REFERAT
Periopertif Anestesi Pada Pasien obesitas
Disusun Oleh:
Rifqi Wira Priyangga, S.Ked
Pembimbing:
Mayor CKM Dr. Muh Ermil Zulkarnaen, Sp.An
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Definisi
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-“tidak, tanpa” dan
aesthētos, “persepsi, kemampuan untuk merasa”), secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi
digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846.
Obesitas adalah kelebihan lemak dalam tubuh, yang umumnya ditimbun
dalam jaringan subkutan (bawah kulit), sekitar organ tubuh dan kadang terjadi
perluasan ke dalam jaringan organnya (Misnadierly, 2007).
Obesitas merupakan keadaan yang menunjukkan ketidakseimbangan
antara tinggi dan berat badan akibat jaringan lemak dalam tubuh sehingga terjadi
kelebihan berat badan yang melampaui ukuran ideal (Sumanto, 2009).
C. Permasalahan Obesitas
Dari
segi
fisik,
orang yang mengalami obesitas akan mengalami rendah diri dan merasa kurang
percaya diri. Sehingga seringkali akan mengalami tekanan, baik dari dirinya
sendiri maupun dari lingkungannya ( Purwati, 2001) Kelebihan penimbunan
lemak diatas 20% berat badan idial, akan menimbulkan permasalahan kesehatan
hingga terjadi gangguan fungsi organ tubuh (Misnadierly, 2007). Orang dengan
obesitas akan lebih mudah terserang penyakit degeneratif. Penyakit – penyakit
tersebut antara lain :
1. Jantung koroner
3. Gout
4. BatuEmpedu
5. Kanker
Hasil penelitian terbaru menunjukkan bahwa laki-laki dengan obesitas akan
beresiko terkena kanker usus besar, rectum, dan kelenjar prostate. Sedangkan
pada wanita akan beresiko terkena kanker rahim dan kanker payudara.Untuk
mengurangi resiko tersebut konsumsi lemak total harus dikurangi.
Pengurangan lemak dalam makanan sebanyak 20 – 25 % perkilo kalori
merupakan pencegahan terhadap resiko penyakit kanker payudara (Purwati,
2001).
6. Hipertensi
Orang dengan obesitas akan mempunyai resiko yang tinggi terhadap Penyakit
hipertensi. Menurut hasil penelitian menunjukkan bahwa pada usia 20 – 39
tahun orang obesitas mempunyai resiko dua kali lebih besar terserang
hipertensi dibandingkan dengan orang yang mempunyai berat Badan normal
(Wirakusumah, 1994).
D. Penyebab Obesitas
1. Genetik.
Genetik memainkan peran sangat besar terhadap kejadian obesitas. Pada suatu
studi didapatkan kesimpulan umum yaitu ketika ibu biologis mengalami
obesitas, maka kira-kira 75 persen anak-anaknya akan mengalami obesitas.
Sedangkan jika ibu biologis memang kurus atau tidak mengalami obesitas,
kira-kira 75 persen anak-anaknya juga berbadan kurus. Maka mereka yang
memang memiliki “bakat” genetik seperti ini sudah seharusnya lebih bisa
menerima keadaan yang sulit untuk diubah namun dapat dilakukan
manajemen yang baik.
2. Usia.
3. Gender.
4. Lingkungan.
5. Aktivitas fisik.
6. Penyakit.
Kebiasaan makan terkait dengan faktor psikis pada seseorang. Banyak orang
melarikan diri dari rasa sedih, bosan, depresi atau marah dengan makan
berlebihan. Rasa bersalah, diskriminasi, malu, atau ditolak dari lingkungan
sosial juga banyak berpengaruh pada kondisi psikis seseorang yang
berhubungan dengan perubahan pola makan. Binge eating adalah sebagai
contoh dimana orang tersebut makan berlebihan tanpa ia sadari dan pada
akhirnya ia akan mencari pengobatan serius karena masalah ini. Hampir 30
persen orang dengan binge eating terkait faktor psikis menyerah dengan pergi
ke dokter untuk mencari bantuan akan masalah ini.
8. Obat-obatan.
Pengukuran berat badan seseorang secara tepat agak sulit. Cara yang
paling mendekati akurat adalah mengukur orang tersebut dibawah air atau di
dalam chamber atau ruangan dengan isi air sehingga dapat diukur jumlah air yang
terbuang dan air sebelumnya untuk mengukur berat badan pasti. Dapat juga
digunakan alat X-ray untuk tes yang disebut Dual Energy X-ray Absorptiometry
(DEXA) namun di Indonesia sendiri belum dilakukan karena membutuhkan alat,
tenaga dan tempat khusus.Secara sederhana, metode untuk estimasi jumlah lemak
atau body fat adalah dengan mengukur ketebalan lapisan lemak yang berada
dibawah lapisan kulit pada beberapa bagian tubuh. Karena dalam mengukur body
fat dan berat badan pasti seseorang itu sulit, maka selama beberapa dekade, para
ahli hanya bergantung pada tabel berat badan dan tinggi yang merupakan ukuran
rata-rata pada semua orang. Yang menjadi kendala selain tabel ini tidak
menggunakan ukuran pasti adalah dikeluarkannya berbagai macam versi dengan
rentang berat badan dan tinggi yang juga berbeda-beda. Maka BMI saat ini masih
menjadi patokan universal untuk mengetahui status gizi seseorang (normal,
obesitas, atau overweight). Body Mass Index (BMI) sangat sederhana dan
digunakan untuk estimasi massa lemak pada seseorang. Pada abad ke-19, seorang
ahli statistik dan antropometris Adolphe Quetelet mengembangkan pengukuran
dengan cara ini. BMI merupakan refleksi dari persentase body fat mayoritas orang
dewasa pada populasi besar dan universal. Walaupun begitu, tingkat akurasi BMI
menurun jika digunakan pada pengukuran ibu hamil atau orang dengan body
builder yang massa atau bobot tubuhnya terpengaruh dari komposisi ‘tambahan’.
BMI = [berat badan (kg)] / [tinggi (dalam meter)]2
BMI Classification
Less than 18.5 underweight
18.5–24.9 normal weight
25.0–29.9 overweight
30.0–34.9 class I obesity
35.0–39.9 class II obesity
Over 40.0 class III obesity
Tabel 1 : BMI menurut WHO (1997)
1. Tipe Hiperplastik, adalah kegemukan yang terjadi karena jumlah sel yang lebih
banyak dibandingkan kondisi normal, tetapi ukuran sel-selnya sesuai dengan
ukuran sel normal terjadi pada masa anak-anak.Upaya menurunkan berat badan ke
kondisi normal pada masa anak-anak akan lebih sulit.
2. Tipe Hipertropik, kegemukan ini terjadi karena ukuran sel yang lebih besar
dibandingkan ukuran sel normal. Kegemukan tipe ini terjadi pada usia dewasa dan
upaya untuk menurunkan berat akan lebih mudah bila dibandingkan dengan tipe
hiperplastik.
3. Tipe Hiperplastik dan Hipertropik kegemukan tipe ini terjadi karena jumlah dan
ukuran sel melebihi normal. Kegemukan tipe ini dimulai pada masa anak - anak
dan terus berlangsung sampai setelah dewasa. Upaya untuk menurunkan berat
badan pada tipe ini merupakan yang paling sulit, karena dapat beresiko terjadinya
komplikasi penyakit, seperti penyakit degeneratif.
Berdasarkan penyebaran lemak didalam tubuh, ada dua tipe obesitas yaitu:
1. Tipe buah apel (Adroid), pada tipe ini ditandai dengan pertumbuhan lemak
yang berlebih dibagian tubuh sebelah atas yaitu sekitar dada, pundak, leher, dan
muka. Tipe ini pada umumnya dialami pria dan wanita yang sudah menopause.
Lemak yang menumpuk adalah lemak jenuh.
2. Tipe buah pear (Genoid), tipe ini mempunyai timbunan lemak pada bagian
bawah, yaitu sekitar perut, pinggul, paha, dan pantat. Tipe ini banyak diderita oleh
perempuan. Jenis timbunan lemaknya adalah lemak tidak jenuh.
BAB II
PEMBAHASAN
1.Sistem Kardiovaskular
Gangguan pada sistem kardiovaskular meningkatkan morbiditas dan
mortalitas pasien obesitas. Manifestasinya berupa penyakit iskemia, hipertensi
sampai gagal jantung. Scottish Health Survey baru-baru ini menemukan
prevalensi gangguan pada sistem kardiovaskular 37 persen terjadi pada mereka
dengan BMI > 30, 21 persen pada BMI 25 – 30 dan 10 persen pada BMI < 25.
Semua pasien obesitas yang akan dilakukan anestesi harus diinvestigasi lebih jauh
pada premedikasi akan adanya komplikasi kardiovaskular. Bahkan sudah
seharusnya mereka dirujuk ke ahli jantung untuk monitor kesulitan yang mungkin
berpengaruh pada tindakan anestesi yang akan dilakukan.
Manifestasi gangguan sistem kardiovaskular :
Hipertensi.
Hipertensi ringan – sedang terlihat pada 50 – 60 persen pasien obesitas dan
hipertensi berat pada 5 – 10 persen pasien. Terdapat peningkatan tekanan
sistolik sebesar 3 – 4 mmHg dan diastolik 2 mmHg tiap kenaikan berat
badan 10 kg. Adanya cairan pada ekstraseluler akan berakibat terjadinya
hipervolemia dan peningkatan cardiac output. Meskipun mekanisme pasti
terjadinya hipertensi pada pasien obesitas masih belum diketahui, diduga
ada pengaruh faktor genetik, hormonal, renal dan hemodinamik yang
berperan disini. Hiperinsulinemia sebagai karakteristik pada obesitas juga
memberikan kontribusi dengan mengaktifkan sistem saraf simpatik yang
menyebabkan retensi sodium. Sebagai tambahan, resistansi insulin
bertanggung jawab terhadap aktivitas norepinefrin dan angiotensin II.
Iskemia jantung.
Obesitas merupakan faktor resiko terjadinya penyakit iskemia jantung,
terutama pada mereka dengan pusat distribusi lemak pada bagian sentral.
Faktor lain seperti hipertensi, diabetes mellitus, hiperkolesterolemia dan
rendahnya HDL (High Density Lipoprotein) menambah beratnya resiko
penyakit ini. Hal yang menarik, 40 persen pasien obesitas dengan angina
tidak memperlihatkan adanya penyakit jantung koroner, namun angina itu
sendiri merupakan gejala langsung dari obesitas.
Volume darah.
Total volume darah pada pasien obesitas bertambah akan tetapi bila
dibandingkan dengan pasien non-obese, pertambahannya lebih rendah
karena dominasi darah tersebut terdistibusi ke organ-organ penuh lemak.
Aliran darah dari limpa juga bertambah sekitar 20 persen sedangkan aliran
darah dari otak dan ren normal atau tidak bertambah.
Aritmia jantung.
Ada berbagai macam faktor presipitasi yang menyebabkan aritmia pada
pasien obesitas, diantaranya : hipoksia, hiperkapnia, ketidakseimbangan
elektrolit akibat terapi dengan diuretik, penyakit jantung koroner,
bertambahnya konsentrasi katekolamin dalam sirkulasi, obstructive sleep
apnea, hipertrofi miokard dan penumpukan lemak dalam sistem konduksi.
Fungsi jantung.
Pada pasien obesitas, terjadi disfungsi dari jantung yang dipercayai
merupakan kelanjutan dari penumpukan lemak dalam sistem konduksi.
Dalam suatu studi pada otopsi, ditemukan adanya penumpukan lemak
pada epikardium yang tidak disertai penumpukan lemak pada miokardium,
tampaknya keadaan ini mempengaruhi ventrikel kanan jantung yang pada
akhirnya menyebabkan abnormalitas konduksi dan aritmia. Ada hubungan
sejajar antara bertambahnya berat jantung dengan kenaikan berat badan
seseorang. Yang dikatakan penambahan berat jantung merupakan
konsekuensi dari dilatasi dan hipertrofi eksentrik dari ventrikel kiri yang
mempengaruhi ventrikel kanan pula.
Kardiomiopati.
Obesitas berhubungan dengan kejadian bertambahnya volume darah dan
cardiac output akibat kenaikan bobot lemak 20 – 30 ml per kg. Dilatasi
ventrikel dan bertambahnya volume sekuncup menyebabkan peningkatan
cardiac output. Dilatasi ventrikel terjadi akibat bertambahnya stress pada
dinding ventrikel kiri yang menyebabkan hipertrofi. Adanya hipertrofi
eksentrik dari ventrikel kiri ini akan menurunkan compliance dan fungsi
diastolik ventrikel kiri. Pada keadaan ini akan terjadi gangguan pengisian
ventrikel, elevasi dari LVEDP dan udem paru. Kapasitas dilatasi untuk
ventrikel memiliki batasan, sehingga jika terjadi penebalan dinding
ventrikel kiri maka terjadi kegagalan ventrikel untuk diastolik atau sistolik
yang juga berpengaruh pada ritme jantung.
a. Gejala klinis
Pada penderita obesitas, kadang tidak ditemukan gejala akibat gangguan
kardiovaskular, hal ini bisa dikarenakan mereka mengurangi gerakan atau
aktivitas fisik sehingga tertutupi semua gejala yang dapat timbul. Seperti
misalnya, gejala angina atau dispneu mungkin hanya terjadi sesekali ketika
mereka bergerak lebih aktif dari biasanya. Banyak dari penderita obesitas sengaja
tidur dengan posisi duduk sehingga menyangkal adanya orthopneu atau dispnoe
paroksismal nokturnal. Tapi penderita obesitas dapat kita minta untuk berjalan di
dalam ruangan maka akan terlihat berkurangnya pergerakan atau ketika diminta
untuk tidur dengan posisi supinasi maka akan timbul orthopneu bahkan bisa
berujung pada henti jantung. Penderita obesitas harus diperiksa lebih mendetail
akan adanya gangguan jantung, hipertensi, atau gagal jantung. Tanda gagal
jantung juga dapat dilihat dari kenaikan tekanan vena jugular, penambahan bunyi
jantung, gangguan pada paru, hepatomegali atau ditemukan udem perifer.
b. Pemeriksaan lanjutan
Untuk mengetahui kelainan yg terjadi pada jantung, dapat dilakukan
pemeriksaan preoperatif dengan EKG (elektrogardiogram) atau Echocardiograph.
Adanya deviasi axis, atau aritmia dapat terlihat pada kedua gambaran tersebut.
Foto thoraks dapat memberikan gambaran kardiomegali yang jelas namun kadang
tampak normal. Echocardiograph mungkin sulit dilakukan namun memberikan
informasi yang berguna bagi kita. Konsul kepada ahli jantung dilakukan sebagai
tindak awal dan optimalisasi keadaan pasien preoperatif.
c. Implikasi anestesi
Pada keadaan dimana terjadi gangguan napas, masalah pada ventrikel
mungkin tertutupi atau lolos dari pengamatan melalui pemeriksaan secara klinis.
Namun adanya penambahan berat badan secara cepat yang ditemukan pada
premedikasi dapat mengindikasikan adanya kegagalan jantung walaupun orang
tersebut memang sudah memiliki bobot yang berat. Durante operasi, kegagalan
ventrikel untuk memenuhi kebutuhan(disfungsi dari diastolik ventrikel) dapat
terjadi karena berbagai macam alasan, seperti pengaruh dari agen anestesi yang
sebelumnya diberikan atau hipertensi pulmonal yang dipresipitasi keadaan
hipoksia atau hiperkapnia. Maka seorang dokter anestesi harus bersikap preventif
terhadap hal tersebut dengan mempersiapkan inotropik dan vasodilator untuk
mengembalikan keadaan menjadi normal kembali.Ketika induksi anestesi atau
intubasi dilakukan pada penderita obesitas, performa jantung akan mulai
menurun. Dalam suatu penelitian, ditemukan pada penderita obesitas yang
menjalani operasi abdomen, performa jantung menurun 17 -33 persen setelah
induksi dan intubasi dilakukan, keadaan ini menetap pasca operasi dengan index
jantung 13 -23 persen menurun dibandingkan preoperatif. Hal ini tidak terjadi
pada orang normal dimana performa jantung setelah diberikan induksi anestesi
atau intubasi sempat menurun namun kembali normal pascaoperasi. Pengamatan
terhadap tekanan arteri, gas darah dan tekanan vena sentral dapat dilakukan
sebagai acuan terhadap keadaan jantung selama obat anestesi bekerja.
d. Premedikasi
Opioid dan obat sedatif dapat menyebabkan depresi pernapasan pada orang
obesitas. Rute pemberian obat secara intramuskular dan subkutan dihindari
mengingat absorbsinya yang belum jelas. Semua penderita obesitas diberikan
profilaksis terhadap aspirasi asam walaupun mereka tidak mengeluhkan adanya
refluks atau perasaan dada terbakar (heartburn). Kombinasi H2-bloker (ranitidin
150mg peroral) dan prokinetik (metoklopramid 10mg peroral) diberikan 12 jam
dan 2 jam sebelum operasi untuk menurunkan resiko pneumonitis akibat aspirasi.
Beberapa dokter anestesi bahkan mencoba memberikan 30ml dari 0.3 M sitrat
segera sebelum dilakukan induksi sebagai tambahan. Obat jantung dan steroid
tetap diberikan sampai menjelang operasi, walaupun ada yang merekomendasikan
penghentian angiotensin converting enzyme inhibitors sehari sebelum dilakukan
operasi karena efek hipotensi yang mungkin timbul. Pasien obesitas dengan
diabetes diberikan regimen dextrosa-insulin dalam prosedur singkat mengingat
kebutuhan insulin yang meningkat pascaoperasi. Karena pasien obesitas seringkali
sulit mobilisasi terutama pascaoperasi dan meningkatkan resiko terjadinya
trombosis vena dalam, maka dapat diberikan heparin dosis rendah secara subkutan
dan tetap dilanjutkan sampai pasien tersebut dapat mobilisasi total. Cara lain :
penggunaan legging atau stoking kompresi.Pada grup ini juga sering terjadi
infeksi luka pascaoperasi. Maka dapat diberikan antibiotik profilaksis namun
pemberiannya juga harus di diskusikan dengan ahli bedah yang menangani.
g. Analgesia regional
Penggunaan anestesi regional pada pasien obesitas memungkinkan tidak
perlunya dilakukan intubasi dan menurunkan resiko aspirasi asam. Pada operasi
thorakal dan abdominal, biasanya dipilih anestesi epidural dengan kombinasi
anestesi umum. Hal ini lebih bermanfaat dibandingkan hanya digunakan anestesi
umum, termasuk mengurangi penggunaan opioid dan obat anestesi inhalasi,
komplikasi pulmonal pascaoperasi, peningkatan efek obat analgesik pascaoperasi,
dan manfaat lainnya. Secara teknik, anestesi regional pada pasien obesitas
menantang karena sulitnya menentukan batasan pasti tulang, kulit dan lemak.
Blok saraf perifer lebih mudah dan aman dilakukan dengan bantuan stimulator
saraf dan jarum insulasi. Anestesi spinal dan epidural lebih mudah dilakukan pada
posisi berdiri dan menggunakan jarum yang panjang. Dengan bantuan ultrasound
dapat diidentifikasi ruang epidural dan menuntun jarum Tuohy dalam posisi yang
benar. Ada beberapa dokter anestesi yang lebih menyukai kateter epidural telah
terpasang sehari sebelum operasi untuk menghemat waktu esok harinya dan
memudahkan pemberian profilaksis heparin pada pagi hari waktu operasi.
Anestesi lokal yang dibutuhkan pada saat melakukan anestesi spinal atau epidural
diturunkan hingga 80 persen mengingat terdapatnya infiltrasi lemak dan
meningkatnya volume darah yang disebabkan tekanan intraabdomen
menyempitkan ruang epidural. Hal ini perlu diwaspadai karena dapat
menyebabkan blokade yang lebih tinggi atau menyebarnya anestesi lokal tersebut.
Blokade diatas thorakal V akan menyebabkan gangguan respirasi dan blokade
otonom pada sistem kardiovaskular. Dalam keadaan ini, dibutuhkan penggantian
anestesi menjadi anestesi umum dengan peralatan yang cukup dan bantuan orang
lain untuk penanganan adekuat.
h. Analgesia sistemik
Penggunaan analgesia opioid tidak dianjurkan pada pasien obesitas
terutama dengan rute intramuskular. Jika diberlakukan rute intravena, maka dapat
diberlakukan Patient-Controlled Analgesia System (PCAs). Dengan cara ini,
efektivitas analgesia bisa tercapai walaupun pernah terdapat laporan depresi
pernapasan. Harus diamati juga saturasi O2 dan pulse oximetry.Analgesia pasca
epidural anastesi dengan opioid atau anestesi lokal memberikan analgesi yang
efektif dan aman pada pasien obesitas. Intravena epidural lebih disukai karena
rendahnya efek mengantuk, mual, depresi napas, bahkan mempercepat motilitas
usus dan cepat kembalinya fungsi pernapasan ke titik normal sehingga
mengurangi waktu rawat di rumah sakit. Namun, penggunaan opioid intravena
tidak dianjurkan karena adanya efek lambat dari analgesia tersebut terhadap
fungsi pernapasan, dengan kata lain depresi pernapasan baru muncul setelah
beberapa waktu.Oral analgesik seperti Non-Steroid Anti Inflammation Drugs
(NSAID) atau paracetamol dapat diberikan sebagai tambahan.
2. Sistem Pernafasan
Patofisiologi pernapasan pada penderita obesitas
Volume paru-paru
Penurunan kapasitas residu fungsional (Functional Residual Capacity atau
FRC), volume ekspirasi cadangan (Expiratory Reserve Volume atau ERV)
dan kapasitas total dari paru-paru merupakan masalah yang dihadapi
penderita obesitas seiring dengan peningkatan berat badan. Kapasitas
residu fungsional menurun akibat penyempitan saluran napas,
ketidakseimbangan perfusi dan ventilasi, shunt dari kanan ke kiri, dan
hipoksemia arteri. Pemberian anestesi dikatakan menurunkan FRC sebesar
50 persen pada penderita obesitas, sedangkan pada orang normal terjadi
penurunan FRC sebesar 20 persen. Söderberg dan kolega dalam suatu
studi menemukan adanya shunt intrapulmonal dari 10 – 25 persen
penderita obesitas yang dilakukan anestesi dan 2 – 5 persen pada orang
normal. Untuk mengatasi hal tersebut, maka dapat diberikan oksigen
dengan volume tidal yang besar ( 15 – 20 ml / kg ) walaupun hanya
ditemukan kenaikan saturasi oksigen yang minimal. Namun berbeda
halnya dengan tekanan positif pada akhir ekspirasi (Positive End-
Expiratory Pressure atau PEEP) yang meningkat pada FRC dan tekanan
oksigen arterial. Defek pada pertukaran gas dan penambahan shunt
preoperatif terlihat ketika dilakukan induksi anestesi dan intubasi.
Penambahan PEEP meningkatkan osigenasi namun menurunkan cardiac
output dan distribusi oksigen. Karena kurangnya FRC, pada penderita
obesitas terjadi kegagalan toleransi ketika terjadi apnoe, selain itu terjadi
desaturasi oksigen segera setelah induksi anestesi. Hal ini karena kecilnya
reservoir oksigen dan meningkatnya pemakaian oksigen. Biasanya FRC
berkurang sebagai konsekuensi reduksi dari ERV dengan tidal volume
dalam batas yang normal. Bagaimanapun juga, pada beberapa penderita
obesitas, tidal volume yang tinggi menandai terperangkapnya gas di dalam
paru-paru dan menyertai penyakit saluran napas obstruktif. Volume
ekspirasi paksa dalam satu detik dan kapasitas vital paksa biasanya tidak
terpengaruh namun enam sampai tujuh persen mengalami perbaikan
seiring penurunan berat badan.
Ambilan oksigen dan pelepasan karbondioksida
Ambilan oksigen dan pelepasan karbondioksida meningkat sebagai hasil
dari aktivitas metabolik pada jumlah lemak yang berlebihan dan
bertambahnya simpanan pada jaringan. Aktivitas metabolik basal (Basal
Metabolic Activity atau BMA) berhubungan dengan luasnya permukaan
tubuh. Pemberian ventilasi beberapa menit akan meningkatkan oksigen
hingga terjadi normokapnia. Walaupun pada beberapa penderita obesitas
dapat berlanjut respon normal keadaan hipoksemia dan hiperkapnia yang
terjadi. Pada saat olahraga, penggunaan oksigen ini akan meningkat tajam
dan menandai adanya effisiensi yang buruk dari otot pernapasan
dibandingkan pada orang normal.
Pertukaran gas
Preoperatif, penderita obesitas biasanya hanya mengalami sedikit defek
pada pertukaran gas dengan reduksi pada PaO2, meningkatnya perbedaan
oksigen alveolar dengan arterial, dan fraksi shunt. Induksi anestesi akan
memperburuk keadaan ini, maka diperlukan fraksi oksigen jumlah besar
untuk memenuhi tahanan oksigen arterial.
Compliance dan resistensi thorak
Kenaikan berat badan sebanding dengan meningkatnya kesulitan bernapas
yang pada kasus berat bisa menurunkan hingga 30 persen dari pernapasan
normal. Walaupun terdapat akumulasi jaringan lemak di dalam dan sekitar
dinding dada yang berakibat tertahannya gerak dinding dada (restriksi),
namun pada beberapa penelitian dikemukakan bahwa hal ini disebabkan
peningkatan volume darah dalam paru-paru. Tertahannya gerak dinding
dada juga berhubungan dengan penurunan FRC, terhimpitnya saluran
napas dan kegagalan pertukaran gas. Perubahan compliance dan resistensi
thorak terlihat dengan adanya napas cepat dan dangkal, frekuensi yang
meningkat dan berkurangnya kapasitas paru.
Efisiensi pernapasan
Kombinasi dari tekanan intraabdomen, reduksi dari compliance, dan
meningkatnya kebutuhan metabolik dengan gerakan otot dada,
menghasilkan gerak inefisien dari otot dada tersebut, sehingga pada orang
tersebut terjadi usaha bernapas lebih berat. Penderita obesitas dengan
normokapnia pada waktu istirahat menunjukkan 30 persen peningkatan
usaha bernapas dan terkadang terjadi hipoventilasi. Hipoventilasi ini
menjadi empat kali lebih berat pada waktu istirahat.
b. Implikasi anestesi
I.Premedikasi
Pemeriksaan preoperatif pada penderita obesitas diantaranya memeriksa
kemampuan pasien untuk bernapas dalam dan patensi dari jalan napas.
Pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan darah lengkap, foto thoraks, gas darah,
fungsi paru dan oximetri. Mereka yang dicurigai OSA disarankan melakukan tes
polysomnografi. Pasien juga harus diingatkan resiko spesifik dari anestesi,
kemungkinan dilakukannya intubasi dalam kesadaran penuh, pemberian ventilasi
pascaoperasi bahkan trakeostomi.
II.Durante anestesi
Induksi anestesi menjadi saat paling berbahaya pada pasien obesitas. Resiko
kesulitan atau gagal intubasi karena adanya obstruksi saluran napas bagian atas
dan menurunnya compliance pulmonal menjadi kekhususan tersendiri. Insuflasi
gaster selama anestesi juga meningkatkan resiko regurgitasi atau aspirasi isi
gaster.Pendekatan awal adalah pemilihan intubasi dalam kesadaran penuh atau
tidur dalam yang merupakan pilihan sulit. Hal itu banyak dipengaruhi pengalaman
dokter anestesi yang akan melakukannya. Beberapa penulis menyarankan intubasi
dengan kesadaran penuh terutama jika berat badan sesungguhnya > 175 persen
berat badan ideal. Apabila terdapat gejala OSA, maka sudah terpikirkan morfologi
jalan napas bagian atas yang sedikit berbeda yang membuat pemakaian ballow
dan sungkup menjadi sulit, sehingga intubasi dalam kesadaran penuh lebih
disarankan. Pendekatan lain adalah penggunaan laringoskop setelah pemberian
lokal anestesi pada faring. Intubasi sadar dengan fiberoptic dapat dipilih ketika
struktur laring tidak terlihat jelas. Tidak disarankan melakukan intubasi blind
melalui hidung mengingat kemungkinan epistaksis atau efek samping lainnya.
Teknik teraman dan cepat untuk induksi anestesi menggunakan succinylcholine
dengan diikuti pemberian oksigen yang adekuat sebelumnya. Pasien obesitas tidak
dibolehkan untuk bernapas spontan selama anestesi berlangsung, mencegah
terjadinya hipoventilasi, hipoksia dan hiperkapnia. Posisi litotomi atau
Tredelenburg dihindari mengingat pada posisi ini terjadi reduksi volume paru.
Ventilasi kontrol dengan fraksi oksigen tinggi dibutuhkan untuk mencapai tekanan
oksigen arterial yang adekuat, yang nantinya pemeriksaan serial gas darah
diperiksa untuk mengontrol hal ini.
III.Post anestesi
Komplikasi pulmonal sering terjadi pada penderita obesitas. Pemeriksaan fungsi
paru preoperatif tidak dapat memprediksi keadaan yang sama pascaoperatif. Hal
ini karena pada pasien obesitas sensitivitas terhadap obat sedatif, analgesik opioid
dan anestesi meningkat. Pemberian ventilasi pascaoperasi bermanfaat untuk
eliminasi efek obat-obat tersebut, selain dapat diberikan pada mereka dengan
penyakit kardio-respiratori yang telah diketahui sebelumnya, retensi
karbondioksida, dan mereka yang baru menjalani operasi dalam waktu lama atau
mengalami pyrexia pasca operasi.Ekstubasi hanya boleh dilakukan ketika pasien
sadar penuh dan dipindahkan ke Recovery Room dengan posisi duduk 45 derajat.
Oksigen tambahan segera diberikan dan dilatih untuk bernapas seperti biasa.
3. Gastrointestinal
Kombinasi dari tekanan intraabdomen yang tinggi, tingginya volume dan
rendahnya pH dalam gaster, lambatnya pengosongan gaster dan tingginya faktor
resiko hiatus hernia dan gastro-esofageal refluks dipercayai menempatkan pasien
obesitas pada resiko terjadinya aspirasi asam lambung diikuti pneumonitis
aspirasi. Zacchi melakukan studi yang menunjukkan bahwa pada penderita
obesitas tanpa gejala gastro-esofageal refluks dan lintasan gastro-esofageal
ternyata struktur anatominya tidak berbeda dengan orang normal (baik pada posisi
duduk atau berbaring). Walaupun penderita obesitas memiliki volume dalam
gasternya 75 persen lebih besar dari orang normal, melalui studi tersebut juga
diketahui bahwa pengosongan gaster justru lebih cepat pada penderita obesitas,
terutama pada intake energi tinggi seperti emulsi lemak. Karena adanya resiko
aspirasi asam, maka ada keharusan diberikannya H 2-receptor antagonis, antasid
dan prokinetik, juga dilakukannya induksi yang cepat dengan tekanan pada
krikoid dan ekstubasi trakea ketika pasien sadar penuh. Keadaan pada penderita
obesitas yang menjadi perhatian sehubungan dengan sistem gastrointestinal,
diantaranya :
Diabetes mellitus.
Setiap penderita obesitas yang akan menjalani operasi, harus diperiksa
gula darahnya, baik gula darah sewaktu atau dapat juga dilakukan tes
toleransi glukosa. Respon katabolik selama operasi mungkin
mengindikasikan pemberian insulin pascaoperasi untuk mengontrol
konsentrasi glukosa dalam darah. Kegagalan dalam menjaga konsentrasi
ini akan berakibat tingginya resiko infeksi pada luka operasi dan infark
miokard pada periode iskemia miokard.
Penyakit tromboembolik.
Resiko trombosis vena dalam pada penderita obesitas dapat disebabkan
karena imobilisasi yang lama. Polisitemia, peningkatan tekanan
intraabdomen dengan peningkatan stasis vena terutama pada ekstremitas
bawah, gagal jantung dan berkurangnya aktivitas fibrinolitik yang
menyebabkan tingginya konsentrasi fibrinogen juga menjadi predisposisi
terjadinya keadaan ini. Oleh karena itu pada penderita obesitas harus ada
pengawasan terhadap keadaan-keadaan tersebut.
BAB III
KESIMPULAN
Obesitas menjadi kendala tersendiri bagi praktisi medis baik penanganan secara
umum maupun ketika dihadapkan dengan pertimbangan anestesi yang akan
dilakukan. Hal ini karena pada pasien obesitas, tiga masalah utamanya adalah
masalah kardiovaskular, respirasi dan gastrointestinal yang tiap penangannya juga
berbeda-beda. Maka bagi seorang dokter, perlu pemahaman menyeluruh tentang
apa yang harus dilakukan untuk keadaan seperti ini. Dalam kaitan dengan
anestesi, yang terpenting adalah setiap pasien yang akan menjalani operasi atau
dilakukan anestesi, perlu dimonitor berat badan, kelainan-kelainan yang menyertai
kondisi pasien atau kemungkinan kendala yang akan dihadapi saat operasi atau
pasca operasi. Pada premedikasi di ruangan atau di OK, pasien dipersiapkan
secara baik dan dilakukan pengamatan akan kelainan metabolik yang mungkin
ada. Jika harus diberikan terapi oral atau lainnya, maka dapat dilakukan konsultasi
dengan bagian lain. Proses pemindahan pasien juga harus diperhatikan. Durante
operasi, pemilihan jenis anestesi harus diperhatikan, apakah nantinya dilakukan
intubasi sadar atau tidak, obat-obatan yang boleh dan tidak boleh diberikan, posisi
pasien selama operasi tersebut dan pengamatan akan metabolik pasien. Pasca
operasi tidak boleh dilupakan, mengingat kemungkinan banyaknya kejadian
penurunan keadaan pasien dibanding sebelum operasi. Premedikasi atau durante
operasi atau durante anestesi tidak bisa meramalkan keadaan pasien setelahnya.
Bahkan bisa terjadi efek samping lambat baik dari tindakan yang dilakukan
maupun obat-obatan yang diberikan.Diperlukan kerjasama yang baik, dari dokter
dan perawat anestesi, dokter penyakit dalam maupun dokter bedah sehingga
keberhasilan kesemuanya dapat tercapai.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Increase Anesthetic Risk For Patients With Obesity and Obstructive Sleep
Apnea. Available from :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2007481/pdf/anesthprog00
003-0005.pdf.