam masalah besar, sudah cukup jelas.
Jadi apa yang harus dilakukan? Sedikit membingungkan di sini, karena perasaan
bersalah yang melingkupinya seperti awan
195

yang menyelirouti, menceraari semua yang ada dalam benak Emily, membuat
semuanya keluar dan jalur. la memahami semuanya dengan jelas sekarang. Semua yang
teijadi adalah kesalahannya, kesalahannya hingga mereka kembali ke kastil dan
menginap semalaman, kesalahannya hingga Marcus ter- lambat dan ayahnya
memukulnya. Memang, bukan salahnya Marcus terlambat, tapi ia tetap me rasa bersalatu
Dan seandai- nya ia tidak memberi gagasan pada mereka untuk menginap,
memperlakukan kastil ini seperti rumah sendiri, Marcus tidak akan mungkin berada di sini
sekarang ketika ia sedang dalam kesulitan.
Atau benarkah demikian? Sulit untuk dipahami. Kadang Marcus scpertinya senang
mengabaikan banyak hal dan hanya mengikuti apa yang menjadi keinginan hatinya.
Seperti semua omong kosong tentang mempertahankan kastil. Simon juga terlalu mudah
tertarik pada hal itu, obrolan mengenai perleng- kapan, jebakan, dan pertahanan melekat
erat dalam tangan Marcus.
Jodi apa yang sebaiknya mereka lakukan? Meiapor ke polisi metupakan satu-satunya
gagasan yang paling bijaksana, tapi Marcus langsung tidak setuju. Itu adalah kesalahan
Simon— kalau ia tidak terlalu menganggap polisi sebagai penghalang, mungkin Marcus
akan menganggap ide itu masuk akal. Tidak, mereka tidak setuju dengan reneana itu,
dan ia tidak bisa men' datangi kantor polisi sendirian.
Atau ia bisa?
Emily membuka mata dan menatap sekeliling. Suara letusan yang jauh dan teredam
datang dari arah ruangan utama. la mundur ketakutan. Bemsaha keras mengabaikannya.
Polisi... Lagi pula, ia dapot menghubungi mereka, mene*
196

I |tpon mereka... Mungkin ini tidak terlalu sulit. Mungkin ia ] ^ melakukannya


sembunyi-sembunyi, dengan tidak memberi- I ahukan namanya, memutus pembicaraan
jika ia sudah selesai ■ penceritakan pada polisi tentang kastil ini... Tidak—Marcus 9 Jan
mengadukan dirinya pada polisi, itu tidak baik.
Atau ia bisa menceritakan pada polisi sejujur-jujumya, tidak 3da kebohongan, tidak
ada kecurangan. Polisi akan segera men'
, can akar permasalahan (ayah Marcus) dan melupakan yang I bin, polisi akan
melewatkan vandalisme terhadap bangunan I kuno, itu saja.
; ; .Emily berkata pada dirinya ini yang hams dilakukan, tapi 1 ia masih saja merasa
tidak enak di dalam hati.
Lagi pula, jika ia mendatangi polisi, Marcus dan Simon akan menganggapmya sebagai
pengkhianatan terburuk. Mereka tidak akan pemah man berbicara dengannya lagi. la
mengeramg pelan sambil menunduk. Semua pikiran yang . membebanr d&tuia masih
saja memikirkan gagasan percamanya. Idak melakukan apa-apa untuk sementara.
Semuanya beijalan lanear, Marcus akan merasa sangat bosan dan kedinginan se- tslah
satu atau dua hari hingga ia akan mendengarkan saran r Emily tentang polisi. Kemudian
mereka akan melupakan kisah tentang kastiliriiv «
Dengan keputusan setengah hati ini dalam pikirannya, Emily menoleh untuk melihat
Simon yang muncul dari tangga. Wajahnya merah dan ia terengah-engah. Ia membawa
papan datar yang panjang, diseimbangkan oleh tumpukan kerikil dan beberapa batu.
Emily patah semangat.
"Apa,” katanya dingin, "yang kalian temukan di sana?”
Simon menjawab dengan semangat sambil terengah-engah.
197

”Ini sebuah pa—balok penghalang untuk pintu di bawah sana. Kami akan roengujinya.
Kami mendapatkannya dan pondok seperti yang dikatakan Marcus. Ia punya
perlengkapan yang hehat, memotong kayu seperti memotong keju.”
"Dan batu kerikilnya?"
"Amunisi. Se ben tar, aku harus menyingkirkan mereka aran aku akan jatuh."
Ia berjalan pelan di dalam lorong yang menuju ke ruangan berpilar, dan menemukan
bahwa koridomya sangat sempit untuk papan itu. Sam hi I menghela napas ia menyeret
kakinya untuk berputar dan menghadap tembok, dengan susah payah ia berjalan
menyamping di jalan kecil seperti seekor kepiting. Emily, wajahnya mengeras,
mengawasinya pergi. Tidak berapa lama ia mendengar suara benda jatuh dan jerit
kesakitan. Ekspresi wajahnya tidak berubah. Beberapa lama suasana he- rung sebelum
Simon muncul lagi, masih memegang papan dan berjalan terhuyung-huyung.
"Hampir mencapai lubang kematian sebelum terlepas dan tanganku,” katanya, sambil
memijat pergelangan kaki kirinya. "Aw." la memandang sekilas pada Emily. "Kubilang Aui.
Sakit sekalL”
"Jadi batu-batu kerikil itu akan dilempar melalui lubang kematian jika kastil ini
diserang?” tanya Emily, tak mengindah- kan helaan napas Simon yang kesakitan. ”Kau
akan melakukan- nya sendiri, bukan? Sungguh deh, Simon, kau benar-henar—|
"Ada yang menjatuhkan sesuatuT’ Suara yang ceria ter- dengar di belakangnya.
Marcus juga membawa sekantong kecil batu, kali mi dibawa dalam ranselnya. "Batu-batu
cantik ini yang akan melakukannya, ehr la menyeringai, mengayunkan tas ranselnya, dan
menaruhnya di Urntai. ”Ah, itu lebih baik!
198
d

\ku akan melemparkannya dengan sempuma nanti. Ayo kita [oba balok
penghalangnya, Simon.”
"Tunggu.” Sekali lagi, Emily merasa ia seperti kehilangan Icendali. la berusaha
mengukuhkan aturan-aturan yang ada. "Teman-teman, aku hams pergi. Aku hams sudah
berada di nimah saat minum teh, dan sekarang pukul empat lewat. Aku barus membanm
Mom menyiapkannya.”
Mereka menatapnya, kosong. Bahkan terdengar di telinga- nya sendiri, alasannya
kelihatan sangat mengada-ada—tak hanya terdengar seperti dusta, tapi juga ganjil dan
aneh. ”Dan hari semakin gelap,” tambahnya. ’’Nanti aku nggak akan bisa menuruni
tembok. Bukankah begim, Simon?”
"Mungkin.”
”Aku butuh bantuanmu untuk turun. Dengar, Marcus, kami akan kembali dan
menemuimu besok. Memastikan semuanya baik-baik saja. Kau setuju, bukan?"
"Entahlah, Em.” Ia menatap Emily dengan pandangan pe- nuh permintaan maaf.
”Tergantung.”
”Pada apa?”
’’Situasi. Jika semuanya aman aku bisa membiarkan kalian naik. Jika tidak, aku nggak
akan melemparkan tali ke bawah, begitu kan?”
Emily mendengar dirinya tertawa sedih. ”Oh, yang benar saja, tidak akan terjadi apa-
apa.”
"Nggak akan terjadi apa-apa rmlam mi,” Marcus mengoreksi- nya. ’’Mereka tidak akan
datang dalam kegelapan, kecuali me- reka bodoh. Tapi besok... aku tidak yakin. Aku
harus bersiap- siap.”
’’Baiklah.” la ingin segera pergi. ”Sampai ketemu lagi.” ’Tunggu, kita harus
mengatumya. Aku nggak mau berkeliar-
199

an di Wrong sepanjang ban metvunggu kaliarv. Aku akarv tneng. babiskan lebih
barvyak waktuku di jervdela ini, metvgawasi pintu gerbang. Dan situ serarvgarv akarv
muncul.”
"Ayo kita atur wakturvya,” ujar Emily, tidak sabat. la metasa- lean tanah bergeset \agi
di bawah kakinya.
"Pertaina-tama,” kata Marcus, la berpikir sejetvak. ”Hal tei- baik adalah menyamakan
waktu di jam tangan kita. Aku me- nyetelnya pukul 16:06 sekarang. Katakan saja pukul
sepulub besok. Aku akarv menunggu kalian datarvg di dekat tali. Jangan terlambat atau
kalian rvggak akarv bisa masuk.”
"Pukul sepuluh.” Simon terlihat senang dengan pengaturan itu. "Kau bisa
menggunakan papan itu, kan?”
"Aku akarv mengujinya sekarang, jangan khawatir. Satu bal lagi. Bisakah kalian
membawakan beberapa botol air saat kali¬an datang? Aku nggak bawa banyak dan
sumumya kering, tentu saja "
Sekarang Emily berada di bawah lengkungan menuju lo- rong. Kepalanya pusirvg. la
harus segera meninggalkan kastil itu, ia butuh waktu untuk menyendiri. Mungkin
kesendinan dan udara terbuka akan membantunya berpikir jemih. Ia meng- amati Marcus
dengan tatapan menusuk panjang dan lama kemudian pergi melewati kubah dengan
Simon di belakang' nya.
"Jangan lupa aimya!” Marcus berteriak di belakang mereka. Dan terima kasih sudah
mau datang—senang rasanya bisa men- dapatkan bantuan!”
200

SERANGAN

PADA tengah malam, cuaca memburuk lagi. Pukul 3:30 pagi Emily terbangun karena
embusan angin kencang yang meng- Kantam jendelanya, seperti efek pintu yang
dibanting. Angin menjerit-jerit di atas atap njmahnya, dan Emily yang tidumya tidak
tenang, bersandar dan menyingkapkan tirai yang berat. Bahkan melalui jendela yang
berkaca ganda pun, udara malam yang dingin menggelitik tubuhnya. Lampu trotoar di
seberang jalan memancarkan cahaya jingga memudar dan kabur, disertai kebisingan
yang tiada henti. Bongkahan salju menghantam kaca dan menumpuk di luar ambang
jendela. Batu trotoar di bawah lampu jalanan yang dengan susah payah dibersihkan oleh
lelaki di rumah seberang menghilang di bawah tumpukan salju yang tebal. Ketika ia
mengawasi, kaca bagian luar ber- getar karena embusan angin. Emily membiarkan tirai
turun dan jatuh di atas bantalnya.
"Dasar idiot kau, Marcus,” katanya.
Badai salju masih berlangsung sampai waktu sarapan. Emily memakai lapisan pakaian
ekstra dan diam-diam menyelinap
203
untuk menaruh sepatu botnya di pintu belakang. kin untuk meninggalkan rumah dalam
kondisi seperti ini akan sulit di- kabulkan dan lebih baik dihindari saja. Ia berjalan mondar-
mandir, berkali-kali menacap jam tangannya sekilas, sampai akhimya orangtuanya mulai
melakukan pekerjaan rumah se- hari-bari dan situasi tampak aman.
Di pinggir hutan, salju turun dengan derasnya hingga Emily hampir tidak dapat melihat
Simon. Ia bergeming di depan se- batang pohon, memperhatikan salju yang berputar-
putar. Ketika Emily mendekat, tersandung semak berduri, tiba-tiba Simon berbicara
padanya.
”Kau bawa aimya?”
"Oh, tidak, aku lupa. Bodoh. Tapi tentunya Marcus nggak akan menginginkannya
sekarang, kan?”
”Aku bawa—beberapa botol. Apakah kau melihat polisi? ”Apa?” Perasaan pusing itu
datang lagi.
"Ada mobil patroli di desa. Aku keluar dari toko dan ham- pit menabrak dua polisi yang
sedang masuk toko.
”Apa yang mereka inginkan?”
"Aku tidak perlu nvenunggu di sana untuk mencari tahu, bukan? Pakai otakmu.
Mungkin mereka sedang mencari Marcus. Beketja sama dengan ayahnya. Sudah
kukatakan mereka nggak bisa dipercaya.”
"Simon, kita hams mengeluarkan Marcus dari kastil. Kalau polisi menemukannya di
sana, kita semua akan ditangkap.” ’Kastil adalah tempat paling aman untuknya saat ini,
semen- tara seisi desa sedang mencari dirinya.”
"Semua ini salah, Simon.”
"Kita bisa membahasnya nanti saat udara lebih hangat. Sudah pukul sepuluh kurang
lima.”

Ia mulai berjalan menuruni lereng menuju pagar pembatas yang melengkung. Emily
mengikuti, mengangkat kakinya se- tinggi mungkin agar terhindar dari semak berduri
yang ter- sembunyi. Salju turun dengan lebat hingga ia hanya bisa me- lihat dengan satu
mata, dan pandangannya terbatas hanya dua atau tiga meter di sekitamya. Dengan susah
payah mereka menemukan celah yang ada di dalam pagar semak belukar— potongan
kawat terlihat bersih dan hitam di tengah salju yang berputar-putar. Kemudian mereka
menyeberangi lapangan, melalui tumpukan salju yang lebih dalam dari biasanya, menuju
jembatan yang nyaris tidak kelihatan. Papan-papannya tidak tampak, tepiannya tidak
terlihat ketika mereka menyeberangi- nya. Emily membayangkan dirinya menyimpang ke
kiri atau ke kanan, kehilangan jalur aman dan jatuh dalam kekosongan. Salju dapat
meredam suara, tubuhnya yang terjatuh akan seperti titik-titik wama dengan cepat
tertutup salju... la sadar ia sudah membuang waktu, bentuk tubuh Simon semakin
menjauh.
Ia mempercepat langkahnya, di bawah pos penjaga dan seterusnya, sampai bagian
kastil yang besar, berwama abu-abu dan tidak kelihatan seluruhnya, mulai tampak di
matanya. Ketika ia lebih mendekat, ia bisa melihat menara terdekat dan menara
pengintai, beberapa jendela dan celah untuk memanah kelihatan seperti coretan-coretan
pensil. Ketidaksempumaan yang tampak familier—sudut menara yang rusak, tembok
yang retak, bangunan batu yang hancur—tidak dapat dilihat. Secara garis besar, kastil
terlihat utuh dan kokoh.
Mereka berjalan berkeliling sampai ke ujung, mengira-ngira posisi pintu masuk
semampu mereka. Simon melihat jam ta- ngannya, kemudian melihat ke tembok. Angin
menerpa pe- nutup kepala, serpihan salju mengenai wajah mereka.
205

”la seharusnya ada di sana.” Simon bersandar debt Emil "Kita banya terlambat tiga
menit.”
"Dapatkah ia melihat kita? Aku nyaris nggak dapat melihat lubangnya."
Simon bersiul kencang tapi terbawa angin. Ia berusaha me- neriakbn nama Marcus.
Tidak ada wajah yang muncul, tidak ada tali yang diturunkan. Emily juga memanggil.
"Menyurub kita menyamakan waktu, jam tangannya mung- kin bilang,” gerutu Simon.
’’Bagaimana menurutmu? Haruskah kita menggedor pintu?”
”Kita akan dilempari batu—tunggu, itu dia!”
Titik berwama jingga dan biru muncul di atas. Simon dan Emily menggerakkan tangan
dan memanggil. Titik itu melihat mereka dan kemudian mundur. Sesaat kemudian, tali
turun di depan mereb. Pertama Emily kemudian Simon memanjat din- ding, kaki mereb
tergelincir di atas batu-batu beku. ■
Marcus menunggu di atas, diselubungi penutup kepala se- gala cuacanya. Salju menari
di belakangnya di ruangan utama yang kosong. Tanpa berbicara ia memberi isyarat pada
mereka di sepanjang jalan kecil, jaub dari cuaca yang sangat buruk. Emily betbarap
Marcus menaiki tangga menuju ruangan me- teka, tapi malaban mengbilang ke dalam
bpel, memimpin mereb mengelilingi kastil dan kembali ke pintu masuk utama, tempat
ada jendela untuk mengintai tempat parkir mobil dan pintu getbang.
Setibanya di sana, Marcus melepaskan penutup kepalanya.
”Kau bawa aitr
Ada kantong mata yang besar di bawah matanya, dan wa- jahnya kelihatan kurus dan
kedinginan. Emily merasa tangan-
206

uya gemetar ketika Marcus mengulurkan tangan untuk meng- I ^bil botol dari tas
ransel Simon.
"Hanya ini?” tanya Marcus. ”Dua botol?”
”Em lupa.”
"Standar. Kau meminta pasokan makanan dan mereka tidak 1 memenuhinya.”
”Yang benar saja,” ujar Emily. ”Kau nggak akan meminum semuanya sekaligus, jadi
jangan pura-pura dirimu akan melaku- 1 kannya.”
’’Meminumnya? Tidak, terima kasih!” Marcus melompat ke 1 ambang jendela dan
mengamati salju yang mengamuk. ”Aku I punya sebotol Coke di atas. Ini untuk
pertahananku. Sudahlah, j nggak masalah—aku punya kompor berkemah. Aku bisa men-
cairkan salju. Hanya saja, dengan demikian akan lebih lama.”
’’Pertahanan apa?” tanya Simon. ”Kau nggak menyebutkan- nya kemarin.”
”Tipu muslihat dan jebakan, Sobat, tipu muslihat dan jebak- an. Aku akan
menunjukkannya pada kalian.”
Sambil mengambil sebuah botol, Marcus memimpin mereka melewati kubah menuju
lorong sepanjang ruangan utama yang sebagian sudah hilang. Ia berhenti di samping
lengkungan kubah yang mengarah ke ruangan kosong. Kepingan salju yang ber- putar-
putar memenuhi udara dan jalan kecil dipenuhi titik-titik salju yang hening. Marcus
berlutut dan membuka tutup botol.
’’Bagus," katanya, sambil menyeringai pada mereka. ’’Lihat ini. Jangan sampai basah!”
Sambil berkata demikian, ia mengangkat botol dan dengan lembut menuangkan
aimya, menggerakkan tangannya mem- bentuk lingkaran lebar hingga hampir seluruh
lebamya jalan kecil tertutup genangan air.

’’Hebatkata Marcus sambil berdiri, ”Aku hanya menmma- kan setengah botol. Sisanya
untuk bagian lain selanjutnya. Mengerti, nggakT lanjutnya. ”Batu-batu di bawah sini
sudah lapuk, jadi aimya menggenang dengan sempuma. Beri waktu setengah jam dan
ini akan jadi perangkap es.”
”Iya,” kata Emily. "Aku paham.”
”Aku akan memasang jebakan untuk musuh di sepanjang lorong kecil, terutama yang
dekat dengan kubah-kubah ini. Jebakan ini bisa menyelamatkanku kalau ada musuh yang
me- nerobos masuk. Aku akan taku di mana harus melompat, tapi mereka nggak, Kalau
beruntung—”
”—mereka akan terpeleset dan jatuh,” sela Emily. ”Aku tahu.”
’’Pintar,” ujar Simon.
Setelah melakukan hal ini, mereka berbaris kembali ke ruang masuk. Marcus gelisah
dan tidak terlalu lama berada jauh dan jendela. la duduk di ambang jendela, dan ia
melihat pemandangan salju yang menyeluruh. Ia menunjuk papan yang bersandar di
dekat tembok.
"Seharusnya bisa berfungsi dengan sempuma,” katanya ri- ngan. "Papannya terasa
pas sekali."
Emily menarik napas panjang. la akan melakukan usaha terakhir, kemudian ia akan
pergi. ’’Begini, Marcus,” ia memulai, ”kita semua bersenang-senang di sini, dan
pertahananmu hebat, nggak tenandingi. Tapi dengaikan aku, tidak ada gunanya kau
melanjutkan hal ini. Kau kelihatan lelah, kau sakit. Kau nggak bisa tinggal di sini. Kita
barus tnemutuskan rencana yang ber- beda."
Marcus marah. "Kau ngomongin apa, sih? Aku merasa baik- baik saja! Tidak pemah
sesebat ini'.” Dan memang benar ia
208

^perti kerasukan energi yang dinamis—gerakannya cepat, me- ^inkan seperti gerakan
buning, dan matanya bersinar-sinar jtfiuh semangat. ”Aku menikmati malam yang indah
di sini ^ndirian. Tidak pemah merasa senyaman ini. Ruangannya ha' iigat, aku makan
makanan yang layak untuk seorang bangsa' jan penguasa, aku berjalan mengelilingi
ruang utama di j tengah'tengah badai. Dan kau berusaha memberitahuku bahwa l bukan
seperti ini caranya hidup!”
’Tidak apa-apa—untuk semalam. Tapi kau nggak bisa ting- I ml di sini selamanya.”
la memandang keluar sekilas, badai salju mulai sedikit me- i itda. ’Tidak,” katanya.
’’Hanya ketika aku merasa terancam.” ’’Ancaman itu nggak mungkin usai, Marcus! Cepat
atau i lambat—”
"Oh, diamlah, Em. Kau hanya mengulang-ulang perkataan- ■ mu.”
Emily merasa sangat frustrasi. ”Oh, ya? Baiklah, aku akan 4 diam. Dan kalau kau
tertangkap di dalam sini, yang kaurasa nggak akan mungkin terjadi, maka kita semua
akan menderita,
I kita bertiga. Tapi kau nggak menganggap itu sebagai problem,
E bukan? Masalahmu, Marcus, adalah kau benar-benar egois!” la tidak bermaksud
untuk kehilangan kesabarannya, tapi I setelah itu temyata Emily tidak peduli sama sekali.
Ia me- mancing kemurkaan Marcus, kemarahan muncul dalam suara- I nya.
”Oh, hanya itu, bukan?” teriak Marcus. ”Kau seolah kha- j watir tentang aku, tapi
sebenamya kau hanya khawatir melibat- 1 bn dirimu dalam masalah! Jangan takut, aku
nggak akan j mengadukanmu, Em. Pergilah dan tetap tundukkan kepala-

’’Jangan memutarbalikkan perkataanku!”


"Um, teman-teman...”
”Nyatanya aku tidak memutarbalikkannya, karena itulah kau nggak menyukamya!”
”Teman-teman..
"Apa, Simon?”
”Kita kedatangan tamu...”
Bersamaan, kepala mereka menoleh. Jauh di belakang lapangan sebuah mobil melaju
pelan sepanjang jalan. Mereka tidak dapat mendengar suara mesinnya, semua suara
teredam dalam dunia baru berwama putih. Salju masih turun, tapi lebih lembut danpada
sebelumnya. Hujan salju berhenti, menguap dan tersapu angin. Dalam kesunyian, mobil
itu masuk ke tern- pat parkir, menerobos salju, dan berhenti di sudut paling jauh. Mobil
itu tnodelnya kecil, wama cokelat, meski atap dan kap mesinnya masih ditutupi salju
tebal. Lampu belakang mobil tetap menyala. Tidak ada yang keluar dari dalam mobil.
”Ayo,” akhimya Marcus bemapas. ’’Lakukan sesuatu.” ’’Seperti, pergi dari sini,” ujar
Simon.
’’Kenapa mereka nggak keluar?” kata Emily.
"Mungkin hanya pelancong. Turis.”
’’Dalam cuaca seperti ini?”
’’Sepertinya mesin mobilnya masih hidup. Ia akan segera mematikannya.”
”ltu, atau ia hanya menghangatkan tubuhnya.”
’Tapi kenapa ia menunggu?”
”Satu yang jelas,” kata Simon tiba-tiba. ”Ia penduduk se- tempat.”
’’Kenapa?”

"Karena nggak akan ada salju di atap kalau ia tidak berasal in sini. Benar tidak?—
saljunya sudah pasti berjatuhan karena ananas mobil.”
Mereka mencoba memahaminya dalam keheningan, meng- pjasi mobil di kejauhan
melalui salju yang turun. Tidak teijadi jpa-apa. Emily merasa jari kakinya mulai mati rasa
menembus jepatu bot dan kaus kaki dua lapisnya, ia mulai tidak tenang. Simon juga
mulai gelisah, dan akhimya bahkan Marcus pun menggosok lehemya dengan sarung
tangan dan mengalihkan pandangan.
“Yah,” katanya, ’’mereka kelihatannya nggak akan melaku- kan apa-apa, siapa pun
mereka—ah, sialan.”
Mobil lainnya melaju di jalan. Mobil ini tidak tertutup salju. Wamanya biru dan tidak
asing—mereka pemah melihat- nya sehari sebelumnya.
"Ayahmu gigih, ya?” ujar Simon.
Mobil baru memasuki tempat parkir mobil dengan sangat hati-hati dan menepi di
sebelah mobil berwama cokelat. Lampu- nya dimatikan, pintunya terbuka, dan sosok
yang memakai mantel bulu domba berwama hijau muncul. Emily bisa merasa- ran Marcus
sedikit gemetar. Ketika ayahnya mendekati mobil yang lain, pintu pengemudinya terbuka
dan seorang lelaki ke¬luar. Tiga pengintai di dalam kastil itu menahan napas.
"Oh, Tuhan,” ujar Marcus. ”Itu Harris, bukan?”
"Mereka datang untuk berkeliling,” ujar Emily. ”Kita harus hluar sekarang.”
Marcus dan Simon diam saja.
’Tidakkah kalian mengerti, orang-orang bodoh? Kalau kita pergi sekarang, mereka
nggak akan bisa menemukan kita.”
Tapi mereka malah bengong, mulut mereka menganga.

Emily melihat keluar lagi. Dua sosok di tempat parkir mobil sedang menatap jalan—
Emily menjerit kecil. Mobil ketiga mendekati pintu masuk menuju tempat parkir mobil
dengan kecepatan lebih tinggi dan penuh aksi dibanding kedua mobil pertama. Mobil itu
ter- gelineir di tempat pemberhentian dengan gaya diagonal yang dramatis. Meski dari
jauh, Emily bisa mengenali tanda biru dan hitam, lampu kecil di atas atap mobil. Setelah
berhenti sebentar, pintu mobil terbuka dan dua orang polisi turun. Ayah Marcus dan
Harris menghampiri untuk menyambut mereka.
"Ini yang kita butuhkan," Simon berkata melalui celah gigi- nya. ’’Polisi kurang ajar.”
Marcus cepat-cepat berdiri. "Balok! Balok penghalang—aku harus menaruh balok
penghalang di posisinya!” Matanya ter- buka lebar, dan ia sepertinya tidak menujukan
kalimatnya pada mereka. la mengambil papan, berusaha membawanya menuju pintu
utama dan menghilang di bawah anak tangga, suaranya menggema. "Terus awasi!
Jangan mengalihkan pandangan kali¬an dari mereka'."
Emily menoleh ke arah Simon, yang sedang memandang keluar jendela, ”Kita harus
meyakinkannya!” tenaknya. *la akan melakukan sesuatu yang bodoh.”
”Mmm?’ Simon menatap Emily dengan pandangan mene- rawang. ”Maaf, aku nggak
dengar.”
”Kau harus membantuku untuk meyakinkannya' supaya ia mau pergil”
”lya, tapi, Em, petgi ke manal "Entahlah, tapi ini benar-benar gila—”
Marcus jatuh terguling dari tangga, terengah-engah dan ba- sah oleh keringat. "Kupikir
nggak akan cukup!” ia berseru.

•Aku harus mencari papan lainnya, menggandakan ketebaian- flya. Mereka tmmgkin
bisa menerobos yang satu itu.”
"Nggak'usah cemas,” ujar Simon. ’’Papan itu kuat.”
"Kuharap demikian. Ob, Tuhan, lihat, mereka datatvg.”
Jauh di bawah, di perbatasan tanab kastil, Harris membuka i hinei pintu gerbang.
Ketika mereka mengawasi, ia mendorong pintu gerbang sampai terbuka dan berdici di
samping untuk membiarkan yang lain melewatinya.
Emily memegang pundak Marcus dan membalikkan badan- nya. ”Nab,” katanya,
berbicara setenang yang ia bisa. ”ini ada- lah kesempatan terakhirmu. Kita mungkin
punya waktu lima menit sebelum mereka sampai ke sini. Kalau kita keluar lewat bagian
belakang sekarang, mereka nggak akan beshasil me- nangkap kita, Kalau kita tetap di
sini, kita akan ditangkap.
Mengerti, nggak?”
Marcus *mengerutkan dahi. ”Ow, kau menyakitiku.”
'Tidak sebanding dengan apa yang akan dilakukan ayahmu ketika ia sampai di sini,
Ayo pergil” Nada yang sangat men- ! desak dalam suaranya seperti memengaruhi Marcus,
la ragu- ragu, Emily melibat keraguan di wajahnya. ’’AyolahT paksanya. la hampir saja
menyeret Marcus menuju lorong.
’Tunggu,” katanya. ’’Bagaimana dengan barang'barangku?” ’’Kita nggak punya waktu
untuk itu! Tinggalkan saja!” la menarik lagi, tapi Marcus sudah mendapatkan kemball
keyakin' annya. la menyentakkan tangannya.
’Tidak" katanya dengan tenang. ”Kau tadl membahas barang-barangku* Aku berusaha
keras membawanya ke sini. Aku nggak akan meninggalkannya begitu saja untuk musuh.”
Marcus men jauh dari Emily* "Ini kastilku. Aku nggak akan melarikan diri. Mereka nggak
akan bisa masuk ke sini"

213

"Ah!” Emily berteriak penuh kekecewaan. "Simon-tolong aku!”


Simon tidak menatap mata Emily, tapi mengamati Iantai. Sikapnya mengingatkan
Emily ketika mereka bertemu pertama kali. "Entah ya, Em, menurutku Marcus benar.
Mereka nggak akan bisa masuk.”
"Bagaimana dengan polisi?”
"Mereka juga nggak akan bisa masuk. Pasti asyik menyaksi- kannya.” Simon
tersenyum simpul.
"Tapi—”
"Mereka ada di jembatan,” ujar Marcus.
”—kita akan terperangkap.” Emily merasa tidak berdaya, berada di antara sikap keras
kepala seorang temannya dan si- kap memberontak temannya yang lain. "Baiklah,”
katanya. "Kalian berdua tinggal. Aku pergi.”
"Apar Marcus memutar badannya, matanya bundar karena terkejut. "Em—kau nggak
boleh pergi! Kau nggak bisa mening- galkanku sekarang, tidak pada saat musuh benar-
benar me- nyerang! Hal itu buruk sekali, itu namanya pengkhianatan!
"ltu namanya akal sehat!”
"Mereka sedang melewati pos penjaga dan menuju ke pintu depan,” ujar Simon.
’Kita harus berada pada posisi masing-masing! ” Marcus me- ninggalkan jendela. ’’Em,
lakukan apa pun yang kauinginkan. Pergi kalau kau mau. Tidak akan ada yang melihat.
Terserah kau.”
Ia menghilang di jalan kecil yang menuju ke ruangan ber- pilar. Dengan segera, Simon
tnengikuti Marcus. Emily ditinggal- lean berdiri, tidak keruan dan sendirian. Ia
membayangkan meluncur di tali dan berlari menuju tempat aman, bersembunyi

di pepohonan, pulang ke rumah orangtuanya. Mereka mungkin


sedang menonton televisi atau menyiapkan nvakan siang. la
Hielihat jam tangannya. Bam pukul 11:20—masik terlalu awal,
lebih awal dari yang ia pikirkan. Suara-suara menggumam mun-
tul dari balik jendela: musuh ada di sini.
la membayangkan turun dengan tali, berlari dengan langkah
lebar-lebar melintasi halaman. Berlari menuju tempat aman
sementara musuh ada di pintu.
Kamar tidumya sedang menunggunya, dengan ranjang, tak
- buku, meja dari kayu berlapis, susunan boneka beruangnya,
radiatomya. Di sini di dalam kastil, angin berbisik menembus
! celah-celah kubah, dan titik-titik salju jatuh di Iantai. jari
tangannya mati rasa di dalam sarung tangannya. la memikitkan
1 kehangatan, kenyamanan, dan pengkhianatan.
la bisa saja segera pergi, tapi tidak bisa memaksa diri me-
| lakukan hal itu. Gambaran ruang tidumya melemah dan me-
j mudar, mereka perlahan menghilang, dan kastil yang kuat dan
kokoh menetap dalam pikirannya. la tidak bisa bersembunyv
sementara yang lain tinggal—suka atau tidak, ia sudah menjadi
alat yang membawa mereka kemari, dan ia tidak bisa me-
ninggalkan mereka sekarang.
Emily diliputi ketakutan dan kesetiaan yang hampir tidak terpisahkan dengan perasaan
bersalah. la merasa sangat muak.
Ketika gelombang rasa muak itu mulai surut, ia mengatut topinya hingga telinganya
terlindung sempuma. Kemudian, menarik napas dalam-dalam, ia berlari ke lorong menuju
ruang- an berpilar.
Marcus dan Simon sedang berjongkok di tengah Iantai, mem- bungkuk di dekat lubang
kematian, masing-masing dengan

setumpuk kexikil dan batu. Mereka tidak menoleh ketika Emily masuk. Lewat jendela
terdengar suara salju yang berderak, batuk, dan suara gumaman. Menyusul suara berisik,
dan hampir bersamaan terdengar suara Harris yang serak.
"Sabar. Kuneinya kaku.” Terdengar lagi suara gemerincing yang keras. "Kuneinya
membeku dalam kondisi seperti ini.” Emily mulai membungkuk di samping Marcus. Suara
berisik diakhiri dengan teriakan prates dari engsel kuno yang bergerak. Ada suara retak
sedikit ketika pintu mengayun terbuka, suara' nya makin terdengar jeias melalui lubang
kematian dibanding' lean lewat jendela.
Marcus mengamati lubang dengan saksama, menghalanginya hingga Emily tidak dapat
melihat dengan jeias ke lorong di bawahnya. la memungut bongkahan batu yang besar.
Dari sudut matanya, Emily melihat Simon melakukan hal yang sama.
Langkah kaki terdengar di jalan kecil di bawah, semakin mendekat.
Kedengaran sebuah suara, suara Harris lagi. "Ini sia-sia saja. Suara yang lain, tenang,
santai. "Hanya pemenksaan nltin, Pak.”
Harris tnenggerutu. "Kalian sudah melihat bahwa pintunya terkunci.”
Marcus tegang, ia mengangkat batu melewati tengah lu- hang, tnenggenggamnya
dengan bebas di antara telunjuk dan ibu jari. Emily manutup mulut dengan dua
tangannya yang tertangkup dan mencondongkan dirinya dekat dengan telinga Marcus.
"Kalau kau melakukannya,” ia menarik napas, "mereka nggak akan memercayai ceritamu
mengenai ayahmu. Dan ayah' mu akan menang.”
216

Marcus tidak menunjukkan tanda bahwa ia mendengamya. fangannya menunggu di


dekat lubang, sedikit gemetar. Lang- lah kaki semakin mendekat. Tangan Marcus
gemetaran. Seka- jang langkah-langkah kaki berada tepat di bawahnya dan Marcus masih
tetap menggenggara batunya. Ia membiarkan tangannya jatuh ke lantai dan
menenggelamkan kepalanya di atas lututnya.
Simon menoleh dari lubang kematian, dan, mengangkat bahu, menurunkan batunya.
Seruan menggerutu karena terkejut datang dari bawah, di- ikuti suara gedebuk yang
berulang'ulang. Marcus mengangkat kepalanya da® tersenyum tipis.
Suara dari lorong: “Ada apa?” ”Kau tidak punya kunci- aya?”
Harris (binguttg, kehilangan kewaspadaan): ”Aku tidak per- lu kunci. I’inta Ini selatu
tetbuka.”
p*«.Suara yang lain (kesal): “Yah, sekarang rupanya tidak demi- kian. Biarka® aku
mencobanya.” (Suara gedebuk lagi, lalu Suara orang yang sedang berusaha dan merasa
kesal) v Suara yang tenang lagi: ”Ada yang menahannya. Apa mung- kin ada yang jatuh
dari balik pintu sehingga menghalangi- iiya?” H
Harris (berseru1, tersinggung): “Tidak, tidak ada apa-apa... Hanya tangga, kosong.”
Suara yang tenang: "Mungkin ada yang diam-diam melaku- kannya. Coba lagi, Jones.”
(Suara gedebukgpng keras, serentet- an kata-kata, umpatan.) "Tidak perlu menggunakan
bahasa seperti itu, Jones. Baiklah, kta tidak bisa masuk. Ada cara
lainJNfl
HarriS^mulai naik darab): “Tidak.”
M
217

Suara yang tenang: ’’Menarik. Apakah Anda keberatan jika memandu kami berkeliling
di luar, Mr. Harris?”
Tidak ada jawaban, tapi Harris rupanya sudah memberikan persetujuan, karena
langkah kaki terdengar lagi, kembali me- lewati jalan tempat mereka masuk. Simon
menatap Marcus dengan pandangan penuh harap, dan Marcus mengangkat tangannya
lagi. Emily mendekatkan diri padanya.
’’Jangan, Marcus!” desisnya.
Langkah kaki tiba-tiba berheuti.
”Aku mendengar seseorang!” sebuah suara baru terdengar dari bawah. "Lihat!
Lubang'lubang Itaal Ada orang di atas sana!”
Emily, Marcus, dan Simon membeku.
"lya,” kata suara yang tenang. ”Aku mendengaruyp, J^fga. Sepasang langkah kaki
terdengar di lantai batu. Emily mem- bayangkan lelaki itu sedang mengamatinya.
”Artinya ada lebih dari satu,” kata suara yang terdengar geram.
Langkah kaki sekarang ada tepat di bawah mereka* Simon menjauh dari tepi
lubangnya. Semuanya baik-baik saja, pikir Emily. Dirimu tidak terlihat.
Sekonyong'konyong ada cahaya yang memancar dan lubang kematian milik Simon,
memotong kegelapan abu-abu dan me- nusuk sampai ke atap. Terkejut, Simon tersentak
ke belakang dan jatuh di atas tumpukan batu kerikilnya, terjatuh dengan suara pelan
namujtyberisik.
Cahaya itu menghilang. Wajah Simon putih seperti kapur dalam kegelapan.
Kemudian suara yang tenang memanggibman^il dari^ba- wah. ’’Halo? Halo?”
Memmggu sejenak. "Kami tahu kau ada di

w
I ,tas, Nak. Bagaimana kalau kau turun dan membiarkan kami
I Tidak ada suara- keluar dari mereka bertiga, mereka tidak I soling menatap. ^
"Adakah teman yang bersamamu?’ Suara itu berhenti,
I temudian berlanjut perlahan, menimbang setiap kata dengan lliati'hati, dengan
bijaksana. ”Hm, Marcus, kuharap kau bisa I ®endengamya. Ini polish Tidak ada raasalah.
Ada ayahmu di I sini, Nak. la sangat ingin bfetemu denganmu. Kenapa kau I tidak turun
dan membuka pintu? Tdak ada yang marah, hanya I ihawatir. Bisakah kau keluar dan
berbicara dengan kami?” i Suara itu sebenarnya sangat masuk akal dan menenangkan,
I dan Emily tahu meskipun ia takut berurusan dengan ayah I Marcus ia lebih setuju
dengan apa yang baru saja dikatakan I orang itu. Akan jauh lebih mudah jika mereka
dapat men- I jelaskan semuanya. I$i memandang Marcus dan Simon dan I mslihat
keraguan di wajah mereka berdua. Tapi tidak satu pun I yang berbicajadig
Tiba-tiba ada langkah kaki yang diseret di jalan kecil, dan I suara Harris, yang kasar
dan keterlaluan terdengar. ’’Berhentilah ] tnengendap-end^j di atas dan bukalah pintu!
Kau berada di I dalam wilayab? terlarang—kau tahu itu? Kalian masuk tanpa I bin ke
wilayah cagar budaya, dan kalau kalian melakukan se- I dikit saja kerusakan di sini maka
kalian semua akan di- I bikuml”
Petugas kepolisian mulai bicara padanya^ftgesa-gesa dengan nada yang rendah, tapi
kata-kata Harris tadi sudah merusak momen tadi. Tiga orang di ruangan berpilar saling
menatap dengan kaget. Dari tempat ia duduk, Emily |isa melihat pe- nutup plastik yang
dirusak Marcus dari lubang kematian.
219
Bayangan ruang pengadilan dan hakim diam-diam membanjin benaknya, dan ketilca
suara yang bijaksana berbicara lagi, bujukan-bujukan di awat pembicaraannya sudah
terlupakan.
"Tolong jangan gusar, ya, Marcus,” katanya. ”Saya yakin ti- dak akan ada masalah
seperti itu. Kami hanya ingin kau turun dan membuka pintu.” Ada jeda. ”Kau tidak
menginginkan hadimya masalah, bukan?” Emily dapac merasakan isyarat tidak sabar
dalam suaranya. Ia gcmetar, tapi ia melihat wajah Simon mcngeras.
Kemudian sccara tiba-tiba terdengar. "Oh, ayahmu ingin berbicara,” kata suara itu.
”Ini dia.”
Bagi Emily ayah Marcus tidak terdengar seperti seorang petnukul anak yang kejam—
suara yang agak lemah, khawatir, kedengaran memohon menembus lantai. ’’Marcus, ini
aku, ayahmu. Aku... aku sangat mengkhawatirkannau» Turun dan pulanglah ke rumah
bersamaku. Kita dapat menyelesaikart ini semua. Aku tidak marah padamu, Nak, tidak
marah sama sekali. Tidak juga karena masalah uang dan sebagainya^ |
Emily mengamati ekspresi wajah Marcus dalam kegelapan. Tidak berubah.
”Aku tahu ada masalah di antara kita... dan aku ingin se- kali menyelesaikan semuanya
denganmu. Tapi kau hams bicara padaku, tidak baik minggat dari mmah...” tiba-tiba
suara itu mereda, kemudian mulai lagi. "Kita bisa pergi ke suatu tempat yang indah,”
lanjutnya, "berbagi mengenai banyak hal. Tempat yang lebih baik^fcmpada kastil tua
yang pengap ini, eh, Marcus? Lebih hangat, eh? Kita bisa tinggal di vila, seperti yang
biasa kita lakukan, di pinggir laut. Ayolah, Nak, bagai- mana? Kita beqjua butuh
kesempatan. Bagaimana menumt- mu?”
220

< Marcus melihat ke bawah melalui lubang, tidak berkedip. Suara bisikan terdengar,
sebuah diskusi diatn-diam. Kemudian suara yang agak lemah tadi berbicara lagi, lebih
memohon dari i jebelumnya.
"Please, Marcus. Kukatakan padamu kita dapat menyelesai- lean ini semua—kau dan
aku. Kita harus menyelesaikan banyak halt aku tahu, tapi kalau kita melakukannya, kita
bisa berhasil, kita dapat membuatHya kembali seperti semula.”
Emily sangat kaget, martfe Marcus berkilat-kilat, ekspresi wajahnya menjadi sangat
marah, dan ia menundukkan kepala- aya ke lubang kematian, ia berteriak yang hampir
menyerupai sebuah jeritan. ’’Pembohongl- Keadaan nggak alum pemah bisa kembali
menjadi seperti semula!”
Teriakan itu menggema penuh keputusasaan di sekeliling ruangan berpiiar. E)i jalan
kecil yang ada di bawah, kesunyian yang membingungkaM*diikuti oleh geraman
kemarahan.
”Berhentilah?menjadi anak bodoh yang manja! Tttnmlah ke ski!”
Dengan wajah kelabu, memperlihatkan giginya, Marcus segera mundur dan
mengambil dua genggatn batu, setengahnya berjatuhan, setengahnya diletnparkan ke
bawah lubang ke- raatian. Terdengar keributan yang luar biasa dan jerit kesakican. la
hanya punya waktu untuk mengambil segenggam batu sebelum Emily meluncur ke
atasnya. Akibatnya Marcus terjatuh menjauh dari lubang, menyebarkan batu ke segala
arah. Bersama mereka berguling-guling untuk sejenak, Maliks telentang, Emily di
atasnya—kemudian ia mendorong Emily, merobohkannya di atas dasar pilar, la terengah-
engah, melepaskan cengkeram- annyat dan merasakan Marcus memutar tubt^mya dan
kembali menuju lubang. Bahkan ketika ia melakukannya, ia melihat

Simon dari sudut matanya, membersihkan setumpuk batu di pinggir lubangnya dan
menimbulkan suara berisik yang ber- sahut-sahutan, riuh rendah suara jeritan dan
umpatan.
Marcus mengambil batu yang lebar, tapi sebelum melempar- kannya ia berhenti,
menyipitkan mata penuh semangat ke bawah lubang kematian. "Mereka sudah pergi,”
katanya ter- engah-engah. ”Kita berhasil mengusir mereka.”
Tidak kedengaran suara dari jalan kecil di bawah* tapi dari balik jendela muncul
kebingungan yang sangat hebat dari empat orang lelaki yang berbicara satu sama lain
dengan he- bohnya. Kata-katanya tidak dapat dipahami, tapi Emily, tidak mengalami
kesulitan membaca kemarahan mereka.
Di dalam kastil sunyi sejenak. Marcus masih menunduk dekat lubang kematian, melihat
ke bawahnya, napasnya per- lahan-Laban melambat. Simon berlutut, dengan malas me-
lemparkan batu kerikil di antara dua tangannya. Emily tetap meringkuk bersandar pada
pilar. Gelombang rasa tidak percaya menerpanya, kepalanya berputar ketakutan
memikirkan apa yang baru saja terjadi dan dengan lebih ketakutan bahwa ter- nyata ia
benar-benar terlibat di dalamnya.
Simon berdiri tegak dan menuju jendela. Gerakannya se- dikit menyadarkan Emily.
”Apa—apa yang kaulakukan?” suara- nya kecil, pecah, suara anak kecil.
”Diam. Aku mau mendengar apa yang mereka bicarakaoti? Melangkahi Emily, Simon
mendekati jendela, bersandar di ambang jendela yadg^mram, dan dengan hati-hati
mengamati terangnya siang han. Ia menyandar sedikit lebih jauh* ke- mudian
membungkuk tiba-tiba.
"Tidak ada gvujanya,” katanya. "Mereka tidak bodoh—nj»» reka menjauh untuk
berbicara. la sedang berbicara memakaii
222

ladionya—pertanda buruk. Tunggu... satu pergi... Yeah, ia se- iJang berkeliling kastil,
memeriksanya. ia menggosok tangan- nya, pasti yang terkena lemparanku. Ayahmu
terlihat kacau, Marcus. Kepalanya berdarah, nggak banyak tapi terkena lempar- an
langsung. Hebat. Ia pergi dengan Harris. Untuk pertolongan pertama, mungkin—bagusr
jadi mereka berhenti beraksi untuk sementara. Harris lolos. Satu polisi tetap tinggal,
masih ber- bicara dengan radionya^ t
”Dan itulah kisahnya,” ia menyimpulkan, kembali ke ruang- an. ”Kita terkepung. Bala
bantuan akan segera tiba.” Ia me- Iangkahi kaki Emily. ’’Marcus, bangun!”
Ada ekspresi sekilas di wajah Marcus, jaufe dari kegembira- an, keberhasilan
perangkapnya membuat kekacauan kelihatan kurang menarik minatnya. Dengan buku
jari yang pucat ia masih mencengker^m batu terakhir, mengamati lubang seolah ia
berharap masih melihat ayahnya di sana.
”Kau berhasil;,?- tgjar Simon, mendorongnya lembut dengan sepatu botnya. ”Kau
melakukan serangan balik. Kau seharusnya bangga.”^
’’Kalian bodohf” teriak Emily. ”Kita terlibat di dalamnya sekarang. Untuk) apa kalian
mJakukan hal itu?—mereka akan membunuh fcita ketika mereka masuk.”
”Jika mereka masuk.” Simon kelihatan sulit untuk tetap tenang, berjalan mondar-
mandir di antara pilar-pilar. ’Tapi Marcus berhasil mengenai ayahnya—apakah kau
mendengamya berteriak paHn Marcus? Sherri seekor bipatpng buas. Ia kejam, kau bisa
mendengamya. Jadi pantas saja kalau Marcus meng- inginkan serangan balik."
’Terserafc Bagaimana kita keluar dari sini?”
”Kita nggak bisa—sekarang. Mereka terus mengawasi setiap
223

sisi, mengepung tempat ini. Tidak ada kesempatan untuk me- larikan diri sementara
ini. Eh, Marcus—bagaimana menurut- mu.7” Simon mendorongnya dengan ujung sepatu
botnya, dan kali ini Marcus berkedip dan menoleh. Ia kelihatan bingung. "Aku tidak tahu...
apa yang harus kita lakukan?”
”Mudah,” ujar Marcus. ”Kita harus mempertahankan kastil. Kupikir kau tahu mengenai
hal itu, Marcus, ini yang dilakukan oleh Baron Hugh. Kita tambahkan beberapa kayu ke
pintu. Kita akan menguasai lorong... Bagaimana cara mereka me¬manjat.7 Memanjat
seperti yang kita lakukan.7 Menurutku tidak demikan, dan ada es menutupi dinding hari
ini, lebih buruk daripada saat kita memanjat tadi. Kita punya sedikit makanan, air, bahkan
punya pemanas, perlengkapan kita lebih banyak daripada mereka. Ayolah, mana
semangat bertarungmu? Kita sudah memenangkan ronde pertama.”
Ketika ia berbicara, secercah cahaya muncul di mata Marcus, tapi Emily
menggelengkan kepalanya.
"Kau gila,” katanya. ”Kau pikir kita dapat menahan mereka? Setengah polisi Norfolk
mungkin sedang menuju ke sini se- karang!”
’’Memangnya kenapa kalau mereka menangkap kita?1 Simon mengangkat bahu. ”Apa
yang bisa mereka lakukan?”
"Hanya mengurung kita!”
Simon mengangkat bahu lagi. ’’Kalau begitu, jadikan pe- ristiwa mi istimewa. Ayo
berbuat lebih dari sekadar menyerah begitu saja dan ditahan karena masuk tanpa izin.
Beri dia sesuatu, agar dia akan mengingat kita.”
Simon, kesempatan satu-satunya buat kita adalah keluar dari sini, sekarang juga,
sebelum bala bantuan tiba.”
"Kau bercanda, ya? Jarak pandang sudah bagus sekatang
224

fcarena salju sudah berhenti. Mereka akan menangkap kita jebelum kita berhasil
sampai ke hutan.”
’’Yeah, tapi kalau kita tetap di sini, mereka akan me- tobohkan pintu dan menangkap
kita. Melarikan diri akan oemberi kita kesempatan.”
’’Pukul berapa sekarang?” tanya Marcus tiba-tiba.
"Pukul dua belas kurang dua puluh lima menit,” jawab Simon.
"Kapan hari mulai gelap?”
"Kira-kira pukul empat. Mungkin lebih awal hari ini.
Ya—benar! Marcus benar, Em! Kita harus bertahan selama empat jam lagi, atau kurang
dari itu, kalau salju turun lagi. Ketika mulai gelap, kita akan turun memakai tali dan berlari
menuju lapangan. Kau dan aku dapat memutar untuk sampai ke desa dari arah yang
berlainan, berjaga-jaga siapa tahu me¬reka mengawasi jalanan. Marcus punya lampu
senter—ia bisa memilih untuk melewati jalan pedesaan sampai tiba di jalan berikutnya.”
”Lalu bagaimana selanjutnya?” tanya Marcus.
"Itu masalahmu. Kami akan mengeluarkanmu dari sini. Setelah itu, Sobat, kau
sendirian.”
Simon mengintai di dekat jendela. ’’Polisi masih di sana. Ia kelihatan kedinginan. Jadi,
kita setuju, bukan?”
Emily meringis. ”Aku tidak punya banyak pilihan.”
"Memang,” Simon menyeringai. "Tidak kecuali kau mau pergi dan menyerahkan diri
pada polisi yang kedinginan. Marcus?”
’Tentu saja.”
”]adi kita menunggu sampai hari gelap. Lebih baik kita ber- siap-siap.”
225

14
MUSUH mengelilingi kastil. Dari jendela, celah untuk me- manah, lubang kakus, dan
titik-titik menguntungkan lainnya pada empat sisi, raereka yang bertahan dengan hati-
hati meng- amati pergerakan musuh. Pada awalnya, hanya satxi polisi yang berjalan di
salju yang tebal di dasar tembok. Ia berjalan pelan, mempelajari dinding batu sambil
berjalan, ragu-ragu mencari pintu masuk altematif. Rekannya tetap berada di pintu
utama, berdin pada posisi terlindung dari amunisi. Kadang-kadang ia berbicara lewat
radio. Setelal^^ma belas menit sebuah mobil memasuki tempat parkir dan dari dalamnya
keluar dua orang polisi, lelaki dan perempuan. Mereka bergabung dengan polisi yang
berbicara di radio, yang kelihatannya adalah pemimpin mereka, dan setelah mereka
mengobrol sebentar, mereka pergi satu per satu mengelilingi perbatasan kastil. Empat
polisi ber- arti empat sisi kastil diawasi setiap saat. Kalau mereka yang bertahan kelihatan
hendak melarikan diri sekarang, mereka akan segera ditangkap. Tapi tidak ada usaha
untuk berbuat: demikian.
226
I Di dalam kastil ada banyak kesibukan. Sebelum melakukan La pun, Marcus, yang
sedang memulihkan tenaga dan tekad- Cja, memanjat markasnya, ruangan yang sudah
direstorasi, dan ■jiemeriksa persediaannya. Ia muncul kembali dengan tiga lea- f jjig
tninnman dan beberapa batang cokelat, dua batang coke- »|jt dilemparkannya ke
pangkuan Emily.
I "Makanlah,” katanya. ’’Berenergi tinggi, bagus untuk meng- hangatkan tubuh.”
I Setelah merenung lama yang dipenuhi kemuraman, Emily I nakan sebatang cokelat.
Cokelat itu rasanya seperti kardus di I mulutnya yang kering, bahkan ketika ia
membasahinya dengan I minum Coke.
I Kemudian Marcus menghilang untuk memperkuat pertahan- I mnya. Sebelum
bergabung dengannya, Simon berusaha menye- I mangati Emily dari kemurungannya. Ia
masih saja duduk di I ruangan berpilar, kepalanya bersandar pada satu tiang, meng'
amati dinding yang retak.
"Setidaknya kau bisa menjaga pintu masuk untuk kita,”
I btanya. ’’Kesulitan kite adalah mengawasi setiap sisi. Menurut- b kemungkinan
terbesar merek^kan mencoba jalan ini lagL Oke? Berteriaklah kalau teijadi sesuatu.”
Tanpa semangat, Emily melakukan apa yang diperintahkan, brsembunyi dalam
bayangan sejauh mungkin dari jendela tapi masih bisa melihat polisi itu. Tiap beberapa
menit ia melihat jam tangannya, berharap ada tangan yang mempercepat waktu hingga
kegelapan segera datang. Tapi waktu juscru terasa lambat—pukul dua belas tiba dan
berlalu dengan sangat per- lakan, dan Emily memandang langit penuh permohonan, ber-
dba untuk datangnya badai salju.
Di luar, polisi mondar-mandir, berjalan maju-mundur, me-

nepukkan tangan dan berjalan melingkar dan berputar rjaln^ usahanya yang sia-sia
untuk mencari kehangatan. Sesekali, rekannya mendatanginya untuk bercakap-cakap.
Emily berusaha ketas untuk mendengar obrolan mereka tapi tidak berhasil. Entah karena
sengaja atau tidak, mereka berbicara cukup pelan hingga membuatnya firustrasi. Sekali
waktu, polisi senior me- natap tepat jendela di mana ia berada, dan Emily segera me-
nunduk, yakin polisi itu sudah melihatnya, Tapi tidak ada tanda-tanda dari polisi itu kalau
ia sudah melihat Emily. Letak jendelanya sangat tinggi, sempit, dan menjorok, .ke dalam.
Mungldn semuanya baik-baik saja. Setelah mempertimbangkan sejenak, ia menempatkan
topinya sedalam mungkin dan me- nutupi bagian terendah wajahnya menggunakan syal.
Lebih baik daripada tidak sama sekali, andai saja saat itai ia punya topeng ski, sia-sia
melarikan diri dari kastil kalau ia akan di- kenali keesokan harinya di desanya.
Marcus berlali^ menggenggam sebuah botol kosong,
’’Semua aman?' tanyanya. Emily mengangguk^ ,'j "Yeah, sama seperti di sisi lainnya,
mereka hanya berpatrolL Kami sudah mencopot satupapan dan memperbaikmya di
belakang pintu, harus dirataran dulu supaya feisa cocok di pa- langnya, tapi akan
membuatnya lebih kuat. Aku barn saja membuat bekuan es. Mulai sekarang, berhati-
hatilah kalau mau berjalan di lorong.”
Saat itu juga radio polisi memancarkan suara gemerisik ka- rena gangguan udara.
Emily memandang keluar untuk melihat polisi yang sedang berbicara memakai radio dan
menatap ke arah tempat parkir mbbiL ’’Ada sesuatu,” katanya.
“Ehr

***
■gnfly menurunkan syalnya. ”Ada sesuatu.”
Bt^y0 kita lihatT.1* Mereka bersama-sarfia kembali ke pinttu luasuk utauofta,1
bertemu dengan Simon yang sedang turun dari ptenara.
I "Ada mobil lain,” katanyk singkat. ”Dari sebuah mobil van. ||jekelompok orang
sedang menuju kemari.”
Kcmily mengawasi beberapa orang yang muncuf di pos pen- I jaga. Mereka terdiri atas
ayah Marcus, sekarang memakai perban I jxicih persegi yang menempel di dahinya,
Harris yang kelihatan [fesal seperti sebelumnyk, petugas berseragam lainnya, dan
glrempuan bertubun pendek dengan mantel menggeletnbung Ian cejana panjang hitam
yang membawa pengeras suara. rn5Perundinean^’ tanya Emily
L,f§emakirtiama semakin baik," gumam Simon. “Kita xbaiknya mengulur waktu,
berlama-lama.”
"Memangnya sekarang pukul berapa?”
’’Barn pukul dua belas lewat lima betas menu.”
V "Lihat, mereka semua tetap berada di rempat kecuali pe- tempuan itu. Ayo. Ia akan
mengelilingi halaman depan lagi.” Kembali ke ruangan berpilar, mereka berkumpul
bersama dalam bayangan, mata mereka mengamati salju yang feisa me- teka lihat dari
jendela. Polisi yang berjaga di sana sudah pergi. Beberapa menit kemudian muncul kepala
perempuan itu, pe-ngeras suara sudah ada dekat bibimya. Dengan dengungan dan
dengkingan ia menyalakan pengeras suara dan raemanggil nama Marcus. -
229

"Jangan berbicara padanya," Emily memperingatkan. "Belum waktunya.”


Pcrempuan itu menunggu sejenak, kemudian, seolah-olah keheningan adalah hal yang
diharapkannya, mulai berbicara pelan dan hati-hati lewat pengeras suara.
”Hai, Marcus,” katanya. ”Aku harap kau dan teman-teman- mu mendengarkan.
Namaku Janet dan aku dari Dinas Sosial Daerah Norfolk. Aku da tang untuk berbicara
denganmu untuk melihat apakah kita dapat menyelesaikan masalah ini. Pertarna' tama,
aku katakan bahwa aku tidak ada hubungan dengan polisi—mereka tidak memberitahuku
apa yang hams aku katakan atau lakukan, meskipun mereka telah memintaku untuk da
tang menemuimu pagi ini. Aku juga tidak mewakili ayahmu. Kuharap ini jelas untukmu.
Jika ada sesuatu, aku di sini untuk bemndak atas namamu—untuk membantumu
menghadapi persoalan yang melibatkanmu. Tapi aku perlu lebih memahami beberapa
hal, aku ingin kau berbicara denganku. Aku yakin bahwa kau bertindak untuk alasan yang
baik, dan aku sangat ingin mendengar apa alasan itu. Apakah menurutmu kau bisa
berbicara denganku, Marcus T
la menurunkan pengeras suara dan meninggikan kepalanya, matanya menyapu
dinding yang bisu.
’’Bagaimana menurutmu?” desis Emily.
Marcus menggelengkan kepala dan gemetar. ”Aku nggak mau berbicara dengannya.”
Sesaat kemudian, perempuan itu berbicara lagi.
”Aku yakin mi sulit untukmu, Marcus,” katanya. ”Tapi kau harus percaya padaku. Aku
tidak memintamu untuk keluar, hanya memperlihatkan dirimu di jendela.” Diam sejenak,
”Aku sebaiknya memberitahumu bahwa aku punya waktu lima belas

i menit untuk berbicara denganmu. Jika aku tidak berhasil, polisi I akan memintaku
pergi dan masalah ini akan ditangani oieh ■ mereka.”
L Setelah berkata demikian ia menunggu, Marcus, Simon, I dan Emily bertukar
pandang.
b - "Aku nggak ingin berbicara dengannya,” kata Marcus Iagi. p "Lebih baik katakan
sesuaru,” kata Simon akhimya. ”Kita masih punya beberapa jam sebelum hari geiap.
Kalau bisa, saat Lint kita ingin menghindari datangnya serangan.”
L ”Aku setup,” ujar Emily..
I Marcus mengerang. ’Tapi aku nggak menyukamya. Ia akan | memutarbalikkan
perkataanku.”
"Katakan apa adanya. Ini kesempatan emas untuk mencerita- pan pada mereka
tentang ayahmu. Hal ini akan membuat / mereka berpikir, mungkin mereka akan
melupakan niat mereka pntuk masufe1 beberapa lamanya.”
Ip Simon’ mengangguk. "Waktu sangat berharga.”
P "Oh?,,,.baiklah. Dari sini?” i : mana pun sama saja.”
Marcus mengembuskan napas berat dan merangkak di se- panjang ambang jendela
yang curam. Pada ujungnya, ambang itu menyempit dan lebamya menjadi sama dengan
tingginya, meruncingkan kubah jendela. Marcus menyelipkan tubuhnya sejauh mungkin,
kemudian menjulurkan kepala ke depan dan mengatur wajahnya di dekat celah,
menutupi pandangan Simon dan Emily. Perempuan itu dengan segera dapat melihat-
nya.
"Marcus?” la tidak menggunakan pengeras suara sekarang.
”Iya.’’ Suaranya pelan dan sulit untuk didengar.
’Terima kasih sudah mau keluar untuk berbicara.”
231

Perasaan ingin memberontak menyeruak: ”Kita bisa mem- bicarakan apa pun. Aku
tidak akan turun.”
"Yah, metnbicarakannya itu baik. Tapi sejujumya, aku sa- ngat tidak mengerti kenapa
kau ada di atas Sana. Dapatkah kau menjelaskannya padaku, ceritakan mengapa
sekarang kau ada di sana?’
"Ayo ceritakan,” Emily betbisik dari belakang, ketika Marcus ragu.
"Tanyakan pada ayahku,” ujamya. "Tanyakan padanya?**** "Aku akan menanyakan
padanya, tapi aku lebih suka men- dengamya daritmu.”
"Aku tidak man pulang padanya. Aku memfeepeimva fearena apa yang sudah ia
lakukan."
"Dan apa yang sudah ia lakukan, Marcus?”
Keragu-raguan lagi. "Ia... ia... lihatlah wajahfa%$jj|
"Aku tidak bisa melihat wajahmu .dari sinj, maaf* {Kau berada dalam bayangan. Apa
maksudmu?”
"la... Aku tidak akan pulang padanya, itu saja.”"
Di belakang Marcus, Emily bergumul dengan perasaan putus asa. Andai saja Marcus
mau menyelesaikan ceritanya daripadR menggumam tidak jelas sepetri ini! Kemampuan
berbicarariftP- yang normal seperti meninggalkannya—ia berbicart^ dengaSi gugup dan
mengbindari permasalahan. Mungkin sulit untuk mengadukan acyahmu pada dunia. Tapi
Marcus menceri takannaSi dengan mudah padanya dan Simon.
Perempuan itu berbicara lagi. ”Akn Bihu ada masalah Ji rumah, Marcus, katanya. irTapi
xi^salab ini bias any a. bisa di* selesaikan, dengan sedikit bantuan dari luar.”
Ill

|| »Aku tidak butuh bantuan!” Marcus menyela dengan ma- I L ”Aku punya semua
yang aku butuhkan di sini!”
I "Bagairaana dengan teman-temanrau ? Dapatkah mereka her- Upcara padaku?”
’Tidak! Mereka tidak akan mengkhianatiku! Berhentilah [erbicara panjang'lebar. Aku
tabu ada pe’lisi di sana—dan ayah- ia! Aku melihat mereka di setiap sisi, diam menunggu.”
I Emily menggelengkan kepala dengan kemarahan tertahan. a Marcus tidak sedang
menolong dirinya saat ini. la bisa melaku- I bn yang lebih baik daripada ini.
I "Mereka tidak dl—
I “Ini kastilku! Kalian bisa menunggu di luar selama yang ■ bhan inginkan, tapi kalian
tidak akan bisa masuk dan aku I nggak akan keluar !^' ->4
I "Baiklahj^ kata perempuan itu, dan ada keraguan dalam I soaranya. ’Tapi aku masih
belum mengerti masalahnya.”
"BenaJP-^i kemudian Emily pun beraksi. Ia menarik syal I dari mulut dan hidungnya*
dan dalam satu geralcan yang tang- I kas, bersandar kg depan dan menarik Marcus
dengan kuat dari I lubang jendela. Mengacuhkan teriafean protesnya, Emily men- I
dorong dirinya fee tempat Marcus berdiri sebelumnya dan me- tangkak menujui jendela
kastil. Perempuan dengan pengeras suara memandangnya dari tengah salju. Ia kelihatan
sedikit kaget, tapi segera pulih dari kekagetannya.
"Halo,” katanya-
"Hai,1^ Emily memanggil, mengangkat syalnya sedikit supaya suaranya dapat
terdengar. "Aku teman Marcus.”
”Hai. Aku Janet. Siapa namamu?”
Bahaya- “Er—Katie," jawab Emily tidak yakin, memilih yang paling masuk akal secara
aeak.

’Terima kasik Yah, Katie, bisakah kau menceritakan kepada- ku apa masalahnya?”
”Iya,” jawab Emily. "Masalahnya ayah Marcus sudah me- mukulinya sampai memar,
dan kami ingin membalasnya, Aku tidak tahu alasan apa yang sudah diceritakan oleh
ayahnya padamu, tapi itu yang sebenamya dan itulah sebabnya Marcus ada di sini dan
tidak mau pulang, dan kami pikir daripada mengejar Marcus kalian lebih baik menangkap
ayahnya. Itu masalah yang sebenamya,” papamya, sulit bemapas sejenak. Perempuan
itu kelihatan sangat kaget.
”Aku paham. Sebuah tuduhan yang serius ” mulainya. ”Memang seperti itu,” ujar
Emily. Syalnya jatuh, ia tneng- ambilnya,
"Kami tentu saja akan menyelidikinya.” ^
"Bagus.”
"Tapi kami ingin Marcus keluar dan membenkan pemyata- an yang benar dulu. Kau
mengerti itu, bukan, Katie? Tidak ada gunanya meneriakkan sesuatu dari atas sana. Salah
satu alasan- nya, aku hampir tidak dapat mendengannu. Marcus akan baik- baik saja jika
ia keluar. Polisi akan menyelidiki masalah. ini secara menyeluruh.”
Emily mendengar Simon tertawa mengejek. In membersih- kan tenggorokannya.
"Yah, dapatkah Anda membenkan jaminan tentang apa yang akan terjadi, please?"
teriaknya. "Seperti apa yang akan terjadi pada Marcus malam ini? Karena ia tidak mau
kembali pada ayahnya.”
"Semuanya akan diselesaikan dengan saksama dan benar jika Marcus turun,”
perempuan itu berkata dengan lemah lem- but. "Kau tidak periu mengkhawatirkannya,
Katie, Kau pasti
234

perasa gelisah dan terjebak di atas sana, tapi akan menjadi |ebih baik saat kau keluar.
Kami bukan musuh kalian.”
’’Bukan tea yang kutanyakan,” ujar Emily. ”Bisakah Anda giemberi kami jammanf
Tentang Marcus dan apa yang akan terjadi padanya. Dan pada ayahnya/ Menurut Emily
jawaban perempuan itu tidak mengandung apa pun yang konkret dan jj'elas.
Perempuan itu ragu sedikit sebelum berbicara.
U ”Aku tidak yakin benar apa yang akan terjadi, Katie.”
”Itu tidak eukup bagus.”
Mereka saling menatap untuk beberapa saat. Kemudian pe- rempuan itu berbicara
pelan.
• ”Kau adalah teman yang baik bagi Marcus,” katanya. ”Se- ddaknya, kau berpikir
demikian. Kau ada di pihaknya ketika ia memburnhkanmsg dan itu yang seharusnya
dikkukan oleh seorang teman. Tapi sebaiknya kau bertanya pada dirimu sen- diri apakab
kau meiakukan bal yang benar; menyemangatinya untufep? mengutung diri dalam
reruntuhan yang pengap dan tidak keluar menemui orang-orang yang bis menolongnya.”
’’Sampai aku mendengar adanya jaminan, kurasa aku me-iakukan kal yang benar,”
ujar Emily.
Perempuan..i terus berbicara seolah tidak mendengar Emily^”Kau juga harus bertanya
pada dirimu seberapa baik kau mengenalX Marcus.”
Mata Emily menyipit. ”Apa maksudmu?”
’’Sudah berapa lama kau mengenal Marcus, Katie? Tidak terlahj iama, mungkin?
Mengagumkan bahwa kau memercayai kata-katany®; tapi—”
"Aku meiakukan lebih dari sekadar memegang kata-kata- nya.’M Kemarahannya mular
muncul, Emily melihat wajah
235

Marcus yang memar dalam benaknya. Ia meiihat ke belakang- nya. ”Aku punya bukti
di sini!”
"Meski demikian, apakah kau tahu, Katie, bahwa Marcus itu adalah anak lelaki dengan
imajinasi yang sangat produk- tiff*
"Benmmya Anda!” Emily merasakan kemarahan rauncul tidak terkendali di dalamnya.
”Lupakan saja!” Dan ia menarik dirinya dari jendela dan melompat turun ke ruangan
berpilar.
"Katie?...Katie?’ Perempuan itu memanggil-manggil >ke arah jendela yang kosong.
"Apakah kau di sana? Bisakah kau kem- bali ke jendela? Maaf sudah membuatmu kesal...
Katie? ... Marcus?’ Selama beberapa menit kemudian perempuan itu melanjutkan berjalan
mondar-mandir di sepanjang pinggir tern- bok, memanggil dengan putus asa melalui
pengeras suara. Tapi tidak ada jawaban, Kastil sunyi. Akhimya ia mematikan pe- ngeras
suara dan berjalan menjauh.
Di dalam, Emily menendang pilar terdekat dengan marah, "Perempuan bodoh itu!”
tenaknya. "Sangat menghirui, bisa se- bodoh apalagi, sih? la nggak akan memercayai
perkataanmu, Marcus! Secara nggak langsung ia menyata)ea&^9H "Begitulah polisi,”
kata Simon.
"la seorang pekerja sosial.”
"Sama saja.”
"Sekumpulan orang sintingi” Emily mendidih karena marah. ’’Kukatakan padamu,
Marcus, kalau kau keluar sekarang, kau akan segera dikembalikan pada ayahmu secepat
kau mengerjsp' kan mata.”
Marcus kdihatan sangat lemah. "Yeah, hmm, itulah.alasan aku meninggalkan rumah,”
katanya, tenang. ”Mai tahui nggak akan mendapatkan pertolongan. dari mereka.”
236

’Tepat sekali. Bodoh sekali aku, berpiklr dapat berbicara de- ogannya.”
’Tidak, kau melakukannya dengan baik. Terima kasih sudah mencoba, Em.”
r ”Yeah, hmm, lanjutkan..Simon melihat jam tangannya. ”Sial, bam pukul satu kurang
sepuluh. Masih berjam-jam lagi sebelum hart gelap. Mereka akan segera melakukan
sesuatu, berani bertaruh, deh. Bagaimana cuaca sekarang?”
’’Langit mendung. Mungkin akan datang badai salju.”
’’Mari kita berharap demikian. Yah, yang dapat kita iakukan adalah tetap mengawasi
mereka. Mengamati apa yang mereka kerjakan.”
Tapi proses penyerangan dipercepac. Dari jendela pintu ma- suk utama, mereka
melihat perempuan dengan pengeras suara kembali -ke pos penjaga dan menghitang
dalam kerumunan orang yang bertambah banyak. Semua yang ada di sana—polisi,
polwan, petugas yang memakai seragam—jelas kelihatan ke- dinginan,-dan dalam situasi
kin Emily pasti akan beranggapan ada yang lucu mengenai cara mereka berfeerumua,
hampir se- perti penguin besar, bahu tinggi dan tangan menyelip ke dalam kantong.
Beberapa lelaki merokok, mereka menyundut rokok pada bangunan bam dan membuang
puntungnya ke salju yang tnulai mencair.
Perundingan besar dimulai. Perempuan itu berbicara pertama kali, dengan gamblang
menceritakan kegagalan misinya, dan ketika ia selesai, setengah kerumunan orang itu
mulai berbicara bersamaan, semua dengan semangat mengusulkan bagaimana untuk
melanjutkan misi. Suasana menjadi sangat ramai sampai polisi senior (Emily menduga ia
adalah orang yang berbicara di dekat lubang kematian) melangkah rnasuk. la mendengar
dari

beberapa orang berturut-turut—polisi yang lain, lelaki yang memakai mantel cokelat
tebal, dan perempuan yang membawa pengeras suara. la juga bahkan mendengar
penjelasan Harris, yang terus menyela dengan ekspresi marah di wajahnya. Akhir- nya ia
mengangguk dengan man tap, mengambil radio dari jaket- nya, dan berbicara panjang-
lebar melalui radionya. Kemudian ia memberikan perintah, dan membentuk kelompok,
kebanyak- an petugas kepolisian, menuju ke dua arah di sekitar kastil. Pe- rempuan
dengan pengeras suara tetap tinggal di pos penjaga, begitu juga Harris, polisi senior dan,
hampir bersembunyi di bawah kubah, ayah Marcus. Ia berdiri sedikit menjauh dari yang
lain, bersandar di dinding dengan sikap kesal.
’’Bagus, mereka melakukan sesuatu.” Marcus tidak tenang. ’’Apakah itu?”
"Tetap tenang,” ujar Simon. ’’Mereka masih menunggu. Mereka hanya mengepung
tempat ini, berjaga-jaga kalau kita melarikan diri.”
”la memerintahkan sesuatu lewat radio,” tebak Emily. ’’Bagaimana menurutmu?
Tangga?”
"Kuharap bukan.”
Dua puluh lima menit berlalu sebelum pemyataan Emily tetbukti benar. la, Marcus, dan
Simon berjalan cepat di sekitar lorong, mengamati lewat jendela kekuatan yang
mengepung mereka. Mereka melakukan usaha terbaik untuk tetap tidak terlihat, tapi
beberapa kali Emily sempat terlihat seseorang di bawah. Seorang petugas melihat
matanya ketika ia mengintip dari jendela kakus dan melambai sambil tertawa mengejek,
yang membuat Emily merasa sangat kecil dan bodoh. Ia mun- dur dan menyelinap,
mengikat syal yang menutupi wajahnya lebih kuat daripada sebelumnya.
238

Sejak percakapannya dengan perempuan itu, posisi Emily jalatn pengepungan menjadi
semakin sulit. Ia tidak lagi ingin mengajukan persyaratan dengan polisi, atau berharap
bahwa Marcus akan menyerahkan diri ke tangan mereka. Satu hal yang ia inginkan adalah
bertahan sampai hari gelap dan kemu- dian melarikan diri hingga Marcus dapat bertahan.
Hingga saat ini, ia menjadi hampir sama bersemangatnya dengan Simon.
Dengan musuh yang menekan begitu kuat, Simon sekarang menjadi pemimpin. Ia
yang paling cepat dan paling tidak ke- nal lelah melakukan patroli di sekitar kastil dan
kelihatan yang paling berpikiran jemih di antara mereka bertiga. Perintahnya dengan
cepat dipatuhi. Marcus berjaga-jaga di atas menara, di sana ia bisa mengamati halaman
yang luas dengan cepat, se- mentara Emily berlari menuju tempat Marcus berkemah
untuk mencari persediaan makanan berenergi tinggi yang bisa dilahap sepanjang
perjalanan. Simon juga membuat beberapa isyarat keadaan darurat yang barn, dan ketika
Emily menuruni tangga dengan sekantong biskuit cokelat, ia mendengar tiga kali siulan
pendek yang memanggilnya segera untuk datang ke sisi pemim- pinnya. Ia berlari di
sepanjang lorong kecil, melewati dapur dan masuk ke pintu masuk utama, tiba pada
waktu yang sama dengan Marcus yang baru turun dari menara. Simon sedang berdiri di
dekat jendela, napasnya memburu.
’’Sudah berakhir,” ujamya pendek. ’’Mereka membawa tang-
ga.” ■«
Benda besar berwama merah keluar dari kumpulan mobil- mobil kecil di dalam tempat
parkin Mobil pemadam kebakaran. Empat anggota pemadam kebakaran sibuk
menurunkan dua buah tangga yang bisa dipanjangkan. Semangat Emily mengen-
dur.
239

”Apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanya Emily. "Entahlah.” Suara Simon
terdengar berat. ’Tidak banyak yang bisa kita lakukan, bukanT’
"Jatuhkan mereka,” ujar Marcus.
”Apa?”
"Tunggu sampai orang-orang itu sudah setengah jalan me- manjat tangga, kemudian
dorong tangganya ke belakang me- makai tongkat. Kita dapat menggunakan papan untuk
men- dorongnya. Mereka nggak akan bisa berbuat apa-apa.”
"Kita nggak bisa mendorong tangga ketika ada orang di atasnya."
"Kenapa?”
Simon menatap Marcus. ’’Tapi,” lanjutnya, "kita mungkin bisa melakukannya ketika
pertama kali mereka menyandarkan tangga di dinding. Sebelum ada yang menaikinya.
Pantas untuk dicoba. Apakah kau punya papan yang bisa digunakan di ba- wah sana?”
"Ada satu yang hampir patah.”
”ltu bisa kita gunakan. Pergi, ambil, dan bawalah kemari. Tidak, berbenti—bawa papan
itu ke pintu masuk lubang kita. "Kenapa di sana?”
"Di sana tempat kita masuk, di sana juga mereka akan ber- pikir untuk masuk. Cepat."
Marcus menghilang di bawah tangga spiral dan Simon me- noleh ke Emily. "Selama ini
aku selalu benar,” katanya. "la benar-benar gila.”
"Kalau ayahmu memukulmu, tidakkah kau akan menjadi gila juga?’
Mereka mengawasi tangga yang mendekat. Setiap tangga digotong oleh dua
pemadam kebakaran yang besar dan tegap,
I
240
yang membawa tangga itu perlahan-lahan menyeberangi iapang- an di sepanjang
jalan kecil yang sekarang sering dilalui menuju jembatan dan pos penjaga. Di sana
mereka disambut orang' orang yang sedang menunggu dan diberi perintah singkat oleh
komandan polisi. Satu tangga dibawa menuju kastil, yang satti- nya tetap tinggai. Para
pemadam kebakaran meletakkannya dengan hati-hati di atas salju dan berdiri tegak lagi,
merentang- kan lengan mereka.
”Aneh,” kata Emily. ’’Hanya satu...”
Simon mengumpat. ”Aku tahu apa yang mereka lakukan. Mereka tahu kita mengawasi,
mereka akan menyerang dengan satu tangga dan membawa tangga satunya ketika kita
lengah. Sial!”
’’Kita harus berpencax.”
’’Yeah. Baiklah, aku akan mengikuti tangga ini. Aku yakin tangga ini untuk lubang kita.
Marcus bisa membantuku di sana. Kau awasi yang ini. Aku akan bersiul jika kami mem-
butubkanmu.”
Setelah berkata demikian, pergilah si pemimpin. Emily te- tap tinggai di tempat,
mengawasi pintu gerbang. Ia yakin Simon benar. Meskipun komandan polisi mengawal
tangga pertama, bersamanya ada banyak musuh, lima lelaki tinggai di belakang untuk
tangga kedua. Untuk sesaat mereka kelihatan tenang-tenang saja—menyalakan rokok
dan satu orang nxeng- hilang dengan maksud tertentu di sekitar pos penjaga dan Emily
curiga orang itu ingin buang air kecil—tapi Emily me- lihat mereka menatap jam tangan
mereka berulang-ulang. Mereka terus mengawasi waktu.
Mereka akan segera pergi pikimya. Pertanyaannya—ke mana?
241

Jeriran melengking terdengar di belakangnya, kemudian teriakan yang sangat


mendesak. Meskipun ini tugasnya, ia ti- dak dapat menahan diri untuk menjauh dari
jendela sesaat dan menyeberangi ruang masuk menuju kubah yang terbuka sampai ke
ruangan utaraa yang kosong.
Di ujung mangan terbuka ia dapat melihat lubang masuk mereka, dengan Simon
menunduk di atas landasannya. Ia men- condongkan tubuhnya masuk ke lubang,
berusaha meraih se- suatu.
Jauh di bawahnya, Marcus sedang berlari menuju tangga menara, membawa sebilah
kayu di tangannya.
Emily cepat'Cepat kembali ke jendela dan melihat keluar. Pasukan penyerangan kedua
masih tetap berdiri di pos penjaga. Seorang lelaki melihat jam tangannya lagi.
Ia berlari menuju kubah. Simon sudah setengah telentang di atas dinding batu.
Sekarang Marcus berlari di sepanjang jalan kecil. Emily mendengamya berteriak, melihat
Simon me- narik mundur dirinya, melihatnya mengambil sebilah papan. la mendorong
papan itu dan menurunkannya melalui lubang, me- manjangkan lengannya sejauh
mungkin. Ia mendorong, ber- henti—dan mengacungkan tinju penuh kemenangan,
Marcus memukul bahunya.
Suara bertubrukan dari kejauhan, suara teriakan dari arah yang jauh.
Emily bersorak pelan. la mengamati awan yang semakin rendah, kemudian pada jam
tangannya. Barn pukul setengah dua. Waktu berjalan dengan lambat! Masih lama.
Mereka tidak berani berharap kecuali cuaca membantu mereka. Kalau jarak pandang
segera menjadi kabur, mereka masih bisa menyelinap pergi.
242

Di ujung landasan, Simon menoleh dan melihat Emily. Emily melambai dan
mengacungkan ibu jarinya, tapi Simon tidak membalas isyaratnya. Malahan, ia menunjuk
berkali-kali Ice belakangnya dengan penuh semangat.
Oh—
Dengan cepat, Emily menyeberang ke jendelanya dan me- mandang ke luar.
Tidak ada seorang pun di pos penjaga. Sebuah lekukan yang panjang dan tipis di atas
salju menunjukkan di mana sebelum- nya tangga itu berada.
Ketakutan menerpanya. Air matanya mengalir. Di mana mereka? Ke mana mereka
pergi?
Emily berusaha mengusir kepanikan yang mulai menguasai- nya dan segera pergi dari
jendela. Ia akan melihat dari me¬nara—ia dapat melihat kedua sisi dinding. Mengabaikan
pecah- nya suara teriakan yang lain dari ujung jalan, ia segera naik ke tangga, melangkahi
dua anak tangga sekaligus.
Berputar-putar, napasnya terengah-engah... Melewati ruang- an ding in dan kosong,
dengan beberapa kubah yang ada sarang bumngnya. Berputar-putar lagi...
Emily muncul di atap menara. Ia berlari menuju menara pengintai yang menghadap
pos penjaga dan mencondongkan badan sampai bisa melihat bagian dasar dinding. Tidak
ada orang di kastil bagian sini.
Ia melangkah ke sisi menara berikutnya dan mencondong¬kan badannya lagi, melihat
ke sisi kirinya. Di kejauhan, dekat ujung menara, orang-orang bergerak. Tangga di tengah
mereka tnengilat lemah. Ketika ia mengawasi, mereka kelihatannya akan berhenti.
243

Mereka bam saja akan membuat titik penyerangan kedua.


Ketika ia berlan kembali menuju pintu, ia melihat serpihan salju pertama yang tebal
mulai turun dari langit.
Ia menuruni anak tangga, sepatu botnya memukul batu-batu dertgan kencang. Ia
keluar dari pintu ruang masuk dan berlari melewati dapur, tanpa petunjuk jelas apa yang
akan dilakukan- nya.
Emily masuk ke jalan kecil. Ke atas menuju tempat di mana Marcus meninggalkan
perangkap es... pada saat terakhir ia ingat dan setengah melompat. Ia melihat cahaya
tersembunyi ketika perangkap es itu berhasil ia lewati di bawahnya, kemudian ia berlari
lagi.
Saat melewati kubah-kubah di sebelah kiri ia melihat Simon dan Marcus masih ada di
pos mereka. Mereka bekerja dalam keheningan sekarang. Simon masih menngkuk pada
dinding yang rusak, mendorong dengan sebilah papan.
Tepat sebelum menara yang letaknya di sudut, sebuah ku- bah kecil yang terpotong
kasar terbuka menuju dinding* bagian depan. Emily terus berlari, memasuki ruangan
kecil berbentuk L—kakus, dengan kursi yang berlubang di ujungnya. Di atas ada jendela
dari batu, beberapa sudah hancur, men inggalkan celah yang cukup besar di dinding.
Sepertinya ini tempat yang bagus untuk mengamati kelom- pok yang bam saja ia lihat
di luar.
Diam-diam, Emily merangkak maju. Hampir bersamaan fa mendengar suara mendecit
pelan dari bawah. Mereka sedang rnemanjangkan tangga.
Ia membeku, memandang tak berdaya di ambang jendela, menunggu ujung tangga
muncul di hadapannya. Di luar, salju turun lebih tebal daripada sebelumnya dan langit
tampak abu-
244

m
I abu kelam. Lapangan di tepi hutan menjadi kabur dan tidak
■ jelas terlihak ^
Kenapa kau tidak turun satu jam yang Idu? ia bertanya pel®
■ pada salju. Sudah terlambat sekarang.
Ada bunyi gesekan dari bawah ambang jendela dan suara- suara pelan orang yang
tidak sabaran jaub di bawahnya
Emily bertindak cepat. .
la hanya bisa memikirkan satu hal yang tidak terlalu ben J guna, yang dapat dilakukap.
Ia melepaskan topi wolnya dan I melangkahi ambang jendela. Salju tebal yang turun dari
se- I minggu yang lalu menutupi ambang jendela. Sambil memegang I topinya yang
dibuka di tepi ambang jendela, ia mulai meng- I ambil salju dan memasukkannya dalam
topinya, mengumpat I setiap kali bagian, pinggir topi yang lembut bergeser dan salju I
yang turun tidak masuk ke dalam topinya.
Suaia derap logam yang lembut.
Kaiki menaiki tangga.
Tangannya bekerja lebih cepat. Sekarang ia sudah berhasil I membersihkam separuh
ambang jendela dan topinya sudah pe- I nuh, menggembung karena beratnya salju.
Ini akan berhasil.
Tidak lupa meninggikan syal sampai menutupi hidungnya,
I Emily dengan hati-hati mencondongkan tubuh di atas ambang jendela' dan melihat
ke bawah. Seorang leiaki sedang memanjat tangga perlahan—polisi yang badannya
cufcup besar, bam seper- empat jalan memanjat tangga. Empat leiaki yang lain meng-
awasi gerakannya dari tumpukan salju di bawah.
Emily meremas topi yang membengkak seerat mungkin de¬ngan tangannya,
merasakan salju yang keraa memadat menjadi sebugjybola es rebal- rasanVa
mengeluarkan es dan
245

membuang topinya, tapi ia tahu kalau melakukannya, mungkin saja bolanya akan
pecah sebelum mengenai target. Oleh sebab itu, ia memegang pinggiran topinya yang
basah, menariknya sekuat tenaga hingga terbagi menjadi dua potongan yang tipis, dan
mengikatnya bersamaan dengan satu simpul ikatan.
Kemudian ia mencondongkan diri lagi, membidik dengan hati'hati, dan melemparkan
bola es benang wol dengan sekuat tenaga pada lelaki yang ada di tangga.
Bola itu jatuh dengan cepat. Melalui serpihan salju yang berjatuhan Emily mengawasi
pola hitam'dan-putih berliku-liku pada topinya berputar'putar, ia melihat sekilas polisi
yang ada di tangga menoleh ke atas, wajah yang pucat dan berdiri goyah menatapnya.
Bola es itu langsung mendarat di wajahnya,
Banyak serpihan es dan salju pecah dari sisi bola itu. 1 Kepala, bahu, dan lengan lelaki
itu bergoyang akibat ter- kena hantaman bola salju, tangannya terlepas dari tangga. Ia
berteriak dan terjatuh.
Emily mengawasinya penuh ketakutart Tidak butub waktu lama bagi lelaki itu untuk
jatuh dan ketinggian tiga meter ke atas salju. Para lelaki yang ada di ba- wah berdiri
terpaku, kecuali satu orang yang memegangi bagian bawab tangga, yang mati-matian
segera mengbindar ke ping' &1—
Polisi itu membentur tanah.
Salju berbamburan ketika ia mendarat, berat, pada pung' gungnya.
Emily menggigit bibir.
Ia terbaring dengan posisi tangan dan kaki terentang lebar,
246
M
f™

sebuah bentuk menyilang yang gelap tercetak di atas salju pu- tih-
Rekan-rekaimya berlarian dan mengerubunginya. Ketika mereka berlutufc, salah satu
dari mereka melihat ke atas dan menggoyanglM rinjiffljpfM
Emily dapat melihat potongan berwama hitam tidak jauh dari kepala lelaki itu—sisa-
sisa topi yang bam saja ia gunakan untuk melakukan sebuah lemparan yang
mengagumkan dan tidak pemah terpikirkan. Ia sangat kaget hingga ia tidak peduli untuk
meninggikan syalnya ketika syalnya mulai turun dari wajtdu^l dan jatuh terkulai di
sekelijing lehemya. Dengan mata yang buiat dan tidak berkedip ia mengamati, dengan
bantuan^i sampingnya, lelaki yang tergeletak di salju bangfcir perlahan-lahan sambil
menahan rasa sakit dan kemudian ber- ada dal am posisi duduk. Topi baja yang
dikenakannya miring, gerakannya kaku, tapi ia tampak masih hidup dan bisa terns
bekerja't Mumpukan salju yang tebal telah melindungmya dart akiba,n paling buruk
karena terjatuh.
Dengan kelegaan sepenuh bati, Emily mengembuskan napas yang tertahan—dan
ketika ia melakukannya, ia mendengar riga kali siulan yang nyaring menerobos angin.
Tcmda bahaya.
Da tang lagi, membuyarkan feebingungannya. Mereka membutuh- kannya—sekarang;
-
Bergegas dari jendela, Emily berlari menuju lorong dan turun ke menara pojok.
Kemudian ia cnelewatinya, berlari ce- pat di sepanjang jalan kecil—dan dalam beberapa
tarikan napaslia sudah berada di anak tangga.
Simon berdiri di atas barn beigerigi, melemparkan bola salju ke tepinya. Marcus
dengan gugup mengambil dan memadatkan salju, lain melemparkan bola yang sudah
jadi ke Simon. Wajah

keduanya pucat dan topi mereka hilang. Rambut mereka me- nempel di kulit
kepalanya. Di sekeliling mereka salju turun dengan ganasnya,
”Apa yang bisa aku lakukan?” katanya terengah-engab^ >*■ "Siapkan lebih banyak
salju” Marcus hampit- tidak dapat bicara. Wajahnya kelihatan lebih mengerikan daripada
sebelum- nya, memar-memamya kelabu dan membengkak. la tidak me' noleh ke arah
Emily, jari-jarinya menggores salju dari celah teikecil yang ada di dinding.
"Mereka sudah setengah jalan!” teriak Simon. In berpegang- an pada palang untuk
bertahan. ”Kita sudah menjatuhkap tangga dua kali, tapi mereka menjepitnya kali ini.
Butuh lebih banyak salju untuk menyingkirkan mereka.”
Emily memulai dari jalan yang menuju kubah yang terbuka, di sana lapisan salju yang
besar-besar bertumpuk.
”Awas—esnya!” teriakan Marcus tepat pada waktunya* Emily menyentakkan kakiny a
ke pinggir perangkap es dan bet' jalan iagu Di bawah kubah ia berlutut dan mulai
mengumpfub kan dan memadatkan salju.
"Lemparkan!” teriak Simon. Ia melemparkan bola ke tangan Simon yang sedang
menunggu. Sambil berputar di tempatnjp besdiri, Simon melempamya ke putaran angin
kencangSwl "Lagi!” Mereka melakukannya beruLang-ulang, Emily meng- gesekkan
sarung tangannya pada dinding batu sampai benang wolnya koyak dan kulit jari-jarinya
kemerahan. Salju yang tu* run menerpa wajahnya, matanya samar dan hampir tidak
dapat melihat Lagi-lagi ia meletoparkan kola salju pada Simon, dan lagi'lagi Simon
melemparkannya sampai berdesing di kejauh' an.
"Lagi!" Emily bisa menduga dari teriakan Simon bahwa
248
mereka gagaj memenangi pertempuran, bahwa penyerang sedang memanjat tangga,
semakin dekat dan semakin dekat ke Jybir lubang. Ia juga tabu bahwa jendela yang
satunya tidak dijaga sekarang, musuh mungkin saja memanjatnya, tangan mereka terulur
untuk meraih ambang jendela, kepala mereka yang memakai topi baja muncul dari dalam
badai salju. Ia tahu semuanya akan segera berakhir, tapi ia masih bertarung di sisi
ceman-temannya dalam rantai keputusasaan, mempertahankan kastil untuk terakhir
kalinya. Tangannya berdarah sekarang. Angin berembus sangat keras di telinganya
hingga ia tidak mampu lagi membedakan antara panggilan Simon dan deru angin
kencang. la tersandung, lututnya membentur bangunan batu. Terluka, sedikit darah... ia
mengabaikannya... Ia melem- parkan bola salju lagL Sekarang ia berada di tempat yang
jauh sehingga harus melemparkan setiap bola ke Marcus, yang akan memberikanffiy^
pada Simon di dekat lubang.
Marcus meneriakkan sesuatu. Emily tidak bisa mendengar. Ia balas berteriak, tapi
suaranya tidak cukup keras.
Ia mengamhil beberapa bola lagi, memadatkannya, dan— pada saat ia akan
melemparkannya—tubuhnya kaku. Bola salju jatuh dari tangannya.
Di-; antara dua pilar ia dapat melihat menembus salju yang turunt# ke jalan yang ada
di sisi lain ruangan utama. Oi tempat lengkungan kubah mengarah ke kakus dan
jendelanya, sosok gelap yang bungkuk bergerak. Kepalanya bergerak cepat dari sisi ke
sisi.
Tiba-tiba, kepala itu diam tidak bergerak, menatap langsung ke arah Emily. Musuh
sudah memasuki kastil.
249

EMILY menjerit dan menunjuk, dan bahkan dalam


ancaman
angin kencang, jeritannya cukup keras untuk bisa didengar dan
dimengerti Marcus dan Simon. Simon melompat dari tepi lu-
bang. Marcus berputar, melihat sosok tadi di dekat lorong, dan
berbalik, ketakutan tergambar di wajahnya.
Tapi sosok tadi juga sudah melihat mereka. Ketika Emily
mengawasi, sosok itu bergerak ke kiri, menuju ke menara, so-
sok yang tinggi besar berpakaian biru berlari cepat di antara
tiang-tiang.
’’Lari!” teriaknya. Marcus dan Simon berlari di lorong mem
yang mengarah ke menara. Emily tidak dapat bergerak karena ngeri.
Marcus dan Simon meluncur cepat melewatinya. "Ayo!" mereka berteriak, tapi otot-
otot Emily melemah. la melangkah mundur. Musuh berlari menuju lorong menembus
salju, lebih

dekati Emily, Marcus memimpin. la melompati perangkap es, dan lanjut berlari.
Serpihan salju berputar-putar di sekitar me- reka. Sosok gelap yang mengejar mereka
keluar dari kubah
250

cepat daripada mereka, lebih kuat pula. Ia melihat topi baja orang itu melengkung di
depannya seperti tanduk binatang buas. Sepatu botnya menghantam batu, tinjunya
mengepal seperti piston di sisinya—
Tiba-tiba kakinya melayang ke samping di bawah tubuhnya, membuatnya kehilangan
keseimbangan, dan ia pun terjatuh menimpa batu dan es. Ia mengeluarkan raungan
kesakitan yang menggema di sekitar ruangan utama yang kosong. Satu kaki terkilir,
menjulur di bawah palang, sepatu botnya menggantung di udara yang tipis. la berusaha
bangkit, tangan dan sikunya terjepit di dalam perangkap es. Di belakangnya seorang
lelaki melompat dari lubang masuk menuju lorong. Ia segera melihat Emily dan mulai
berlari, melangkahi rekannya yang terjatuh.
Emily berlari kencang menuju tangga. Ia tidak punya waktu untuk berpikir, ia terus
berlari dan menuruni tangga, terlalu cepat untuk mencegah dirinya sendiri agar tidak
bertubrukan dan terluka dengan dinding yang melengkung. Lengan kanan- nya tergores
dinding batu ketika berlari menuju ruang penyim- panan yang gelap.
Suara derap langkah kaki mengejamya, memukul anak tang- ga dengan cepat seperti
tembakan senapan mesin.
Emily berlari menembus kesuraman menuju kubah yang mengarah ke ruangan utama.
Ruangan utama dipenuhi tirai salju yang bergelombang.
Ketika ia tiba di sana, teriakan terdengar di belakangnya.
’’Berhenti!”
Kemudian ia terus berlari dan keluar di tengah badai salju yang sedang mengamuk.
Serpihan salju seperti jarum masuk ke matanya, menusuk kulirnya dari setiap sisi. la
berada di dasar kolam pusaran air dari salju. Angin berputar-putar di dalam
251

ruangan utama, menghantam dinding, meniupkan salju yang jatuh dan tanah hingga
salju itu menggigit dagu dan lehemya. Syalnya terlepas, rambutnya menampar wajahnya.
Ia tersan- dung, kemudian berlari lagi semampunya, kaki kirinya yang pertama kali sakit,
kemudian kaki kanan ketika ia berlari me- nuju yang ia harap adalah sebuah jalan di
bawah lengkungan kubah.
la cidak bisa melihat apa-apa. Tembok kastil menjadi satu dengan pusaran angin ribut.
Bayangan yang tiba-tiba muncul menakutkannya, kemudian terbentuk menjadi sudut
pondok yang tidak asing. Ia berlari melewatinya, seperti orang buta dan sembrono, dan
menubruk batu abu-abu.
Emily memandang sekilas ke belakang. Ia ketakutan ketika sebuah bentuk yang
bergerak berada dekat di belakangnya, menerobos badai yang sedang mengamuk, satu
lengan terulur.
Dalam keputusasaan, Emily melemparkan dirinya dan berlari di sepanjang dinding
batu, mencari celah yang terbuka, sekali- gus mengira ada tangan yang akan memegang
bahunya.
Dinding batu berakhir, sebuah ruangan gelap terbuka lebar. Dengan terengah-engah
ia jatuh ke atas salju, masuk ke kege- lapan yang sunyi. Nalurinya mengatakan ini adalah
ruangan yang ada sumumya—air yang tidak kelihatan menetes di seke- liling ruangan.
lya, mungkin ia bisa bersembunyi di sini jika merangkak sampai ujung ruangan. Mungkin
lelaki itu tidak bisa melihatnya, mungkin ia akan menyerah dan pergi.
Secepat ia mengira, ia menginjak lantai yang tidak rata per- mukaannya, lalu berusaha
mencapai bagian belakang ruangan itu.
Dari kubah, terdengar langkah kaki yang diseret. Suara se- orang lelaki, kasar dan
marah.
252
"Aku melihatmu! Jangan bergerak, tetaplah di sana.”
Dengan terisak-isak, Emily berjalan terhuyung'huyung lebih jauh menuju kegelapan.
Langkah kaki berlari mengejamya. Sepatu botnya tergelincir di atas puing reruntuhan, ia
hampir jatuh. Di belakangnya, langkah kaki melambat—musuhnya juga menyadari
pengejarannya sulit. Kaki kiri Emily terantuk benda keras, tidak dapat digerakkan, terbuat
dari logam. Terali di atas sumur. Ia mengelilingi tepinya dan dengan segera mun- cul di
sebuah sudut ruangan.
Jalannya ditutup. Ia berputar—dan melihat sosok yang besar mendekati menembus
kegelapan. Sosok itu menatapnya sekilas. Melangkah maju dengan tujuan yang pasti. Ia
teijebak, tidak bisa melarikan diri.
Tiba-tiba terdengar suara, sebuah jeritan dan suara benda jatuh, dan sosok itu jatuh
menghantam tanah. Ia berdiri ke- bingungan untuk sesaat, tidak yakin apa yang sudah
terjadi. Kemudian ia menebak dan bergerak maju, mengelilingi tempat lelaki itu
tergeletak di seberang terali. Kaki lelaki itu teijepit di antara jeruji logam. Lalu Emily
berjalan di atas reruntuhan puing, melewati tiang-tiang yang basah tempat salju bertiup
menuju kubah, hingga keluar mengadang badai.
Sekarang ia berlari dengan sangat cepat, tidak memedulikan tujuan. Setelah agak jauh
berlari, badai salju meraung di seki- tamya, kemudian terlihat lengkungan kubah dan ia
melewati- nya, menyeberang lanrai batu dan menaiki tangga spiral.
Teriakan terdengar dari tempat yang jauh. Teriakan itu membuamya panik. Emily
memperlambat langkahnya, tubuh- nya gemetar, rambumya basah oleh keringat dan
salju yang mencair. la naik ke tangga, berusaha untuk mendengar suara- suara yang
lebih jelas, Ia tidak berhenti. Jika ia berlari menuju
253

musuh, biarkanlah—tapi ia tidak akan kembali ke bawah di mana sosok yang marah
sedang mencarinya, tidak sama se- kali.
Pojok ruangan yang tidak asing muncul di hadapannya— pintu masuk utama, dengan
lengkungan kubahnya yang me- nuju pintu utama dan ruangan berpilar. Ruangan itu
kosong, tapi ada suara yang kedengarannya tidak terlalu jauh dan suara benturan
berulang-ulang.
Ke mana ia bisa pergi? Ke mana ia bisa bersembunyi?
Dari sini ia punya beberapa pilihan: pintu masuk utama, ruangan berpilar, dapur,
lorong, menara. Menara dan dapur adalah jalan buntu, pintu masuknya ditutup, dua jalan
lainnya mengarahkannya ke tempat masuknya musuh.
Suara apa itu di bawahnya, di dekat tangga?
Emily pun membuat keputusan. Tanpa menghiraukan lang- kahnya, ia menaiki
beberapa anak tangga dan tiba di ruang depan. Suara benturan datang dari tangga pintu
masuk—sese- orang berusaha membuka penghalang pintu agar pasukan pe* nyerang
utama bisa masuk. Emily tak mengindahkan jalan ini dan berjalan menuju ke ruangan
berpilar. Ia mengabaikan jalan naik menuju menara.
Tanpa keraguan ia menyeberangi ruang depan dan berjalan menuju kubah lalu masuk
ke dapur.
Emily membungkuk di dekat oven ketiga dan yang terkecil di dinding dapur. Tingginya
sama dengan lantai dan menye- rupai lubang pembuangan besar dari batu bata.
Dalamnya di- batasi dengan ubin berwama merah tua.
Sambil membungkukkan bahu dan mengepalkan tinju, Emily merangkak masuk
dengan sigap ke dalam oven. Ia me- rangkak secepat mungkin, menopang bagian depan
tubuhnya

dengan kedua siku dan tidak menghiraukan sakit dari lututnya yang terluka. Bahunya
masuk dengan mudah, tapi ia kesulitan uiemasukkan pinggangnya. Ketika ia beringsut
masuk, ia me- mikirkan penyihir dari kisah Hansel and Gretel, yang juga me- tangkak
masuk oven dengan earn yang sama dan dibakar sam- pai mati. Setelah memikirkan hal
itu, ia melakukan upaya penghabisan dan pinggangnya berhasil melewati celah.
Saat berada di dalam, oven itu temyata luas—cukup besar baginya untuk berbalik dan
mengambil posisi duduk. Bagian dalamnya dibentuk dari ubin yang dipecab pada ujung-
ujung- nya Bagian dalamnya berbentuk kubah, dengan birai melingkar hampir
setengahnya. Emily menyesuaikan diri sampai bisa duduk sejauh mungkin dari ruangan
terbuka, kakinya ditekuk dan punggungnya rata bersandar pada dinding depan oven.
Kemudian ia beristirahat dan mendengarkan.
Untuk sesaat ia tidak mendengar apa-apa selain suara angin. Beberapa pasang
langkah kaki melewati kubah dapur, tapi Emily lega, tidak seorang pun masuk ke dapur.
Entah berapa lama waktu berlalu. Emily berusaha untuk me- lihat jam tangannya, tapi
terlalu gelap di dalam oven untuk bisa melihat waktu di sana. Cahaya memudar. Tiba-
tiba tubuh- nya kaku, jantungnya berdebar keras. Langkah kaki memasuki dapur. 1
’’Lebih baik periksa semuanya,” kata suara seorang perem- puan. «
"Lakukanlah." Suara lelaki, lelah dan putus asa.
”Kaii bawa lampu senter?”
’Tentu saja tidak! Tidak pemah terpikir kita akan sibuk mencari di dalam lubang,
bukan? Ketika ia berbicara, lelaki

itu kelihatan sedang berlutut untuk melihat ke salah satu oven. Ada gema keras dari
suaranya ketika ia berbicara lagi. "Tidak dapat melihat apa-apa. Sepertinya kosong.”
”Tahu dari mana kalau tidak bisa melihat apa-apa?” "Mereka tidak ada di sini, entah
bagaimana caranya, tapi mereka sudah keluar.”
’’Yang satu ini juga kosong. Coba lihat yang terakhir.” ”Mereka pasti sudah keluar.”
"Katanya tidak ada jalan lain.”
’’Kalau kau percaya pada lelaki pemarah itu kau akan per- caya apa saja." Suara itu
semakin mendekat. ’’Ada beberapa lubang yang tidak ia perhatikan, itu saja.”
Emily membungkuk di kegelapan. Langkah kaki tepat ber- ada di luar ovennya. Ia
tepat berada di luar oven. Jika orang itu menundukkan kepalanya, ia akan menemukan
Emily. ”Tidak ada orang di sini.”
”Kau benar-benar melihatnya, tidak?”
Emily mengamati dari sudut matanya ada uap yang keluar dari napas lelaki itu, tercium
bau mint dari permen yang diisapnya. Urat di leher Emily mengejang.
"Sudahlah! Ini yang paling kecil. Kosong.”
"Ayo kita pergi.”
Orang itu berlalu. Lebih banyak langkah kaki di luar. Pipi Emily mengejang lagi.
”Ke mana sekarang?” suara lelaki bertanya.
’Tetap di lantai ini,” suara perempuan itu menjawab dengan letih. ”Itu yang mereka
katakan. Kita akan berkeliling lagi.” ”Oh, hebat. Benar-benar—hei, apakah kalian dengar
itu?"
256
A

Emily mendengamya, teriakan kemenangan yang kejam menggema di sekeliling kastil.


Jantungnya seperti ditusuk be- lati.
’’Mereka berhasil menangkap satu orang! Mari kita lihat.” "Tidak, sudah kubilang. Kita
tetap di lantai ini.”
Masih berdebat, suara-suara itu perlahan menghilang dan Emily tinggal dalam
kesunyian ovennya, menatap kegelapan dengan mata sembap. Gema teriakan tadi
terdengar lagi di ke- palanya. Mereka menangkap satu orang. Mereka menangkap satu
orang. Sesuatu di dalam diri Emily terasa hancur dan mati. Tidak pemah sebelumnya ia
merasa begitu kalah dan sangat putus asa.
Suara kaki yang berlarian melewati dapur. Ia mendengar lagi panggilan dan gemerisik
suara radio. Di suatu tempat yang jauh seorang lelaki tertawa.
Sebagian dari diri Emily menyadari bahwa inilah saat bagi- nya untuk menyerah,
karena satu dari mereka sudah ter- tangkap, identitas dirinya akan segera ketahuan,
tidak peduli berapa lama ia tetap bersembunyi. Tapi bagian dirinya yang lebih besar masih
saja keras kepala. Bagian itu menolak untuk menyerah begitu saja, dan suara musuh
mereka yang berjalan menerobos kastil menjadikannya dingin karena kemarahan. Bagian
itu tidak akan mengalah sampai ia ditangkap hidup- hidup dari tempat
persembunyiannya, seperti seekor siput yang dikorek keluar dari rumahnya dengan
penjepit.
Atau sampai ia berhasil melarikan diri.
Inilah aksi perlawanan terakhir yang akan dilakukan Emily. Bisa saja sekarang mereka
sedang menginterogasi tawanan mereka, bisa saja sekarang mereka sudah tahu siapa
dirinya. Tapi kalaupun mereka sudah menunggunya ketika ia tiba di
257

rumah (ia sudah punya bayangan mengerikan di benaknya tentang mereka yang
duduk di sofa, orangtuanya di belakang mereka, cetnberut dan diam saja), itu lebih baik
daripada di- tangkap ketika sedang mengendap-endap seperti tikus di da- lam kastil.
Lagipula, ada kemungkinan kalau teman-temannya tidak akan mengkhianatinya, hingga
musuh tidak bisa me- nemukannya...
Emily berusaha keras membuang pikiran yang mengusik benaknya. Lupakan itu—tidak
ada kesempatan nyata. Tapi me- larikan diri dan kastil masih memungkinkan. Dengan
kegelap- an yang datang dengan cepat ia mungkin saja bisa lolos dari penglihatan.
la pun menggeliat dan memutar badannya, ia merangkak ke dalam bagian terbuka
oven dan mengamati keadaan di luar. Dari sedikit yang bisa ia lihat, ia bisa menerka
bahwa hari su- dah mendekati senja. Dapur itu sangat gelap. Sulit untuk mem- perkirakan
apakah masih turun salju di luar, tapi suara angin mulai berkurang. Sambil menyipitkan
mata melihat jam tangan- nya, ia tahu waktu barn menunjukkan pukul 15:50, masih
belum terlalu gelap. Tapi tidak akan lama lagi. Ia akan me- nunggu sebentar, kemudian
mengambil kesempatan.
Suasana tenang. Mendapat sedikit kepercayaan diri, Emily menjulurkan kepalanya
melalui bagian yang terbuka dan de- ngan hati-hati mengintip ke arah ruang masuk.
Mulanya tidak ada apa-apa yang terlihat selain bermacam-macam bayangan yang sekilas
kelihatan, tapi secara tiba-tiba sebuah cahaya ku- ning samar mulai muncul di ujung
tembok. Cahaya itu se- makin terang, bergerak naik-turun mengikuti gerakan pemilik
lampu sentemya. Emily mundur dari pandangan ketika dua pasang kaki melangkah
memasuki ruang depan.
258

’’Baiklah,” kata suara itu, dan Emily segera mengenali suara polisi senior.
”Kita akan menunggu di sini.” Suara itu masih terdengar tenang dan lembut, tapi
sekarang juga terdengar penuh pe- nyesalan dan lelah.
’’Kenapa?” Mendengar pertanyaan singkat dan penuh ke- jengkelan, Emily
mengepalkan tinjunya pada ubin. Temyata Simon.
’’Karena ada orang yang akan datang untuk mengawalmu ke mobil. Aku tidak punya
cukup orang di sini karena mereka terlalu sibuk mencari teman-temanmu. Apakah kau
yakm tidak tahu di mana mereka bersembunyi?” Lelah, penuh penyesalan, masuk akal.
"Tidak tahu.”
Tapi kau tahu, kan, ada berapa orang?” (Hening.) "Kami tahu paling sedikit ada dua
orang lagi, Marcus dan Katie. Ada yang lain?”
Simon tidak menjawab.
”Yah, tidak masalah. Kami segera akan mendatangkan lampu sorot. Oh, iya, kami akan
menghentikan permainan kalian. Semua dinas darurat West Norfolk kedinginan di dalam
reruntuhan terpencil ini gara-gara kalian, Nak, orang-orang yang mungkin akan lebih baik
bekerja di tempat lain. Apa yang sebenamya kalian pikir kalian lakukan, melakukan per-
buatan tercela seperti ini? Kalian seharusnya malu, sudah mem- buang waktu semua
orang.”
"Kami tidak membuang-buang waktu!” teriak Simon. Tung- gu saja sampai Anda
melihat wajah Marcus, tunggulah! Dan Anda bisa mengerti kenapa ia tidak mau pulang
ke rumah!
Tidak seorang pun dari kalian yang mau tahu apa yang terjadi padanva—kalian yang
seharusnya malu!”
"Jadi. apa yang sudah diceritakan Marcus padamu?” Polisi itu bertanya sangat pelan
hingga Emily hampir tidak dapat mendengamya, dan suaranya juga bisa menenangkan
Simon.
"Kami bermalam di sini,” katanya dengan suara lemah. "Tidak melakukan kejahatan
apa pun. Tapi Marcus terlambat pulang, dan ayahnva sudah menunggunya.
Memukulinya—tapi jangan percaya aku begitu saja, Anda bisa lihat sendiri! Oh, dan
menghancurkan sepedanya juga. Anda bisa melihat sisa- sisanya di kebun, kalau Anda
berminat. Itulah alasan kenapa Marcus kabur. Menurutku, ia gila sudah datang ke sini,
tapi aku tidak menyalahkannya karena ingin melarikan diri. Itu saja. Anda akan
mendengar lebih banyak dari Marcus ketika Anda menemukannya.”
Di da lam oven, Emily mengangguk dengan muram. Bagus, Simon.
"Aku akan melakukannya. Di mana Thomson? Ia bisa saja tersesat.” Emily dapat
mendengar sebuah langkah kaki ber- putar-putar di ruang depan. "Masalahnya, Nak, aku
sudah me- lihat sepeda Marcus. Ayahnya memperlihatkan padaku ketika aku mampir ke
rumahnya."
"Yah, Anda sudah melihatnya—£
"Aku melihatnya digembok di pagar kebun, masih sama bagusnya dengan sepeda
baru. Yah, salah satu setangnya sedikit bengkok, tapi hanya itu kerusakaimya. Marcus
adalah pengen- dara sepeda yang sedikit ceroboh, rupanya, selalu turun dari sepedanya
dengan gaya dramatis. Seperti yang dilakukannya beberapa hari yang lalu.”
"Anda tidak bermaksud untuk memberitahuku—”
260

"Meluncur cepat di es sambil raembelok terlaiu cepat. Ia menabrak pinggir mobil.


Membuat wajahnya terluka.”
’’Ayahnya yang menceritakan demikian pada Anda! Dan Anda percaya padanya!
Tuhanku!” Suara Simon bergetar penuh amarah dan kejengkelan.
”Aku yakin kami bisa menemukan saksi untuk hal itu, Nak. Ia melakukannya di muka
umum, mengerti kan, bukan di jalan kecil. Di satu jalan menuju pasar umum di King’s
Lynn, bebe- rapa hari yang lalu. Ia beruntung tidak perlu dirawat di rumah sakit.”
Ia menunggu, seolah ragu apakah Simon ingin mengatakan sesuatu. Di da lam oven,
Emily bisa mendengar jantungnya me- mukul-mukul dadanya. Bohong! Semuanya
bohong!
’’Seperti kataku, ini bukan pertama kalinya Marcus meng- alami kecelakaan akibat
kecerobohannya,” lanjut polisi itu. ’’Sebelum ini kami sudah memperhatikan Marcus. Ia
selalu pergi dari rumah tanpa permisi, sering juga menyakiti dirinya sendiri, dengan
berbagai cara. Tidak heran ayahnya mengunci sepedanya dan melarangnya keluar rumah
lagi, tapi hal ini tidak menghentikan Marcus. Berikutnya yang ayahnya temu- kan, ia kabur
dari rumah.”
”Aku tidak percaya pada Anda,” ujar Simon, tapi suaranya pelan dan lemah, hilang
percaya diri.
"Tidak masalah kalau kau tidak percaya sekarang, bukan? Seandainya kau memiliki
pemikiran untuk menghubungi kami, semua masalah ini dapat dihindari. Tapi, Marcus
memang di- kenal sebagai anak yang suka mengarang cerita, jadi sebenamya tidak terlaiu
mengagetkan kalau ia berhasil membodohimu.
Ah ini dia. Apa yang terjadi denganmu, Thomson? Kau ter-
lambat."
261

"Maaf, Pak, sedikit tersesat.”


"Ya ampun, Thomson. Baiklah. Anak ini tugasmu. Menurut- ku ia tidak akan
menyusahkanmu. Bukankah demikian, Nak?”
Tidak.” Suara Simon hampir tidak terdengar.
Tidak. Apakah lampu sorot sudah tiba, Thomson?”
"Sedang menuju ke sini, Pak.”
"Baiklah, kalian boleh pergi.”
Dua langkah kaki pun berlalu. Satu langkah kaki tetap ting- gal di tempat, berjalan
mondar-mandir di mang depan. Seperti sedang bermimpi, Emily mendengar gemerisik
suara radio dan suara lelaki yang berbicara dengan radio. Ia membayangkan wajah Simon
yang dikawal menuruni tangga, membayangkan ekspresi wajahnya. Ia membayangkan
apa yang mungkin dipikir- kan oleh Simon. Dan ketika ia membayangkan itu semua, kata-
kata polisi itu memukul-mukul kepalanya. Meluncur cepat di es, membuat wajahnya
terluka... Untuk sesaat, kenyataan yang kelihatannya tidak dapat dibantah mulai
mengarah men- jadi keraguan dan kecurigaan. Ia dan Simon sudah memercayai alasan-
alasan Marcus. Apakah Marcus—?
Tidak. Emily membuang jauh-jauh keraguannya. Tentu saja seorang ayah akan muncul
dengan kisah seperti itu, tentu saja ia akan mengarang dongeng untuk mengakali polisi.
Dan ka- rena bodoh, polisi-polisi itu percaya pada ceritanya, tanpa meragukannya.
Percuma saja berusaha meyakinkan mereka. Marcus melakukan hal yang tepat dengan
melarikan diri. Yang dapat ia lakukan sekarang adalah berusaha melarikan diri dan
berharap Marcus juga melakukan hal yang sama.
Langkah sepasang sepatu bot melintasi dapur. Secara nalu- riah, Emily sedikit
menggeliat mundur.
’Tidak berhasil, Hatchard?”

’’Sepertinya tidak, Pak. Tidak perlu lagi memeriksa cerobong asap. Kami sudah mencari
di setiap sudut yang kami bisa. Aku sangat yakin lantai dasar dan lantai pertama aman,
meskipun cuaca tidak banyak membantu kita.”
’’Baiklah. Aku ingin semua mangan di lantai dua diperiksa Hanya ada beberapa yang
secara resmi bisa kalian masuki, tapi masih ada mangan lagi, periksalah, mungkin saja
mereka punya akses untuk masuk. Di sepanjang ambang jendela atau lewat terali yang
msak. Yang ini, contohnya.” Emily bisa mendengar suara kertas dilipat.
’’Kelihatannya tidak ada akses untuk masuk.”
’’Kastil seharusnya tidak memiliki akses untuk masuk, Hatchard. Kurasa kau dapat
menemukan mereka berdua ber- samaan.”
’’Hanya mereka berdua, Pak?”
”Tidak ada bukti yang mengarah pada orang lain, apa pun yang dikatakan PC Jones.
Hanya dua.”
Suara itu menghilang dan Emily tidak mendengar mereka lagi. Dengan segera, untuk
mengakhiri kebingungan di benak- nya, ia mulai menghitung dalam hati dengan man tap.
Sekarang terlalu gelap untuk bisa mengetahui waktu, jadi ia menghitung mundur waktu,
satu demi satu, dalam hitimgan enam puluh. Ketika ia sudah melakukan ini sebanyak
lima belas kali, ia mengambil kesempatannya, tanpa menghiraukan apa yang mungkin
terjadi. Lima belas menit akan memberi banyak waktu bagi para pencari tetap berada di
lantai atas. Dan ke- mudian hari akan menjadi benar-benar gelap.
Pada lima kali pertama dari hitungan enam puluh detiknya ada sebuah gerakan besar
mendekat, terutama di pintu mangan deparu Alat berat, barangkali lampu sorot, sedang
dibawa ma-
263

suk. Perintah diberikan, orang-orang berjalan naik-turun tangga spiral, dan mereka
keluar-masuk menara baik sendiri-sendiri maupun berpasangan. Beberapa kali, obor-obor
menerangi ke- gelapan di dekatnya, tapi tidak seorang pun raemeriksa dapur sekali lagi.
Untuk lima menit yang kedua keadaan lebih tenang. Emily merangkak dengan siaga
penuh seperti seekor binatang dalam sarangnya. Ketika ia menghitung mundur lima
menitnya yang terakhir, ia mulai gemetar karena ketakutan dan harapan. Tiga menit lagi
untuk melarikan diri... Keraguan menyerangnya. Kenapa juga repot-repot berusaha?
Percuma. Ia tidak akan pemah berhasil. Seribu melawan satu.
Dua menit lagi untuk pergi... Ia membayangkan Simon yang dikawal... Meninggalkan
dirinya dan Marcus. Marcus... Ia melihat wajahnya yang memar karena dipukuli di
hadapan- nya. Ia berkata... Waktunya sudah habis.
la tidak mengizinkan dirinya untuk ragu—ia tahu kalau ragu ia tidak akan pernah pergi
sama sekali. Sambil menarik napas panjang, ia menundukkan kepala dan bahunya
melewati celab terbuka yang sempit. Memandang cepat ke arah pintu ruang depan,
tempat paling berbahaya di dalam kastil, dan ke- mudian sisa bagian tubuhnya mengikuti,
menggeliat seperti seekor cacing, sampai—jantungnya berdebar keras, sulit ben napas—
ia merangkak bebas dalam kegelapan dapur.
Tanpa berbenti ia berjingkat menuju lengkungan kubah yang mengarah ruang masuk
utama. Di sebelah kirinya serpih- an salju yang tidak beraturan melayang melewati pintu
masuk ke ruang utama. Malam sudah tiba sekarang, dan sebelum lam- pu sorot mulai
dioperasikan di suatu tempat di atas, Emily tidak dap at melihat tangannya di depan
wajahnya. Pantulan

264

cahaya tampak buram di seberang ruang utama. Perapian yang besar kelihatan seperti
bulan sabit hitam yang menempel di dinding.
Emily melihat di sepanjang lorong. Rute menuju menara berikutnya aman. Sejauh ini,
sangat baik. Ia menarik penutup kepala untuk melindungi kepala, kemudian—
membungkuk se- rendah mungkin dan mencengkeram dinding yang paling jauh dari
kubah terbuka—ia berjalan menuruni lorong pelan sekali, menyerupai hantu.
Ia teringat perangkap es Marcus ketika kakinya tergelincir. Tidak lama kemudian, ia
jatuh di atas lantai, tidak mampu menahan rasa nyeri sambil terengah-engah—yang
mungkin saja menggema dan terdengar di seluruh bagian kastil. Untuk beberapa detik ia
berbaring dengan napas memburu, menunggu cahaya untuk menyebar dan
menyorotnya.
Kemudian, dengan bingung, ia berusaha untuk bangkit, ber- kali-kali tergelincir di atas
es.
Marcus sialan... Ini semua scdahnya. Semuanya.
Ia berdiri tegak. Oke. Melangkah di atas es, berdiri mantap di atas lantai... Sejauh ini,
sangat baik...
Teriakan keras menggema menembus kastil.
”Di Sana!”
Emily berlari sekuat tenaga.
’’Lampu, bawa lampu ke sini!”
Keributan meledak di kastil, orang-orang memanggil, sepatu bot berlarian, cahaya
berputar-putar seperti kembang api melewati jendela dan kubah. Cahaya kuning besar
ber- ayun-ayun melintasi ruangan utama yang terbuka. Burung- burung gagak
beterbangan dari sarangnya dan berkaok-kaok di atas langit hitam. Dan di tengah-tengah
semua itu, Emily

sampai di menara pojok, melewatinya seperti angin, clan tiba di lorong berikutnya,
mendekati reruntuhan dinding yang me- lintang.
Emily lolos dari lampu sorot, ia tiba di lubang masuk dalam kegelapan. Tali itu, di mana
talinya? Jarinya yang meraba-raba berulang kali terjepit di antara palang dan ambang
yang ber- salju. la punya waktu yang sangat sedikit—setiap saat mereka bisa saja
menemukannya... Di sana! Ia melihatnya, basah, di- gulung, tertutup salju. Masih terikat
di palang. Mengerahkan seluruh tenaganya, Emily memungut tali dan melemparkannya
ke udara. Bunyi tamparan yang terdengar ketika tali itu me- nyentuh dinding di bawahnya
hampir tenggelam oleh gelom- bang teriakan di belakang Emily.
Sambil menangis ketakutan, Emily berjuang melangkah ke ambang tembok, meraih
tali, dan menyelip di bawah palang, siap untuk turun. Dan masih saja mereka belum
muncul, tidak ada cahaya, tidak ada polisi, tidak ada apa-apa.
la akan beihasil, ia akan segera keluar dari kastil..
Kemudian, ketika ia berdiri di bibir tembok, siap untuk turun menuju kegelapan yang
aman, ia mengerti kenapa me- reka tidak muncul.
Sekilas ia melihat semuanya. Melalui lengkungan di se- berangnya, melintasi ruangan
utama yang besar dan remang' remang, ia bisa melihat menara yang paling tinggi, dua
loteng yang masih utuh di atasnya. Puncak menaranya diterangi ba- nyak lampu, dan
banyak orang berdiri di atasnya. Mereka se- mua menatap arah yang sama, pada satu
titik sedikit jauh dari menara pengintai bobrok yang memanjang dari sisi menara. Mereka
tidak bisa sampai ke menara pengintai dari menara tanpa menyeberangi palang
pengaman, dan mereka tidak dapat
266

menyeberangi palang pengaraan karena takut mengagetkan sosok kurus yang berdiri,
diterangi cahaya lampu sorot, di atas batu yang hancur. Ia menggerakkan tangannya
dengan liar. Orang'orang di atas menara tiba-tiba terdiam.
Emily bisa menebak apa yang dikatakan Marcus dari cara- nya terns menunjuk ke
tempat gelap yang ada di balik tembok. Situasi yang genting, batu tempatnya berdiri
berada tepat di ujung menara pengintai yang masih tersisa. Di belakangnya lampu-lampu
menerangi beberapa reruntuhan batu, tapi ke- banyakan tembok sudah hancur dan jatuh
berantakan ke Iantai yang ada di bawahnya. Lubang hitam menandai tempat langit' langit
ruangan di bawahnya juga sudah runtuh.
Marcus terpojok. Ia tidak bisa melarikan diri ke mana pun. Hidup-hidup, maksudnya.
Ia mengancam akan melompat.
Metnikirkan hal ini Emily diliputi kemarahan besar ter- hadap keras kepalanya Marcus
dan kebodohannya yang egois. Silakan, melompadah! Aku tidak akan peduli. Kalau ia
tidak mau menyelesaikan semuanya dengan pantas, kalau ia ingin terus mengikuti
rencananya yang bodoh daripada menghadapi masalah di depannya, biarkan saja ia
jatuh! Aku akan pulang untuk mandi dan makan. Setidaknya tubuhku akan wangi ketika
polisi datang untuk menginterogasiku.
Marcus sudah melibatkan dirinya dalam kekacauan ini. Jika bukan karenanya mereka
tidak akan pemah berpikir untuk memasuki kastil, dan ia, Emily, tidak akan pemah punya
ga- gasan untuk bermalam di sana. Semuanya salah Marcus! Me- reka tidak akan pemah
dikepung oleh belasan polisi, Tuhan pun tahu berapa banyak petugas pemadam
kebakaran, pekerja sosial, dan pengikut-pengikutnya. Mungkin juga ada wartawan

di luar pintu masuk sekarang. Kalau bukan karena Marcus, hal paling buruk yang
mungkin menimpa Emily adalah Harris me- larangnya berseluncur. Betapa akan sangat
ringan hukumannya kalau begitu adanya!
Tanpa Marcus tidak akan pemah terjadi apa-apa. Tapi ke- brutalan ayahnyalah yang
membuatnya bertindak seperti ini, tidak peduli apa yang sudah diceritakan polisi bodoh
itu. Meltmcur cepat di atas es—betapa dungunya? Marcus dipaksa untuk melarikan diri—
dan sekarang, tidak terhindarkan lagi, ia sudah tertangkap. Ia lebih terpojok sekarang
dibanding se- belumnya, dikelilingi, dikepung.
la melihat lagi pada satu-satunya sosok yang ada di menara pengintai. Sosok itu
sedang membungkuk sekarang, mungkin kelelahan, dan dengan setiap embusan angin
kencang sosok itu sedikit beigoyang. Orang-orang di atas menara sedang berbicara
padanya lagi—tidak diragukan lagi penuh dengan janji, per- mohonan, dan kata-kata
yang menenangkan hati—dan tiba- tiba, dalam suasana yang sangat dingin, Emily sadar
bahwa Marcus tidak akan mengalah pada mereka. Ia memang ter- pojok, tidak berdaya,
tapi ini tidak berarti ia akan menyerah. Harga dirinya terlalu tinggi.
la tidak akan menyerah. Ia mungkin lebih baik melompat. la memang sebodoh itu.
Tangan Emily sakit karena terlalu kencang mencengkeram tali. Ia berdiri di ambang,
dengan kesempatan untuk bisa me-larikan diri beberapa menit yang lalu. Di sisi lain kastil,
Marcus duduk di atas bongkahan batu kecil, maut di samping- nya. Mereka tidak akan
pemah berhasil membuamya turun. Mereka tidak berbicara dengan bahasa yang tepat.
Marcus ter- kepung, kebal terhadap nada suara mereka yang masuk akal,

janji'janji mereka yang penuh dukungan. Ia akan melompat atau jatuh.


Benak Emily dipenuhi berbagai macam pikiran. Ia tidak bisa meninggalkannya. Ia
mengenal Marcus lebih baik daripada orang-orang itu. Tangannya mati rasa, ia memanjat
melewati ambang menuju palang. Kemudian ia menunduk di bawah palang dan
menjatuhkan diri kembali ke dalam kastil. Tanpa memedulikan diri untuk bersembunyi,
ia berjalan balik pelan- pelan dari arah ia datang.
Ketika Emily hampir sampai di ruangan masuk utama, tiba-tiba ada suara yang
memberi sinyal bahaya padanya. Melangkah menembus bayangan, ia melihat banyak
orang menuruni tang- ga spiral. Kecuali bunyi langkah kaki mereka, mereka diam saja.
Mereka melintasi ruangan dan menghilang. Untuk sesaat Emily tercengang, tapi
kemudian ia menebak alasannya. ”Me- reka mengosongkan kastil,” pikimya. ’’Berusaha
untuk me- ngurangi tekanan terhadap Marcus.”
Ketika perpindahan itu selesai, Emily melanjutkan langkah- nya menuju ke ruangan
masuk utama. Suara menggumam dari atas menandai tidak semua orang pergi—
perundingan dengan Marcus masih berlangsung. Emily bisa mendengar suara Marcus,
lebih keras dan lebih melengking dibandingkan suara- suara lainnya. Sepertinya Marcus
masih gelisah.
Emily menaiki tangga spiral untuk terakhir kalinya, menuju mangan di lantai dua, tepat
di bawah atap menara. Tempat itu tidak pemah ia selidiki dengan menyeluruh
sebelumnya. Sese- orang meninggalkan lampu logam besar bersandar pada dinding di
sebelah tangga. Cahayanya membagi ruangan menjadi dua, rnemancarkan cahaya
kuning terang di atas Iangit-langit dan

269

dtnding di seberangnya, semen tara bagian lainnya daiam bavang-bayang. Dulunya


ada empat jalan keluar dari ruangan iru. Tcrhalang palang dan sarang burung, tapi kubah
yang ke- empat, meskipun gelap gulita, terbuka.
Suara Marcus terdengar jelas melalui kubah ini, dan Emily mulai mendengar scbagian
yang ia katakan: ’’...kalau aku ke- luar kalian akan mengurungku, aku tidak bodoh... aku
meng- ambil mihkku dan apa yang menjadi hakku... ketika kalian mcnerobos, masuk
iniiah yang kalian dapatkan...” Ia berbicara rerlaiu cepat, kata-katanya tidak jelas. Emily
mempercepat lang- kah, melintasi mangan, dan mengamati melalui lengkungan kubah.
Di baliknya ada jalan kecil yang sempit yang dulu mungkin mengarah ke balkon di
sekeliling ruang utama. Un- tuk beberapa meter pertama ruangan itu gelap dan beratap,
tapi setelah itu langit-langitnya tiba-tiba berakhir dan atap jalan kecil itu diterangi cahaya
lampu dari atas. Emily sadar ia berada tepat di bawah menara pengintai tempat Marcus
ber- diri.
Ia berjalan sedikit jauh di sepanjang lorong sampai ia me- langkah di udara terbuka.
Salju yang tebal berderak di bawah kakinya. Cahaya putih yang sangat terang menyinari
dinding yang runtuh di sisi lain, yang lebih rendah dan retak, ujungnya adalah batu dan
es yang berantakan. Sedikit lebih jauh, lantai lorong akan berbahaya untuk dipijak dan
palang menghalangi jalan. Bangunan batu di baliknya diselubungi rumput yang me-
nyembul menembus salju.
Emily berbalik dan menatap. Marcus berdiri beratapkan langit, dari pinggir ia terlihat
seperti patung batu gargoyle yang disinari lampu. la membungkukkan badannya dengan
kikuk, tangannya mencengkeram bebatuan kasar menara pengintai di
samping kakinya. Penutup kepatanya menggantung lepas dan robek, rambutnya kusut
dan berantakan, perban di pelipisnya terlihat tebal oleh sesuatu yang gelap. Ia
memandang lantai dan sebagian besar wajahnya berada dalam bayangan. Sese- orang
di ujung sedang berbicara padanya—suaranya rendah dan kata-katanya menenangkan—
dan dengan terkejut Emily me- nyadari bahwa ia sudah pemah mendengar suara itu
sebelum- nya. Lelaki itu bukan petugas kepolisian yang berbicara—ia ayah Marcus.
”—kau tidak ingin ada di sini,” suara itu berkata. "Tidak seorang pun dari kita ingin
berada di sini. Turunlah dan kita akan menyelesaikan semua masalah."
’Pergilah.” Suara Marcus hampir tidak dapat dikenali. ”Aku tidak mau berbicara
padamu. Aku tidak mau melihatmu. Mun- durlah atau aku akan melompat! Aku akan
melakukannya!”
’Kalau kau turun, kau tidak perlu melihatku, aku janji. Aku akan menjauh—Sepanjang
aku tahu kau selamat, aku akan senang.”
Dalam kegelapan di bawah, Emilly mengertakan giginya. Kemunafikan lelaki itu
memuakkan! Suaranya yang membujuk hampir meyakinkan, kau hampir saja bisa
percaya lelaki itu peduli. Tapi tidak ada gunanya untuk Marcus sekarang. Ia
mengkhawatirkan Marcus. Tanpa meninggikan suara sehingga tidak menarik perhatian
orang lain, Emily segera berbisik.
’’Marcus.1”
Tidak berhasil. Marcus semakin menjauh darinya, tidak dapat mendengamya. Emily
terlalu jauh di bawah, hampir tidak kelihatan. Emily mengamati dinding. Salah satu bagian
dalamnya rendah, hanya setinggi pinggangnya, tapi di depan- nya tinggi menjulang.
Lebamya sekitar satu meter, ketebalan
271

ini yang memisahkannya dari dua loteng yang mengerikan yang runtuh ke dasar
ruangan utama. Loteng itu juga tertutup salju dan es.
Dalam keraguan, Emily mengawasi Marcus lagi. Badannya bergoyang lemah,
sepenuhnya kelelahan. Emily mengumpat— pasti Marcus tidak bisa berpikir jemih. Ia
akan melompat, Emily tahu Marcus akan benar-benar melompat. Kecnali...
Dengan sembrono, Emily mengangkat kakinya ke atas tern- bok, kemudian berguling-
guling di atas batu. Salju yang tebal membasahi wajahnya dan merembes menembus
celana jinsnya. Dengan hati-hati ia menapak dengan kedua tangan dan kaki' nya,
berusaha untuk tidak memperhatikan ruang hampa yang gelap di samping, dan mulai
berjalan setapak demi setapak menaiki bangunan yang miring dan curam.
Di atas, di antara lampu, ayah Marcus masih berputar-putar dengan kebohongannya.
"Berapa kali aku harus meminta maaf? Aku tahu aku sudah memarahimu ketika kau
kabur, tapi kau membuatku khawatir, itu saja. Aku tidak ingin ada sesuatu yang
menimpa—”
’’Yeah, benar. Ayah hanya ingin mengurungku, Ayah me- larang semua yang aku
lakukan—”
"Tidak, aku tidak begitu! Dan bahkan jika aku melakukan- nya, itu juga terjadi padaku,
Marcus. Kau juga menyakitiku.” Sedikit jauh di bawah, wajah Emily kelihatan sangat tidak
percaya. Ayah Marcus benar-benar tidak tahu malu! Ujung batu menusuk telapak tangan
dan celana jinsnya setiap ia me- rangkak ke depan. la tidak bisa melangkah lebih cepat—
re- runtuhan menjadi lebih curam di sini—tapi jika ia bisa ber¬jalan sedikit lebih tinggi,
Marcus mungkin bisa mendengar suaranya.
272

Marcus menyeringai sekarang. ’’Menyakiti Ayah? Oh, ya? Bagaimana caranya?”


Suara itu berhenti sebentar, kemudian lanjut berbicara. ’’Su- lit untuk kita berdua,
sejak ibumu—”
"Bagaimana aku menyakiti Ayah?”
”Yah, semua hal yang kaukatakan tentangku."
”Aku tidak mengatakan apa-apa!”
’’Tentang wajahmu—bahwa aku melakukannya...”
”Jadi? Ayah memang melakukannya! Seperti itulah.” ’’Marcus—”
’’Kalau aku nggak begitu takut pada Ayah aku tidak akan mungkin pulang ke rumah
buru-buru, kan? Aku akan lebih berhati-hati. Tapi aku khawatir—Aku nggak
memperhatikan sudut jalan itu. Makanya aku tergelincir. Mengerti, kan? Ini salah Ayah.”
"Itu berbeda dengan memukulmu, Marcus...”
’’Yeah, hmm. Boleh dikatakan begim.”
Emily sudah berhenti memanjat. Wajahnya menekan per- mukaan salju. Ia merasa
seolah habis ditinju perutnya—ia sulit bemapas. Mungkin ia akan muntah, pikimya.
Marcus sudah berbohong. Polisi itu benar. Marcus hanya mengarang cerita. Wajah,
pukulan, semuanya. Bohong... semua- nya bohong.
Apakah Marcus lebih dipicu oleh kecintaannya pada kastil ini atau kebenciannya pada
ayahnya, ia tidak tahu atau peduli.
Ia ada di sini sekarang, bergantung di dinding yang runtuh, mempertaruhkan lehemya
demi hal ini. Kepala Emily pusing. Semua ini—semua kekacauan ini adalah hasil kerja
Marcus dan hanya Marcus! Semua ini hasil rekayasa Marcus dan muslihatnya, kisah
sejarahnya yang simpang siur dan apa yang
273

dicemukan Marcus di sana, sudah memikat mereka untuk masuk dan membuat mereka
tetap tinggal di sana. Ceritanya sudah meyakinkan mereka, berkali-kali, tidak peduli
betapa tidak masuk akalnya cerita itu. Mereka bodoh, mereka ber- dua—Simon, sekarang
berada dalam mobil poiisi menembus kegelapan, Emily, terentang di atas salju di puncak
reruntuhan. Benar-benar tolol. Dan Marcus sudah menyeret mereka berdua dalam
kekacauan.
Saat Emily telentang di sana, dalam keputusasaan ia men- dengar suara percakapan
lagi.
”Kita sebaiknya jangan berselisih soal itu, Nak. Tidak se- orang pun tertarik mendengar
siapa yang mengatakan apa. Kami hanya ingin kau turun.”
"Susah.” Bagi Emily suara Marcus sekarang kedengaran se- perti suara seorang anak
yang sedang merajuk.
’’Yang mengagetkanku adalah kenapa kau ada di sini. Lagi pula, apa pentingnya
tempat ini untuk mu?”
Marcus diam saja.
’’Apakah karena ini bagus untuk permainan, begitukah? Bagus untuk permainan?”
”Permainan? Yeah, Ayah akan berpikir begitu.”
”Jadi kenapa kau datang ke sini? Ayah tidak bisa memahami- nya, Nak. Ayah tidak
mengerti.”
Marcus tidak segera menjawab, dan ketika ia menjawab, suaranya terdengar marah
dan ragu. ’Tempat ini memberiku sesuatu. Tempat ini membuatku merasa...” ia berhenti,
mulai lagi. ’Tempat ini... Berada di tempat ini lebih baik daripada berada di luar sana, itu
saja,” ujamya. ’’Nggak ada apa pun untukku di luar sana. Nggak ada apa-apa.”
Hening dan bingung. "Jawaban macam apa itu, Marcus?”
274
Suara itu mengandung nada jengkel. ’’Perbuatanmu tidak masuk akal. Ibumu bilang
kau adalah anak lelaki yang pintar. Menurutmu apa yang akan dikatakan ibumu jika ia
men' dengarmu sekarang?”
Pertanyaan ini membuat Marcus marah. ’’Bagaimana Ayah bisa tahu apa yang akan
dikatakan Ibu?” ia berteriak. ’’Enyah- lah!”
Ayahnya berteriak gusar. ’’Baiklah, Ayah sudah bosan de- ngan semua omong kosong
ini. Kami semua sudah bosan. Aku akan datang untuk membawamu turtm.”
Emily mendengar teriakan Marcus yang bingung dan putus asa.
’Tidak! Pergilah! Aku akan melompat kalau Ayah berjalan lebih dekat!”
Suara yang tenang segera berbicara pada ayah Marcus, dan suara kebingungan pun
tiba-tiba berhenti. Hening, ayahnya tidak berbicara lagi.
Emily menoleh dari atas bahunya. Marcus setengah berdiri di atas batu, cahaya lampu
yang terang menerangi rasa putus asa di wajahnya. Melihat ini, semua kemarahan Emily
yang sempat terpikirkan tentang menuruni tali dan meninggalkan Marcus, menghilang
meninggalkan jawaban yang menenangkan.
Pembohong atau bukan, ia tahu apa yang ingin Marcus dengarkan, dan tidak seorang
pun mengatakannya. Emily harus melanjutkan langkahnya.
Perlahan-lahan, kesakitan, ia mendorong tubuhnya lebih jauh di sepanjang bam-batu
yang bergerigi, dan dalam beberapa saat ia muncul di terangnya cahaya lampu. Dengan
menggeliat pelan, ia berputar hingga punggungnya bersandar pada hangunan batu, dan
ia bisa melihat Marcus seutuhnya.
275

la bcrada di bn cat menara pengintai sekarang, masih di bawah Marcus tapi cukup
tinggi untuk mengamati melewati atap menara. Tiga orang berdiri di sana. Sulit
mengenali wajah mcreka di rengah cahaya lampu sorot yang menyilaukan, tapi salah
satunya adaiah ayah Marcus, yang bin adalah kepab pe- tugas kepolisian. Mereka baru
saja melihat Emily. Seseorang mcmanggil sesuatu, Emily mengabaikannya, tapi Marcus
mendengamya dan perlahan-lahan menatap Emily.
"Baiklah, Marcus,” katanya lembut. Ada darah di pelipis Marcus dan wajahnya pucat
dan bengkak. Ketika ia menoleh, matanya berkaca-kaca.
”Em!” suaranya serak, tapi terdengar senang. ’’Kupikir me- reka sudah menangkapmu
dari tadi.”
’Tidak ” Ia tidak yakin bagaimana harus menibinya, nada suara seperti apa yang harus
didengar Marcus. "Tidak, mereka nggak pemah menemukanku.”
"Keren. Kau sembunyi di mana?”
"Dalam oven.”
Emily mendengar Marcus tertawa pelan. "Yang benar saja! Lebih baik daripada di
cerobong asap.” Suaranya menghilang. "Simon tertangkap, aku mendengamya.”
"Yeah.”
"Mereka mencium bau asap, Em. Aku begitu kedinginan jadi aku merokok. Mereka
menciumnya seperti yang biasa kau- katakan. Mereka datang mencariku.” Sebuah ide
melintas di benaknya, "Kenapa kau naik ke atas sini, Em? Barangkali tadi kau bisa saja
melarikan diri.”
"Karena aku melihatmu. Aku datang untuk menolongmu.” "Baik sekali, tapi nggak ada
yang bisa kita lakukan sekarang. Kastil ini berhasil dikuasai orang. Semuanya sudah
berakhir.”
276

Kepalanya bersandar di lututnya dan suaranya menggumam dan lesu hingga Emily
hampir tidak dapat mendengamya.
”Kita sebaiknya turun sekarang, Marcus,” katanya. "Kira harus meninggalkan kastil ini
bersama-sama.”
’’Untuk apa? Mereka terus mengatakan kalimat yang nggak masuk akal padaku, tapi
aku tidak memercayainya. Nggak nyata seperti ini. Dad ada di sini, kau rahu, ia juga mau
aku pulang, katanya. Mereka menjanjikan hal-hal seperti itu—tapi semuanya aneh, aku
nggak bisa melihat bagaimana janji-janji itu akan berguna bagiku. Entahlah. Aku nggak
mau dipusing' kan dengan semua itu, Em. Aku lelah. Semuanya begitu men- jemukan.”
’Tidak harus seperti itu. Mungkin kau hanya perlu memer- cayai mereka...”
Suaranya tiba-tiba mengeras. ’’Kenapa harus begitu? Dan kenapa pula aku harus
percaya padamu?” Kepalanya diangkat dari lututnya, matanya yang tersembunyi
menatap jemu pada Emily. ’’Mereka nggak mengirimmu ke sini, kan? Memberitahu- mu
apa yang harus kauucapkan?”
’’Jangan bodoh! Setelah semua kejadian ini, setelah semua yang kita lewati, kaupikir
aku akan berkhianat sekarang?” Emily berusaha menyimpan kemarahannya di bawah
kontrol emosi yang kuat, sekarang kemarahannya meledak sedikit, tapi bahkan ketika ia
berbicara ia sadar bahwa dirinya sedang me- nyerap jenis bahasa yang dimengerti
Marcus. Marcus meng- angkat bahu, agak tenang.
’’Mungkin,” katanya enggan. "Yeah, cukup adil, aku percaya padamu. Tapi semuanya
percuma, Em. Aku berusaha memberi¬tahu Dad, sebelum kau naik ke sini, soal kastil,
tentang apa artinya kastil ini. Mereka semua menanyakan padaku apa yang
u
r
tl

277

kita lakukan, apa yang kita inginkan. Dan bodohnya adalah aku nggak bisa
menjawabnya... Aku tidak bisa mengucapkan- nya dengan kata-kata hingga mereka bisa
mengerti. Mungkin karena lampu, atau karena melihat Dad, aku tidak tahu, tapi aku tidak
bisa berpikir. Aku terdengar seperti orang bodoh. Yah..."
Ia memandang kegelapan, mungkin memperhatikan kejauh- an, cahaya dari lampu
rumah yang tidak dikenal. ”Di sini semuanya sudah berakhir untuk kita,” ujamya, ”dan
kau tahu nggak ada apa-apa untukku di luar sana. Jadi aku memutuskan aku akan... tapi
terlalu jauh... dan aku belum menyelesaikan- nya.”
Dalam bayangan jalan kecil yang ada di bawah, Emily melihat sebuah gerakan. Salah
satu pengawas dari menara tu- run untuk mencegahnya melarikan diri. Mungkin
ketakutan bahwa ia pun akan mengancam untuk melompat, sosok itu mundur hampir
tidak terlihat. Ia tak menghiraukannya, mata- nya tetap menatap Marcus lekat-lekat.
’’Kalau kau melakukan hal itu,” katanya keras, ”kau akan kehilangan bagian terbaik
dari semuanya.”
Sosok bungkuk di atas menara pengintai menatapnya lagi. "Bagian yang mana?” tanya
Marcus.
"Menurutmu mereka akan diam saja sekarang?” Emily ber- bicara dengan pemyataan
tegas. Ia sekarang tahu apa yang akan dikatakannya. ’’Setelah semua orang yang datang
kemari dari seluruh penjuru negeri untuk mengusir kita? Kita bertiga, Marcus—itu saja,
jangan lupa—hanya kita bertiga yang sudah bertahan dari serangan ini sepanjang hari.
Mereka datang di pagi hari, dan kita bertahan dari semua serangan mereka sam- pai
malam tiba. Menurutmu mereka akan diam begitu saja?
278
Menurutku tidak demikian. Semuanya akan dimuat di koran besok—dan bukan hanya
koran lokal. Semua koran. Kenapa? Karena tidak pemah ada yang mengalami kisah
seperti ini!” "Tidak selama ratusan tahun, di sini,” kata Marcus, me- nunjuk batu.
"Atau di mana saja. Tidak hanya di sini, Marcus. Di mana saja. Kisah ini lebih baik
daripada cerita yang mereka tulis dalam buku-buku petunjuk usang, dan kau tahu itu.
Sebagai permulaan, coba pikirkan dirimu dan Simon. Berapa lama ia terus menembaki
mereka, mempermalukan pasukan utama? Mungkin sekitar setengah jam—kau dan dia,
berdampingan me la wan banyak pasukan. Dan mereka nggak bisa masuk sam- pai kau
diserang dari belakang! Mereka nggak pemah bisa menembusmu, Marcus, pikirkan itu.”
Ia menatap Marcus lekat-lekat, melihatnya mengangguk setuju,
"Dan hal lainnya adalah,” sambil terengah-engah, Emily melanjutkan kata-katanya
selagi di atas angin, "hal lainnya adalah kau nggak pemah tahu keseluruhan kisah ini!
Apa yang aku alami? Kau nggak tahu apa yang aku lakukan selama serangan terjadi.
Ketika kau dan Simon sibuk, aku menahan pasukan kedua dari jendelaku. Aku
menjatuhkan mereka berenam dari tangga dengan melemparkan topi yang penuh salju
ke kepala mereka! Mereka jatuh bertumpukan—kau sehamsnya melihatnya! Kepala
duluan menyentuh tumpukan salju, enam pasang kaki biru menggeliat! Mau membaca
tentang hal itu di koran besok? Kau pasti mau.”
Suara Emily sudah kembali normal, menambah laju imaji- nasinya dengan baik. "Dan
apakah kau melihat dua lelaki jungkir balik di perangkap es? Tidak? Aku melihatnya.
Mereka
279

hampir saja jaruh dan tepi, luar biasa! Seorang polisi dan se- orang pemadam
kebakaran, berdampingan, bertahan dengan menggunakan ujung jari mereka. Dan ada
satu orang lagi yang aku jebak di dalam sumur—la pasti menyesal sudah mengejar- ku,
bisa kukatakan begitu padamu... Jangan bilang kau me- nyerah sebelum mendengar
semuanya!”
"Suraur? Benarkah.7” tanya Marcus.
"Maksudku," jelas Emily, ’’setelah pertempuran seperti itu, menyerah hanya dengan
salah satu anak buahmu bukanlah perbuatan tercela. Yang tidak layak untuk dihormati
adalah melarikan diri dari musuh, maka aku nggak melarikan diri ke- tika punya
kesempatan. Dan hal itulah yang akan kaulakukan jika kau memiliki kesempatan yang
sama.”
Emily selesai. Marcus menunduk di tempatnya, wajahnya berada dalam bayangan.
Emily memandang cepat pada sosok- sosok yang ada di atas menara, tapi cahaya lampu
terlalu terang dan ia tidak dapat melihat wajah mereka.
”Kau benar, Em.” Marcus menjatuhkan satu kaki, kemudian kaki satunya, di atas batu
dan mendorong dirinya, mendarat di atas salju di pinggir menara pengintai. ’’Benar-benar
aneh. Aku kehilangan arah untuk beberapa saat—aku nggak dapat mema- hami apa yang
baru saja kita lakukan—aku yakin cahaya lampu yang membuatku begitu. Tapi kau benar.
Apa yang kita lakukan lebih baik daripada semuanya yang pemah terjadi se- belumnya,
setidaknya sejak Hugh ada di sini. Kita bisa bi- lang...”
Sebuah bayangan hi tarn muncul di belakang Marcus, me- nutupinya dengan
bayangan. Cahaya bersinar terang di seke- lilingnya ketika menyorot untuk
mengamankan Marcus. Emily menjerit. Marcus setengah berbalik, menjauh dari sosok
itu,
280

dan kehilangan keseimbangan. Kakinya tergelincir dengan cepat di tepi menara


pengintai, kemudian la roboh dengan posisi miring. Polisi memegang udara yang tipis.
Marcus meng- hilang tanpa suara ke dalam kegelapan pekat, diikuti suara benda jatuh di
atas salju.
Suara tertahan terdengar dari lantai jalan kecil.
Beberapa orang berteriak. Emily menjerit. la berjalan cepat menuruni tepi dinding,
kemudian melompat ke jalan kecil, mendarat di atas kakinya.
Marcus telentang, mata terpejam, satu lengan menekuk ganjil di bawah tubuhnya.
Seorang perempuan berlari dari lo- rong dan berlutut di sampingnya, tapi Emily
mendorong pe- rempuan itu dan membungkuk di samping kepala Marcus.
’’Marcus!”
Marcus membuka matanya. ’’Orang-orang selalu memotong pembicaraanku, Em. Kau
harus membiasakan diri dengan hal itu.” Suaranya melemah, tapi ia menyeringai seperti
dulu.
’’Jangan bergerak,” katanya.
”Aku nggak tahu kau bisa bercerita begitu bagusnya. Kau benar-benar berhasil
membuatku kagum.”
Emily tidak dapat menahan diri lagi. Pertanyaan mengge- legak di dalam dirinya.
’Tentang ayahmu. Kenapa kau men- ceritakan hal seperti itu, Marcus? Kenapa kau
mengarang cerita?”
Ekspresi ragu sekilas melintasi wajahnya.
”Aku tidak tahu, Em.” la mengerutkan dahi. ’’Sepertinya dengan demikian akan
terdengar lebih bagus. Lebih nyata, le- bih keren. Memberiku alasan...”
Emily menunggu Marcus menyelesaikan kalimatnya, tapi
281

pikiran Marcus berubah. ’’Em—apakah ada yang benar-benar terjatuh ke dalam


sumur?”
’Tidak. Aku bohong.”
”0h. Menurutku itu terlalu bagus untuk dipercaya.” Mata- nya terpejam, kemudian
terbuka lagi.
’’Apakah menurutmu koran-koran akan mewawancarai kita?” la bergeser sedikit. ”Ah,
lenganku—! Maksudku, maksud- ku, kita nggak mau mereka salah mengartikannya."
”Kita akan memikirkan hal itu nanti. Jangan bergerak. Dan jangan gerakkan
lenganmu.”
Marcus kelihatan puas. Ia memejamkan mata. Emily duduk di atas salju di sebelahnya.
Ia bisa mendengar suara dari radio entah di mana dan langkah kaki menembus ruangan
kosong kastil itu.
’’Apakah kau baik-baik saja, Katie?” tanya suara di atas bahunya.
la tidak menoleh.
’’Narnaku Emily,” katanya.

282

PROFiL PENGARANG
JONATHAN STROUD adalah penulis best-seller Bardmaeus Trilogy, The Leap, dan
Buried Fire di New York Times. Ia tinggal bersama keluarganya di Inggris.
THE BARTIMAEUS TRILOGY:
AMULET SAMARKAND
Nathaniel, si penyihir fnuda, neicat memanggil Bartimaeus, jin yang sudah berumur
$.000 tahun. la menyuruh jin itu mencuri Amulet Samarkand miiik Simon Lovelace, master
penyihir feejam yang memper- malukannya.
Bersama Bartimaeus yang ogah-pgah- an membantu, Nathaniel pun lamas terlibat
dalam intrik sihir yang penuh darah, pemberoncakan, dan pembunuh- an.
MATA GOLEM
Berkat kepandaiannya, Nathaniel sekarang menjadi menteri junior Salah satu tugasnya
adalah memberantas kelompok pemberontak Resistance yang melakukan perusakan di
berbagai tempat di London. Tetapi temyaca bukan hanya kelompok itu yang hams
dihadapi Nathaniel. Ada suatu kekuatan sihir tidak dikenal dan membingungkan yang
juga terlibat.
GERBANG PTOLEMY
Karena terlalu lama di burai, energi Bartimaeus memudar dengan cepat. Sementara
itu Kitty, anggota Resistance yang jadi buronan, melakukan riser tentang sihir dan
demon. Bersama Nathaniel, ketiganya berhasil membongkar konspirasi mengerikan yang
melibatkan penyihir dan jin tingkat tinggi, serta menghadapi ancaman paling berbahaya
sepanjang sejarah sihir
GRAMEDIA pen erbit buku utama
Halli sangat suka mendengarkan kisah-kisah pertempuran lama, ketika lembah masih
merupakan tempat liar, dikepung monster-monster Trow yang haus darah.
Halli kecewa sekarang semua orang hanya sibuk bertani. Tapi ketika perseteruan lama
kembali berkobar, ia melihat kesempat- an untuk beraksi bagai para pahlawan pujaannya.
Bersama Aud—gadis yang ceroboh dan keras kepala seperti Halli—ia temyata malah
menemukan kebenaran ten tang legen- da, lembah, dan diri mereka sendiri.
GRAMEDIA penerbit buku utama

Suatu hari di bukit bersalju dekat parit kastil kuno, tiga remaja kesepian:
Emily, Simon, dan Marcus yang mistenus dan sangat imajinatif bertemu secara tak
sengaja.
Pada mulanya, reruntuhan kastil itu tak lebih dari bangunan biasa. Namun sewaktu
mereka bertiga menerobos masuk ke kastil terlarang itu dan mengetahui sejarah pi
baliknya, pandangan mereka terhadap pangunan itu pun berubah. Kastil itu tampak
berbeda, lebih bermakna. Dan meskipun cuaca luar biasa dingin, mereka memutuskan
untuk menginap di sana, demi mengalami seperti apa rasanya menduduki kastil.
% Siapa sangka keisengan itu berkembang THE di luan kendali dan malah melibatkan
T » n'T pengepungan sungguhan? Lengkap dengan polisi, pemadam sr^ j
kebakaran—rasanya seperti \ I Hr j
mengalami sejarah kastil itu secara Mj 4
iiya%|i
<■1(8
Kisah menegangkan ini bergulir cepat menufu hlimaks.
—Daily Telegraph
I
ITSBN: 978-979-22'^1 ’
PenerbK
PT Gramedla Pus taka Ulema Kompas GramaSie Building Blok I, Lantal 5^,
Jl Palmerah Barat 2QQF ' Jakarta 10270
GM 32201110022

Anda mungkin juga menyukai