Anda di halaman 1dari 39

Kalam 25 / 2013

Laut, Bangsa, Puisi


Menarasikan Keindonesiaan

di “Bawah-Sadar” Puisi Indonesia

Arif Bagus Prasetyo

M
enjelang dihukum mati oleh regu tembak tentara kolonial
Spanyol, pahlawan nasional dan Bapak Nasionalisme
Filipina, Jose Rizal (1861-1896), menulis puisi “Ultimo
Adios”.1 Puisi ini dikutip dalam buku terkenal Benedict Anderson
tentang asal-usul nasionalisme, Imagined Communities (1983).2 Dalam
pandangan Anderson, puisi anak negeri jajahan yang ditulis dalam
bahasa penjajah ini mencontohkan bagaimana bahasa mengilhamkan
suatu keterikatan atau rasa cinta kepada “bangsa”, komunitas rekaan
imajinasi itu. Merujuk pada “Ultimo Adios“, Anderson mencatat:

Sesuatu yang termasuk intisari cinta politis ini dapat dibaca pada
cara-cara bahasa menuturkan obyeknya: entah dalam khazanah
kata yang merujuk kekerabatan (ibu pertiwi, Vaterland, patria),
atau yang mengacu kepada rumah (heimat atau tanah air). Dua
idiom tadi mencandrakan sesuatu yang membuat seseorang
terikat secara alami. Seperti telah kita saksikan sebelumnya, segala
1
Puisi ini pernah diterjemahkan oleh Rosihan Anwar dengan judul “Salam Terakhir”.
Konon, puisi ini dibacakan oleh para pejuang kemerdekaan RI sebelum pergi ke medan
perang.
2
Benedict Anderson, Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang, terjemahan
Omi Intan Naomi (Yogyakarta: Insist dan Pustaka Pelajar, 2001), 217, dengan sejumlah
perbaikan berdasarkan versi Inggris Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections
on the Origin and Spread of Nationalism, Revised Edition (London, New York: Verso, tenth
impression, 2000),143.

1
Kalam 25 / 2013

sesuatu yang “alami” pastilah mengandung sesuatu yang bukan-


pilihan. Dengan begitu, kebangsaan dilebur ke dalam warna kulit,
gender, keorangtuaan, serta zaman-kelahiran—alias segala hal yang
tidak menolong sama sekali. Dan dalam “ikatan alami” ini orang
merasakan apa yang mungkin bisa disebut sebagai “keindahan
paguyuban (gemeinschaft)”.

Dalam formasi diskursif kebangsaan Indonesia pada awal abad


ke-20, pandangan Anderson tersebut tampak berlaku pada sejumlah
puisi Muhammad Yamin (1903-1962) yang sering dirujuk sebagai
karya sastra Indonesia pelopor yang menyuarakan nasionalisme,
aspirasi kebangkitan nasional dan persatuan keindonesiaan, terutama
puisi “Tanah Air”, “Bahasa, Bangsa”, “Indonesia, Tumpah Darahku” dan
“Bandi Mataram”.3 Sekitar dua dasawarsa sebelum Negara Kesatuan
Republik Indonesia dilahirkan di muka bumi, dalam sajak-sajak itu
Yamin menyemaikan bayangan/perasaan keindonesiaan dengan
mengoperasikan sederet idiom puitik yang menyiratkan ikatan-ikatan
“alami” dan “kodrati” yang mengkonstitusi identitas seseorang: tanah,
tanah air, tumpah darah, panorama alam tropis, ayah, ibu, istri, anak,
ninik, keluarga, moyang, kawan, saudara, handai-tolan, kampung,
badan, nyawa; seia sehidup semati, sekata sekumpul seikat sehati,
senyawa sebadan sungguh sejati, sedarah-sebangsa. Inilah mata-mata
rantai ikatan “alami-kodrati” yang terangkai menjadi “keindahan
paguyuban” kebangsaan: “Perasaan serikat menjadi padu / Dalam
bahasanya, permai merdu” (“Bahasa, Bangsa”). Yamin mengeksplisitkan
sebuah ciri kesadaran nasionalis bahwa, dalam ungkapan Anderson,
“sejak awal bangsa sudah dipahami dalam bahasa”: “Terlahir di bangsa,

H.B. Jassin, ed., Pujangga Baru: Prosa dan Puisi (Jakarta: Gunung Agung, 1963),321-338.
3

2
Kalam 25 / 2013

berbahasa sendiri”, “Tiada bahasa, bangsa pun hilang” (“Bahasa, Bangsa”),


“O, tanah, wahai pulauku / Tempat bahasa mengikat bangsa” (“Tanah Air”).
Dari Muhammad Yamin, mari sejenak kembali ke Jose Rizal.
Ditulis untuk mengantisipasi elmaut yang segera datang menjemput,
“Ultimo Adios” Jose Rizal mudah dibaca sebagai ucapan pamitan dari
seseorang yang hendak pergi meninggalkan dunia fana ke alam baka.
Tetapi, puisi ini juga terasa menyarankan bahwa tatapan sang penyair
tidak semata-mata tertuju pada negeri kematian. Kita baca bait ke-13:

Tanah pujaan, dengarkan selamat tinggalku!


Filipina Cintaku, dukamu sangat laraku jua,
Kutinggalkan kalian semua, yang sangat kucintai;
‘Ku pergi ke sana, di mana tiada hamba tiada tiran berada,
Di mana Keyakinan tiada merenggut nyawa,
Dan Tuhan mahakuasa beradu.

Jose Rizal akan “pergi ke sana”, jelas ke negeri kematian, tapi


mungkin yang terbayang di benaknya bukan akhirat, melainkan
negara-bangsa Filipina pascakolonial: sebuah alamat politis yang
menjanjikan kebebasan, keadilan dan kesetaraan (“di mana tiada
hamba tiada tiran berada / Di mana Keyakinan tiada merenggut
nyawa”), dan janji itu dijamin dengan segel ilahiah sehingga tak dapat
diganggu-gugat oleh manusia fana, terutama penjajah (“Dan Tuhan
mahakuasa beradu”). Dalam bayangan maut yang tak terelakkan
dan kemahakuasaan Tuhan yang tak bisa dipatahkan, terwujudnya
negara-bangsa Filipina pascakolonial seakan-akan kodrat yang pasti
terjadi. Sang penyair dan bangsanya adalah satu (“Filipina Cintaku,
dukamu sangat laraku jua”). Penjajah boleh mematikan raga Rizal, tapi
tidak sukma sang penyair yang lebur dengan bangsanya, sebab mati

3
Kalam 25 / 2013

hanyalah “tetirah”, istirahat, sebagaimana disimpulkan di akhir puisi.


Jika kodrat menghendaki sang penyair “pergi ke sana” menuju alamat
kemerdekaan di akhirat, maka kodrat yang sama meniscayakan
bangsa Filipina “pergi ke sana” menuju alamat kemerdekaan di dunia.
Inilah aspirasi nasionalisme yang menjadi terang-benderang dalam
bait terakhir puisi “Bandi Mataram” Muhammad Yamin: “Kini
bangsaku, insafkan diri / Berjalan ke muka, marilah mari / Menjelang
padang ditumbuhi mujari / Dicayai Merdeka berseri-seri.”
Motif “pergi ke sana” melatari puisi “Menuju ke Laut”4 karya
salah seorang tokoh perintis kesusastraan Indonesia lainnya, Sutan
Takdir Alisjahbana (1908-1994). Kita tahu, Alisjahbana adalah pendiri
dan pemimpin Poedjangga Baru, “Madjalah boelanan pembimbing
semangat baroe jang dinamis oentoek membentoek keboedajaan baroe,
keboedajaan persatoean Indonesia”, yang terbit pertama kali pada Juli
1933. Di bawah judul puisi “Menuju ke Laut”, yang dimuat di majalah
Pembangunan pada September 1946, Alisjahbana membubuhkan
frasa “Angkatan Baru”. Berkat sub-judul ini, ditambah dengan
aktivitas menonjol Alisjahbana sebagai sastrawan-intelektual yang
giat mempromosikan gagasan-gagasan tentang kiblat “kebudayaan
baru, kebudayaan persatuan Indonesia” yang merupakan antitesis
kebudayaan lama masyarakat pra-Indonesia, puisi “Menuju ke Laut”
dapat dibaca sebagai bagian dari pembentukan wacana kebangsaan
Indonesia. Puisi yang mengabarkan tentang hijrah fisik subyek dari
gunung ke laut ini menjadi isyarat hijrah rohani dari kebudayaan
lama ke kebudayaan baru, yakni kebudayaan persatuan Indonesia.

S. Takdir Alisjahbana, Lagu Pemacu Ombak (Jakarta: Dian Rakyat, cetakan kedua, 1984).
4

Puisi-puisi Alisjahbana lainnya yang dibahas dalam tulisan ini termaktub dalam buku
tersebut.

4
Kalam 25 / 2013

Motif “pergi ke sana” yang diungkapkan dengan kiasan “menuju ke


laut” dalam puisi ini mengisyaratkan gerak pencarian “kebudayaan
persatuan Indonesia” yang didefinisikan oleh “kemajuan” di bawah
debur-gelora proyek modernitas—sebuah bangsa Indonesia progresif
yang berangkat menyejajarkan diri dengan bangsa-bangsa lain di
muka bumi.
Bayangan keindonesiaan dalam puisi “Menuju ke Laut”
dikonstruksi dengan memutus ikatan dengan sesuatu yang “alami” dan
“kodrati”, sikap yang kontras dengan karakter ekspresi seni nasionalis
Andersonian maupun puisi-puisi nasionalis Muhammad Yamin.
Berbeda dari puisi nasionalis “Ultimo Adios” Jose Rizal, gerak “pergi
ke sana” dalam puisi “Menuju ke Laut” Alisjahbana bukan didorong
oleh kodrat, nasib atau takdir, melainkan oleh pilihan, kesadaran
dan agensi subyek. Kontras dengan puisi nasionalis Yamin, puisi
Alisjahbana ini menegasi sesuatu yang membuat seseorang “terikat
secara alami”, bahkan sampai dua kali (pada bait pertama dan bait
terakhir):

Kami telah meninggalkan engkau,


tasik yang tenang, tiada beriak,
diteduhi gunung yang rimbun
dari angin dan topan.
Sebab sekali kami terbangun
Dari mimpi yang nikmat.

Sementara Yamin melegitimasi keindonesiaan dengan
menggaungkan ikatan-ikatan lama yang “alami” dan “kodrati”,
Alisjahbana meluncurkan langkah retorik yang memutus ikatan-
ikatan itu untuk menjalin identitas keindonesiaan baru. Nasionalisme

5
Kalam 25 / 2013

Yamin berpijak pada genealogi kesinambungan dan persamaan,


nasionalisme Alisjahbana bertumpu pada teleologi keterputusan
dan perbedaan. Aspirasi nasional Yamin berbasis “muasal”, aspirasi
nasional Alisjahbana berbasis “tujuan”. Lewat puisi “Menuju ke Laut”,
Alisjahbana terasa menampik anggapan bahwa bangsa Indonesia
tumbuh dari masa lampau ke masa kini, dan sebagai gantinya, ia
menempatkan lokasi formatif keindonesiaan pada matriks yang
terbentang dari masa kini ke masa depan. Sebab “ketenangan lama”,
muasal silam itu, identik dengan “rasa beku” dan “rasa pengalang” bagi
“berontak hati hendak bebas / menyerang segala apa mengadang”. Maka
sang penyair modernis memilih hengkang dari “ketenangan lama”,
menyongsong cakrawala masa depan, meski “betapa sukarnya jalan,
badan terhempas, kepala tertumbuk, hati hancur, pikiran kusut”.
Dengan memutus “ikatan kodrati” dengan muasal silam,
kemudian mengarungi laut luas nan ganas di hadapan, apakah
berarti subyek melepaskan “keindahan paguyuban”? Tercerabut dari
kolektivitas yang mengungkung dan menjadi individu yang bebas,
dengan segala berkah dan kutuk kebebasan itu? Bagi Alisjahbana,
tampaknya tidak demikian. Yang berbicara dalam puisi “Menuju ke
Laut” adalah “kami”, subyek kolektif, dan suara paguyuban ini tetap
solid dari awal sampai akhir puisi. “Menuju ke Laut” bersinonim
dengan “Menuju kebudayaan dan masyarakat baru”—judul prosa-
liris Alisjahbana bertahun 1939. Kolektivitas “beku” dan “pengalang”
itu adalah masyarakat lama, yang ditinggalkan demi terciptanya
kolektivitas baru, bagaikan senyawa lama yang terurai menjadi
atom-atom yang membentuk senyawa baru. Persenyawaan baru ini
dimungkinkan karena sang penyair dapat membayangkan bahwa
di seberang lautan ada tanah, “ikatan kodrati”, yang menunggu.

6
Kalam 25 / 2013

Dalam puisi “Nikmat Nakhoda Menuju Pelabuhan” bertahun 1937,


subyek otonom-bebas yang telah mengembara di lautan luas naik
kapal dengan “layar compang-camping dan kemudi gila” pada akhirnya
melihat pelabuhan dan memaklumkan, sampai dua kali: “Dari kapal
beta tahulah beta, bahwa masih ada tanah daratan.” Demikian pula dalam
puisi “Kerabat Kita” yang bertahun 1962. Setelah pergi merantau
meninggalkan bunda, mengembara ke berbagai belahan dunia
dan menghanyut dalam lautan manusia, subyek pulang ke ibunya
dengan “berita girang” yang mengabarkan kolektivitas baru: “Bunda,
/ Alangkah luasnya dan dahsyatnya kerabat kita, / kaya budi kaya hati,
/ pusparagam ciptaan dan dambaan.” “Ikatan kodrati” lama memang
diputus, tapi hanya sebagai syarat untuk menjalin “ikatan kodrati”
baru: suatu komunitas terbayang di seberang “laut”.
Pemutusan dari “ikatan kodrati” itu menjadi tragis pada visi
puitik Amir Hamzah (1911-1946), sang “Raja Penyair Pujangga
Baru”, terutama dalam kumpulan puisi Nyanyi Sunyi (1935).5 Dalam
puisi “Ibuku Dehulu”, Amir Hamzah tampak mengidentikkan figur
ibu dengan “ikatan kodrati” yang mendudukkan dan menundukkan
subyek di tengah tatanan sosial: “Demikian engkau: / Ibu, bapa, kekasih
pula / Berpadu satu dalam dirimu / Mengawas daku dalam dunia”.
Figur ibu dalam puisi ini dipandang sebagai bagian integral dari
otoritas kolektif “engkau” yang mengontrol subyek di bawah tatapan
kuasanya, menormalkan perversi subyek, dan menjamin status
terhormat subyek:

Amir Hamzah, Nyanyi Sunyi (Jakarta: Dian Rakyat, cetakan kedelapan, 1978), 25.
5

Selanjutnya ditulis Nyanyi Sunyi. Puisi-puisi Hamzah yang dibahas dalam tulisan ini
termaktub dalam buku tersebut. Pembahasan tentang puisi-puisi Hamzah di bawah ini
berbasis pada Arif Bagus Prasetyo, “Membaca (Kembali) Nyanyi Sunyi”, makalah diskusi
publik “Mendaras Amir Hamzah” di Freedom Institute, Jakarta, 24 Juni 2010.

7
Kalam 25 / 2013

Matanya terus mengawas daku


Walaupun bibirnya tiada bergera
Mukanya masam menahan sedan
Hatinya pedih karena lakuku

Terus aku berkesal hati


Menurutkan setan mengacau-balau
Jurang celaka terpandang dimuka
Kusongsong juga—biar cedera

Bangkit ibu dipegangnya aku


Dirangkumnya segera dikucupnya serta
Dahiku berapi pancaran neraka
Sejak sentosa turun ke kalbu

Dibaca sebagai personifikasi otoritas kolektif yang mengontrol


individu, tokoh ibu dalam puisi “Batu Belah” dapat menyimbolkan
masyarakat lama (adat), rahim sosio-kultural yang telah melahirkan
sang penyair. Puisi ini menyiratkan kekecewaan sang penyair
terhadap “ikatan kodrati” lama yang tidak mampu mengakomodasi
keinginan individualnya. Kepada ibunya, si anak menuntut “Telur
kemahang minta carikan / Untuk lauk di nasi sejuk”, tetapi si ibu tidak
sanggup memenuhi permintaan itu: “Tiada sayang; / Dalam rimba
telur kemahang / Mana daya ibu mencari / Mana tempat ibu meminta”.
Masyarakat lama, yang membuat sang penyair terikat secara “kodrati”
itu, tak punya tempat untuk menampung aspirasi baru individu,
karena masyarakat ini telah lapuk, tinggal menunggu ambruk: si ibu
akhirnya menemui ajal dimangsa batu belah.
Tetapi, Amir Hamzah berbeda dari Sutan Takdir Alisjahbana
yang berani meninggalkan “ikatan kodrati” lama untuk menyongsong
masyarakat baru. Menyaksikan kematian sang ibu kultural, Hamzah

8
Kalam 25 / 2013

tidak melihat kemungkinan lain kecuali menyongsong mautnya


sendiri. Si anak menyusul mati ibunya ke mulut batu belah, karena
“sudah demikian kuperbuat janji”. “Ikatan kodrati” itu terlalu kuat
untuk diputus. Dalam puisi “Terbuka Bunga”, Hamzah melihat
“terbuka bunga dalam hati”, dan tahu bahwa “dengan mengelopaknya
bunga ini, layulah bunga lampau”, tetapi ia sangsi bakal menemukan
“bunga sejati yang tiadakan layu”. Dalam puisi “Taman Dunia”, sang
penyair menyadari bahwa keterputusan dari “ikatan kodrati” yang
membimbing, mengarahkan dan menata kehidupannya hanya
membuatnya “termangu aku gilakan rupa”: terdampar sendirian
di pulau subyektivisme radikal, medan daya-daya dan dorongan-
dorongan subyektif yang saling bertentangan. Maka ia memilih
untuk tak jadi terkutuk, “insyaf diriku dera durhaka”, sebagaimana
dikatakannya dalam puisi “Insyaf”, meskipun itu berarti serasa
binasa (“Tahu aku / Kini hari menuai api / Mengetam ancam membelam
redam”): mati ditelan “ikatan kodrati” lama seperti dalam puisi “Batu
Belah”, atau mati gila dan kesepian seperti dalam puisi “Padamu Jua”,
di mana “Pulang kembali aku padamu / Seperti dahulu” berakhir tragis
dengan “nanar aku, gila sasar” dan “menunggu seorang diri [. . .] Mati
hari – bukan kawanku. . . .”
Apakah keindonesiaan sebagai sebuah konsesus kekitaan
baru serta-merta hadir tanpa masalah dengan dirombaknya konsensus
kekitaan lama, teristimewa dengan mengikrarkan “satu nusa, satu
bangsa, satu bahasa” pada 28 Oktober 1928 di gedung Keramat 106
Jakarta Raya? Para penyair seperti Sutan Takdir Alisjahbana dan
Amir Hamzah, mungkin jauh di lubuk jiwa mereka, tampaknya
menyadari bahwa soalnya tidaklah mudah. Integrasi kekitaan baru
mempersyaratkan bukan transformasi, melainkan disintegrasi,

9
Kalam 25 / 2013

kekitaan lama—dengan segala prosesnya yang menyakitkan. Senyawa


lama harus diuraikan dulu menjadi atom-atom untuk kemudian,
dengan upaya jatuh-bangun trial and error, ditempa kembali menjadi
senyawa baru. Rangkaian integrasi-disintegrasi-reintegrasi kekitaan
ini melibatkan pergolakan pikiran dan kemelut perasaan yang tidak
mudah dinavigasi. Pada Alisjahbana, sesudah meninggalkan tasik yang
tenang, jatuh, mengerang, keluh, badan terhempas, kepala tertumbuk,
hati hancur, pikiran kusut (“Menuju ke Laut”), setelah mengembara
dengan kapal yang layarnya compang-camping dan kemudinya gila
yang akan terkandas hancur di karang (“Nikmat Nakhoda Menuju
Pelabuhan”), sepulang dari rantau menjelajah banyak selat-sungai-
gunung-gurun, beragam warna-bahasa-budaya dan bersantap-
bercengkerma-bercumbu-bertengkar-berselisih (“Kerabat Kita”),
barulah subyek melihat “masih ada tanah daratan” (“Nikmat Nakhoda
Menuju Pelabuhan”) dan dapat kembali ke haribaan bunda dengan
membawa “berita girang” (“Kerabat Kita”). Model disintegrasi kekitaan
pada Alisjahbana adalah eksodus, dengan kemungkinan reintegrasi di
seberang “laut”. Sementara pada Hamzah, proses disintegrasi kekitaan
lama sebagai syarat pembentukan kekitaan baru terasa lebih telak dan
total.
Jika “kita” terbentuk dari kesatuan/kesamaan/kebersamaan dari
“aku” dan “kau”, maka Nyanyi Sunyi Amir Hamzah mengumandangkan
keterpisahan/kebedaan/kesendiri-sendirian antara “aku” dan “kau”.
Nyanyi Sunyi menandai krisis batin hebat yang mengiringi kelahiran
subyek atomik-individual dari retakan senyawa kolektivitas. Dalam
puisi “Hari Menuai”, Hamzah menulis:

10
Kalam 25 / 2013

Lamanya sudah tiada bertemu


Tiada kedengaran suatu apa
Tiada tempat duduk bertanya
Tiada teman kawan beberita

Lipu aku diharu sendu
Samar sapur cuaca mata
Sesak sempit gelanggang dada
Senak terhentak raga kecewa

Hibuk mengamuk hati tergari


Melolong meraung menyentak rentak
Membuang merangsang segala petua
Tiada percaya pada siapa

(Nyanyi Sunyi, 28)

“Tiada percaya pada siapa”. Model disintegrasi kekitaan Hamzah


adalah eksklusi/ekskomunikasi. Seperti Alisjahbana yang melihat
“masih ada tanah daratan” (“Nikmat Nakhoda Menuju Pelabuhan”),
sebetulnya Hamzah juga membayangkan kemungkinan reintegrasi
kekitaan baru dari puing-puing kekitaan lama. “Tiada bersua dalam
dunia / Tiada mengapa hatiku sayang,” kata Hamzah dalam puisi
“Astana Rela”. Sebab, meski bukan di dunia sekarang, masih ada
kebersamaan yang membahagiakan di dunia kelak: “Disitu baru kita
berdua / Sama merasa, sama membaca / Tulisan cuaca rangkaian mutiara”.
Namun eksklusi/ekskomunikasi memang menyarankan pemisahan
yang lebih radikal dari, dan tidak tertebus oleh, eksodus.
Alisjahbana bersemangat pergi ke laut karena tahu akan
mencapai daratan kekitaan di seberang sana: “Dari kapal beta tahulah
beta, bahwa masih ada tanah daratan” (“Nikmat Nakhoda Menuju

11
Kalam 25 / 2013

Pelabuhan”). Optimisme demikian tampaknya ditampik oleh


Hamzah. Dalam puisi “Hanya Satu”, Hamzah melihat laut sebagai
situs katastrofe yang membuat “manusia kecil lintang pukang”. Baginya,
“Terapung naik jung bertundung / Tempat berteduh nuh kekasihmu”
bukan saja menghasilkan “Bebas lepas lelang lapang / Ditengah gelisah,
swara sentosa”, tetapi juga menimbulkan perpecahan baru: “Kini
kami bertikai pangkai / Diantara dua, mana mutiara”. Lautan memang
menjanjikan daratan kekitaan di seberang sana, tapi orang yang
menyeberangi laut bisa mati tenggelam sebelum daratan itu tergapai,
sebagaimana disuarakan dalam puisi “Hanyut Aku”:

Hanyut aku, kekasihku!


Hanyut aku!
Ulurkan tanganmu, tolong aku.
Sunyinya sekelilingku!
Tiada suara kasihan, tiada angin mendingin hati,
tiada air menolak ngelak.
Dahagakan kasihmu, hauskan bisikmu, mati aku
sebabkan diammu.
Langit menyerkap, air berlepas tangan, aku tenggelam.
Tenggelam dalam malam.
Air diatas menindih keras.
Bumi dibawah menolak keatas
Mati aku, kekasihku, mati aku!

(Nyanyi Sunyi, 12)

Berbeda dari puisi “Hanya Satu” yang jelas-jelas berlatar


kisah mitologis pelayaran Nuh mengarungi samudra-banjir, puisi
“Hanyut Aku” tidak memberikan isyarat yang jelas apakah lanskap
perairan yang ditunjuknya adalah laut, sungai atau danau. Tetapi, dari

12
Kalam 25 / 2013

kuatnya energi alam yang digambarkan (langit menyerkap, air berlepas


tangan, air diatas menindih keras, bumi dibawah menolak keatas) dan
asosiasi tentang keluasan ruang yang disiratkan oleh frasa “tenggelam
dalam malam”, lebih mudah membayangkan laut sebagai latar puisi
“Hanyut Aku”. Selain itu, puisi ini juga tidak menginformasikan
apakah kekitaan yang dibayangkan “aku” ketika berseru minta tolong
kepada “kau” berada di masa silam atau masa depan. Hamzah tidak
memberi tahu apakah “aku” membayangkan kolektivitas lama dengan
menghasratkan “kau” yang telah ditinggalkan, atau membayangkan
kolektivitas baru dengan menghasratkan “kau” yang akan dituju
di seberang sana. Namun kita tahu, dengan cukup yakin, bahwa
dengan berada di laut, subyek terputus dari “kau” yang (pernah/
akan) membentuk ikatan “kita”; dan bahwa, secara paradoksal, justru
kesendirian total yang ditemukan “aku” di laut itulah yang pada
akhirnya, di ambang kematian, menghidupkan kembali “kita” (dalam
seruan minta tolong kepada “kau”).
Dalam puisi “Hanya Satu” Hamzah, laut menceraiberaikan
kolektivitas (“Manusia kecil lintang pukang”), lalu membentuk kembali
kebersamaan (“Teriak riuh redam terbelam”) dan ikatan kekerabatan
(“Juriat jelita bapaku iberahim / Keturunan intan dua cahaya / Pancaran
putera berlainan bunda”); laut menghasilkan perpecahan (“Kini kami
bertikai pangkai / Di antara dua, mana mutiara”), tapi juga mengantarkan
ke persatuan ultim (“Hanya satu kutunggu hasrat / Merasa dikau
dekat rapat / Serupa musa dipuncak tursina.”). Sementara dalam puisi
Alisjahbana, “Nikmat Nakhoda Menuju Pelabuhan” dan “Menuju ke
Laut”, samudra—dengan segala dera dan bahayanya—memikat subyek
untuk bercerai dari ikatan lama, dengan menjanjikan ikatan baru di
seberang sana.

13
Kalam 25 / 2013

Sebagai kaum terpelajar, para penyair pada masa pra-


maupun pascakemerdekaan tentu sangat menyadari bahwa Hindia-
Belanda atau Indonesia adalah negeri kepulauan yang sebagian besar
wilayahnya terdiri dari lautan. Lautan bersama daratan membentuk
kesatuan “tanah air” Indonesia, di mana laut menjadi bagian (dominan)
dari lingkungan dalam negeri. Tetapi, sebagian besar tapal batas
Indonesia yang bersinggungan dengan wilayah non-Indonesia juga
berada di lautan, sehingga perbatasan teritorial itu hanya kasatmata
dalam imajinasi, ketika ditarik sebagai garis imajiner pada peta.
Sementara dalam kenyataan, batas lautan Indonesia selalu terlihat
homogen dan bercampur dengan wilayah laut luar negeri. Laut
seakan-akan berada di dalam dan sekaligus di luar “rumah” Indonesia.
Karakter geografis khas negeri kepulauan ini meresapi lanskap
imajinasi puitik banyak penyair Indonesia pada masa sebelum maupun
sesudah Perang Dunia Kedua. Laut tak pernah surut dari repertoar
tema, metafora, simbol dan citra dalam khazanah puisi berbahasa
Indonesia, sejak dulu sampai kini. Penyair Indonesia bahkan tak segan
menyatakan secara lugas kecintaannya kepada laut, misalnya “aku cinta
pada laut” (Abdul Hadi W.M., “Laut”, 1973), “aku ingin sendiri dengan
laut / di mana kulontarkan cinta kelam” (Subagio Sastrowardoyo,
“Soneta Laut”, 1989), “aku mencintai laut” (Adi Wicaksono, “Laut”,
1990-1993). Mirip dengan laut dalam realitas geografi Indonesia, laut
dalam imajinasi puitik banyak penyair Indonesia cenderung menjadi
situs diskursif untuk merepresentasikan daerah perbatasan, suatu
frontier, yang membatasi dan sekaligus melebur kategori-kategori yang
bertentangan: individualitas/kolektivitas, keterikatan/kebebasan,
keakraban/keasingan, jauh/dekat, soliter/solider, perpecahan/
persatuan, dulu/kini, tradisi/modern, kampung halaman/rantau,

14
Kalam 25 / 2013

muasal/tujuan, nyata/maya, hidup/mati dan seterusnya.


Goenawan Mohamad, dalam esai “Melupakan: Puisi dan
Bangsa, Satu Motif dalam Modernisme Sastra Indonesia Sesudah
1945”,6 memasukkan “Laut” sebagai salah satu sub-tema pembahasan.
Di sana ia mengutip, antara lain, puisi Chairil Anwar, “Kabar dari
Laut” (1946),7 yang lengkapnya sebagai berikut:

KABAR DARI LAUT

Aku memang benar tolol ketika itu,


mau pula membikin hubungan dengan kau;
lupa kelasi tiba-tiba bisa sendiri di laut pilu,
berujuk kembali dengan tujuan biru.

Di tubuhku ada luka sekarang,


bertambah lebar juga, mengeluar darah,
di bekas dulu kau cium napsu dan garang;
lagi aku pun sangat lemah serta menyerah.

Hidup berlangsung antara buritan dan kemudi.


Pembatasan cuma tambah menyatukan kenang.
Dan tawa gila pada whisky tercermin tenang.

Dan kau? Apakah kerjamu sembahyang dan memuji,


Atau di antara mereka juga terdampar,
Burung mati pagi hari di sisi sangkar?

6
Goenawan Mohamad, “Melupakan: Puisi dan bangsa, sebuah motif dalam modernisme
sastra Indonesia setelah tahuh 1945”, dalam Keith Foulcher dan Tony Day, ed., Clearing
A Space: Kritik Pasca Kolonial tentang Sastra Indonesia Modern (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia & KITLV-Jakarta, 2006), 224-280. Selanjutnya ditulis Clearing A Space.
7
Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalang: Koleksi Sajak 1942-1949, disunting oleh Pamusuk
Eneste (Jakarta: Gramedia, cetakan keenam, 1993), 57. Selanjutnya ditulis Aku Ini
Binatang Jalang. Puisi-puisi Anwar lainnya yang dibahas dalam tulisan ini termaktub
dalam buku tersebut.

15
Kalam 25 / 2013

Dalam pandangan Mohamad:

Apa yang menonjol mengenai puisi ini adalah bahwa yang


ditinggalkan bukanlah suatu jalan untuk pulang, atau suatu
pelayaran menuju asal-usul, melainkan ke ‘tujuan biru’. Laut
adalah rumah si asing, atau mungkin malah antitesisnya. Si
pelaut menjadi sosok yang romantik, seorang Sinbad kecil tanpa
dongeng-dongeng mukjijat dan kekuatan magis, melainkan suatu
kisah tentang perlawanan, tentang keberanian sendiri, tentang
kesendirian yang membanggakan, tentang mobilitas tanpa kekang
dan pengembaraan yang menggairahkan (Clearing A Space, 255).

Bagi Mohamad, gerak metaforis pergi ke laut merefleksikan


tindak melupakan: suatu “pemberontakan dalam melupakan”
(merujuk pada puisi “Cerita buat Dien Tamaela” Anwar, 1946);
“suasana hati dari kehidupan tanpa titik pusat”, “perasaan hidup
menggelandang yang hebat” (merujuk pada puisi “Perhitungan”
Anwar, 1943); “terbang, lari, berharap tidak mencapai apa-apa pada
akhirnya”, “melupakan secara aktif” (merujuk pada puisi “Buat Gadis
Rasid” Anwar, 1948); bahwa “mempunyai alamat tidak penting
lagi” (merujuk pada larik penutup menggetarkan, “Ini juga kutulis di
kapal, di laut tidak bernama!” dalam puisi “Pemberian Tahu” Anwar,
1946). Catat Mohamad: “[p]uisi Indonesia setelah Perang Dunia II,
yang ditandai dengan lirikisme yang intens dan digarisbawahi oleh
karya-karya Chairil Anwar, mendapatkan bahwa adalah hal alami
untuk membebaskan diri dari ingatan dan memilih ‘laut’. Ada suatu
kekuatan murni yang bisa dirasakan dalam tindak melupakan. Yang
mengherankan mengenai hal ini adalah bahwa itu semua terjadi di
suatu masa ketika para penyair sendiri secara tuntas dibaptis dalam
suatu kesadaran tentang batas dan belonging yang muncul dari

16
‘materialitas’ bangsa ini.”
Tetapi puisi Chairil Anwar tampaknya juga menyarankan
bahwa berbeda dari lupa, “melupakan”—sebagai sebuah aktivitas
sadar—selalu berkorespondensi dengan tindak “mengingat”. Orang
tak dapat melupakan apa yang tidak diingatnya. Begitu juga sebaliknya,
orang tak bisa mengingat sesuatu tanpa melupakan sesuatu yang lain.
Arus bolak-balik antara “melupakan” dan “mengingat” ini terekam
pada puisi “Kabar dari Laut”, “Pemberian Tahu” dan “Buat Album
D.S.”—tiga karya Chairil Anwar dari 1946 yang bersinggungan
dengan wacana laut:

“Kabar dari Laut” “Pemberian Tahu” “Buat Album D.S.”


Melupakan Aku memang benar Bukan maksudku Seorang gadis lagi
tolol ketika itu, / mau berbagi nasib, menyanyi / Lagu
mau pula membikin / nasib adalah derita di pantai
hubungan dengan kau; kesunyian masing- yang jauh, / Kelasi
/ lupa kelasi tiba-tiba masing. / Kupilih bersendiri di laut
bisa sendiri di laut kau dari yang biru, dari / Mereka
pilu, / berujuk kembali banyak, tapi / yang sudah lupa
dengan tujuan biru. sebentar kita sudah bersuka.
dalam sepi lagi
terjaring.
Mengingat Di tubuhku ada luka Aku pernah ingin Kami rasa bahagia
sekarang, / bertambah benar padamu, / tentu ‘kan tiba, /
lebar juga, mengeluar Di malam raya, Kelasi mendapat
darah, / di bekas dulu menjadi kanak- dekapan di
kau cium nafsu dan kanak kembali, pelabuhan / Dan
garang; / lagi aku pun // Kita berpeluk di negeri kelabu
sangat lemah serta ciuman tidak jemu, yang berhiba /
menyerah. / Rasa tak sanggup Penduduknya
kau kulepaskan. bersinar lagi, dapat
tujuan.
Melupakan Hidup berlangsung Jangan satukan Lagu merdu! apa
antara buritan dan hidupmu dengan mengertikah
kemudi. / Pembatasan hidupku, / Aku adikku kecil / yang
cuma tambah memang tidak bisa menangis mengiris
menyatukan kenang. lama bersama / hati / Bahwa
/ Dan tawa gila pada Ini juga kutulis di pelarian akan terus
whisky tercermin kapal, di laut tidak tinggal terpencil, /
tenang. bernama! Juga di negeri jauh
itu surya tidak
kembali?

Dalam tiga puisi tersebut, pergi ke laut, “bersendiri di laut biru”


(“Buat Album D.S.”), menandai terputusnya “aku” dari “hubungan
dengan kau” (“Kabar dari Laut”) yang pernah membentuk kolektivitas
“kita” atau “kami”. Laut mencerminkan wajah individualistis sang
penyair soliter yang berpuisi mendesahkan kesadaran humanis tragis:
“Bukan maksudku mau berbagi nasib, nasib adalah kesunyian masing-
masing” (“Pemberian Tahu”).
Chairil Anwar dikenal banyak menulis puisi tentang problem
eksistensial yang dihadapi dengan heroik dan tragis oleh seorang
individualis-modernis.8 Sang Aku dengan perih-megap-meriang
banyak bertutur tentang hubungan asmara yang jalang dan/atau
getir, kesepian, kehampaan hidup, pencarian religius, maut, dan
pergolakan batin lainnya yang bersifat personal. Ditulis pada dekade
1940-an, kurun mahagenting dalam sejarah bangsa Indonesia dalam
merebut dan mempertahankan kemerdekaan, banyak puisi Anwar
menampilkan “aku” yang cenderung muram, terkesan menjauh dari
gelora semangat kolektif sebuah bangsa di tengah suasana revolusi.

Pembahasan tentang puisi-puisi Chairil Anwar di bawah ini berdasarkan Arif Bagus
8

Prasetyo, “Chairil Anwar dan Semangat Kebangsaan”, Tempo, Edisi 19-25 Mei 2008.
Kesan ini bahkan membayangi puisi yang judulnya menggelorakan
semangat nasionalisme, “Merdeka” (1943). Setelah pada bait awal
mengumandangkan kobar hasrat aku-lirik untuk “bebas dari segala”
dan “merdeka”, puisi dikunci dengan bait bernada sendu-pilu-kelu:
“Ah! Jiwa yang menggapai-gapai, / Mengapa kalau beranjak dari sini /
Kucoba dalam mati.”
Namun Anwar juga populer sebagai penyair yang, lebih
daripada penyair lainnya di sepanjang sejarah sastra Indonesia,
paling representatif membawa pijar semangat kebangsaan. Semangat
kebangsaan, atau nasionalisme dan patriotisme, seakan melekat pada
citra Chairil Anwar di mata masyarakat sastra maupun khalayak
umum di negeri ini. Banyak pakar sastra Indonesia yang menyepakati
bahwa nasionalisme/patriotisme adalah bagian penting dari riwayat
Chairil Anwar. Sekadar contoh, dalam esai “Chairil Anwar Kita”, yang
menutup buku koleksi lengkap puisi Chairil Anwar, Aku Ini Binatang
Jalang (1986), Sapardi Djoko Damono menulis: “Bagaimanapun,
Chairil Anwar tampil lebih menonjol sebagai sosok yang penuh
semangat hidup dan sikap kepahlawanan. . . . Bahkan sebenarnya
Chairil Anwar adalah salah seorang penyair kita yang memperhatikan
kepentingan sosial dan politik bangsa.” Dami N. Toda, dalam esai “Pada
‘Malam Chairil Anwar’ KNPI Pusat 29 April 1980”,9 bahkan tegas
menyatakan: “Sehubungan dengan kelibatan sosial yang bermakna
Patriotisme, Chairil Anwar sepenuhnya menginsafi getar denyut
dan tuntutan bangsanya. Seluruh perjuangan estetik dengan seluruh
peralatan analisis rasional yang tajam, diabdikan kepada bangsa.”
Puisi-puisi Anwar berjudul “Merdeka”, “Diponegoro”, “Cerita Buat

Dami N. Toda, Hamba-Hamba Kebudayaan (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1984), 90-93.
9
Dien Tamaela”, “Kerawang-Bekasi”, “Persetujuan dengan Bung
Karno”, “Catetan Tahun 1946”, “Prajurit [sic] Jaga Malam”, bahkan
“Aku” yang terkesan merayakan individualisme, dalam pandangan
Toda, “adalah jelas sajak-sajak patriotik”.
Memang, “keakuan” Anwar dalam puisi tidak mutlak harus
ditafsirkan sebagai “sikap individualistis” pribadi, tapi bisa juga
dimaknai sebagai pernyataan eksistensial dari komunitas nasional
yang baru merdeka dan ingin mandiri-berdikari: sebuah “bangsa
muda menjadi” yang “baru bisa bilang ‘aku’” (“Buat Gadis Rasid”). Itu
sebabnya Toda memasukkan puisi “Aku” dalam kelompok “sajak-
sajak patriotik”. Tapi sebaliknya, Damono mengatakan bahwa puisi
yang sama mencerminkan sikap individualistis Anwar: “Boleh
dikatakan berdasarkan sajak inilah ia dianggap seorang individualis.”
Barangkali Toda membaca aku-lirik puisi “Aku” sebagai personifikasi
bangsa Indonesia, suatu pars pro toto dari “kami bangsa Indonesia”,
sedangkan Damono membacanya sebagai manifesto ego-pribadi.
Kedua tafsir sama-sama sah.
Menarik, dalam “Persetujuan dengan Bung Karno”, sebuah
puisi bernada patriotik-nasionalis yang dicap Damono sebagai
“sama sekali tidak mencerminkan sikap individualistis dan jalang”,
metafora laut dimunculkan Anwar untuk menunjuk kolektivitas.
Ini kontras dengan laut yang dijadikan indeks individualitas dalam
puisi “Kabar dari Laut”, “Pemberian Tahu” dan “Buat Album D.S.”.
Puisi “Persetujuan dengan Bung Karno” cukup jelas menggambarkan
transformasi “aku” menjadi kolektivitas massa yang tersihir retorika
Bung Karno yang terkenal mampu membius khalayak ramai: setelah
“Aku sudah cukup lama dengar bicaramu, / dipanggang atas apimu,
digarami oleh lautmu”, maka “Aku melangkah ke depan berada rapat di
sisimu / Aku sekarang api aku sekarang laut”. Laut melebur “aku” ke
dalam gerak gelora kolektivitas bangsanya di bawah pimpinan sang
singa podium “penyambung lidah rakyat Indonesia”: “Bung Karno! Kau
dan aku satu zat satu urat / Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar /
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh”. Laut menjadi
“ikatan kodrati” yang menautkan subyek individual pada bangsa.
Laut tampaknya bukan saja memutus ikatan dengan
kolektivitas lama, tapi juga memfasilitasi ikatan dengan kolektivitas
baru. Pada kasus Chairil Anwar, kolektivitas baru ini adalah “bangsa
Indonesia” yang sedang menggeliat merdeka, massa revolusioner
yang cenderung menihilkan eksistensi pribadi. Maka pergi ke laut
menjadi suatu strategi intelektualisme defensif, di mana sang penyair
Anwar membina suatu kehidupan introspeksi batin di seberang
gelora aktivitas revolusi. Inilah mekanisme pertahanan diri yang
secara spiritual melindungi sang penyair dari lenyap terseret arus
massa revolusioner. Namun pada tataran lain, laut juga menebus
keterasingan subyek individual, melebur kembali sang penyair
ke dalam gegap-gempita massa di bawah bendera revolusi. Dua
penggunaan metafora laut dalam perbendaharaan puisi Chairil
Anwar ini mengisyaratkan bahwa subyek pergi ke laut bukan untuk
melupakan saja, namun lebih untuk mencari suatu keseimbangan
batin antara melupakan dan mengingat, antara individualisme dan
kolektivisme, antara kesoliteran dan solidaritas. Laut mencerminkan
strategi sang penyair dalam menavigasi subyektivitas individualnya
di tengah disposisi kolektivitas dan ikatan.
Pergi ke laut, yang mudah terbaca sebagai aksi melupakan
(daratan, rumah, ikatan, asal-usul), tampaknya bisa menjadi suatu
jalan berputar untuk mengingat, untuk menyelamatkan keping-
keping ingatan. Dalam puisi Chairil Anwar, “Kabar dari Laut”,
“Pemberian Tahu” dan “Buat Album D.S.”, dapat kita lihat bahwa
di laut, subyek justru banyak berbicara tentang yang ditinggalkan di
darat, meski secara negatif. Hal ini terbaca lebih jelas dalam puisi Sitor
Situmorang, penyair seangkatan Chairil Anwar yang terkenal sebagai
sosok pengembara lahir-batin Barat-Timur. Pada 1940-an, kurang-
lebih bersamaan dengan masa aktif kepenyairan Chairil Anwar,
Situmorang menulis puisi “Pelaut (1)” dan “Pelaut (2)”.10 Dalam puisi
“Pelaut (1)”, subyek sedang berlayar di laut menghadapi angin, ombak,
sinar dan burung camar, tetapi ingatannya justru melayang pada
keluarga yang ditinggalkan di darat: “Di tepi sekali tuan syahbandar.
/ Mungkin ada isteri, sebuah / kamar / Anak main pelaut di geladak /
sekunar.” Meskipun “memikirkannya sukar”, ikatan kekeluargaan itu
samar-samar dipulihkan di laut yang telah jauh memisahkan individu
dari kolektivitas. Dalam puisi “Pelaut (2)”, proyek melupakan bahkan
ditolak dengan tegas. Subyek pergi ke laut bukan untuk melupakan,
tapi justru untuk menebus disintegrasi ingatan:

Berpaling dari benua


Menghadap samudra
Sudah ia coba
Mengatasi segala

Bukan untuk melupa


Atau mencari apa
Hanya hendak dicoba
Menyatukan segala

Sitor Situmorang, Bunga di Atas Batu (Si Anak Hilang) (Jakarta: Gramedia, 1989), 14-15.
10
Laut memulihkan kesadaran akan ikatan/tambatan yang
berpotensi meredakan kesepian eksistensial:

Pelaut dapat ikutan baru


Ini kali di luar rindu
Di dalam pandang mahatahu

Mungkin. Siapa tahu.


Sunyi pelaut tak terduga.

Dalam puisi “Lautan”,11 Rendra menegaskan, sampai dua


kali, bahwa “daratan adalah rumah kita”. Frasa “rumah kita” dapat
diartikan sebagai “rumah milik kita”, tapi juga “rumahnya kita”,
“rumah kekitaan”: daratan menunjuk kolektivitas dalam ikatan
yang “alami” dan “kodrati”. Dipertentangkan dengan daratan, lautan
menunjuk individualitas di luar rumah, di luar ikatan asal-usul, batas
atau kepemilikan bersama yang mendasari makna kekitaan. Rendra
mendefinisikan lautan sebagai “kebebasan” (“lautan adalah kebebasan”),
tapi juga “rahasia” (“lautan adalah rahasia”). Lautan menjanjikan
kebebasan subyek dari ikatan alami-kodrati yang mengekang (ingat,
puisi ini memosisikan “lautan”, yang diidentikkan dengan “kebebasan”,
sebagai antipoda “daratan”). Namun begitu subyek telah berada di laut
untuk menjemput kebebasan, ternyata laut tidak memberikan apa-apa
(“Sedang lautan memandang saja. / Lautan memandang saja.”), kecuali
hanya cermin yang membongkar subyek sebagai Liyan (The Other):
“Di hadapan wajah lautan / nampak diriku yang pendusta.” Dusta adalah

Rendra, Sajak-Sajak Sepatu Tua (Jakarta: Pustaka Jaya, 1987), 42-43.


11
sesuatu yang menyembunyikan, seperti halnya “rahasia”. Terbongkar
sebagai Liyan, subyek merasa tak ada gunanya berbicara (“Tak usah
bersuara! Janganlah bersuara! Suara dan kata terasa dena.”), karena di
lautan “kebebasan” itu ia hanya bisa berbicara dengan bahasa lain,
bahasa Liyan, bahasa “rahasia” yang mematikan komunikasi dan
mengasingkan subyek. Dengan karakter rahasianya, laut tak bisa
mengartikulasikan kebebasan individu pada wilayah di luar daratan
kolektivitas, ikatan yang mengekang, tapi mungkin penuh makna.
Rendra terasa memandang laut tanpa keinginan berlayar seperti
Alisjahbana pada 1930-an, atau Anwar dan Situmorang pada 1940-
an. Laut masih dipandangnya mengulurkan kesendirian, tapi bukan
“kesendirian yang membanggakan”; menyodorkan mobilitas tanpa
kekang dan pengembaraan, tapi bukan “mobilitas tanpa kekang
dan pengembaraan yang menggairahkan”—meminjam komentar
Mohamad terhadap puisi “Kabar dari Laut” Chairil Anwar. Ditulis
pada awal 1970-an, puisi “Lautan” Rendra seperti mengisyaratkan
kesulitan subyek untuk mengidentifikasi diri secara otentik dan
bermakna di antara identitas lokal-tradisional lama yang kian surut
dan identitas nasional-modern baru yang makin dikentalkan secara
top-down dalam proyek nasionalisme persatuan (mono-)kultural
negara Orde Baru yang bangkit dari reruntuhan tragedi perpecahan
internal dan perang saudara pascarevolusi.
Pada 1973, Abdul Hadi W.M. menulis puisi “Laut”.12 Dalam
puisi ini, laut seakan-akan bukan lagi ranah ekskomunikasi yang
memutus ikatan kebersamaan, seperti dalam beberapa puisi Chairil
Anwar. Justru sebaliknya, puisi ini mempersonifikasi laut sebagai

Abdul Hadi W.M., Meditasi (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), 24-25.


12
teman bercakap-cakap yang memungkinkan terjadinya komunikasi.
Laut membuka ruang kebersamaan dalam suatu hubungan
komunikasi intersubyektif. Dengan akrab “aku” menyapa laut, dan
laut menanggapi aku-lirik dengan hangat, membalas sapaannya,
“mendengar semua yang kubisikkan padanya perlahan-lahan”. “Aku”
dan “laut” bercakap-cakap membentuk kebersamaan “kami”. Tetapi
kita tahu, dari awal sampai akhir puisi ini, sesungguhnya hanya
“aku” yang bersuara—menceritakan interaksi antara dirinya dan laut.
Suara tunggal “aku” memproyeksikan kesendirian/keterasingan,
tapi kehadiran laut menyembunyikan kesendirian/keterasingan itu
di balik ilusi kebersamaan. Laut hanya bersuara kepada “aku”, dan
ikatan “kami” hanya terbentuk sebatas klaim oleh “aku”. Di luar “aku”,
mungkin tak ada yang bersuara, tidak ada “kami”, kecuali kebisuan.
Abdul Hadi menutup puisi “Laut” dengan sebuah simpulan:

begitulah tak ada yang sebenarnya kami tawakan dan percakapkan


kecuali sebuah sajak lama:
aku cinta pada laut, laut cinta padaku dan cinta kami seperti kata-
kata
dan hati yang mengucapkannya.

Dalam hubungannya dengan konstruksi “kami”, ada dua tafsir


yang dapat diberikan pada pernyataan akhir Abdul Hadi tersebut.
Pertama, ikatan “kami” hanya muncul ketika kebersamaan didasari
“cinta”, yang berarti terbukanya ruang ekspresi di mana “kata-kata”
adalah ungkapan dari “hati yang mengucapkannya”. Integrasi “kami”
terselenggara bukan dengan menindas identitas elemen-elemen
pembentuknya demi proyek persatuan, tapi justru sebaliknya, dengan
membuka kanal ekspresi identitas-identitas parsial: “cinta kami”,
suatu kesatuan “kami” yang sejati, tercipta dari “aku” yang mendengar
“laut” (“selalu kudengar selamat paginya dengan ombak berbuncah-
buncah”) dan “laut” yang mendengar “aku” (“laut mendengar semua
yang kubisikkan padanya perlahan-lahan”). Di tengah keterasingan
dan kesendiriannya dalam situasi “kami” yang ilusif, monolitik dan
totaliter, aku-lirik membayangkan konstruksi “kami” yang inklusif,
toleran dan partisipatif—suatu “kami” yang tidak membisukan dan
mengasingkan. Dibaca seperti ini, puisi “Laut” Abdul Hadi seperti
mereaksi proses-proses totalisasi keindonesiaan “resmi” versi negara
Orde Baru yang aktif merepresi kemajemukan identitas kultural di
bawah karpet stabilitas nasional, atau menjadikannya sekadar dekor-
dekor “Bhinneka Tunggal Ika” yang menghiasi ideologi pembangunan.
Puisi ini terasa menyodorkan narasi tanding terhadap narasi “kami”
(bangsa Indonesia) dalam wacana Orde Baru, yang bersifat instruktif-
indoktrinatif dan dioperasikan di bawah pengaturan dan pengawasan
pemerintah.
Tafsir kedua, pernyataan bahwa “tak ada yang sebenarnya
kami tawakan dan percakapkan kecuali sebuah sajak lama” seperti
mengafirmasi keterasingan puisi Indonesia itu sendiri dalam
konstruksi “kami” sebagai subyek nasional. Puisi ini mengkonstruksi
“kami” dari wacana internal tentang puisi sendiri, mengisyaratkan
keterputusan/keterpisahan dari wacana “kami” di luar puisi.
Ditulis dalam bahasa Indonesia yang secara historis dan
politis terpilih menjadi alat pemersatu penduduk yang berbeda-beda
budaya dan bahasa lokal, tapi dibayangkan sebagai satu kesatuan
“bangsa Indonesia”, puisi Indonesia sejak awal adalah ujung tombak
dalam formasi keindonesiaan. Pada satu kakinya, puisi Indonesia
seolah menyeret nasionalisme. Sementara pada kaki lain, puisi
Indonesia diganduli oleh modernisme yang mendorong gerak maju
terus-menerus untuk meninggalkan kebudayaan dan masyarakat
lama menuju kebudayaan dan masyarakat baru. Ada masanya ketika
beban nasionalisme dan modernisme ini seiring-sejalan dalam
politik pemaknaan yang dijalankan oleh puisi Indonesia. Seruan
puitik modernis Rustam Effendi pada 1926 bahwa “Seloka lama beta
buang beta singkiri”, atau Chairil Anwar pada 1943 bahwa “Aku ini
binatang jalang / Dari kumpulannya terbuang // Biar peluru menembus
kulitku / Aku tetap meradang menerjang”, atau Alisjahbana pada 1946
bahwa “kami telah meninggalkan engkau, tasik yang tenang”, tak pelak
merepresentasikan nasionalisme juga.
Tetapi Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi Kemerdekaan
1945 yang disusul dengan pemerintahan revolusioner Orde Lama,
dan naiknya Orde Baru pada paruh kedua 1960-an, membentuk
rangkaian proses yang mengentalkan “kami bangsa Indonesia”
menjadi suatu “institusi” dengan negara sebagai wakil satu-satunya
yang sah. Proses institusionalisasi keindonesiaan ini mengeras dengan
dijadikannya nasionalisme sebagai obyek wacana kekuasaan politik,
termasuk melalui pelembagaan bahasa Indonesia dan sensor. Paham
nasionalisme, yang telah dikooptasi negara, kian tampak sebagai
“seloka lama” atau “tasik yang tenang” yang mengandung kejahilan,
dan oleh sebab itu, mungkin tanpa disadari, menjadi sesuatu yang
musti “disingkiri” atau “ditinggalkan” oleh kesadaran modernisme
dalam puisi Indonesia. Dwi-tunggal nasionalisme-modernisme dalam
puisi Indonesia seakan-akan retak. Simtom keretakan ini tampak
pada kinerja mainstream puisi Indonesia yang cenderung sangat aktif,
bahkan mungkin hiperaktif, mentrasformasikan bahasa Indonesia
menjadi sebentuk bahasa esoteris yang hidup dalam rumah tangga
semiotiknya sendiri, terpisah dari fungsi komunikatifnya sebagai
bahasa persatuan bangsa Indonesia.
Dengan menulis puisi menggunakan bahasa yang secara
material sama dengan, tapi secara substansial berbeda dari bahasa
komunikasi nasional yang dipakai oleh semua orang Indonesia,
penyair membebaskan keindonesiaan dari proses pembekuan dan
totalisasi makna dalam wacana nasionalisme resmi. Tetapi proyek
pembebasan ini harus dibayar dengan keterasingan puisi Indonesia
dari masyarakat umum Indonesia. Meminjam metafora Rendra
dalam puisi “Lautan”, ketika “daratan rumah kita” telah diambil-alih
negara, penyair pergi ke laut untuk menyongsong “kebebasan”—tapi
juga menemui “rahasia”. Puisi, dalam kata-kata Octavio Paz, menjadi
“keriangan pesta bawah-tanah” untuk “berkata Tidak pada segala
kekuasaan yang karena belum puas dengan mengatur hidup kita, ingin
juga memerintah kesadaran kita”.13 Puisi: sebuah pesta percintaan
“kami” yang terisolasi dari wacana publik, sebagaimana diperagakan
oleh puisi “Laut” Abdul Hadi yang akhirnya mengakui, “begitulah tak
ada yang sebenarnya kami tawakan dan percakapkan kecuali sebuah sajak
lama”.
Keterasingan puisi Indonesia kian kompleks manakala watak
modernis puisi Indonesia harus berkonfrontasi dengan percepatan
gerak modernisasi masyarakat Indonesia pascakemerdekaan yang
didorong oleh mesin pertumbuhan ekonomi nasional, dengan segala
efek dan eksesnya yang sering “mencederai” kesadaran moral penyair.
Dalam membayangkan keindonesiaan, puisi bukan saja dihadang oleh
hegemoni teks-teks nasionalisme negara, tapi juga oleh proliferasi

Octavio Paz, Octavio Paz: Puisi dan Esai Terpilih, terjemahan Arif B. Prasetyo (Yogyakarta:
13

Bentang, 2002), 152-153.


teks-teks modernisasi masyarakat yang diturunkan negara dalam
skema pembangunan, yang justru mendasarkan progresinya pada
pragmatisme ekonomi dengan dukungan arus modal internasional
dan/atau transnasional. Dalam situasi seperti ini, puisi seakan-
akan mengalami “alienasi keindonesiaan” akibat kesulitan penyair
membayangkan prospek kekitaan hakiki yang lebih bermakna
daripada kekitaan ideologis yang dikonstruksi negara maupun
kekitaan pragmatis yang berlangsung di masyarakat luas.
Pada 1978, D. Zawawi Imron menulis puisi “Pemandangan”
(1978):14

Kubiarkan bakau-bakau di rawa pantai itu melanjutkan pesanmu,


awan jingga, langit jingga, angin jingga dan laut jingga
Riak air yang belas padaku menghiba sepanjang lagu, dahan-dahan
yang sudah mati kembali menari-nari menyambut embunmu
senjahari
Di tengah laut namamu bermain cahaya, aku sangat ingin ke sana,
tapi terasa dengan sampan seribu tahun aku tak sampai
Dengan keharuan, mungkinkah cukup satu denyutan?

Ungkapan “Di tengah laut namamu bermain cahaya, aku sangat


ingin ke sana, tapi terasa dengan sampan seribu tahun aku tak sampai”
menyarankan ketidaksanggupan subyek membayangkan prospek
kekitaan. “Kau” dalam puisi ini memang dapat ditafsirkan sebagai
Tuhan, bukan sesama manusia. Tapi kalau demikian, nada religius
puisi ini pun memperkuat isyarat bahwa ketika laut tidak menjanjikan
daratan kekitaan di seberang sana, subyek berpaling pada dirinya
sendiri, undur ke kedalaman lubuk batinnya sendiri: “Dengan keharuan,

D. Zawawi Imron, Bulan Tertusuk Lalang (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), 30.
14
mungkinkah cukup satu denyutan?” Laut tidak lagi menjadi perspektif
yang terbentang ke luar, tapi sebaliknya, surut ke dalam. Imron
adalah salah satu penyair Indonesia yang banyak memainkan citraan
laut dalam puisi. Dari sekian buku kumpulan puisinya, sedikitnya ada
tiga yang judulnya berhubungan dengan laut: Madura, Akulah Lautmu
(1971), Berlayar di Pamor Badik dan Lautmu Tak Habis Gelombang
(1996). Dalam puisi-puisi Imron, laut cenderung dimaknai secara
simbolis sebagai “laut spiritual” yang terbentang di dalam diri. Tipikal
dalam puisi-puisi Imron adalah ungkapan-ungkapan seperti berikut:
“yang kukaji adalah ombak / yang berdeburan hati sendiri” (“Kidung”,
1975), “di laut yang gulita hatimu berendam” (“Tamsil Laut Saat Gulita”,
1975), “Dari dalam lautkah suara ini / Seperti ada bisik sungai dan muara
/ Akupun lupa, diri ini milik siapa” (“Aku Menunggu”, 1976), “Tapi aku
yang bernama sampan / masih saja terus berlayar / ke laut di hati ombak”
(“Perpisahan”, 1984).15
Laut yang terbentang di dalam diri dalam puisi-puisi Imron
dapat dikatakan merupakan antitesis dari laut yang tergelar di
luar diri dalam puisi Takdir Alisjahbana, Chairil Anwar atau Sitor
Situmorang. Motif lain dari antitesis laut yang dikumandangkan para
penyair modernis awal Indonesia ini adalah laut sebagai perspektif
yang mengarah ke belakang, ke sumber/muasal di masa silam—bukan
ke tujuan di masa depan—sebagaimana terbaca dalam puisi Subagio
Sastrowardoyo dari tahun 1989, “Soneta Laut”:16

Laut, di mana mata airmu


supaya aku bisa kembali ke asalmu
15
D. Zawawi Imron, Lautmu Tak Habis Gelombang (Yogyakarta: Masyarakat Poetika
Indonesia, 1996), 4, 14, 18, 63.
16
Subagio Sastrowardoyo, Dan Kematian Makin Akrab (Jakarta: Grasindo, 1995), 109.
Laut, di mana mata anginmu
supaya aku bisa mengikuti arusmu

Dalam mencari keberartian (“Jika kehadiran tak membekas / di


pasir sedang keharuan / begitu dalam mengukir”) dan orientasi (“Jika
alamat tak menjamin / datangnya surat ditunggu / sedang dari jauh
terdengar / sayup kepak-kepak rindu”), subyek menghasratkan pulang
ke asal-usul yang menjanjikan kekitaan yang intim dan tulus:

Aku ingin sendiri dengan laut


di mana kulontarkan cinta kelam
tenggelam dalam gelombang surut

Namun pergi ke laut untuk menyongsong “tanah daratan”


baru seperti Alisjahbana pada 1930-an (dalam puisi “Nikmat Nakhoda
Menuju Pelabuhan”), atau mengarungi “tujuan biru” seperti Anwar
pada 1940-an (dalam puisi “Kabar dari Laut”) atau “kembali ke asal”
seperti Sastrowardoyo pada 1980-an (dalam puisi “Soneta Laut”), pada
1990-an tampaknya bukan lagi pilihan yang menjanjikan kebebasan,
kebanggaan atau kehidupan baru yang lebih berarti. Laut hadir
sebagai bayangan horor dan teror yang menebar kengerian, kegilaan
dan kematian.
Dalam puisi “Laut” (1990-1993),17 Adi Wicaksono
mengonstruksi “kita” dari narasi kematian di sekitar panorama
laut yang begitu suram, mencekam dan tanpa harapan. Laut adalah
pertanda buruk yang mengisyaratkan bahwa “kematian ada di mana-
mana”. Pelayaran pada akhirnya “memaksa kita mabuk habis-habisan”

Horison, No. 7 Tahun XXVII, Juli 1993.


17
untuk kemudian “menemui ajal di tempat yang sangat buruk”, “karena
kita segera ke darat, kita ke kota”. Sebagai antipoda “darat” atau “kota”
yang dipersepsi sebagai “tempat yang sangat buruk”, “laut” juga bukan
suaka yang menyelamatkan “kita”. Di darat atau laut, “kita” takkan
selamat.
Dalam puisi-puisi Zen Hae dalam kumpulan Paus Merah
Jambu (2007),18 wajah laut bahkan begitu gelap tertutup kalibut
kebrutalan dan kebinasaan yang menggemakan kiamat, sebagaimana
dicontohkan oleh kutipan-kutipan berikut ini:

orang pantai menjemur-jemur diri di pasir


mimpi menjadi karang. meminta laut jadi ranjang
bagi kota mabuk, langit mejan, musim laknat
di wajah anak
tapi laut hanya menanak badai. memanggang pedih
sepanjang sumsum tulang belakang
alangkah payah tubuh menahan
tamasya atau ziarah, tuan?
gembira atau sungkawa, puan?

akar angin menjalin ombak. perahu-perahu patah tiang


tubuh kejang dibopong todak. di altar biru ia meregang

(“orang pantai”, 1993, 8)

dan aku mencium maut dan aku menuju laut

di dasar laut—di perut seekor ikan besar


aku beriman dalam kegelapan pijar.
menulis selarik ayat
Zen Hae, Paus Merah Jambu (Yogyakarta: Akar Indonesia, 2007). Puisi-puisi Hae lainnya
18

yang disebut dalam tulisan ini termaktub dalam buku tersebut.


seirama degup perih jantungku. mengukir ketakutanku
pada dinding-dinding karang merah tua

(“kitab pelarian”, 1993, 11)

Dalam puisi “negeri karang” (1995), “aku”, “kau, “kami” dan


“mereka” terisap dalam semacam skizofrenia di antara pelayaran
tanpa arah (“simpan saja kompas dan peta. tamasya ini / dalam pusaran.
bintang-bintang bukan lagi perlambang nasib / biarkan ombak dan angin
sakal memijarkan darah kita”) dan daratan tanpa makna (“kampung
sia! kampung aing!”), untuk akhirnya memaklumkan kekacauan “kita”:
“inilah negeri karang. kita kesurupan di atasnya”. Sementara dalam puisi
“bandar” (2000), Hae menyinggung intervensi kekuatan besar yang
membunuh sebuah negeri, sebentuk ikatan kekitaan juga: “tangan
petirmu mengubah laut jadi maut / cahaya jadi bahaya // sungguh, ini
negeri sekarat / tak ada obat tak ada tobat / hanya jerat!”
Bahkan dengan tatapan religius yang memaknai laut sebagai
“laut-Mu”, lautan ilahiah, puisi Zawawi Imron pada 1995, “Lautmu
Tak Habis Gelombang”, tak urung juga mengidentifikasi laut sebagai
tempat pembuangan korban pembunuhan, di mana identitas manusia
dihilangkan untuk menutupi jejak kekejaman: “Selembar rambut yang
lepas dari kepala / melayang di atas pantai / Orang-orang tak ada yang
tahu / bahwa, di laut ia ikut gelombang // ‘Katakan saja ia hilang! […]
Siapa bilang ia tak dibutuhkan, kelak / dalam sebuah persidangan /
Untuk saksi sebuah kekejaman” (Lautmu Tak Habis Gelombang, 88). Dari
generasi penyair mutakhir, Ahmad Faisal Imron melihat laut nyaris
tidak bisa lagi diidentifikasi, kecuali melalui fungsi metaforisnya
yang melantunkan histeria kepedihan: “sangat sulit mendengar kepak
sayap ratusan camar / atau lambaian tangan saat melepas kepergian
sebuah kapal / tak ada jaring nelayan ataupun mercusuar / perawan-
perawan bugil ataupun gerak cuaca / laut ini untukku, yang lebih gila
dari khayalanku / angin yang kusut mengangkat pasir-pasir ke udara /
inilah anggur neraka!” (“Bahasa Laut Itu”, 1999).19 Sejak 1990-an, laut
menjadi medan khaotik dan katastrofik yang begitu sulit dinavigasi
oleh penyair.
Dalam khazanah puisi Indonesia, laut juga menjadi tanda
simbolis yang mencerminkan nilai-nilai kultural dan standar-
standar etika/moralitas yang membedakan satu kelompok sosial dari
kelompok sosial lainnya. Puisi Mardi Luhung, “Penganten Pesisir”
(1993),20 menggunakan posisi marginal laut untuk mengidentifikasi
marka identitas yang membelah masyarakat Indonesia secara hierarkis
berdasarkan distingsi kelas. Laut dalam puisi ini berasosiasi dengan
kalangan masyarakat tradisional kelas bawah yang terpinggirkan
secara politis, terlecehkan secara kultural dan terkalahkan secara
ekonomi dalam struktur hierarki sosial yang dikonstruksi oleh
kelas menengah dan elit—suatu simtom keretakan “rumah tangga
Indonesia” dalam wacana modernitas:

dan tahukah yang paling aku benci?


adalah ketika kita sama-sama ke sekolah
dan sama-sama disebut: “Orang Laut,”

orang yang dianggap sangat kosro


kurang adat dan keringatnya pun seamis
lendir kakap yang sebenarnya sangat mereka sukai

Ahmad Faisal Imron, Maliun Hawa (Bandung: Komunitas Malaikat, 2007), 55.
19

Mardi Luhung, Ciuman Bibirku yang Kelabu (Yogyakarta: Akar Indonesia, 2007), 3-4.
20
aku datang dalam itikad berumah tangga
melengkungkan janur, membikin primbon bahagia
dan mengharapkan lahirnya bocah-bocah pantaimu

tapi, seperti juga mercusuar yang kini tinggal letak


dan para nelayan kehilangan jaring dan perahu
adakah masih sempat kita lakukan persetubuhan ombak

sementara itu, kertas-kertas kwitansi


telah mengubah sperma-sperma kita menjadi
lumut-lumut yang entah siapa panggilannya…

Puisi Nirwan Dewanto, “Masa Kanak-kanakku Mengambang


di Laut” (1985),21 membenturkan marginalitas-inferior “laut” dengan
sentralitas-superior “kota besar” untuk menelusuri kontradiksi-
kontradiksi kultural yang mengiringi proses migrasi lahir-batin
subyek dari kawasan rural-tradisional ke lingkungan urban-modern
di Indonesia kontemporer. Kontradiksi-kontradiksi ini tidak
bekerja dalam kerangka kutub-kutub esensialistis oposisional antara
kebaikan vs. keburukan, keberadaban vs. kebiadaban, atau budaya
tinggi vs. budaya rendah, melainkan bertumpang-tindih membentuk
lapisan-lapisan rawan dalam struktur kesadaran subyek. Dalam
gerak ke pusat untuk menjadi modern, bayangan-bayangan “laut”
dari masa silam primordial terus-menerus menciptakan kontradiksi
yang membongkar subyek sebagai Liyan, suara asing yang tidak
dapat mencerna atau dicerna ritme modernitas “kota besar”. Tetapi
bersama terbongkarnya kelainan subyek di hadapan modernitas,
terkuak pulalah kontradiksi internal modernitas itu sendiri, seperti

Linus Suryadi AG, ed., Tonggak 4: Antologi Puisi Indonesia Modern (Jakarta: Gramedia,
21

1987), 370-372.
yang terbaca dalam petikan-petikan berikut:

Masa kanak-kanakku mengambang di laut


Di balik perahu-perahu ibuku pernah berseru:
“Pergilah, dan naikilah tangga-tangga cahaya!”
Tapi di sini tangga-tangga hanya dari baja
Lagi pula darahku teraduk gorden-gorden jendela
[. . .]
Nelayan-nelayan tak mengajarkan sopan-santun
Padahal aku mesti mengikuti ribuan angsa itu:
“Marilah jadi penipu yang pandai menari!”
Jadi kuminum obat agar mulutku tak terkunci
Lalu di balik kobaran api kulupakan namaku
[. . .]
Gusti, buat diriku sekaligus maling dan juru selamat
Di atas meja kantor berkhianat dan hidup terhormat
Pasanglah layar-layar pada cerobong-cerobong besi
Dan tumbuhkan batu karang dari onggokan tahi

“Kini pakaianku menyimpan bau busuk kota besar,” catat


Dewanto dalam puisi “Masa Kanak-Kanakku Mengambang di Laut”.
“Kita akan menemui / Ajal di tempat yang sangat buruk / Itu karena kita
segera ke darat, kita ke kota,” tulis Wicaksono dalam puisi “Laut”. Dua
puisi ini menjadi bagian dari suara kritis penyair Indonesia terhadap
model keindonesiaan pascakemerdekaan yang cenderung berkiblat
pada modernitas urban, terutama berkat peran media massa nasional
yang umumnya berbasis di kota-kota besar.

Menulis-kembali Puisi, Membayangkan Indonesia


Saya telah berupaya mencari dan menempuh jalan alternatif untuk
membaca keindonesiaan dalam sastra Indonesia. Pembicaraan tentang
keindonesiaan sastra lazimnya berkisar pada: 1) Tema nasionalisme
dalam karya sastra (baik “nasionalisme klasik” yang terkait dengan
perjuangan kemerdekaan, maupun “nasionalisme kontemporer” yang
berhubungan dengan perjuangan mengatasi problem bangsa Indonesia
pada masa kini, seperti korupsi, kemiskinan dan kesenjangan sosial);
2) Muatan historis dari karya sastra yang diilhami oleh atau mengacu
pada peristiwa penting dalam perjalanan sejarah bangsa (misalnya
Pembantaian 1965, insiden-insiden pelanggaran HAM oleh rezim
militer Orba, Peristiwa Mei 1998); 3) Konstruksi identitas nasional
(di antara realitas multikultur-multietnis dan pengaruh global,
misalnya); 4) Pencarian akar tradisi; 5) Tegangan pusat-pinggiran
(termasuk dalam politik sastra); 6) Kedudukan sastra daerah
dalam sistem kesusastraan nasional; 7) masalah periodisasi sastra.
Ketimbang melakukan upaya-upaya semacam itu, saya menarasikan
suatu refleksi keindonesiaan di “bawah-sadar” puisi Indonesia—lewat
pembacaan terhadap sepilihan puisi yang mengangkat wacana laut
pada kurun 1930-an sampai 2000-an. Saya katakan “bawah-sadar”,
karena kebanyakan penyair yang puisinya saya bahas kemungkinan
besar tidak berpikir tentang “bangsa Indonesia” ketika menulis puisi
bersangkutan.
Pikiran tentang “bangsa Indonesia” adalah sesuatu yang saya
konstruksi dari pembacaan saya terhadap “mimpi-mimpi puitik”
tentang laut yang ditulis oleh sejumlah penyair Indonesia. Saya
membaca puisi mereka, sambil membayangkan Indonesia. Dalam hal
ini, saya membaca puisi dalam pengertian “membaca” yang dikatakan
Paul de Man sebagai “memasuki sebuah teks yang tadinya sesuatu
yang asing bagi kita dan kini kita jadikan milik kita sendiri dengan
tindakan memahami” (cetak miring dari saya).22 Bagi saya, membaca
untuk menjadikan puisi orang lain sebagai milik saya sendiri berarti
memproduksi makna baru, bukan mereproduksi atau mengevakuasi
makna orisinal yang diandaikan menghuni teks puisi yang dibaca.
Pembacaan produktif semacam ini saya pandang tak terelakkan dalam
membaca puisi, teks khas yang merayakan ambiguitas makna. Puisi
tidak meminta pembaca untuk mencari maknanya, mengurai pesan
tersembunyi yang disandikan dalam kata-kata puitik, melainkan
mengimbau pembaca untuk memaknainya, menjadikannya bermakna
bagi pembaca. Penyair bisa menuangkan isi tertentu ke dalam wadah
puisi, tapi begitu puisi sampai di tangan pembaca, puisi seakan-akan
tinggal wadah yang isinya harus diracik dan dituangkan oleh pembaca
sendiri ke dalam puisi—dengan bantuan pengetahuan, pengalaman
dan kepentingan pembaca. “Membaca” puisi tak bisa lain kecuali
“menulis-kembali” puisi. Dan saya telah “menulis-kembali” sejumlah
puisi dalam kerangka narasi keindonesiaan.
Jika keindonesiaan adalah sebentuk tatanan simbolis yang
melekat pada bahasa Indonesia, maka puisi berada di pinggir tatanan
simbolis ini, di daerah perbatasan antara order dan chaos: puisi
berada di dalam dan sekaligus di luar keindonesiaan yang tercermin
pada bahasa. Dengan marginalitasnya, puisi ibaratnya bermain di
papan catur keindonesiaan, tapi terus-menerus mengubah aturan
permainan catur itu. Marginalitas puisi dalam hubungannya dengan
keindonesiaan ini bergayung-sambut dengan kehadiran “laut” dalam
puisi: suatu frontier simbolis yang memungkinkan penyair untuk

Paul de Man, “Semiology and Rhetoric”, dalam Josue V. Harari, ed., Textual Strategies:
22

Perspectives in Post-Structuralist Criticism (Ithaca, New York: Cornell University Press,


1979), 132.
menjajal posisi-posisi kritis di seberang kesadaran tentang “rumah”
kebangsaan dan kebahasaannya. Dalam pembacaan saya, wacana laut
dalam puisi adalah ajang bagi subyektivitas untuk bergerak dari esensi
ke posisi, dari mana suatu bayangan Indonesia muncul samar-samar
di cakrawala.

Anda mungkin juga menyukai