Anda di halaman 1dari 6

ANALISIS PERBUATAN MELAWAN HUKUM DAN PERIKATAN

AUDIT INVESTIGASI: PT WASKITA KARYA

Oleh:

Shania Marcella J. (12016000358)

Evelyn (12016000455)

Zahra Kamila Z. (12016000550)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA

JAKARTA

2019
I. Kronologis kejadian

PT. Waskita Karya adalah salah satu BUMN Jasa Kontruksi yang diduga

melakukan rekayasa laporan keuangan. Di tengah hebohnya pelaksanaan

implementasi Good Corporate Governance (GCG) BUMN, kasus ini memberikan

tamparan keras untuk Kementerian Negara BUMN. Kasus Waskita, yang disebut-

sebut sebagai Enron-nya Indonesia menunjukan bahwa Kementerian Negara

BUMN perlu berupaya lebih keras lagi dalam implementasi GCG di BUMN.

Terbongkarnya kasus ini berawal saat pemeriksaan kembali neraca dalam rangka

penerbitan saham perdana tahun lalu. Direktur Utama Waskita yang baru, M.Choliq

yang sebelumnya menjabat Direktur Keuangan PT. Adhi Karya (Persero) Tbk,

menemukan catatan yang tidak sesuai dimana ditemukan kelebihan pencatatan Rp

400 miliar. Direksi periode sebelumnya diduga melakukan rekayasa keuangan sejak

tahun buku 2004-2008 dengan memasukan proyeksi pendapatan proyek multitahun

ke depan sebagai pendapatan tahun tertentu.

Kasus ini memberikan beberapa pelajaran berharga. Pertama, implementasi

GCG di Indonesia ternyata masih sekedar formalitas belaka. Fakta ini terungkap

dari kengganan Direksi Waskita melaksanakan GCG di Waskita walaupun di

Waskita telah beberapa kali assessment (pemetaan) implementasi GCG namun

tetap saja kasus ini tidak terlacak. Hal ini menunjukan betapa canggih dan

cermatnya penutupan jejak dari kasus ini. Hasil assessment GCG yang dilakukan

pada akhirnya hanya menjadi hiasan lemari Direksi belaka yang digunakan sebagai

penggugur kewajiban terhadap kewajiban implementasi GCG.

1
Kedua, terlihat bahwa terjadi kerjasama sistemik melakukan rekayasa

keuangan yang dilakukan karena lemahnya fungsi internal control. Hal ini

menunjukan bahwa pihak - pihak yang melakukan internal control mulai dari

Dewan Komisaris sampai dengan Internal Audit tidak melakukan fungsinya dengan

baik. Hal ini patut disayangkan mengingat GCG merupakan alat kontrol yang di

ciptakan Check dan Balances yang digunakan dalam pengawasan pengelolaan

perusahaan.

Ketiga, Implementasi GCG pada hakikatnya adalah menjadi Corporate

Culture. Lemahnya Implementasi GCG menunjukan bukti bahwa GCG baru

sampai tataran Compliance Driven belum menjadi Culture. Tidak menjadi Culture

pada hakikatnya membuka peluang terjadinya fraud. Fraud dapat dengan mudah

terjadi apabila perusahaan mendiamkan saja terjadinya pelanggaran. Kebijakan

whistleblower belum memungkinkan terjadinya pelanggaran secara dini dinilai juga

belum diterapkan di Waskita.

II. Modus operandi

Direksi dari PT Waskita Karya melakukan kelebihan pencatatan laba bersih

pada tahun 2004-2008 dengan jumlah ±400 milyar dengan cara memasukkan

proyeksi pendapatan tahun selanjutnya ke dalam pendapatan tahun tertentu.

Direktur terkait kasus kelebihan pencatatan laba bersih :

 Bambang E. Marsono – Direktur Sumber Daya Manusia Waskita

(Sebelumnya Direktur Pemasaran dan Hukum Waskita)

 Kiming Marsono – Direktur Produksi Waskita

2
Kantor Akuntan Publik yang mengaudit:

 Kantor Akuntan Publik Ishak, Sales, Soewondo, dan Rekan (2003-2005)

 Kantor Akuntan Publik Helianto dan rekan (2006-2007)

Cara yang dilakukan manajemen agar kecurangan tidak terdeteksi oleh auditor

pada saat itu adalah sumber audit yang digunakan oleh KAP merupakan data dan

bukti yang diberikan oleh Manajemen Waskita. Data yang diberikan kepada KAP

tersebut telah disetujui dan dipertanggungjawabkan atas kelengkapan dan

kebenarannya oleh Direksi. Hal ini dilakukan sebagai jaminan bahwa tidak ada

informasi yang keliru/disembunyikan oleh Manajemen Waskita. Sehingga audit

dilakukan oleh KAP hanya berdasarkan data dan bukti yang diberikan oleh

Manajemen Waskita.

III. Analisa kasus

Terjadinya fraud ini dikarenakan memasukkan proyeksi pendapatan tahun

selanjutnya ke dalam pendapatan tahun tertentu. Seharusnya pendapatan baru boleh

diakui jika pendapatan itu terjadi di periode yang bersangkutan saja. Yang

dilakukan direksi PT Waskita Karya menyalahi aturan akuntansi karena transaksi

pendapatan yang seharusnya terjadi di tahun-tahun berikutnya dicatat dalam

periode ini misalnya. Data yang tertera menjadi fiktif.

Kelemahan yang kedua terletak pada auditor yang mengaudit PT Waskita Karya

saat itu. Auditor menerima mentah-mentah data yang diberikan manajemen

Waskita, yang mana tidak diketahui apakah data yang disetujui manajemen ini ada

andil dari manajemen sendiri dalam penyajian informasi yang keliru atau informasi

3
telah diutak-atik. Sikap auditor yang kurang skeptis kepada informasi yang

diberikan manajemen inilah yang dimanfaatkan oleh direksi agar tetap dapat

menyajikan informasi yang overstated.

IV. Sanksi

Sanksi atas Tipikor berupa penonaktifan ini dikenakan Kementerian Negara

BUMN ke dua pihak, yakni pihak direksi yang berpartisipasi dalam fraud yang

terdiri dari dua direksi dan satu mantan direksi Waskita terkait dengan kasus

kelebihan pencatatan pada laporan keuangan 2004-2007.

Dua Direksi Waskita yang sudah dinonaktifkan antara lain Bambang E.

Marsono dan Triatman. Sementara satu mantan direksi Waskita yang dinonaktifkan

adalah Kiming Marsono yang kini menjabat sebagai Direktur Utama PT Nindya

Karya.

Menteri Keuangan memutuskan untuk melakukan pembekuan terhadap KAP

Ishak, Sales, Soewondo, dan Rekan (2003-2005) serta KAP Helianto dan rekan

(2006-2007) yang terlibat dalam kecurangan pada PT Waskita Karya.

V. Rekomendasi

Agar kasus Tipikor seperti ini tidak terjadi lagi, maka kami menyarankan hal-hal di

bawah ini:

 Membangun budaya perusahaan yang baik dengan mengutamakan


integritas, etika profesi dan kepatuhan pada seluruh aturan (internal maupun
eksternal, khususnya tentang otorisasi).

4
 Dalam merekrut karyawan harus memilih yang berintegritas dan memiliki
moral yang baik, juga pentingnya integritas yang baik bagi kelangsungan
usaha perusahaan.
 Mendahulukan kepentingan publik dari pada kepentingan pribadi.
 Melakukan peninjauan atau evaluasi sistem pengendalian internal
perusahaan.
 Corporate governance dilakukan oleh manajemen yang dirancang dalam
rangka mengeliminasi atau setidaknya menekan kemungkinan terjadinya
fraud. Corporate governance meliputi budaya perusahaan, kebijakan-
kebijakan, dan pendelegasian wewenang.
 Transaction Level Control Process yang dilakukan oleh auditor internal,
pada dasarnya adalah proses yang lebih bersifat preventif dan pengendalian
yang bertujuan untuk memastikan bahwa hanya transaksi yang sah,
mendapat otorisasi yang memadai yang dicatat dan melindungi perusahaan
dari kerugian.
 Investigasi yang dilakukan auditor forensik. Dalam peranannya auditor
forensik yaitu menentukan tindakan yang harus diambil terkait dengan
ukuran dan tingkat kefatalan fraud, tanpa memandang apakah fraud itu
hanya berupa pelanggaran kecil terhadap kebijakan perusahaan ataukah
pelanggaran besar yang berbentuk kecurangna dalam laporan keuangan atau
penyalahgunaan asset.
 Penyusunan standar yang jelas mengenai siapa saja yang pantas mengisi
jabatan fungsional maupun struktural ataupun untuk posisi tertentu yang
dianggap strategis dan kritis. Hal ini harus bersamaan dengan sosialisasi dan
implementasi (enforcement) tanpa ada pengecualian yang tidak masuk
akal.
 Diadakan tes kompetensi dan kemampuan untuk mencapai suatu jabatan
tertentu dengan adil dan terbuka. Siapapun yang telah memenuhi syarat
mempunyai kesempatan yang sama dan adil untuk terpilih.

Anda mungkin juga menyukai