Anda di halaman 1dari 108

PEDOMAN PELAYANAN

KEDOKTERAN
[PPK] ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

SMF ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF


RSUD KABUPATEN KARANGASEM
2015
1
DAFTAR ISI

Hal
Pendahuluan ..…………………………………………………………………............. 2
Anestesi umum inhalasi dengan sungkup muka ............................................................ 3
Anestesi umum inhalasi dengan intubasi endotrakheal ................................................. 5
Anestesi umum dengan total intravena .......................................................................... 7
Anestesi regional dengan subarachnoid block ............................................................... 9
Anestesi regional dengan epidural block ……………….………………..................... 11
Anestesi kombinasi: anestesi umum dengan inhalasi dan anestesi regional dengan
epidural………………………………………………………………………………....... 14
Anestesi regional dengan blok interskalenus …..……................................................... 17
Anestesi umum pada bedah sesar ................................................................................. 19
Anestesi regional pada bedah sesar ............................................................................... 24
Anestesi umum pada operasi tonsilektomi pada pasien anak ........................................... 29
Anestesi umum pada operasi appendicitis akut tanpa penyulit pada pasien anak ……… 32
Anestesi umum pada operasi bibir sumbing elektif tanpa penyulit pada pasien anak 35
Nyeri kanker ...................................................................................................................... 38
Nyeri pasca bedah ............................................................................................................. 40
Prosedur sedasi sedang – berat .......................................................................................... 43
Gagal napas akut ............................................................................................................... 47
Gangguan elektrolit ........................................................................................................... 50
Eklampsia dan preeklamsia berat ...................................................................................... 57
Diabetes ketoasidosis ........................................................................................................ 60
Syok hipovolemik ............................................................................................................. 62
Stroke hemorragik ............................................................................................................. 64
Sepsis berat dan syok septic .............................................................................................. 77
Acute respiratory distress syndrome ................................................................................. 84
Acute Kidney Injury .......................................................................................................... 91
Cedera Kepala Berat ......................................................................................................... 99
Neuro anestesi dan critical care ........................................................................................ 102

1
PENDAHULUAN

1. Latar belakang
Kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran
khususnya anestesiologi dan terapi intensif menjadi dasar diperlukannya pedoman atau acuan
kerja yang berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan profesional.
Acuan kerja ini dapat menjadi pedoman nasional dalam memberikan pelayanan kepada
pasien di rumah sakit.
Permenkes No. 1438/IX/2010 yang mengamanatkan kepada Organisasi Profesi Dokter
Spesialis untuk membuat Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran yang akan ditetapkan
oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia menjadi acuan setiap institusi pelayanan
kesehatan (Rumah Sakit/Rumah Sakit Khusus/Klinik dan lain-lain) dalam membuat Standar
Pelayanan Operasional atau Pedoman Pelayanan Klinis di setiap institusinya.
Untuk mendukung pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Balimed Karangasem khususnya
pelayanan dibidang anestesi dan terapi intensif maka disusun suatu pedoman
pelayanankesehatan yang mengacu pada pedoman nasional pelayanan kedokteran
anestesiologi dan terapi intensif PERDATIN.

2. Tujuan
Pedoman Pelayanan Kedokteran Anestesiologi dan Terapi Intensif adalah standar
prosedur operasional pelayanan anestesiologi dan terapi intensif seorang spesialis
Anestesiologi dalam kegiatan pelayanan yang berkualitas, optimal dan profesional.

2
ANESTESI UMUM DENGAN SUNGKUP MUKA

Definisi : Tindakan anestesi dengan menggunakan obat anestesi


inhalasi yang dihantarkan pada pasien via face mask.

Indikasi : 1. Prosedur pembedahan yang singkat.


2. Pembedahan dengan kontra indikasi anestesi regional.

1. Pembedahan di daerah kepala dan leher.


Kontra Indikasi : 2. Prosedur pembedahan panjang.
3. Pembedahan pada pasien dengan lambung penuh.

Persiapan : 1. Pasien :
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan
anestesi umum dengan inhalasi via face mask.
- Ijin persetujuan tindakan anestesi umum dengan
inhalasi via face mask.
- Puasa.
- Medikasi sesuai resiko anestesi.
- Premedikasi pra anestesi.
- Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
2. Alat:
- Sulfast Atropin 0,25 mg (2 ampul)
- Lidokain 2 % (3 ampul)
- Efedrin 50 mg (1 ampul)
- Midazolam 5 mg (2 ampul)
- Pethidin 100 mg/fentanyl 100µg (2 ampul)
- Propofol 200 mg (1 ampul)
- Sungkup muka
- Laringoskop 1 buah
- Set Suction 1 buah
- Oksigen
- Mesin anestesi
- Isofulran/Sevofluran/Halotan (1 botol)
3. Dokter :
- Visite perioperatif.
- penentuan klasifikasi ASA PS.
- Check list kesiapan anestesi.
3
Prosedur Tindakan : 1. Premedikasi menggunakan midazolam 2mg, fentanyl
1µg/kg dan lidokain 1% 1 mg/kg.
2. Induksi menggunakan propofol 1,5 mg/kg.
3. Maintanance anestesi menggunakan anestesi inhalasi
isofluran/sevofluran/halotan 0,5-1,5 vol% via face mask,
analgetik berupa fentany 1µg/kg jika perlu.

Pasca Prosedur : 1. Observasi tanda vital di kamar pemulihan.


Tindakan 2. Terapi oksigen dengan menggunakan masker NRM.
3. Atasi komplikasi yang terjadi.

Daftar Pustaka : 1. Stoelting RK, Hillier SC. Hormones as drugs. In:


Pharmacology and physiology in anesthesic practice. 4th
Edition. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins;
2006. p.461-69.
2. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Airway
Management. In: Clinical anesthesiology. 4th Edition. New
York: Lange Medical Books; 2006. p.412-49.

4
ANESTESI UMUM DENGAN INTUBASI ENDOTRAKHEAL

Definisi : Tindakan anestesi dengan menggunakan anestesi inhalasi


yang dihantarkan pada pasien dengan menggunakan pipa
endotrakheal tube yang dimasukkan ke dalam trakhea.

Indikasi : 1. Pembedahan daerah kepala dan leher.


2. Pembedahan yang membutuhkan relaksasi.
3. Pembedahan dengan kontra indikasi anestesi regional.

Kontra Indikasi : Tidak ada.

Persiapan : 1. Pasien :
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan
anestesi umum dengan intubasi endotrakheal.
- Ijin persetujuan tindakan anestesi umum dengan
intubasi endotrakheal.
- Puasa.
- Medikasi sesuai resiko anestesi.
- Premedikasi pra anestesi.
- Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
2. Alat:
- Sulfast Atropin 0,25 mg (2 ampul)
- Lidokain 2 % (3 ampul)
- Efedrin 50 mg (1 ampul)
- Midazolam 5 mg (2 ampul)
- Fentanyl 100µg atau Pethidin 100mg(2 ampul)
- Propofol 200 mg (1 ampul)
- Atracurium 50 mg (1 ampul).
- Laringoskop 1 buah
- Sungkup muka
- Set Suction 1 buah
- Pipa endotrakheal 1 buah
- Selotip 1 buah
- Oksigen
- Mesin anestesi

5
- Isofulran/Sevofluran/Halotan (1 botol)
3. Dokter :
- Visite perioperatif.
- penentuan klasifikasi ASA PS.
- Check list kesiapan anestesi.

Prosedur Tindakan : 1. Premedikasi menggunakan midazolam 2mg, fentanyl


1µg/kg atau Pethidin 1 mg/kg dan lidokain 1,5 mg/kg.
2. Induksi menggunakan propofol 1,5 mg/kg.
3. Preoksigenasi dengan oksigen 4-6 lt/mnt.
4. Lumpuhkan pasien dengan pelumpuh otot atracurium 0,5
mg/kg.
5. Laringoskopi dan insersi pipa endotrakheal.
6. Check ketepatan insersi pipa endotrakheal, kesamaan
bunyi nafas kemudian fiksasi pipa endotrakheal.
7. Maintanance anestesi menggunakan oksigen 4lt/mnt,
anestesi inhalasi isofluran/sevofluran/halotan sebanyak
0,5-1,5 vol%, analgetik berupa fentanyl 1µg/Kg/jam dan
pelumpuh otot Atracurium 0,1 mg/kg/30 menit.
8. Ekstubasi jika nafas spontan adekuat.

Pasca Prosedur : 1. Observasi tanda vital di kamar pemulihan.


Tindakan 2. Terapi oksigen 6 lt/mnt dengan menggunakan masker
NRM.
3. Atasi komplikasi yang terjadi.

Daftar Pustaka : 1. Stoelting RK, Hillier SC. Hormones as drugs. In:


Pharmacology and physiology in anesthesic practice. 4th
Edition. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins;
2006. p.461-69.
2. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Airway
Management. In: Clinical anesthesiology. 4th Edition. New
York: Lange Medical Books; 2006. p.412-49.

6
ANESTESI UMUM DENGAN TOTAL INTRAVENA

Definisi : Tindakan anestesi dengan menggunakan obat anestesi


intravena total yang diberikan secara intermitten lewat infus.

1. Prosedur pembedahan yang singkat.


Indikasi : 2. Prosedur pembedahan yang tidak membutuhkan relaksasi.
3. Pembedahan dengan kontra indikasi anestesi regional.

Kontra Indikasi : 1. Pembedahan di daerah kepala dan leher.


2. Pembedahan yang membutuhkan relaksasi
3. Prosedur pembedahan panjang.

Persiapan : 1. Pasien :
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan
anestesi umum dengan total intravena.
- Ijin persetujuan tindakan anestesi umum dengan total
intravena.
- Puasa.
- Medikasi sesuai resiko anestesi.
- Premedikasi pra anestesi.
- Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
2. Alat:
- Sulfast Atropin 0,25 mg (2 ampul)
- Lidokain 2 % (3 ampul)
- Efedrin 50 mg (1 ampul)
- Midazolam 5 mg (2 ampul)
- Fentanyl 100µg (2 ampul)
- Propofol 200 mg (1 ampul)
- Kanula oksigen
- Laringoskop 1 buah
- Set Suction 1 buah
- Oksigen
- Mesin anestesi
3. Dokter :
- Visite perioperatif.
- penentuan klasifikasi ASA PS.
- Check list kesiapan anestesi.

7
Prosedur Tindakan: 1. Premedikasi menggunakan midazolam 2mg, fentanyl
1µg/kg dan lidokain 1% 1mg/kg.
2. Induksi menggunakan propofol 1,5 mg/kg.
3. Maintanance anestesi menggunakan oksigen via nasal
kanul 2 lt/mnt, obat induksi propofol 1 mg/kg/15 mnt
diberikan secara intermitten, analgetik berupa fentanyl
1µg/kg.

Pasca Prosedur : 1. Observasi tanda vital di kamar pemulihan.


Tindakan 2. Terapi oksigen 2 lt/mnt dengan menggunakan nasal
kanula.
3. Atasi komplikasi yang terjadi.

Daftar Pustaka : 1. Stoelting RK, Hillier SC. Hormones as drugs. In:


Pharmacology and physiology in anesthesic practice. 4th
Edition. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins;
2006. p.461-69.
2. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Airway
Management. In: Clinical anesthesiology. 4th Edition. New
York: Lange Medical Books; 2006. p.412-49.

ANESTESI REGIONAL DENGAN SUBARACHNOID BLOCK

8
Definisi : Tindakan anestesi dengan menggunakan obat anestesi lokal
yang disuntikkan ke ruang sub arachnoid.

Indikasi : 1. Pembedahan daerah lower abdomen.


2. Pembedahan daerah ekstremitas bawah
3. Pembedahan daerah urogenitalia.

Kontra Indikasi : 1. Gangguan faal koagulasi


2. Kelainan Tulang belakang
3. Pasien menolak
4. Syok.

Persiapan : 1. Pasien :
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan
spinal anestesi.
- Ijin persetujuan tindakan spinal anestesi.an
- Puasa.
- Medikasi sesuai resiko anestesi.
- Premedikasi pra anestesi.
- Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
2. Alat:
- Kelengkapan jarum spinal 25/26/27 G (1 buah).
- Lidokain 2% (1 ampul).
- Bupivacain 0,5% (1 ampul).
- Dispo 5 cc(1 buah)
- Dispo 3 cc(1 buah)
- Kassa steril (5 lembar)
- Doeck steril (1 buah)
- Betadine (10cc)
- Efedrine (1 ampul)
- Midazolam (1 ampul)
- Sulfast atropin 0,25 mg (2 ampul)
- Oksigen
- Kanula oksigen
- Mesin anestesi.
3. Dokter :
- Visite perioperatif.
- penentuan klasifikasi ASA PS.
- Check list kesiapan anestesi.
- Pengelolaan nyeri pasca bedah.

4. Prosedur : 1. Pasang monitor standar berupa, Tekanan darah, EKG,


5. Tindakan Saturasi oksigen.
2. Loading menggunakan cairan kristaloid sebanyak
500cc.
9
3. Posisikan Pasien duduk atau tidur miring.
4. Indentifikasi tempat insersi jarum spinal dan diberikan
penanda.
5. Desinfeksi daerah insersi jarum spinal, injeksi anestesi
lokal lidokain 2% 40 mg.
6. Insersi jarum spinal ditempat yang telah ditandai.
7. Pastikan LCS keluar.
8. Barbotage cairan LCS yang keluar.
9. Injeksikan Bupivacain 0,5% 5-20 mg dikombinasikan
dengan fentanyl 25 µg/pethidin 25 mg intratekal.
10. Check level ketinggian block.
11. Maintenance dengan oksigen 2 lt/mnt, sedasi dengan
midazolam 2 mg. Jika terjadi hipotensi, lakukan
prosedur terapi hipotensi.

Pasca Prosedur : 1. Observasi tanda vital di kamar pemulihan.


Tindakan 2. Observasi tanda-tanda peningkatan tekanan intra kranial
3. Oksigenasi menggunakan oksigen via simple mask.
4. Atasi komplikasi yang terjadi.

Daftar Pustaka : 1. Stoelting RK, Hillier SC. Hormones as drugs. In:


Pharmacology and physiology in anesthesic practice.
4th Edition. Philadelphia: Lippincott William and
Wilkins; 2006. p.461-69.
2. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Spinal, Spinal,
Epidural and Caudal Blocks. In: Clinical
th
anesthesiology. 4 Edition. New York: Lange Medical
Books; 2006. p.472-99.

ANESTESI REGIONAL DENGAN EPIDURAL

Definisi : Tindakan anestesi dengan menginjeksikan obat lokal


anestesi ke ruang epidural melalui kateter epidural yang
diberikan secara intermitten.

Indikasi : 1. Pembedahan di daerah abdomen.


2. Pembedahan di daerah thoraks.
10
3. Pembedahan di daerah ekstremitas bawah.
4. Pembedahan di daerah urogenital.

Kontra Indikasi : 1. Gangguan faal koagulasi


2. Kelainan Tulang belakang
3. Terdapat inefeksi ditempat insersi kateter epidural
4. Pasien menolak
5. Syok.

Persiapan : 1. Pasien :
- Mendapat penjelasan mengenai tindakan yang akan
dilakukan dan resiko yang dapat terjadi.
- Puasa.
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan
spinal anestesi.
- Ijin persetujuan tindakan spinal anestesi.an
- Puasa.
- Medikasi sesuai resiko anestesi.
- Premedikasi pra anestesi.
- Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
2. Alat:
- Epidural set (1 buah).
- Hipafix sebagai fiksassi kateter peidural
- Lidokain 2% (10 ampul).
- Epinefrin 1:1000 (1 ampul).
- Bupivacain 0,5% 20cc isobarik (1 vial).
- Dispo 1 cc (1 buah)
- Dispo 5 cc(1 buah)
- Dispo 3 cc(1 buah)
- Dispo 10 cc (1 buah)
- Kassa steril (10 lembar)
- Doeck steril (1 buah)
- Betadine (10cc)
- Efedrine (1 ampul)
- Midazolam (1 ampul)
- Sulfast atropin 0,25 mg (2 ampul)
- Oksigen
- Kanula oksigen
3. Dokter :
- Visite perioperatif.
- Perencanaan kesiapan anestesi dan pasca bedah.

Prosedur : 1. Dilakukan prosedur premedikasi.


Tindakan 2. Loading menggunakan cairan kristaloid sebanyak 500cc.
11
3. Posisikan pasien duduk atau tidur miring.
4. Indentifikasi tempat insersi jarum touchy epidural dan
berikan penanda.
5. Desinfeksi daerah insersi jarum touchy dan lakukan
penyuntikan anestesi lokal lidokain 2% di tempat insersi.
6. Insersi jarum epidural ditempat yang telah ditandai
dengan teknik ‘Loss Of Resistance’ atau ‘Hanging
Drop’.
7. Tarik penuntun pada jarum touchy dan pastikan LCS
tidak keluar.
8. Insersikan kateter epidural menuju ruang epidural
melalui jarum touchy.
9. Diberikan anestesi lokal berupa lidokain 2% 60
mg+epinefrin 1:200.000 sebagi dosis test untuk
mengetahui kemungkinan masuknya obat anestesi lokal
ke intravena maupun ruang sub arachnoid.
10. Fiksasi kateter epidural.
11. Maintanance anestesi menggunakan obat anestesi lokal
yang disuntikkan ke ruang epidural sesuai dermatom
tubuh yang akan di blok dan dapat dikombinasikan
dengan prosedur anestesi spinal atau prosedur anestesi
umum dengan intubasi endotrakheal.

Pasca Prosedur : 1. Observasi tanda vital di kamar pemulihan.


Tindakan 2. Prosedur terapi oksigen di kamar pemulihan.
3. Atasi komplikasi yang terjadi.

Daftar Pustaka : 1. Stoelting RK, Hillier SC. Hormones as drugs. In:


Pharmacology and physiology in anesthesic practice. 4th
Edition. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins;
2006. p.461-69.
2. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Spinal, Spinal,
Epidural and Caudal Blocks. In: Clinical anesthesiology.
4th Edition. New York: Lange Medical Books; 2006.
p.472-99.

12
13
KOMBINASI ANESTESI UMUM DENGAN INHALASI DAN ANESTESI
REGIONAL DENGAN EPIDURAL

Definisi : Kombinasi Tindakan anestesi dengan menggunakan anestesi


inhalasi yang dihantarkan pada pasien dengan menggunakan
pipa endotrakheal tube yang dimasukkan ke dalam trakhea
dan
Anestesi dengan menginjeksikan obat lokal anestesi ke
ruang epidural melalui kateter epidural yang diberikan
secara intermitten.

Indikasi : 1. Pembedahan di daerah abdomen.


2. Pembedahan di daerah thoraks.
3. Pembedahan di daerah urogenital.
4. Pembedahan yang membutuhkan relaksasi.
5. Pembedahan yang membutuhkan Post Op pain Epidural
analgesia

Kontra Indikasi : 1. Gangguan faal koagulasi


2. Kelainan Tulang belakang
3. Terdapat inefeksi ditempat insersi kateter epidural
4. Pasien menolak
5. Syok.

Persiapan : 1. Pasien :
- Mendapat penjelasan mengenai tindakan yang akan
dilakukan dan resiko yang dapat terjadi.
- Puasa.
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan
Kombinasi baik General anestesia dan Epidural
anestesi.
- Ijin persetujuan tindakan CEGA anestesi
- Puasa.
- Medikasi sesuai resiko anestesi.
- Premedikasi pra anestesi.
- Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
2. Alat dan Bahan:
- Sulfast Atropin 0,25 mg (2 ampul)
- Lidokain 2 % (3 ampul)
- Efedrin 50 mg (1 ampul)

14
- Midazolam 5 mg (2 ampul)
- Fentanyl 100µg atau Pethidin 100mg(2 ampul)
- Propofol 200 mg (1 ampul)
- Atracurium 50 mg (1 ampul).
- Laringoskop 1 buah
- Sungkup muka
- Set Suction 1 buah
- Pipa endotrakheal 1 buah
- Selotip 1 buah
- Oksigen
- Mesin anestesi
- Isofulran/Sevofluran/Halotan (1 botol)
- Epidural set (1 buah).
- Hipafix sebagai fiksassi kateter peidural
- Lidokain 2% (10 ampul).
- Epinefrin 1:1000 (1 ampul).
- Bupivacain 0,5% 20cc isobarik (1 vial).
- Dispo 1 cc (1 buah)
- Dispo 5 cc(1 buah)
- Dispo 3 cc(1 buah)
- Dispo 10 cc (1 buah)
- Kassa steril (10 lembar)
- Doeck steril (1 buah)
- Betadine (10cc)
- Oksigen
3. Dokter :
- Visite perioperatif.
- Perencanaan kesiapan anestesi dan pasca bedah.

Prosedur Tindakan : 1. Pasang monitor standar berupa, Tekanan darah, EKG,


Saturasi oksigen.
2. Dilakukan prosedur premedikasi.
3. Loading menggunakan cairan kristaloid sebanyak
500cc.
4. Posisikan pasien duduk atau tidur miring.
5. Indentifikasi tempat insersi jarum touchy epidural dan
berikan penanda.
6. Desinfeksi daerah insersi jarum touchy dan lakukan

15
penyuntikan anestesi lokal lidokain 2% di tempat
insersi.
7. Insersi jarum epidural ditempat yang telah ditandai
dengan teknik ‘Loss Of Resistance’ atau ‘Hanging
Drop’.
8. Tarik penuntun pada jarum touchy dan pastikan LCS
tidak keluar.
9. Insersikan kateter epidural menuju ruang epidural
melalui jarum touchy.
10. Diberikan anestesi lokal berupa lidokain 2% 60
mg+epinefrin 1:200.000 sebagi dosis test untuk
mengetahui kemungkinan masuknya obat anestesi lokal
ke intravena maupun ruang sub arachnoid.
11. Fiksasi kateter epidural.
12. Premedikasi menggunakan midazolam 2mg, fentanyl
1µg/kg atau Pethidin 1 mg/kg dan lidokain 1,5 mg/kg.
13. Induksi menggunakan propofol 1,5 mg/kg.
14. Preoksigenasi dengan oksigen 4-6 lt/mnt.
15. Lumpuhkan pasien dengan pelumpuh otot atracurium
0,5 mg/kg.
16. Laringoskopi dan insersi pipa endotrakheal.
17. Check ketepatan insersi pipa endotrakheal, kesamaan
bunyi nafas kemudian fiksasi pipa endotrakheal.
18. Maintanance anestesi menggunakan oksigen 4lt/mnt,
anestesi inhalasi isofluran/sevofluran/halotan sebanyak
0,5-1,5 vol%, analgetik berupa fentanyl 1µg/Kg/jam
dan pelumpuh otot Atracurium 0,1 mg/kg/30 menit.
19. Ekstubasi jika nafas spontan adekuat.

Pasca Prosedur : 1. Observasi tanda vital di kamar pemulihan.


Tindakan : 2. Prosedur terapi oksigen di kamar pemulihan.
3. Atasi komplikasi yang terjadi.

Daftar Pustaka : 1. Stoelting RK, Hillier SC. Hormones as drugs. In:


Pharmacology and physiology in anesthesic practice.
4th Edition. Philadelphia: Lippincott William and
Wilkins; 2006. p.461-69.
2. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Spinal, Spinal,
Epidural and Caudal Blocks. In: Clinical
th
anesthesiology. 4 Edition. New York: Lange Medical
Books; 2006. p.412-19.

ANESTESI REGIONAL DENGAN BLOK INTERSKALENUS

16
Definisi : Tindakan anestesi yang menginjeksikan obat lokal anestesi
dengan bantuan nerve stimulator untuk memblok inervasi
pada pleksus brachialis

Indikasi : 1. Pembedahan di daerah Bahu


2. Pembedahan di daerah ekstrimitas atas

Kontra Indikasi : 1. Infeksi lokal site of Injection


2. Koagulopati
3. Alergi pada agen anestesi lokal
4. Pasien Menolak

Persiapan : 1. Pasien :
- Mendapat penjelasan mengenai tindakan yang akan
dilakukan dan resiko yang dapat terjadi.
- Puasa.
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan
Interskalenus blok anestesi.
- Ijin persetujuan tindakan spinal anestesi.
- Medikasi sesuai resiko anestesi.
- Premedikasi pra anestesi.
- Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
2. Alat:
- Nerve Stimulator (1 buah).
- Stimuplex 100 ( 1 buah )
- USG Doppler ( 1 buah )
- Hipafix sebagai fiksassi kateter peidural
- Lidokain 1% (30-40ml).
- Epinefrin 1:1000 (1 ampul).
- Bupivacain 0,5% 20cc isobarik (1 vial).
- Dispo 1 cc (1 buah)
- Dispo 5 cc(1 buah)
- Dispo 3 cc(1 buah)
- Dispo 10 cc (1 buah)
- Kassa steril (10 lembar)
- Doeck steril (1 buah)
- Betadine (10cc)
- Alkohol 70%
- Efedrine (1 ampul)
- Midazolam (1 ampul)

17
- Sulfast atropin 0,25 mg (2 ampul)
- Oksigen
- Kanula oksigen
3. Dokter :
- Visite perioperatif.
- Perencanaan kesiapan anestesi dan pasca bedah.

Prosedur Tindakan : 1. Dilakukan prosedur premedikasi.


2. Posisikan pasien tidur dengan memutar kepala 30 derajat
pada sisi kontralateral
3. Indentifikasi tempat insersi stimuplex dan berikan
penanda.
4. Disinfeksi pada daerah interskalenus dengan betadin
10% dan Alkohol 70%
5. Lakukan penyuntikan anestesi lokal lidokain 2% di
tempat insersi.
6. Insersi jarum stimuplex yang dihubungkan dengan nerve
stimulator dengan arus tertentu dengan sudut 30 derajat
mediocaudal dengan bantuan USG doppler.
7. Melihat respon motorik pada target inervasi
8. Diberikan anestesi lokal berupa lidokain 1% 30-
40ml+epinefrin 1:200.000 atau Bupivacain 0,375 %
melalui kateter pada jarum stimuplex.

Pasca Prosedur : 1. Observasi tanda vital di kamar pemulihan.


Tindakan 2. Prosedur terapi oksigen di kamar pemulihan.
3. Atasi komplikasi yang terjadi.

Daftar Pustaka : 1. Stoelting RK, Hillier SC. Hormones as drugs. In:


Pharmacology and physiology in anesthesic practice. 4th
Edition. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins;
2006. p.461-69.
2. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Spinal, Spinal,
Epidural and Caudal Blocks. In: Clinical anesthesiology.
4th Edition. New York: Lange Medical Books; 2006.
p.982-86

18
ANESTESI UMUM PADA BEDAH SESAR

A. Definisi
Caesarean berasal dari bahasa latin “caedere” yang artinya “memotong”. Teknik
ini digunakan pertama kali pada zaman romawi tahun 700 SM untuk mengeluarkan bayi
dari seorang wanita hamil aterm meninggal pada saat persalinan. Dan pasien hidup
pertama yang berhasil dilakukan sectio caesarea diperkenalkan pada tahun 1610 dimana
keselamatan dan kondisi optimal dari pasien merupakan fokus utama pada tindakan
bedah tersebut. Keselamatan dari ibu, janin dan bayi harus selalu dipastikan dan ini
memberikan hal yang baru pada dunia anestesia untuk melakuakan pembiusan sectio
caesarea. Anestesi umum dan regional telah digunakan untuk membantu persalinan
secara sectio caesarea.1
Anestesi umum pada sectio caeasarea merupakan teknik yang pertama kali
dikembangkan dan selalu dipertimbangkan pada beberapa kondisi pasien seperti pada
hipovolemia maternal, koagulopati, infeksi pada tempat penyuntikan, peningkatan
tekanan intra kranial dan pasien-pasien yang menolak untuk dilakukan anestesi regional.2
Keuntungan anestesi umum adalah induksinya cepat, mudah dikendalikan,
kegagalan anestesi tidak ada, dapat menghindari terjadinya hipotensi. Kerugiannya
adalah kemungkinan adanya aspirasi, masalah pengelolaan jalan nafas, bayi terkena obat-
obat narkotik.1

B. Indikasi 2,3
Anestesia regional merupakan teknik yang paling sering dilakukan oleh seorang
anestesiologi untuk memfasilitasi anestesia pada sectio caesarea. Indikasi dilakukannya
anestesi umum pada sectio caesarea adalah bila terdapat beberapa kondisi seperti pasien
menolak untuk dilakukan anestesi regional, gagal dalam melakukan anestesi regional
ataupun terdapat kontraindikasi dilakukannya anestesi regional seperti :
1. Koagulopati atau trombositopenia
2. Peningkatan tekanan intra kranial
3. Sepsis
4. Infeksi pada tempat penyuntikan anestesi regional
5. Multiple sclerosis
6. Syok hipovolemik

C. Evaluasi pra bedah


Seluruh pasien obstetrik yang membutuhkan pelayanan anestesi untuk persalinan
normal ataupun sectio caesaria harus dilakukan evaluasi pre anestesi secepatnya dan
sesegera mungkin. Pemeriksaannya meliputi riwayat kehamilan, asma, penyakit jantung,
penyakit paru,riwayat pembedahan atau anestesi sebelumnya, tekanan darah, penilaian
jalan nafas dan pemeriksaan punggung dan tulang belakang untuk persiapan
dilakukannya anestesi regional.1,4
19
Aspirasi pulmonal dari cairan lambung dan kegagalan intubasi merupakan
penyebab utama morbiditas dan mortalitas maternal pada anestesi umum. Tanpa
menghiraukan kapan waktu terakhir kali makan, seluruh pasien harus selalu diduga
memiliki lambung yang penuh dan sangat beresiko untuk terjadinya aspirasi paru. Waktu
puasa yang dibutuhkan saat ini masih kontroversial, akan tetapi direkomendasikan 6 jam
untuk makanan ringan dan 8 jam puasa untuk makan makanan yang berat.4
Pemberian obat profilaksis seperti antasida 30 menit sebelum dilakukannya sectio
caesaria dapat membantu mengatur PH lambung >2.5 dan menurunkan angka kejadian
pneumonitis aspirasi. Obat anti histamine reseptor-2 (ranitidine) atau metoclopramid oral
atau intravena harus selalu dipertimbangkan untuk diberikan 1 jam sebelum operasi pada
pasien-pasien dengan resiko tinggi (obesitas morbid, GERD, curiga terdapat kesulitan
jalan nafas atau pada pasien emergensi tanpa puasa) dan pada pasien-pasien yang akan
dipertimbangkan untuk dilakukan anestesi umum. H2 bloker menurunkan volume dan
PH lambung, akan tetapi tidak berpengaruh terhadap isi yang sudah ada di lambung.
Metoclopramid mempercepat pengosongan lambung, menurunkan volume lambung dan
meningkatkan tonus otot sfingter esofagus. Premedikasi oral dengan omeprazole 40 mg
pada malam dan pagi hari terbukti efektif pada pasien-pasien resiko tinggi yang akan
dilakukan operasi sectio caesarea. Walaupun secara teoritis antikolinergik dapat
menurunkan tonus otot sfngter esofagus, premedikasi dengan glycopyrolate (0.1mg)
dapat mengurangi sekresi dan selalu dipertimbangkan untuk diberikan pada pasien-
pasien yang curiga memiliki kesulitan intubasi.4,5
D. Intra operatif
Peningkatan cairan ekstraseluler dan pelebaran pembuluh darah tidak hanya
mengakibatkan edema pada ekstremitas, tetapi juga pada jalan nafas atas. Membran
mukosa menjadi rapuh dan mudah berdarah saat kehamilan terutama saat memasukan
NPA, NGT atau ETT. Edema jalan nafas berat dapat terjadi khususnya pada pasien
dengan pre-eklampasia, pasien yang diposisikan tredelenburg pada waktu yang lama atau
pada pasien yang menggunakan obat tokolitik. Tindakan laringoskopi dapat sulit
dilakukan pada pasien yang obese, wanita hamil dengan leher yang pendek dan dada
yang besar. Menggunakan handle laringoskop yang pendek terbukti dapat membantu
tindakan laringoskopi6.
Diafragama meninggi seiring dengan pembesaran dari uterus yang
mengakibatkan FRC (functional residual capacity) menurun hingga 40% dibanding
pasien yang tidak hamil. Pada sebagian besar wanita hamil, penurunan FRC tidak
mengakibatkan masalah, akan tetapi pada pasien dengan obesitas, merokok atau skoliosis
dapat mempercepat terjadinya hipoksemia6.

Teknik Anestesi5,7
1. Pasien dalam posisi supinedengan dengan bantalan pada pinggul kanan untuk
memposisikan rahim ke sebelah kiri (left uterine displacement)
2. Denitrogenisasi dengan menggunakan oksigen 100%, 3-5 menit
3. Persiapkan pasien, asepsis antisepsis dan dibungkus dengan kain pembedahan steril
4. Saat dokter bedah sudah siap, pemberian analgetik opioid short acting untuk
menumpulkan respons simpatis pada saat intubasi dapat diberikan, teknik rapid
20
sequence induction dengan penekanan cricoid (Sellick's maneuver) dapat dilakukan
menggunakan propofol 2mg/kg atau ketamine 1-2 mg/kg, danpelumpuh otot
succinylcholine 1.5mg/kg atau rocuronium 0.9-1.2mg/kg
5. Pembedahan dimulai setelah ETT dikonfirmasi berada pada tempat yang tepat.
Hiperventilasi yang berlebihan harus dihindari (PaCo2 <25 mmHg) karena dapat
menurunkan aliran darah uterus dan berhubungan dengan asidosis fetus
6. 50 % N2O dalam oksigen dengan 0.75 MAC dari gas anestesi (sevoflurane 1%,
isofluurane 0.75% atau desflurane 3%) digunakan untuk pemeliharaan anestesi. Dosis
rendah anestesi inhalasi membantu memberikan efek amnesia akan tetapi tidak cukup
kuat untuk menyebabkan uterus relaksasi atau mencegah uterus kontraksi akibat
pemberian oksitosin. Pelumpuh otot durasi menengah (atracurium, cisatracurium atau
rocuronium) dapat diberikan akan tetapi durasi pelumpuh otot tersebut mungkin akan
memanjang pada pasien yang menerima magnesium sulfat
7. Setelah bayi dan placenta lahir, 20-80 unit oksitosin harus segera diberikan dalam 1
liter cairan infusan pertama dan 20 unit lagi pada cairan infus berikutnya.
Penambahan propofol, opioid atau benzodiazepine dapat diberikan untuk memastikan
pasien dalam keadaan amnesia
8. Bila uterus tidak berkontraksi dengan baik, maka opioid harus segera diberikan dan
anestesi inhalasi golongan halogen harus segera dihentika. Methylergonovine
(Methergin) 0.2 mg IM atau dalam 100 ml NaCl infus lambat harus seger diberikan
akan tetapi dapat meningkatkan tekanan darah arteri. Methylprostaglandin F2, 0.25
mg IM juga dapat diberikan.
9. Dapat digunakan oral gastric tube untuk mengurangi kemungkinan terjadinya aspirasi
paru dalam keadaan gawat darurat.
10. Pada akhir pembedahan, pelumpuh otot harus secara total di-reverse, gastric tube
dilepas, dan pasien diekstubasi saat sadar untuk mengurangi risiko aspirasi.
Bila terdapat kemungkinan kesulitan jalan nafas, penggunaan video assisted
laryngoscopy (glidescope) dapat mengurangi insiden kegagalan intubasi. Walaupun
demikian kita harus memiliki strategi untuk mengatasi kegagalan intubasi endotrakheal.
Bila tidak terdapat gawat janin maka pasien harus dibangunkan. terjadi gawat janin. Pada
pasien dengan gawat janin, jika ventilasi spontan atau ventilasi tekanan positif (dengan
sungkup atau LMA) dengan tekanan krikoid memungkinkan, percobaan untuk
melahirkan janin dapat dilakukan. Dalam hal ini, agen volatil poten dengan oksigen
diberikan untuk anestesi, tapi saat janin dilahirkan, dapat ditambahkan NO2 untuk
mengurangi konsentrasi agen volatil; sevofluran merupakan agen volatil terbaik karena
mempunyai efek depresi pernafasan paling sedikit. Jika ventilasi ke pasien tidak dapat
diberikan, butuh dilakukan krikotirotomi atau trakeostomi secepatnya6.

21
Gambar 1. Algoritma sulit intubasi pada pasien obstetrik (sumber : Frolich MA, Butterworth JF, Mackey
DC, Wasick JD. Morgan and Mikhail’s Clinical Anesthesiology 5th ed. Obstetric Anesthesia . New York :
Lange Medical Books/McGraw Hill Educaion; 2013.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Keleş E, Yazgan H, Gebeşçe A, Pakır E. Clinical Study : The Type of Anesthesia Used
during Cesarean Section is Related to the Transient Tachypnea of the Newborn. ISRN
Pediatrics Volume 2013. April 7th, 2013. Downloaded from
http://www.hindawi.com/journals/isrn.pediatrics/2013/264340/. Accessed April 12th,
2014.
2. McGlennan Alan, Mustafa Adnan. General Anaesthesia for Caesarean Section.
Continuing Education Critical Care & Pain Volume 9, 2009. Downloaded from
http://ceaccp.oxfordjournals.org/content/9/5/148.full.pdf. Accesed April 12th, 2014.
3. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed. Philadelphia :
Lippincott Williams & Wilkins; 2006.
4. Martin TC, Bell P, Ogunbiyi O. Comparison of General Anaesthesia and Spinal
Anaesthesia for Caesarean Section in Antigua and Barbuda. West Indian med.
j. vol.56 no.4 Mona Sept. 2007 [serial online]. Downloaded from
http://caribbean.scielo.org/scielo.php?
pid=S004331442007000400004&script=sci_arttext. Accessed April 12th, 2014.
5. Frolich MA, Butterworth JF, Mackey DC, Wasick JD. Morgan and Mikhail’s Clinical
Anesthesiology 5th ed. Obstetric Anesthesia . New York :Lange Medical Books/McGraw
Hill Educaion; 2013.
6. Frolich MA, Butterworth JF, Mackey DC, Wasick JD. Morgan and Mikhail’s Clinical
Anesthesiology 5th ed. Maternal & Fetal Physiology & Anesthesia. New York : Lange
Medical Books/McGraw Hill Educaion; 2013.
7. Joseph A, Mushambi M. Principles of General Anaesthesia for Caesarean Section.
Updated January 2010. Downloaded from http://www.oaa-
anaes.ac.uk/assets/_managed/editor/File/Guidelines/GA
%20section/GA_forCS_mushambi_leicester.pdf. Accessed April 12th, 2014.

ANESTESI REGIONAL PADA BEDAH SESAR (SECTIO CAESAR)


Latar Belakang
23
Pemilihan SC terus meningkat hingga saat ini berkisar antara 25-30% secara nasional
dan internasional. Persalinan dengan SC dilakukan paling sering dengan insisi transversal di
abdomen bagian bawah (pfanensteil). Dengan diseksi dari fascia dan pemisahan otot rectus
abdominis, diikuti pembukaan peritoneum, insisi uterus secara transversum (histerotomi).
Teknik ini merupakan pilihan terbaik pada section caesaria dengan fetal distress. Resiko
lebih rendah terhadap ibu dan neonatus, serta memberikan kenyamanan kepada ibu.

Evaluasi Pre Anestesia


1. Mempelajari rekam medis
2. Melakukan wawancara dan pemeriksaan khusus untuk: membahas riwayat penyakit,
pengalaman anestesia sebelumnya dan pengobatan yang sedang dijalani
3. Menilai aspek kondisi fisik yang mungkin merubah keputusan dalam hal resiko dan
pengelolaan anestesia
4. Meminta dan mempelajari hasil- hasil pemeriksaan dan konsultasi yang diperlukan untuk
tindakan anestesia
5. Menentukan obat-obat atau medikasi pra anestesia yang diperlukan untuk tindakan
anestesia
6. Penjelasan tentang keadaan pasien kepada keluarga atau pasien sendiri meliputi diagnosa
kerja, rencana tindakan dan resiko baik terhadap ibu dan atau janin dan faktor penyulit
anestesia serta kemungkinan komplikasi intra ataupun pasca tindakan anestesia
7. Dokter anestesia bertanggung jawab memeriksa kembali bahwa hal tersebut diatas telah
dilakukan secara benar dan dicatat dalam rekam medis.

Definisi Regional Anestesia


Anestesia regional adalah teknik anestesia dengan penyuntikan obat anestesiaa lokal dengan
atau tanpa obat tambahan di sekitar serabut saraf, sehingga menghambat hantaran sensorik
area yang dipersarafinya. Rangsang nyeri dari area yang diblok akan terhambat dalam waktu
tertentu yang terkait dengan obat anestesia lokal yang digunakan dan penambahan adjuvan.
Tujuan
1. Mencegah terjadinya nyeri yang ditimbulkan selama operasi SC
2. Meningkatkan kenyamanan pasien dan mencegah efek samping yang tidak diinginkan.

Modalitas Regional Anestesia


Terdapat beberapa pilihan teknik regional anestesia, antara lain:
1. Anestesia Spinal
Merupakan teknik yang sederhana dan sangat baik dengan onset yang cepat. Teknik ini
sangat menguntungkan terutama karena pasien tetap terbangun dan nyaman, sehingga
resiko aspirasi isi gaster ke dalam paru sangat minimal. Walaupun insisi dilakukan di
abdomen bagian bawah, blok sensori dibutuhkan setinggi T4 untuk mencegah nyeri yang
diakibatkan traksi dari peritoneum dan uterus. Jenis dan dosis dari anestetik local yang
digunakan harus mempertimbangkan tingkat anestesia yang diharapkan, lama operasi,
rencana analgesia postoperative dan yang lebih disukai oleh seorang anestesiologis.
Spinal anestesia dengan menggunakan bupivacaine 0.5% hiperbarik dengan fentanyl dan

24
morfin merupakan kombinasi yang kuat. Onset yang cepat dari morfin mengurangi nyeri
visceral dan mual selama pembedahan, sedangkan onset yang lambat dari morfin (durasi
18-20 jam) memberikan efek analgesia setelah operasi. Resiko terjadinya postdural
puncture headace sama dengan pada anestesia epidural, terutama bila menggunakan
gauge 25 whitacre digunakan. Resiko toksisitas obat anestesia local cenderung rendah.
2. Anestesia Epidural atau kombinasi Anestesia Epidural-Spinal
Teknik ini diindikasikan pada Section Caesar dengan waktu operasi diperkirakan lama
(antisipasi bila waktu operasi lebih dari 90 menit). Epidural catheter dapat digunakan
untuk analgesia dalam kehamilan sampai saat menjalani section caesar. Hindari
perubahan epidural (untuk kehamilan atau dengan efek analgesia yang rendah) menjadi
spinal, tanpa pengurangan dosis spinal. Hal ini dapat menyebabkan tingginya resiko
terhadap spinal tinggi.

Evaluasi Pre Anestesia


1. Evaluasi preoperative dilakukan untuk memperoleh data pasien, adanya perubahan
selama persalinan atau adanya penyakit penyerta apat mempengaruhi pemilihan teknik
anestesia. Lakukan inform consent. Diskusikan dengan dokter obstetrik indikasi
dilakukannya section caesaria. Pengetahuan tentang obstetric dapat membantu seorang
anestesiaolog dalam memberikan anestesia yang optimal dalam setiap persalinan.
Pastikan pasien juga mendapatkan analgesia post operatif.
2. Pasang infus dengan iv cath 18G, pastikan lancar.
3. Pasien dipuasakan selama 6 jam, berikan ranitidin 50 mg IV.
Monitoring Pada Anestesia Regional
Monitoring standar intra operatif yang dibutuhkan termasuk denyut jantung janin sebelum
dan setelah pemberian blok neuraksial ( Guideline ASA untuk obstetric 2007). Monitoring
harus dilakukan harus sesuai dengan kondisi klinis ibu hamil dan fetus.

Teknik Regional Anestesia


1. Anestesia Spinal
Persiapan untuk Anestesia Spinal
Pastikan dokter obstetric telah dating atau berada dekat sebelum tindakan anestesia spinal
dilakukan. Apabila waktu insisi telah ditetapkan, maka pasien harus telah diposisikan di
atas meja operasi 15 menit sebelumnya. Bila dicurigai kemungkinan sulit dalam tindakan
anestesia spinal pasien harus telah diposisikan lebih awal. Anestesia spinal merupakan
pilihan yang baik pada pasien dengan pre-eklamsia berat dengan status koagulasi yang
dapat diterima. Resiko hipotensi sangat kurang pada pasien pre-eklamsia berat jika
dibandingkan pasien normal.
1) Co-loading: setiap pasien harus sudah terpasang IV line yang lancar, dan pemberian
ringer laktat bersamaan dengan tindakan anestesia direkomendasikan selama anestesia
spinal.
2) Peralatan yang dibutuhkan untuk anestesia spinal dalam persalinan terdiri dari jarum
whitacre 25 gauge dan bupivacaine hiperbarik. Penggunaan jarum whitacre 27 gauge
dapat digunakan (mengurangi resiko PDPH dimana insidensinya 0,1% jika
dibandingkan jarum whitacre 25 gauge dengan resiko PDPH 1%).
25
3) Posisi untuk teknik spinal anestesia pada ibu hamil adalah lateral dekubitus kearah
kanan atau posisi duduk. Setelah anestesia spinal dilakukan, segera posisikan pasien
dalam supine dengan posisi uterus ke kiri. Posisi uterus ke kiri dapat dilakukakn
dengan bantuan kolf 1 liter yang dimasukkan dibawah matras meja operasi dibawah
pinggang sebelah kanan. Tindakan ini selain mempermudah kerja dari dokter
obstetric, juga memudahkan pelepasan kolf setelah bayi keluar. Posisi lateral dari
uterus adalah sangat dianjurkan (pastikan dengan perabaan uterus). Penempatan kasa
gulung dibawah pinggang kanan tidaklah adekuat, harus dipastikan kembali apakah
posisi uterus ke kiri telah berhasil.
4) Hipotensi dapat terjadi pada pasien yang mendapat anestesia spinal. Untuk
mengurangi insiden dari hipotensi dianjurkan pemberian co-loading yang adekuat.
Pemberian efedrin profilaksis (10 mg IV) disaat bersamaan deengan anestesia spinal
dapat membantu. Pemberian efedrin intramuskuler tidak bermanfaat atau efektif
dalam mengurangi resiko terjadinya hipotensi selama section caesar. Nilai tekanan
darah setiap 2-2,5 menit setelah anestesia spinal dilakukan, sampai bayi keluar.
Setelah bayi keluar, penilaian tekanan darah dapat dikurangi menjadi setiap 5 menit.
Bila selama prosedur terjadi hipotensi dan mual, maka harus diterpai secara agresif
dengan pemberian efedrin 10 mg IV atau fenilefrin 40 mcg IV (0,04mg). Patokan
yang digunakan dalam pemberian kedua obat tersebut: gunakan efedrin jika frekuensi
denyut jantung di bawah 80 dan gunakan fenilefrin jika frekuensi denyut jantung di
atas 110. Gunakan penilaian klinis. Fenilefrin merupakan vasopresor yang efektif dan
aman pada pasien tanpa insufisiensi utero-plasenta. Penilaian efektifitas efedrin
dibanding fenilefrin berdasarkan penelitian 2002 (Anesth Analg 2002; 94:920), tidak
membuktikan bahwa efedrin lebih baik. Pasien yang diberikan fenilefrin
menyebabkan peningkatan pH yang lebih tinggi pada arteri umbilicus, jika
dibandingkan pemberian efedrin. Harus diperhatikan terhadap terjadinya penurunan
frekuensi denyut jantung yang bermakna saat pemberian fenilefrin, bila dibandingkan
dengan pada pasien yang tidak hamil. Sediakan glikopropilat atau atropine untuk
pencegahannya.
5) Dosis obat spinal untuk ukuran tinggi (berkisar 140-165 cm) tidak terkait dengan
tinggi badan. Barisitas dan posisi akan mempengaruhi jumlah dermatom yang akan
terblok. Untuk pasien dengan tinggi yang ekstrim makan dapat digunakan
bupivacaine 0.5 % dengan dextrose 8.25%.
6) Usahakan mencapai sasaran level sensorik sampai sekitar T 10

Fentanyl merupakan obat tambahan untuk bupivacain yang sangat tepat dalam anestesia
spinal pada ibu hamil. Dosis fentanyl 10 mcg secara segera memberikan efek yang baik
dalam blok nyeri intraoperatif dengan efek samping yang minimal. Fentanyl harus tetap
diberikan dalam anestesia spinal, walaupun telah digunakan morfin untung analgesia post
operatif.
Dosis duramorph (preserfatif morfin bebas dalam spinal) dapat dimasukkan ke dalam
regimen spinal, terutama untuk control nyeri postoperative. Penelitian menggunakan metode
double-blinded random yang membandingkan morfin intratekal 100 mcg, 200 mcg dan 3 mg
duramorph, terbukti pengurangan insiden gatal pada dosis morfin 100 mcg.
26
Regimen Spinal pada Section Caesar
Bupivacain spinal: 10 mg (1.3 cc) sampai 12 mg (1,6 cc) atau lidocaine spinal 60 mg (4 cc).
Fentanyl: 10 mcg (0,2 cc)
Duramorph: 100 mcg sampai 200 mcg (0,2 sampai 0,4 cc dari 5 mg duramorph 10 cc)
Bila pasien dengan ukuran tinggi kurang dari 150 cm maka dosis dapat dikurangi menjadi 9
mg (1,2 cc) dan jika pasien dengan tinggi di atas 165 dosis dapat dinaikkan menjadi 15 mg
(2cc).

Bupivacaine dengan dosis 12 mg dapat memberikan anestesia selama 90 menit sejak regimen
disuntikkan. Lidocain spinal dapat memberikan anestesia selama 45-60 menit menurut
kisaran dosis. Apabila dibutuhkan peningkatan durasi kerja obat yang lebih untuk antisipasi
operasi yang lebih lama, maka dapat dilakukan 4 pilihan:
1. Dosis bupivacaine ditingkatkan menjadi 15 mg (2 cc), dapat memberikan tambahan
waktu 15 sampai 20 menit.
2. Penambahan epinefrin 0,2 mg ke dalam regimen spinal. Dapat memberikan tambahan
waktu 15-20 menit dan meningkatkan densitas dari blok. Akan tetapi penggunaan
epinefrin menyebabkan pemanjangan blok motorik, sehingga secara tidak langsung juga
memperlama waktu pulih dari blok. Sehingga regimen ini tidak menjadi pilihan yang
tepat.
3. Hindari penggunaan spinal dan epidural bersamaan.

2. Anestesia Epidural
Persiapan untuk Anestesia Epidural
1) Bila waktu insisi telah ditetapkan, maka pasien harus telah diposisikan diatas meja
operasi 30 menit sebelumnya. Apabila diprediksi adanya kemungkinan kesulitan
dalam teknik epidural maka sebaiknya dimulai lebih awal.
2) Co-loading: Setiap pasien harus telah terpasang IV line dan dipastikan lancar.
Pemberian RL awal dianjurkanselama tindakan anestesia epidural.
3) Posisikan uterus ke lateral.
4) Obat yang dapat digunakan untuk section Caesar:

Regimen epidural pada Sectio Caesar


Lidocain 2%
Lidocain 2% dengan volume 20 cc dapat memberikan waktu anestesia selama 60 menit.
Volume sebanyak 10 mL dibutuhkan untuk meningkatkan durasi obat analgesia selama 60
menit tindakan (dalam waktu tersebut dapat terjadi regresi dermatome yang diblok, dari T4
ke T6). Onset akan turun dan blok yang dilakukan dapat diperkuat dengan pemberian 1 mL
sodium bikarbonat yang dikombinasikan dengan 10 mL volume lidocain. Penambahan 100
mcg fentanyl ke dalam regimen epidural dapat memperkuat intensitas blok serta
meningkatkan kenyamanan pasien.
Dosis lidocain untuk epidural
 20 mL lidocain 2%
 2 mL sodium bikarbonat
27
 2 mL Fentanyl
 3-4 mL duramorph untuk tatalaksana nyeri post operatif

2-Chloroprocain 3%
2-Chloroprocain 3% dalam volume 20-25 mL memberikan efek anestesia yang cepat pada
operasi dan bertahan sampai 45 menit. Diperlukan penambahan dosis 10 mL ( 1,5 x dosis)
setiap 30 menit dari pemanjangan waktu operasi.
Penambahan dosis 10 mL adalah sangat penting, hal ini mengingat ketidak nyamanan pasien
akibat nyeri terjadi dengan sangat cepat. Dan sangat sulit untuk membuat pasien kembali
nyaman bila nyeri tersebut telah meningkat.
Chloroprocain 3% memiliki durasi kerja yang sangat singkat jika dibanding obat lokal
anestesia lainnya ( 23 detik pada ibu dan 45 detik pada fetus). Obat ini menjadi pilihan pada
keadaan futus asidosis (contoh; fetal distress) karena: memiliki waktu paruh yang pendek,
onset cepat, ion-trapping fetus sangat sedikit dan kekuatan blok.
Onset kerja dapat dikurangi dengan penambahan sodium bikarbonat 1 mL dan 2-
chloroprokain 3% 10 mL. 2-chloroprokain 3% bekerja sebagai antagonis μ epidural.
Penambahan fentanyl tidak memperkuat efek blok sedangkan penambahan morfin tidak
banyak dalam menambah durasi kerja (dikarenakan sifat obat). Walaupun demikian
penggunaan duramorph masih berguna dalam tatalaksana nyeri post operasi.
2-chloroprocain 3% memiliki efek penting yaitu kemampuan dalam difusi ke jaringan. Efek
ini dapat berguna pada saat blok epidural yang menggunakan lidocaine 2% hanya bekerja
sempit, walaupun dengan volume yang maksimal dan telah ditambahkan fentanyl ke dalam
regimen. 2-chloroprokain 10 mL dalat emeberikan analgesia yang cukup, tanpa perlu
merubah teknik menjadi general anestesia.
Dosis 2-chloroprokain 3% untuk epidural pada SC
 2-chloroprokain 3% 20-25 mL
 Sodium bikarbonat 2-3 mL
 Duramorph 4 mg untuk tatalaksana nyeri post operatif
(Penambahan obat dilakukan setiap 30 menit)

ANESTESI UMUM PADA OPERASI TONSILEKTOMI PADA PASIEN ANAK

Pengertian : Tindakan anestesi pada pasien anak yang menjalani operasi


tonsilektomi dengan menggunakan anestesi inhalasi yang
dihantarkan pada pasien menggunakan pipa endotrakheal tube
yang dimasukkan ke dalam trakhea
Indikasi : 1. Pembedahan pada Tonsilektomi
Kontra Indikasi : 1. Tidak ada
28
Persiapan : 1. Pasien:
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan
anestesi umum pada operas tonsilektomi dengan intubasi
endotrakheal
- Ijin persetujuan tindakan anestesi umum pada pasien
operasi tonsilektomi dengan intubasi endotrakheal
- Pemeriksaan penunjang:
 DL, FH
 ECG bila ada indikasi
 Thorak foto bila ada indikasi
- Pasien dipuasakan
- Medikasi sesuai resiko anestesi
- Premedikasi pra anestesi
2. Alat
- Sulfast Atropin 0,25 mg (4 ampul)
- Lidocaine 2% (3 ampul)
- Efedrin 50 mg (1 ampul)
- Midozolam 5 mg (1 ampul)
- Fentanyl 100 mcg / Remifentanyl / Morphine 10 mg /
Pethidin 100mg / (2 ampul)
- Propofol 200 mg (1 ampul)
- Rocuronium 50 mg atau atracurium 50 mg (1 ampul), atau
vecuronium 10 mg (1 ampul)
- Neostigmin 0,5 mg/ml
- Paracetamol 1 g
- ETT nonkrink nomor sesuai dengan perhitungan
[(umut/4)+4], disiapkan 1 nomor dibawahnya dan 1 nomor
diatasnya.
- Suction cath sesuai dengan umur
- Transfusion set atau pediatric set
- Iv cath no disesuaikan dengan umur
- Opsite infus
- 3 way stop cock
- Isolfulrane / Sevoflurane (1 botol)
- Laringoskop 1 buah
- Oropharing 1 buah
- Sungkup muka
- Set suction 1 buah
- Selotip 1 buah
- Oksigen
- Mesin anestesi
3. Dokter:
- Visite perioperatif
- Penentuan klasifikasi PS ASA teristimewa pasien dengan
tonsil besar serta riwayat OSA
29
- Check list kesiapan anestesi
Prosedur Tindakan : 1. Pemasangan IV line
2. Pemasangan mmonitor standar berupa, Tekanan darah, EKG,
Saturasi oksigen, precordial.
3. Preoksigenasi dengan oksigen 100% selama 5 menit.
4. Fentanyl 1 mcg/kg atau Remifentanyl 1 mcg/kg dan lidocaine
1,5 mg/kg.
5. Induksi menggunakan propofol 1 – 1,5 mg/kg
6. Laringoskopi dan insersi pipa endotracheal, meleakkan pipa
endotracheal ditengah bibir
7. Check ketepatan insersi pipa endotrakheal, kesamaan bunyi
nafas kemudian fiksasi pipa endotrakheal.
8. Maintenance anestesi menggunakan oksigen 4 lt/mnt, anestesi
inhalasi isofluran / sevofluran sebanyak 0,5-1,5 atau 2-4 vol
% analgetik berupa fentanyl atau remifentanyl atau morphine
atau pethidine dan pelumpuh otot rocuronium, atau
atracurium atau vecuronium dosis sesuai umur dan berat
badan.
9. Pernafasan di kontrol selama perjalanan operasi
10. Monitoring fungsi vital (Spo2, ECG, Nadi, Tekanan darah
dan suara nafas dengan precordial, memperhatikan posisi
mouthgag agar tube tidak endobronchial)
11. Injeksi perlahan reversal neostigmine (0.5 – 2 mg + SA
0.25 – 1 mg)
12. Injeksi analgetik post op
13. Ekstubasi jika nafas spontan adekuat dan pasien sudah
sadar baik
Pasca Prosedur : 1. Observasi tanda vital di kamar pemulihan
2. Terapi oksigen 6 lt/mnt dengan menggunakan masker NRM.
Tindakan 3. Posisi Tonsil, yaituyaitu tubuh dimiringkan semilateral,
kepala ekstensi tanpa bantal disangga oleh lengan yang diatas
diletakkan dibawah kepala, tungkai yang bawah diletakkan
lurus yang atas fleksi
4. Atasi komplikasi yang terjadi terutama pendarahan
5. Pertahankan suhu tubuh
6. Memberikan cairan rumatan intravena
7. Memberikan analgesia yang cukup

30
ANESTESI UMUM PADA OPERASI APPENDICITIS AKUT TANPA PENYULIT
PADA PASIEN ANAK

Pengertian : Tindakan anestesi pada pasien anak yang menjalani operasi


appendicitis akut dengan menggunakan anestesi inhalasi yang
dihantarkan pada pasien menggunakan pipa endotrakheal tube
yang dimasukkan ke dalam trakhea
Indikasi : 1. Pembedahan pada appendicitis akut
Kontra Indikasi : 1. Tidak ada
Persiapan : 1. Pasien:
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan anestesi
umum pada operasi appendicitis akut dengan intubasi
endotrakheal
- Ijin persetujuan tindakan anestesi umum pada pasien operasi
appendicitis akut dengan intubasi endotrakheal
- Pemeriksaan penunjang:
 DL, FH
 ECG bila ada indikasi

31
 Thorak foto bila ada indikasi
- Pasien dipuasakan
- Medikasi sesuai resiko anestesi
- Premedikasi pra anestesi
2. Alat
- Sulfast Atropin 0,25 mg (4 ampul)
- Lidocaine 2% (3 ampul)
- Efedrin 50 mg (1 ampul)
- Midozolam 5 mg (1 ampul)
- Fentanyl 100 mcg / Remifentanyl / Morphine 10 mg /
Pethidin 100mg / (2 ampul)
- Propofol 200 mg (1 ampul)
- Rocuronium 50 mg atau atracurium 50 mg (1 ampul), atau
vecuronium 10 mg (1 ampul)
- Neostigmin 0,5 mg/ml
- Paracetamol 1 g
- ETT nonkrink nomor sesuai dengan perhitungan
[(umut/4)+4], disiapkan 1 nomor dibawahnya dan 1 nomor
diatasnya.
- Suction cath sesuai dengan umur
- NG tube no sesuai dengan umur
- Transfusion set atau pediatric set
- Iv cath no disesuaikan dengan umur
- Opsite infus
- 3 way stop cock
- Isolfulrane / Sevoflurane (1 botol)
- Laringoskop 1 buah
- Oropharing 1 buah
- Sungkup muka
- Set suction 1 buah
- Selotip 1 buah
- Oksigen
- Mesin anestesi
3. Dokter:
- Visite perioperatif
- Penentuan klasifikasi PS ASA
- Check list kesiapan anestesi
Prosedur Tindakan 1. Pemasangan iv line
2. Pemasangan monitor standar berupa, Tekanan darah, EKG,
Saturasi oksigen, precordial.
3. Preoksigenasi dengan oksigen 100% selama 5 menit.
4. Fentanyl 1 mcg/kg atau Remifentanyl 1 mcg/kg dan lidocaine
1,5 mg/kg.
5. Induksi menggunakan propofol 1 – 1,5 mg/kg
6. Lumpuhkan pasien dengan pelumpuh otot rocuronium 1
mg/kg atau atracurium 0,5 mg/kg atau vecuronium 1 mg/kg
7. Laringoskopi dan insersi pipa endotracheal, meleakkan pipa
32
endotracheal ditengah bibir
8. Check ketepatan insersi pipa endotrakheal, kesamaan bunyi
nafas kemudian fiksasi pipa endotrakheal.
9. Maintenance anestesi menggunakan oksigen 4 lt/mnt, anestesi
inhalasi isofluran / sevofluran sebanyak 0,5-1,5 atau 2-4 vol
% analgetik berupa fentanyl atau remifentanyl atau morphine
atau pethidine dan pelumpuh otot rocuronium, atau
atracurium atau vecuronium dosis sesuai umur dan berat
badan.
10. Pernafasan di kontrol selama perjalanan operasi
11. Monitoring fungsi vital (Spo2, ECG, Nadi, Tekanan darah
dan suara nafas dengan precordial, memperhatikan posisi
mouthgag agar tube tidak endobronchial)
12. Injeksi perlahan reversal neostigmine (0.5 – 2 mg + SA 0.25
– 1 mg)
13. Injeksi analgetik post op
14. Ekstubasi jika nafas spontan adekuat.

Pasca Prosedur : 1. Observasi tanda vital di kamar pemulihan


Tindakan 2. Terapi oksigen 6 lt/mnt dengan menggunakan masker NRM.
3. Atasi komplikasi yang terjadi

33
ANESTESI UMUM PADA OPERASI BIBIR SUMBING ELEKTIF TANPA
PENYULIT PADA PASIEN ANAK

Definisi : Tindakan anestesi pada pasien anak yang menjalani operasi bibir
sumbing dengan menggunakan anestesi inhalasi yang
dihantarkan pada pasien menggunakan pipa endotrakheal tube
yang dimasukan ke dalam trakhea

Indikasi : 1.Pembedahan pada bibir sumbing


Kontra Indikasi : Tidak ada.

Persiapan : 1.Pasien
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan anestesi
umum pada operasi bibir sumbing dengan intubasi
endotrakheal .
- Ijin pesetujuan tindakan anestesi umum pada pasien operasi
bibir sumbing dengan intubasi endotrakheal
- Pemeriksaan penunjang :
 DL,FH
 ECG bila ada indikasi
 Thorak foto bila ada indikasi
- Pasien dipuasakan
- Medikasi sesuai resiko anestesi
- Premedikasi pra anestesi
2. Alat :
- Sulfas Atropin 0,25 mg (4 ampul)
- Lidocaine 2 %(3 ampul)
- Efidrin 50 mg ( 1 ampul)
34
- Midazolam 5 mg (1 ampul)
- Fentanyl 100mmcg/Remifentanyl/Morphine 10 mg/
Pethidin 100 mg/(2 ampul )
- Propofol 200 mg ( 1 ampul )
- Rocuronium 50 mg atau atracurium 50 mg ( 1ampul ) ,atau
vecuronium 10 mg )1 ampul )
- Neostigmin 0,5 mg/ml
- Paracetamol 1 g
- ETT nonkink atau RAE nomor sesuai dengan perhitungan
(umur/4)+4 ) ,disiapkan 1 nomor dibawah nya dan 1 nomor
diatasnya.
- Suction cath no sesuai dengan umur
- Transfusion set atau pediatric set
- Iv cath no disesuaikan dengan umur
- Opsite infus
- 3 way stop cock
- Isoflurance/Sevoflurance (1 boto)
- Laringgoskop 1 buah
- Oropharing 1 buah
- Sungkup muka
- Set Suction 1 buah
- Selotip 1 buah
- Oksigen
- Mesin anestesi
3. Dokter
- Visite perioperatif
- Penentuan klasifikasi PS ASA
- Check list kesiapan anestesi
Prosedur Tindakan: 9. Pemasangan IV line
10. Pasang monitor standar berupa, tekanan darah, EKG, Saturasi
oksigen, suhu, EtCO2, stetoskop precordial.
11. Pemasangan pipa nasogastric dengan nomor besar dengan
kateter berlubang, dilakukan aspirasi sebelum induksi dengan
bayi posisi miring kiri, kanan dan terlentang untuk
membersihkan volume sisa dari lambung.
12. Preoksigenasi dengan oksigen 100% selama 5 menit.
13. Atropine 0,02mg/kg IV.
14. Fentany l mcg/kg atau Remifentanyl l mcg/kg dan lidocaine
1,5 mg/kg.
15. Induksi menggunakan propofol 1 – 1,5 mg/kg
16. Lumpuhkan pasien dengan pelumpuh otot rocuronium l
mg/kg (rafid sequence intubation dengan penekanan cricoid
merupakan pilihan).
17. Awake intubasi dipertimbangkan apabila intubasi tampak
sulit.
18. Laringoskop dan insersi pipa endotrakheal.
35
19. Check ketepatan insersi pipa endotrakheal, kesamaan bunyi
nafas kemudian fiksasi pipa endotrakheal.
20. Maintenance anestesi menggunakan oksigen 4lt/mnt, anestesi
inhalasi isofluran/sevofluran sebanyak 0,5-1,5 atau 2-4 vol%,
analgetik berupa fentanyl atau remifentanyl atau morphine
0.1 - 1mg/kg atau dan pelumpuh ototnocuronium, atau
atracurium atau vecuronium.
21. Pernafasan di kontrol selama perjalanan operasi.
22. Monitoring fungsi vital (SpO2, ECG, Madi, Tekanan darah,
suhu)
23. Akhir prosedur memeriksa mukosa pylorus dengan
memberikan udara melalui ppa nasogastrik.
24. Injeksi perlahan reversal neostigmine (0,5 - 2 mg + SA 0.25 -
1 mg)
25. Injeksi analgetik post op dengan paracetamol loading dose
30-40mg/kg diikuti 15-20mg/kg BB tiap 6 jam, hindari
opioid untuk mencegah apnea operasi, infiltrasi bupivacaine
0.25% 2mg/kg BB untuk infiltrasi pada luka.
26. Ekstubasi jika nafas spontan adekuat dan sudah sadar baik.

Pasca Prosedur : 1. Observasi tanda vital di kamar pemulihan atau NICU.


Tindakan 2. Terapi oksigen 6 lt/mnt dengan menggunakan masker NRM.
3. Bayi premature atau riwayat premature harus diletakkan
monitor apnea selama 6-12 jam.
4. Bayi dapat diberi makan setelah 12-24 pasca bedah.
5. Atasi komplikasi yang terjadi terutama hypoglisemia.

Daftar Pustaka : 1. Bisonnette B, Sullivan PJ.Pyloric Stenosis. Can J Anesth


1991;38:668-670
2. Roberts JD, Cronin JH, Todres ID. Neonatal Surgical
Emergencies. In : Cote CJ, Todres ID, Goutsouzian NG Ryan
JF (Eds). A Practice of Anesthesia for infants and Children.
3rd ed.WB Saunders 2001; 14: 294-315
3. Rebecca

36
NYERI KANKER

Pengertian
Nyeri kanker adalah nyeri pada pasien kanker akibat perkembangan tumornya dan terapi
yang diberikan.

Patogenesa
Nyeri kanker dapat berupa nyeri nosiseptive akibat adanya inflamasi, kerusakan jaringan dan
pelepasan mediator-mediator yang merangsang nosiseptor baik oleh tumornya maupun akibat
tindakan seperti pembedahan, radioterapi dan kemoterapi.
Nyeri neuropatik dapat juga terjadi akibat adanya kompressi pada saraf, kerusakan pada saraf
akibat infiltrasi tumor dan penyebab nyeri neuropatik lainnya.

Anamnesa
Nyeri kanker dikeluhkan oleh penderita kanker sehubungan dengan adanya perkembangan
tumor sesuai dengan organ yang terkena. Nyeri kanker dirasakan terus menerus dan biasanya
memberat pada malam hari serta memberat pada keadaan-keadaan tertentu akibat pergerakan
maupun dosis obat yang kurang ( nyeri breakthrough ).

Pemeriksaan fisis
- Penilaian intensitas nyeri dengan menggunakan skor VAS ( visual analog score ) maupun
NRS (numerical rating scale ).
- Penilaian gejala lain yang menyertai nyeri seperti adanya mual muntah pada tumor
abdomen dan lainnya.

Pemeriksaan Penunjang
Sesuai dengan organ yang mengalami keganasan dan terutama untuk melihat adanya
kompresi saraf dan peningkatan tekanan pada sturktu organ. Pemeriksaan lain untuk melihat
tingakt stadium perkembangan penyakit

Tata Laksana
Pendekatan Farmakologi
menggunakan prinsip Stepladder WHO : nyeri ringan dengan analgesik non-opioid dan
adjuvant; nyeri sedang ( NRS 4-6 ) dengan non-opioid dan opioid serta adjuvant ; dan nyeri
berat ( NRS > 7 ) dengan non-opioid dan Opioid kuat serta adjuvant.

37
Pendekatan Tindakan Intervension
- blok saraf sesuai persarafan organ : blok plexus coeliac, blok nervus splachnicus, blok
plexus hypogastricus, blok ganglion impar
- blok saraf neuraksial : episural dan intratecal analgesia

Tingkat Evidence
Teknik Assessment
Blok neurolitik plexus coeliac 2A+
Blok neurolitik nervus sphlanchnic 2B+
Blok neurolitik plexus hypogastric 2C+

Kepustakaan
- Kris C. Visser, Kees B, Michel W, et al. Evidence-Based interventional pain medicine.
Pain in Patients with Cancer. 2012;23:173-188.
- Christo PJ, Mazloomdoost D. Interventional pain treatments for cancer pain. Ann N Y
Acad Sci..2008;1138:229-328.
- Mercadante S, Intravaia G, Villari P, Ferrera P, Riina S, David F, et al. Intrathecal
treatment in cancer patients unresponsive to in mutiple trials of systemic opioids. Clin J
Pain. 2005;1:CD005178.
- Wong GY, Schroeder DR, Carns PE, et al. Effect of neurolytic celiac plexus block on pain
relief, quality of life, and survival in patients with unresectable pancreatic cancer: a
randomized controlled trial. JAMA. 2004;291:1092-1099.

38
NYERI PASCA BEDAH

Pengertian
Nyeri pasca bedah adalah nyeri pada pasien yang telah mengalami pembedahan. Nyeri dapat
terjadi segera atau beberapa jam/hari setelah pembedahan.

Patogenesa
Nyeri pasca bedah merupakan prototipe nyeri nosiseptif yang diakibatkan oleh adanaya
kerusakan jaringan dan proses inflamasi yang terjadi akibat pembedahan.

Proses sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral akan terjadi pada nyeri pasca bedah bila tidak
dilakukan penanganan nyeri secara preventif analgesia yang dimulai dari fase pre-operasi,
intra operasi dan pasca pembedahan. Pemberian analgesik dapat diberikan dengan berbagai
macam metode mulai dari pemberian analgetik intravena, analgetik neuraksial dan blok saraf
tepi.

Tindakan dilaksanakan dengan metode multimodal analgesia yaitu memberikan obat-obatan


dan atau tindakan analgesik yang bekerja pada proses perjalan nyeri yang berbeda, mulai dari
proses transduksi, transmisi dan modulasi.

Proses transduksi dapat dilakukan dengan pemberian analgesia NSAID dan proses modulasi
banyak dihambat dengan pemberian opioid terutama untuk pembedahan dengan
kemungkinan nyeri sedang sampai berat. Tindakan analgesia dengan menghambat proses
transmisi nyeri menjadi hal yang paling penting karena dapat mengurangi nyeri pasca bedah
secara bermakna dan meningkatkan kepuasan pasien.

Tindakan Epidural Analgesia menjadi modalitas utama dalam penanganan nyeri pasca
bedah terutama pada pembedahan besar seperti pembedahan thorax, abdomen, pelvic dan
ekstremitas bawah. Kombinasi obat anestesi lokal dan opioid menjadi pilihan dalam analgesia
epidural karena selai berefek pada proses transmisi juga pada proses modulasi neuraksial.

Pemeriksaan Fisis
Penilaian intensitas nyeri pasca bedah dilaksanakan dengan menggunakan penilaian
Numerical Rating scale ( NRS ) atau dengan Visual Analogue Score ( VAS ).
Penilaian tanda vital lainnya untuk melihat dampak fisiologis bila nyeri tidak ditangani
dengan adekuat seperti terjadinya peningkatan tekanan darah, denyut nadi dan frekuensi
nafas.

Tata Laksana
- Epidural Analgesia atau kontinyu untuk pembedahan thorax, abdomen, pelvic dan
ektremitas bawah
- Blok saraf tepi kontinyu untuk pembedahan ekstremitas atas dan bawah

39
- Analgetik secara Patient Controlled Analgesia menggunakan Opioid untuk pasien yang
kontraindikasi epidural analgesia
- Analgetik secara intravena : Parasetamol, NSAIDs dan Opioid serta adjuvant analgesik
lainnya

Rekomendasi Pengelolaan Nyeri Pascabedah

Penilaian Pasien Prabedah

Pembedahan rutin Pasien dengan risiko pulmonal tinggi


Analgesia sistemik
 COX2 selektif inhibitor Pertimbangkan penggunaan analgesia
 Gabepatin epidural/anestesia sebagai tambahan dari
Prabedah  Dexamethasone zat lain
Analgesia regional
 Anestesi lokal dengan waktu
kerja panjang infiltrasi luka
untuk nyeri pada luka

Teknik Anestesia
 Anestesia umum Teknik anestesia
Teknik Operasi
 CO2 tekanan rendah
 Lavase dengan Saline diikuti
suction Kombibnasi epidural/ anestesia umum
Analgesia Sistemik
 NSAID konvensional pada akhir
pembedahan
Intrabedah
 COX2 selektif inhibitor
 Opioid kuat kerja singkat sebagai Analgesia epidural
bagian teknik anestesia
Anestesia regional LA epidural + opioid kuat pada periode
 LA kerja panjang infiltrasi luka awal pascabedah
untuk nyeri luka
 LA intraperitoneal
 Kombinasi LA infiltrasi luka/LA
intraperitoneal

Analgesia sistemik
 Konvensional NSAID/COX2
selektif inhibitor
 Paracetamol
Pascabedah  Opioid sebagai analgesia
penolong

Pemindahan dini (<24 jam)

Tingkat Evidence
40
PCA opioid intravena memberikan analgesia yang jauh lebih baik daripada pemberian opioid
secara parenteral ( Level I [ Cochrane review] ).
Epidural analgesia memberikan penghilang rasa sakit pasca operasi yang lebih baik
dibandingkan dengan parenteral ( termasuk PCA ) opioid ( Level I [ Cochrane review] ) ;
kecuali epidural analgesia yang hanya menggunakan opioid hidrofilik (Level I).
Dibandingkan dengan opioid analgesia ,blok saraf perifer ( terlepas dari lokasi kateter )
memberikan analgesia pasca operasi yang lebih baik dan menurunkan penggunaan opioid
dengan efek seperti mual, muntah pruritus dan sedasi (Level I).
Parasetamol merupakan analgesik efektif untuk nyeri akut; efek samping sama dibandingkan
dengan plasebo ( Level I [ Cochrane review]).
NSAID non - selektif efektif dalam pengobatan nyeri akut pasca operasi ( Level I [ Cochrane
review]).
Coxib efektif dalam pengobatan nyeri akut pasca operasi ( Level I [ Cochrane review]).
Parasetamol dikombinasikan dengan tramadol lebih efektif dibandingkan dengan penggunaan
sendiri dan menunjukkan efek respon dosis (Level I).

Kepustakaan
- Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi san Reanimasi Indonesia. Panduan
tatalaksana nyeri perioperatif. Tatalaksana Nyeri pada Prosedur Bedah
Khusus.2009;6:249-253.
- Acute Pain Management: Scientific Evidence, Australian and New Zealand College
Anesthetists and Faculty of Pain Medicine,Edisi 3. 2010.
- Macintyre P.E, Schug S.A, More complex patient, Acute Pain Management: A Practical
Guide, Edisi 3, Elsevier, 2007;245-254.

PROSEDUR SEDASI SEDANG-BERAT

41
Definisi : Sedasi sedang adalah suatu keadaan dimana setelah
pemberian obat sedasi menyebabkan penurunan kesadaran,
namun pasien masih memiliki respon terhadap rangsang
suara, baik disertai maupun tidak dengan rangsang
sentuhan. Ventilasi spontan masih adekuat dan belum
diperlukan intervensi untuk menjaga patensi jalan nafas.
Fungsi kardiovaskular masih tidak berubah.

Sedasi berat adalah suatu keadaan dimana setelah


pemberian obat terjadi penurunan kesadaran, pasien hanya
bereaksi dengan pemberian rangsang nyeri. Fungsi
pernafasan dapat terganggu. Pasien membutuhkan bantuan
untuk menjaga patensi jalan nafas dan pernafasan spontan
dapat menjadi tidak adekuat. Fungsi kardiovaskular
biasanya tidak terganggu.
Desaturasi adalah penurunan konsentrasi oksigen di dalam
darah yang ditandai dengan angka SpO2  92% pada
monitor oksimetri.

Indikasi : Untuk tindakan diagnostik yang kurang dari 30 menit dan


terapeutik yang kurang dari 15 menit, yang membutuhkan
sedasi.

Kontra Indikasi : 1. Hemodinamik tidak stabil


2. Pada tindakan di luar kamar operasi kesulitan
melakukan bantuan ventilasi

Persiapan : 1. Pasien :
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan
sedasi sedang-berat.
- Ijin persetujuan tindakan sedasi sedang-berat
- Puasa.
- Medikasi sesuai resiko anestesi.
- Premedikasi pra anestesi.
- Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
2. Alat:
- Sulfast Atropin 0,25 mg (2 ampul)
- Lidokain 2 % (3 ampul)
- Efedrin 50 mg (1 ampul)
- Midazolam 5 mg (2 ampul)
- Fentanyl 100µg atau Pethidin 100mg(2 ampul)
- Ketamin 100 mg
42
- Propofol 200 mg (1 ampul)
- Laringoskop 1 buah
- Sungkup muka
- Set Suction 1 buah
- Pipa endotrakheal 1 buah
- Selotip 1 buah
- Oksigen
- Ambu bag 1 buah
3. Dokter :
- Visite perioperatif.
- Penentuan klasifikasi ASA PS.
- Check list kesiapan anestesi.

Prosedur Tindakan: Prasedasi


a. Meninjau ulang rekam medis pasien
b. Anamnesis pasien berupa:
 Identitas pasien
 Identifikasi prosedur yang akan dilakukan
 Verifikasi status masuk pasien (rawat jalan,
rawat inap, one-day care, dan lain-lain)
 Riwayat penyakit pasien yang relevan
 abnormalitas sistem organ utama
 riwayat anestesi / sedasi sebelumnya, dan efek
samping yang pernah terjadi / dialami
 obat-obatan yang dikonsumsi saat ini, alergi
obat, dan interaksi obat yang mungkin terjadi
 asupan makan terakhir
 riwayat merokok, alkohol, atau penyalahgunaan
obat-obatan
c. Lakukan Pemeriksaan fisik terfokus
 Tanda vital
 Evaluasi jalan napas
 Auskultasi jantung dan paru
d. Lakukan evaluasi hasil Pemeriksaan laboratorium,
radiologi, dan EKG (berdasarkan pada kondisi
yang mendasari dan efek yang mungkin terjadi
dalam penanganan pasien) profilaksis, sesuai
indikasi.
e. Catat di rekam medis pasien.
f. Konfirmasi temuan klinis segera sebelum
melakukan anestesi / sedasi.
g. Konsultasi medis, jika memungkinkan.
h. Susunlah rencana tindakan sedasi dan diskusi
dengan pasien / keluarganya mengenai risiko –
keuntungan dari tindakan sedasi
43
i. Tandatangani surat persetujuan tindakan (informed
consent)
j. Berikan pre-medikasi dan antibiotik
Intrasedasi
 Pemasangan iv line
 Pemasangan alat monitor minimal 4 parameter
(tekanan darah, EKG, saturasi, respirasi)
 Pemberian obat-obatan sedasi
 Pemantauan pasien
1. Pemantauan pasien, berupa:
 Tingkat kesadaran pasien (dinilai dari
respons pasien terhadap stimulus)
 Respons menjawab (verbal):
menunjukkan bahwa pasien bernapas
 Hanya memberikan respons berupa
refleks menarik diri (withdrawal): dalam
sedasi berat / dalam.
2. Oksigenasi:
 Memastikan konsentrasi oksigen yang
adekuat selama proses sedasi gunakan
oksimetri denyut (pulse oximetry)
3. Ventilasi paru (observasi, auskultasi)
 Semua pasien yang menjalani prosedur
sedasi harus memiliki ventilasi yang
adekuat dan dipantau secara terus-
menerus
 Lihat tanda klinis: pergerakan dinding
dada, pergerakan pernapasan, auskultasi
dada

Pasca Prosedur : 1. Observasi tanda vital di kamar pemulihan.


Tindakan 2. Terapi oksigen 6 lt/mnt dengan menggunakan masker
NRM.
3. Atasi komplikasi yang terjadi.

Daftar Pustaka : 1. Stoelting RK, Hillier SC. Hormones as drugs. In:


Pharmacology and physiology in anesthesic practice.
4th Edition. Philadelphia: Lippincott William and
Wilkins; 2006. p.461-69.
2. Hillier SC, Mazurek MS. Monitored Anesthesia Care.
In: Clinical anesthesia. 6th Edition. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2009. p.815-32.

44
GAGAL NAPAS AKUT

Definisi : Ketidakmampuan paru-paru untuk menghantarkan oksigen


masuk kedalam darah dan mengeluarkan karbondioksida
dari darah akibat infeksi paru berat
Anamnesis : Gejala yang umum didapatkan pada pasien dengan gagal
napas karena pneumonia berat adalah peningkatan upaya
napas (work of breathing) serta gejala gangguan perfusi
jaringan yang biasanya didahului dengan keluhan:
 Demam,
 Sesak napas

45
 Batuk,
 Sekret yang purulen,
 Nyeri dada saat tarik napas dalam dan batuk

Pemeriksaan Fisik : Pemeriksaan fisik dilakukan dengan melakukan


pemeriksaan fungsi pernapasan. Pemeriksaan bisa
dilakukan dengan teknik IPPA ( Inspeksi, Palpasi, Perkusi,
Auskultasi)
1. Inspeksi :peningkatan frekwensi napas, pernapasan
cuping hidung, penggunaan otot napas tambahan, retraksi
interkostal, takipneu, pernapasan paradoksal, sianosis,
penurunan kesadaran
2. Palpasi :fokal fremitus menurun pada sisi paru yang
sakit.
3. Perkusi : pekak sisi paru yang sakit
4. Austkultasi :suara napas menurun pada sisi paru yang
sakit, ronki basah kasar

Diagnosis Kerja : Temperatur (0C) ≥ 36.6 dan ≤ 38.4 0


≥ 38.5 dan ≤ 38.9 1
≥ 39.0 dan ≤ 36.0 2
 Diagnosis gagal napas klinis dapat ditegakkan
dengan anamnesis, pemeriksaan fisik.
 Diagnosis gagal napas definitif adalah diagnosis
gagal napas klinis ditambah dengan pemeriksaan
penunjang
1. Pemeriksaanthoraksfoto : infiltrat di paru
2. Pemeriksaan AGD (analisa Gas darah) arteri :
a. PaO2 < 60 mmHg :gagal napas hipoksemia
b. PaCO2 > 50 mmH :gagal napas hiperkapnea
c. PaO2 < 60 dan PaCO2 > 50 mmH: gagal napas
tipe campuran
Sedangkan diagnosis pneumonia dapat digunakan
skor Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS),
yaitu diagnosis pneumonia ditegakan bila skor
CPIS > 6 yang terdiri:

kosit (mm3) ≥ 4000 dan ≤ 11.000 0


≤ 4000 dan ≥ 11.000 1
Sekret trakeal Ketiadaan sekresi trakeal 0
Adanya sekresi trakeal non purulen 1
Adanya sekresi trakeal purulen 2
Oksigenasi >240 atau ARDS 0
PaO2/FiO2 ≤240 dantanpa ARDS 2
46
(mmHg)
Foto toraks Tanpa infiltrat 0
Infiltrat difus atau berbercak 1
Infiltrat lokal 2
Progresivitas Tanpa progresivitas radiologik 0
infiltrat Progresivitas radiologik (tanpa gagal 2
jantung dan ARDS)
Kultur aspirat Hasil kultur jarang, sedikit atau tidak 0
trakeal tumbuh 1
Hasil kultur menengah atau banyak +
Bakteri patogen = pada pewarnaan 1
gram
Diagnosis Kerja : Kriteria pneumonia berat : bila terdapat tanda-tanda mayor
atau ≥3 tanda-tanda minor
Kriteria minor:

Laju napas> 30 kali/menit

Rasio PaO2/FiO2 < 250

Infiltrat multilobar

Confusion/disorientasi

Uremia (BUN ≥ 29 mg/dl)

Lekosit< 4000 sel/mm3

Trombosit< 100.000 sel/mm3

Hipotermi< 360 C

Hipotensi yang membutuhkan resusitasi cairan yang
agresif

Kriteria mayor:
 Menggunakan ventilasi mekanik
 Syok sepsis


Terapi : Gagal napas akut karena pneumonia berat

Posisi pasien Head up 30-45o

Terapi oksigen:
 Menggunakan oksigen masker
 Oksigen via Non Rebreathing Mask
 Resusitasi menggunakan Bag Valve Mask
 Ventilasi Mekanik.

Antibiotik empiris.

Chest terapi.

Cairan dan nutrisi

Hand hygiene

Menggunakan masker medis pada droplet infection

Menggunakan masker N95 pada airbone infection
47

Manajemen kebersihan lingkungan pasien

Penanganan sampah-sampah medis

Penggunaan alat proteksi diri pada petugas kesehatan

Membatasi jumlah individu dalam ruang perawatan
Terapi : Gagal napas akut karena pneumonia berat
1. Posisi pasien Head up 30-45o
2. Terapi oksigen:
- Menggunakan oksigen masker
- Oksigen via Non Rebreathing Mask
- Resusitasi menggunakan Bag Valve Mask
- Ventilasi Mekanik.
3. Antibiotik empiris.
4. Fisioterapi dada.
5. Cairan dan nutrisi

Daftar Pustaka : 1. Todi S, Chawla R. Severe community acquired


pneumonia. In: ICU Protokols. Editors: Chawla R, Todi
S. Springer. New York. 2012, p. 79-83.
2. Pande R. Ventilator associated pneumonia. In: ICU
Protocols. Editors: Chawla R, Todi S. Springer. New
York. 2012, p. 85-91.
3. McLean B, Zimmerman JL. Diagnosis and management
of acute respiratory failure. In: Fundamental Critical Care
Support. Society of Critical Care Medicine. Atlanta.
2010, p.1-14.
4. IDSA/ATS Guidelines for CAP in Adults • CID 2007:44
(Suppl 2)• S27

GANGGUAN ELEKTROLIT MENGANCAM NYAWA

Definisi :  Gangguan elektrolit adalah nilai elektrolit dalam serum


yang melebihi atau kurang dari nilai normal.
 Gangguan elektrolit yang mengancam nyawa adalah
gangguan elektrolit yang dapat mengganggu fungsi
jantung,
 Aritmia jantung hingga mengakibatkan henti jantung
dan/atau mempengaruhi kesadaran.
 Hiperkalemia adalah konsentrasi kalium serum
melebihi 5.5mEq/L
 Hiperkalemia ringan adalah konsentrasi kalium serum
5.5-5.9mEq/L

48
 Hiperkalemia sedang adalah konsentrasi kalium
serum6.0-6.4 mEq/L
 Hiperkalemia berat adalah konsentrasi kalium serum>
6.5mEq/L
 Hipokalemia adalah konsentrasi kalium serum kurang
dari3.5 mEq/L
 Hipokalemia berat adalah konsentrasi kalium
serum<2.5 mEq/L
 Hipernatremia adalah konsentrasi natrium serum
melebihi 145 mEq/L
 Hiponatremia adalah konsentrasi natrium serum kurang
dari 135mEq/L
 Hiponatremia berat adalah konsentrasi natrium serum<
120 mEq/L
 Hipercalcemia adalah konsentrasi kalsium serum
melebihi10 .5mg/dL(2.5mmol/L) atau ion kalsium
melebihi 5.6 mg/dL (1.4mmol/L)
 Krisis hiperkalsemia adalah konsentrasi kalsium serum
melebihi14 mg/dL (3.5 mmol/L) atau ion kalsium
melebihi10 mg/dL (2.5 mmol/L)
 Hipocalcemia adalah konsentrasi kalsium serum kurang
dari 8 mg/dL (2.1 mmo/L) atau ion kalsiumkurangdari
4.2 mg/dL (1.1 mmol/L)
 Hipermagnesemia adalah konsentrasi magnesium
serum melebihi 2.2 mEq/L (1.1 mmol/L)
 Hipomagnesemia adalah konsentrasi magnesium serum
kurang dari 1.3 mEq/L (0.6 mmol/L)

Anamnesis : Hiperkalemia:
Lemas, paralisis, parestesia, gagalginjal, pemakaianobat
ACE-I, angiotensin II receptor antagonist, diuretic yang
hemat kalium, NSAID, betabloker.

Hipokalemia:
Diare, riwayat pemakaian obat diuretic, laxative, steroid,
low intake
Lemas, fatigue, kramkaki, konstipasi, paralisis hingga sulit
bernapas

Hipernatremia
Haus, demam, gangguan kesadaran

Hiponatremia
49
Mual, muntah, sakitkepala, diplopia
Riwayat pemakaian thiazide diuretic, gagalginjal, operasi
tumor otak, trauma kepala

Hiperkalsemia
Batu ginjal, artritis, mual, muntah, anoreksia, konstipasi,
nyeri abdomen, gangguan konsentrasi dan daya ingat,
confusion, stupor, coma, letargi, fatigue, lemas, gatal,
keratitis
Riwayat hiperpara tiroid, gagal ginjal kronik, keganasan
pemakaian diuretic thiazide, hipertiroid

Hipokalsemia
Riwaya thipopara tiroid pasca op atau gagal ginjal kronik

Hipermagnesemia
Riwayat gagal ginjal, pemberian MgSO4

Hipomagnesemia
Diare, polyuria, kelaparan, alcoholism, malabasorpsi

Pemeriksaan Fisik : Hiperkalemia:


Paralisis flaccid, reflex tendon menurun, aritmia

Hipokalemia
Ascending paralysis, aritmia

Hipernatremia
Demam, deficit neurologis focal, kejang, hiperventilasi

Hiponatremia
Kejang, koma

Hipercalcemia
Hipertensi, peptic ulcer

Hipocalcemia
Hiperreflexia, Chovstek dan Trousseaue sign,
parestesiaekstremitas dan wajah, kram otot, tetani, kejang,
papilledema, gejala extrapyramidal, diaphoresis, hipotensi,
gagal jantung kongestif

Hipermagnesemia
50
Confusion, depresinapas, cardiac arrest

Hipomagnesemia
Tremor, ataxia, Nistagmus, Aritmia

Kriteria Diagnosis : 1. Konsentrasi kalium serum melebihi 5.5 mEq/L disertai


gangguan irama jantung
2. Konsentrasi kalium serum > 6.5 mEq/L dengan atau
tanpa gangguan irama jantung
3. konsentrasi kalium serum < 2.5 mEq/L disertai
gangguan irama jantung malignan
4. Konsentrasi natrium serum melebihi 145 mEq/L atau
konsentrasi natrium serum < 120 mEq/L yang disertai
gangguan kesadaran, kejang
5. Konsentrasi kalsium> 14 mg/dL (>3.5 mmol/L)
6. Konsentrasi kalsium serum < 8 mg/dL (2.1 mmol/L)
atau ion kalsium< 4.4 mg/dL (1.1 mmol/L)
7. Konsentrasi magnesium serum melebihi 2.2 mEq/L (1.1
mmol/L)
8. Hipomagnesemia adalah konsentrasi magnesium serum
kurang dari 1.3 mEq/L (0.6 mmol/L)

Diagnosis Kerja :  Hiperkalemia berat


 Hipokalemia berat
 Hipernatremia berat
 Hiponatremia berat
 Hipermagnesemia berat
 Hipomagnesemia berat
 Krisis Hipercalcemia
 Hipocalcemia akut

Diagnosis Banding : Tidak ada

Pemeriksaan :  Pemeriksaan elektrolit serum natrium, kalium,


Penunjang magnesium, kalsium, dan/atau kalsium ion
 Gula darah
 Urinalisa, elektroliturin (natrium), glukosaurin
 Fungsi ginjal (ureum dan kreatinin)

EKG
Hiperkalemia:
 Blok derajat 1 (PR interval memanjang>0.2 detik)
 Gelombang P hilang/flat
51
 Gelombang T tinggi (peaked/tented) (gel T lebih besar
dari gelombang R pada lebih dari 1 lead)
 ST depresi
 Gelombang S dan T menyatu (sine wave pattern)
 QRS melebar (>0.12 detik)
 Takikardia ventricular
 Bradikardia

Hipokalemia
 Gelombang U
 Gelombang T flat
 Perubahan ST
 Aritmia (terutama bila pasien mengkonsumsi digoksin)
 Cardiopulmonary arrest (PEA, pulseless VT/VF,
asystole)

Hipokalsemia
 Prolonged QT interval
 Terminal T wave inversion
 AV Blok
 Fibrilasiventrikel

Hipermagnesemia
 Prolonged PR dan QT interval
 Gelombang T peaking
 AV blok
 Cardiac arrest

Hipomagnesemia
 Prolonged PR dan QT interval
 ST depresi
 Gelombang T inversion
 Gelombang P flat
 Torade de pointes
 Durasi QRS meningkat

Analisa gas darah

Terapi : Hiperkalemiaberat:
1. Bolus calcium glukonas 10% 10 ml (jika ada
gangguan gambaran EKG)
2. Glucose plus insulin–25 g glucose dan 10 U regular
52
insulin berikan IV dalam 15 -30 menit
3. Nebulized salbutamol 5 mg nebulized selama15
minutes
4. Furosemide iv 40-80 mg
5. Pemberian bikarbonat 50 mEq dalam 5 menit bila
asidosis berat.
6. Dialysis

Hipokalemia
1. Pemberian K+ is 10 mEq/jam melalui jalur iv perifer
atau 20 mEq/jam melalui jalur iv central venous
catheter dengan ECG monitoring.
2. Hentikan obat yang mengakibatkan hipokalemia
3. Koreksi hipomagnesemia

Hipernatremia
1. Bila hypernatremia akut atau simtomatik berat berikan
cairan hipotonik.
2. Bila pasien hipovolemia dengan hemodinamik
terganggu, berikan cairan isotonick untuk memperbaiki
status volume. Setelah hemodinamik stabil berikan
cairan hipotonik iv (NaCl 0.45% atau Dextrose 5%)
3. Koreksimaksimal 12 mEq/L dalam 24 jam
4. Akut hypernatremia dapat dikoreksi lebih cepat di
awal (1-2 mEq/L/jam), kenaikan 5 mEq/L sudah
memperbaiki gejala

Hiponatremia
1. Bila hiponatermia akut atau simtomatik berat berikan
NaCl hipertonik (NaCl 3% )1mEq/L/jam hingga gejala
neurologis hilang setelah itu kecepatan koreksi 0,5
mEq/L/ jam
2. Koreksi maksimal12 mEq/L dalam 24 jam pertama
3. Bila SIADH restriksi cairan 50-66% dari kebutuhan
cairan

Adroge Madias formula


Perubahan Na = (Na infus +K infus ) –serum Na
Total body water + 1
Total body water 0.6 x berat badan untuk laki-laki dan 0.5x
berat badan untuk perempuan

53
Krisis Hiperkalsemia
1. Hidrasi dengan normal saline target urin output 200
ml/jam
2. Bila volume intra vascular telah tercukupi dapat
diberikan furosemide
3. Calcitonin 4-8 IU per kg IM tiap 6 jam selama 24 jam
4. Bila akibat keganasan berikan hidrokortison 200 mg IV
selama 3 hari
5. Pasien gagal ginjal atau gagal jantung diterapi dengan
dialysis

Hipokalsemiaakutdansimtomatik
1. Calcium gluconas 10 % 10-20 ml IV dilarutkan dalam
dextrose 5% diberikan selama 10 menit dengan monitor
EKG
2. 10 ampul calcium gluconas 10% 10 ml dilarutkan
dalam 1 liter dextrose 5% diberikan 50 ml/jam untuk
mencegah hipocalcemia berulang.
3. Koreksi hipomagnesemia

Hipermagnesemia
1. Calcium glukonas 10% 10 ml
2. Suport ventilator
3. NaCl 0.9% dan furosemide IV
4. Dialysis

Hipomagnesemia
1. 2 g MgSO4 50% IV diberikan selama 15 min
2. Bila Torsade de pointes 2 g MgSO4 IV selama 1-2 min
3. Bila kejang 2 g Mg SO4 selama 10 min

Daftar Pustaka : 1. European Resuscitation Council Guidelines for


Rescucitation 2010. Section 8. Cardiac arrest in special
scircumstances: Electrolyte abnormalities, poisoning,
drowning, accidental hypothermia, hyperthermia,
asthma, anaphylaxis, cardiac surgery, trauma,
pregnancy, electrocution
2. Life Threatening Electrolyte Abnormalities.
Ciruculatiion 2005: 112:IV-121-IV-125
3. A Practical Approach to Hypercalcemia. American
Family Physician. 2003; 67; 9: 1959-1966
4. Diagnosis and management of Hypocalcemia BMJ
2008; 336: 1298-302
54
PREEKLAMPSI BERAT DI INTENSIVE CARE UNIT

Definisi : Preeklampsi Berat adalah keadaan terjadinya peningkatan


Tekanan darah ≥ 160/110 mmHg, Proteinuria ≥ 5 gr/24 jam
disertai gangguan visus,sakit kepala, penurunan
kesadaran,epigastric pain,edema paru,oliguria < 500 ml/24
jam dan disebut Eklampsi bila disertai Kejang dengan atau
tanpa koma pada kehamilan > 20 Mgg atau setelah
melahirkan tanpa adanya defisit neurologis

Anamnesis : Riwayat penyakit atau keluhan :


Adanya hipertensi sebelum dan selama kehamilan
Adanya riwayat keluarga dengan hipertensi dan penyakit
yang sama
Adanya tanda klinis : sakit kepala,gangguan penglihatan,
edema paru, penurunan kesadaran, sesak, nyeri ulu hati,
kelemahan tubuh
Adanya kejang dengan atau tanpa koma

Pemeriksaan Fisik : Hamil ≥ 20 minggu


b. Kesadaran : menurun disertai atau tanpa Kejang

55
Tekanan Darah : ≥ 160/110 mmHg
d. Dyspnoe
Cyanosis

Kriteria Diagnosis : Anamnesis


b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Penunjang (Laboratorium, Radiologi)
d.
Diagnosis Kerja : Preeklampsi Berat/Eklampsi

Diagnosis Banding : a. Kejang :


- CVA
- Hypertensive Encephalopathy
- Infeksi Otak (Meningitis,Encephalitis,Abscess)
- Thrombotic thrombocytopenia purpura
- Gangguan Metabolik
- Epilepsi
- Tumor Otak
- Posterior reversible encephalopathy syndrome
- Penggunaan obat-obatan
b. Nyeri perut/epigastric :
- Abruptio Placentae
- Acute appendicitis
- Cholecystitis dan biliary colic
- Blunt abdominal trauma
- Aneurisma abdomen
- Kista ovarium terplintir

Pemeriksaan : - Proteinuria ≥ 5 gr dalam urine 24 jam


Penunjang - HELLP syndrome (Hemolysis,Elevated Liver
laboraturium Enzymes,Low Platelets)
- Trombosit < 100.000/mm
- Peningkatan LDH (Lactic Acid Dehydrogenase) >
600IU/l
- Peningkatan Creatinin
- AST,ALT meningkat 2x normal 200-700 IU/l
- Peningkatan Uric Acid > 6mg/dl
Terapi : 1. Penanganan Tekanan Darah > 160/110 dengan target
penurunan 15-25%, sekitar 140/90.
Diberikan obat-obat :
- Nicardipin titrasi mulai dosis 0,15 ug/kg/jam
- Nitroglycerin 10 – 100 mg/ menit

56
- Diltiazem dosis 0,15 ug/kg/jam
2. Penanganan Kejang :
Berikan Mg So4 :
- Bolus 4 - 6 gr dalam 20 menit, dilanjutkan 1 – 2
gr/jam
- Monitor toxicity, terapetik level : 5 – 8 mg/Dl
- Dapat diberikan 2 gr/IV bila kejang timbul lagi
- MgSO4 dihentikan 24 jam setelah partus
- Bila masih kejang, dapat diberikan Diazepam atau
Propofol dan dilakukan penanganan jalan nafas
(intubasi + control)
3. Penanganan HELLP syndrome :
- Terminasi kehamilan bila sudah > 34 mg, dapat secara
normal atau operasi sectio caecar
- Bila masih < 34 mg dapat ditunda untuk pemberian
Bethamethason 12 mg/24 jam/IM sebanyak 2 x
Terminasi kehamilan dilakukan setelah 24 jam
pemberian Bethametason terakhir
- Bila Trombocyt < 20.000 lakukan transfuse trombocyt
4. Penangan Edema Paru :
- Berikan Furosemide 20 – 40 mg/IV, dapat diberikan
lagi setelah 30 menit 40 – 60 menit
- Monitor balans cairan, pemasangan catheter vena
central dapat membantu menghitung meskipun secara
kasar.
- Dapat dilkukan tindakan intubasi dan bantuan
ventilasi mekanis bila edema paru tetap ada dan pasien
mengalami gawat/gagal nafas.
5. Pemantauan lebih kepada penanganan hipertensi, fungsi
ginjal, adanya coagulopathy

Daftar Pustaka : 1. Chawla R, Nasa P, Chawla R. Severe Preeclampsia. In :


ICU Protocols : A Stepwise Approach. India: Springer
India. 2012. pp.599-605.
2. David R, Gambling M.Hypertensive Disorders. In :
Chesnut Obstetric Anesthesia : Principles and
Practice.3rd ed.Mosby. Inc. 2004. pp.825-827.
3. Varelmann DJ.Obstetric Critical Care. In : Pocket ICU.
Philadelphia. Lipincott Williams & Wilkins. 2013 ; 33:1-
3.
4. I Gouviea,C Costa et al, Pre eclampsia in the intensive
care unit : Indicators of severity and hospital outcome,
Critical Care 2005, 9 (suppl 1): P 216

57
DIABETES KETO ASIDOSIS

Definisi : Kesadaran menurun pada pasien diabetes mellitus yang


mengalami ketoasidosis

Anamnesis : Kesadaran menurun, pasien diabetes mellitus,

Pemeriksaan Fisik : Kesadaran menurun (variatif dari gelisah s/d GCS 1.1.1),
lethargis, nafas Kussmaul, nafas bau keton (aseton).

Kriteria Diagnosis : Penderita DM, dengan kesadaran menurun, nafas


Kussmaul dan berbau keton, dengan laboratorium
penunjang : analisa gas darah : pH < 7,3, HCO 3- <
15mmol/l, kadar gula sewaktu: > 14mmol/l atau >400 mg
%, terdapat keton dalam plasma.

Diagnosis Kerja : Koma DKA

Diagnosis Banding : 1. Sindroma hiperosmolar (HHS, hyperosmolar


hyperglycaemic syndrome.
2. Alcoholic ketoacidosis (ethanol induced
hypoglycemia)
3. Hipoglikemia
Pemeriksaan : 1. Laboratorium : hemoglobin, hematokrit, angka
Penunjang eritrosit, angka leukosit, angka trombosit,hitung jenis
58
leukosit, hemoglobin A1-C, GDS(gula darah
sewaktu), keton plasma/urin, Na+, K+, Cl-, analisa gas
darah (arteri), ureum, kreatinin.
2. Elektrokardiografi
3. Radiologi : rontgen toraks

Terapi : 1. Bantuan hidup umum untuk pasien kritis (jalan nafas


bebas dan aman, bantuan nafas dengan oksigen
sampai SaO2 > 93 % , bantuan sirkulasi dengan
mengusahakan parameter hemodinamik dalam kisaran
baik/normal (T 90-140 mmHg sistol, MAP>65
mmHg, nadi < 100x/mnt)
2. Pemberian cairan infus sampai normovolemia dengan
kristaloid maupun koloid dengan panduan tanda vital
dan perfusi perifer,
3. Terapi insulin : Initial bolus intravena 0.15 unit/kgBB
dilanjutkan 0,1unit/kgBB /jam, dengan panduan cek
GDS tiap jam, bila GDS tidak turun 50mg%,
kecepatan insulin dinaikkan 2x, bila penurunan > 150
mg%, kecepatan insulin diturunkan ½ x. Pemberian
insulin kontinyu diberikan sampai dengan tidak
ditemukan keton dalam urin/plasma. Pemberian
insulin harus memperhitungkan kadar K+ > 3,0.
4. Regulasi kadar glukosa darah : dalam 24 jam pertama
GDS minimum : 200 mg%, bila GDS < 200 mg% beri
infus D5% dan kecepatan insulin sekitar 1,0 unit/jam.
5. Kadar elektrolit dipantau sejak awal, diperiksa
bersamaan dengan pemeriksaan gula darah. Regulasi
elektrolit :
- Koreksi K+ untuk mencapai kadar normal,
- Koreksi fosfat- : hanya apabila sangat rendah (<
0,4 mmol/l)
- Mg++ : tidak dianjurkan pemberian Mg
6. Koreksi Asam –Basa : pemberian bikarbonat natrikus
hanya dibolehkan bila pH < 6,9.
7. Terapi penyakit penyerta dan penyakit-penyakit yang
mendasari, dan komplikasi-komplikasi yang terjadi,
misal : pemberian antibiotika untuk infeksinya,
hemodialisis atau CRRT untuk gagal ginjalnya

Daftar Pustaka : 1. Oh’s Intensive Care Manual 6th Ed.


Editor:Bersten,A.D. & Soni, N., Butterworth
Heinemann Elsevier, Philadelpia, 2009, hal :615-620
2. Irwin & Rippe’s Intensive Care Medicine 7th Ed.
Editor: Irwin,R.S. & Rippe, J.M., Wolter Kluwer
59
Lippincott Williams & Wilkins, philadelpia, 2012,
hal: 1139-1145.
3. Texbook of Critical Care 6th Ed. Editor : Vincent, J.L.
et al, Elsevier Saunders, Philadelpia, 2011, hal: 1205-
1214.

SYOK HIPOVOLEMIK

Definisi : Syok adalah hipotensi yang berhubungan dengan


hipoperfusi ( aliran darah organ yang tidak memadai )
sehingga hantaran oksigen tingkat seluler terganggu.

Anamnesis : Diare, perdarahan, buang air kecil yang berlebihan,


dehidrasi, luka bakar luas, pankreatitis.

Pemeriksaan Fisik : Kesadaran menurun, lemah.


KV : TD < 90 mmHg (MAP <60 mmHg, penurunan >40%
TD sistolik dari TD sistolik sehari-hari),
Nadi : cepat dan lemah
Paru : normal atau ada tanda-tanda pneumothorax atau
hematothorax
Abdomen: bisa ada kelainan sesuai asal penyakit, produksi
urin menurun
Ekstremitas : dingin

Kriteria Diagnosis : Tekanan darah sistolik < 90 mm Hg , tekanan arteri rata-


rata < 60 mm Hg atau hipotensi yang signifikan apabila
terjadi penurunan tekanan darah sistolik > 40 mm Hg dari
tekanan sehari-hari.

Diagnosis Kerja : Syok hipovolemik

Diagnosis Banding : 1. Syok kardiogenik


2. Syok distributif

60
3. Syok obstruktif

Pemeriksaan : 1. Lab : Hemoglobin, Hematokrit, AGD, Elektrolit,


Penunjang ureum/kreatinin, Gula darah sewaktu.
2. Penunjang lainnya : foto toraks,USG abdomen.

Terapi : - Kristaloid (Ringrer Laktat, Natrium Klorida 0,9%)


- Koloid (gelatin, hydroxyethyl starches)
- Produk darah (PRC,FFP)
- Obat-obatan (dosis titrasi)
- Norepinephrine
- Epinephine
- Dopamin
0
Daftar Pustaka : Dries DJ (ed) Fundamental Critical Care Support. Society
of Critical Care Medicine.5th,20012:7-1

61
STROKE HEMORARGIK DI INTENSIVE CARE UNIT

Definisi : Suatu gangguan fungsional otak terjadi secara


mendadak dengan tanda dan gejala klinis baik fokal
maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam,
atau dapat menimbulkan kematian yang disebabkan
oleh gangguan peredaran darah otak berupa
perdarahan primer substansi otak yang terjadi secara
spontan bukan karena trauma kapitis, disebabkan
oleh karena pecahnya pembuluh arteri, vena,
maupun kapiler.
Anamnesis : Ada tidaknya defisit neurologi akut atau penurunan
tingkat kesadaran.
Beberapa gejala umum yang terjadi pada stroke
meliput hemiparese, monoparese atau quadriparese,
hilangnya penglihatan monokuler atau binokuler,
diplopia, disartria, ataksia, vertigo, afasia, atau
penurunan kesadaran tiba-tiba,terdapat tanda yang
dapat membedakan stroke hemoragik dan stroke
iskemik gejala seperti mual muntah, sakit kepala,
dan perubahan tingkat kesadaran
Apakah pasien terlihat sesak atau kesulitan untuk
bernafas (frekuensi nafas meningkat > 30x/menit,
melibatkan otot-otot bantu pernafasan, misalnya m.
intercostalis, m. suprasternal, epigastrium)
Apakah pasien mengalami penurunan kesadaran
(cenderung tidur, tidak respon terhadap rangsang
suara, sentuh, nyeri)
Riwayat penyakit lain :
Riwayat gangguan pembekuan darah
Riwayat penggunaan obat-obatan antikoagulan
(misalnya pada pasien dengan gangguan irama
jantung)
Riwayat kejang sebelumnya

Pemeriksaan Fisik :  Pemeriksaan awal / umum


Pemeriksaan fisik tanda trauma, infeksi, dan iritasi
meninges.
Pemeriksaan terhadap faktor kardiovaskuler
penyebab stroke, pemeriksaan fundus okuli, jantung,
vaskuler perifer.
Pemeriksaan neurologis untuk mengidentifikasi
62
gejala stroke.
Komponen penting dalam pemeriksaan neurologi
mencakup pemeriksaan status mental dan tingkat
kesadaran, pemeriksaan nervus cranial, fungsi
motorik dan sensorik, fungsi serebral, gait, dan
reflek,tanda meningismus.
Pemeriksaan tanda-tanda kegawatan yang
mengindikasikan dirawat di ruang rawat intensif
(ICU). meliputi :
Airway
Pastikan adakah sumbatan pada jalan nafas.
(sumbatan jalan nafas dapat terjadi pada pasien
dengan penurunan kesadaran disertai muntah, lidah
yang jatuh ke belakang, gigi palsu, sisa makanan,
atau slem yang menumpuk/tidak dapat dikeluarkan)
Penurunan kesadaran berat dengan GCS < 8
merupakan indikasi untuk dilakukan intubasi (ETT
atau LMA).
Sebelum melakukan intubasi, perhatikan stabilitas
servikal dan tanda-tanda peningkatan TIK. Pasien
dengan trauma kepala/servikal harus dihindari
ekstensi leher yang berlebihan, sehinggat tehnik
pemasangan nasotrachel tube lebih baik daripada
orotracheal tube. Pada pasien dengan peningkatan
TIK, intubasi dilakukan dengan cara cepat (rapid
sequence intubation), disertai dengan pemberian
obat sedasi dan blok neuromuskuler yang adekuat,
diikuti lidokain (IV atau intratracheal)
Breathing
Nilai apakah pernafasan pasien adekuat, dilihat dari
frekuensi nafas, pola nafas, retraksi/kerja otot-otot
pernafasan tambahan, adakah wheezing atau ronkhi,
dan status oksigenasi.
Periksa saturasi oksigen dengan pulse oksimetri
(saturasi oksigen yang diharapkan adalah > 92-
95%). Bila diperlukan dapat diberikan iksigen
melalui binasal canul atau simple mask.
Periksa analisa gas darah (AGD/BGA)
Pasien yang membutuhkan perawatan di ICU
dengan ventilator adalah pasien yang system
respirasinya gagal mencapai oksigenasi, ventilasi
atau kebutuhan metabolisme. Gagal nafas dibagi 2,
yaitu : Tipe 1 (hipoksemi) bila PaO 2< 60 mmHg
(sering ditemukan pada kerusakan parenkim paru,

63
seperti pneumonia, emboli paru dan acute
respiratory distress syndrome/ARDS)dan Tipe 2
(hiperkapni) bila PaCO2> 50 mmHg (sering
ditemukan pada pasien neuromuskuler seperti
Myastenia Gravis/MG dan GBS)
Circulation / sirkulasi
Nilai apakah sirkulasi adekuat dan hemodinamik
stabil. Meliputi tekanan darah/MAP (target : 100 –
120 mmHg), tekanan vena sentral (jika terpasang
CVC, dengan target 5 – 12 mmHg) ), dan cerebral
perfusion pressure/CPP (target 50 - 70 mmHg).
Pasien yang meruoakan indikasi rawat ICU adalah
pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil dan
memerlukan monitoring ketat.

Indikasi rawat intensif (ICU) pada penderita stroke,


adalah pasien yang memerlukan :
1. Manajemen jalan napas
Sumbatan jalan napas disebabkan oleh 3 hal,
pertama: pasien stroke akut dengan penurunan
sensibilitas, lidah akan jatuh ke belakang dan
menyumbat jalan napas secara intermitten,
karena penurunan tonus lidah dan otot faring;
kedua, pasien dengan gangguan pada batang
otak, reflex menelan dan reflex batuk menurun.
Selain itu, pasien mungkin tidak dapat
mengeluarkan sekret. Pasien stroke dapat
mengalami depresi napas karena aspirasi atau
CAP.
Pasien yang mengalami penurunan kesadaran
dengan GCS <8, memerlukan intubasi.
2. Monitoring ketat hemodinamik
3. Tatalaksana peningkatan tekanan intrakranial
4. Observasi defisit neurologis

Kriteria Diagnosis - Intra Cerebral Hemoragik(ICH)/Perdarahan


: Intraserebral (PIS)
- Sub Arachnoid Hemoragik (SAH) / Perdarahan
Subarakhnoid (PSA)

Diagnosis Kerja Stroke Hemoragik


:
Diagnosis Banding : 1. Infark serebri
2. Penyebab koma yang lain (metabolic)
3. SOL
64
4. Pecahnya Berry Aneurism

Pemeriksaan : - Hematologirutin, gula darah sewaktu, fungsi ginjal


Penunjang (ureum, kreatinin), pemeriksaan elektrolit setiap
hari
- Analisa gas darah dilakukan setiap hari terutama
pada pasien dengan ventilator, atau serial (setiap
6 jam/12 jam) pada pasien dengan ventilator dan
sedang dilakukan weaning ventilator.
- Pemeriksaan rontgen paru, apabila dicurigai
infeksi paru, udem paru maupun kelainan
jantung, atau pasien yang telah mengalami
infeksi paru dan hendak dinilai respon terhadap
pemberian antibiotik
- Kultur darah, urine dan sputum, bila dicurigai
terjadi infeksi pada saluran napas, saluran kemih
dan aliran darah, serta untuk menilai respon
terhadap antibiotic yang diberikan
- Pungsilumbal jika dicurigai adanya perdarahan sub
arachnoid
- EEG jika dicurigai adanya kejang
- Arteriografi bila PSA dicurigai akibat aneurisma
yang ruptur
- EKG rutin pada pasien dengan gangguan irama
jantung

Terapi : Prinsip penatalaksanaan Stroke Hemoragik di ICU:


1. Tatalaksana kondisi fisiologis umum yang harus
di optimalkan pada stroke akut
2. Tatalaksana profilaksis terhadap komplikasi
yang berpotensi muncul
3. Tatalaksana spesifik yang secara langsung
melawan aspek yang berbeda dari pathogenesis
stroke, termasuk tatalaksana rekanalisasi dan
neuroprotektor

Manajemen jalan napas


 Intubasi dilakukan pada pasien dengan laju
napas meningkat (> 30 kali/menit), saturasi
oksigen menurun (< 95%), produksi sekret
meningkat
 Pada saat intubasi diperlukan penggunaan obat
pelumpuh yang adekuat tanpa menyebabkan
gangguan stabilitas hemodinamik dan mencegah
65
peningkatan TIK yang disebabkan oleh stimulasi
pada trakea.
 Jika diperlukan anestesi saat intubasi, pilihan
utamanya Thiopental 3-5 mg/kgBB IV, Etomide
0.3-0.5 mg/kgBB IV (short acting). Pada pasien
dengan peningkatan TIK blockade
neuromuskuler dapat diinduksi dengan
Vecuronium.
 Intubasi oral merupakan metode intubasi yang
paling aman pada penderita stroke
 Penggunaan ETT sebaiknya tidak lebih dari 2
minggu. Evaluasi dilakukan setelah penggunaan
ventilator 7 – 10 hari. Bila 3 hari setelah
pemasangan ETT diperkirakan perlu waktu
lebih lama sebaiknya dilakukan early
tracheostomy

Mode ventilasi mekanik


 Yang paling umum digunakan adalah ventilasi
pressure support, tekanan yang ditambahkan
untuk mencapai volume total 5 – 8 ml/kgBB dan
frekuensi pernapasan < 25 kali/menit.
 Pasien yang koma atau dengan pola pernapasan
abnormal memerlukan controlled mechanical
ventilation; SIMV (Synchronized Intermittent
Mandatory Ventilation) merupakan pilihan
utama.
 Pasien dengan peningkatan TIK tidak dianjurkan
menggunakan PEEP tiggi (Positive End
Expiratory Pressure) selama ventilasi, meskipun
pengaturan tekanan sampai dengan 10 cmH2O
masih bisa ditoleransi.
 Pasien dengan oksigenasi yang buruk (misalnya
karen pneumonia, ARDS, oedem polmu
neurogenik) memerlukan mode ventilator yang
kompleks, misalnya pressure control, inverse
ratio ventilation, PEEP level tinggi dan NO
inhalasi.
 Jika tida ada perbaikan dalam 7 – 10 hari, harus
direncanakan tracheostomi sesegera mungkin.
 Weaning ventilator dilakukan bila :
- Problem yang menyebabkan pasien
membutuhkan ventilator telah teratasi
- Pasien sadar dan responsif

66
- Analgesik yang baik, dapat batuk,
penggunaan inotropik dosis minimal
- Fungsi usus normal, tidak ada distensi
abdomen
- Status metabolik mengarah ke normal
- Hb cukup
 Angka-angka yang digunakan untuk
memprediksi weaning yang berhasil:
- Minute ventilation : < 10 lpm
- Kapasitas vital/BB : > 10 ml/kgBB
- Laju napas < 35 x/menit
- Volume tidal/BB : > 5 ml/kgBB
- Tekanan inspirasi maksimal : < - 25 cmH2O
- PaO2/PAO2 : > 0,35
- RR/Volume tidal : < 105
- PaO2/FiO2 : > 200 mmHg (26,3 kPa)

Monitoring Hemodinamik/sirkulasi
- Sebaiknya dilakukan pemasangan CVC (central
venous catheter), dengan tujuan agar dapat
memantau kecukupan cairan pasien, serta untuk
jalur memasukkan cairan dan nutrisi parenteral.
Tekanan vena sentral dijaga 5 – 12 mmHg.
- Cairan yang digunakan adalah cairan kristaloid
atau koloid intravena. Hindari pemberian cairan
hipotonik seperti glukosa.
- Optimalkan tekanan darah, secara umum target
minimal MAP 70 mmHg.
- Hipovolemia dikoreksi dengan larutan saline
normal.
- Aritmia jantung yang mengakibatkan penurunan
curah jantung sekuncup harus dikoreksi
- Bila MAP tidak tercapai dan cairan sudah
mencukupi, dapat diberikan obat-obat
vasopresor secara titrasi seperti dopamine,
norepinefrin atau epinefrin.

Tatalaksana Hipertensi
 Apabila TDS > 200 mmHg atau MAP > 150
mmHg, tekanan darah diturunkan dengan
menggunakan obat antihipertensi intravena
secara kontinu dengan pemantauan tekanan
darah setiap 5 menit.
 Apabila TDS > 180 mmHg atau MAP > 130
67
mmHg disertai dengan gajala dan tanda
peningkatan tekanan intracranial. Tekanan darah
diturunkan dengan menggunakan obat
antihipertensi intravena secara kontinu atau
intermitten dengan pemantauan tekanan perfusi
serebral > 60 mmHg.
 Apabila TDS > 180 mmHg atau MAP > 130
mmHg tanpa disertai gejala dan tanda
peningkatan tekanan intracranial, tekanan darah
diturunkan secara hati-hati dengan
menggunakan obat antihipertensi intravena
kontinu atau intermiten dengan pemantauan
tekanan darah setiap 15 menit hingga MAP 110
mmHg atau tekanan darah 160/90 mmHg.
(AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B)
 Bila TDS 150 – 220 mmHg, penurunan tekanan
darah dengan cepat hingga TDS 140 mmHg
cukup aman (AHA/ASA, Class IIa, Level of
evidence B)
 Setelah kraniotomi, target MAP adalah 100
mmHg.
 Obat antihipertensi yang ideal : Labetolol
(kombinasi α dan  bloker). ACE inhibitor
dapat digunakan karena tidak mempunyai
pengaruk pada TIK dan CBF. Ca channel
blocker dapat meningkatkan TIK namun dapat
menjaga atau meningkatkan CBF.

Tatalaksana aritmia jantung dan gangguan fungsi


jantung yang berhubungan dengan atau disebabkan
oleh fase akut stroke
Gangguan gambaran EKG yang sering muncul
adalah pemanjangan gelombang QQT, gelombang
U, gelombang T abnormal dan ST elevasi atau ST
depresi. Untuk itu diperlukan monitor EKG yang
kontinu.

Tatalaksana vasosapasme sebagai komplikasi dari


perdarahan subarachnoid
 Pencegahan vasospasme :
Pemberian nimodipin dimulai dengan dosis 1-2
mg/jam IV pada hari ke-3 atau secara oral 60 mg
setiap 6 jam selama 21 hari. (AHA/ASA, Class
I, Level of Evidence A)
68
 NaCL 3% intravena 50 ml 3 kali sehari (hati-hati
terhadap timbulnya komplikasi berupa CPM
(central pontine myelinolisis) Jaga
keseimbangan elektrolit
 Delayed vasospasme :
Stop nimodipin, antihipertensi dan diuretika
Berikan 5% albumin 250 ml intravena
Bila memungkinkan lakukan pemasangan
Swangaz, dan usahakan wedge pressure 12-14
mmHg
Jaga cardiac index sekitar 4L/menit/sg.meter
Berikan dobutamin 2-15 g/kgBB/menit
 Pertimbangkan terapi triple-H (Hypervolemic-
Hypertension-Hemodilution) perlu
dipertimbangkan dengan tujuan
mempertahankan tekanan perfusi serebral
(AHA/ASA, Class IIa, Level of Evidence B)

Tatalaksana Peningkatan TIK dan oedema serebri


 Pasien diposisikan dengan elevasi kepala 15 –
30 0.
 Protocol intubasi harus diseusikan pada pasien
dengan peningkatan TIK, misalnya
menggunakan midazolam, etomidate atau
thiopental, yang memiliki efek neuroprotektif
dan menurunkan TIK. Reflex batuk harus
ditekan dengan menggunakan lidokain,
recuronium ata vecuronium. Suction agresif dan
gerakan manipulative pada leher harus
dilakukan hati-hati.
 Pengaturan cairan, yaitu dengan menghindari
cairan bebas, memberikan cairan isotonis.
Osmolalitas serum dipertahankan dalan kondisi
normal, pasien juga harus dalam keadaan
euvolemik sepanjang waktu. Hipertensi dan
hipertermi harus segera diatasi, karena demam
dan tekanan darah tinggi dapat meningkatkan
oedema serebri
 Peningkatan TIK yang terjadi diterapi dengan
- Osmotherapy; dengan menggunakan manitol,
menyebabkan turunnya viskositas darah dan
menyebabkan vasokonstriksi. Komplikasi
yang dapat muncul adalah hipovolemik, CPP
menurun, hiperkalemia, gagal ginjal akut, dan
69
oedema rebound
- Saline hipertonik; dapat menurunkan TIK
secara efektif. Komplikasi ; diabetes
insipidus, oedema pulmo, gagal jantung
kongestif, oedema rebound dan peningkata
midline shifting
- Hiperventilasi; dapat menurunkan TIK tetapi
dapat menyebabkan vasokonstriksi pembuluh
darah serebral dan akibatnya CBF menurun
menyebabkan iskemia. Hiperventilasi lebih
efektif bila CBF kita hiperemis dan sebaiknya
dilakukan dengan monitor SjvO2 atau
AVDO2.
- Barbiturate dosis tinggi
Barbiturate seringkali digunakan pada pasien
dengan peningkatan TIK refrakter
 Hipotermia
- Hipotermia yang dinduksi digunakan untuk
mengatasi peningkatan TIK yang refrakter.
 Bedah dekompresi
- Pasien dengan skor GCS < 8, dengan tanda
klinis herniasi trans tentorial, atau dengan
perdarahan intraventrikuler yang luas atau
hidrosefalus, dapat dipertimbangkan untuk
penanganan dan pemantauan tekanan
intracranial. Tekanan perfusi otak 50 – 70
mmHg dapat dipertahankan tergantung pada
status otoregulasi otak (AHA/ASA, Class Ib,
Level of Evidence C)
- Drainase ventrikuler sebagai tata laksana
hidrosefalus dapat dipertimbangkan pada
pasien dengan penurunan tingkat kesadaran
(AHA/ASA, Class IIa, Level of Evidence B)
- Pasien dengan perdarahan sereberal yang
mengalami perburukan neurologis, atau yang
terdapat kompresi batang otak, dan atau
hidrosefalus akibat obstruksi ventrikel
sebaiknya menjalani operasi evakuasi bekuan
darah secepatnya (AHA/ASA, Class I, Level
of Evidence B)
- Pada pasien dengan bekuan darah di lobus
>30 ml, dan terdapat di 1 cm dari permukaan,
evakuasi perdarahan intracranial supra
tentorial dengan kraniotomi standar dapat

70
dipertimbangkan (AHA/ASA, Class Ib, Level
of Evidence B)
 Kontrol suhu
- Dua tipe tindakan yang dilakukan untuk
mengatasi demam pada pasien:antipiretik dan
surface cooling.
- Antipiretik yang digunakan pada pasien
stroke adalah acetaminophen, Aspirin dan
NSAIDs.
 Metabolisme glukosa
- Target kadar glukosa adalah < 200mg/dL,
dikendalikan dengan pemberian insulin
dengan sliding scale.
 Nutrisi
- Formula enteral yang ideal mengandung
intake kalori yang adekuat (25-30 Kcal/
KgBB/hari.

 Sedasi
- Pilihan utama : Propofol merupakan obat
pilihan, karena dapat menurunka TIK dan
CMRO2. Benzodiazepine dan midazolam
juga dapat digunakan, obat-obat ini tidak
mempengaruhi TIK, TPC, dan CMRO2.
 Profilaksis DVT
- Penggunaan heparin atau LMWH untuk
profilaksis DVT merupakan kontraindikasi
pada pasien dengan stroke hemoragik. Pasien
stroke hemoragik dapat digunakan stocking
elastic eksternal
 Manajemen cairan dan elektrolit
- Kebutuhan cairan, elektrolit dan balance
cairan harus dievaluasi setiap hari. Koreksi
dilakukan apabila terjadi abnormalitas
elektrolit
 Infeksi nosokomial
- Antibiotik diberikan apabila pasien
menunjukkan tanda-tanda infeksi.
- Antibiotik yang diberikan seharusnya sesuai
dengan hasil pemeriksaan kutur dan
sensitivitas.
- Antibiotik yang direkomendasikan pada
pneumonia adalah kombinasi cephalosporin
71
generasi ketiga dan aminoglycoside.
- Terapi empiris terhadap infeksi aliran darah
sebaiknya termasuk vancomisin ditambah
cephalosporin generasi ketiga.
 Ulkus dekubitus
- Mobilisasi rutin terhadap pasien yang
immobile berguna untuk menghindari
tekanan berlebih. Kulit pasien harus dijaga
tetap kering. Gunakan kasur air atau kasur
angin.
- Bila ulkus dekubitus tidak respon terhadap
terapi konservatif, antibiotik dapat diberikan
selama beberapa hari sebelum dilakukan
debridement.

Tingkat Evidens : - Tatalaksana hipertensi pada perdarahan intra


serebral : AHA/ASA class IIa, level of evidence
B
- Nimodipine untuk mencegah vasospasme pada
PSA : AHA/ASA, Class I, Level of Evidence A)
- Tatalaksana Triple-H pada PSA : AHA/ASA, Class
IIa, Level of Evidence B
- Pasien dengan skor GCS < 8, dengan tanda klinis
herniasi trans tentorial, atau dengan perdarahan
intraventrikuler yang luas atau hidrosefalus,
dapat dipertimbangkan untuk penanganan dan
pemantauan tekanan intracranial : AHA/ASA,
Class Ib, Level of Evidence C)
 Drainase ventrikuler sebagai tata laksana
hidrosefalus dapat dipertimbangkan pada pasien
dengan penurunan tingkat kesadaran
(AHA/ASA, Class IIa, Level of Evidence B)
- Pasien dengan perdarahan sereberal yang
mengalami perburukan neurologis, atau
yang terdapat kompresi batang otak, dan
atau hidrosefalus akibat obstruksi ventrikel
sebaiknya menjalani operasi evakuasi
bekuan darah secepatnya (AHA/ASA, Class
I, Level of Evidence B)
- Pada pasien dengan bekuan darah di lobus
>30 ml, dan terdapat di 1 cm dari
permukaan, evakuasi perdarahan
intracranial supra tentorial dengan
kraniotomi standar dapat dipertimbangkan
72
(AHA/ASA, Class Ib, Level of Evidence B)
- NIHSS untuk menilai prognosis pasien :
AHA/ASA, Class I, Level of Evidence B)

Daftar Pustaka : 1. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.


Guideline Stroke 2011. Jakarta, 2011.
2. Gofir A. Manajemen Stroke Evidence Based
Medicine. Yogyakarta: Pustaka Cendekia, 2009.
3. American Heart Association (AHA) / American
Stroke Association (ASA). Guidelines for the
Early Management of Adult with Ischemic
Stroke. USA, 2007, 2011.
4. American Heart Association (AHA) / American
Stroke Association (ASA). Guidelines for the
Management of Spontaneous Intracerebral
Hemorrhage. USA, 2010.
5. Aliah A, Kuswara F F, Limoa A, Wuysang G.
Gambaran umum tentang gangguan peredaran
darah otakdalam Kapita selekta neurology
cetakan keenam editor Harsono. Gadjah Mada
university press, Yogyakarta. 2007. Hal 81-115.
6. Mardjono, Mahar. Mekanisme gangguan
vaskuler susunan saraf dalam Neurologi klinis
dasar edisi Kesebelas. Dian Rakyat. 2006. Hal :
270-93

73
74
SEPSIS BERAT DAN SYOK SEPTIK

Definisi :  Sepsis adalah suatu respon tubuh terhadap inflamasi sistemik.


 Sepsis berat adalah sepsis dengan disfungsi organ secara akut
atau hipoperfusi jaringan akibat infeksi atau diduga adanya
infeksi).
 Syok sepsis adalah sepsis berat dengan hipotensi yang tidak
membaik dengan resusitasi cairan yang agresif.

Anamnesis : Tidak spesifik ditujukan untuk mencari sumber infeksi dari organ
yang terkena dan gangguan fungsi organ terkait

Pemeriksaan Fisik :  Demam > 38,30C atau hipotermia (suhu inti) <360 C
 Laju Nadi > 90 X/menit atau > 2 x SD nilai normal sesuai
usia
 Takhipnea
 Perubahan status mental
 Edema atau balans cairan positif (>20 ml/kg selama 24 jam)

Kriteria Diagnosis :  Lekositosis >12000 atau lekopenia < 4000


Sepsis  Hitung jenis normal dengan sel imatur >10%
 CRP plasma > 2 x SD diatas nilai normal
 Prokalsitonin plasma > 2 x SD diatas nilai normal
 Hipotensi arterial Tekanan Darah Sistolik < 90 mmHg ,
Tekanan Arteri Rerata < 65 mmHg atau turun > 40 mmHg
atau <2x SD dibawah normal
 Hiperglikemia (kadar gula darah >180 mg/dl) tanpa ada
diabetes

Kriteria Diagnosis :  Hipoksemia arterial (Pa02/FIO2 < 300)


Sepsis  Oliguria akut (urin <0,5 ml/kgBB/jam paling sedikit 2 jam
Berat walaupun dengan resusitasi adekuat
 Peningkatan kreatinin > 0,5 mg/dL dari basal
 Koagulopati abnormal (INR . 1,5 atau aptt> 60 detik
 Ileus (Bising usus negatif)
 Trombositopenia < 100.000 mol/L)
 Hiperbilirubinemia (Bilirubin > 4 mg/dL)
 Hiperlaktatemia > 4 mg/dL
 Penurunan pengisian kapiler atau motling

Diagnosis Kerja :  Pengambilan Kultur sebelum pemberian antibiotika


 Kultur darah 2 X (untuk aerobik dan anaerobic)
 Ektra diambil dari akses IV

75
 Bila diagnosa banding dengan invasive candidiasis gunakan
pemeriksaan 1-3 Beta D-Glukan, manna dan antimanan
 Untuk mencari sumber infeksi, gunakan pemeriksaan
imaging

Diagnosis banding : Invasive Candidiasis

Pemeriksaan :  Pemeriksaan Kultur dan Resistensi


Penunjang  Elektrolit (Na,K,Ca,Mg,Cl)
 Analisa Gas Darah Arteri dan Vena
 Pemeriksaan PT, D-Dimer, Fibrinogen
 Pemeriksaan Bilirubin
 Pemeriksaan Foto Torak
 Pemeriksaan EKG
 Pemeriksaan Echokardiografi
 Pemeriksaan Urinalisis
 Pemeriksaan Prokalsitonin atau CRP
Terapi :  Resusitation Bundle harus selesai dalam 3 jam
1. Pengukuran kadar Laktat
2. Ambil kultur sebelum pemberian antibiotik
3. Berikan Antibiotik Empirik Spektrum luas
4. Berikan cairan kristaloid pada hipotensi atau laktat > 4
mmol/L
 Syok Sepsis Bundle harus selesai dalam 6 jam
1. Berikan vasopresor (pada hipotensi yang tidak
memberikan respon terhadal resusitasi cairan awal) untuk
mempertahankan Tekanan Arteri Rerata > 65 mmHg
2. Apabila tetap hipotensi walaupun telah diberikan
resusitasi cairan atau kadar laktat awal > 4 mmol/L
a. Pasang kateter vena sentral (CVC)
b. Periksa Saturasi Oksigen dari CVC (ScvO2)
c. Periksa ulang kadar laktar
(Target > CVP 8 – 12 mmHg /10-15 cmH2O, ScvO 2> 70%
dan kadar Laktat normal dan TAR > 65 mmHg)
 Terapi Antimikroba harus diberikan dalam satu jam
setelah diagnosis
- Empirik anti infeksi satu atau lebih yang mempunyai
aktifitas terhadap patogen (bakteri dan/atau jamur atau
virus) dan mengalami penetrasi dengan konsentrasi yang
adekuat terhadap jaringan yang diduga sebagai sumber
infeksi
- Pemberian antimikroba harus dinilai ulang setiap hari
untuk memungkinkan dilakukan de-eskalasi
- Pemeriksaan Prokalsitonin yang rendah atau parameter
lain yang sama digunakan untuk menghentikan
antimikroba empirik, tapi tidak ada bukti infeksi lain.
76
a. Terapi kombinasi diberikan pada pasien netropeni
dan pada pasien yang susah diterapi, infeksi MDR
seperti pseudomonas dan acinetobachter. Pada pasien
dengan infeksi berat dengan gagal nafas dan syok
bisa diberikan kombinasi beta laktam spectrum luas
dengan aminoglikosida atau fluoroquinolon untuk
P.aeruginosa. Kombinasi beta laktam dengan
makrolid diberikan pada infeksi Streptococcus
pneumoniae
b. Terapi kombinasi empirik tidak boleh diberikan lebih
dari 3-5 hari. De-eskalasi dilakukan segera setelah
diketahui kuman penyebab.
c. Lama pemberian 7-10 hari, pemberian lebih lama
bisa diberikan pada pasien dengan respon klinis yang
lambat, tidak dipasang drainage dari sumber infeksi,
atau bakteriemi dengan S.aureus, infeksi jamur dan
virus atau defisiensi imun termasuk netropeni.
d. Terapi antivirus harus dimulai sedini mungkin pada
pasien dengan syok sepsis atau sepsis berat pada
daerah endemik virus.
Kontrol sumber infeksi
- Apabila diketahui ada sumber infeksi, maka harus dilakukan
kontrol dalam 12 jam setelah di diagnosis.
- Bila kontrol sumber infeksi harus dilakukan sebaiknya
sefisiologis mungkin yaitu dengan pemasangan drainage
perkutaneus daripada tindakan bedah.
- Apabila dicurigai akses IV sebagai sumber infeksi, harus
dicabut setelah bisa dipasang akses IV lain.
 Pencegahan Infeksi
a. Dekontaminasi oral selektif atau dekontaminasi
digestif harus dimulai dan diduga sebagai metoda
untuk mengurangi insidensi VAP.
b. Untuk dekontaminasi orofaringeal digunakan
chlorhexidine untuk mengurangi risiko VAP
 Support Hemodinamik dan terapi penunjang
Terapi Cairan:
- Kristaloid
- Albumin 4-5%
- Resusitasi cairan pada pasien dengan gejala
hipoperfusi dengan curiga hipovolemia diberikan
minimal 30 ml/kgBB kristaloid (albumin dengan
dosis ekivalen). Pada beberapa pasien memerlukan
pemberian yang lebih banyak dan lebih cepat.
Vasopresor:
- Terapi vasopresor awal untuk mencapai TAR > 65
77
mmHg
- Pilihan utama adalah Norepinefrin
- Epinefrin dapat ditambahkan untuk mengurangi
dosis norepinefrin, apabila diperlukan untuk
mempertahankan tekanan darah.
- Vasopresin 0,03 U/menit dapat ditambahkan pada
norepinefrin untuk lebih meningkatkan tekanan
darah atau untuk menurunkan dosis norepinefrin
- Dosis rendah vasopressin tidak dianjurkan sebagai
vasopresor awal tunggal.
- Dopamin dapat digunakan sebagai alternatif pada
beberapa pasien (misal pada pasien dengan risiko
rendah untuk mengalami takhiaritmia dan absolut
atau relatif bradikardi)
- Dosis rendah dopamine tidak boleh diberikan untuk
proteksi ginjal
- Semua pasien yang diberikan vasopresor harus
dipasang kateter urin
Terapi Inotropik
- Dobutamin bisa diberikan sampai dosis 20
g/kgBB/menit bila diduga ada:
a. Disfungsi miokard, peningkatan tekanan
pengisian jantung, isi sekuncup rendah
b. Apabila gejala hipoperfusi menetap walaupun
CVP dan TAR sudah tercapai.
Kortikosteroid
- Apabila pemberian cairan dan vasopresor sudah bisa
memperbaiki hemodinamik , tidak usah diberikan
hidrokortison . Apabila tidak bisa tercapai bisa
diberikan hidrokortison dosis 200 mg/hari kontinu
intravena
- Hidrokortison tidak usah diberikan apabila tidak ada
syok sepsis
- Gunakan secara kontinu
Terapi Suportif lain
Pemberian Produk Darah
- Bila tidak ada iskemia miokard, hipoksemia berat,
perdarahan akut, maka pemberian transfusi hanya
diberikan bila Hb < 7 gr/dL dengan target 7 – 9 gr/dl
pada dewasa
- FFP tidak boleh diberikan untuk memperbaiki faktor
koagulasi kecuali ada perdarahan
- Pemberian profilaksis platelet hanya diberikan bila <
10.000/mm3 (walaupun tidak ada perdarahan). Bila
pasien mempunyai risiko perdarahan disarankan
78
diberikan tranfusi platelet bila kadarnya <
20.000mm3 . Pada perdarahan aktif atau akan
dilakukan prosedur invasif disarankan diberikan
transfusi platelet untuk mencapai kadar >
50.000/mm3.
Ventilasi Mekanik pada ARDS akibat sepsis
- Target Volum Tidal 6 ml/kgBB prediksi pada ARDS
akibat sepsis
- Tekanan plateau < 30 mmH2O
- Gunakan PEEP untuk mencegah kolaps alveoli
- Gunakan strategi PEEP tinggi dibandingkan PEEP
rendah
- Recruitment maneuver digunakan pada hipoksemia
berat refrakter
- Pada pasien dengan ventilasi mekanik Kepala tempat
tidur harus dinaikkan 30-450 untuk mencegah risiko
aspirasi dan VAP
- Penggunaan NIV harus dipertimbangkan risiko nya
- Protokol penyapihan dengan Spontaneous Breathing
Tria (SBT) harus dilakukan secara reguler untuk
evaluasi kemampuan untuk dilepas dari ventilasi
mekanik, bila memenuhi kriteria: a. sadar, b.
hemodinamik stabil (tanpa vasopresor), c. tidak ada
kondisi serius baru, d. kebutuhan ventilasi dan PEEP
rendah, e. kebutuhan FiO2 rendah, dapat diberikan
dengan kanula nasal atau sungkup muka. Bila SBT
berhasil, lakukan ekstubasi
- Strategi pemberian cairan konservatif dibandingkan
liberal pada pasien tanpa tanda-tanda hipoperfusi
- Bila tidak ada indikasi spesifik jangan diberikan -2
agonis
Sedasi, analgesi dan Pelumpuh otot pada sepsis
- Pemberian sedasi kontinu atau intermiten pada
pasien dengan ventilasi mekanik harus diminimalkan
dengan target tertentu
- Pelumpuh otot sebaiknya dihindarkan pada pasien
dengan ventilasi mekanik. Bila diperlukan pemberian
intermiten atau kontinu harus diberikan dengan
monitor train-of-four untuk monitor kedalaman
blokade
- Penggunaan pelumpuh otot tidak boleh > 48 jam
Kontrol Glukosa
- Protokol pengelolaan gula darah di ICU dilakukan
bila pada 2 kali pemeriksaan kadar gula darah > 180
gr/dL. Target gula darah < 180 gr/dL
79
- Pemeriksaan gula darah dilakukan 1-2 jam sampai
gula darah stabil, kemudian dilakukan setiap 4 jam
- Hati-hati apabila menggunakan pemeriksaan gula
darah kapiler, karena bisa tidak akurat
Terapi Renal Pengganti (Renal Replacement
Therapy)
- CRRT dan IHD bisa dilakukan pada sepsis berat
dengan hemodinamik stabil
- Bila hemodinamik tidak stabil harus digunakan
CRRT
Terapi bikarbonat
- Jangan menggunakan bikarbonat untuk memperbaiki
hemodinamik atau untuk mengurangi vasopresor
pada pasien hipoperfusi akibat laktatemia dengan pH
> 7,15
Profilaksis DVT (Deep Vein Thrombosis)
- Pemberian 1X /hari LMWH lebih baik dibandingkan
dengan 2 X/hari UFH
- Kalau klirens kreatinin < 30 mL/menit, gunakan
LMWH lain dengan metabolisme ginjal yang rendah.
- Bila memungkinkan diberikan kombinasi dengan
intermitten pneumatic compression.
- Bila pasien dengan kontraindikasi dengan heparin
(misal pada pasien trombositopeni, koagulopati
berat, perdarahan aktif, perdarahan intraserebral)
gunakan terapi mekanik profilaksis seperti stocking
atau intermitten pneumatic compression, kecuali ada
kontraindikasi
Profilaksis ulkus stres
- Anti Histamin-2 (AH-2)atau Proton Pump Inhibitor
(PPI)diberikan pada pasien dengan risiko perdarahan
- PPI lebih baik dibandingkan AH-2
- Pasien tanpa faktor risiko tidak usah diberikan
profilaksis
Nutrisi
- Pemberian oral atau enteral lebih baik daripada
puasa atau pemberian IV glukosa selama 48 jam
pertama setelah diagnosis
- Hindarkan pemberian kalori penuh pada minggu
pertama (lebih baik sampai 500 kalori/hari), bila
toleransi baik bisa ditingkatkan
- Gunakan IV Glukosa dan enteral nutrisi daripada
TPN atau PN untuk menambah enteral nutrisi dalam
7 hari pertama setelah diagnosis
- Jangan memberikan immunomodulasi spesifik
80
Daftar Pustaka : 1. Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A etal. Surviving Sepsis
Campaign: International Guidelines for Management of
Severe Sepsis and Septic Shock:2012. Crit Care
Med,2013;41(2):580-637.

ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME (ARDS)

Definisi : Penyakit ARDS memiliki karakteristik :


1. Cedera paru dengan onset akut, yang timbul dalam 1
minggu sejak gejala timbul, dengan perburukan gejala
pernafasan.
2. Gambaran opak bilateral pada rontgen toraks yang tidak
disebabkan oleh penyakit paru lainnya (efusi pleura,
kolaps paru, atau nodul paru)
3. Gagal nafas yang tidak disebabkan oleh gagal jantung
atau kelebihan cairan (edema paru)
4. Rasio PO2/FiO2 <300 mmHg.

Anamnesis : - Keluhan sesak napas


- Riwayat sepsis, transfusi darah, kontusio paru, aspirasi
isi lambung, penyalahgunaan obat atau overdosis.
- Atau riwayat syok, hampir tenggelam, inhalasi zat iritan
atau toksik.

PemeriksaanFisik : - Takipneu
- Hipoksemia
81
- Penyerta : penurunan kesadaran, takikardi
- Ronki paru.

Kriteria Diagnosis Terpenuhinya 4 kriteria :


: 1. Cedera paru dengan onset akut, yang timbul
dalam 1 minggu sejak gejala timbul, dengan perburukan
gejala pernapasan.
2. Gambaran opak bilateral pada rontgen toraks
yang tidak disebabkan oleh penyakit paru lainnya (efusi
pleura, kolaps paru, atau nodul paru)
3. Gagal napas yang tidak disebabkan oleh gagal
jantung atau kelebihan cairan (edema paru)
4. Rasio PO2/FiO2<300 mmHg.

Kategori ARDS :
- ARDS ringan PaO2/FiO2 200-300 mmHg
- ARDS sedang PaO2/FiO2 101-200 mmHg
- ARDS berat PaO2/FiO2 ≤100 mmHg
- (dengan PEEP minimum 5 cmH2O)

Diagnosis Kerja : ARDS ringan / ARDS sedang / ARDS berat


Diagnosis Banding : - Edema paru
- Penyakit paru kronis (luluh paru, penyakit paru
interstisial)
- Keganasan paru.

Pemeriksaan : - Analisis Gas Darah


Penunjang - Foto toraks
- Tekanan vena sentral

Terapi : 1. Perawatan di ICU


2. Pemberian ventilasi mekanik
- Target volum tidal 6 mL/kgBBP(Berat Badan
Prediksi) pada pasien ARDS-sepsis (grade 1A)
- Tekanan plateau diukur dengan target batas atas
inisial saat inflasi paru pasif ≤30 cmH2O (grade 1B).
- Tekanan akhir ekspirasi positif (PEEP) diberikan
untuk menghindari kolaps alveolar pada ekspirasi
akhir (atelektrauma) (grade 1B).
- Strategi menggunakan PEEP yang lebih tinggi pada
pasien sepsis dengan ARDS sedang atau berat.
(grade 2C.
- Teknik rekruit alveolus diberikan pada pasien sepsi
82
dengan hipoksemia refrakter berat (grade 2C).
- Posisi tengkurap dilakukan pada pasien ARDS
dengan PaO2/FiO2 ≤100 mmHg di fasilitas yang
telah berpengalaman (grade 2B).
- Kepala pasien dielevasi 30-45 derajat untuk
mencegah risiko aspirasi dan mencegah VAP (grade
1B).
- Ventilasi sungkup non-invasif (NIV) dapat diberikan
pada sebagian kecil pasien ARDS yang mungkin
dapat memperoleh manfaat positif dari NIV dengan
penuh pertimbangan (grade 2B).
- Protokol penyapihan harus dilakukan, dan pasien
secara teratur menjalani Uji Napas Spontan untuk
evaluasi penghentian ventilasi mekanik ketika pasien
memenuhi kriteria: a) sadar, dapat dibangunkan; b)
hemodinamik stabil (tanpa vasopresor); c) tidak ada
kondisi perburukan baru yang berpotensi serius;
d)kebutuhan ventilasi rendah dan PEEP rendah;
e)kebutuhan FiO2 yang rendah yang dapat terpenuhi
dengan sungkup muka atau kanula nasal. Bila Uji
Napas Spontan berhasil, ekstubasi harus
dipertimbangkan. (grade 1A).
- Tidak perlu secara rutin menggunakan kateter Swan-
Ganz (grade 1A)
- Pemberian cairan secara konservatif bila tidak ada
tanda hipoperfusi jaringan (grade 1C).
- Obat beta 2 agonis tidak diperlukan bila tidak ada
indikasi spesifik seperti bronkospasme (grade 1B)
3. Setting ventilasi mekanik
mengikuti protokol ARDSnet.

Tahap I : Pengaturan ventilator tahap awal


1. Hitung
Berat Badan Prediksi (BBP)/Predicted Body Weight
(PBW)
» Laki-laki (kg) = 50 + 0,9 (tinggi badan(cm) – 153)
» Perempuan (kg) = 45,5 + 0,9 (tinggi badan(cm) –
153)
2. Pilih mode ventilasi (Volume Controlled / Pressure
Controlled
3. Volume tidal inisial = 8 mL/kgBBPrediksi
4. Turunkan volume tidal 1 mL/kg tiap ≤2 jam hingga
volume tidal 6 mL/kgBBPrediksi.

83
5. Laju napas diatur dengan target tercapainya ventilasi
semenit basal (<35x/menit)
6. Sesuaikan volume tidal dan laju napas agar target pH
dan tekanan plateau tercapai.
Target pH: 7,300-7450
Tatalaksana asidosis : (pH <7,30)
Bila pH 7,150-7,300: Naikkan Laju Napas hingga
pH>7,300 atau PaCO2 <25 (Laju Napas maksimum =
35x/menit)
Bila pH <7,150:Naikkan Laju Napas ke 35 x/menit.
Bila pH tetap <7,150, volume tidal dapat dinaikkan
sebesar 1 mL/kg sampai pH >7,150 (Pplat 30 cmH2O
boleh dilampaui)
Tatalaksana alkalosis: (ph >7,45) Turunkan Laju Napas
bila memungkinkan.
Target rasio I:E: Inspirasi ≤ ekspirasi
Target oksigenasi: PaO2 55-80 mmHg atau SpO2 88-
95%
PEEP minimum 5 cmH2O. Pertimbangkan untuk
meningkatkan kombinasi FiO2/PEEP seperti tabel di
bawah ini untuk mencapai target.

PEEP lebih rendah / FiO2 lebih tinggi


FiO2 0,3 0,4 0,4 0,5 0,5 0,6 0,7 0,7
PEE 5 5 8 8 10 10 10 12
P

FiO2 0,7 0,8 0,9 0,9 0,9 1,0


PEE 14 14 14 16 18 18-24
P

PEEP lebih tinggi / FiO2 lebih rendah


FiO2 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3 0,4 0,4 0,5
PEE 5 8 10 12 14 10 10 12
P

FiO2 0,5 0,5- 0,8 0,9 1,0 1,0


0,8
PEE 5 5 8 8 10 10
P

Target Tekanan Plateau: ≤30 cmH2O


84
Periksa Pplat (0,5 inspiratory pause), sekurangnya tiap 4
jam dan setiap setelah perubahan PEEP atau volume
tidal.
Bila Pplat >30 cmH2O: turunkan volume tidal 1 mL/kg
(minimum 4 mL/kg)
Bila Pplat <25 cmH2O dan volume tidal <6 mL/kg,
naikkan volume tidal 1 mL/kg hingga Pplat >25 cmH2O
atau volume tidal = 6 mL/kg.
Bila Pplat <30 dan tampak dis-sinkroni: tingkatkan
volume tidal 1 mL/kg hingga 7-8 mL/kg bila Pplat tetap
≤30 cmH2O.

Tahap II: Penyapihan


A. Lakukan Uji Napas Spontan setiap hari, ketika:
1. FiO2 ≤0,4 dan PEEP ≤8.
2. PEEP dan FiO2 ≤ dari nilai di hari sebelumnya.
3. Pasien mengeluarkan usaha bernapas spontan yang
cukup. (Dengan cara menurunkan laju ventilator
hingga 50% selama 5 menit untuk mendeteksi usaha
napas).
4. Tekanan darah sistolik ≥90 mmHg tanpa topangan
vasopresor.
5. Tidak ada obat pelumpuh otot.
B. Uji Napas Spontan:
Bila seluruh kriteria di atas terpenuhi, mulai Uji Napas
Spontan hingga 120 menit dengan FiO2 ≤0,5 dan PEEP
≤5:
1. Pasangkan T-piece, atau CPAP ≤5 cmH2O dengan PS
≤5.
2. Nilai toleransi pasien hingga 2 jam dengan
parameter :
a. SpO2 ≥90: dan/atau PaO2 ≥60 mmHg.
b. Volume tidal ≥4 mL/kgBB Prediksi.
c. Laju napas ≤35x/menit
d. pH ≥7,300
e. Tidak ada distres pernapasan (distres=adanya 2
gejala atau lebih):
- Denyut jantung >120% dari basal.
- Penggunaan otot napas aksesoris
- Napas paradoks
- Diaforesis

85
- Tanda sesak napas
3. Bila pasien tampak toleran selama 30 menit,
pertimbangkan ekstubasi.
4. Identifikasi dan terapi penyebab / kondisi yang
menyebabkan terjadinya ARDS. Bila penyebabnya
adalah pneumonia, maka diberikan terapi antibiotika
sesuai panduan dari ATS/IDSA tentang CAP, HAP,
VAP, HCAP.

5. Mengembalikan dan mempertahankan fungsi


hemodinamik. Pemberian cairan menggunakan
strategi yang konservatif dengan target, dan
menggunakan topangan vasopresor dan inotropik
sesuai target.
6. Pencegahankomplikasipadapenyakitkritis, dengan
cara pemberian profil aksisulkus lambung,
pencegahan emboli parudan Deep Vein Thrombosis,
pencegahan Ventilator-associated Pneumonia, kontrol
gula darah dan fungsi metabolik, dan pencegahan
gagal organ multipel.
7. Pemberian nutrisi yang cukup.
8. Sedasi kontinu atau sedasi berkala harus
diminimalisasi pada pasien sepsis dengan ventilasi
mekanik dengan memakai target sedasi.
9. Pemakaian metil prednisolon dosis rendah pada fase
awal ARDS berat dapat diberikan.
10. Penggunaan High Frequency Oscillation Ventilation
bila pasien terintubasi dalam ventilator >48 jam dan;
FiO2 > 0.6 dan tidak dapat mempertahankan PaO2 >
65mmHg (PEEP >15 cmH2O) bila fasilitas tersedia.
11. Penggunaan Extra Corporeal Membrane Oxygenation
(ECMO) hanya di rumah sakit yang telah
berpengalaman. ECMO dapat dipertimbangkan bila
rasio PaO2/FiO2 <150 mmHg, dan ECMO
diindikasikan ketika PaO2/FiO2 <80 mmHg. PaCO2>
80 mm Hg atau tekanan plateau akhir inspirasi >30
cmH2O juga dapat menjadi indikasi ECMO pada
pasien ARDS.

Daftar Pustaka : 1. Acute Respiratory Distress Syndrome; the Berlin


definition. ARDS Definition Task Force, Ranieri VM,
Rubenfeld GD, Thompson BT, Ferguson ND, Caldwell
E, Fan E. JAMA. 2012 Jun 20;307(23):2526-33.
2. Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, et al: Surviving
Sepsis Campaign: International guidelines for
86
management of severe sepsis and septic shock: 2012.
Crit Care Med. 2013; 41:580-637
3. ARDSnet. Protokol Ventilasi Mekanik.
http://www.ardsnet.org/system/files/ventilator
%20protocol%20card.pdf Diunduh tanggal 15 Oktober
2013.
4. Gurka DP, Balk RA. Acute respiratory failure. In: Parillo
Je, Dellinger RP. Critical care medicine: principles of
diagnosis and management in the adult. 3rd ed.
Philadelphia, PA: Mosby Elsevier; 2008. P.773-89
5. Meduri GU, Golden E, Freire AX, et al.
Methylprednisolone infusion in early severe ARDS:
results of a randomized controlled trial. Chest 2007;
131:954-63.
6. Intensive Care Prince of Wales Hospital. Clinical Practice
Guidelines HFOV.
http://intensivecare.hsnet.nsw.gov.au/five/doc/POW/venti
lation_high_frequency_oscillation_V_pow.pdf
7. Extracorporeal Life Support Organization. Patient
specific guidelines: a supplement to the ELSO general
guidelines. April 2009:15-19
(http://www.elso.med.umich.edu/WordForms/ELSO
%20Pt%20Specific%20Guidelines.pdf).

87
ACUTE KIDNEY INJURY

Definisi : Penurunan mendadak faal ginjal dalam 48 jam yang


ditandai dengan kenaikan kadar kreatinin dalam serum
≥0,3 mg/dl (≥26,4 µmmol/l),atau dalam 7 hari ada
kenaikan≥1,5 kali dari nilai dasar, atau pengurangan
produksi urine (oliguri)≤ 0,5 ml/kg/jam dalam waktu 6
jam.
Anamnesis : - Riwayat kehilangan cairan dari saluran cerna (muntah-
muntah, diare), riwayatperdarahan.
- Riwayat penyakit yang dapat menurunkan perfusi ginjal
seperti gagal jantung, sirosishepatis, tirotoksikosis,
hipoprotenemiaberat.
- Riwayat penggunaan diuretik yang cukup lama dan
tidak terkontrol.
- Riwayat minum Ace inhibitor / ARB, NSAID, obat
tradisional/herbal.
- Riwayat panas, rash, artralgia, sinusitis dan hemoptisis
bias karena penyakit autoimun, vaskulitis, allergic
interstitial nephritis (AIN).
- Adakah kejadian yang bias menyebabkan akut
tubulernekrosis seperti penyakit tropic (malaria), gigi
tanular, crushing injury, toksin lingkungan, sepsis,
pascaoperasi, zatnefrotoksik (zatradiokontras, anti
jamur, antivirus, anti neoplastik, narkoba).
- Riwayat nyeri pinggang yang bias disebabkan oleh
trombosis vena renalis, nefrolitiasis, obstruksi atau
infark ginjal. Obstruksi intristik (tumor, batu,
nekrosispapila), obstruksi ekstrinstik (keganasan di
pelvis, retroperitoneal, fibrosis, penekanan kandung
kemih seperti hipertrofi/keganasan prostat, batu, tumor,
striktururetra.)
- Riwayat keluarga ginjal polikistik.

Pemeriksaan Fisik: Pada pemeriksaan fisik harus difokuskan ke


hemodinamik, penilaian status volum dan ada tidaknya
penyakit sistemik penyerta yang bias mencederai ginjal.
- Hipotensi yang disertai hipotermia atau panas bias
karena sepsis atau respon inflamasi sistemik.
- Hipertensi berat karena glomerulonefritis akut,
skleroderma, hipertensimalignan atau preeklampsia.

88
- Tanda-tanda kekurangan cairan seperti mata cekung,
mukosamulut yang kering, lidah keriput, vena leher
kolaps saat pasien terlentang, hipotensiortostatik
(penurunan tekanan sistolik ≥10 mmHg, nadi
naik≥10-15 kali/menit), nadi cepat dan kecil,
oliguria, kurangnya turgor kulit, akral dingin dan
sianosisperifer.
- Peningkatan tekanan vena jugularis, ronkhi basah di
paru, asites dan edema adalah tanda-tanda kelebihan
volume total tubuh.
- Skleritis dan uveitis dijumpai pada penyakit
autoimun.
- Pada pemeriksaan Abdomen, adakahasites,
hepatosplenomegali, bruit vaskuleratau aneurism
aorta abdominalis. Pada palpasitera banyak kandung
kemih, menandakan distensi akibat obstruksi.

- Pada pemeriksaan rectal adakah pembesaran prostat


yang difus.
Kriteria Diagnosis: A. Kriteria AKIN
Tahap Kriteria Kreatinin Serum
Kriteria Produksi Urin
1. Kenaikan kreatinin serum ≥0,3 mg/dl
(≥26,4µmol/l), atau produksi urin kurang dari 0,5
ml/kg/Jam lebih dari 6 jam Kenaikkan ≥150%
sampai 200% (1,5 sampai 2 kali lipat dari nilai
dasar)
2. Kenaikan kreatinin serum >200%-300%
atau produksi urin kurang dari 0,5 ml/kg/jam
lebih dari 12 jam (>2-3 kali lipat dari kenaikkan
nilai dasar)
3. Kenaikan kreatinin serum >300% (>3 kali lipat
dari nilai dasar), atau produksi urin kurang dari
0,3 ml/kg/jam lebih dari 24 jam
4. Kadar kreatinin ≥ 4,0 mg/dl (≥354 µmol/l)
atau anuria 12 jam.
B. Kriteria RIFLE
Kelas Kriteria Kreatinin Serum/GFR
Kriteria Produksi Urin
Risk : - Kenaikkan kreatinin serum 1,5 kali atau
produksi urin kurang dari 0,5 ml/kg/jam
selama 6 jam
- GFR >20%

89
Injury : - Kenaikankreatinin serum 2 kali atau
produksi
urin kurang dari 0,5 ml/kg/jam selama
12 jam
- GFR>50%
Failure : - Kenaikankreatinin serum 3 kali atau
kreatinin
≥4mg/dl atau produksi urin kurang dari
0,3
ml/kg/jam selama 24 jam
ataukenaikanakut
≥0,5 mg/dl atau Anuria selama 12 jam
- GFR>75%
Loss : Gagal ginjal akut persisten =
Hilang fungsi ginjal selama>4 minggu
ESRD : End Stage Renal Disease

Diagnosis Kerja : Acute Kidney Injury(AKI)

90
Diagnosis :
Banding

Pemeriksaan - Langkah awal adalah periksa kreatinin dan urea


Penunjang nitrogen darah guna menilai fungsi ginjal.
- Normal, bilarasio urea nitrogen darah dengan kreatinin
darah adalah 8:1. Pada prerenal, rasioini>20:1.
- Eosinofilia perifer ditemukan pada Allergic Interstitial
Nephritis (AIN) atau penyakit ateroemboli.
- Hiperkalemia diduga karena minum obat NSAID,
inhibitor ACE, rabdomiolisis atau sindroma tumor lisis.
- Periksa berat jenis dan osmolalitas urin, menilai
kemampuan konsentrasi urin. Pada Oliguria, berat jenis
urin>1.020 dan osmolalitas>500 mOsm/kg. Pada
ATN/AIN berat jenis urin 1.010-1.012 dan osmolalitas
300-350 mOsm/kg.
- Analisissedimenurin:
 Perdarahan nonglomerular bentuk eritrosit di urin
relatif normal sedang perdarahan glomerular eritrosit
berbentuk dismorfik.
 Leukosituria dijumpai AIN, nekrosispapiler dan
pielonefritis.
 Hialin dan silinder granular pada prenal gagal ginjal
akut.
 Silinder lebar (diameter lebihdr 3 sel darah putih)
91
pada insufisiensi ginjal kronik.
 Muddy Brown tubular cast atau sel bebas
epiteltubulus ginjal yang spesifik untuk ATN.
 Silindereritrosit dijumpai pada glomerulonefritis,
vaskulitis dan kadang AIN.
 Silinderleukosit dijumpai pada AIN, pielonefritis,
glomerulonefritis.
 Kristal asamuratbisa di urin yang pekat, kalau
banyak nefropatiasamurat, sindromlisis tumor.
 Kristal oksalatkarenakeracunanetilenglikol.
- Fraksiekskresinatrium (FeNa normal <1%), fraksi Na
yang difilter yang dibuang ke urin. Pada ATN
selalu>2%.
- Ultrasound ginjal: melihat ukuran ginjal, mendeteksi
tanda-tanda obstruksi seperti hidronefrosis atau dilatasi
system kolekting dan menilai ekhogenisitas ginjal.
- Penilaianlaboratorium yang spesifik:
 Glomerulonefritis: antinuklearantibodi, double
stranded DNA,komplemen serum.
 Vaskulitis: antineutrofilsitoplasmikantibodi.
 Goodpasturesindrom: antiglomerular basement
membrane antibody.
 Glomerulonefritispascainfeksi di
salurannafasatasatau di kulit: titer antistreptolisin O
tinggi.
- Marker untukcederatubuler:
 Cystatin C.
 Kidney Injury Molecule 1(KIM-1).
 Neutrophil Gelatinase-Associated Lipocalin
(NGAL).
 Interleukin-18 (IL-18).
Plasma panel: NGAL danCystatin C.
Urinpanel :NGAL, IL-18 dan KIM-1.
- Biopsiginjal, mendiagnosis kelainan glomeruler atau
penyakit mikrovaskuler, diagnosis defenitif AIN.

Terapi : Prinsip manajemen berdasarkan stadium AKI.


- Risiko tinggi:
 Hentikan semua obat-obatan yang nefrotoksik.
 Optimalkan status volum dan tekanan perfusi.
 Monitoring hemodinamik.
 Monitor kreatinin serum dan diuresis.

92
 Hindari hiperglikemia.
 Hindari prosedur radiokontras.
- AKI stadium 1
 Diagnostik yang bersifat non invasif.
 Pertimbangkan diagnostik invasif.
- AKI stadium 2
 Penyesuaian dosis obat.
 Pertimbangan terapi pengganti ginjal, seperti
hemodialisis, SLEDD, CVVH.
 Pertimbangan rawat di ICU.
- AKI stadium 3
 Hindari pemasangan kateter di subklavia.
- Rekomendasipengobatan
 Ekspansi volum intravaskuler pasien
berisiko/dengan AKI yang tanpa syokh emoragik
disarankan memakai cairan kristaloid dari pada
koloid (albumin atau starches) (2B).
 Pemakaian vasopresor bersamaan resusitasi cairan
untuk pasien syok vasomotor atau berisikoAKI(1C).
 Ada protocol manajemen hemodinamik dan
parameter oksigenasi untuk pasien perioperatif risiko
tinggi (2C) dan syok septik (2C) guna mencegah
terjadi / perburukan.
 Kebutuhan kalori pasien AKI (semua stadium)
adalah 20-30 kcal/kg/hari(2C).
 Hindari pembatasan protein intake dengan harapan
mencegah atau menunda RRT(2D).
 Protein 0,8-1gr/kg/hari untuk pasien AKI
nonkatabolik yang tanpadialisis(2D), 1-
1,5gr/kg/hari(2D) pasien AKI yang didialisis dan
maksimum 1,7gr/kg/hari pasien dengan terapi
pengganti ginjal kontoniu(CRRT) dan pasien hiper
katabolik(2D).
 Nutrisi yang diberikan lebih disukai via
ruteenteral(2C).
 Tidak direkomendasikan memakai diuretic
mencegahAKI(1B).
 Tidak menggunakan diuretik untuk pengobatan AKI,
kecuali manajemen volum overload(2C).
 Tidak disarankan menggunakan dopamine dosis
kecil/fenoldopam untuk mencegah atau mengobati
AKI(1A)/(2C).
93
 Tidak disarankan menggunakan atrial
natriuretikpeptide(ANP) untuk mencegah (2C) atau
mengobati AKI(2B).
 Tidak disarankan antibiotika aminoglikosid, kecuali
tidak ada pilihan lain(2A).
 Pasien dengan fungsi ginjal normal disarankan
aminoglikosid dosis tunggal dari pada dosis multiple
harian(2B).
 Monitor kadara minoglikosid darah kalau diberikan
dosis tunggal lebih 48 jam(2A),dosis multi pelharian
lebih 24jam(1A),
 Pengobatan mikosis sistemik disarankan anti fungal
azole dan/atau echinocandin dari pada amfoterisin B
bila efikasi terapinya sama(1A).
- Kriteriaterapipenggantiginjal /DialisispadaAKI :
 Oliguria :produksiurin<200 ml dalam 12 jam
 Anuria :produksiurin<50 ml dalam 12 jam.
 Hiperkalemia :potasium>6,5 mmol/l
 Asidemia (keracunan asam) yang berat : pH <7,0
 Azotemia :kadar urea >30 mmol/L
 Uremik organ seperti ensefalopati, perikaditis,
neuropati atau miopatiuremikum.
 Disnatremia berat: konsentrasi>160mmol/L atau<
115mmol /L
 Hipertermia (suhu>39,5 selsius).
 Edema organ khususnya paru.
 Keracunan obat yang bias didialisis.
 Pasien berisiko edema/ARDS yang membutuhkan
produk darah banyak karena koagulopati.

Daftar Pustaka : 1. Bellomo R, Ronco C, Kellum JA, et al. Acute renal


failure—definition, outcome measures, animal models,
fluid therapy and information technology needs: the
Second International Consensus Conference of the
Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) Group. Crit
Care 2004; 8: R204-212 with permission from Bellomo
R et al.;22 accessed http://ccforum.com/
content/8/4/R204.
2. Devarajan P. Emerging Biomarker of Acute Kidney
Injury. In Acute Kidney Injury,Ed.Ronco C, Bellomo R,
Kellim JA. Karger.2007.p.l203-12.
3. Kidney International Supplements (2012) 2, 8–12;
doi:10.1038/kisup.2012.7.
94
4. Raggio J, Umans JG. Diagnosis Acute Renal Failure.
In: Murray PT, Brady HR, Hall JB, Ed. Intensive Care
in Nephrology.London: Taylor&Francis, 2006. p.99-
111.
5. Sukandar E. Nefrologi Klinik. Edisi III. Bandung: Pusat
Informasi Ilmiah FK UNPAD 2002. Peninjauan ulang.
6. Uchino S, Bellomo R. Indication for initiatiation,
cessation, and withdrawal of Renal Replacement
Therapy. In: Murray PT, Brady HR, Hall JB, Ed.
London: Taylor&Francis, p.2006. 137-45.

CEDERA KEPALA BERAT

Definisi : Adanya disfungsi otak akibat pengaruh eksternal


95
Anamnesis : Terdapat riwayat trauma yang diikuti tanda-tanda
penurunan fungsi otak (antara lain : sakit kepala,
kejang, kelemahan satu/dua sisi tubuh, penurunan daya
ingat, penurunan kemampuan berpikir, gangguan
metabolik,gangguan pernapasan, penurunan kesadaran)

Pemeriksaan Fisik : - Dengan/tanpa jejas


- Kesadaran menurun
- Tanda vital bervariasi
- Terdapat lateralisasi
- Penurunan fungsi otak lainnya

Kriteria Diagnosis : Adanya gejala klinis penurunan fungsi otak pasca


trauma disertai gambaran abnormal CT scan/MRI
kepala

Diagnosis Kerja : Cedera kepala

Diagnosis Banding : Cedera kepala non traumatic

Pemeriksaan : Pemeriksaan laboratorium awal bisa menunjukkan nilai


Penunjang normal
Gambaran abnormal dari CT scan kepala atau MRI
kepala

Terapi : 1. Intubasi endotrakeal mutlak dilakukan pada pasien


dengan GCS ≤ 8.
2. Pada pasien dengan GCS ≥ 8, intubasi endotrakeal
dilakukan bila terdapat insufisiensi pernapasan
akibat cedera kepala.
3. Hindari hipoksia dan peningkatan beban kerja
pernapasan dengan menggunakan ventilasi
mekanik. Pengaturan ventilasi mekanik disesuaikan
dengan target PaO2 ≥ 100 mmHg, PaCO2 35-45
mmHg, SpO2 > 90%.
4. Hindari hipotensi (MAP < 90 mmHg, TD sistolik <
100 mmHg). Status normovolemia dicapai dengan
menggunakan kristaloid (NacL 0,9%, ringer laktat),
koloid sintetik dengan target tekanan vena sentral
(CVP) 7-12 cmH2O.
5. Pada pasien yang anemis,berikan transfusi sel darah
merah (packed red blood cells) dengan target
hematokrit (Hct) 30%.
6. Pada hipotensi refrakter setelah pemberian cairan
96
yang adekuat, gunakan dopamine atau norepinefrin.
7. Target tekanan intrakranial (TIK / intracranial
pressure) 20-25 mmHg, target tekanan perfusi
serebral (cerebral perfusion pressure) 60-70
mmHg.
8. Bila ada peningkatan TIK, tatalaksana sesuai
algoritme terlampir.
9. Lakukan pemeriksaan laboratorium (darah perifer
lengkap, fungsi hemostasis, analisa gas darah,
elektrolit darah, gula darah, protein darah, fungsi
hati, dan lain-lain) secara berkala.
10. Lakukan pemeriksaan penunjang radiologi berkala
(rontgen dada, CT scan/MRI kepala)
11. Lakukan FAST HUG:
- Feeding : berikan nutrisi enteral sesegera
mungkin
- Analgesia : gunakan analgetik yang sesuai
(morfin, fentanyl, non narkotika)
- Sedation : berikan cukup sedasi untuk
menghindari peningkatan TIK
- Thromboembolic prophylaxis : intermittent
compression pneumatic stocking, heparin dan
turunannya, fisioterapi.
- Head of bed elevation : letakkan pasien dengan
posisi kepala naik 30-45°
- Stress ulcer prophylaxis : antagonis sebagian
reseptor H2, penghambat pompa proton
- Glucose control : kadar gula darah
dipertahankan stabil dengan target ≤ 180 g/dL

Daftar Pustaka : 1. Torbey MT ed. Neurocritical care. Cambridge Univ.


Press
2. Cohen MS, Marion DW : Traumatic brain injury.
Di Fink MP, Abraham E, Vincent JL, Kochanek PM
: Textbook of critical care 5th ed.
3. Guidelines for the Management of Severe
Traumatic Brain Injury 3rd ed.

97
Bab. I. Batasan-Uraian, Sistim, Ruang Lingkup Neuro Anestesi
Batasan dan Uraian
Pelayanan Neuro Anestesi adalah tindakan medis yang dilakukan melalui pendekatan
tim sesuai kompetensi dan kewenangan yang dimilki mencakup tindakan Neuro anestesi (Pra
anesthesia, Intra anesthesia, Pasca anesthesia) dan Neuro Crtical Care serta pelayanan lain
sesuai bidang Neuroanestesiologi seperti tatalaksana nyeri, pelayanan kritis, gawat darurat.
Sistim Pelayanan
Kegiatan Pelayanan Neuroanestesi dilaksanakan secara terpadu dan terintegrasi
dengan pelayanan lain dirumah sakit. dapat berupa; Pelayanan Neuro Anestesi dikamar
bedah, Penanganan Nyeri Rawat Jalan, Kelola pasen di Rawat Inap dan Ruang Neuro
Critical Care ataupun Neuro Critical Care serta pelayanan diluar kamar bedah yang dapat

98
dilakukan antara lain di ICU/PICU/NICU, Instalasi Gawat Darurat, Radiologi, dengan jenis
pelayanan yang disesuaikan dengan klasifikasi rumah sakit.
Ruang Lingkup Pelayanan Neuro Anestesi
Sesuai dengan definisi tersebut diatas maka ruang lingkup Neuro anestesi meliputi :
1. Bantuan terhadap fungsi kehidupan akibat stress anestesia dan manipulasi bedah.
2. Penatalaksanaan nyeri dan stres emosi perioperasi dan prosedur medis lainnya.
3. Penatalaksanaan pasca operasi, penderita neurocritical care diruang rawat intesif.
4. Penatalaksanaan klinis, support fungsi vital pasien tidak sadar apapun sebabnya.
5. Tatalaksana metode spesifik terapi pernafasan, problema resusitasi. jantung, paru dan
otak.
6. Tatalaksana klinis gangguan cairan-elektrolit, metabolism perioperatif dan Neurocritcal
care.
Sesuai dengan tersebut diatas kegiatan pelayanan Neuro anestesi mencakup antara
lain :
1. Melakukan evaluasi dan pelayanan pra anestesia.
2. Pelayanan Neuro anestesia di kamar bedah dan ruang diagnostik.
3. Menanggulangi nyeri pasca operasi bedah saraf maupun di bangsal.
4. Pengelolaan pasen Neuroanestesi dan Neuro Critical Care diruang Perawatan/Neuro
Critical Care.
5. Melakukan bantuan resusitasi kasus gawat, di ruang darurat atau di bangsal yang
membutuhkan.
Tugas dan Tanggung Jawab Dokter Spesalis Neuro anestesi :
1. Memberi konsultasi dan pelayanan Neuroanestesi dan Neuro Critical Care
2. Memberikan pelayanan spesialistik Neuroanestesi dan Neuro Critical Care
3. Memberikan supervisi perawatan pasca anestesa di kamar pulih/Rawat Intensif.
4. Berpartisipasi dalam pengelolaan dan tatalaksana penderita pasca bedah Saraf.
5. Berpartisipasi pada pelayanan Resusitasi kasus-kasus kegawatan Bedah Saraf.
6. Ikut meberikan pelayanan pada kasus-kasus nyeri membandel Pasca Bedah Saraf.

PROSEDUR PELAYANAN NEURO ANESTESI.


1. Penatalaksanaan dan evaluasi Pra Anestesia
Evaluasi oieh spesialis Neuro anestesi penting untuk penilaian medis pasien sebelum anestesi,
pembedahan atau prosedur lain. Tujuannya adalah untuk menjamin agar pasien berada dalam
keadaan optimal untuk anestesia dan pembedahan.
1.1. Prinsip umum
1.1.1. Evaluasi pra anestesia hendaknya dilakukan oleh Neuro Anestesi yang
memberikan obat anestetik.
1.1.2. Agar supaya terapi atau pemeriksaan yang diperlukan dapat dilaksanakan,
hendaknya diberikan waktu yang cukup untuk evaluasi tersebut.
1.1.3. Meskipun evaluasi dini tidak selalu dapat dilakukan (misalnya pembedaan
darurat), tetapi penilaian diperlukan sebelum memulai anesthesia dan
pembedahan.
99
1.2. Evaluasi Pra Anestesia hendaknya mencakup :
1.1.1. Identifikasi pasien.
1.1.2. Pemastian sifat prosedur yang akan dilaksanakan.
1.1.3. Riwayat medis dan pemeriksaan klinis pasien yang mencakup pemeriksaan
pengobatan sekarang dan hasil pemeriksaan khusus.
1.1.4. Pengaturan terapi dan pemeriksaan lebih lanjut.
1.1.5. Konsultasi dengan dokter spesialis lain.
1.1.6. Memberikan penjelasan tentang anetesia agar supaya pasien merasa
senang dan puas.
1.1.7. Memberikan instruksi premedikasi bila dianggap perlu.

2. Penatalaksanaan Anestesia
2.1. Prinsip umum
2.1.1. Setiap anestesia harus dilaksanakan dan menjadi tanggung jawab Neuroanestesi.
2.1.2. Pasien yang di anestesia oleh bukan Neuroanestesi menjadi tanggung jawab
Neuroanestesi yang bertugas.
2.1.3. Neuroanestesi yang bertanggung jawab harus berada dalam satu atap
dilingkungan rumah sakit / tempat pelayanan anestesia dan dapat segera hadir di
tempat dilakukan anestesia setiap saat.
2.1.4. Pada saat yang sama seorang Neuroanestesi hendaknya membatasi diri
bertanggung jawab atas maksimal tiga anestesia.
2.1.5. Semua pasien akan dipantau sesuai dengan standar pemantauan dasar intra
operatif.
2.2. Keamanan pasien selama anestesia
2.1.1. Mesin anestesia harus diperiksa, diuji dan dipastikan berfungsi.
2.1.2. Bila digunakan elektrokauter, elektrokoagulator atau peralatan listrik lain yang
menimbulkan bunga api selama prosedur tindakan, maka hanya zat yang tidak
bisa terbakarlah yang boleh dipakai untuk anestesia atau persiapan lapangan
operasi prabedah.
2.1.3. Bila digunakan zat yang mudah terbakar, harus diperhatikan hal-hal berikut :
a. Lantai bersifat konduktif.
b. Semua peralatan dan perabot di kamar operasi hendaknya dibumikan
(“grounding”) dengan baik.
c. Semua orang yang masuk kamar operasi harus mengenakan alas kaki
konduktif.
d. Pakaian luar tidak boleh terbuat dan sutera, wol, nilon atau bahan sintetik lain.
Selimut wol tidak boleh berada di dalam kamar operasi.
2.1.4. Laringoskop pipa jalan nafas, kantong nafas, sungkup muka, pipa trakea dan
semua alat anestesia yang berhubungan langsung dengan pasien hendaknya dicuci
dan disuci hamakan sesudah setiap prosedur.
2.3 Bantuan tenaga
2.3.1 Untuk pelaksanaan Neuroanestesia yang efisien dan aman diperlukan bantuan
tenaga.
100
2.3.2 Kehadiran tenaga bantuan diperlukan selama persiapan, induksi anestesia,
rumatan anesthesia, pengakhiran anestesi dan sampai dianganggap tidak
diperlukan lagi.
2.3.3 Tenaga bantuan harus cukup berkualifikasi dalam tata kelola Airway, Breathing,
Circulating dan kehadiran sepanjang waktu pelayanan Neuroanestesi yang
dilakukan.

3. Penatalaksanaan Penderita Pulih Anestesia


3.1. Setelah pengakhiran Neuro anestesi pasien dievaluasi untuk penatalaksanaan pasca
anestesia.
3.2. Pasien dikirim ke kamar pulih untuk pemantauan semua parameter fisiologis yang
diperlukan dan dilakukan oleh tenaga yang terlatih.
3.3. Keputusan mengenai penatalaksanaan pasien dan evaluasi kondisinya untuk keluar dari
kamar pulih dibuat oleh dokter yang bertugas.
3.4. Keputusan mengenai penatalaksanaan pasien dan evaluasi kondisinya untuk dipindah
diperawatan di Ruang Neuro Critical Care dibuat oleh dokter yang bertugas.
3.5. Sebelum dipindahkan keruang perawatan, pasien sebaiknya sudah sadar kembali dan
dalam keadaan stabil.

4. Standard Pemantauan Dasar Intra Operatif.


Standard ini berlaku untuk setiap pemberian Neuroanesthesia yang dilakukan di dalam
ruangan yang telah disediakan untuk itu, dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas
penatalaksanaan pasien, “Patient Safety”, meskipun demikian standar ini tidak menjamin
hasil akhir keadaan pasien.
Dalam keadaan darurat, bantuan kehidupan (life support) lebih diutamakan. Demikian
juga dalam keadaan tertentu beberapa cara pemantauan dalam standar ini mungkin secara
klinis tidak praktis, diabaikan dan mungkin juga gagal di dalam menemukan perubahan
perubahan klinis yang tidak menguntungkan. Standard ini bisa dilampaui bergantung pada
pertimbangan dan tanggung jawab pelaku anestesi, serta dapat diubah dari waktu ke waktu
sesuai dengan perkembangan teknologi dan praktek anestesia/analgesia.
STANDARD I
Tenaga Neuroanestesia yang berkualifikasi harus berada di dalam kamar bedah selama
pemberian anesthesia.

Tujuan
Oleh karena keadaan pasien selama anestesia dapat berubah dengan cepat, maka tenaga
anestesia yang berkualifikasi harus ada untuk memantau pasien dan memberikan pelayanan
anestesia.
Pada keadaan di mana terdapat bahaya langsung terhadap tenaga anestesia (mis : radiasi),
dan pasien perlu diawasi dari jarak jauh, maka beberapa cara pemantauan tertentu tetap harus
dilakukan.
Adanya keadaan darurat di tempat lain yang memerlukan kehadiran Neuroanestesi yang
bertanggung jawab, keputusan untuk meninggalkan pasien didasarkan pada tingkat

101
kedaruratan tersebut, keadaan pasien yang ditinggalkan dan kualifikasi tenaga anestesia yang
ada.

STANDARD II
Selama pemberian anestesia, oksigenasi, ventilasi, sirkulasi pasien harus dievaluasi secara
teratur dan sering.

Oksigenasi
Tujuan
Untuk memastikan kadar oksigen dari sumber, dalam gas inspirasi dan di dalam darah pada
setiap pemberian anestesia.

Cara :
1. Gas inspirasi :
Selama pemberian anestesia umum dengan mesin anestesia dianjurkan agar kadar oksigen
diukur dengan oksigen analiser yang mempunyai alarm batas rendah kadar oksigen.
2. Oksigenasi darah :
Selama pemberian anestesia diperlukan penerangan yang cukup dan pasien harus dapat
dilihat dengan jelas agar dapat dilakukan penilaian terhadap warna. Disamping cara ini
dan cara kualitatif lainnya dianjurkan juga cara kuantitatif seperti oksimeter pulsa
(Saturasi Okigen).
Setiap pasien yang diberi anestesia dan mempunyai risko tinggi, harus dilakukan pemantauan
Saturasi Mix Vein/SJv02 terus menerus, dianjurkan disertai salah satu cara pemantauan
dibawah ini :
a. Vena Central
b. ET CO2 (Capnograph).
c. Blood Gas Analysis (Astruff)

Ventilasi
Tujuan
Untuk memastikan ventilasi pasien yang cukup selama pemberian anestesia/analgesia.
Cara :
1. Setiap pasien yang diberi anestesia umum, ventilasi harus dievaluasi secara teratur
dan sering. Secara kualitatif dapat dilakukan misalnya dengan mengawasi gerak naik turun
dada, gerak kembang kempis kantong reservoar atau auskultasi bunyi pernafasan. Di
samping secara kualitatif dianjurkan cara kuantitatif misalnya dengan mengukur
kandungan CO2 dan atau volume gas ekspirasi.
2. Jika dilakukan intubasi, posisi pipa trakeal yang tepat di dalam trakea harus
dipastikan. Penilaian secara klinis adalah esensial, sedangkan pemantauan CO2 tidal akhir
dianjurkan.
3. Jika ventilasi diatur dengan ventilator mekanis, dianjurkan terdapat alat yang mampu
untuk menunjukkan putus hubungan dan komponen komponen sistem pernapasan. Alat

102
tersebut harus mampu mengeluarkan tanda yang dapat didengar jika nilai ambang alarm
terlewati.
4. Selama analgesia regional anestesia dari pelayanan anestesiologi lainnya yang
memerlukan monitoring pemantauan, ventilasi yang cukup harus dievaluasi setidak
tidaknya dengan cara klinis kualitatif secara teratur dan sering.

Sirkulasi
Tujuan :
Untuk memastikan fungsi sirkulasi pasien yang cukup selama anestesia dan analgesia.
Cara :
1. Setiap pasien yang diberi anestesia / analgesia harus diukur tekanan darah, TAR, laju
jantung secara teratur dan sering.
2. Setiap pasien yang diberi anestesia / analgesia harus diukur keseimbangan cairan, produksi
urin (Douer Cathether) secara teratur dan sering.
3. Setiap pasien yang diberi anestesia dan mempunyai risko tinggi, harus dilakukan
pemantauan EKG terus menerus. dan dianjurkan disertai salah satu cara pemantauan
dibawah ini :
• Vena Central
• Nerve Stimulator.
• Tekanan darah invasif,
• Puls Oksimeter (Saturasi Oksigen),
• ET CO2 (Capnograph) plastismografi.
• Blood Gas Analysis. Elektrolit Plasma dan Urin.

Suhu tubuh
Tujuan
Untuk membantu mempertahankan suhu tubuh selama pemberian anestesi/analgesi.

Cara :
Harus tersedia alat untuk mengukur suhu tubuh setiap saat. Jika diduga, dicurigai
diperkirakan
ada terjadi perubahan suhu tubuh, maka suhu tubuh harus diukur.

5. Perawatan Neuro Critical Care / Intensive Care Unit


Neuro Critical Care adalah suatu tempat atau unit tersendiri di dalam rumah sakit yang
mampu memberikan pelayanan 24 jam, memiliki staf khusus (dokter, perawat terlatih atau
berpengalaman dalamneuro Critical Care) dan peralatan khusus (untuk pemantauan, alat
untuk menopang fungsi vital, alat untuk prosedur diagnostic) yang ditujukan untuk
menanggulangi pasien gawat, trauma berat, kritis, komplikasi-komplikasi ataupun kasus post
operasi yang memerlukan penanganan lanjut.
Neuroanestesi hendaknya memiliki kemampuan minimal sebagai berikut :
 Terapi oksigen
 Resusitasi jantung paru

103
 Pemanatauan EKG terus menerus
 Pemberian nutrisi enteral dan parentral.
 Pengelolaan jalan napas, termasuk intubasi trakea
 Pemasangan alat pacu jantung dalam keadaan gawat
 Pemakaian pompa infus atau semprit untuk terapi secara tetrasi
 Pemeriksaan laboratorium khusus dengan cepat dan menyeluruh
 Kemampuan melakukan Brain Resusitasi ataupun Brain Protection.
 Pengaturan dan penggunaan ventilasi mekanik untuk Support ventilasi.
 Memiliki kemampuan penilaian untuk penderita masuk - keluar serta rujukan.
 Penentuan pemeriksaan khusus yang diperlukan dengan cepat dan menyeluruh
 Memberi support fungsi vital dengan alat-alat portable selama transportasi pasien gawat.

Daftar Pustaka
1. Permenkes RI No. 519/Menkes/PER/III/2011; Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan
Anestesilogi dan Neuro Critical Care di Rumah Sakit. Menkes RI, 3 Maret 2011
2. Bisri. T; Pengelolan Anestesi untuk Pasien dengan Tumor Supratentorial. In Anestesia &
Critical Care, 2003; 21;1;61-71.
3. Bisri, T. Craniotomy for Supratentorial Tumor. In Asean Symposium on Neuro
Anaesthesia. Bandung. Indonesia : 1997.
4. Brain Trauma Foundation; Guidelines for the Management of Severe Traumatic Brain
Injury. 3rd ed. 2007; S7-77.
5. Kass IS, Cottrel JE. Pathophysiology of brain injury. In: Cottrel JE. Smith DS. eds.
Anesthesia and Neurosurgery, 4th ed, St. Louis: Mosby; 2001, 3 : 69-82.

BAB. IV. NEURO CRITICAL CARE.

Pengelolaan Neuro Critical Care.


Batasan dan Uraian
Dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, peningkatan mutu kualitas
layanan merupakan salah satu aspek yang sangat penting dirumah sakit sebagai salah satu
penyedia pelayanan yang professional dan berkwalitas. Sejalan dengan upaya tersebut agar
dapat memberikan pelayanan prima bagi para pasiennya diperlukan pedoman pelayanan
Neuro Critical Care sebagai acuan dalam setiap tindakan yang dilakukan.
Tujuan
Memberikan acuan yang benar tentang pelayanan Neuro Critical Care.

Kebijakan:
Kognitif
1. Memahami prinsip-prinsip umum kedokteran gawat darurat dan neuro Critical Care
(Emergency and Critical Care Medicine).Resusitasi Jantung Paru Otak, meliputi Bantuan

104
Hidup Dasar (Basic Life Support), Bantuan Hidup Lanjut (Advanced Life Support) dan
Bantuan Hidup Jangka Panjang (Prolonged Life Support) pada pasien Neuro Critical Care.
2. Mampu menjelaskan indikasi masuk dan keluar perawatan pada keluarga/pasien Neuro
Critical Care.
3. Mampu menjelaskan indikasi dan pengelolaan prosedur invasif seperti pemasangan kateter
vena central, SJVO2, kateter intra-arterial, EVD, trakeostomi pada keluarga/pasien Neuro
Critical Care.
4. Mampu menjelaskan pengelolaan jalan napas dan bantuan napas dengan / tanpa ventilasi
mekanik pada keluarga/pasien Neuro Critical Care.
5. Mengenal tanda dan gejala yang mengancam nyawa pasien akibat gangguan pernapasan,
kardiovaskular, susunan saraf pusat, gangguan keseimbangan cairan, asam basa dan
elektrolit, infeksi berat, gangguan hemostasis, krisis metabolik dan endokrin, gangguan
fungsi ginjal dan hepar pada keluarga/pasien Neuro Critical Care.
6. Mampu menjelasankan pengelolaan nutrisi, sedasi, analgesia dan termoregulasi pasien
kritis.
7. Mampu menentukan mati klasis dan mati batang otak
8. Mampu menjelaskan penanganan akhir kehidupan : mengakhiri dan menunda bantuan
hidup (with-drawing dan with-holding life support).

Psikomotor
Menguasai keterampilan dalam posedur klinik, baik untuk pemantauan, diagnosis, maupun
untuk terapi:
1. Pemasangan kateter vena sentral, intra arterial. krikotirotomi.
2. Menanggulangi keadaan yang mengancam nyawa pasien akibat gangguan pernapasan,
kardiovaskular, susunan saraf pusat, gangguan keseimbangan cairan, asam basa dan
elektrolit, infeksi berat, gangguan hemostasis, krisis metabolik dan endokrin, gangguan
fungsi ginjal dan hepar.
3. Mampu mengelola nutrisi, sedasi, analgesia dan termoregulasi pasien kritis.
4. Melakukan konsultasi pada disiplin ilmu kedokteran lain pada saat yang tepat.
5. Melakukan jawaban atas konsultasi pasien-pasien dari ruang perawatan atau rumah sakit
lain yang akan dirawat di Neuro Critical Care/Rawat Intensif.
6. Melakukan komunikasi dengan sejawat dari beberapa disiplin terkait sebagai anggota
tim.
7. Melakukan bimbingan kepada peserta program atau residen lain, mahasiswa kedokteran
maupun perawat.
9. Mampu menanggulangi dan mengelola pasien bayi kasus Neuro Critical Care di ICU /
NICU
8. Mampu menanggulangi dan mengelola pasien anak kasus Neuro Critical Care di ICU /
PICU.
9. Mampu menanggulangi dan mengelola pasien tua kasus Neuro Critical Care (Geriatri)
di ICU.
10. Mampu membuat keputusan yang independen dalam menjalankan pekerjaan
profesinya berdasarkan pemikiran logis, kritis, sistematis, kreatif, dan komprehensif;

105
11. Mampu mengomunikasikan hasil kajian, kritik, apresiasi, argumen, atau inovasi yang
bermanfaat bagi pengembangan profesi, dan kemaslahatan manusia, yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan etika profesi.
12. Melakukan evaluasi secara kritis terhadap hasil kerja dan keputusan yang dibuat dalam
melaksanakan pekerjaan profesinya baik oleh dirinya sendiri, sejawat, atau sistem
institusinya,
13. Meningkatkan keahlian keprofesiannya dan mutu sumber daya pada bidang
anestesiologi dan neuro Critical Care yang khusus melalui pelatihan dan pengalaman
kerja dengan mempertimbangkan kemutakhiran bidang anestesiologi dan Neuro Critical
Care di tingkat nasional, regional, dan internasional;
14. Memimpin suatu tim kerja untuk memecahkan masalah baik pada bidang anestesiologi
dan Neuro Critical Care, maupun masalah yang lebih luas dari bidangnya serta bisa
bekerja sama dengan profesi lain yang sebidang maupun yang tidak sebidang dalam
menyelesaikan masalah pekerjaan yang kompleks yang terkait dengan bidang
anestesiologi dan neuro Critical Care;
15. Mengembangkan dan memelihara jaringan kerja dengan masyarakat profesi
kedokteran dan kliennya dan bertanggungjawab atas pekerjaan di bidang profesi
anestesiologi dan Neuro Critical Care sesuai dengan kode etik kedokteran Indonesia;
16. Mampu berkontribusi dalam evaluasi atau pengembangan kebijakan nasional dalam
rangka peningkatan mutu pendidikan anestesiologi dan Neuro Critical Care atau
pengembangan kebijakan nasional pada bidang kesehatan;
17. Mendokumentasikan, menyimpan, mengaudit, mengamankan, dan menemukan
kembali data serta informasi untuk keperluan pengembangan hasil kerja profesinya.

Kepustakaan:
1. Permenkes RI No. 519/Menkes/PER/III/2011; Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan
Anestesilogi dan Neuro Critical Care di Rumah Sakit. Menkes RI, 3 Maret 2011
2. Republik Indonesia; Undang-undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
(Lembar Negara RI Tahun 2004 nomor 116), Jakarta 2004
3. Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan

106
107

Anda mungkin juga menyukai