M
enjelang dihukum mati oleh regu tembak tentara kolonial
Spanyol, pahlawan nasional dan Bapak Nasionalisme
Filipina, Jose Rizal (1861-1896), menulis puisi “Ultimo
Adios”.1 Puisi ini dikutip dalam buku terkenal Benedict Anderson
tentang asal-usul nasionalisme, Imagined Communities (1983).2 Dalam
pandangan Anderson, puisi anak negeri jajahan yang ditulis dalam
bahasa penjajah ini mencontohkan bagaimana bahasa mengilhamkan
suatu keterikatan atau rasa cinta kepada “bangsa”, komunitas rekaan
imajinasi itu. Merujuk pada “Ultimo Adios“, Anderson mencatat:
Sesuatu yang termasuk intisari cinta politis ini dapat dibaca pada
cara-cara bahasa menuturkan obyeknya: entah dalam khazanah
kata yang merujuk kekerabatan (ibu pertiwi, Vaterland, patria),
atau yang mengacu kepada rumah (heimat atau tanah air). Dua
idiom tadi mencandrakan sesuatu yang membuat seseorang
terikat secara alami. Seperti telah kita saksikan sebelumnya, segala
1
Puisi ini pernah diterjemahkan oleh Rosihan Anwar dengan judul “Salam Terakhir”.
Konon, puisi ini dibacakan oleh para pejuang kemerdekaan RI sebelum pergi ke medan
perang.
2
Benedict Anderson, Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang, terjemahan
Omi Intan Naomi (Yogyakarta: Insist dan Pustaka Pelajar, 2001), 217, dengan sejumlah
perbaikan berdasarkan versi Inggris Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections
on the Origin and Spread of Nationalism, Revised Edition (London, New York: Verso, tenth
impression, 2000),143.
1
Kalam 25 / 2013
H.B. Jassin, ed., Pujangga Baru: Prosa dan Puisi (Jakarta: Gunung Agung, 1963),321-338.
3
2
Kalam 25 / 2013
3
Kalam 25 / 2013
S. Takdir Alisjahbana, Lagu Pemacu Ombak (Jakarta: Dian Rakyat, cetakan kedua, 1984).
4
Puisi-puisi Alisjahbana lainnya yang dibahas dalam tulisan ini termaktub dalam buku
tersebut.
4
Kalam 25 / 2013
5
Kalam 25 / 2013
6
Kalam 25 / 2013
Amir Hamzah, Nyanyi Sunyi (Jakarta: Dian Rakyat, cetakan kedelapan, 1978), 25.
5
Selanjutnya ditulis Nyanyi Sunyi. Puisi-puisi Hamzah yang dibahas dalam tulisan ini
termaktub dalam buku tersebut. Pembahasan tentang puisi-puisi Hamzah di bawah ini
berbasis pada Arif Bagus Prasetyo, “Membaca (Kembali) Nyanyi Sunyi”, makalah diskusi
publik “Mendaras Amir Hamzah” di Freedom Institute, Jakarta, 24 Juni 2010.
7
Kalam 25 / 2013
8
Kalam 25 / 2013
9
Kalam 25 / 2013
10
Kalam 25 / 2013
11
Kalam 25 / 2013
12
Kalam 25 / 2013
13
Kalam 25 / 2013
14
Kalam 25 / 2013
6
Goenawan Mohamad, “Melupakan: Puisi dan bangsa, sebuah motif dalam modernisme
sastra Indonesia setelah tahuh 1945”, dalam Keith Foulcher dan Tony Day, ed., Clearing
A Space: Kritik Pasca Kolonial tentang Sastra Indonesia Modern (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia & KITLV-Jakarta, 2006), 224-280. Selanjutnya ditulis Clearing A Space.
7
Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalang: Koleksi Sajak 1942-1949, disunting oleh Pamusuk
Eneste (Jakarta: Gramedia, cetakan keenam, 1993), 57. Selanjutnya ditulis Aku Ini
Binatang Jalang. Puisi-puisi Anwar lainnya yang dibahas dalam tulisan ini termaktub
dalam buku tersebut.
15
Kalam 25 / 2013
16
‘materialitas’ bangsa ini.”
Tetapi puisi Chairil Anwar tampaknya juga menyarankan
bahwa berbeda dari lupa, “melupakan”—sebagai sebuah aktivitas
sadar—selalu berkorespondensi dengan tindak “mengingat”. Orang
tak dapat melupakan apa yang tidak diingatnya. Begitu juga sebaliknya,
orang tak bisa mengingat sesuatu tanpa melupakan sesuatu yang lain.
Arus bolak-balik antara “melupakan” dan “mengingat” ini terekam
pada puisi “Kabar dari Laut”, “Pemberian Tahu” dan “Buat Album
D.S.”—tiga karya Chairil Anwar dari 1946 yang bersinggungan
dengan wacana laut:
Pembahasan tentang puisi-puisi Chairil Anwar di bawah ini berdasarkan Arif Bagus
8
Prasetyo, “Chairil Anwar dan Semangat Kebangsaan”, Tempo, Edisi 19-25 Mei 2008.
Kesan ini bahkan membayangi puisi yang judulnya menggelorakan
semangat nasionalisme, “Merdeka” (1943). Setelah pada bait awal
mengumandangkan kobar hasrat aku-lirik untuk “bebas dari segala”
dan “merdeka”, puisi dikunci dengan bait bernada sendu-pilu-kelu:
“Ah! Jiwa yang menggapai-gapai, / Mengapa kalau beranjak dari sini /
Kucoba dalam mati.”
Namun Anwar juga populer sebagai penyair yang, lebih
daripada penyair lainnya di sepanjang sejarah sastra Indonesia,
paling representatif membawa pijar semangat kebangsaan. Semangat
kebangsaan, atau nasionalisme dan patriotisme, seakan melekat pada
citra Chairil Anwar di mata masyarakat sastra maupun khalayak
umum di negeri ini. Banyak pakar sastra Indonesia yang menyepakati
bahwa nasionalisme/patriotisme adalah bagian penting dari riwayat
Chairil Anwar. Sekadar contoh, dalam esai “Chairil Anwar Kita”, yang
menutup buku koleksi lengkap puisi Chairil Anwar, Aku Ini Binatang
Jalang (1986), Sapardi Djoko Damono menulis: “Bagaimanapun,
Chairil Anwar tampil lebih menonjol sebagai sosok yang penuh
semangat hidup dan sikap kepahlawanan. . . . Bahkan sebenarnya
Chairil Anwar adalah salah seorang penyair kita yang memperhatikan
kepentingan sosial dan politik bangsa.” Dami N. Toda, dalam esai “Pada
‘Malam Chairil Anwar’ KNPI Pusat 29 April 1980”,9 bahkan tegas
menyatakan: “Sehubungan dengan kelibatan sosial yang bermakna
Patriotisme, Chairil Anwar sepenuhnya menginsafi getar denyut
dan tuntutan bangsanya. Seluruh perjuangan estetik dengan seluruh
peralatan analisis rasional yang tajam, diabdikan kepada bangsa.”
Puisi-puisi Anwar berjudul “Merdeka”, “Diponegoro”, “Cerita Buat
Dami N. Toda, Hamba-Hamba Kebudayaan (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1984), 90-93.
9
Dien Tamaela”, “Kerawang-Bekasi”, “Persetujuan dengan Bung
Karno”, “Catetan Tahun 1946”, “Prajurit [sic] Jaga Malam”, bahkan
“Aku” yang terkesan merayakan individualisme, dalam pandangan
Toda, “adalah jelas sajak-sajak patriotik”.
Memang, “keakuan” Anwar dalam puisi tidak mutlak harus
ditafsirkan sebagai “sikap individualistis” pribadi, tapi bisa juga
dimaknai sebagai pernyataan eksistensial dari komunitas nasional
yang baru merdeka dan ingin mandiri-berdikari: sebuah “bangsa
muda menjadi” yang “baru bisa bilang ‘aku’” (“Buat Gadis Rasid”). Itu
sebabnya Toda memasukkan puisi “Aku” dalam kelompok “sajak-
sajak patriotik”. Tapi sebaliknya, Damono mengatakan bahwa puisi
yang sama mencerminkan sikap individualistis Anwar: “Boleh
dikatakan berdasarkan sajak inilah ia dianggap seorang individualis.”
Barangkali Toda membaca aku-lirik puisi “Aku” sebagai personifikasi
bangsa Indonesia, suatu pars pro toto dari “kami bangsa Indonesia”,
sedangkan Damono membacanya sebagai manifesto ego-pribadi.
Kedua tafsir sama-sama sah.
Menarik, dalam “Persetujuan dengan Bung Karno”, sebuah
puisi bernada patriotik-nasionalis yang dicap Damono sebagai
“sama sekali tidak mencerminkan sikap individualistis dan jalang”,
metafora laut dimunculkan Anwar untuk menunjuk kolektivitas.
Ini kontras dengan laut yang dijadikan indeks individualitas dalam
puisi “Kabar dari Laut”, “Pemberian Tahu” dan “Buat Album D.S.”.
Puisi “Persetujuan dengan Bung Karno” cukup jelas menggambarkan
transformasi “aku” menjadi kolektivitas massa yang tersihir retorika
Bung Karno yang terkenal mampu membius khalayak ramai: setelah
“Aku sudah cukup lama dengar bicaramu, / dipanggang atas apimu,
digarami oleh lautmu”, maka “Aku melangkah ke depan berada rapat di
sisimu / Aku sekarang api aku sekarang laut”. Laut melebur “aku” ke
dalam gerak gelora kolektivitas bangsanya di bawah pimpinan sang
singa podium “penyambung lidah rakyat Indonesia”: “Bung Karno! Kau
dan aku satu zat satu urat / Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar /
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh”. Laut menjadi
“ikatan kodrati” yang menautkan subyek individual pada bangsa.
Laut tampaknya bukan saja memutus ikatan dengan
kolektivitas lama, tapi juga memfasilitasi ikatan dengan kolektivitas
baru. Pada kasus Chairil Anwar, kolektivitas baru ini adalah “bangsa
Indonesia” yang sedang menggeliat merdeka, massa revolusioner
yang cenderung menihilkan eksistensi pribadi. Maka pergi ke laut
menjadi suatu strategi intelektualisme defensif, di mana sang penyair
Anwar membina suatu kehidupan introspeksi batin di seberang
gelora aktivitas revolusi. Inilah mekanisme pertahanan diri yang
secara spiritual melindungi sang penyair dari lenyap terseret arus
massa revolusioner. Namun pada tataran lain, laut juga menebus
keterasingan subyek individual, melebur kembali sang penyair
ke dalam gegap-gempita massa di bawah bendera revolusi. Dua
penggunaan metafora laut dalam perbendaharaan puisi Chairil
Anwar ini mengisyaratkan bahwa subyek pergi ke laut bukan untuk
melupakan saja, namun lebih untuk mencari suatu keseimbangan
batin antara melupakan dan mengingat, antara individualisme dan
kolektivisme, antara kesoliteran dan solidaritas. Laut mencerminkan
strategi sang penyair dalam menavigasi subyektivitas individualnya
di tengah disposisi kolektivitas dan ikatan.
Pergi ke laut, yang mudah terbaca sebagai aksi melupakan
(daratan, rumah, ikatan, asal-usul), tampaknya bisa menjadi suatu
jalan berputar untuk mengingat, untuk menyelamatkan keping-
keping ingatan. Dalam puisi Chairil Anwar, “Kabar dari Laut”,
“Pemberian Tahu” dan “Buat Album D.S.”, dapat kita lihat bahwa
di laut, subyek justru banyak berbicara tentang yang ditinggalkan di
darat, meski secara negatif. Hal ini terbaca lebih jelas dalam puisi Sitor
Situmorang, penyair seangkatan Chairil Anwar yang terkenal sebagai
sosok pengembara lahir-batin Barat-Timur. Pada 1940-an, kurang-
lebih bersamaan dengan masa aktif kepenyairan Chairil Anwar,
Situmorang menulis puisi “Pelaut (1)” dan “Pelaut (2)”.10 Dalam puisi
“Pelaut (1)”, subyek sedang berlayar di laut menghadapi angin, ombak,
sinar dan burung camar, tetapi ingatannya justru melayang pada
keluarga yang ditinggalkan di darat: “Di tepi sekali tuan syahbandar.
/ Mungkin ada isteri, sebuah / kamar / Anak main pelaut di geladak /
sekunar.” Meskipun “memikirkannya sukar”, ikatan kekeluargaan itu
samar-samar dipulihkan di laut yang telah jauh memisahkan individu
dari kolektivitas. Dalam puisi “Pelaut (2)”, proyek melupakan bahkan
ditolak dengan tegas. Subyek pergi ke laut bukan untuk melupakan,
tapi justru untuk menebus disintegrasi ingatan:
Sitor Situmorang, Bunga di Atas Batu (Si Anak Hilang) (Jakarta: Gramedia, 1989), 14-15.
10
Laut memulihkan kesadaran akan ikatan/tambatan yang
berpotensi meredakan kesepian eksistensial:
Octavio Paz, Octavio Paz: Puisi dan Esai Terpilih, terjemahan Arif B. Prasetyo (Yogyakarta:
13
D. Zawawi Imron, Bulan Tertusuk Lalang (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), 30.
14
mungkinkah cukup satu denyutan?” Laut tidak lagi menjadi perspektif
yang terbentang ke luar, tapi sebaliknya, surut ke dalam. Imron
adalah salah satu penyair Indonesia yang banyak memainkan citraan
laut dalam puisi. Dari sekian buku kumpulan puisinya, sedikitnya ada
tiga yang judulnya berhubungan dengan laut: Madura, Akulah Lautmu
(1971), Berlayar di Pamor Badik dan Lautmu Tak Habis Gelombang
(1996). Dalam puisi-puisi Imron, laut cenderung dimaknai secara
simbolis sebagai “laut spiritual” yang terbentang di dalam diri. Tipikal
dalam puisi-puisi Imron adalah ungkapan-ungkapan seperti berikut:
“yang kukaji adalah ombak / yang berdeburan hati sendiri” (“Kidung”,
1975), “di laut yang gulita hatimu berendam” (“Tamsil Laut Saat Gulita”,
1975), “Dari dalam lautkah suara ini / Seperti ada bisik sungai dan muara
/ Akupun lupa, diri ini milik siapa” (“Aku Menunggu”, 1976), “Tapi aku
yang bernama sampan / masih saja terus berlayar / ke laut di hati ombak”
(“Perpisahan”, 1984).15
Laut yang terbentang di dalam diri dalam puisi-puisi Imron
dapat dikatakan merupakan antitesis dari laut yang tergelar di
luar diri dalam puisi Takdir Alisjahbana, Chairil Anwar atau Sitor
Situmorang. Motif lain dari antitesis laut yang dikumandangkan para
penyair modernis awal Indonesia ini adalah laut sebagai perspektif
yang mengarah ke belakang, ke sumber/muasal di masa silam—bukan
ke tujuan di masa depan—sebagaimana terbaca dalam puisi Subagio
Sastrowardoyo dari tahun 1989, “Soneta Laut”:16
Ahmad Faisal Imron, Maliun Hawa (Bandung: Komunitas Malaikat, 2007), 55.
19
Mardi Luhung, Ciuman Bibirku yang Kelabu (Yogyakarta: Akar Indonesia, 2007), 3-4.
20
aku datang dalam itikad berumah tangga
melengkungkan janur, membikin primbon bahagia
dan mengharapkan lahirnya bocah-bocah pantaimu
Linus Suryadi AG, ed., Tonggak 4: Antologi Puisi Indonesia Modern (Jakarta: Gramedia,
21
1987), 370-372.
yang terbaca dalam petikan-petikan berikut:
Paul de Man, “Semiology and Rhetoric”, dalam Josue V. Harari, ed., Textual Strategies:
22