Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Mutisme ialah suatu keadaan hilangnya daya bicara seseorang yang


sebenarnya dapat berbicara atau keadaan di mana seseorang tidak mau
berkomunikasi dengan orang lain.

"Mutism" berasal dari bahasa Latin "Mutus" yang berarti "membisu".


Istilah ini awalnya ditemukan dalam literatur medis khusus tentang perkembangan
bicara, yang mengemukakan "fenomena tidak mau bicara". Secara ilmiah, mutism
itu suatu pertanda kebisuan pada manusia, meskipun organ pendengaran maupun
organ bicaranya normal.

Mutisme biasanya terjadi pada anak-anak entah itu di sekolah, di tempat


bermain atau di keramaian. Di tempat-tempat seperti itulah, anak cenderung betah
menutup mulutnya rapat-rapat. Anak bahkan cenderung tidak menggubris
keberadaan anak atau orang lain di sekelilingnya. Padahal di rumah, anak-anak
mutisme (mutism) merupakan anak-anak biasa, yang penuh kepercayaan diri
bercerita tentang apa saja. Tentu saja hal ini membingungkan orangtua, atau
bahkan guru-guru di sekolah. Tidak jarang anak mutisme atau anak yang menjadi
pendiam ketika berada di luar rumah dianggap anak yang tidak bisa bergaul atau
bersosialisasi dengan baik.

Mutisme harus dibedakan dari autism atau gangguan mental lainnya.


Syarat mutisme adalah anak tadinya sudah bisa bicara kemudian mogok bicara.
Kalau memang dari awalnya anak tidak bisa bicara, maka itu tidak bisa
dikategorikan mutism. Jadi sebelumnya si anak sudah bisa bicara kemudian
karena suatu sebab dia tidak mau bicara atau hanya bicara ada orang-orang
tertentu saja.

Pada orang dewasa, mutisme biasanya merupakan satu aspek dari retardasi
psikomotor yang hebat pada depresi. Pasien yang mutistik sering tampak berjuang
untuk memberikan respon, lalu kelihatan lelah dan mengurungkan niatnya. Bila

1
upaya wawancara dihentikan, pasien seolah tetap memohon diberi kesempatan
oleh pemeriksa untuk mencoba lagi. Mungkin pasien tidak mempunyai cukup
energi untuk mengungkapkan pikirannya atau lamban.

Mutisme pada lansia tidak jarang terjadi. Namun, seringkali dibingungkan


oleh depresi berat, locked in syndrome, dan persistent vegetative state , tetapi
harus dapat dibedakan karena penanganan dan prognosisnya berbeda.

Skizofrenia juga mungkin menampilkan gejala mutisme. Seperti juga pada


depresi, pasien akan menampilkan keadaan miskin pikir atau kurang energi atau
motivasi. Pasien skizofrenik mungkin terlalu takut terhadap orang lain untuk
berbicara, atau secara menyeluruh dikuasai oleh rangsangan dari dalam dirinya,
mempunyai keyakinan grandiose yang bizar tentang dirinya dalam hubungan
dengan keheningan ataau lumpuh oleh ambivalensi.

Mutisme mungkin secara sengaja diitimbulkan supaya pasien dapat masuk


rumah sakit atau untuk penundaan pemulangan dari rumah sakit. Terutama dengan
pasien yang berasal daari budaya lain, ditambah dengan kesulitan bahasa, perilaku
yang aneh di tempat umum, rasa tak percaya, keinginan untuk menghindar dari
perhatian dan pencapan yang berbau psikiatrik, atau mungkin faktor kepribadian
yang tertentu menyebabkan timbulnya mutisme tanpa gangguan psikiatrik yang
nyata.

2
BAB II

MUTISME SELEKTIF

PADA ANAK-ANAK DAN REMAJA


Mutisme selektif sebelumnya bernama mutisme elektif, tetapi telah diubah
sebagai pengakuan atas kenyataan bahwa seorang anak memilih secara selektif
dimana mereka melakukan mutisme tersebut. Mutisme Selektif masih disebut
Mutisme Elektif di beberapa daerah lain di dunia.

Murisme selektif paling baik dipahami sebagai gangguan kecemasan masa


kanak-kanak ditandai dengan seorang anak atau remaja yang memiliki
ketidakmampuan untuk berbicara dalam satu atau lebih pengaturan sosial
(misalnya, di sekolah, di tempat umum, dengan orang dewasa). Di tempat-tempat
seperti itulah, anak cenderung betah menutup mulutnya rapat-rapat. Anak bahkan
cenderung tidak menggubris keberadaan anak atau orang lain di sekelilingnya.
Padahal di dalam pengaturan lain (misalnya, di rumah dengan keluarga) anak-
anak mutisme merupakan anak-anak biasa, yang penuh kepercayaan diri dan
nyaman bercerita tentang apa saja. Tentu saja hal ini membingungkan orangtua,
atau bahkan guru-guru di sekolah.

Namun mutisme selektif ini ternyata bukan sesuatu yang populer di antara
orangtua dan guru. Ketidaktahuan orangtua dan guru mengenai mutisme selektif
ini mengakibatkan berbagai reaksi. Sebagian besar orangtua dan guru
menganggap bahwa anak tersebut memang bersifat pasif dan pendiam, dan
tentunya ini bukan masalah besar bagi mereka karena mereka menganggap
masing-masing anak memiliki keunikannya sendiri-sendiri, padahal mutisme
selektif ini perlu dijadikan perhatian penting dan perlu terapi yang segera.

Perlu diketahui juga bahwa mutisme tidak disebabkan karena gangguan


komunikasi akibat irama kelancaran (seperti gagap) dan tidak disebabkan
gangguan bicara karena gangguan mental (seperti autism).

3
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi
keempat (DSM-IV), gejala harus ditemukan selama sekurangnya satu bulan tetapi
tidak terbatas pada bulan pertama sekolah, dan gangguan harus mengganggu
pencapaian pendidikan dan pekerjaan atau komunikasi sosial. Gangguan
didiagnosis hanya jika kondisi tidak dapat lebih baik disebabkan oleh gangguan
komunikasi, seperti gagap, atau tidak diketahui tentang keterampilan bahasa yang
adekuat.

EPIDEMIOLOGI

Prevalensi mutisme selektif diperkirakan antara 3 dan 8 per 10.000. Anak-


anak kecil adalah lebih rentan dibandingkan anak yang lebih besar untuk
mengalami gangguan. Walaupun masih dalam penelitian, mutisme selektif
tampaknya lebih sering pada anak perempuan dibandingkan anak laki-laki.

ETIOLOGI

Mutisme selektif adalah inhibisi atau penolakan bicara yang ditentukan


secara psikologis. Tetapi, banyak anak dengan mutisme selektif memiliki riwayat
onset bicara yang terlambat atau kelainan bicara yang mungkin berperan.
Ketidakcocokan orangtua, depresi maternal, dan peningkatan kebutuhan
ketergantungan adalah ditemukan pada banyak keluarga. Faktor tersebut
menghasilkan perlindungan ibu yang berlebihan (over protection) dan hubungan
yang terlalu dekat tetapi ambivalen antara ibu dan anaknya yang membisu secara
selektif.

Anak-anak dengan mutisme selektif biasanya berbicara dengan bebas di


rumah, mereka tidak memiliki kecacatan biologis yang bermakna. Beberapa anak
tampaknya terpredisposisi terhadap mutisme selektif setelah trauma emosional
atau fisik awal, dengan demikian, beberapa klinisi menamakan fenomena tersebut
sebagai mutisme traumatik, bukannya mutisme selektif.

4
Kebanyakan anak dengan mutisme selektif memiliki genetik anxiety atau
kecemasan. Dengan kata lain, mereka mempunyai warisan sebuah kecenderungan
menjadi cemas dari anggota keluarganya. Sangat sering, anak-anak tersebut
menunjukkan tanda kecemasan yang parah, seperti mengamuk dan menangis ,
murung, kaku , masalah tidur , dan rasa malu yang ekstrim.

Ada sebuah penelitian dari Selective Mutism Anxiety Research and


Treatment Center (SMart Center) bahwa anak dengan mutisme selektif bias
berasal dari keluarga yang dwibahasa / multibahasa , telah menghabiskan waktu di
negara asing , dan / atau telah mengenal dan menggunakan bahasa lain selama
masa pengembangan bahasa formatif mereka.

DIAGNOSIS DAN GAMBARAN KLINIS

Diagnosis mutisme selektif tidak sulit untuk dibuat jika jelas bahwa anak
memiliki keterampilan bahasa yang adekuat dalam suatu lingkungan tetapi tidak
pada lingkungan lain. Mutisme dapat berkembang secara bertahap atau mendadak
setelah suatu pengalaman yang mengganggu. Usia onset dapat terentang dari 4
sampai 8 tahun, dan biasanya ditemukan pada lingkungan sekolah.

Periode membisu paling sering dimanifestasikan di sekolah atau di luar


rumah, pada kasus yang jarang seorang anak adalah membisu di rumah tetapi
tidak di sekolah. Anak-anak yang menunjukkan mutisme selektif mungkin juga
memiliki gangguan-gangguan cemas perpisahan, penolakan sekolah, dan
pencapaian bahasa yang terlambat. Karena kecemasan sosial adalah hampir selalu
ditemukan pada anak dengan mutisme selektif, beberapa peneliti telah
menyatakan bahwa mutisme selektif adalah suatu gejala dari fobia sosial.
Gangguan perilaku, seperti temper tantrum dan perilaku oposisional, dapat terjadi
di rumah.

Anak dengan mutisme selektif umumnya merasa tidak nyaman saat


menjadi pusat perhatian sehingga dia sering takut untuk membuat kesalahan

5
bahkan bisa sampai mengompol ketika malu (paruresis), malu makan didepan
umum, tampak dingin dan kaku, kontak mata berkurang terutama pada saat
merasa cemas.

Tabel Kriteria Diagnostik untuk Mutisme Selektif (DSM-IV)

a. Kegagalan berbicara yang konsisten di suatu sosial tertentu (dimana


diharapkan untuk berbicara, misalnya di sekolah) walaupun
berbicara di situasi lain.
b. Gangguan mengganggu pencapaian pendidikan atau pekerjaan atau
komunikasi sosial.
c. Lama gangguan sekurangnya 1 bulan (tidak terbatas pada bulan
pertama sekolah)
d. Kegagalan untuk berbicara bukan karena tidak adanya pengetahuan
tentang, atau kenyamanan dalam, bahasa bicara yang diperlukan
dalam situasi sosial.
e. Gangguan tidak diterangkan lebih baik oleh gangguan komunikasi
(misalnya gagap) dan tidak terjadi semata-mata selama perjalanan
gangguan perkembangan pervasive, skizofrenia, atau gangguan
psikotik lain.

Pedoman Diagnostik (PPDGJ)

F94.0 Mutisme Elektif

Ciri khas dari kondisi ini ialah selektifitas yang ditentukan secara
emosional dalam berbicara, dimana anak itu menunjukkan selektifitasnya dalam
hal kemampuan bertutur kata dalam situasi-situasi tertentu, namun tidak mampu
melakukannya dalam beberapa situasi (khas tertentu) lainnya.

6
Untuk diagnosis ini diperlukan :

a. Tingkat pengertian bahasa yang normal atau hampir normal


b. Tingkat kemampuan bertutur kata yang cukup untuk komunikasi
social
c. Bukti nyata bahwa anak bersangkutan dapat dan bertutur kata
secara normal atau hampir normal dalam beberapa situasi
tertentu.

Pada kasus mutisme selektif anak-anak, mereka mengalami ketakutan


berlebih terhadap interaksi sosial contohnya di sekolah, taman latihan bermain,
dan bersosialisasi. Anak dengan mutisme selektif juga menjadi sangat cemas bila
berbicara. Ketika anak tak ada respon, dia mengalami tekanan dan timbullah
kecemasan. Selain itu, mereka biasanya sangat pemalu, dengan gejala-gejala
seperti pendiam, wajah datar tanpa ekspresi dan tak ada senyum.

Diagnosis mutisme selektif pada kanak – kanak secara relatif mudah,


karena orang tua melaporkan bahwa anaknya dapat berbicara dengan normal di
rumah. Sang anak dapat mengikuti petunjuk atau memberi tanda lain bahwa dia
mengerti segala perintah orang lain, walaupun sang anak tetap bungkam terhadap
pemeriksa.

Anak-anak ini mengerti bahasa yang digunakan dan memiliki kemampuan


untuk berbicara. Dalam kasus-kasus yang khas, mereka berbicara kepada orangtua
mereka dan beberapa pilih orang lain. Secara umum, anak dengan mutisme
selektif berfungsi normal, walaupun beberapa mungkin memiliki cacat tambahan.
Kebanyakan mempelajari keterampilan yang sesuai umur dan akademisi.

Anak-anak dengan mutisme selektif memiliki kemampuan untuk berbicara


dan memahami bahasa, tetapi gagal untuk menggunakan kemampuan ini sebagai
hasil dari apa yang kita anggap sebagai kecemasan sosial pada orang dewasa.

7
Sebagian besar anak-anak dengan mutisme selektif berfungsi secara
normal di bidang lain dalam kehidupan mereka. Mutisme selektif bukan
merupakan gangguan komunikasi dan bukan bagian dari gangguan
perkembangan. Menurut definisi, mutisme selektif tidak termasuk ke dalam anak-
anak yang dengan gangguan perilaku seperti perlilaku pemberontak atau deficit
hyperactivity disorder.

TERAPI

Suatu pendekatan multimodal yang menggunakan intervensi individual,


perilaku, dan keluarga adalah yang paling mungkin berhasil. Dalam tahun-tahun
prasekolah, konseling, atau psikoterapi untuk orangtua mungkin juga disarankan.
Anak prasekolah mungkin juga mendapatkan manfaat dari pengasuhan terapeutik.
Untuk anak usia sekolah, psikoterapi individual atau terapi perilaku mungkin
disarankan. Jika kemandirian anak terancam, konseling marital atau psikoterapi
untuk orangtua adalah sangat penting.

Beberapa laporan dan penelitian menganjurkan pemakaian agen


farmakologis sebagai terapi tambahan untuk mutisme selektif. Anjuran tersebut
didasarkan pada pengamatan bahwa anak-anak dengan gangguan sering
menunjukkan gejala yang konsisten dengan fobia sosial. Dengan demikian,
medikasi tertentu mungkin membantu. Tidak ada data yang menegakkan
kemanjuran terapi tersebut, walaupun laporan kasus telah dipublikasikan.
Penelitian lebih lanjut adalah diperlukan untuk menentukan kegunaan intervensi
farmakologis untuk mutisme selektif.

Terapi Perilaku Mutisme Selektif

Beberapa penelitian melaporkan bahwa teknik perilaku seperti sistematik


desensitisasi (fading therapy), dan positive reinforcement memperkuat pengobatan
mutisme selektif. Pendekatan perilaku dapat membantu anak yang susah bicara,

8
dimana anak tersebut dituntun secara sistematis untuk dapat berbicara (contoh :
pidato, meniru suara, dll) yang secara bertahap semakin sulit atau meningkat
tergantung situasi.

Fading therapy adalah tipe desensitisasi dengan membuat rentetan


kejadian-kejadian yang dimulai dari suatu situasi yang nyaman untuk anak,
kemudian memperkenalkan secara bertahap situasi-situasi yang lebih sulit.

Tipe pembiasaannya dengan cara membiasakan anak untuk bersosialisasi


dengan teman sebaya dan membiasakan anak bertemu dengan orang yang baru.
Membiasakan anak bersosialisasi dengan teman sebaya dilakukan dalam 4 kali
pertemuan dengan waktu 2 jam setiap kali pertemuan. Sedangkan membiasakan
anak bertemu dengan orang baru dilakukan selama 4 minggu, setiap minggu 3 kali
pertemuan dalam waktu 2 jam setiap kali pertemuan.

Ada tipe terapi perilaku reinforcement menggunakan pendekatan play


therapy. Setiap respon sesuai harapan yang dilakukan anak diberikan positive
reinforcement, tetapi hukuman tidak diberikan pada respon yang tidak sesuai
harapan. Positive reinforcement diberikan untuk semua bentuk komunikasi,
termasuk ekspresi wajah dan gesture maupun hanya berbisik dan berbicara
normal. Bentuk positive reinforcement bisa berupa pujian dan hadiah.

Terapi Obat

FDA tidak menyarankan penggunaan obat-obatan sebagai terapi selektif


mutisme namun dalanm beberapa kasus dan penelitian , penggunaan SSRi
(contohnya fluoxetine) ternyata terbukti efektif. Namun terapi ini hanya dapat
diberikan kepada anak yang lebih besar atau pada remaja.

Pasien mutistik dan depresif mungkin menderita depresi psikotik. Kondisi


ini membutuhkan obat antidepresan dan antipsikotik. Obat antipsikotik seperti
flufenazin (prolixin, anatensol ), trifluoperazin ( stelazine ), atau haloperidol (
haldol ), semua diberikan pada dosis 2 – 5 mg per hari. Jelaskan pada pasien terapi
yang diberikan, walaupun pasien nampak tidak responsive.

9
Terapi farmakologis biasanya dilakukan paling lama 9-12 bulan.

DIAGNOSIS BANDING

1. Anak yang pemalu (Kaplan and Saddock)

Mutisme Selektif Anak Pemalu


Kebisuan yang Persisten pada suatu Kebisuan yang Transien pada situasi
situasi social yang baru
Terjadi pada situasi sosial tertentu Terjadi pada situasi sosial yang baru
(contoh : sekolah) dikenal anak
(contoh : sekolah baru, tempat bermain
baru)
Tidak membaik secara spontan Membaik dengan spontan setelah dapat
dalam waktu lama ( > 1 bulan) beradaptasi

2. Gangguan Bahasa Ekspresif (PPDGJ III)


Mutisme Selektif Gangguan Bahasa Ekspresif
Kemampuan anak mengekspresikan Kemampuan anak mengekspresikan
bahasa dengan berbicara dibawah bahasa dengan berbicara dibawah rata-
normal rata

10
Perkembangan berbahasa dan berbicara Terdapat tanda keterlambatan berbahasa
sewaktu kecil normal dan berbicara
(contoh : tidak ada kata yang muncul
saat berusia 2 tahun, tidak mampu
mengerti bahasa majemuk pada usia 3
tahun)
Tata bahasa baik Ketidakteraturan tata bahasa
Kebisuan terjadi pada suatu situasi Kebisuan atau kesulitan ekspresi bahasa
sosial tertertu terjadi pada setiap situasi

Persamaan:
- Seringkali anak menggunakan bahasa non verbal dalam
komunikasi

3. Autisme (PPDGJ III)


Mutisme Selektif Autisme
Tidak ada gangguan perkembangan Gangguan perkembangan pervasive
pervasif yang ditandai oleh kelainan dan/atau
hendaya perkembangan
Tidak ada batasan usia Muncul sebelum usia 3 tahun
Kebisuan terjadi pada suatu situasi Terjadi pada semua situasi social
sosial tertertu
Bentuk apresiasi yang normal dan Bentuk apresiasi yang tidak adekuat
sesuai terhadap isyarat sosio-emosional terhadap isyarat sosio-emosional
Pola perilaku, minat, dan kegiatan yang Pola perilaku, minat, dan kegiatan yang
wajar dan sesuai terbatas, berulang dan stereotipik
Semua tingkat IQ dapat ditemukan Semua tingkatan IQ dapat ditemukan
namun tidak terdapat retardasi dan ¾ kasus terdapat retardasi
mental mental

11
PERJALANAN PENYAKIT DAN PROGNOSIS

Walaupun anak-anak dengan mutisme selektif sering merasa malu secara


abnormal pada tahun-tahun prasekolah, onset gangguan biasanya pada usia 5 atau
6 tahun. Pola yang paling sering adalah bahwa anak hampir hanya berbicara di
rumah dengan keluarga inti tetapi tidak di tempat lain, terutama di sekolah.
Sebagai akibatnya, mereka memiliki kesulitan akademik yang bermakna bahkan
kegagalan.

Anak-anak dengan mutisme selektif biasanya merasa malu, cemas, dan


terdepresi. Mereka tidak membentuk hubungan sosial, dan godaan serta
pengambinghitaman oleh teman sebayanya dapat menyebabkan mereka menolak
pergi sekolah. Sering sekali, anak menunjukkan sifat kompulsif di rumah,
negativism, temper tentrum, dan perilaku oposisional dan agresif.

Beberapa anak dengan mutisme selektif berkomunikasi dengan isyarat,


seperti menganggukkan dan menggelengkan kepala dan berkata “umm-uhm” atau
“tidak”. Sebagian besar kasus hanya berlangsung beberapa minggu atau bulan,
tetapi beberapa kasus menetap selama bertahun-tahun. Pada satu penelitian
follow-up, kira-kira separuh anak membaik dalam 5 sampai 10 tahun.

Anak-anak yang tidak membaik pada usia 10 tahun tampaknya memiliki


perjalanan penyakit jangka panjang dan prognosis yang lebih buruk dibandingkan
anak-anak yang membaik pada usia 10 tahun. Beberapa anak yang membisu
tampaknya memiliki negatifistik dan hubungan sadistik dengan orang dewasa dan
menggunakan kebisuan mereka yang menyimpang untuk menghukum mereka.
Perilaku tersebut tampaknya membaik bersamaan dengan semakin banyaknya
pembicaraan dalam lingkungan dimana anak sebelumnya adalah membisu.

12
BAB III
MUTISME AKINETIK

Akinetik mutisme adalah kelainan neuropatologik yang jarang dan kompleks.


Akinetik mutisme adalah keadaan di mana pasien tidak dapat berbicara atau
melakukan kegiatan tertentu, tetapi mungkin masih dapat berbaring dengan mata
terbuka, dan nampaknya tidak menyadari apa yang terjadi di sekelilingnya.

Etiologi

Akinetik mutisme seringkali dihubungkan dengan trauma lobus frontal.


Akinetik mutisme mungkin disebabkan oleh:

 keracunan karbon monooksida,


 overdosis obat,
 ensefalitis,
 stroke,
 pendarahan otak,
 penyakit degenerative (contoh : Creutzfeld-Jakob Disease),
 kanker otak,
 memar otak,
 hidrosefalus.

Pada akinetik mutisme, terjadi kerusakan pada sel dan saraf-saraf di otak
yang menyebabkan stimulus tidak dapat tersalurkan secara sempurna sehingga
pasien tidak dapat bergerak.

13
Tanda dan Gejala

Kurangnya ekspresi wajah, bahasa tubuh dan bicara

Klasifikasi

Dibagi menjadi 2 yaitu :

- Region Mesensefalik disebut Apathetic Akinetic Mutism (somnolen


mutism)
- Lobus frontal bilateral disebut Hyperpathic Akinetic Mutism

Terapi

- Terapi farmakologi untuk akinetik mutisme menggunakan


dopaminergic agent, tetapi efek terapi seringkali tidak memuaskan
Dopaminergic agent bekerja salah satunya di traktus nigrostriatal yang
berfungsi terhadap gerakan motorik.
- Menangani penyakit penyebabnya

14
Diagnosa banding

15
BAB IV

MUTISME SEBAGAI TANDA DAN GEJALA PENYAKIT


KEJIWAAN

(Kaplan and Sadock’s)

Depresi

Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang


berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk
perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia,
kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya, mutisme serta gagasan bunuh diri.

Pasien depresif tidak selalu mengeluh adanya sedih. Mereka mungkin


mudah tersinggung atau banyak keluhan fisik. Evaluasi pasien untuk tanda dan
gejala yang terkait dengan depresi, walau tidak ada tanda jelas dari depresi. Tiap
pasien yang mengeluh soal daya ingat yang buruk dan depresi wajib diperiksa
untuk pseudodemensia.

Skizofrenia Katatonik

Skizofrenia katatonik merupakan satu tipe skizofrenia yang ditandai


dengan ketegangan otot ( katatonia ), negativism, dan stupor atau gaduh.

Tanda dan gejala skizofrenia katatonik termasuk mutisme, gaduh,


fleksibilitas serea, stupor, stupor silih berganti dengan furor, negativism,
manerisma, dan stereotipi. Gangguan afektif dapat menampilkan diri sebagai
katatonia juga. Diagnosis banding termasuk koma sebagai akibat organic, psikosis
toksis, spastisitas ( kekakuan ), dan akinesia akibat antipsikotika, gangguan
konversi, keadaan disosiatif, berpura – pura ( malingering ), dan gangguan buatan
( factitious disorder ).

16
Gangguan katatonik karena kondisi medis umum

DSM-IV telah memperkenalkan kalimat “karena suatu kondisi medis umu”


sebagai suatu pemecahan untuk menghilangkan perbedaan antara gangguan
organic dan gangguan fungsional. Penilaian bahwa gangguan mental disebabkan
oleh gangguan medis umum menyatakan bahwa klini (dengan menekankan data
yang tersedia) berpikir bahwa gejala pskiatri adalah bagian dari suatu sindrom
yang disebabkan gangguan medis nonpskiatri.

DSM-IV mempunyai 3 kriteria tambahan untuk presentasi klinis dari


gangguan mental karena kondisi medis umum yang tidak memenuhi kriteria
diagnostic untuk diagnostic tertentu.

1. Gangguan katatonik karena kondisi medis umum , dengan salah satu


kriteria diagnostiknya yaitu mutisme yang berlebihan
2. Perubahan kepribadian karena kondisi medis umum
3. Gangguan mental karena kondisi medis umum

17
Daftar Pustaka
http://psychiatryonline.org/data/Journals/NP/3960/08JNP93.PDF

http://www.selectivemutismcenter.org/aboutus/WhatisSelectiveMutism

http://www.torey-hayden.com/research/classification-of-elective-mutism.pdf

http://www.indonesiaindonesia.com/f/52645-mengenal-mutism/

http://www.medscape.com/viewarticle/512923_4

http://id.scribd.com/doc/40210271/Afasia-Gangguan-berbahasa

Kaplan, Sadock. Comprehensive Textbook of Psychiatry. Ed 9. Lippincott


Williams & Wilkins

Maslim, Rusdi. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ III. Cetakan
1. JakartaFK UNIKA Atmajaya.

18

Anda mungkin juga menyukai