Anda di halaman 1dari 25

1

A. Skenario

Skenario 2

Anuria

Seorang laki-laki usia 25 tahun, diantar oleh keluarganya ke rumah sakit dengan
keluhan sesak nafas disertai anuria. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik
didapatkan pernafasan kusmaul, anuria, dan hasil analisis gas darah didapatkan
hasilnya pH 7,53; PCO2 dan HCO3- meningkat. Dokter menduga pasien
mengalami gangguan fungsi ginjal.

B. Klarifikasi Istilah

STEP 1

1. Anuria : kondisi di mana ginjal tidak dapat memproduksi urin,


produksi urin kurang dari 500 ml per hari
2. Kusmaul : pernafasan dalam dan cepat

C. Rumusan Daftar Masalah

STEP 2

1. Bagaimana fungsi ginjal normal?


2. Bagaimana keadaan gas darah normal?
3. Bagaimana proses asam basa dalam ginjal?
4. Apa yang menyebabkan anuria?
5. Apa hubungan anuria dengan fungsi ginjal?
6. Apa yang menyebabkan kusmaul?

D. Analisis Masalah

STEP 3

1. Fungsi ginjal
- Mempertahankan keseimbangan air
2

- Mempertahankan keseimbangan asam basa


- Menghasilkan eritroprotein
- Mempertahankan osmolaritas cairan tubuh
- Filtrasi metabolisme yang diperlukan
- Mengatur tekanan darah
- Menghasilkan vitamin D
- Mengatur glukosa darah
- Menghasilkan renin
- Filtrasi darah
2. Keadaan gas darah normal
- pH normal = 7,35-7,45
- Konsentrasi H+ = 4 mEq/L
- PCO2 = 4 mmHg
- HCO3- = 24 Meq/L
3. Proses asam basa dalam ginjal
- Sekresi H+
- Reabsorpsi HCO3-
- Produksi HCO3- yang baru
- Sistem respiratorik
- Sistem ekskresi ginjal
- Sistem urin asam atau basa
4. Penyebab anuria
- Diare
- Asidosis metabolik
- Dehidrasi
- Tekanan darah tinggi
- Gagal ginjal
5. Hubungan anuria dengan fungsi ginjal
- Apabila terdapat batu ginjal maka akan menyumbat filtrasi, jika filtrasi
terganggu maka tidak terjadinya proses berkemih atau tidak adanya
urin
3

- Apabila kekurangan air maka akan sulit melawan difusi karena sifat
darah
- Kekurangan air juga akan menyebabkan ion dalam darah lebih sulit
untuk berdifusi
- Tekanan darah menurun, maka laju filtrasi glomerulus juga menurun
6. Penyebab kusmaul
- Asidosis respiratorik
Asidosis respiratorik akan mengompensasi dengan cara hiperventilasi
yaitu nafas cepat dan dalam untuk menyeimbangkan asam basa dalam
aliran darah

E. Sistematika Masalah

STEP 4

1. Anuria dihubungkan dengan fungsi ginjal


Apabila terjadi kegagalan kompensasi dengan cara hiperventilasi maka
tubuh akan mengalami metabolisme anaerob. Dari metabolisme anaerob
akan menghasilkan oksigen dan asam laktat. Asam laktat ini akan merusak
nefron ginjal sehingga filtrasi di glomerulus terganggu dan ekskresi urin
pun terganggu yang mengakibatkan produksi urin menurun.
Fungsi ginjal normal seharusnya nefron yang merupakan bagian terkecil
dari ginjal yang terdapat glomerulus dapat memfiltrasi zat-zat yang
diperlukan dan yang tidak.

2. Keadaan gas darah normal


Berdasarkan skenario di atas didapatkan gas darah pasien:
- pH = 7,53
- pCO2 = meningkat
- HCO3- = meningkat

Maka pasien tersebut mengalami alkalosis metabolik yaitu keadaan basa


dalam darah. Normalnya keadaan gas darah dalam tubuh yaitu:
4

- pH normal = 7,35-7,45
- Konsentrasi H+ = 4 mEq/L
- PCO2 = 4 mmHg
- HCO3- = 24 Meq/L
3. Proses asam basa dalam ginjal
- Sekresi H+
- Ginjal filtrasi HCO3  basa
- Ginjal filtrasi H+  asam
4. Penyebab kusmaul
- Jika pH menurun maka CO2 di intrasel akan meningkat sehingga akan
mengalami hiperventilasi dan terjadi kusmaul. CO2 akan keluar
melalui metabolisme anaerob agar mendapat suplai O2
- Alkalosis respiratorik akan mengeluarkan CO2 dengan cepat karena
disebabkan hiperventilasi
- Kecemasan dan pengaruh overdosis aspirin dapat menyebabkan
pernafasan cepat dan dalam
- HCO3- dan H+ akan berikatan sehingga akan membentuk H2CO3 yaitu
senyawa yang reversible dan dapat dipecah menjadi H2O dan CO2

MIND MAP

Anuria
Metabolisme
AsamBasa

Fungsi
Kelainan\ Ginjal

Absorpsi

Ekskresi
Kusmaul
Struktur
5

F. Sasaran Belajar

STEP 5

1. Kadar gas darah normal


2. Mekanisme keseimbangan asam basa melalui sistem urinarius dan struktur
organ yang berperan
3. Hubungan mekanisme keseimbangan asam basa sistem urinarius dengan
sistem tubuh lain
4. Macam gangguan keseimbangan asam basa yang diakibatkan gangguan
sistem urinarius dan bagaimana dampak dalam tubuh

G. Belajar Mandiri

STEP 6

Belajar Mandiri

STEP 7

1. Komposisi Gas Darah Normal

Dari skenario hasil analisis gas darah didapatkan hasilnya pH 7,53; PCO2
dan HCO3- meningkat. Pasien diduga mengalami alkalosis metabolik karena kadar
HCO3- meningkat menyebabkan pH darah menjadi basa dan dikompensasi
menjadi basa oleh peningkatan pernapasan yang dalam sehingga menyebabkan
peningkatan pCO2. Berikut ini adalah komposisi gas darah normal tubuh:

Rentang nilai normal

pH : 7, 35-7, 45 TCO2 : 23-27 mmol/L

PCO2 : 35-45 mmHg BE : 0 ± 2 mEq/L

PO2 : 80-100 mmHg saturasi O2 : 95 %


6

Elektrolit

Na+ : 142 mEq/L

K+ : 5 mEq/L

Ca2+ : 3 mEq/L

Mg++ : 1.5 mEq/L

Cl− : 107 mEq/L

HCO3- : 24 mEq/L

Lactate- : 1.2 mEq/L

HPO4 : 3 mEq/L

Urate- : 0.3 mEq/L

Sulfate++ : 0.5 mEq/L

Nonelektrolit

Glukosa : 100 mEq/L

Urea : 26 mEq/L

Kreatinin : 1 mEq/L

A. Analisa gas darah (pada level permukaan laut dan udara pernapasan
ruang)

Partial pressure of oxygen (PaO2): Lebih dari 80 mm Hg (lebih dari 10.6 kPa)
Partial pressure of carbon dioxide 35–45 mm Hg (4.6–5.9 kPa)
(PaCO2):
pH: 7.35–7.45
Bicarbonate (HCO3): 22–26 mEq/L (22–26 mmol/L)
Oxygen content (O2CT): 15–22 mL per 100 mL darah (6.6–9.7
mmol/L)
Oxygen saturation (O2Sat): 95%–100% (0.95–1.00)
7

B. Klasifikasi gangguan asam basa primer dan terkompensasi:

1. Normal bila tekanan CO2 40 mmHg dan pH 7,4. Jumlah CO2 yang diproduksi
dapat dikeluarkan melalui ventilasi. 1
2. Alkalosis respiratorik. Bila tekanan CO2 kurang dari 30 mmHg dan
perubahan pH, seluruhnya tergantung pada penurunan tekanan CO2 di mana
mekanisme kompensasi ginjal belum terlibat, dan perubahan ventilasi baru
terjadi. Bikarbonat dan base excess dalam batas normal karena ginjal belum
cukup waktu untuk melakukan kompensasi. Kesakitan dan kelelahan
merupakan penyebab terbanyak terjadinya alkalosis respiratorik pada anak
sakit kritis. 1
3. Asidosis respiratorik. Peningkatan tekanan CO2 lebih dari normal akibat
hipoventilasi dan dikatakan akut bila peninggian tekanan CO2 disertai
penurunan pH. Misalnya, pada intoksikasi obat, blokade neuromuskuler, atau
gangguan SSP. Dikatakan kronis bila ventilasi yang tidak adekuat disertai
dengan nilai pH dalam batas normal, seperti pada bronkopulmonari displasia,
penyakit neuromuskuler, dan gangguan elektrolit berat. 1
4. Asidosis metabolik yang tak terkompensasi. Tekanan CO2 dalam batas
normal dan pH di bawah 7,30. Merupakan keadaan kritis yang memerlukan
intervensi dengan perbaikan ventilasi dan koreksi dengan bikarbonat. 1
5. Asidosis metabolik terkompensasi. Tekanan CO2 < 30 mmHg dan pH 7,30--
7,40. Asidosis metabolik telah terkompensasi dengan perbaikan ventilasi. 1
6. Alkalosis metabolik tak terkompensasi. Sistem ventilasi gagal melakukan
kompensasi terhadap alkalosis metabolik ditandai dengan tekanan CO2 dalam
batas normal dan pH lebih dari 7,50 misalnya pasien stenosis pilorik dengan
muntah lama. 1
7. Alkalosis metabolik terkompensasi sebagian. Ventilasi yang tidak adekuat
serta pH lebih dari 7,50. 1
8. Hipoksemia yang tidak terkoreksi. Tekanan oksigen kurang dari 60 mmHg
walau telah diberikan oksigen yang adekuat 1
9. Hipoksemia terkoreksi. Pemberian O2 dapat mengoreksi hipoksemia yang ada
sehingga normal. 1
8

10. Hipoksemia dengan koreksi berlebihan. Jika pemberian oksigen dapat


meningkatkan tekanan oksigen melebihi normal. Keadaan ini berbahaya pada
bayi karena dapat menimbulkan retinophaty of prematurity, peningkatan
aliran darah paru, atau keracunan oksigen. Oleh karena itu, perlu dilakukan
pemeriksaan yang lain seperti konsumsi dan distribusi oksigen. 1

2. Mekanisme Keseimbangan Asam Basa


Di skenario didapatkan PH darah pasien meningkat menjadi 7,53, lebih
tinggi dan basa dari PH normalnya yang berkisar di 7,35 – 7,45. Hal ini
disebabkan oleh naiknya kadar HCO3- darah. Pasien diduga mengalami kelainan
fungsi ginjal yang salah satunya sebagai penyeimbang asam-basa dalam tubuh. 2
Ginjal mengatur keseimbangan asam basa dengan mengeksresikan urin
yang asam atau basa. Pengeluaran urin asam akan mengurangi jumlah asam dalam
cairan ekstraselular, sedangkan pengeluaran urin basa berarti menghilangkan basa
dari cairan ekstraselular.3
Ginjal mengatur konsentrasi H⁺ cairan ekstraselular melalui tiga mekanisme
dasar, yaitu sekresi H⁺, reabsorpsi HCO3- yang di filtrasi, dan produksi HCO3-
baru.2

A. Sekresi H⁺ dan reabsorpsi HCO3- oleh tubulus ginjal


Sekresi ion hidrogen dan reabsorpsi HCO3- terjadi hampir diseluruh bagian
tubulus kecuali segmen tipis pars descenden dan ascenden ansa Henle.

Gambar 1.1 Reabsorpsi bikarbonat di berbagai segmen tubulus ginjal. 3


9

Sekitar 80 sampai 90 persen reabsorpsi bikarbonat (dan sekresi H⁺) terjadi


di tubulus prokimal, sehingga hanya sejumlah kecil HCO3- yang mengalir ke
tubulus distal dan duktus koligens. Di segmen tebal pars ascenden ansa Henle,
terjadi tambahan reabsorpsi 10 persen HCO3- dari yang difiltrasi dan sisanya
direabsorpsi di tubulus distal dan duktus koligens.3

1. H⁺ disekresikan oleh transport aktif sekunder di awal segmen tubulus


Sel epitel tubulus proksimal, segmen tebal pars ascenden ansa Henle, dan
bagian tebal tubulus distal, semuanya menyekresikan H⁺ ke dalam cairan tubulus
melalui counter-transport natrium-hydrogen. Sekresi aktif sekunder dan H⁺ ini
berpasangan dengan transport Na+ ke dalam sel pada membrane luminal oleh
protein penukar (exchanger) natrium-hidrogen, dan energi untuk H⁺ yang
melawan gradien konsentrasi yang berasal dari gradien natrium yang membantu
pergerakan Na+ ke dalam sel. Gradien ini dihasilkan oleh pompa natrium
adenosine trifosfatase (ATPase) di membran basolateral. Kira-kira 95%
bikarbonat direabsorpsi dengan cara ini, dengan membutuhkan sekresi sekitar
4000 mEq H⁺ oleh tubulus setiap harinya. Akan tetapi mekanisme ml tidak
menghasilkan konsenrasi H⁺ yang tinggi dalam cairan tubulus, cairan tubulus
menjadi sangat asam hanya di tubulus koligentes dan duktus koligens. Proses
sekresi dimulai ketika CO2 berdifusi ke dalam sel tubulus atau dibentuk melaui
metabolisme di dalam sel epitel tubulus. CO2 di bawah pengaruh enzim anhidrase
karbonat bergabung dengan H2O untuk membentuk H2CO3 yang berdisosiasi
menjadi HCO3- dan H⁺. H⁺ disekresikan dari sel masuk ke dalam lumen tubulus
melalui counter transport natrium hidrogen. Yaitu ketika Na+ bergerak dan lumen
tubulus ke bagian dalam sel. Na+ mula mula bergabung dengan protein pembawa
di luminal membran sel, pada waktu yang bersamaan, H⁺ dibagian dalam
bergabung dengan protein pembawa. Na+ bergerak ke dalam sel mengikuti
gradien konsentrasi yang telah dihasilkan oleh pompa natrium-kalium ATPase di
membran basolateral. Gradien untuk pergerakkan Na+ ke dalam sel kemudian
menyediakan energi untuk menggerakkan H⁺ kearah yang berlawanan dan dalam
sel ke lumen tubulus.3
10

HCO3- yang dihasilkan didalam sel (ketika H⁺ berdisosiasi dari H2CO3)


kemudian bergerak mengikuti gradien melintasi membran basolateral masuk ke
dalam cairan intestinal ginjal dan darah kapiler tubulus. Hasil neto adalah bawa
setiap H⁺ yang disekresikan ke dalam lumen tubulus, satu HCO3- masuk ke dalam
darah.3

Gambar 1.2 Mekanisme selular untuk (1) sekresi aktif H⁺ ke dalam tubulus ginjal,
(2) reabsorpsi HCO3- oleh tubulus melalui penggabungan dengan H⁺ guna
membentuk asam karbonat, yang akan terurai menjadi karbondioksida dan air,
serta (3) reabsorpsi ion natrium sebagai pertukan dengan H⁺ yang disekresi. 3

2. HCO3- yang difiltasi, direabsorpsi melalui interaksi dengan H⁺ dalam


tubulus.
Reabsorpsi HCO3- diawali oleh reaksi di dalam tubulus antara HCO3- yang
difiltrasi pada glomerulus dan H⁺ yang disekresi oleh sel tubulus. H2CO3 yang
terbentuk kemudian berdisosiasi menjadi CO2 dan H2O. CO2 dapat bergerak
dengan mudah melewati membran tubulus, oleh karena itu CO2 segera berdifusi
masuk ke dalam sel tubulus, tempat CO2 bergabung kembali dengan H2O,
dibawah pengaruh anhidrase karbonat, untuk menghasilkan molekul H2CO3 yang
baru. H2CO3 ini kemudian berdisosiasi membentuk HCO3- dan H⁺. H2CO3
kemudian berdifusi melalui membran basolateral masuk ke dalam cairan
intestinal dan di bawa ke darah kapiler peritubulus. Transpor HCO3 melalui
membran basolateral di fasilitasi oleh dua mekanisme, yaitu ko-transpor Na+-
11

HCO3- ditubulus proksimal dan pertukaran Cl-- HCO3- di akhir tubulus proksimal,
bagian pars tebal ascendens ansa Henle, dan di tubulus dan duktus koligens.3
Jadi, setiap kali satu H⁺di bentuk didalam sel epitel tubulus, satu HCO3- juga
dibentuk dan dilepaskan kembali ke dalam darah. Pengaruh neto reaksi ini adalah
reabsorpsi HCO3 dan tubulus. Reabsorpsi HCO3 yang difiltrasi tidak
menghasilkan H⁺ neto karena H⁺ yang disekresi bergabung dengan HCO3- yang
difiltrasi dan karena itu tidak diekskresikan.3

3. Mekanisme sekresi H⁺ ginjal di tubulus proksimal.

Di tubulus proksimal, H⁺ disekresi oleh transport aktif primer melalui


pompa H⁺ ATPase dan juga melalui transport aktif sekunder melalui antiporter
Na+- H⁺. Antiporter memindahkan Na+ yang berasal dari filtrate glomerulus
dalam darah yang berlawaan dengan sekresi H⁺, jadi sekresi H⁺ dan reabsorpsi
Na+ terkait secara parsial di tubulus proksimal.3

4. Mekanisme sekresi H⁺ ginjal pada tubulus proksimal dan ductus


koligentes

Pada tubulus distal dan duktus koligentes terdapat dua sel yaitu sel principal
dan sel interkalasi. Sel-sel ini berperan penting dalam keseimbangan Na+ dan K+
dibawah pengaruh aldosteron. Mereka juga merupakan sel yang berperan dalam
mempertahankan keseimbangan H2O dibawah pengaruh vasopressin.3
Sel interkalasi yang tersebar diantara sel principal, berperan dalam
pengaturan halus keseimbangan asam basa. Terdapat dua jenis sel interkalasi,
Tipe A dan Tipe B. Sel interkalasi Tipe A lebih aktif dibandingkan sel interkalasi
Tipe B dalam situasi normal, dan aktivitasnya bahkan meningkat selama asidosis.
Sel interkalasi Tipe B menjadi lebih aktif selama alkalosis.3

5. Sekresi aktif primer dan H⁺ dalam sel interkalatus pada tubulus distal
bagian akhir dan tubulus koligens.
Dimulai dari bagian akhir tubulus distal dan berlanjut melalui sisa sistem
tubular, epitel tubulus menyekresikan H⁺ melalui transport aktif primer.
Mekanisme sekresi primer H⁺ terjadi pada membran luminal sel tubulus, tempat
12

H⁺ ditranspor secara langsung oleh protein khusus, yaitu hydrogen transporing


ATPase yang dibutuhkan untuk memompa H⁺ yang dihasilkan dari pemecahan
ATP menjadi adenosine difosfat. Sekresi aktif primer H⁺ terjadi di sel khusus
yang disebut sel interkalatus pada tubulus distal bagian akhir tubulus koligens.
Sekresi ion hidrogen dalam sel ini dilakukan melalui dua langkah yaitu, CO2 yang
terlarut dalam sel ini bergabung dengan H2O dan membentuk H2CO3 dan H2CO3
kemudian berdisosiasi menjadi HCO3- yang direabsorpsi ke dalam darah,
ditambah H⁺ yang di sekresikan ke dalam tubulus melalui mekanisme hidrogen
ATPase. Untuk setiap H⁺ yang disekresikan, satu HCO3 direabsorpsi mirip dengan
proses yang terjadi di tubulus proksimal. Perbedaan utamanya adalah H⁺ bergerak
melewati membran luminal melalui pompa H⁺ aktif dan bukan melalui konter
transpor seperti yang terjadi pada bagian-bagian awal nefron.3

Gambar 1.3 sekresi aktif primer H⁺ melalui membrane luminal sel epitel
interkalatus diakhir tubulus distal dan tubulus koligens.3

B. Kombinasi H⁺ yang berlebihan dengan dapar fosfat dan ammonia pada


tubulus menghasilkan HCO3- yang baru
Bila ion H⁺disekresikan lebih banyak dari HCO3- yang difiltrasi dari cairan
tubulus, hanya sebagian kecil bagian ini yang dapat dieksresikan dalam bentuk ion
H⁺ dalam urin. Eksresi sejumlah besar H⁺ (kadang kadang sebanyak 500 mEq
/hari) dalam urin terutama dicapai dengan menggabungkan H⁺ dengan dapar
cairan tubulus. Dapar yang paling penting adalah dapar fosfat dan dapar
ammonia.3
13

1. Sistem dapar membawa kelebihan H⁺ ke dalam urin dan membentuk


HCO3- baru.

Sistem dapar fosfat terdiri dari HPO4- dan H2PO4- keduanya menjadi pekat di
dalam cairan tubulus karena air secara normal lebih banyak direabsorpsi dari
pada fosfat oleh tubulus ginjal. Fosfat jauh lebih efektif sebagai dapar dalam
cairan tubulus.3

Selama terdapat kelebihan HCO3-dalam cairan tubulus kebanyakan H⁺ yang


disekresikan bergabung dengan HCO3-. Akan teteapi begitu semua HCO3- telah
direabsorpsi dan tidak ada lagi yang tersedia untuk berkaitan dengan H⁺, setiap
kelebihan H⁺ dapat bergabung dengan HPO4- dan dapar tubulus lainnya, setelah
H⁺ begabung dengan HPO4- untuk membentuk H2PO4- kemudian dapat
diekskresikan sebagai garam natrium (NaH2Po4) dengan membawa serta
kelebihan H⁺.3

Ada satu perbedaan penting dalam urutan ekskresi H⁺. Pada keadaan ini
HCO3-yang dihasilkan dalam sel tubulus dan yang memasuki darah peritubulus
merupakan tambahan neto HCO3- oleh dara bukan hanya penggantian HCO3- yang
di filtrasi, oleh karena itu kapanpun H⁺ yang disekresikan bergabung dengan
dapar selain HCO3- hasil akhirnya adalah penambahan HCO3- baru ke dalam
darah. Hal ini menunjukan salah satu mekanisme yang dilakukan oleh ginjal untuk
memperbaharui simpanan HCO3- cairan ekstraselular.3

Pada kondisi normal, kebanyakan fosfat yang difiltrasi akan direabsorpsi,


dan hanya tersedia sekitar 30-40 mEq/hari untuk mendapar H⁺. Oleh karena itu,
sebagian besar pendaparan untuk kelebihan H⁺dalam cairan tubulus pada keadaan
asidosis terjadi melalui sistem dapar ammonia.3
14

Gambar 1.4 pendaparan H⁺ yang disekresikan oleh fosfat (NaHPO4-) yang di


filtrasi.3

2. Ekskresi kelebihan H⁺ dalam pembentukan HCO3- baru oleh sistem dapar


ammonia.

Sistem dapar kedua dalam cairan tubulus yang bahkan lebih kuantitatif dari
pada sistem dapar fosfat terdiri atas ammonia (NH3) dan ion ammonium (NH4-).
Ion ammonium disintesis dari glutamine, yang terutama berasal dari metabolisme
asam amino di dalam hati. Glutamine yang di angkut ke dalam ginjal akan
ditranspor ke dalam sel epitel tubulus proksimal, segmen tebal pars ascendens
ansa Henle, dan tubulus distal. Sekali berada di dalam sel, setiap molekul
glutamine dimetabolisme dalam serangkaian reaksi agar pada akhirnya
membentuk dua ion NH4+ dan dua ion HCO3-. NH4+disekresikan ke dalam lumen
tubulus melalui mekanisme counter transport ditukarkan dengan ion natrium,
yang direabsorpsi HCO3- ditranspor melewati membran basolateral bersama
dengan Na+ yang direabsorpsi, masuk ke dalam cairan intestinal dan di ambil oleh
kapiler peritubulus. Jadi untuk setiap molekul glutamine yang dimetabolisme di
dalam tubulus proksimal, ion NH4+ disekresikan ke dalam urin dan dua ion HCO3-
di reabsorpsi kedalam darah. HCO3- yang dihasilkan oleh proses ini merupakan
bikarbonat baru.3
15

Gambar 1.5 Produksi dan sekresi ion ammonium (NH4+) oleh tubulus proksimal.3

3. Hubungan mekanisme keseimbangan asam-basa sistem urinarius dengan


mekanisme keseimbangan asam basa sistem tubuh lain.
Pasien dalam skenario mengalami sesak nafas disertai anuria. Pasien
didapatkan mengalami kusmaul, anuria, dan terjadi peningkatan pH, HCO3- dan
PCO2 dalam darah. Hal ini ada kaitannya antara hubungan keseimbangan asam
basa yang terjadi di sistem urinarius dan keseimbangan asam basa pada sistem
tubuh lain yang saling mengkompensasi asam basa dalam tubuh.3
Perubahan [H+] memengaruhi kadar K+ tubuh. Saat mereabsorpsi Na+ dari
filtrat, sel-sel tubulus ginjal menyekresikan. H+ atau H+ sebagai penukarnya.
Dalam keadaan normal, sel-sel tersebut lebih cenderung menyekresikan K+
daripada H+. Karena terdapat hubungan erat antara sekresi H+ dan K+ oleh ginjal.
Ketika sekresi H+ meningkat untuk mengompensasi asidosis, K+ yang dapat
disekresikan lebih sedikit daripada biasanya; sebaliknya, ketika sekresi H+
menurun selama alkalosis, K+ yang disekresikan lebih banyak daripada normal.
Perubahan [K+] di CES yang terjadi dapat menyebabkan abnormalitas jantung, di
antara konsekuensi merusak lainnya.3

A. Tiga lini pertahanan terhadap perubahan [H+]


Kunci bagi keseimbangan H+ adalah pemeliharaan alkalinitas normal CES
(pH 7,4) meskipun selalu terjadi penambahan asam. H+ bebas yang dihasilkan
16

sebagian besar harus dikeluarkan dari larutan selagi berada di tubuh dan akhirnya
harus dikeluarkan sehingga pH cairan tubuh dapat tetap berada dalam kisaran
sempit yang memungkinkan hidup. Juga harus terdapat mekanisme yang cepat
mengompensasi situasi-situasi ketika CES menjadi terlalu basa. Tiga lini
pertahanan terhadap perubahan [H+] bekerja untuk mempertahankan [H+] di
cairan tubuh pada kadar hampir tetap meskipun pemasukannya tidak diatur: (1)
sistem dapar kimiawi, (2) mekanisme pernapasan untuk mengontrol pH, dan (3)
mekanisme ginjal untuk mengontrol pH. Kita akan membahas masing-masing dari
metode-metode ini.3

B. Sistem pernapasan mengatur [H+] dengan mengontrol laju pengeluaran


CO2
Sistem pernapasan berperan penting dalam keseimbangan asam-basa
melalui kemampuannya mengubah ventilasi paru dan karenanya mengubah
ekskresi CO2 penghasil asam. Tingkat aktivitas pernapasan sebagian diatur oleh
[H+] arteri.4
Peningkatan [H+] arteri akibat kausa non-respiratorik (metabolik)
merangsang pusat pernapasan di batang otak untuk meningkatkan ventilasi paru
(kecepatan pertukaran gas antara paru dan atmosfer). Seiring dengan peningkatan
kecepatan dan kedalaman napas, lebih banyak CO2 dihembuskan keluar. Karena
hidrasi CO2 membentuk H+, pengeluaran CO2 pada hakikatnya menghilangkan
asam dari sumber ini di tubuh, menghilangkan kelebihan asam yang berasal dari
sumber non-pernapasan.4
Sebaliknya, ketika [H+] arteri turun, ventilasi paru berkurang akibat
pernapasan yang lebih dangkal dan lambat, CO2 yang diproduksi oleh
metabolisme berdifusi dari sel ke darah lebih cepat daripada pengeluarannya dari
darah oleh paru sehingga tejadi akumulasi CO2 penghasil asam di darah,
memulihkan [H+] menuju normal.4
Paru sangat penting dalam mempertahankan [H+]. Setiap hari organ ini
mengeluarkan H+ yang berasal dari CO2 dari cairan tubuh dalam jumlah 100 kali
lebih banyak daripada yang dikeluarkan oleh ginjal dari sumber di luar H+-CO2.
Selain itu, sistem pernapasan melalui kemampuannya mengatur [CO2] arteri,
17

dapat menyesuaikan jumlah H+ yang ditambahkan ke cairan tubuh dari sumber ini
sesuai kebutuhan untuk memulihkan pH ke arah normal ketika terjadi fluktuasi
[H+] dari sumber selain H+- CO2.4

Gambar 1.6 Efek peningkatan PCO2 arteri pada ventilasi. 4

Gambar 1.7 Efek peningkatan PCO2 arteri pada ventilasi. 4


18

1. Sistem pernapasan berfungsi sebagai lini kedua pertahanan terhadap


perubahan [H+]
Regulasi oleh sistem pernapasan bekerja dengan kecepatan sedang, aktif
hanya jika sistem dapar saja tidak mampu meminimalkan perubahan [H+]. Jika
terjadi penyimpangan [H+], sistem dapar segera berespons, sementara penyesuaian
pada ventilasi memerlukan beberapa menit sebelum dimulai. Jika penyimpangan
[H+] tersebut tidak cepat dan tuntas dikoreksi oleh sistem dapar, sistem
pernapasan beraksi dalam beberapa menit kemudian sehingga berfungsi sebagai
ini kedua pertahanan terhadap perubahan [H+].4
Sistem pernapasan sendiri dapat mengembalikan pH hanya 50% hingga
75% ke normal. Ketidakmampuan sistem pernapasan mengompensasi secara
penuh ketidakseimbangan asam-basa yang disebabkan oleh faktor di luar sistem
pernapasan disebabkan oleh dua alasan. Pertama, selama kompensasi respiratorik
terhadap suatu penyimpangan pH, kemoreseptor perifer, yang meningkatkan
ventilasi sebagai respons terhadap peningkatan [H+] arteri, dan kemoreseptor
sentral, yang meningkatkan ventilasi sebagai respons terhadap peningkatan [CO2],
bekerja secara terpisah. Bayangkan apa yang teradi sebagai respons terhadap
asidosis yang ditimbulkan oleh kausa non-respirasi. Ketika mendeteksi
peningkatan [H+] arteri, kemoreseptor perifer secara refleks merangsang pusat
pernapasan untuk meningkatkan ventilasi sehingga lebih banyak CO2 pembentuk
asam yang dibuang keluar. Namun, sebagai respons terhadap penurunan CO2,
kemoreseptor sentral mulai menghambat pusat pernapasan.4
Kedua, gaya pendorong untuk peningkatan kompensatorik ventilasi
berkurang seiring dengan bergeraknya pH menuju normal. Ventilasi ditingkatkan
oleh kemoreseptor perifer sebagai respons terhadap peningkatan [H+] arteri, tetapi
seiring dengan berkurangnya [H+] secara gradual akibat peningkatan pengeluaran
CO2 penghasil H+, respons ventilasi yang semula meningkat juga secara bertahap
berkurang.4
Ketika perubahan [H+] berakar dari fluktuasi [CO2] yang ditimbulkan oleh
gangguan pernapasan, mekanisme pernapasan sama sekali tidak berperan
mengontrol pH. Sebagai contoh, jika terjadi asidosis karena akumulasi CO2 akibat
penyakit paru, paru paru yang sakit tidak mungkin mengompensasi asidosis
19

dengan meningkatkan kecepatan pembuangan CO2. Sistem penyangga (selain


H2CO; HCO3-) plus regulasi ginjal adalah satu-satunya mekanisme yang tersedia
untuk melawan kelainan asam-basa yang disebabkan oleh faktor pernapasan.4
Penyimpangan dari status normal asam-basa dibagi menjadi empat kategori,
bergantung pada sumber dan arah perubahan abnormal [H+]. Kategori-kategori
tersebut adalah asidosis respiratorik, alkalosis respiratorik, asidosis metabolik, dan
alkalosis metabolik. Karena hubungan antara [H+] dan konsentrasi anggota-
anggota pasangan basa, perubahan pada [H+] tercermin oleh perubahan rasio
[HCO3-] terhadap [CO2]. Ingat kembali bahwa rasio normal adalah 20/1. Dengan
menggunakan persamaan Henderson-Hasselbalch dan dengan pK 6,1 serta log 20
adalah 1,3, pH normal = 6,1+1,3 = 7,4. Pengukuran [HCO3-] dan [CO2] memberi
informasi yang lebih bermanfaat mengenai faktor-faktor yang mendasari status
asam-basa tertentu daripada pengukuran langsung [H+] saja. Aturan-aturan berikut
berlaku kita lupa meneliti ketidakseimbangan meneliti ketidakseimbangan asam-
basa sebelum terjadi kompensasi apapun:
a. Perubahan pH yang disebabkan oleh faktor pernapasan berkaitan dengan
kelainan (CO2), menyebabkan perubahan H+ yang dihasilkan dari H2CO3.
Sebaliknya, penyimpangan pH karena faktor metabolik berkaitan dengan
kelainan [HCO2-] yang terjadi karena ketidaksamaan antara jumlah HCO3-
yang tersedia dan jumlah H+ yang dihasilkan dari asam non-karbonat yang
harus didapar oleh HCO3-.4
b. Setiap kali rasio [HCO3-]/[CO2] turun di bawah 20/1, timbul asidosis. Log
setiap angka di bawah 20 adalah kurang dari 1,3 dan, jika ditambahkan ke
pK 6,1, menghasilkan pH asidosis di bawah 7,4. Setiap kali rasio melebihi
20/1, terjadi alkalosis. Log setiap angka di atas 20 adalah lebih dari 1,3
dan, jika ditambahkan ke pK 6,1, menghasilkan pH alkalotik di atas 7,4.4
2. Asidosis metabolik berkaitan dengan penurunan [HCO3-]
Asidosis metabolik (juga dikenal sebagai asidosis non-respiratorik)
mencakup semua jenis asidosis selain yang disebabkan oleh kelebihan CO2 di
cairan tubuh. Pada keadaan takterkompensasi, asidosis metabolik selalu ditandai
oleh penurunan [HCO3]), sementara [CO2] normal sehingga terbentuk rasio
20

asidotik 10/1. Masalah dapat timbul karena pengeluaran cairan kaya- HCO3- yang
berlebihan dari tubuh atau karena akumulasi asam non-karbonat.4
Muntah menyebabkan pengeluaran abnormal H+ dari tubuh akibat
hilangnya getah lambung yang asam. Asam hidroklorida disekresikan ke dalam
lumen lambung selama pencernaan. Selama sekresi HC1, bikarbonat ditambahkan
ke plasma. HCO3- ini dinetralkan oleh H+ sewaktu sekresi lambung akhirnya
diserap kembali ke dalam plasma sehingga dalam keadaan normal tidak terjadi
penambahan neto HCO3- ke plasma dari sumber ini. Namun, jika asam ini keluar
dari tubuh sewaktu muntah, tidak saja [H+] plasma menurun tetapi juga tidak lagi
terjadi reabsorpsi H+ untuk menetralkan HCO3- ekstra yang ditambahkan ke
plasma sewaktu sekresi HCl lambung. Karena itu, keluarnya HC1 pada
hakikatnya meningkatkan [HCO3-] plasma. (Sebaliknya, pada muntah yang "lebih
dalam", HCO3- di getah pencernaan yang disekresikan ke dalam usus halus bagian
atas mungkin keluar bersama muntahan sehingga yang terjadi adalah asidosis
bukan alkalosis).4
Ingesti obat alkali dapat menyebabkan alkalosis, misalnya saat soda kue
(NaHCO3, yang terurai menjadi Na+ dan HCO3+ dalam larutan) digunakan sendiri
sebagai terapi hiperasiditas lambung. Dengan menetralkan kelebihan asam di
lambung, HCO3- meredakan gejala iritasi lambung dan heartburn; tetapi jika
HCO3- yang ditelan melebihi kebutuhan, kelebihan HCO3- akan diserap dari
saluran cerna dan meningkatkan [HCO3-] plasma. Kelebihan HCO3- ini berikatan
dengan sebagian H+ bebas yang normalnya ada di plasma dari sumber-sumber
non-karbonat, menurunkan [H+] bebas. (Sebaliknya, produk alkali komersial
untuk mengobati hiperasiditas lambung sama sekali tidak diserap dari saluran
cerna sehingga tidak mengubah status asam-basa tubuh).4

3. Gambaran singkat gangguan asam-basa terkompensasi


Status asam-basa seseorang tidak dapat dinilai hanya berdasarkan pH.
Kelainan asam-basa takterkompensasi dapat mudah dibedakan berdasarkan
penyimpangan [CO2] atau [HCO3-] dari normal. Namun, ketika kompensasi telah
dicapai dan pH pada hakikatnya normal, penentuan [CO2] dan [HCO3-] dapat
mengungkapkan gangguan asam-basa, tetapi jenis gangguan tidak dapat
21

dibedakan. Sebagai contoh, pada asidosis respiratorik terkompensasi dan alkalosis


metabolik terkompensasi, [CO2] dan [HCO3-] di atas normal. Pada asidosis
respiratorik, masalah awal adalah peningkatan abnormal [CO2], dan peningkatan
kompensatorik [HCO3-] mengambalikan rasio [HCO3-]/ [CO2] ke 20/1. Alkalosis
metabolik, sebaliknya, ditandai oleh peningkatan abnormal [HCO3-] ditempat
pertama; kemudian peningkatan kompensatorik [CO,] memulihkan rasio ke
normal. Demikian juga, alkalosis respiratorik terkompensasi dan asidosis
metabolik terkompensasi memperlihatkan pola [CO2] dan [HCO3-] yang serupa.
Alkalosis respiratorik bermula dari pengurangan [CO2] yang dikompensasi
oleh pengurangan [HCO3-]. Pada asidosis metabolik, [HCO3-] turun di bawah
normal, diikuti oleh penurunan kompensatorik [CO2]. Karena itu, pada gangguan
asam-basa terkompensasi, masalah awal harus ditentukan berdasarkan gejala dan
tanda klinis selain penyimpangan [CO2] dan [HCO3-] dari normal.4

4. Pengaturan Pernafasan terhadap Keseimbangan Asam-Basa


Garis pertahanan kedua terhadap gangguan asam-basa adalah pengaturan
konsentrasi CO2 cairan ekstraselular oleh paru. Peningkatan ventilasi akan
mengeluarkan CO2 dari cairan ekstraselular, yang melalui kerja massal, akan
mengurangi konsentrasi H+. Sebaliknya, penurunan ventilasi akan meningkatkan
CO2, yang juga meningkatkan konsentrasi H+ dalam cairan ekstraselular.4

5. Ekspirasi CO2 oleh Paru Mengimbangi Pembentukan CO2 Metabolik


CO2 dibentuk secara terus-menerus dalam tubuh melalui proses metabolisme
intrasel. Setelah dibentuk, CO2 berdifusi dari sel masuk ke dalam cairan
interstisial dan darah, dan aliran darah mengangkut CO2 ke paru, tempat CO2
berdifusi ke dalam alveoli dan kemudian dipindahkan ke atmosfer melalui
ventilasi paru. Normalnya, terdapat sekitar 1,2 mol/L CO, yang terlarut di dalam
cairan ekstraselular, yang sama dengan PCO2 sebesar 40 mm Hg.4
Bila kecepatan pembentukan CO, metabolik meningkat, PCO2 cairan
ekstraselular juga meningkat. Sebaliknya, penurunan kecepatan metabolik
menurunkan PCO2. Bila kecepatan ventilasi paru meningkat, CO2 dihembuskan
keluar dari paru dan PCO2 dalam cairan ekstraselular menurun. Oleh karena itu,
22

perubahan ventilasi paru atau perubahan kecepatan pembentukan CO2 oleh


jaringan dapat mengubah PCO2 cairan ekstraselular.4

6. Peningkatan Ventilasi Alveolus Menurunkan Konsentrasi H+ Cairan


ekstraselular dan Meningkatkan pH
Bila pembentukan CO2 metabolik tetap konstan, satu-satunya faktor lain
yang memengaruhi PCO2 cairan ekstraselular adalah kecepatan ventilasi alveolus.
Semakin tinggi ventilasi alveolus, semakin rendah PCO2; sebaliknya, semakin
rendah kecepatan ventilasi alveolus, semakin tinggi PCO2. Seperti telah dibahas
sebelumnya, bila konsentrasi CO2 meningkat, konsentrasi H2CO3 dan konsentrasi
H+ juga meningkat, sehingga menurunkan pH cairan ekstraselular. Perubahan pH
darah yang disebabkan oleh peningkatan atau penurunan kecepatan ventilasi
alveolus. Perhatikan peningkatan ventilasi alveolus sampai sekitar dua kali nilai
normal akan meningkatkan pH cairan ekstraselular sekitar 0,23. Bila pH cairan
tubuh 7,40 dengan ventilasi alveolus normal, peningkatan 2 kali kecepatan
ventilasi akan meningkatkan pH menjadi sekitar 7,63. Sebaliknya, penurunan
ventilasi alveolus sampai seperempat normal akan mengurangi pH sebesar 0,45.
Artinya, bila pH 7,4 pada ventilasi alveolus normal, penurunan ventilasi sampai
seperempat normal akan mengurangi pH menjadi 6,95. Oleh karena kecepatan
ventilasi alveolus dapat berubah dengan nyata, dan serendah 0 sampai 15 kali
normal, kita dapat dengan mudah memahami seberapa besar pH cairan tubuh
dapat diubah oleh sistem pernapasan.4

7. Peningkatan Konsentrasi H+ Merangsang Ventilasi Alveolus


Tidak hanya kecepatan ventilasi alveolus saja yang memengaruhi
konsentrasi H+ dengan mengubah PCO2 cairan tubuh, tetapi konsentrasi H+ juga
memengaruhi kecepatan ventilasi alveolus kecepatan ventilasi alveolus meningkat
empat sampai lima kali kecepatan normal sewaktu pH turun dan nilai normal 7,4
menjadi 7,0 yang sangat asam. Sebaliknya, saat pH plasma meningkat di atas 7,4;
keadaan ini menyebabkan penurunan kecepatan ventilasi. Seperti yang dapat kita
lihat pada grafik perubahan kecepatan ventilasi per perubahan unit pH jauh lebih
besar pada penurunan kadar pH (sama dengan peningkatan konsentrasi H+)
23

dibandingkan. Seperti yang dapat kita lihat pada grafik perubahan kecepatan
ventilasi per perubahan unit pH jauh lebih besar pada penurunan kadar pH (sama
dengan peningkatan konsentrasi H+) dibandingkan dengan peningkatan kadar pH.
Alasan untuk hal ini adalah bahwa sewaktu kecepatan ventilasi alveolus menurun,
karena peningkatan pH (penurunan konsentrasi H+), jumlah penambahan oksigen
ke dalam darah menurun dan tekanan parsial oksigen (PO2) di dalam darah juga
menurun, yang merangsang kecepatan ventilasi. Oleh karena itu, kompensasi
pernapasan untuk peningkatan pH tidak seefektif respons terhadap penurunan pH
yang nyata. 4

4. Macam gangguan keseimbangan asam basa yang diakibatkan gangguan


sistem urinarius dan bagaimana dampak dalam tubuh

Kenaikan pH darah pasien tentunya menyebabkan gangguan pada sistem


tubuh, seperti pada pasien yang mengalami kusmaul dan anuria karena adanya
kompensasi tubuh karena gangguan tersebut. Berikut ini beberapa dampak pada
tubuh yang disebabkan oleh gangguan asam basa tubuh.4

Asisdosis dan Alkalosis metabolik dan respiratorik memiliki kompensasi


atau suatu aksi yang dilakukan tubuh untuk mengembalikan kenetralan tubuh
dalam pengaturan asam basa. Berikut hal-hal yang dilakukan oleh tubuh untuk
kompensasi4:

1. Diare berat mungkin merupakan penyebab dari asidosis metabolik paling


sering. Penyebab dari asidosis ini disebabkan hilangnya sejumlah besar
natrium bikarbonat kedalam feses. Sekresi gastrointestinal normal
mengandung sejumlah besar bikarbonat dan diare menyebabkan hilangya
HCO3- ini dari tubuh, yang memberikan efek yang sama seperti hilangnya
sejumlah besar bikarbonat dalam urin. Bentuk metabolik asidosis
metabolic ini dapat berlangsung berat dan dapat menyebabkan kematian,
terutama pada anak-anak.4
2. Memuntahkan isi lambung, memuntahkan isi lambung saja, tanpa
memuntahkan isi gastrointestinal bagian bawah menyebabkan hilangnya
HCl yang disekresikan oleh mukosa lambung. Hasil netonya adalah
24

hilangnya asam dari cairan ekstraseluler dan tejadinya alkalosis metabolik,


alkalosis jenis ini terutama terjadi pada neonates dengan obstruksi pilorus
akibat hipertrofi otot sfingter pilorus.4
3. Memuntahkan isi lambung saja akan menyebabkan hilangnya asam dan
kecenderungan ke arah alkalosis karena sekresi lambung bersifat asam.
Akan tetapi, memuntahkan sejumlah besar isi dari bagian traktus
gastrointestinal bagian bawah yang kadang-kadang dapat terjadi,
menyebabkan hilangnya bikarbonat dan menimbulkan asidosis metabolik
dengan cara yang sama seperti diare menimbulkan asidosis.4
4. Bila sejumlah besar aldosteron diskresikan oleh kelenjar adrenal, akan
terjadi alkalosis metabolik ringan. Aldosteron meningkatkan reabsorbsi
Na+ dalam jumlah yang banya dari tubulus distal dan tubulus koligens, dan
pada waktu yang bersamaan, merangsan sekresi H+, oleh sel interkalatus
pada tubulus koligens. Peningkatan sekresi H+ ini menimbulkan
peningaktan eksresi H+ oleh ginjal menimbulkan alkalosis metabolik.4
5. Gagal ginjal kronis, terdapat pemberntukan anion dari asam lemak dalam
cairan tubuh yang tidak disekresikan oleh ginjal. Selain itu, penurunan laju
filtrasi glomerulus mengurangi eksresi fosfat dan NH4- yang mengurangi
jumlah HCO3- yang dimabhkan kembali ke dalam cairan tubuh. Jadi, gagal
ginjal kronis dapat menyebabkan asidosis metabolik berat.4
25

DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton A.C., Hall J.E., Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 22. Jakarta;
EGC: 2008
2. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 6. Jakarta; EGC:
2009
3. Guyton A.C., Hall J.E., Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 23. Jakarta;
EGC: 2014
4. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 8. Jakarta; EGC:
2014

Anda mungkin juga menyukai