PPK Anestesi 02
PPK Anestesi 02
KEDOKTERAN
[PPK] ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
Hal
Pendahuluan ..…………………………………………………………………............. 2
Anestesi umum inhalasi dengan sungkup muka ............................................................ 3
Anestesi umum inhalasi dengan intubasi endotrakheal ................................................. 5
Anestesi umum dengan total intravena .......................................................................... 7
Anestesi regional dengan subarachnoid block ............................................................... 9
Anestesi regional dengan epidural block ……………….………………..................... 11
Anestesi kombinasi: anestesi umum dengan inhalasi dan anestesi regional dengan
epidural………………………………………………………………………………....... 14
Anestesi regional dengan blok interskalenus …..……................................................... 17
Anestesi umum pada bedah sesar ................................................................................. 19
Anestesi regional pada bedah sesar ............................................................................... 24
Anestesi umum pada operasi tonsilektomi pada pasien anak ........................................... 29
Anestesi umum pada operasi appendicitis akut tanpa penyulit pada pasien anak ……… 32
Anestesi umum pada operasi bibir sumbing elektif tanpa penyulit pada pasien anak 35
Nyeri kanker ...................................................................................................................... 38
Nyeri pasca bedah ............................................................................................................. 40
Prosedur sedasi sedang – berat .......................................................................................... 43
Gagal napas akut ............................................................................................................... 47
Gangguan elektrolit ........................................................................................................... 50
Eklampsia dan preeklamsia berat ...................................................................................... 57
Diabetes ketoasidosis ........................................................................................................ 60
Syok hipovolemik ............................................................................................................. 62
Stroke hemorragik ............................................................................................................. 64
Sepsis berat dan syok septic .............................................................................................. 77
Acute respiratory distress syndrome ................................................................................. 84
Acute Kidney Injury .......................................................................................................... 91
Cedera Kepala Berat ......................................................................................................... 99
Neuro anestesi dan critical care ........................................................................................ 102
1
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran
khususnya anestesiologi dan terapi intensif menjadi dasar diperlukannya pedoman atau acuan
kerja yang berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan profesional.
Acuan kerja ini dapat menjadi pedoman nasional dalam memberikan pelayanan kepada
pasien di rumah sakit.
Permenkes No. 1438/IX/2010 yang mengamanatkan kepada Organisasi Profesi Dokter
Spesialis untuk membuat Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran yang akan ditetapkan
oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia menjadi acuan setiap institusi pelayanan
kesehatan (Rumah Sakit/Rumah Sakit Khusus/Klinik dan lain-lain) dalam membuat Standar
Pelayanan Operasional atau Pedoman Pelayanan Klinis di setiap institusinya.
Untuk mendukung pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Balimed Karangasem khususnya
pelayanan dibidang anestesi dan terapi intensif maka disusun suatu pedoman
pelayanankesehatan yang mengacu pada pedoman nasional pelayanan kedokteran
anestesiologi dan terapi intensif PERDATIN.
2. Tujuan
Pedoman Pelayanan Kedokteran Anestesiologi dan Terapi Intensif adalah standar
prosedur operasional pelayanan anestesiologi dan terapi intensif seorang spesialis
Anestesiologi dalam kegiatan pelayanan yang berkualitas, optimal dan profesional.
2
ANESTESI UMUM DENGAN SUNGKUP MUKA
Persiapan : 1. Pasien :
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan
anestesi umum dengan inhalasi via face mask.
- Ijin persetujuan tindakan anestesi umum dengan
inhalasi via face mask.
- Puasa.
- Medikasi sesuai resiko anestesi.
- Premedikasi pra anestesi.
- Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
2. Alat:
- Sulfast Atropin 0,25 mg (2 ampul)
- Lidokain 2 % (3 ampul)
- Efedrin 50 mg (1 ampul)
- Midazolam 5 mg (2 ampul)
- Pethidin 100 mg/fentanyl 100µg (2 ampul)
- Propofol 200 mg (1 ampul)
- Sungkup muka
- Laringoskop 1 buah
- Set Suction 1 buah
- Oksigen
- Mesin anestesi
- Isofulran/Sevofluran/Halotan (1 botol)
3. Dokter :
- Visite perioperatif.
- penentuan klasifikasi ASA PS.
- Check list kesiapan anestesi.
3
Prosedur Tindakan : 1. Premedikasi menggunakan midazolam 2mg, fentanyl
1µg/kg dan lidokain 1% 1 mg/kg.
2. Induksi menggunakan propofol 1,5 mg/kg.
3. Maintanance anestesi menggunakan anestesi inhalasi
isofluran/sevofluran/halotan 0,5-1,5 vol% via face mask,
analgetik berupa fentany 1µg/kg jika perlu.
4
ANESTESI UMUM DENGAN INTUBASI ENDOTRAKHEAL
Persiapan : 1. Pasien :
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan
anestesi umum dengan intubasi endotrakheal.
- Ijin persetujuan tindakan anestesi umum dengan
intubasi endotrakheal.
- Puasa.
- Medikasi sesuai resiko anestesi.
- Premedikasi pra anestesi.
- Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
2. Alat:
- Sulfast Atropin 0,25 mg (2 ampul)
- Lidokain 2 % (3 ampul)
- Efedrin 50 mg (1 ampul)
- Midazolam 5 mg (2 ampul)
- Fentanyl 100µg atau Pethidin 100mg(2 ampul)
- Propofol 200 mg (1 ampul)
- Atracurium 50 mg (1 ampul).
- Laringoskop 1 buah
- Sungkup muka
- Set Suction 1 buah
- Pipa endotrakheal 1 buah
- Selotip 1 buah
- Oksigen
- Mesin anestesi
5
- Isofulran/Sevofluran/Halotan (1 botol)
3. Dokter :
- Visite perioperatif.
- penentuan klasifikasi ASA PS.
- Check list kesiapan anestesi.
6
ANESTESI UMUM DENGAN TOTAL INTRAVENA
Persiapan : 1. Pasien :
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan
anestesi umum dengan total intravena.
- Ijin persetujuan tindakan anestesi umum dengan total
intravena.
- Puasa.
- Medikasi sesuai resiko anestesi.
- Premedikasi pra anestesi.
- Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
2. Alat:
- Sulfast Atropin 0,25 mg (2 ampul)
- Lidokain 2 % (3 ampul)
- Efedrin 50 mg (1 ampul)
- Midazolam 5 mg (2 ampul)
- Fentanyl 100µg (2 ampul)
- Propofol 200 mg (1 ampul)
- Kanula oksigen
- Laringoskop 1 buah
- Set Suction 1 buah
- Oksigen
- Mesin anestesi
3. Dokter :
- Visite perioperatif.
- penentuan klasifikasi ASA PS.
- Check list kesiapan anestesi.
7
Prosedur Tindakan: 1. Premedikasi menggunakan midazolam 2mg, fentanyl
1µg/kg dan lidokain 1% 1mg/kg.
2. Induksi menggunakan propofol 1,5 mg/kg.
3. Maintanance anestesi menggunakan oksigen via nasal
kanul 2 lt/mnt, obat induksi propofol 1 mg/kg/15 mnt
diberikan secara intermitten, analgetik berupa fentanyl
1µg/kg.
8
Definisi : Tindakan anestesi dengan menggunakan obat anestesi lokal
yang disuntikkan ke ruang sub arachnoid.
Persiapan : 1. Pasien :
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan
spinal anestesi.
- Ijin persetujuan tindakan spinal anestesi.an
- Puasa.
- Medikasi sesuai resiko anestesi.
- Premedikasi pra anestesi.
- Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
2. Alat:
- Kelengkapan jarum spinal 25/26/27 G (1 buah).
- Lidokain 2% (1 ampul).
- Bupivacain 0,5% (1 ampul).
- Dispo 5 cc(1 buah)
- Dispo 3 cc(1 buah)
- Kassa steril (5 lembar)
- Doeck steril (1 buah)
- Betadine (10cc)
- Efedrine (1 ampul)
- Midazolam (1 ampul)
- Sulfast atropin 0,25 mg (2 ampul)
- Oksigen
- Kanula oksigen
- Mesin anestesi.
3. Dokter :
- Visite perioperatif.
- penentuan klasifikasi ASA PS.
- Check list kesiapan anestesi.
- Pengelolaan nyeri pasca bedah.
Persiapan : 1. Pasien :
- Mendapat penjelasan mengenai tindakan yang akan
dilakukan dan resiko yang dapat terjadi.
- Puasa.
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan
spinal anestesi.
- Ijin persetujuan tindakan spinal anestesi.an
- Puasa.
- Medikasi sesuai resiko anestesi.
- Premedikasi pra anestesi.
- Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
2. Alat:
- Epidural set (1 buah).
- Hipafix sebagai fiksassi kateter peidural
- Lidokain 2% (10 ampul).
- Epinefrin 1:1000 (1 ampul).
- Bupivacain 0,5% 20cc isobarik (1 vial).
- Dispo 1 cc (1 buah)
- Dispo 5 cc(1 buah)
- Dispo 3 cc(1 buah)
- Dispo 10 cc (1 buah)
- Kassa steril (10 lembar)
- Doeck steril (1 buah)
- Betadine (10cc)
- Efedrine (1 ampul)
- Midazolam (1 ampul)
- Sulfast atropin 0,25 mg (2 ampul)
- Oksigen
- Kanula oksigen
3. Dokter :
- Visite perioperatif.
- Perencanaan kesiapan anestesi dan pasca bedah.
12
13
KOMBINASI ANESTESI UMUM DENGAN INHALASI DAN ANESTESI
REGIONAL DENGAN EPIDURAL
Persiapan : 1. Pasien :
- Mendapat penjelasan mengenai tindakan yang akan
dilakukan dan resiko yang dapat terjadi.
- Puasa.
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan
Kombinasi baik General anestesia dan Epidural
anestesi.
- Ijin persetujuan tindakan CEGA anestesi
- Puasa.
- Medikasi sesuai resiko anestesi.
- Premedikasi pra anestesi.
- Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
2. Alat dan Bahan:
- Sulfast Atropin 0,25 mg (2 ampul)
- Lidokain 2 % (3 ampul)
- Efedrin 50 mg (1 ampul)
14
- Midazolam 5 mg (2 ampul)
- Fentanyl 100µg atau Pethidin 100mg(2 ampul)
- Propofol 200 mg (1 ampul)
- Atracurium 50 mg (1 ampul).
- Laringoskop 1 buah
- Sungkup muka
- Set Suction 1 buah
- Pipa endotrakheal 1 buah
- Selotip 1 buah
- Oksigen
- Mesin anestesi
- Isofulran/Sevofluran/Halotan (1 botol)
- Epidural set (1 buah).
- Hipafix sebagai fiksassi kateter peidural
- Lidokain 2% (10 ampul).
- Epinefrin 1:1000 (1 ampul).
- Bupivacain 0,5% 20cc isobarik (1 vial).
- Dispo 1 cc (1 buah)
- Dispo 5 cc(1 buah)
- Dispo 3 cc(1 buah)
- Dispo 10 cc (1 buah)
- Kassa steril (10 lembar)
- Doeck steril (1 buah)
- Betadine (10cc)
- Oksigen
3. Dokter :
- Visite perioperatif.
- Perencanaan kesiapan anestesi dan pasca bedah.
15
penyuntikan anestesi lokal lidokain 2% di tempat
insersi.
7. Insersi jarum epidural ditempat yang telah ditandai
dengan teknik ‘Loss Of Resistance’ atau ‘Hanging
Drop’.
8. Tarik penuntun pada jarum touchy dan pastikan LCS
tidak keluar.
9. Insersikan kateter epidural menuju ruang epidural
melalui jarum touchy.
10. Diberikan anestesi lokal berupa lidokain 2% 60
mg+epinefrin 1:200.000 sebagi dosis test untuk
mengetahui kemungkinan masuknya obat anestesi lokal
ke intravena maupun ruang sub arachnoid.
11. Fiksasi kateter epidural.
12. Premedikasi menggunakan midazolam 2mg, fentanyl
1µg/kg atau Pethidin 1 mg/kg dan lidokain 1,5 mg/kg.
13. Induksi menggunakan propofol 1,5 mg/kg.
14. Preoksigenasi dengan oksigen 4-6 lt/mnt.
15. Lumpuhkan pasien dengan pelumpuh otot atracurium
0,5 mg/kg.
16. Laringoskopi dan insersi pipa endotrakheal.
17. Check ketepatan insersi pipa endotrakheal, kesamaan
bunyi nafas kemudian fiksasi pipa endotrakheal.
18. Maintanance anestesi menggunakan oksigen 4lt/mnt,
anestesi inhalasi isofluran/sevofluran/halotan sebanyak
0,5-1,5 vol%, analgetik berupa fentanyl 1µg/Kg/jam
dan pelumpuh otot Atracurium 0,1 mg/kg/30 menit.
19. Ekstubasi jika nafas spontan adekuat.
16
Definisi : Tindakan anestesi yang menginjeksikan obat lokal anestesi
dengan bantuan nerve stimulator untuk memblok inervasi
pada pleksus brachialis
Persiapan : 1. Pasien :
- Mendapat penjelasan mengenai tindakan yang akan
dilakukan dan resiko yang dapat terjadi.
- Puasa.
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan
Interskalenus blok anestesi.
- Ijin persetujuan tindakan spinal anestesi.
- Medikasi sesuai resiko anestesi.
- Premedikasi pra anestesi.
- Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
2. Alat:
- Nerve Stimulator (1 buah).
- Stimuplex 100 ( 1 buah )
- USG Doppler ( 1 buah )
- Hipafix sebagai fiksassi kateter peidural
- Lidokain 1% (30-40ml).
- Epinefrin 1:1000 (1 ampul).
- Bupivacain 0,5% 20cc isobarik (1 vial).
- Dispo 1 cc (1 buah)
- Dispo 5 cc(1 buah)
- Dispo 3 cc(1 buah)
- Dispo 10 cc (1 buah)
- Kassa steril (10 lembar)
- Doeck steril (1 buah)
- Betadine (10cc)
- Alkohol 70%
- Efedrine (1 ampul)
- Midazolam (1 ampul)
17
- Sulfast atropin 0,25 mg (2 ampul)
- Oksigen
- Kanula oksigen
3. Dokter :
- Visite perioperatif.
- Perencanaan kesiapan anestesi dan pasca bedah.
18
ANESTESI UMUM PADA BEDAH SESAR
A. Definisi
Caesarean berasal dari bahasa latin “caedere” yang artinya “memotong”. Teknik
ini digunakan pertama kali pada zaman romawi tahun 700 SM untuk mengeluarkan bayi
dari seorang wanita hamil aterm meninggal pada saat persalinan. Dan pasien hidup
pertama yang berhasil dilakukan sectio caesarea diperkenalkan pada tahun 1610 dimana
keselamatan dan kondisi optimal dari pasien merupakan fokus utama pada tindakan
bedah tersebut. Keselamatan dari ibu, janin dan bayi harus selalu dipastikan dan ini
memberikan hal yang baru pada dunia anestesia untuk melakuakan pembiusan sectio
caesarea. Anestesi umum dan regional telah digunakan untuk membantu persalinan
secara sectio caesarea.1
Anestesi umum pada sectio caeasarea merupakan teknik yang pertama kali
dikembangkan dan selalu dipertimbangkan pada beberapa kondisi pasien seperti pada
hipovolemia maternal, koagulopati, infeksi pada tempat penyuntikan, peningkatan
tekanan intra kranial dan pasien-pasien yang menolak untuk dilakukan anestesi regional.2
Keuntungan anestesi umum adalah induksinya cepat, mudah dikendalikan,
kegagalan anestesi tidak ada, dapat menghindari terjadinya hipotensi. Kerugiannya
adalah kemungkinan adanya aspirasi, masalah pengelolaan jalan nafas, bayi terkena obat-
obat narkotik.1
B. Indikasi 2,3
Anestesia regional merupakan teknik yang paling sering dilakukan oleh seorang
anestesiologi untuk memfasilitasi anestesia pada sectio caesarea. Indikasi dilakukannya
anestesi umum pada sectio caesarea adalah bila terdapat beberapa kondisi seperti pasien
menolak untuk dilakukan anestesi regional, gagal dalam melakukan anestesi regional
ataupun terdapat kontraindikasi dilakukannya anestesi regional seperti :
1. Koagulopati atau trombositopenia
2. Peningkatan tekanan intra kranial
3. Sepsis
4. Infeksi pada tempat penyuntikan anestesi regional
5. Multiple sclerosis
6. Syok hipovolemik
Teknik Anestesi5,7
1. Pasien dalam posisi supinedengan dengan bantalan pada pinggul kanan untuk
memposisikan rahim ke sebelah kiri (left uterine displacement)
2. Denitrogenisasi dengan menggunakan oksigen 100%, 3-5 menit
3. Persiapkan pasien, asepsis antisepsis dan dibungkus dengan kain pembedahan steril
4. Saat dokter bedah sudah siap, pemberian analgetik opioid short acting untuk
menumpulkan respons simpatis pada saat intubasi dapat diberikan, teknik rapid
20
sequence induction dengan penekanan cricoid (Sellick's maneuver) dapat dilakukan
menggunakan propofol 2mg/kg atau ketamine 1-2 mg/kg, danpelumpuh otot
succinylcholine 1.5mg/kg atau rocuronium 0.9-1.2mg/kg
5. Pembedahan dimulai setelah ETT dikonfirmasi berada pada tempat yang tepat.
Hiperventilasi yang berlebihan harus dihindari (PaCo2 <25 mmHg) karena dapat
menurunkan aliran darah uterus dan berhubungan dengan asidosis fetus
6. 50 % N2O dalam oksigen dengan 0.75 MAC dari gas anestesi (sevoflurane 1%,
isofluurane 0.75% atau desflurane 3%) digunakan untuk pemeliharaan anestesi. Dosis
rendah anestesi inhalasi membantu memberikan efek amnesia akan tetapi tidak cukup
kuat untuk menyebabkan uterus relaksasi atau mencegah uterus kontraksi akibat
pemberian oksitosin. Pelumpuh otot durasi menengah (atracurium, cisatracurium atau
rocuronium) dapat diberikan akan tetapi durasi pelumpuh otot tersebut mungkin akan
memanjang pada pasien yang menerima magnesium sulfat
7. Setelah bayi dan placenta lahir, 20-80 unit oksitosin harus segera diberikan dalam 1
liter cairan infusan pertama dan 20 unit lagi pada cairan infus berikutnya.
Penambahan propofol, opioid atau benzodiazepine dapat diberikan untuk memastikan
pasien dalam keadaan amnesia
8. Bila uterus tidak berkontraksi dengan baik, maka opioid harus segera diberikan dan
anestesi inhalasi golongan halogen harus segera dihentika. Methylergonovine
(Methergin) 0.2 mg IM atau dalam 100 ml NaCl infus lambat harus seger diberikan
akan tetapi dapat meningkatkan tekanan darah arteri. Methylprostaglandin F2, 0.25
mg IM juga dapat diberikan.
9. Dapat digunakan oral gastric tube untuk mengurangi kemungkinan terjadinya aspirasi
paru dalam keadaan gawat darurat.
10. Pada akhir pembedahan, pelumpuh otot harus secara total di-reverse, gastric tube
dilepas, dan pasien diekstubasi saat sadar untuk mengurangi risiko aspirasi.
Bila terdapat kemungkinan kesulitan jalan nafas, penggunaan video assisted
laryngoscopy (glidescope) dapat mengurangi insiden kegagalan intubasi. Walaupun
demikian kita harus memiliki strategi untuk mengatasi kegagalan intubasi endotrakheal.
Bila tidak terdapat gawat janin maka pasien harus dibangunkan. terjadi gawat janin. Pada
pasien dengan gawat janin, jika ventilasi spontan atau ventilasi tekanan positif (dengan
sungkup atau LMA) dengan tekanan krikoid memungkinkan, percobaan untuk
melahirkan janin dapat dilakukan. Dalam hal ini, agen volatil poten dengan oksigen
diberikan untuk anestesi, tapi saat janin dilahirkan, dapat ditambahkan NO2 untuk
mengurangi konsentrasi agen volatil; sevofluran merupakan agen volatil terbaik karena
mempunyai efek depresi pernafasan paling sedikit. Jika ventilasi ke pasien tidak dapat
diberikan, butuh dilakukan krikotirotomi atau trakeostomi secepatnya6.
21
Gambar 1. Algoritma sulit intubasi pada pasien obstetrik (sumber : Frolich MA, Butterworth JF, Mackey
DC, Wasick JD. Morgan and Mikhail’s Clinical Anesthesiology 5th ed. Obstetric Anesthesia . New York :
Lange Medical Books/McGraw Hill Educaion; 2013.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Keleş E, Yazgan H, Gebeşçe A, Pakır E. Clinical Study : The Type of Anesthesia Used
during Cesarean Section is Related to the Transient Tachypnea of the Newborn. ISRN
Pediatrics Volume 2013. April 7th, 2013. Downloaded from
http://www.hindawi.com/journals/isrn.pediatrics/2013/264340/. Accessed April 12th,
2014.
2. McGlennan Alan, Mustafa Adnan. General Anaesthesia for Caesarean Section.
Continuing Education Critical Care & Pain Volume 9, 2009. Downloaded from
http://ceaccp.oxfordjournals.org/content/9/5/148.full.pdf. Accesed April 12th, 2014.
3. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed. Philadelphia :
Lippincott Williams & Wilkins; 2006.
4. Martin TC, Bell P, Ogunbiyi O. Comparison of General Anaesthesia and Spinal
Anaesthesia for Caesarean Section in Antigua and Barbuda. West Indian med.
j. vol.56 no.4 Mona Sept. 2007 [serial online]. Downloaded from
http://caribbean.scielo.org/scielo.php?
pid=S004331442007000400004&script=sci_arttext. Accessed April 12th, 2014.
5. Frolich MA, Butterworth JF, Mackey DC, Wasick JD. Morgan and Mikhail’s Clinical
Anesthesiology 5th ed. Obstetric Anesthesia . New York :Lange Medical Books/McGraw
Hill Educaion; 2013.
6. Frolich MA, Butterworth JF, Mackey DC, Wasick JD. Morgan and Mikhail’s Clinical
Anesthesiology 5th ed. Maternal & Fetal Physiology & Anesthesia. New York : Lange
Medical Books/McGraw Hill Educaion; 2013.
7. Joseph A, Mushambi M. Principles of General Anaesthesia for Caesarean Section.
Updated January 2010. Downloaded from http://www.oaa-
anaes.ac.uk/assets/_managed/editor/File/Guidelines/GA
%20section/GA_forCS_mushambi_leicester.pdf. Accessed April 12th, 2014.
24
morfin merupakan kombinasi yang kuat. Onset yang cepat dari morfin mengurangi nyeri
visceral dan mual selama pembedahan, sedangkan onset yang lambat dari morfin (durasi
18-20 jam) memberikan efek analgesia setelah operasi. Resiko terjadinya postdural
puncture headace sama dengan pada anestesia epidural, terutama bila menggunakan
gauge 25 whitacre digunakan. Resiko toksisitas obat anestesia local cenderung rendah.
2. Anestesia Epidural atau kombinasi Anestesia Epidural-Spinal
Teknik ini diindikasikan pada Section Caesar dengan waktu operasi diperkirakan lama
(antisipasi bila waktu operasi lebih dari 90 menit). Epidural catheter dapat digunakan
untuk analgesia dalam kehamilan sampai saat menjalani section caesar. Hindari
perubahan epidural (untuk kehamilan atau dengan efek analgesia yang rendah) menjadi
spinal, tanpa pengurangan dosis spinal. Hal ini dapat menyebabkan tingginya resiko
terhadap spinal tinggi.
Fentanyl merupakan obat tambahan untuk bupivacain yang sangat tepat dalam anestesia
spinal pada ibu hamil. Dosis fentanyl 10 mcg secara segera memberikan efek yang baik
dalam blok nyeri intraoperatif dengan efek samping yang minimal. Fentanyl harus tetap
diberikan dalam anestesia spinal, walaupun telah digunakan morfin untung analgesia post
operatif.
Dosis duramorph (preserfatif morfin bebas dalam spinal) dapat dimasukkan ke dalam
regimen spinal, terutama untuk control nyeri postoperative. Penelitian menggunakan metode
double-blinded random yang membandingkan morfin intratekal 100 mcg, 200 mcg dan 3 mg
duramorph, terbukti pengurangan insiden gatal pada dosis morfin 100 mcg.
26
Regimen Spinal pada Section Caesar
Bupivacain spinal: 10 mg (1.3 cc) sampai 12 mg (1,6 cc) atau lidocaine spinal 60 mg (4 cc).
Fentanyl: 10 mcg (0,2 cc)
Duramorph: 100 mcg sampai 200 mcg (0,2 sampai 0,4 cc dari 5 mg duramorph 10 cc)
Bila pasien dengan ukuran tinggi kurang dari 150 cm maka dosis dapat dikurangi menjadi 9
mg (1,2 cc) dan jika pasien dengan tinggi di atas 165 dosis dapat dinaikkan menjadi 15 mg
(2cc).
Bupivacaine dengan dosis 12 mg dapat memberikan anestesia selama 90 menit sejak regimen
disuntikkan. Lidocain spinal dapat memberikan anestesia selama 45-60 menit menurut
kisaran dosis. Apabila dibutuhkan peningkatan durasi kerja obat yang lebih untuk antisipasi
operasi yang lebih lama, maka dapat dilakukan 4 pilihan:
1. Dosis bupivacaine ditingkatkan menjadi 15 mg (2 cc), dapat memberikan tambahan
waktu 15 sampai 20 menit.
2. Penambahan epinefrin 0,2 mg ke dalam regimen spinal. Dapat memberikan tambahan
waktu 15-20 menit dan meningkatkan densitas dari blok. Akan tetapi penggunaan
epinefrin menyebabkan pemanjangan blok motorik, sehingga secara tidak langsung juga
memperlama waktu pulih dari blok. Sehingga regimen ini tidak menjadi pilihan yang
tepat.
3. Hindari penggunaan spinal dan epidural bersamaan.
2. Anestesia Epidural
Persiapan untuk Anestesia Epidural
1) Bila waktu insisi telah ditetapkan, maka pasien harus telah diposisikan diatas meja
operasi 30 menit sebelumnya. Apabila diprediksi adanya kemungkinan kesulitan
dalam teknik epidural maka sebaiknya dimulai lebih awal.
2) Co-loading: Setiap pasien harus telah terpasang IV line dan dipastikan lancar.
Pemberian RL awal dianjurkanselama tindakan anestesia epidural.
3) Posisikan uterus ke lateral.
4) Obat yang dapat digunakan untuk section Caesar:
2-Chloroprocain 3%
2-Chloroprocain 3% dalam volume 20-25 mL memberikan efek anestesia yang cepat pada
operasi dan bertahan sampai 45 menit. Diperlukan penambahan dosis 10 mL ( 1,5 x dosis)
setiap 30 menit dari pemanjangan waktu operasi.
Penambahan dosis 10 mL adalah sangat penting, hal ini mengingat ketidak nyamanan pasien
akibat nyeri terjadi dengan sangat cepat. Dan sangat sulit untuk membuat pasien kembali
nyaman bila nyeri tersebut telah meningkat.
Chloroprocain 3% memiliki durasi kerja yang sangat singkat jika dibanding obat lokal
anestesia lainnya ( 23 detik pada ibu dan 45 detik pada fetus). Obat ini menjadi pilihan pada
keadaan futus asidosis (contoh; fetal distress) karena: memiliki waktu paruh yang pendek,
onset cepat, ion-trapping fetus sangat sedikit dan kekuatan blok.
Onset kerja dapat dikurangi dengan penambahan sodium bikarbonat 1 mL dan 2-
chloroprokain 3% 10 mL. 2-chloroprokain 3% bekerja sebagai antagonis μ epidural.
Penambahan fentanyl tidak memperkuat efek blok sedangkan penambahan morfin tidak
banyak dalam menambah durasi kerja (dikarenakan sifat obat). Walaupun demikian
penggunaan duramorph masih berguna dalam tatalaksana nyeri post operasi.
2-chloroprocain 3% memiliki efek penting yaitu kemampuan dalam difusi ke jaringan. Efek
ini dapat berguna pada saat blok epidural yang menggunakan lidocaine 2% hanya bekerja
sempit, walaupun dengan volume yang maksimal dan telah ditambahkan fentanyl ke dalam
regimen. 2-chloroprokain 10 mL dalat emeberikan analgesia yang cukup, tanpa perlu
merubah teknik menjadi general anestesia.
Dosis 2-chloroprokain 3% untuk epidural pada SC
2-chloroprokain 3% 20-25 mL
Sodium bikarbonat 2-3 mL
Duramorph 4 mg untuk tatalaksana nyeri post operatif
(Penambahan obat dilakukan setiap 30 menit)
30
ANESTESI UMUM PADA OPERASI APPENDICITIS AKUT TANPA PENYULIT
PADA PASIEN ANAK
31
Thorak foto bila ada indikasi
- Pasien dipuasakan
- Medikasi sesuai resiko anestesi
- Premedikasi pra anestesi
2. Alat
- Sulfast Atropin 0,25 mg (4 ampul)
- Lidocaine 2% (3 ampul)
- Efedrin 50 mg (1 ampul)
- Midozolam 5 mg (1 ampul)
- Fentanyl 100 mcg / Remifentanyl / Morphine 10 mg /
Pethidin 100mg / (2 ampul)
- Propofol 200 mg (1 ampul)
- Rocuronium 50 mg atau atracurium 50 mg (1 ampul), atau
vecuronium 10 mg (1 ampul)
- Neostigmin 0,5 mg/ml
- Paracetamol 1 g
- ETT nonkrink nomor sesuai dengan perhitungan
[(umut/4)+4], disiapkan 1 nomor dibawahnya dan 1 nomor
diatasnya.
- Suction cath sesuai dengan umur
- NG tube no sesuai dengan umur
- Transfusion set atau pediatric set
- Iv cath no disesuaikan dengan umur
- Opsite infus
- 3 way stop cock
- Isolfulrane / Sevoflurane (1 botol)
- Laringoskop 1 buah
- Oropharing 1 buah
- Sungkup muka
- Set suction 1 buah
- Selotip 1 buah
- Oksigen
- Mesin anestesi
3. Dokter:
- Visite perioperatif
- Penentuan klasifikasi PS ASA
- Check list kesiapan anestesi
Prosedur Tindakan 1. Pemasangan iv line
2. Pemasangan monitor standar berupa, Tekanan darah, EKG,
Saturasi oksigen, precordial.
3. Preoksigenasi dengan oksigen 100% selama 5 menit.
4. Fentanyl 1 mcg/kg atau Remifentanyl 1 mcg/kg dan lidocaine
1,5 mg/kg.
5. Induksi menggunakan propofol 1 – 1,5 mg/kg
6. Lumpuhkan pasien dengan pelumpuh otot rocuronium 1
mg/kg atau atracurium 0,5 mg/kg atau vecuronium 1 mg/kg
7. Laringoskopi dan insersi pipa endotracheal, meleakkan pipa
32
endotracheal ditengah bibir
8. Check ketepatan insersi pipa endotrakheal, kesamaan bunyi
nafas kemudian fiksasi pipa endotrakheal.
9. Maintenance anestesi menggunakan oksigen 4 lt/mnt, anestesi
inhalasi isofluran / sevofluran sebanyak 0,5-1,5 atau 2-4 vol
% analgetik berupa fentanyl atau remifentanyl atau morphine
atau pethidine dan pelumpuh otot rocuronium, atau
atracurium atau vecuronium dosis sesuai umur dan berat
badan.
10. Pernafasan di kontrol selama perjalanan operasi
11. Monitoring fungsi vital (Spo2, ECG, Nadi, Tekanan darah
dan suara nafas dengan precordial, memperhatikan posisi
mouthgag agar tube tidak endobronchial)
12. Injeksi perlahan reversal neostigmine (0.5 – 2 mg + SA 0.25
– 1 mg)
13. Injeksi analgetik post op
14. Ekstubasi jika nafas spontan adekuat.
33
ANESTESI UMUM PADA OPERASI BIBIR SUMBING ELEKTIF TANPA
PENYULIT PADA PASIEN ANAK
Definisi : Tindakan anestesi pada pasien anak yang menjalani operasi bibir
sumbing dengan menggunakan anestesi inhalasi yang
dihantarkan pada pasien menggunakan pipa endotrakheal tube
yang dimasukan ke dalam trakhea
Persiapan : 1.Pasien
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan anestesi
umum pada operasi bibir sumbing dengan intubasi
endotrakheal .
- Ijin pesetujuan tindakan anestesi umum pada pasien operasi
bibir sumbing dengan intubasi endotrakheal
- Pemeriksaan penunjang :
DL,FH
ECG bila ada indikasi
Thorak foto bila ada indikasi
- Pasien dipuasakan
- Medikasi sesuai resiko anestesi
- Premedikasi pra anestesi
2. Alat :
- Sulfas Atropin 0,25 mg (4 ampul)
- Lidocaine 2 %(3 ampul)
- Efidrin 50 mg ( 1 ampul)
34
- Midazolam 5 mg (1 ampul)
- Fentanyl 100mmcg/Remifentanyl/Morphine 10 mg/
Pethidin 100 mg/(2 ampul )
- Propofol 200 mg ( 1 ampul )
- Rocuronium 50 mg atau atracurium 50 mg ( 1ampul ) ,atau
vecuronium 10 mg )1 ampul )
- Neostigmin 0,5 mg/ml
- Paracetamol 1 g
- ETT nonkink atau RAE nomor sesuai dengan perhitungan
(umur/4)+4 ) ,disiapkan 1 nomor dibawah nya dan 1 nomor
diatasnya.
- Suction cath no sesuai dengan umur
- Transfusion set atau pediatric set
- Iv cath no disesuaikan dengan umur
- Opsite infus
- 3 way stop cock
- Isoflurance/Sevoflurance (1 boto)
- Laringgoskop 1 buah
- Oropharing 1 buah
- Sungkup muka
- Set Suction 1 buah
- Selotip 1 buah
- Oksigen
- Mesin anestesi
3. Dokter
- Visite perioperatif
- Penentuan klasifikasi PS ASA
- Check list kesiapan anestesi
Prosedur Tindakan: 9. Pemasangan IV line
10. Pasang monitor standar berupa, tekanan darah, EKG, Saturasi
oksigen, suhu, EtCO2, stetoskop precordial.
11. Pemasangan pipa nasogastric dengan nomor besar dengan
kateter berlubang, dilakukan aspirasi sebelum induksi dengan
bayi posisi miring kiri, kanan dan terlentang untuk
membersihkan volume sisa dari lambung.
12. Preoksigenasi dengan oksigen 100% selama 5 menit.
13. Atropine 0,02mg/kg IV.
14. Fentany l mcg/kg atau Remifentanyl l mcg/kg dan lidocaine
1,5 mg/kg.
15. Induksi menggunakan propofol 1 – 1,5 mg/kg
16. Lumpuhkan pasien dengan pelumpuh otot rocuronium l
mg/kg (rafid sequence intubation dengan penekanan cricoid
merupakan pilihan).
17. Awake intubasi dipertimbangkan apabila intubasi tampak
sulit.
18. Laringoskop dan insersi pipa endotrakheal.
35
19. Check ketepatan insersi pipa endotrakheal, kesamaan bunyi
nafas kemudian fiksasi pipa endotrakheal.
20. Maintenance anestesi menggunakan oksigen 4lt/mnt, anestesi
inhalasi isofluran/sevofluran sebanyak 0,5-1,5 atau 2-4 vol%,
analgetik berupa fentanyl atau remifentanyl atau morphine
0.1 - 1mg/kg atau dan pelumpuh ototnocuronium, atau
atracurium atau vecuronium.
21. Pernafasan di kontrol selama perjalanan operasi.
22. Monitoring fungsi vital (SpO2, ECG, Madi, Tekanan darah,
suhu)
23. Akhir prosedur memeriksa mukosa pylorus dengan
memberikan udara melalui ppa nasogastrik.
24. Injeksi perlahan reversal neostigmine (0,5 - 2 mg + SA 0.25 -
1 mg)
25. Injeksi analgetik post op dengan paracetamol loading dose
30-40mg/kg diikuti 15-20mg/kg BB tiap 6 jam, hindari
opioid untuk mencegah apnea operasi, infiltrasi bupivacaine
0.25% 2mg/kg BB untuk infiltrasi pada luka.
26. Ekstubasi jika nafas spontan adekuat dan sudah sadar baik.
36
NYERI KANKER
Pengertian
Nyeri kanker adalah nyeri pada pasien kanker akibat perkembangan tumornya dan terapi
yang diberikan.
Patogenesa
Nyeri kanker dapat berupa nyeri nosiseptive akibat adanya inflamasi, kerusakan jaringan dan
pelepasan mediator-mediator yang merangsang nosiseptor baik oleh tumornya maupun akibat
tindakan seperti pembedahan, radioterapi dan kemoterapi.
Nyeri neuropatik dapat juga terjadi akibat adanya kompressi pada saraf, kerusakan pada saraf
akibat infiltrasi tumor dan penyebab nyeri neuropatik lainnya.
Anamnesa
Nyeri kanker dikeluhkan oleh penderita kanker sehubungan dengan adanya perkembangan
tumor sesuai dengan organ yang terkena. Nyeri kanker dirasakan terus menerus dan biasanya
memberat pada malam hari serta memberat pada keadaan-keadaan tertentu akibat pergerakan
maupun dosis obat yang kurang ( nyeri breakthrough ).
Pemeriksaan fisis
- Penilaian intensitas nyeri dengan menggunakan skor VAS ( visual analog score ) maupun
NRS (numerical rating scale ).
- Penilaian gejala lain yang menyertai nyeri seperti adanya mual muntah pada tumor
abdomen dan lainnya.
Pemeriksaan Penunjang
Sesuai dengan organ yang mengalami keganasan dan terutama untuk melihat adanya
kompresi saraf dan peningkatan tekanan pada sturktu organ. Pemeriksaan lain untuk melihat
tingakt stadium perkembangan penyakit
Tata Laksana
Pendekatan Farmakologi
menggunakan prinsip Stepladder WHO : nyeri ringan dengan analgesik non-opioid dan
adjuvant; nyeri sedang ( NRS 4-6 ) dengan non-opioid dan opioid serta adjuvant ; dan nyeri
berat ( NRS > 7 ) dengan non-opioid dan Opioid kuat serta adjuvant.
37
Pendekatan Tindakan Intervension
- blok saraf sesuai persarafan organ : blok plexus coeliac, blok nervus splachnicus, blok
plexus hypogastricus, blok ganglion impar
- blok saraf neuraksial : episural dan intratecal analgesia
Tingkat Evidence
Teknik Assessment
Blok neurolitik plexus coeliac 2A+
Blok neurolitik nervus sphlanchnic 2B+
Blok neurolitik plexus hypogastric 2C+
Kepustakaan
- Kris C. Visser, Kees B, Michel W, et al. Evidence-Based interventional pain medicine.
Pain in Patients with Cancer. 2012;23:173-188.
- Christo PJ, Mazloomdoost D. Interventional pain treatments for cancer pain. Ann N Y
Acad Sci..2008;1138:229-328.
- Mercadante S, Intravaia G, Villari P, Ferrera P, Riina S, David F, et al. Intrathecal
treatment in cancer patients unresponsive to in mutiple trials of systemic opioids. Clin J
Pain. 2005;1:CD005178.
- Wong GY, Schroeder DR, Carns PE, et al. Effect of neurolytic celiac plexus block on pain
relief, quality of life, and survival in patients with unresectable pancreatic cancer: a
randomized controlled trial. JAMA. 2004;291:1092-1099.
38
NYERI PASCA BEDAH
Pengertian
Nyeri pasca bedah adalah nyeri pada pasien yang telah mengalami pembedahan. Nyeri dapat
terjadi segera atau beberapa jam/hari setelah pembedahan.
Patogenesa
Nyeri pasca bedah merupakan prototipe nyeri nosiseptif yang diakibatkan oleh adanaya
kerusakan jaringan dan proses inflamasi yang terjadi akibat pembedahan.
Proses sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral akan terjadi pada nyeri pasca bedah bila tidak
dilakukan penanganan nyeri secara preventif analgesia yang dimulai dari fase pre-operasi,
intra operasi dan pasca pembedahan. Pemberian analgesik dapat diberikan dengan berbagai
macam metode mulai dari pemberian analgetik intravena, analgetik neuraksial dan blok saraf
tepi.
Proses transduksi dapat dilakukan dengan pemberian analgesia NSAID dan proses modulasi
banyak dihambat dengan pemberian opioid terutama untuk pembedahan dengan
kemungkinan nyeri sedang sampai berat. Tindakan analgesia dengan menghambat proses
transmisi nyeri menjadi hal yang paling penting karena dapat mengurangi nyeri pasca bedah
secara bermakna dan meningkatkan kepuasan pasien.
Tindakan Epidural Analgesia menjadi modalitas utama dalam penanganan nyeri pasca
bedah terutama pada pembedahan besar seperti pembedahan thorax, abdomen, pelvic dan
ekstremitas bawah. Kombinasi obat anestesi lokal dan opioid menjadi pilihan dalam analgesia
epidural karena selai berefek pada proses transmisi juga pada proses modulasi neuraksial.
Pemeriksaan Fisis
Penilaian intensitas nyeri pasca bedah dilaksanakan dengan menggunakan penilaian
Numerical Rating scale ( NRS ) atau dengan Visual Analogue Score ( VAS ).
Penilaian tanda vital lainnya untuk melihat dampak fisiologis bila nyeri tidak ditangani
dengan adekuat seperti terjadinya peningkatan tekanan darah, denyut nadi dan frekuensi
nafas.
Tata Laksana
- Epidural Analgesia atau kontinyu untuk pembedahan thorax, abdomen, pelvic dan
ektremitas bawah
- Blok saraf tepi kontinyu untuk pembedahan ekstremitas atas dan bawah
39
- Analgetik secara Patient Controlled Analgesia menggunakan Opioid untuk pasien yang
kontraindikasi epidural analgesia
- Analgetik secara intravena : Parasetamol, NSAIDs dan Opioid serta adjuvant analgesik
lainnya
Teknik Anestesia
Anestesia umum Teknik anestesia
Teknik Operasi
CO2 tekanan rendah
Lavase dengan Saline diikuti
suction Kombibnasi epidural/ anestesia umum
Analgesia Sistemik
NSAID konvensional pada akhir
pembedahan
Intrabedah
COX2 selektif inhibitor
Opioid kuat kerja singkat sebagai Analgesia epidural
bagian teknik anestesia
Anestesia regional LA epidural + opioid kuat pada periode
LA kerja panjang infiltrasi luka awal pascabedah
untuk nyeri luka
LA intraperitoneal
Kombinasi LA infiltrasi luka/LA
intraperitoneal
Analgesia sistemik
Konvensional NSAID/COX2
selektif inhibitor
Paracetamol
Pascabedah Opioid sebagai analgesia
penolong
Tingkat Evidence
40
PCA opioid intravena memberikan analgesia yang jauh lebih baik daripada pemberian opioid
secara parenteral ( Level I [ Cochrane review] ).
Epidural analgesia memberikan penghilang rasa sakit pasca operasi yang lebih baik
dibandingkan dengan parenteral ( termasuk PCA ) opioid ( Level I [ Cochrane review] ) ;
kecuali epidural analgesia yang hanya menggunakan opioid hidrofilik (Level I).
Dibandingkan dengan opioid analgesia ,blok saraf perifer ( terlepas dari lokasi kateter )
memberikan analgesia pasca operasi yang lebih baik dan menurunkan penggunaan opioid
dengan efek seperti mual, muntah pruritus dan sedasi (Level I).
Parasetamol merupakan analgesik efektif untuk nyeri akut; efek samping sama dibandingkan
dengan plasebo ( Level I [ Cochrane review]).
NSAID non - selektif efektif dalam pengobatan nyeri akut pasca operasi ( Level I [ Cochrane
review]).
Coxib efektif dalam pengobatan nyeri akut pasca operasi ( Level I [ Cochrane review]).
Parasetamol dikombinasikan dengan tramadol lebih efektif dibandingkan dengan penggunaan
sendiri dan menunjukkan efek respon dosis (Level I).
Kepustakaan
- Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi san Reanimasi Indonesia. Panduan
tatalaksana nyeri perioperatif. Tatalaksana Nyeri pada Prosedur Bedah
Khusus.2009;6:249-253.
- Acute Pain Management: Scientific Evidence, Australian and New Zealand College
Anesthetists and Faculty of Pain Medicine,Edisi 3. 2010.
- Macintyre P.E, Schug S.A, More complex patient, Acute Pain Management: A Practical
Guide, Edisi 3, Elsevier, 2007;245-254.
41
Definisi : Sedasi sedang adalah suatu keadaan dimana setelah
pemberian obat sedasi menyebabkan penurunan kesadaran,
namun pasien masih memiliki respon terhadap rangsang
suara, baik disertai maupun tidak dengan rangsang
sentuhan. Ventilasi spontan masih adekuat dan belum
diperlukan intervensi untuk menjaga patensi jalan nafas.
Fungsi kardiovaskular masih tidak berubah.
Persiapan : 1. Pasien :
- Penjelasan rencana dan resiko komplikasi tindakan
sedasi sedang-berat.
- Ijin persetujuan tindakan sedasi sedang-berat
- Puasa.
- Medikasi sesuai resiko anestesi.
- Premedikasi pra anestesi.
- Kelengkapan pemeriksaan penunjang.
2. Alat:
- Sulfast Atropin 0,25 mg (2 ampul)
- Lidokain 2 % (3 ampul)
- Efedrin 50 mg (1 ampul)
- Midazolam 5 mg (2 ampul)
- Fentanyl 100µg atau Pethidin 100mg(2 ampul)
- Ketamin 100 mg
42
- Propofol 200 mg (1 ampul)
- Laringoskop 1 buah
- Sungkup muka
- Set Suction 1 buah
- Pipa endotrakheal 1 buah
- Selotip 1 buah
- Oksigen
- Ambu bag 1 buah
3. Dokter :
- Visite perioperatif.
- Penentuan klasifikasi ASA PS.
- Check list kesiapan anestesi.
44
GAGAL NAPAS AKUT
45
Batuk,
Sekret yang purulen,
Nyeri dada saat tarik napas dalam dan batuk
Kriteria mayor:
Menggunakan ventilasi mekanik
Syok sepsis
Terapi : Gagal napas akut karena pneumonia berat
Posisi pasien Head up 30-45o
Terapi oksigen:
Menggunakan oksigen masker
Oksigen via Non Rebreathing Mask
Resusitasi menggunakan Bag Valve Mask
Ventilasi Mekanik.
Antibiotik empiris.
Chest terapi.
Cairan dan nutrisi
Hand hygiene
Menggunakan masker medis pada droplet infection
Menggunakan masker N95 pada airbone infection
47
Manajemen kebersihan lingkungan pasien
Penanganan sampah-sampah medis
Penggunaan alat proteksi diri pada petugas kesehatan
Membatasi jumlah individu dalam ruang perawatan
Terapi : Gagal napas akut karena pneumonia berat
1. Posisi pasien Head up 30-45o
2. Terapi oksigen:
- Menggunakan oksigen masker
- Oksigen via Non Rebreathing Mask
- Resusitasi menggunakan Bag Valve Mask
- Ventilasi Mekanik.
3. Antibiotik empiris.
4. Fisioterapi dada.
5. Cairan dan nutrisi
48
Hiperkalemia sedang adalah konsentrasi kalium
serum6.0-6.4 mEq/L
Hiperkalemia berat adalah konsentrasi kalium serum>
6.5mEq/L
Hipokalemia adalah konsentrasi kalium serum kurang
dari3.5 mEq/L
Hipokalemia berat adalah konsentrasi kalium
serum<2.5 mEq/L
Hipernatremia adalah konsentrasi natrium serum
melebihi 145 mEq/L
Hiponatremia adalah konsentrasi natrium serum kurang
dari 135mEq/L
Hiponatremia berat adalah konsentrasi natrium serum<
120 mEq/L
Hipercalcemia adalah konsentrasi kalsium serum
melebihi10 .5mg/dL(2.5mmol/L) atau ion kalsium
melebihi 5.6 mg/dL (1.4mmol/L)
Krisis hiperkalsemia adalah konsentrasi kalsium serum
melebihi14 mg/dL (3.5 mmol/L) atau ion kalsium
melebihi10 mg/dL (2.5 mmol/L)
Hipocalcemia adalah konsentrasi kalsium serum kurang
dari 8 mg/dL (2.1 mmo/L) atau ion kalsiumkurangdari
4.2 mg/dL (1.1 mmol/L)
Hipermagnesemia adalah konsentrasi magnesium
serum melebihi 2.2 mEq/L (1.1 mmol/L)
Hipomagnesemia adalah konsentrasi magnesium serum
kurang dari 1.3 mEq/L (0.6 mmol/L)
Anamnesis : Hiperkalemia:
Lemas, paralisis, parestesia, gagalginjal, pemakaianobat
ACE-I, angiotensin II receptor antagonist, diuretic yang
hemat kalium, NSAID, betabloker.
Hipokalemia:
Diare, riwayat pemakaian obat diuretic, laxative, steroid,
low intake
Lemas, fatigue, kramkaki, konstipasi, paralisis hingga sulit
bernapas
Hipernatremia
Haus, demam, gangguan kesadaran
Hiponatremia
49
Mual, muntah, sakitkepala, diplopia
Riwayat pemakaian thiazide diuretic, gagalginjal, operasi
tumor otak, trauma kepala
Hiperkalsemia
Batu ginjal, artritis, mual, muntah, anoreksia, konstipasi,
nyeri abdomen, gangguan konsentrasi dan daya ingat,
confusion, stupor, coma, letargi, fatigue, lemas, gatal,
keratitis
Riwayat hiperpara tiroid, gagal ginjal kronik, keganasan
pemakaian diuretic thiazide, hipertiroid
Hipokalsemia
Riwaya thipopara tiroid pasca op atau gagal ginjal kronik
Hipermagnesemia
Riwayat gagal ginjal, pemberian MgSO4
Hipomagnesemia
Diare, polyuria, kelaparan, alcoholism, malabasorpsi
Hipokalemia
Ascending paralysis, aritmia
Hipernatremia
Demam, deficit neurologis focal, kejang, hiperventilasi
Hiponatremia
Kejang, koma
Hipercalcemia
Hipertensi, peptic ulcer
Hipocalcemia
Hiperreflexia, Chovstek dan Trousseaue sign,
parestesiaekstremitas dan wajah, kram otot, tetani, kejang,
papilledema, gejala extrapyramidal, diaphoresis, hipotensi,
gagal jantung kongestif
Hipermagnesemia
50
Confusion, depresinapas, cardiac arrest
Hipomagnesemia
Tremor, ataxia, Nistagmus, Aritmia
EKG
Hiperkalemia:
Blok derajat 1 (PR interval memanjang>0.2 detik)
Gelombang P hilang/flat
51
Gelombang T tinggi (peaked/tented) (gel T lebih besar
dari gelombang R pada lebih dari 1 lead)
ST depresi
Gelombang S dan T menyatu (sine wave pattern)
QRS melebar (>0.12 detik)
Takikardia ventricular
Bradikardia
Hipokalemia
Gelombang U
Gelombang T flat
Perubahan ST
Aritmia (terutama bila pasien mengkonsumsi digoksin)
Cardiopulmonary arrest (PEA, pulseless VT/VF,
asystole)
Hipokalsemia
Prolonged QT interval
Terminal T wave inversion
AV Blok
Fibrilasiventrikel
Hipermagnesemia
Prolonged PR dan QT interval
Gelombang T peaking
AV blok
Cardiac arrest
Hipomagnesemia
Prolonged PR dan QT interval
ST depresi
Gelombang T inversion
Gelombang P flat
Torade de pointes
Durasi QRS meningkat
Terapi : Hiperkalemiaberat:
1. Bolus calcium glukonas 10% 10 ml (jika ada
gangguan gambaran EKG)
2. Glucose plus insulin–25 g glucose dan 10 U regular
52
insulin berikan IV dalam 15 -30 menit
3. Nebulized salbutamol 5 mg nebulized selama15
minutes
4. Furosemide iv 40-80 mg
5. Pemberian bikarbonat 50 mEq dalam 5 menit bila
asidosis berat.
6. Dialysis
Hipokalemia
1. Pemberian K+ is 10 mEq/jam melalui jalur iv perifer
atau 20 mEq/jam melalui jalur iv central venous
catheter dengan ECG monitoring.
2. Hentikan obat yang mengakibatkan hipokalemia
3. Koreksi hipomagnesemia
Hipernatremia
1. Bila hypernatremia akut atau simtomatik berat berikan
cairan hipotonik.
2. Bila pasien hipovolemia dengan hemodinamik
terganggu, berikan cairan isotonick untuk memperbaiki
status volume. Setelah hemodinamik stabil berikan
cairan hipotonik iv (NaCl 0.45% atau Dextrose 5%)
3. Koreksimaksimal 12 mEq/L dalam 24 jam
4. Akut hypernatremia dapat dikoreksi lebih cepat di
awal (1-2 mEq/L/jam), kenaikan 5 mEq/L sudah
memperbaiki gejala
Hiponatremia
1. Bila hiponatermia akut atau simtomatik berat berikan
NaCl hipertonik (NaCl 3% )1mEq/L/jam hingga gejala
neurologis hilang setelah itu kecepatan koreksi 0,5
mEq/L/ jam
2. Koreksi maksimal12 mEq/L dalam 24 jam pertama
3. Bila SIADH restriksi cairan 50-66% dari kebutuhan
cairan
53
Krisis Hiperkalsemia
1. Hidrasi dengan normal saline target urin output 200
ml/jam
2. Bila volume intra vascular telah tercukupi dapat
diberikan furosemide
3. Calcitonin 4-8 IU per kg IM tiap 6 jam selama 24 jam
4. Bila akibat keganasan berikan hidrokortison 200 mg IV
selama 3 hari
5. Pasien gagal ginjal atau gagal jantung diterapi dengan
dialysis
Hipokalsemiaakutdansimtomatik
1. Calcium gluconas 10 % 10-20 ml IV dilarutkan dalam
dextrose 5% diberikan selama 10 menit dengan monitor
EKG
2. 10 ampul calcium gluconas 10% 10 ml dilarutkan
dalam 1 liter dextrose 5% diberikan 50 ml/jam untuk
mencegah hipocalcemia berulang.
3. Koreksi hipomagnesemia
Hipermagnesemia
1. Calcium glukonas 10% 10 ml
2. Suport ventilator
3. NaCl 0.9% dan furosemide IV
4. Dialysis
Hipomagnesemia
1. 2 g MgSO4 50% IV diberikan selama 15 min
2. Bila Torsade de pointes 2 g MgSO4 IV selama 1-2 min
3. Bila kejang 2 g Mg SO4 selama 10 min
55
Tekanan Darah : ≥ 160/110 mmHg
d. Dyspnoe
Cyanosis
56
- Diltiazem dosis 0,15 ug/kg/jam
2. Penanganan Kejang :
Berikan Mg So4 :
- Bolus 4 - 6 gr dalam 20 menit, dilanjutkan 1 – 2
gr/jam
- Monitor toxicity, terapetik level : 5 – 8 mg/Dl
- Dapat diberikan 2 gr/IV bila kejang timbul lagi
- MgSO4 dihentikan 24 jam setelah partus
- Bila masih kejang, dapat diberikan Diazepam atau
Propofol dan dilakukan penanganan jalan nafas
(intubasi + control)
3. Penanganan HELLP syndrome :
- Terminasi kehamilan bila sudah > 34 mg, dapat secara
normal atau operasi sectio caecar
- Bila masih < 34 mg dapat ditunda untuk pemberian
Bethamethason 12 mg/24 jam/IM sebanyak 2 x
Terminasi kehamilan dilakukan setelah 24 jam
pemberian Bethametason terakhir
- Bila Trombocyt < 20.000 lakukan transfuse trombocyt
4. Penangan Edema Paru :
- Berikan Furosemide 20 – 40 mg/IV, dapat diberikan
lagi setelah 30 menit 40 – 60 menit
- Monitor balans cairan, pemasangan catheter vena
central dapat membantu menghitung meskipun secara
kasar.
- Dapat dilkukan tindakan intubasi dan bantuan
ventilasi mekanis bila edema paru tetap ada dan pasien
mengalami gawat/gagal nafas.
5. Pemantauan lebih kepada penanganan hipertensi, fungsi
ginjal, adanya coagulopathy
57
DIABETES KETO ASIDOSIS
Pemeriksaan Fisik : Kesadaran menurun (variatif dari gelisah s/d GCS 1.1.1),
lethargis, nafas Kussmaul, nafas bau keton (aseton).
SYOK HIPOVOLEMIK
60
3. Syok obstruktif
61
STROKE HEMORARGIK DI INTENSIVE CARE UNIT
63
seperti pneumonia, emboli paru dan acute
respiratory distress syndrome/ARDS)dan Tipe 2
(hiperkapni) bila PaCO2> 50 mmHg (sering
ditemukan pada pasien neuromuskuler seperti
Myastenia Gravis/MG dan GBS)
Circulation / sirkulasi
Nilai apakah sirkulasi adekuat dan hemodinamik
stabil. Meliputi tekanan darah/MAP (target : 100 –
120 mmHg), tekanan vena sentral (jika terpasang
CVC, dengan target 5 – 12 mmHg) ), dan cerebral
perfusion pressure/CPP (target 50 - 70 mmHg).
Pasien yang meruoakan indikasi rawat ICU adalah
pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil dan
memerlukan monitoring ketat.
66
- Analgesik yang baik, dapat batuk,
penggunaan inotropik dosis minimal
- Fungsi usus normal, tidak ada distensi
abdomen
- Status metabolik mengarah ke normal
- Hb cukup
Angka-angka yang digunakan untuk
memprediksi weaning yang berhasil:
- Minute ventilation : < 10 lpm
- Kapasitas vital/BB : > 10 ml/kgBB
- Laju napas < 35 x/menit
- Volume tidal/BB : > 5 ml/kgBB
- Tekanan inspirasi maksimal : < - 25 cmH2O
- PaO2/PAO2 : > 0,35
- RR/Volume tidal : < 105
- PaO2/FiO2 : > 200 mmHg (26,3 kPa)
Monitoring Hemodinamik/sirkulasi
- Sebaiknya dilakukan pemasangan CVC (central
venous catheter), dengan tujuan agar dapat
memantau kecukupan cairan pasien, serta untuk
jalur memasukkan cairan dan nutrisi parenteral.
Tekanan vena sentral dijaga 5 – 12 mmHg.
- Cairan yang digunakan adalah cairan kristaloid
atau koloid intravena. Hindari pemberian cairan
hipotonik seperti glukosa.
- Optimalkan tekanan darah, secara umum target
minimal MAP 70 mmHg.
- Hipovolemia dikoreksi dengan larutan saline
normal.
- Aritmia jantung yang mengakibatkan penurunan
curah jantung sekuncup harus dikoreksi
- Bila MAP tidak tercapai dan cairan sudah
mencukupi, dapat diberikan obat-obat
vasopresor secara titrasi seperti dopamine,
norepinefrin atau epinefrin.
Tatalaksana Hipertensi
Apabila TDS > 200 mmHg atau MAP > 150
mmHg, tekanan darah diturunkan dengan
menggunakan obat antihipertensi intravena
secara kontinu dengan pemantauan tekanan
darah setiap 5 menit.
Apabila TDS > 180 mmHg atau MAP > 130
67
mmHg disertai dengan gajala dan tanda
peningkatan tekanan intracranial. Tekanan darah
diturunkan dengan menggunakan obat
antihipertensi intravena secara kontinu atau
intermitten dengan pemantauan tekanan perfusi
serebral > 60 mmHg.
Apabila TDS > 180 mmHg atau MAP > 130
mmHg tanpa disertai gejala dan tanda
peningkatan tekanan intracranial, tekanan darah
diturunkan secara hati-hati dengan
menggunakan obat antihipertensi intravena
kontinu atau intermiten dengan pemantauan
tekanan darah setiap 15 menit hingga MAP 110
mmHg atau tekanan darah 160/90 mmHg.
(AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B)
Bila TDS 150 – 220 mmHg, penurunan tekanan
darah dengan cepat hingga TDS 140 mmHg
cukup aman (AHA/ASA, Class IIa, Level of
evidence B)
Setelah kraniotomi, target MAP adalah 100
mmHg.
Obat antihipertensi yang ideal : Labetolol
(kombinasi α dan bloker). ACE inhibitor
dapat digunakan karena tidak mempunyai
pengaruk pada TIK dan CBF. Ca channel
blocker dapat meningkatkan TIK namun dapat
menjaga atau meningkatkan CBF.
70
dipertimbangkan (AHA/ASA, Class Ib, Level
of Evidence B)
Kontrol suhu
- Dua tipe tindakan yang dilakukan untuk
mengatasi demam pada pasien:antipiretik dan
surface cooling.
- Antipiretik yang digunakan pada pasien
stroke adalah acetaminophen, Aspirin dan
NSAIDs.
Metabolisme glukosa
- Target kadar glukosa adalah < 200mg/dL,
dikendalikan dengan pemberian insulin
dengan sliding scale.
Nutrisi
- Formula enteral yang ideal mengandung
intake kalori yang adekuat (25-30 Kcal/
KgBB/hari.
Sedasi
- Pilihan utama : Propofol merupakan obat
pilihan, karena dapat menurunka TIK dan
CMRO2. Benzodiazepine dan midazolam
juga dapat digunakan, obat-obat ini tidak
mempengaruhi TIK, TPC, dan CMRO2.
Profilaksis DVT
- Penggunaan heparin atau LMWH untuk
profilaksis DVT merupakan kontraindikasi
pada pasien dengan stroke hemoragik. Pasien
stroke hemoragik dapat digunakan stocking
elastic eksternal
Manajemen cairan dan elektrolit
- Kebutuhan cairan, elektrolit dan balance
cairan harus dievaluasi setiap hari. Koreksi
dilakukan apabila terjadi abnormalitas
elektrolit
Infeksi nosokomial
- Antibiotik diberikan apabila pasien
menunjukkan tanda-tanda infeksi.
- Antibiotik yang diberikan seharusnya sesuai
dengan hasil pemeriksaan kutur dan
sensitivitas.
- Antibiotik yang direkomendasikan pada
pneumonia adalah kombinasi cephalosporin
71
generasi ketiga dan aminoglycoside.
- Terapi empiris terhadap infeksi aliran darah
sebaiknya termasuk vancomisin ditambah
cephalosporin generasi ketiga.
Ulkus dekubitus
- Mobilisasi rutin terhadap pasien yang
immobile berguna untuk menghindari
tekanan berlebih. Kulit pasien harus dijaga
tetap kering. Gunakan kasur air atau kasur
angin.
- Bila ulkus dekubitus tidak respon terhadap
terapi konservatif, antibiotik dapat diberikan
selama beberapa hari sebelum dilakukan
debridement.
73
74
SEPSIS BERAT DAN SYOK SEPTIK
Anamnesis : Tidak spesifik ditujukan untuk mencari sumber infeksi dari organ
yang terkena dan gangguan fungsi organ terkait
Pemeriksaan Fisik : Demam > 38,30C atau hipotermia (suhu inti) <360 C
Laju Nadi > 90 X/menit atau > 2 x SD nilai normal sesuai
usia
Takhipnea
Perubahan status mental
Edema atau balans cairan positif (>20 ml/kg selama 24 jam)
75
Bila diagnosa banding dengan invasive candidiasis gunakan
pemeriksaan 1-3 Beta D-Glukan, manna dan antimanan
Untuk mencari sumber infeksi, gunakan pemeriksaan
imaging
PemeriksaanFisik : - Takipneu
- Hipoksemia
81
- Penyerta : penurunan kesadaran, takikardi
- Ronki paru.
Kategori ARDS :
- ARDS ringan PaO2/FiO2 200-300 mmHg
- ARDS sedang PaO2/FiO2 101-200 mmHg
- ARDS berat PaO2/FiO2 ≤100 mmHg
- (dengan PEEP minimum 5 cmH2O)
83
5. Laju napas diatur dengan target tercapainya ventilasi
semenit basal (<35x/menit)
6. Sesuaikan volume tidal dan laju napas agar target pH
dan tekanan plateau tercapai.
Target pH: 7,300-7450
Tatalaksana asidosis : (pH <7,30)
Bila pH 7,150-7,300: Naikkan Laju Napas hingga
pH>7,300 atau PaCO2 <25 (Laju Napas maksimum =
35x/menit)
Bila pH <7,150:Naikkan Laju Napas ke 35 x/menit.
Bila pH tetap <7,150, volume tidal dapat dinaikkan
sebesar 1 mL/kg sampai pH >7,150 (Pplat 30 cmH2O
boleh dilampaui)
Tatalaksana alkalosis: (ph >7,45) Turunkan Laju Napas
bila memungkinkan.
Target rasio I:E: Inspirasi ≤ ekspirasi
Target oksigenasi: PaO2 55-80 mmHg atau SpO2 88-
95%
PEEP minimum 5 cmH2O. Pertimbangkan untuk
meningkatkan kombinasi FiO2/PEEP seperti tabel di
bawah ini untuk mencapai target.
85
- Tanda sesak napas
3. Bila pasien tampak toleran selama 30 menit,
pertimbangkan ekstubasi.
4. Identifikasi dan terapi penyebab / kondisi yang
menyebabkan terjadinya ARDS. Bila penyebabnya
adalah pneumonia, maka diberikan terapi antibiotika
sesuai panduan dari ATS/IDSA tentang CAP, HAP,
VAP, HCAP.
87
ACUTE KIDNEY INJURY
88
- Tanda-tanda kekurangan cairan seperti mata cekung,
mukosamulut yang kering, lidah keriput, vena leher
kolaps saat pasien terlentang, hipotensiortostatik
(penurunan tekanan sistolik ≥10 mmHg, nadi
naik≥10-15 kali/menit), nadi cepat dan kecil,
oliguria, kurangnya turgor kulit, akral dingin dan
sianosisperifer.
- Peningkatan tekanan vena jugularis, ronkhi basah di
paru, asites dan edema adalah tanda-tanda kelebihan
volume total tubuh.
- Skleritis dan uveitis dijumpai pada penyakit
autoimun.
- Pada pemeriksaan Abdomen, adakahasites,
hepatosplenomegali, bruit vaskuleratau aneurism
aorta abdominalis. Pada palpasitera banyak kandung
kemih, menandakan distensi akibat obstruksi.
89
Injury : - Kenaikankreatinin serum 2 kali atau
produksi
urin kurang dari 0,5 ml/kg/jam selama
12 jam
- GFR>50%
Failure : - Kenaikankreatinin serum 3 kali atau
kreatinin
≥4mg/dl atau produksi urin kurang dari
0,3
ml/kg/jam selama 24 jam
ataukenaikanakut
≥0,5 mg/dl atau Anuria selama 12 jam
- GFR>75%
Loss : Gagal ginjal akut persisten =
Hilang fungsi ginjal selama>4 minggu
ESRD : End Stage Renal Disease
90
Diagnosis :
Banding
92
Hindari hiperglikemia.
Hindari prosedur radiokontras.
- AKI stadium 1
Diagnostik yang bersifat non invasif.
Pertimbangkan diagnostik invasif.
- AKI stadium 2
Penyesuaian dosis obat.
Pertimbangan terapi pengganti ginjal, seperti
hemodialisis, SLEDD, CVVH.
Pertimbangan rawat di ICU.
- AKI stadium 3
Hindari pemasangan kateter di subklavia.
- Rekomendasipengobatan
Ekspansi volum intravaskuler pasien
berisiko/dengan AKI yang tanpa syokh emoragik
disarankan memakai cairan kristaloid dari pada
koloid (albumin atau starches) (2B).
Pemakaian vasopresor bersamaan resusitasi cairan
untuk pasien syok vasomotor atau berisikoAKI(1C).
Ada protocol manajemen hemodinamik dan
parameter oksigenasi untuk pasien perioperatif risiko
tinggi (2C) dan syok septik (2C) guna mencegah
terjadi / perburukan.
Kebutuhan kalori pasien AKI (semua stadium)
adalah 20-30 kcal/kg/hari(2C).
Hindari pembatasan protein intake dengan harapan
mencegah atau menunda RRT(2D).
Protein 0,8-1gr/kg/hari untuk pasien AKI
nonkatabolik yang tanpadialisis(2D), 1-
1,5gr/kg/hari(2D) pasien AKI yang didialisis dan
maksimum 1,7gr/kg/hari pasien dengan terapi
pengganti ginjal kontoniu(CRRT) dan pasien hiper
katabolik(2D).
Nutrisi yang diberikan lebih disukai via
ruteenteral(2C).
Tidak direkomendasikan memakai diuretic
mencegahAKI(1B).
Tidak menggunakan diuretik untuk pengobatan AKI,
kecuali manajemen volum overload(2C).
Tidak disarankan menggunakan dopamine dosis
kecil/fenoldopam untuk mencegah atau mengobati
AKI(1A)/(2C).
93
Tidak disarankan menggunakan atrial
natriuretikpeptide(ANP) untuk mencegah (2C) atau
mengobati AKI(2B).
Tidak disarankan antibiotika aminoglikosid, kecuali
tidak ada pilihan lain(2A).
Pasien dengan fungsi ginjal normal disarankan
aminoglikosid dosis tunggal dari pada dosis multiple
harian(2B).
Monitor kadara minoglikosid darah kalau diberikan
dosis tunggal lebih 48 jam(2A),dosis multi pelharian
lebih 24jam(1A),
Pengobatan mikosis sistemik disarankan anti fungal
azole dan/atau echinocandin dari pada amfoterisin B
bila efikasi terapinya sama(1A).
- Kriteriaterapipenggantiginjal /DialisispadaAKI :
Oliguria :produksiurin<200 ml dalam 12 jam
Anuria :produksiurin<50 ml dalam 12 jam.
Hiperkalemia :potasium>6,5 mmol/l
Asidemia (keracunan asam) yang berat : pH <7,0
Azotemia :kadar urea >30 mmol/L
Uremik organ seperti ensefalopati, perikaditis,
neuropati atau miopatiuremikum.
Disnatremia berat: konsentrasi>160mmol/L atau<
115mmol /L
Hipertermia (suhu>39,5 selsius).
Edema organ khususnya paru.
Keracunan obat yang bias didialisis.
Pasien berisiko edema/ARDS yang membutuhkan
produk darah banyak karena koagulopati.
97
Bab. I. Batasan-Uraian, Sistim, Ruang Lingkup Neuro Anestesi
Batasan dan Uraian
Pelayanan Neuro Anestesi adalah tindakan medis yang dilakukan melalui pendekatan
tim sesuai kompetensi dan kewenangan yang dimilki mencakup tindakan Neuro anestesi (Pra
anesthesia, Intra anesthesia, Pasca anesthesia) dan Neuro Crtical Care serta pelayanan lain
sesuai bidang Neuroanestesiologi seperti tatalaksana nyeri, pelayanan kritis, gawat darurat.
Sistim Pelayanan
Kegiatan Pelayanan Neuroanestesi dilaksanakan secara terpadu dan terintegrasi
dengan pelayanan lain dirumah sakit. dapat berupa; Pelayanan Neuro Anestesi dikamar
bedah, Penanganan Nyeri Rawat Jalan, Kelola pasen di Rawat Inap dan Ruang Neuro
Critical Care ataupun Neuro Critical Care serta pelayanan diluar kamar bedah yang dapat
98
dilakukan antara lain di ICU/PICU/NICU, Instalasi Gawat Darurat, Radiologi, dengan jenis
pelayanan yang disesuaikan dengan klasifikasi rumah sakit.
Ruang Lingkup Pelayanan Neuro Anestesi
Sesuai dengan definisi tersebut diatas maka ruang lingkup Neuro anestesi meliputi :
1. Bantuan terhadap fungsi kehidupan akibat stress anestesia dan manipulasi bedah.
2. Penatalaksanaan nyeri dan stres emosi perioperasi dan prosedur medis lainnya.
3. Penatalaksanaan pasca operasi, penderita neurocritical care diruang rawat intesif.
4. Penatalaksanaan klinis, support fungsi vital pasien tidak sadar apapun sebabnya.
5. Tatalaksana metode spesifik terapi pernafasan, problema resusitasi. jantung, paru dan
otak.
6. Tatalaksana klinis gangguan cairan-elektrolit, metabolism perioperatif dan Neurocritcal
care.
Sesuai dengan tersebut diatas kegiatan pelayanan Neuro anestesi mencakup antara
lain :
1. Melakukan evaluasi dan pelayanan pra anestesia.
2. Pelayanan Neuro anestesia di kamar bedah dan ruang diagnostik.
3. Menanggulangi nyeri pasca operasi bedah saraf maupun di bangsal.
4. Pengelolaan pasen Neuroanestesi dan Neuro Critical Care diruang Perawatan/Neuro
Critical Care.
5. Melakukan bantuan resusitasi kasus gawat, di ruang darurat atau di bangsal yang
membutuhkan.
Tugas dan Tanggung Jawab Dokter Spesalis Neuro anestesi :
1. Memberi konsultasi dan pelayanan Neuroanestesi dan Neuro Critical Care
2. Memberikan pelayanan spesialistik Neuroanestesi dan Neuro Critical Care
3. Memberikan supervisi perawatan pasca anestesa di kamar pulih/Rawat Intensif.
4. Berpartisipasi dalam pengelolaan dan tatalaksana penderita pasca bedah Saraf.
5. Berpartisipasi pada pelayanan Resusitasi kasus-kasus kegawatan Bedah Saraf.
6. Ikut meberikan pelayanan pada kasus-kasus nyeri membandel Pasca Bedah Saraf.
2. Penatalaksanaan Anestesia
2.1. Prinsip umum
2.1.1. Setiap anestesia harus dilaksanakan dan menjadi tanggung jawab Neuroanestesi.
2.1.2. Pasien yang di anestesia oleh bukan Neuroanestesi menjadi tanggung jawab
Neuroanestesi yang bertugas.
2.1.3. Neuroanestesi yang bertanggung jawab harus berada dalam satu atap
dilingkungan rumah sakit / tempat pelayanan anestesia dan dapat segera hadir di
tempat dilakukan anestesia setiap saat.
2.1.4. Pada saat yang sama seorang Neuroanestesi hendaknya membatasi diri
bertanggung jawab atas maksimal tiga anestesia.
2.1.5. Semua pasien akan dipantau sesuai dengan standar pemantauan dasar intra
operatif.
2.2. Keamanan pasien selama anestesia
2.1.1. Mesin anestesia harus diperiksa, diuji dan dipastikan berfungsi.
2.1.2. Bila digunakan elektrokauter, elektrokoagulator atau peralatan listrik lain yang
menimbulkan bunga api selama prosedur tindakan, maka hanya zat yang tidak
bisa terbakarlah yang boleh dipakai untuk anestesia atau persiapan lapangan
operasi prabedah.
2.1.3. Bila digunakan zat yang mudah terbakar, harus diperhatikan hal-hal berikut :
a. Lantai bersifat konduktif.
b. Semua peralatan dan perabot di kamar operasi hendaknya dibumikan
(“grounding”) dengan baik.
c. Semua orang yang masuk kamar operasi harus mengenakan alas kaki
konduktif.
d. Pakaian luar tidak boleh terbuat dan sutera, wol, nilon atau bahan sintetik lain.
Selimut wol tidak boleh berada di dalam kamar operasi.
2.1.4. Laringoskop pipa jalan nafas, kantong nafas, sungkup muka, pipa trakea dan
semua alat anestesia yang berhubungan langsung dengan pasien hendaknya dicuci
dan disuci hamakan sesudah setiap prosedur.
2.3 Bantuan tenaga
2.3.1 Untuk pelaksanaan Neuroanestesia yang efisien dan aman diperlukan bantuan
tenaga.
100
2.3.2 Kehadiran tenaga bantuan diperlukan selama persiapan, induksi anestesia,
rumatan anesthesia, pengakhiran anestesi dan sampai dianganggap tidak
diperlukan lagi.
2.3.3 Tenaga bantuan harus cukup berkualifikasi dalam tata kelola Airway, Breathing,
Circulating dan kehadiran sepanjang waktu pelayanan Neuroanestesi yang
dilakukan.
Tujuan
Oleh karena keadaan pasien selama anestesia dapat berubah dengan cepat, maka tenaga
anestesia yang berkualifikasi harus ada untuk memantau pasien dan memberikan pelayanan
anestesia.
Pada keadaan di mana terdapat bahaya langsung terhadap tenaga anestesia (mis : radiasi),
dan pasien perlu diawasi dari jarak jauh, maka beberapa cara pemantauan tertentu tetap harus
dilakukan.
Adanya keadaan darurat di tempat lain yang memerlukan kehadiran Neuroanestesi yang
bertanggung jawab, keputusan untuk meninggalkan pasien didasarkan pada tingkat
101
kedaruratan tersebut, keadaan pasien yang ditinggalkan dan kualifikasi tenaga anestesia yang
ada.
STANDARD II
Selama pemberian anestesia, oksigenasi, ventilasi, sirkulasi pasien harus dievaluasi secara
teratur dan sering.
Oksigenasi
Tujuan
Untuk memastikan kadar oksigen dari sumber, dalam gas inspirasi dan di dalam darah pada
setiap pemberian anestesia.
Cara :
1. Gas inspirasi :
Selama pemberian anestesia umum dengan mesin anestesia dianjurkan agar kadar oksigen
diukur dengan oksigen analiser yang mempunyai alarm batas rendah kadar oksigen.
2. Oksigenasi darah :
Selama pemberian anestesia diperlukan penerangan yang cukup dan pasien harus dapat
dilihat dengan jelas agar dapat dilakukan penilaian terhadap warna. Disamping cara ini
dan cara kualitatif lainnya dianjurkan juga cara kuantitatif seperti oksimeter pulsa
(Saturasi Okigen).
Setiap pasien yang diberi anestesia dan mempunyai risko tinggi, harus dilakukan pemantauan
Saturasi Mix Vein/SJv02 terus menerus, dianjurkan disertai salah satu cara pemantauan
dibawah ini :
a. Vena Central
b. ET CO2 (Capnograph).
c. Blood Gas Analysis (Astruff)
Ventilasi
Tujuan
Untuk memastikan ventilasi pasien yang cukup selama pemberian anestesia/analgesia.
Cara :
1. Setiap pasien yang diberi anestesia umum, ventilasi harus dievaluasi secara teratur
dan sering. Secara kualitatif dapat dilakukan misalnya dengan mengawasi gerak naik turun
dada, gerak kembang kempis kantong reservoar atau auskultasi bunyi pernafasan. Di
samping secara kualitatif dianjurkan cara kuantitatif misalnya dengan mengukur
kandungan CO2 dan atau volume gas ekspirasi.
2. Jika dilakukan intubasi, posisi pipa trakeal yang tepat di dalam trakea harus
dipastikan. Penilaian secara klinis adalah esensial, sedangkan pemantauan CO2 tidal akhir
dianjurkan.
3. Jika ventilasi diatur dengan ventilator mekanis, dianjurkan terdapat alat yang mampu
untuk menunjukkan putus hubungan dan komponen komponen sistem pernapasan. Alat
102
tersebut harus mampu mengeluarkan tanda yang dapat didengar jika nilai ambang alarm
terlewati.
4. Selama analgesia regional anestesia dari pelayanan anestesiologi lainnya yang
memerlukan monitoring pemantauan, ventilasi yang cukup harus dievaluasi setidak
tidaknya dengan cara klinis kualitatif secara teratur dan sering.
Sirkulasi
Tujuan :
Untuk memastikan fungsi sirkulasi pasien yang cukup selama anestesia dan analgesia.
Cara :
1. Setiap pasien yang diberi anestesia / analgesia harus diukur tekanan darah, TAR, laju
jantung secara teratur dan sering.
2. Setiap pasien yang diberi anestesia / analgesia harus diukur keseimbangan cairan, produksi
urin (Douer Cathether) secara teratur dan sering.
3. Setiap pasien yang diberi anestesia dan mempunyai risko tinggi, harus dilakukan
pemantauan EKG terus menerus. dan dianjurkan disertai salah satu cara pemantauan
dibawah ini :
• Vena Central
• Nerve Stimulator.
• Tekanan darah invasif,
• Puls Oksimeter (Saturasi Oksigen),
• ET CO2 (Capnograph) plastismografi.
• Blood Gas Analysis. Elektrolit Plasma dan Urin.
Suhu tubuh
Tujuan
Untuk membantu mempertahankan suhu tubuh selama pemberian anestesi/analgesi.
Cara :
Harus tersedia alat untuk mengukur suhu tubuh setiap saat. Jika diduga, dicurigai
diperkirakan
ada terjadi perubahan suhu tubuh, maka suhu tubuh harus diukur.
103
Pemanatauan EKG terus menerus
Pemberian nutrisi enteral dan parentral.
Pengelolaan jalan napas, termasuk intubasi trakea
Pemasangan alat pacu jantung dalam keadaan gawat
Pemakaian pompa infus atau semprit untuk terapi secara tetrasi
Pemeriksaan laboratorium khusus dengan cepat dan menyeluruh
Kemampuan melakukan Brain Resusitasi ataupun Brain Protection.
Pengaturan dan penggunaan ventilasi mekanik untuk Support ventilasi.
Memiliki kemampuan penilaian untuk penderita masuk - keluar serta rujukan.
Penentuan pemeriksaan khusus yang diperlukan dengan cepat dan menyeluruh
Memberi support fungsi vital dengan alat-alat portable selama transportasi pasien gawat.
Daftar Pustaka
1. Permenkes RI No. 519/Menkes/PER/III/2011; Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan
Anestesilogi dan Neuro Critical Care di Rumah Sakit. Menkes RI, 3 Maret 2011
2. Bisri. T; Pengelolan Anestesi untuk Pasien dengan Tumor Supratentorial. In Anestesia &
Critical Care, 2003; 21;1;61-71.
3. Bisri, T. Craniotomy for Supratentorial Tumor. In Asean Symposium on Neuro
Anaesthesia. Bandung. Indonesia : 1997.
4. Brain Trauma Foundation; Guidelines for the Management of Severe Traumatic Brain
Injury. 3rd ed. 2007; S7-77.
5. Kass IS, Cottrel JE. Pathophysiology of brain injury. In: Cottrel JE. Smith DS. eds.
Anesthesia and Neurosurgery, 4th ed, St. Louis: Mosby; 2001, 3 : 69-82.
Kebijakan:
Kognitif
1. Memahami prinsip-prinsip umum kedokteran gawat darurat dan neuro Critical Care
(Emergency and Critical Care Medicine).Resusitasi Jantung Paru Otak, meliputi Bantuan
104
Hidup Dasar (Basic Life Support), Bantuan Hidup Lanjut (Advanced Life Support) dan
Bantuan Hidup Jangka Panjang (Prolonged Life Support) pada pasien Neuro Critical Care.
2. Mampu menjelaskan indikasi masuk dan keluar perawatan pada keluarga/pasien Neuro
Critical Care.
3. Mampu menjelaskan indikasi dan pengelolaan prosedur invasif seperti pemasangan kateter
vena central, SJVO2, kateter intra-arterial, EVD, trakeostomi pada keluarga/pasien Neuro
Critical Care.
4. Mampu menjelaskan pengelolaan jalan napas dan bantuan napas dengan / tanpa ventilasi
mekanik pada keluarga/pasien Neuro Critical Care.
5. Mengenal tanda dan gejala yang mengancam nyawa pasien akibat gangguan pernapasan,
kardiovaskular, susunan saraf pusat, gangguan keseimbangan cairan, asam basa dan
elektrolit, infeksi berat, gangguan hemostasis, krisis metabolik dan endokrin, gangguan
fungsi ginjal dan hepar pada keluarga/pasien Neuro Critical Care.
6. Mampu menjelasankan pengelolaan nutrisi, sedasi, analgesia dan termoregulasi pasien
kritis.
7. Mampu menentukan mati klasis dan mati batang otak
8. Mampu menjelaskan penanganan akhir kehidupan : mengakhiri dan menunda bantuan
hidup (with-drawing dan with-holding life support).
Psikomotor
Menguasai keterampilan dalam posedur klinik, baik untuk pemantauan, diagnosis, maupun
untuk terapi:
1. Pemasangan kateter vena sentral, intra arterial. krikotirotomi.
2. Menanggulangi keadaan yang mengancam nyawa pasien akibat gangguan pernapasan,
kardiovaskular, susunan saraf pusat, gangguan keseimbangan cairan, asam basa dan
elektrolit, infeksi berat, gangguan hemostasis, krisis metabolik dan endokrin, gangguan
fungsi ginjal dan hepar.
3. Mampu mengelola nutrisi, sedasi, analgesia dan termoregulasi pasien kritis.
4. Melakukan konsultasi pada disiplin ilmu kedokteran lain pada saat yang tepat.
5. Melakukan jawaban atas konsultasi pasien-pasien dari ruang perawatan atau rumah sakit
lain yang akan dirawat di Neuro Critical Care/Rawat Intensif.
6. Melakukan komunikasi dengan sejawat dari beberapa disiplin terkait sebagai anggota
tim.
7. Melakukan bimbingan kepada peserta program atau residen lain, mahasiswa kedokteran
maupun perawat.
9. Mampu menanggulangi dan mengelola pasien bayi kasus Neuro Critical Care di ICU /
NICU
8. Mampu menanggulangi dan mengelola pasien anak kasus Neuro Critical Care di ICU /
PICU.
9. Mampu menanggulangi dan mengelola pasien tua kasus Neuro Critical Care (Geriatri)
di ICU.
10. Mampu membuat keputusan yang independen dalam menjalankan pekerjaan
profesinya berdasarkan pemikiran logis, kritis, sistematis, kreatif, dan komprehensif;
105
11. Mampu mengomunikasikan hasil kajian, kritik, apresiasi, argumen, atau inovasi yang
bermanfaat bagi pengembangan profesi, dan kemaslahatan manusia, yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan etika profesi.
12. Melakukan evaluasi secara kritis terhadap hasil kerja dan keputusan yang dibuat dalam
melaksanakan pekerjaan profesinya baik oleh dirinya sendiri, sejawat, atau sistem
institusinya,
13. Meningkatkan keahlian keprofesiannya dan mutu sumber daya pada bidang
anestesiologi dan neuro Critical Care yang khusus melalui pelatihan dan pengalaman
kerja dengan mempertimbangkan kemutakhiran bidang anestesiologi dan Neuro Critical
Care di tingkat nasional, regional, dan internasional;
14. Memimpin suatu tim kerja untuk memecahkan masalah baik pada bidang anestesiologi
dan Neuro Critical Care, maupun masalah yang lebih luas dari bidangnya serta bisa
bekerja sama dengan profesi lain yang sebidang maupun yang tidak sebidang dalam
menyelesaikan masalah pekerjaan yang kompleks yang terkait dengan bidang
anestesiologi dan neuro Critical Care;
15. Mengembangkan dan memelihara jaringan kerja dengan masyarakat profesi
kedokteran dan kliennya dan bertanggungjawab atas pekerjaan di bidang profesi
anestesiologi dan Neuro Critical Care sesuai dengan kode etik kedokteran Indonesia;
16. Mampu berkontribusi dalam evaluasi atau pengembangan kebijakan nasional dalam
rangka peningkatan mutu pendidikan anestesiologi dan Neuro Critical Care atau
pengembangan kebijakan nasional pada bidang kesehatan;
17. Mendokumentasikan, menyimpan, mengaudit, mengamankan, dan menemukan
kembali data serta informasi untuk keperluan pengembangan hasil kerja profesinya.
Kepustakaan:
1. Permenkes RI No. 519/Menkes/PER/III/2011; Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan
Anestesilogi dan Neuro Critical Care di Rumah Sakit. Menkes RI, 3 Maret 2011
2. Republik Indonesia; Undang-undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
(Lembar Negara RI Tahun 2004 nomor 116), Jakarta 2004
3. Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
106
107