Anda di halaman 1dari 26

PORTOFOLIO KASUS MEDIK

SIROSIS HATI

Disusun oleh :
Muhammad Sholikhuddin Nafi’, dr.

Pembimbing:
Nyimas Maida Shofa, dr., Sp.PD

Pendamping :
Kurniati, dr., Sp.KK
Lisa Puspitorini, dr., Sp.S

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RSUD IBNU SINA KABUPATEN GRESIK
2019

1
Portofolio Kasus
No. ID dan Nama Peserta : Muhammad Sholikhuddin Nafi’
No. ID dan Nama Wahana : RSUD Ibnu Sina Gresik
Topik : Kasus medik : Sirosis Hati
Tanggal (kasus): 07 Januari 2019
Nama Pasien: Tn. M. S / 61 th No RM: 717885
Tanggal Presentasi: Pendamping: dr. Kurniati, SpKK
dr. Lisa Puspitorini, SpS
Obyektif Presentasi :
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi: Seorang laki – laki, usia 61 tahun datang ke IGD RSUD Ibnu Sina dengan keluhan utama
BAB darah sejak 1 hari.
Tujuan: Mengetahui definisi, klasifikasi, etiologi, pedoman diagnosis, tatalaksana & komplikasi
sirosis hati serta contoh laporan kasus terkait sirosis hati.
Bahan bahasan Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit
Cara membahas Diskusi Presentasi & E-mail Pos
diskusi

Data pasien Nama: Tn. M. S., 61 tahun No RM: 717885


Nama Klinik: RSUD Ibnu Sina Telp: 085549005004 Terdaftar sejak: 07 Januari 2019
Data utama untuk bahan diskusi

1. Diagnosis/ Gambaran Klinis/Laboratoris

ANAMNESIS
Keluhan Utama: BAB darah

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke IGD RSUD Ibnu Sina pada tanggal 07 Januari 2019 dengan keluhan
buang air besar (BAB) berdarah. Keluhan BAB berdarah merah segar dirasakan sejak 1
hari sebelum MRS dengan frekuensi 3x. Darah segar keluar terlebih dahulu sebelum BAB
seperti menetes dengan jumlah darah masing-masing sebanyak 1 gelas (200-300 ml). BAB
darah tanpa disertai rasa nyeri. Keluhan benjolan di anus & BAB cair disangkal.
Selain itu, pasien mengeluh perutnya membesar secara perlahan sejak 5
tahun terakhir. Menurut pasien, pembesaran perut tidak menyebabkan pernafasan
terganggu.
Pasien juga mengeluh kedua tungkai bawah bengkak sejak 2 bulan SMRS.
Bengkak muncul perlahan dan tidak langsung membesar. Bengkak tetap ada saat tidur dan
tidak menghilang dengan perubahan posisi.
Pasien juga mengeluh badan terasa lemah, letih & lesu sejak 1 minggu sebelum
MRS. Keluhan dirasakan terus menerus. Menurut pasien, BAK dirasa dengan jumlah

2
kurang sejak 2 tahun yang lalu, warna kuning, namun pernah sekali berwarna seperti teh.
Muntah darah dan muntah hitam disangkal. Keluhan BAB hitam disangkal. Keluhan mata
kuning disangkal.

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Lemah
Kesadaran : GCS 456
Tekanan darah : 94/50 mmHg, pada lengan kanan dengan posisi berbaring.
Nadi : 87 x/ menit, teratur, kuat angkat
Pernapasan : 20 x/menit, teratur
Suhu : 36,7 oC
Berat badan : 62 kg
Tinggi badan : 172 cm
BMI : 21,35 (normal)
Kepala & leher : konjungtiva anemis +/+, ikterus (-), cyanosis (-), dyspneu (-).
pernafasan cuping hidung (-).
Thorax : simetris, bentuk normal, retraksi (-), deformitas (-) Spider nevi (-)
Cor : S1S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : inspeksi gerak dada simetris, fremitus raba normal/normal,
perkusi sonor/sonor, vesikuler/vesikuler, wheezing -/-, rhonchi -/-
Abdomen : inspeksi membuncit, caput medusa (+), BU (+) normal, shifting dulness (+)
tes undulasi (+) hepar/lien sulit dievaluasi
Extremitas : akral hangat kering pucat, CRT < 2 detik, eritema palmaris (-)
edema pitting ekstrimitas bawah +/+.
Status lokalis : tidak tampak massa/benjolan pada anus. Pemeriksaan rectal touche
Tonus sphincter ani (+) normal, didapatkan feses (+), darah (-), massa (-).

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
DARAH LENGKAP
Hb 3,8 g%
Leukosit 9.100
Trombosit 93.000
MCV 93
MCH 30
MCHC 32
PCV 12 %

3
Eo/Baso/Stab/Seg/Lym/Mono : 0/0/0/72/17/11
GDA 91 mg/dl
SGOT 72,9
SGPT 33,2
BUN 53,2
SC 10,05
Natrium 144
Kalium 5,3
Chloride 102
HbsAg Non reaktif
Anti HCV Non reaktif
Anti-HIV Non Reaktif
eGFR: 7 mL/min
Albumin: 2,58

PEMERIKSAAN RADIOLOGIS

Foto thorax

Kesimpulan:
Kedua sinus dan tulang tak tampak kelainan
Cor membesar ke kiri dengan konfigurasi LV
Ada tanda edema paru ringan

4
USG Abdomen (04-07-2015)

Kesimpulan:
1. Diffuse hepatomegali, dapat merupakan gambaran diffuse hepatoma
2. Splenomegali dengan ascites
3. Chronic parenchymal kidney disease bilateral
4. Calyectasis ringan ginjal kanan

2. Riwayat Kesehatan/ Penyakit

Sebelumnya pasien pernah MRS di RS Semen Gresik sejak 5 tahun ini dengan
keluhan perut membesar dan dikatakan mempunyai sakit hepatoma. Pasien rutin HD
reguler hari senin & kamis di RS Semen Gresik karena penyakit ginjal kronik sejak 2
tahun ini. Riwayat sakit kuning sebelumnya disangkal.
Riwayat penyakit darah tinggi sejak 10 tahun terakhir dengan riwayat pengobatan

5
dengan amlodipin. Pasien hanya kontrol ke dokter saat ada keluhan.

3. Riwayat Keluarga

Tidak ada anggota keluarga dengan keluhan serupa. Sakit kuning pada keluarga
disangkal.

4. Riwayat Sosial

Pasien merupakan lulusan SMP dan sehari-hari sebagai pensiunan pegawai KAI.
Konsumsi jamu pegal linu atau obat-obatan pereda nyeri (+). Riwayat penggunaan napza (-
), konsumsi alkohol (-), gonta-ganti pasangan (-) riwayat transfusi (+) sejak memiliki riwayat
PGK 2 tahun yang lalu.
Assesment
Sirosis hati + Anemia gravis + Hematochezia ec. Hemoroid interna + Asites permagna
+ CKD St. V HD Reguler + HT st. I JNC VII

Planning
Diagnosis: Albumin, DL post transfusi
Terapi:
- Transfusi PRC 1 bag/hari (pesan 2 bag)
- Inj. Pantoprazole 2 x 40 mg
- Inj. Asam traneksamat 3 x 500 mg
- P/O Sucralfat syrup 3 x CII
Monitoring
- Keluhan
- Vital Sign
- Balans cairan
Edukasi :
- Bed rest
- Minum obat secara teratur

6
Perkembangan Pasien

Tanggal S O A P

8 Januari 2019 BAB darah segar KU lemah - Sirosis hepatis PDx: Albumin, DL Post
(+) GCS 456 - Anemia gravis transfusi
Lemah, letih & Vital sign: - Hematochezia
PTx:
lesu (+) ec. Hemoroid
TD: 102/59 - Transfusi PRC 1 bag
Perut membesar interna - Inj. Pantoprazole 2 x
N: 82x/m
(+) - Ascites 40 mg
RR: 20x/m permagna
Muntah darah (-) - Inj. Asam traneksamat
T: 36,5 oC - CKD st. V HD 3 x 500 mg
Reguler - P/O Sucralfat syrup 3
- HT st. I JNC x CII
Konjungtiva
anemis (+) VII
PMx: keluhan, vital
Shifting sign, balans cairan
dulness (+)
undulasi (+)
9 Januari 2019 BAB darah segar KU cukup - Sirosis hepatis PDx: Albumin, DL Post
(-) GCS 456 - Anemia transfusi
Perut membesar Vital sign: - Hematochezia
PTx:
(+) ec. Hemoroid
TD: 106/61 - Diet TKRPRG 1900
Muntah darah (-) interna kkal/hari
N: 93x/m
- Ascites - Inf. Kidmin 1 fl/hari
RR: 20x/m permagna - HD hari kamis
T: 36,5 oC - Hipoalbumin (10/01/2019)
- CKD st. V HD - Transfusi PRC 2 bag
Reguler durante HD
Konjungtiva
- As. Folat 1 x 1
anemis (+) - HT st. I JNC
- CaCO3 1 x 1
Shifting VII - Pungsi cairan ascites
dulness (+) - VipAlbumin 3 x 1
undulasi (+)
PMx: keluhan, vital
sign, balans cairan
Pemeriksaan
penunjang:
Hb: 6,9
WBC: 10.000
PCV: 22 %
Plt: 109.000
Alb: 2,58
10 Januari 2019 BAB darah segar KU cukup - Sirosis hepatis PDx: DL Post transfusi
(-). GCS 456 - Anemia
- Ascites PTx:
Saat ini, perut Vital sign: - Diet TKRPRG 1900
sudah tidak permagna
TD: 135/59 kkal/hari
terasa begah, - Hipoalbumin - Inf. Kidmin 1 fl/hari
N: 95x/m

7
Muntah darah (-) RR: 20x/m - CKD st. V HD - HD hari ini
o
T: 36,5 C Reguler - Transfusi PRC 2 bag
- HT st. I JNC durante HD
- Inj. Furosemid 2 x 1
VII
Konjungtiva amp
anemis (+) - As. Folat 1 x 1
Shifting - CaCO3 1 x 1
- VipAlbumin 3 x 1
dulness (+)
undulasi (+) PMx: keluhan, vital
sign, balans cairan

11 Januari 2019 BAB darah segar KU cukup - Sirosis hepatis PDx: -


(-). GCS 456 - Ascites
permagna R/ KRS
Nyeri perut (-) Vital sign:
Muntah darah (-) - Hipoalbumin
TD: 120/58 PTx:
- CKD st. V HD P/O
N: 100x/m
Reguler - As. Folat 1 x 1
RR: 20x/m - HT st. I JNC - CaCO3 1 x 1
T: 37,0 oC VII - Furosemid 1x 40 mg
- Curcuma 1 x 1
- Amlodipin 1 x 10 mg
Konjungtiva
- Kontrol poli penyakit
anemis (-) dalam
Shifting
dulness (+)
undulasi (+)

Pemeriksaan
penunjang:

DL:
Hb: 9,18
WBC: 9.060
Plt: 58.500
PCV: 26,4 %

Post HD:
BUN: 30,8
SC: 7,17

8
TINJAUAN PUSTAKA

1. Sirosis Hati
1.1 Definisi
Sirosis hati merupakan perjalanan akhir dari perjalanan klinis yang panjang
dari semua penyakit hati kronis dengan tanda kerusakan parenkim hati (Setiati et
al., 2014). Istilah sirosis diperkenalkan oleh Laennec pada tahun 1826 dan diambil
dari bahasa Junani "scirrhus” dengan arti “warna oranye” yang menunjukkan
warna kuning kecoklatan dari permukaan hati yang tampak pada saat dilakukan
otopsi (Tjokroprawiro et al., 2015). Pada sirosis hati, telah terjadi perubahan
arsitektur jaringan hati yang ditandai dengan regenerasi nodular yang bersifat
difus dan dikelilingi oleh septa – septa fibrosis (Tanto et al., 2016).
1.2 Epidemiologi
Sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketiga setelah penyakit
kardiovaskular dan kanker pada penderita usia 45 tahun (Setiati et al., 2014).
Menurut data World Health Organization/WHO (2016), Indonesia memiliki
angka kematian (mortality rate) yang tinggi akibat sirosis hati yakni 51,1 per
100.000 penduduk pada jenis kelamin laki – laki & 27,1 per 100.000 penduduk
pada jenis kelamin perempuan.
Prevalensi sirosis hati di Indonesia belum didapatkan berupa data resmi
secara nasional. Namun prevalensi tersebut dapat dilihat berdasarkan data dari
beberapa Rumah Sakit Umum di Indonesia. Data dari Tambunan et al. (2011)
menunjukkan bahwa proporsi pasien sirosis hati dekompensata di RSUD dr.
Soedarso Pontianak sebesar 21,37%. Sedangkan secara umum prevalensi sirosis
hati di Pulau Jawa dan Sumatra sebesar 3,6 – 8,4 % (Tjokroprawiro et al., 2015).
Penderita sirosis hati lebih banyak pada laki – laki dibandingkan dengan
perempuan yakni dengan perbandingan 1,6-2,1 : 1 (Tjokroprawiro et al., 2015;
Setiati et al., 2014).
Penelitian terakhir terkait epidemiologi sirosis hati di Rumah sakit sekunder
di New Zealand menunjukkan bahwa penyebab umum sirosis hati adalah hepatitis
B kronik (37.3%), penyakit hati alkoholik (24.1%), hepatitis C kronik (22.3%) dan
NAFLD / non-alcoholic fatty liver disease (16.4%) (Hsiang et al. 2015). Penyebab
utama akibat hepatitis B kronik dan hepatitis C kronik didapatkan lebih tinggi
pada negara di Afrika & Asia dibandingkan di Eropa (Schuppan & Afdhal, 2008).

9
1.3 Klasifikasi
Klasifikasi sirosis hati dapat berdasarkan morfologi dan etiologi. Namun
klasifikasi etiologi lebih sering dipakai dibandingkan klasifikasi morfologi karena
saling tumpang tindih satu sama lain bila menggunakan morfologi.
Klasifikasi berdasarkan morfologi dapat berupa sirosis mikronoduler yang
berarti nodul berbentuk uniform dengan diameter < 3 mm; dapat berupa sirosis
makronoduler yang berarti nodul bervariasi dengan diameter > 3 mm; serta sirosis
campuran yang berarti kombinasi antara sirosis mikronoduler dan makronoduler
(Tjokroprawiro et al., 2015).
Penyebab sirosis mikronoduler antara lain: alkoholisme, hemokromatosis,
obstruksi bilier, obstruksi vena hepatika, pintasan jejunoilial & sirosis pada anak
India (Indian chilhood cirrhosis). Sedangkan penyebab sirosis makronoduler
antara lain hepatitis B kronik, hepatitis C kronik, defisiensi alfa-1 antitripsin dan
sirosi bilier primer (Tjokroprawiro et al., 2015).
1.4 Etiologi
Etiologi dari sirosis hati bermacam – macam. Seluruh penyakit hati yang
bersifat kronis dapat mengakibatkan sirosis hati. Pada masa lalu, etiologi tersering
di negara barat adalah konsumsi alkohol (Tanto et al., 2016). Namun saat ini
prevalensi hepatitis C mulai meningkat (26 %) dan menjadi penyebab utama
sirosis hati di Amerika serikat dibandingkan konsumsi alkohol (21 %)
(Tjokroprawiro et al., 2015).
Penyebab sirosis hati secara rinci tersedia dalam tabel berikut:
Tabel 1. Penyebab sirosis hati (Longo et al., 2012).
Penyebab Sirosis hati Jenis
Penyakit hati alkoholik -
Hepatitis virus kronik Hepatitis B
Hepatitis C
Hepatitis autoimun -
Non alcoholic steatohepatitis -
(NASH) / non-alcoholic fatty liver
disease (NAFLD)
Sirosis bilier Sirosis bilier primer
Kolangitis sklerosis primer

10
Kolangiopati autoimun
Sirosis kardiak -
Penyakit hati metabolik yang Hemokromatosis
diturunkan Wilsons’s disease
Defisiensi alfa-1 antitripsin
Fibrosis sistik
Sirosis kriptogenik -

1.5 Patogenesis
Sirosis hati merupakan stadium lanjut dari fibrosis hati yang disertai dengan
kelainan pembuluh darah hati (Schuppan & Afdhal, 2008). Sirosis dimulai dari
proses fibrogenesis yang akhirnya menuju proses pembentukan nodul regeneratif.
Fibrosis hati menggambarkan suatu proses penggantian jaringan hati sehat yang
mengalami jejas oleh jaringan ikat (kolagen). Induksi fibrosis pada hepar terjadi
akibat aktivasi sel Stelata / sel perisinusoidal. Pada keadaan normal, sel Stelata
bersifat “diam” dan berprean dalam penyimpanan retinoid. Namun, stimulus
berupa jejas dan reaksi inflamasi akan mengaktivasi sel Stelata sehingga
berploriferasi dan memproduksi matriks ekstraseluler (kolagen tipe I dan III,
proteoglikan sulfat dan glikoprotein) (Tanto et al., 2016). Hal tersebut
mengakibatkan penurunan massa hepatoseluler beserta fungsinya sehingga terjadi
perubahan aliran darah (Longo et al., 2012).
Secara normal, hati memungkinkan setiap hepatosit memiliki kontak
langsung dengan darah dari dua sumber: darah arteri yang berasal dari aorta dan
darah vena yang datang langsung dari saluran pencernaan. Hepatosit menerima
darah dari arteri hepatika yang memasok oksigen dan memberikan nutrisi yang
digunakan untuk kegiatan fisiologi hati. Darah vena memasuki hati melalui sistem
porta hepatis yakni sebuah koneksi vaskular yang unik dan kompleks antara
saluran pencernaan dan hepar. Vena-vena pada saluran pencernaan tidak langsung
bergabung dengan vena kava inferior. Sebaliknya, pembuluh darah dari lambung
dan usus memasuki vena porta, yang membawa produk dari saluran pencernaan.
Dalam hepar, vena porta sekali lagi memecah menjadi sinusoid untuk terjadi
pertukaran antara darah dan hepatosit sebelum mengalir ke vena hepatika, yang
bergabung dengan vena cava inferior (Sherwood, 2010).

11
Gambar 1. Aliran darah ke hepar (Sherwood, 2010)

Sirosis hati menyebabkan pirau / shunting aliran darah dari vena porta dan
arteri hepatika ke aliran darah vena sentral sehingga mengakibatkan tidak
terjadinya pertukaran darah antara sinusoid dengan hepatosit. Pada keadaan
normal, sinusoid yang dilapisi oleh sel endotel fenestrated, bermuara pada
jaringan ikat permeabel (Celah Disse) yang berisi sel Stelata dan beberapa sel
mononuklear. Sedangkan pada sirosis, celah Disse dipenuhi oleh jaringan parut
dengan disertai hilangnya sel endotel fenestrated. Secara histologis, sirosis
ditandai oleh jaringan septa fibrotik vascularized yang menghubungkan vena
porta satu sama lain dan dengan vena sentral sehingga menyebabkan hepatosit
dikelilingi oleh septa fibrotik tanpa vena sentral. Sehingga konsekuensi klinis
utama sirosis adalah gangguan fungsi hati, peningkatan resistensi intrahepatik atau
hipertensi portal dan perkembangan karsinoma hepatoseluler (Schuppan &
Afdhal, 2008).

12
A B

Gambar 2. Gambaran perubahan vaskular dan asrsitektur pada sirosis hati


(Schuppan & Afdhal, 2008).

1.6 Diagnosis
Pasien dengan sirosis hati dapat datang dalam keadaan asimtomatis yang
berarti tidak terdapat keluhan sama sekali (tahap sirosis hati kompensata), atau
dengan keluhan penyakit terkait komplikasi penyakit hati. Diagnosis sirosis hati
asimtomatis/kompensata biasanya dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan fungsi
hati atau penemuan radiologi sehingga pasien kemudian melakukan pemeriksaan
lebih lanjut bahkan hingga biopsi hati (Tjokroprawiro et al., 2015; Setiati et al.,
2014).
Sebagian besar pasien yang datang ke dokter sudah dalam tahap sirosis hati
dekompensata. Berikut tahapan diagnosis sirosis hati dari anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang:
1. Anamnesis
Beberapa keluhan dan gejala klinis yang sering timbul pada penderita
sirosis hati antara lain: kulit berwarna kuning, rasa capai, lemah, nafsu makan
menurun, gatal, mual, penurunan berat badan, nyeri perut, hilangnya rambut
pubis dan ketiak pada wanita, mudah berdarah dan berak hitam seperti petis
atau muntah darah (Setiati et al., 2014).
Pertanyaan terkait faktor risiko sirosis hati perlu ditanyakan kepada
pasien seperti riwayat konsumsi alkohol, penggunaan narkotik dalam bentuk
suntikan & riwayat penyakit hati menahun. Pasien dengan hepatitis B atau C

13
mempunyai kemungkinan tertinggi mengalami sirosis hati (Tjokroprawiro et
al., 2015).
2. Pemeriksaan fisik
Pada pasien sirosis hati, secara runtut dapat ditemukan hasil pemeriksaan
fisik sebagai berikut: ikterus/jaundice, hepatomegali dan atau splenomegali
pada pemeriksaan palpasi abdomen, spider nevi (terutama pada kulit dada),
eritema palmaris, pembengkaan perut (asites) dan pembengkaan / edema
tungkai bawah (Tjokroprawiro et al., 2015).

A B

Gambar 3. Pemeriksaan fisik pada pasien sirosis hati. A. Spider nevi / spider
angioma pada pasien sirosis, bila tekanan di bagian sentral dihilangkan,
makan arteriol mengisi dari tengah & menyebar ke perifer. B. Eritema
palmaris pada pasien sirosis karena penyakit hati alkoholik, tanda eritem di
tepi & pucat di daerah sentral (Longo et al., 2012).

Tanda klinis sirosis hati dapat dirangkum melalui tabel berikut


berdasarkan gejala kegagalan fungsi hati dan gejala hipertensi porta.

Tabel 2. Gejala kegagalan fungsi hati & hipertensi porta


(Tjokroprawiro et al., 2007)
Gejala/tanda kegagalan Gejala/tanda hipertensi
fungsi hati porta
Ikterus Varises esofaghus/cardia
Spider nevi Splenomegali
Ginekomastia Pelebaran vena kolateral
Hipoalbumin dan malnutrisi Asites
kalori protein
Bulu ketiak rontok Haemoroid
Asites Caput medusae

14
Eritema palmaris
“white nail”

3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dapat berupa pemeriksaan laboratorium,
pemeriksaan pencitraan, endoskopi dan biopsi hati.
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menilai fungsi hati dan
mencari etiologi dari sirosis hati.
Tabel 3. Tes laboratorium untuk sirosis hati (Setiati et al., 2014).
Jenis Pemeriksaan Hasil
Aminotransferase: ALT & AST Normal atau sedikit meningkat
Alkali fosfatase / ALP Sedikit meningkat
Gamma-glutamil transferase Korelasi dengan ALP, spesifik khas
akibat alkohol sangat meningkat
Bilirubin Meningkat pada tahap lanjut: prediksi
penting mortalitas
Albumin Menurun pada tahap lanjut
Globulin Meningkat terutama IgG
Prothrombin time Meningkat karena penurunan
produksi faktor V/VII
Natrium serum Menurun akibat peningkatan ADH
dan aldosteron
Trombosit Menurun (hipersplenism)
Lekosit dan netrofil Menurun (hipersplenism)
Anemia Makrositik, normositik dan mikrositik

Beberapa pemeriksaan laboratorium untuk mencari penyebab sirosis hati


antara lain: serologi virus hepatitis B (HbsAg, HbeAg, Anti HBc, HBV-
DNA), serologi virus hepatitis C (Anti-HCV, HCV RNA), autoantibodi
(ANA, ASM, Anti-LKM) terkait penanda hepatitis autoimun, saturasi
transferin dan feritin terkait hemokromatosis, Cerulopasmin & Copper terkait
penyakit Wilson, Alpha 1 anti-tripsin, pemeriksaan AMA terkait sirosis bilier

15
primer dan antibodi ANCA untuk kolangitis sklerosis primer (Setiati et al.,
2014).
Pemeriksaan pencitraan dapat berupa pemeriksaan ultrasound (USG),
computerized tomography (CT / CAT) scan atau magnetic resonance
imaging (MRI) untuk melakukan evaluasi adanya kemungkinan penyakit
hati. Pemeriksaan ini dapat ditemukan adanya hepatomegali, nodul dalam
hati, splenomegali, dan cairan dalam abdomen, yang menunjukkan suatu
sirosis hati (Tjokroprawiro et al., 2015). Selain itu, penilaian kekauan
jaringan hati (derajat fibrosis) dapat dilakukan dengan transien elastografi
(Fibroscan) atau dengan MR elastografi (Tanto et al., 2016).
Pemeriksaan endoskopi dilakukan pada pasien sirosis hati untuk
mendeteksi adanya varises esophagus. Sesuai konsensus Baveno IV, bila
pada pemeriksaan tidak ditemukan varises esophagus, maka dianjurkan
dilakukan pemeriksaan endoskopi ulang dalam waktu 2 tahun. Bila
ditemukan varises esophagus kecil, endoskopi ulang dilakukan dalam waktu
1 tahun. Bila ditemukan varises esophagus besar, maka secepatnya dilakukan
terapi prevensi untuk mencegah perdarahan pertama (Tjokroprawiro et al.,
2015).
Pemeriksaan baku emas (gold standard) untuk diagnosis sirosis hati
adalah biopsi hati melalui perkutan, transjugular, laparoskopi atau dengan
biopsi jarum halus. Bila secara klinis, pemeriksaan laboratoris dan pencitraan
menunjukkan kecenderungan sirosis, biopsi hati sebaiknya tidak dilakukan
(Setiati et al., 2014).
1.7 Komplikasi
Komplikasi sirosis hati terjadi akibat dua mekanisme yakni: 1) hipertensi
porta & kondisi hiperdinamik serta 2) insufisiensi hati. Selain itu, sirosis hati
dapat berkembang menjadi karsinoma hepatoseluler akibat perubahan materi
genetik pada hepatosit (Tanto et al., 2016).
Hipertensi porta didefinisikan sebagai peningkatan gradien tekanan vena
hepatik > 5 mmHg. Peningkatan resistensi aliran darah porta dan peningkatan
aliran masuk ke vena porta diakibatkan oleh perubahan struktur hepar &
vasokonstriksi sinusoid. Dampak hipertensi porta antara lain: 1) pembesaran limpa
dan sekuestrasi trombosit, 2) aliran darah balik & terbentuk pirau (shunting) dari
sistem porta ke pembuluh darah portosistemik 3) serta aktivasi sistem renin-

16
angiotensin-aldosteron. Sehingga secara klinis, hipertensi porta menyebabkan
varises gastro-esophagus, asites, sindrom hepatorenal, peritonitis bakterial
spontan, ensefalopati hepatikum, sindrom hepatopulmonal dan kardiomiopati
(Tanto et al., 2016).
Insufisiensi hati karena perubahan struktur hati menyebabkan penurunan
fungsi hati antara lain: 1) gangguan fungsi sintesis (hipoalbuminemia, defisiensi
vitamin K & koagulopati), 2) gangguan endokrin berupa estrogen meningkat &
paratiroidisme), 3) gangguan fungsi ekskresi (kolestasis, ikterus, hiperamonemia,
ensefalopati) dan 4) gangguan fungsi metabolisme (gangguan homeostatis glukoa,
malabsorpsi vitamin D dan kalsium) (Tanto et al., 2016).
1.8 Tatalaksana
Tatalaksana sirosis hati dibagi menjadi beberapa langkah yakni mencegah
kerusakan hati lebih lanjut, mengobati komplikasi sirosis, mencegah terjadinya
kanker hati (atau deteksi sedini mungkin) serta transplantasi hati.
Mencegah kerusakan hati lebih lanjut dilakukan dengan: istirahat &
membatasi aktivitas fisik, konsumsi diet tinggi kalori dan kaya protein bila tidak
ada ensefalopati hepatik, menghindari obat – obatan hepatotoksik (termasuk
alkohol), menghindari obat – obat anti-inflamasi non-steroid, eradikasi virus
hepatitis B & C menggunakan anti-viral, flebotomi untuk pasien hemokromatosis,
obat prednison & azathioprine (Imuran) untuk hepatitis autoimun, preparat asam
empedu untuk sirosis bilier primer dan imunisasi pasien sirosis terhadap hepatitis
A & B (Tjokroprawiro et al., 2015).
Mengobat komplikasi sirosis hati menggunakan tatalaksana sebagai berikut:
Tabel 4. Tatalaksana komplikasi sirosis hati (Setiati et al., 2014; Tjokroprawiro et
al., 2015).
Komplikasi Terapi Dosis
Asites Tirah baring -
Diet rendah garam 5,2 gram atau 9
mmol/hari
Obat antidiuretik, diawali Spironolakton 100-200
dengan spironolakton dan bila mg sekali sehari
respons tidak adekuat
menggunakan furosemid Furosemid 20-40 mg/hari

17
Parasintesis bila asites sangat Albumin 8 – 10 gram IV
besar, hingga 4-6 liter dengan per liter cairan
pemberian albumin parasintesis (jika > 5 L)
Restriksi cairan Direkomendasikan bila
natrium serum < 120-125
mmol/L
Ensefalopati Laktulosa 30-40 mL sirup oral 3-4
hepatikum kali/hari
Neomisin 4-12 gram oral/hari
dibagi tiap 6-8 jam
Varises esophagus Propanolol 40-80 mg oral 2 kali/hari
Isosorbid mononitrat 20 mg oral 2 kali/hari
Saat perdarahan akut diberikan
somatostatin atau okreotid
diteruskan skleroterapi atau
ligasi endoskopi
Peritonitis bakterial Profilaksis dengan sefotaksim Sefotaksim 2- 3 gram IV
spontan dan albumin bila jumlah sel selama 5 hari
PMN > 250/mm3 pada pungsi
cairan asites
Albumin 2 gram IV tiap 8 jam
1,5 gram per kg IV dalam
6 jam, 1 gram per kg IV
hari ke 3
Norfloksasin 400 mg oral 2 kali/hari
untuk terapi, 400 mg oral
2 kali/hari selama 7 hari
untuk perdarahan
gastrointestinal, 400 mg
oral per hari untuk
profilaksis
Trimethoprim/sulfamethoxozale 1 tablet oral/hari untuk
profilaksis, 1 tablet oral

18
2 kali/hari selama 7 hari
untuk perdarahan
gastrointestinal
Sindrom Transjugular intrahepatic
hepatorenal portosystemic shunt / TIPS

Terapi asites (dengan volume kecil) biasanya dapat diterapi dengan


pembatasan dosis natrium pada makanan saja. Namun sebagian besar diet garam
pada masyarakat mengandung 6 hingga 8 gram natrium per hari. Padahal
rekomendasi kebutuhan garam pada pasien sirosis adalah < 2 gram natrium per
hari. Tatalaksana medikamentosa berupa dierutik dapat menggunakan preparat
spironolakton dosis tunggal 100-200 mg / hari atau furosemid dosis 40-80 mg /
hari terutama pada pasien yang mengalami edema perifer (Longo et al., 2012).
Pada pasien yang belum pernah menerima terapi diuretik sebelumnya,
biasanya mengalami kegagalan terapi dengan dosis diuretik tersebut karena pasien
juga tidak patuh dengan diet rendah garam yang disarankan. Jika kepatuhan
pengobatan telah dikonfirmasi dan cairan asites masih tetap ada, maka dosis
spironolakton dapat ditingkatkan menjadi 400-600 mg / hari dan furosemid
ditingkatkan menjadi 120-160 mg / hari. Jika asites masih ada dengan dosis
diuretik ini pada pasien yang mematuhi diet rendah natrium, maka mereka
didefinisikan sebagai memiliki asites refrakter (Longo et al., 2012).
Pada asites refrakter, modalitas terapi berupa parasentesis volume besar /
LVP (Large volume paracentesis) atau prosedur TIPS (Transjugular intrahepatic
portosystemic) dapat dipertimbangkan (Gambar 4). Prognosis untuk pasien sirosis
hati dengan asites tentu buruk. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa < 50%
pasien dapat bertahan hidup 2 tahun setelah timbulnya asites. Dengan demikian,
perlu ada pertimbangan untuk transplantasi hati pada pasien sirosis dengan asites
(Longo et al., 2012).

19
Asites refrakter

LVP / Large volume


paracentesis + albumin

Diet rendah garam +


diuretik

Reakumulasi asites

Pertimbangkan TIPS Lanjutkan LVP + Pertimbangkan


(transjugular intrahepatic albumin (bila transplantasi hati
portosystemic) dibutuhkan)

Gambar 4. Tatalaksana untuk asites refrakter (Longo et al., 2012).

Tatalaksana terhadap perdarahan varises berulang (Gambar 5) menggunakan


modalitas terapi endoksopi dan atau terapi farmakologis. Setelah pasien
mengalami perdarahan akut dan telah berhasil ditangani, tentu perlu perhatian
untuk mencegah perdarahan berulang. Biasanya dibutuhkan terapi variceal band
ligation hingga varises dapat dihilangkan. Terapi medikamentosa berupa beta
bloker juga bermanfaat sebagai terapi tambahan pada pasien yang dilakukan
variceal band ligation. Sebelum dilakukan transplantasi hati, biasanya dilakukan
operasi portosystemic shunt dan TIPS. Prosedur operasi portosystemic shunt saat
ini sudah jarang dilakukan ketika muncul terapi TIPS. Meskipun demikian,
prosedur ini harus dipertimbangkan untuk pasien dengan fungsi hati yang baik
(sirosis hati kompensata) sehingga dapat memperoleh manfaat dengan menjalani
operasi dekompresi sistem porta (Longo et al., 2012).

20
Perdarahan
varises berulang

Terapi endoskopi +
terapi farmakologi

Kontrol
perdarahan

Sirosis hati Sirosis hati


kompensata dekompensata
(Child A) (Child B / C)

Operasi shunt vs Evaluasi


TIPS transplantasi hati

Transplantasi hati Terapi endoskopi /


beta bloker

Pertimbangkan TIPS

Transplantasi hati

Gambar 5. Tatalaksana untuk perdarahan varises berulang


(Longo et al., 2012).

1.9 Prognosis
Perjalanan penyakit sirosis hati tergantung oleh sebab dan penanganan
etiologi yang mendasari (Setiati et al., 2014). Selain itu, prognosis pasien sirosis
tergantung dari ada tidaknya komplikasi akibat sirosisnya. Pasien dengan sirosis
kompensata tentu mempunyai harapan hidup lebih tinggi bila tidak berkembang
menjadi sirosis dekompensata yakni sekitar 47 % dalam waktu 10 tahun.

21
Sedangkan pasien dengan sirosis dekompensata mempunyai harapan hidup sekitar
16 % dalam waktu 5 tahun (Tjokroprawiro et al., 2015).
Beberapa sistem skoring dibuat dan dapat digunakan untuk menilai
keparahan sirosis dan menentukan prognosisnya. Sistem skoring Child Turcotte
Pugh (CTP) (Tabel 4) berfungsi selain menentukan prognosis juga untuk menilai
kandidat tindakan bedah. Sedangkan skoring Model end stage liver Disease
(MELD) (Tabel 5) untuk menilai kandidat tindakan transplantasi hati.

Tabel 4. Klasifikasi Child Turcotte Pugh (CTP) (Garcia-Tsao & Bosch, 2010).
Parameter Nilai
1 2 3
Ensefalopati Tidak ada Terkontrol Kurang terkontrol
dengan terapi
Asites Tidak ada Terkontrol Kurang terkontrol
dengan terapi
Bilirubin (mg/dL) <2 2-3 >3
Albumin (g/L) >3.5 2,8-3,5 <2.8
PT atau < 4 detik atau 4-6 detik atau >6 detik atau INR
INR INR 1,7 INR 1,7-2,3 2.3

Tabel 5. Skor MELD (Liou, 2014).


Model for End-stage liver Disease (MELD)
MELD skor: 3,8*log (bilirubin) + 11,2*log [INR] + 9,6*[creatinine] + 6,4
MELD score range = 6 – 40
Interpretasi Prediksi mortalitas dalam 3 bulan:
Skor MELD > 40: mortalitas 71,3 %
Skor MELD 30-39: mortalitas 52,6 %
Skor MELD 20-29: mortalitas 19,6 %
Skor MELD 10-19: mortalitas 6,0 %
Skor MELD <: mortalitas 1,9 %

22
PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang


didapatkan daftar masalah sebagai berikut:

Daftar Masalah Sementara Daftar Masalah Permanen


1. BAB berdarah merah segar dirasakan Hematochezia ec. Hemoroid interna
sejak 1 hari, dengan darah menetes.
2. Pemeriksaan rectal touche: Tonus
sphincter ani (+) normal, didapatkan
feses (+), darah (+), massa (-).
3. Lemah, letih & lesu sejak 1 minggu Anemia gravis
sebelum MRS
4. Konjungtiva anemis (+/+)
5. Ekstrimitas: akral hangat kering pucat
6. Hb 3,8 g%
7. HCT/PCV 12%
8. Perut membesar secara perlahan sejak Asites permagna
5 tahun terakhir.
9. Abdomen: inspeksi membuncit, caput
medusa (+), BU (+) normal, shifting
dulness (+) tes undulasi (+) hepar/lien
sulit dievaluasi
10. Kedua tungkai bawah bengkak sejak Edema tungkai
2 bulan SMRS
11. Ekstrimitas: edema pitting ekstrimitas
bawah +/+.
12. Albumin: 2,58 Hipoalbuminemia
13. BAK dirasa dengan jumlah kurang CKD st. V
sejak 2 tahun yang lalu
14. RPD: Hipertensi sejak 10 tahun yll &
riwayat HD setiap senin & kamis sejak
2 tahun yll

23
15. BUN 53,2
16. SC 10,05
17. eGFR: 7 mL/min
18. Hasil USG Abdomen:
- Chronic parenchymal kidney
disease bilateral
- Calyectasis ringan ginjal kanan
19. RPD: Hipertensi / penyakit darah Hipertensi + Kardiomegali
tinggi sejak 10 tahun yll
20. Chest X-ray: Kedua sinus dan tulang
tak tampak kelainan, Cor membesar ke
kiri dengan konfigurasi LV, Ada tanda
edema paru ringan
21. Hasil USG Abdomen: Hepatomegali + Splenomegali
- Diffuse hepatomegali, dapat
merupakan gambaran diffuse
hepatoma
- Splenomegali dengan ascites
22. Trombosit 93.000 Trombositopenia
23. SGOT 72,9 Transaminitis
24. SGPT 33,2

Berdasarkan daftar masalah dari kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa pasien
memiliki diagnosis sirosis hati berdasarkan adanya tanda insufisiensi hati (transaminitis,
hepatomegali, trombositopenia dan hipoalbumin) dan tanda hipertensi porta (asites,
splenomegali dan hemoroid). Sedangkan diagnosis anemia dari pasien ini diduga karena
perdarahan dari hemoroid & defisiensi eritropoietin akibat penyakit penyakit ginjal kronik /
CKD. Sehingga tatalaksana yang komprehensif perlu dilakukan pada pasien berdasarkan
perjalanan penyakit sesuai Gambar 6 berikut.

24
Dasar Diagnosis

Hepatomegali
Tatalaksana

Trombositopenia
Kegagalan fungsi
hati / insufisiensi Mencegah kerusakan - Diet tinggi kalori
Transaminitis hati hati lebih lanjut - Bed rest

Mengobati Asites:
Hipoalbuminemia
komplikasi sirosis - Diet rendah garam
SIROSIS HATI hati - Furosemid IV
Deteksi dini kanker - Pungsi cairan asites
hati
Asites permagna
Petimbangkan
Hipertensi porta
Splenomegali transplantasi hati

Hemoroid

- Transfusi PRC
ANEMIA - Asam folat Per oral
- Asam traneksamat IV

- Hemodialisis
Hipertensi - Balans cairan
- Diet rendah protein
- eGFR: 7 mL/min CKD St. V (HD - Furosemid IV
- USG Abd: Chronic parenchymal - CaCO3 Per oral
Reguler)
kidney disease bilateral - Amlodipin Per oral

25
Gambar 6. Kerangka konsep (ilustrasi pembahasan)
DAFTAR PUSTAKA

Garcia-Tsao G., and Bosch J. 2010. Management of varices and variceal hemorrhage in
cirrhosis. N Engl J Med, 362(9), pp. 823-32, dilihat 20 Januari 2019,
https://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJMra0901512
Hsiang, J.C., Bai, W.W., Raos, Z. 2015. Epidemiology, disease burden and outcomes of
cirrhosis in a large secondary care hospital in South Auckland, New Zealand. Intern
Med J, 45, pp. 160–169, dilihat 21 Januari 2019,
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/imj.12624
Liou W. 2014. Management of end stage liver disease. Med Clin North Am, 98(1), pp. 119-
52, dilihat 21 Januari 2019, https://www.medical.theclinics.com/article/S0025-
7125(13)00130-2/
Longo, D. L., Kasper, D. L., Jameson J. L., Fauci, A. S., Hauser, S. L., Loscalzo J. 2012.
Harrison’s Principle of Internal Medicine, 18th Ed, McGraw Hill, New York, pp
2592-2596
Schuppan, D., Afdhal, N. H., 2008. Liver Cirrhosis, Lancet, 371 (9615), pp. 838–851. Dilihat
21 Januari 2019, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2271178/pdf/nihms-
42379.pdf

Sherwood, L. 2010. Human Physiology From Cells to Systems. 7th Ed. Belmont,
Brooks/Cole, pp 460
Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A. W., Simadibrata, M., Setiyohadi, B., Syam, A. F., 2014.
Sirosis Hati dalam: Buku Ajar Penyakit Dalam, Edisi 6, Interna Publishing, Jakarta,
pp. 1978-1983
Tambunan, A., Mulyadi, Y., Kahtan, M. I. 2011. Characteristics of Cirrhotic Patients in Dr.
Soedarso General Hospital Pontianak Periods of January 2008 – December 2010,
dilihat 21 Januari 2019, https://media.neliti.com/media/publications/193882-ID-
karakteristik-pasien-sirosis-hati-di-rsu.pdf
Tanto, C., Liwang, F., Hanifati, S., Pradipta, E. A. 2016, Sirosis Hati dalam: Kapita Selekta
Kedokteran, Edisi IV, Media Aesculapius, Jakarta, pp. 693-697
Tjokroprawiro, A., Setiawan, P. B., Effendi, C., Santoso, D., Soegiarto, G. 2015. Sirosis Hati
dalam: Buku Ajar Penyakit Dalam, Edisi 2, Airlangga University Press, Surabaya, pp.
292-298
Tjokroprawiro, A., Setiawan, P. B., Santoso, D., Soegiarto, G. 2007. Sirosis Hati dalam:
Buku Ajar Penyakit Dalam, Edisi 1, Airlangga University Press, Surabaya, pp. 130

World Health Organization / WHO. 2016. Mortality rate of liver cirrhosis (age standarized >
15), dilihat 21 Januari 2019, http://apps.who.int/gho/data/node.main.A1092

26

Anda mungkin juga menyukai