Anda di halaman 1dari 55

PRO PO S AL PE NE L IT IAN

PE N GARUH MO D E L PE MB E L AJARAN INQ UIRY T RA INING


T E RH ADAP H AS I L B E L AJAR S IS WA PADA M AT E RI
PO KO K MO ME NT UM DAN I M PUL S DI KE L AS X
S E ME S TE R II MAN 1 ME DAN T . P 20 18/ 2019

Diajukan Untuk Seminar Proposal Penelitian


Dalam Penyusunan Skripsi

Oleh :

Rini Afridamayanti Supomo


NIM 4153121053
Program Studi Pendidikan Fisika

JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
MEDAN
2019
i

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI i
DAFTAR GAMBAR iii
DAFTAR TABEL iv
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang Masalah 1
1.2. Identifikasi Masalah 4
1.3. Batasan Masalah 5
1.4. Rumusan Masalah 5
1.5. Tujuan Penelitian 5
1.6. Manfaat Penelitian 6
1.7. Definisi Operasional 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7
2.1. Kerangka Teoritis 7
2.1.1. Pengertian Belajar 7
2.1.2. Aktivitas Belajar 8
2.1.3. Hasil Belajar 8
2.1.3.1 Ranah Kognitif 9
2.1.3.2 Ranah Afektif 10
2.1.3.3 Ranah Psikomotorik 10
2.1.4. Model Pembelajaran 11
2.1.4.1 Model Pembelajaran Inquiri 12
2.1.4.2 Model Pembelajaran Inquiry Training 13
2.1.4.3 Sintaks Model Pembelajaram Inquiry Training 14
2.1.4.4 Keunggulan dan Kelemahan Model Inquiry Training 16
2.1.5. Model Pembelajaran Konvensional 17
2.1.6. Materi Pembelajaran 19
2.1.7 Penelitian sebelumnya 25
ii

2.2. Kerangka Konseptual 28


2.3. Hipotesis Penelitian 29
BAB III METODE PENELITIAN 30
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 30
3.2. Populasi dan Sampel Penelitian 30
3.2.1. Populasi Penelitian 30
3.2.2. Sampel Penelitian 30
3.3. Variabel Penelitian 30
3.3.1. Variabel Bebas 30
3.3.2. Variabel Terikat 31
3.4. Jenis dan Desain Penelitian 31
3.4.1. Jenis Penelitian 31
3.4.2. Desain Penelitian 31
3.5. Prosedur Penelitian 32
3.6 Instrumen Penelitian 35
3.6.1 Lembar Observasi Aktivitas Siswa 35
3.6.2 Instrumen Penilaian Keterampilan dan Sikap 36
3.6.3 Tes Hasil Belajar 39

3.7. Teknik Analisis Item Tes Hasil Belajar 40


3.7.1 Validitas Isi 40
3.7.2 Reliabilitas 40
3.7.3 Taraf Kesukaran 41
3.7.4 Daya Pembeda Tes 41
3.8 Teknik Analisis Data 43
3.8.1 Menghitung nilai skor mentah 43
3.8.2 Menghitung Nilai Rata-Rata (Mean) dan Simpangan Baku 43
3.8.3 Uji Normalitas 44
3.8.4 Uji Homogenitas 44
3.8.5 Uji Hipotesis (uji t) 45
DAFTAR PUSTAKA 49
iii

DAFTAR GAMBAR
Halaman

Gambar 2.1. Bola Biliar yang menumbuk satu dengan lainnya 20


Gambar 2.2. Prinsip kerja roket 21
Gambar 2.3. Tumbukan lenting sempurna 22
Gambar 2.4. Pemantulan pada tumbukan lenting sebagian 23
Gambar 2.5. Balok digantungkan seperti ayunan 25
Gambar 3.1. Skema rancangan penelitian 35
iv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Sintaks Model Pembelajaran Inquiry Training 15


Tabel 3.1 Group pre-test-post-test design 31
Tabel 3.2 Rubrik Penilaian Observasi Aktivitas Siswa 35
Tabel 3.3 Rubrik Penilaian Keterampilan 37
Tabel 3.4 Rubrik Penilaian sikap 37
Tabel 3.5 Kisi-kisi Tes Hasil Belajar 39
Tabel 3.6 Nilai dan Kategori Reliabilitas 41
Tabel 3.7 Nilai dan Kategori Taraf Kesukaran 41
Tabel 3.8 Nilai dan Kategori Daya Pembeda Tes 42
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Memasuki abad ke-21, sistem pendidikan nasional menghadapi tantangan
yang sangat kompleks dalam menyiapkan kualitas sumber daya manusia (SDM)
yang mampu bersaing di era global. Upaya yang tepat untuk menyiapkan sumber
daya manusia (SDM) yang berkualitas dan satu-satunya wadah yang dapat
dipandang dan seyogianya berfungsi sebagai alat untuk membangun SDM yang
bermutu tinggi adalah pendidikan (Trianto, 2010).
Menurut Suryosubroto (2010) pendidikan merupakan bagian dari
lingkungan yang sangat penting peranannya dalam membantu anak
mengembangkan kemampuan dan potensinya agar bermanfaat bagi
kehidupannya, baik secara perseorangan maupun sebagai anggota masyarakat,
serta kehidupannya sehari-hari pada saat sekarang ataupun untuk persiapan
kehidupan yang akan datang.
Sesuai dengan pendapat Hamalik (2008) bahwa sekolah sebagai lembaga
pendidikan formal, secara sistematis merencanakan bermacam-macam
lingkungan, yakni lingkungan pendidikan yang menyelidiki berbagai kesempatan
bagi peserta didik untuk melakukan kegiatan belajar. Melalui kesempatan belajar
itu, pertumbuhan dan perkembangan peserta didik diarahkan dan didorong ke
pencapaian tujuan yang dicita-citakan. Lingkungan tersebut disusun dan ditata
dalam suatu kurikulum, yang pada gilirannya dilaksanakan dalam bentuk proses
pembelajaran.
Fisika adalah salah satu cabang dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang
pada dasarnya menarik untuk dipelajari karena di dalamnya mempelajari gejala-
gejala atau fenomena yang terjadi di jagad raya. Namun, mata pelajaran fisika
sering dianggap sebagai mata pelajaran yang sulit dan tidak diminati oleh siswa.
Para siswa menganggap belajar fisika itu menjenuhkan dan membosankan.
Anggapan ini dikarenakan penyajian konsep yang abstrak dan konten yang sangat
banyak disertai dengan rumus-rumus matematika terjadi dalam pembelajaran

1
2

fisika di sekolah dan menyebabkan rendahnya hasil belajar fisika siswa di sekolah
(Anggraini & Sani, 2015).
Menurut Trianto (2010),” Rendahnya hasil belajar peserta didik
disebabkan dominannya proses pembelajaran konvensional”. Pada pembelajaran
konvensional ini guru bersifat dominan, tidak berpusat pada siswa karena dalam
pembelajaran siswa hanya bersifat sebagai pendengar saja (siswa menjadi pasif),
tidak memiliki keterlibatan untuk menemukan dan merumuskan informasi sebagai
bahan pengajaran melainkan hanya menggantungkan pengalaman belajarnya pada
guru serta tidak memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar. Padahal dalam
pembelajaran fisika siswa dapat dilibatkan secara aktif dengan siswa melakukan
sendiri prosedur-prosedur untuk menggali atau memahami konsep sains.
Masalah ini sejalan dengan hasil belajar fisika berdasarkan ujian nasional
diperoleh rata-rata sebesar 55,02 pada tahun 2016 dan menurun pada tahun 2017
menjadi 50,93. Penurunan nilai ujian nasional fisika juga terjadi di kota Medan
khususnya di MAN 1 Medan selama 3 tahun terakhir yaitu pada tahun 2015
sebesar 84,22 , tahun 2016 sebesar 80,31 , dan tahun 2017 sebesar 57,88
(Puspendik kemdikbud, 2017).
Rendahnya hasil belajar siswa dilihat dari hasil studi pendahulu yang
dilakukan di MAN 1 Medan melalui wawancara kepada salah satu guru fisika dan
penyebaran angket kepada siswa kelas X di MAN 1 Medan. Hasil penyebaran
angket yang telah disebarkan kepada 44 orang diperoleh data bahwa 14 orang
menyukai fisika sedangkan 30 orang siswa mengatakan fisika biasa saja. Faktor
yang menjadi penyebab siswa kurang menyukai pelajaran fisika karena fisika
tidak terlepas dari rumus-rumus yang harus dihafal dan dipahami. Selain itu,
diperoleh data bahwa ini kegiatan belajar yang berlangsung dikelas didominasi
ceramah, mencatat, dan mengerjakan soal dengan yang menjadi fokus utama guru
menurut para siswa adalah rumus dan perhitungan.
Berdasarkan hasil wawancara terhadap salah satu guru bidang studi fisika
menyatakan kendala yang paling sering dihadapi dalam proses KBM oleh
kebiasaan belajar siswa yang memusatkan perhatian pada guru dan siswa tidak
serius dalam belajar. Permasalahan lain dalam proses pembelajaran fisika adalah
3

kurang lengkap fasilitas penunjang pembelajaran seperti alat laboratorium dan


penggunaan media pembelajaran. Selama proses pembelajaran, guru sangat jarang
sekali mengajak siswa melakukan pengamatan atau praktikum untuk materi yang
sedang dipelajari secara nyata. Penilaian hasil belajar saat melakukan praktikum
ataupun pada saat proses pembelajaran hanya berpusat kepada hasil belajar
kognitif, sedangkan penilaian aktivitas jarang bahkan tidak pernah dilakukan
karena masih kurangnya pemahaman dan kesulitan untuk membuat penilaian. Hal
inilah yang membuat hasil belajar yang rendah.
Fakta berdasarkan hasil studi pendahuluan menunjukkan perlu diupayakan
pemecahan masalah hasil belajar dengan mencoba tindakan yang dapat
mengembangkan hasil belajar siswa. Salah satu usaha untuk meningkatkan hasil
belajar siswa dengan melakukan pemilihan model yang tepat yaitu menggunakan
model pembelajaran inquiry training dimana pembelajaran dapat melibatkan
siswa secara aktif sehingga siswa belajar dengan suasana yang menyenangkan.
Menurut Joyce dkk (2009) model inquiry training adalah model
pembelajaran yang dirancang untuk langsung membawa siswa menuju proses
ilmiah melalui latihan yang meringkas proses ilmiah menjadi periode waktu yang
singkat. Tujuannya adalah membantu siswa mengembangkan disiplin dan
menemukan keterampilan intelektual yang diperlukan untuk mengajukan
pertanyaan dan menemukan jawabannya berdasarkan keingintahuannya. Menurut
Ahokoski dkk (2015) berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh bahwa guru-
guru di Finlandia nyaman menggunakan model pembelajaran berbasis inquiry,
dan mereka sering menerapkan model pembelajaran tersebut kepada peserta didik.
Penelitian model pembelajaran inquiry training ini sudah pernah diteliti
oleh beberapa peneliti sebelumnya yaitu Sahyar dan Siahaan (2017), Afriyanti dan
Derlina (2016), Derlina dan Mihardi (2015), Anggraini dan Sani (2015), mereka
mengatakan bahwa adanya pengaruh penerapan model pembelajaran inquiry
training terhadap hasil belajar fisika siswa dan juga terjadi peningkatan aktivitas
belajar siswa. Namun juga terdapat beberapa kelemahan-kelemahan dari
penelitian yang dilakukan sehingga diperoleh beberapa saran untuk perbaikan
penelitian yang akan dilakukan antara lain adalah memberikan perhatian dan
4

bimbingan yang lebih kepada sebagian siswa yang kurang aktif dengan menuntun
cara berfikirnya ke arah penyelesaian masalah yang diberikan dan memperbaiki
redaksi indikator yang ada dalam sintak yang belum maksimal.
Penelitian dengan model pembelajaran inquiry training juga telah diteliti
oleh Herlinayati Ritonga dengan judul “ Pengaruh Model Pembelajaran Inquiry
Training Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Materi Pokok Elastisitas dan Hukum
Hooke SMAN 13 Medan”. Berdasarkan penelitian Herlina (2019) menyatakan
bahwa hasil belajar yang diberi pengajaran dengan model pembelajaran inquiry
training lebih tinggi dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka perlu dilakukan penelitian
dengan menerapkan model pembelajaran inquiry training untuk meningkatkan
minat dan hasil belajar siswa dalam mempelajari fisika. Peneliti bermaksud
melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Model Pembelajaran Inquiry
Training Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Materi Pokok Momentum dan
Impuls di Kelas X Semester II MAN 1 Medan T.P 2018/2019”.

1.2. Identifikasi Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah yang ada, peneliti mengidentifikasi
masalah sebagai berikut:
1. Hasil belajar fisika siswa masih rendah.
2. Siswa menganggap fisika merupakan pelajaran yang sulit dan
membosankan.
3. Pembelajaran masih bersifat teacher centered sehingga siswa terkesan
pasif.
4. Aktivitas siswa di dalam pembelajaran fisika masih sangat rendah.
5. Proses pembelajaran lebih memfokuskan pada hitungan matematis dan
rumus.
5

1.3. Batasan Masalah


Mengingat luasnya permasalahan maka perlu dilakukan pembatasan dalam
penelitian sebagai berikut:
1. Model pembelajaran yang digunakan adalah model pembelajaran Inquiry
Training.
2. Hasil belajar siswa dalam bidang studi fisika materi impuls dan
momentum.

1.4. Rumusan Masalah


Berdasarkan batasan masalah diatas, rumusan masalah dalam penelitian ini
sebagai berikut:
1. Bagaimana hasil belajar siswa dengan menerapkan model pembelajaran
Inquiry Training pada materi Momentum dan Impuls Kelas X semester II
MAN 1 Medan T.P 2018/2019 ?
2. Bagaimana aktivitas belajar siswa dengan menerapkan model
pembelajaran Inquiry Training pada materi Momentum dan Impuls Kelas
X semester II MAN 1 Medan T.P 2018/2019 ?
3. Bagaimana pengaruh model pembelajaran Inquiry Training terhadap hasil
belajar pada materi pokok Momentum dan Impuls di Kelas X semester II
di MAN 1 Medan T.P 2018/2019 ?

1.5.Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang akan dicapai
dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui hasil belajar siswa dengan menggunakan model
pembelajaran Inquiry Training pada materi pokok Momentum dan Impuls
kelas X semester II di MAN 1 Medan T.P 2018/2019.
2. Untuk mengetahui aktivitas belajar siswa dengan menggunakan model
pembelajaran Inquiry Training pada materi pokok Momentum dan Impuls
di Kelas X semester II di MAN 1 Medan T.P 2018/2019.
6

3. Untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran Inquiry Training


terhadap hasil belajar siswa pada materi Momentum dan Impuls Kelas X
semester II MAN 1 Medan T.P 2018/2019.

1.6. Manfaat Penelitian


Sehubungan dengan tujuan penelitian, manfaat yang diharapkan dari hasil
penelitian ini adalah:
1. Sebagai bahan informasi hasil belajar fisika pada materi pokok
Momentum dan Impuls kelas X semester II di MAN 1 Medan
menggunakan model pembelajaran Inquiry Training didalam
pembelajaran.
2. Sebagai bahan informasi alternatif pemilihan model bagi guru dan calon
guru.
3. Sebagai pengakaman, bahan masukan dan menambah wawasan bagi
peneliti mengenai penyediaan pengalaman belajar dengan model
pembelajaran Inquiry Training pada materi pokok Momentum dan Impuls.

1.7. Definisi Operasional


1. Inquiry Training adalah model pembelajaran yang dirancang untuk
membawa siswa secara langsung kedalam proses ilmiah melalui latihan-
latihan yang dapat memadatkan proses ilmiah tersebut kedalam periode
waktu yang singkat.
2. Model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan
prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar
untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman
bagi perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan
aktivitas pembelajaran.
3. Aktivitas belajar adalah kegiatan yang melibatkan gerak fisik dan mental
sebagai dasar untuk mengubah tingkah laku kearah yang lebih baik
melalui serangkaian kegiatan model pebelajaran inqury traning.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kerangka Teoritis
2.1.1. Pengertian Belajar
Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah kegiatan belajar
merupakan kegiatan paling pokok yang berarti bahwa berhasil tidaknya
pencapaian tujuan pendidikan bergantung kepada bagaimana proses belajar yang
dialami oleh siswa sebagai anak didik. Pandangan seseorang tentang belajar akan
mempengaruhi tindakan-tindakannya yang berhubungan dengan belajar dan setiap
orang mempunyai pandangan yang berbeda tentang belajar.
Trianto (2010) menyatakan bahwa belajar secara umum diartikan sebagai
perubahan individu yang terjadi melalui pengalaman, dan bukan karena
pertumbuhan atau perkembangan tubuhnya atau karakteristik seseorang sejak
lahir. Sanjaya (2013) menyatakan bahwa belajar adalah proses mental yang terjadi
dalam diri seseorang, sehingga menyebabkan munculnya perubahan perilaku.
Aktivitas mental itu terjadi karena adanya interaksi individu dengan lingkungan
yang disadari. Slameto (2010) menyebutkan bahwa belajar merupakan suatu
proses perubahan, yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi
dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Perubahan-
perubahan tersebut akan nyata dalam seluruh aspek tingkah laku.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
belajar adalah suatu proses yang dilakukan individu untuk menghasilkan
perubahan tingkah laku, yang meliputi perubahan pada aspek pengetahuan, sikap,
dan keterampilan yang dipengaruhi oleh lingkungannya. Apabila individu tidak
mengalami perubahan maka dapat dikatakan bahwa individu tersebut tidak
melakukan proses belajar. Karena setiap proses belajar akan mengalami
perubahan walaupun hanya sedikit.

7
8

2.1.2. Aktivitas Belajar


Aktivias belajar merupakan suatu kegiatan yang melibatkan gerak fisik
dan mental sekaligus. Dalam kegiatan belajar kedua aktivitas itu selalu berkaitan.
Dalam standar proses pendidikan, pembelajaran menempatkan siswa sebagai
subjek belajar.
Menurut Paul B. Diedrich (dalam Ngalimun, 2015) mengelompokkan
jenis-jenis aktivitas belajar sebagai berikut:
a. Visual activities, misalnya : membaca, memperhatikan gambar
demonstrasi, dan percobaan.
b. Oral activities, misalnya : menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi
saran, mengeluarkan pendapat, dan mengadakan wawancara.
c. Listening activities, misalnya : mendengarkan, uraian percakaoan, diskusi,
musik dan pidato.
d. Writing activities, misalnya: menulis cerita, karangan, laporan, angket,
dan menyalin.
e. Drawing activities, misalnya : menggambar, membuat grafik, peta dan
diagram.
f. Motor activities, misalnya : melakukan percobaan dan membuat
konstruksi.
g. Mental activities, misalnya : menganggap, mengingat, memecahkan soal,
menganalisis, melihat hubungan dan mengambil keputusan.
h. Emotional activities, misalnya : menaruh minat, merasa bosan, gembira,
bersemangat, bergairah, berani, tenang, dan gugup.

2.1.3. Hasil Belajar


Hasil belajar pada dasarnya merupakan hasil interaksi dari berbagai faktor
yang mempengaruhi hasil belajar secara keseluruhan. Hasil unteraksi tersebut
menimbulkan adanya perbedaan dalam prestasi belajar dalam menghasilkan
adanya pengelompokkan individu tertentu. Menurut Slameto (2010), hasil belajar
adalah perubahan yang terjadi akibat adanya proses belajar mengajar. Hasil
belajar siswa merupakan suatu prestasi yang dimiliki oleh siswa.
9

Prestasi belajar siswa sangat dipengaruhi oleh banyak faktor. Secara


global, faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa dapat dibedakan
menjadi dua macam (Slameto, 2010) yaitu:
1. Faktor internal (faktor yang berasal dari dalam diri siswa) yakni
jasmaniah (meliputi kesehatan dan cacat tubuh), faktor psikologis
(meliputi intelegensi, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan dan
kesiapan), faktor kelelahan (terbagi menjadi dua bagian yaitu : kelelahan
jasmani dan kelelahan rohani).
2. Faktor eksternal (faktor yang berasal dari luar tubuh siswa) yakni faktor
keluarga (meliputi cara orang tua mendidik, relasi antar anggota keluarga,
suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua, latar
belakang kebudayaan), faktor sekolah (meliputi metode mengajar,
kurikulum, relasi guru dengan sisa, dsiplin sekolah, alat pengajaran,
waktu sekolah, standar pelajaran di atas ukuran, keadaan gedung, tugas
rumah), dan faktor masyarakat (meliputi kegiatan siswa dalam
masyarakat, media, teman bergaul, bentuk kehidupan masyarakat).
Kedua faktor di atas saling terkait satu sama lain. Oleh karena itu, upaya
pengembangan dan pembinaan faktor-faktor tersebut harus berjalan secara
kolektif , sehingga di peroleh prestasi belajar yang baik.
Dalam sistem pendidikan nasional menggunakan klasifikasi hasil belajar
dari Benyamin Bloom (Nana Sudjana, 2016) yang secara garis besar membaginya
menjadi tiga ranah yakni ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik.

2.1.3.1 Ranah Kognitif


Hasil belajar kognitif tidak merupakan kemampuan tunggal. Kemampuan
yang menimbulkan perubahan perilaku dalam domain kognitif meliputi beberapa
tingkat atau jenjang. Banyak klasifikasi dibuat para ahli psikologi dan pendidikan,
namun klasifikasi yang paling banyak digunakan adalah yang dibuat oleh
Benjamin S Bloom. Bloom membagi dan menyusun secara hirarkis tingkat hasil
belajar kognitif mulai dari yang paling rendah dan sederhana yaitu hafalan sampai
yang paling tinggi dan kompleks yaitu evaluasi. Tingkat makin tinggi maka makin
10

kompleks dan penguasaan suatu tingkat mempersyaratkan penguasaan tingkat


sebelumnya. Enam tingkat adalah hafalan (C1), pemahaman (C2), penerapan
(C3), analisis (C4), sintesis (C5), evaluasi dan (C6) menciptakan (Purwanto,
2011).

2.1.3.2 Ranah Afektif

Tujuan ranah afektif berhubungan dengan hirarki perhatian, sikap,


penghargaan, nilai, perasaan, dan emosi. Sudjana (2016) mengemukakan jeneis
kategori ranah afektif sebagai berikut :
a. Reciving/attending, yakni semacam kepekaan dalam menerima
rangsangan (stimulasi) dari luar yang datang kepada siswa dalam bentuk
masalah, situasi, gejala, dll.
b. Responding atau jawaban, yakni reaksi yang diberikan oleh seseorang
terhadap stimulasi yang datang dari luar.
c. Valuing (penilaian) berkenaan dengan nilai dan kepercayaan terhadap
gejala atau stimulus.
d. Organisasi, yakni pengembangan dari nilai ke dalam satu sistem
organisasi, termasuk hubungan satu nilai dengan nilai lain, pemantapan,
dan prioritas nilai yang telah dimilikinya.
e. Karakteristik nilai atau internalisasi nilai, yakni keterpaduan semua sistem
nilai yang telah dimiliki seseorang, yang mempengaruhi pola kepribadian
dan tingkah lakunya.

2.1.3.3 Ranah Psikomotorik


Tujuan ranah psikomotorik berhubungan dengan keterampilan (skill) dan
kemampuan bertindak individu. Sudjana (2016) mengemukakan enam tingkatan
keterampilan, sebagai berikut :
a. Gerakan refleks (keterampilan pada gerakan yang tidak sadar).
b. Keterampilan pada gerakan-gerakan dasar.
c. Kemampuan perseptual, termasuk di dalamnya membedakan visual,
membedakan auditif, motoris, dan lain-lain.
11

d. Kemampuan di bidang fisik, misalnya kekuatan, keharmonisan, dan


ketepatan.
e. Gerakan-gerakan skill, mulai dari keterampilan sederhana sampai pada
keterampilan yang kompleks
f. Kemampuan yang berkenaan dengan komunikasi non-decursive seperti
gerakan ekspresif dan interpretarif.

2.1.4 Model Pembelajaran


Pembelajaran pada hakikatnya merupakan suatu proses interaksi antara
guru dengan siswa, baik interaksi secara langsung seperti kegiatan tatap muka
maupun secara tidak langsung, yaitu dengan menggunakan berbagai media.
Menurut Joyce (dalam Trianto, 2010) model pembelajaran adalah suatu
perencanaan atau pola yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam
merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial untuk
menentukkan perangkat-perangkat pembelajaran termasuk didalamnya buku-
buku, film, komputer, kurikulum, dan lain-lain.
Adapun Soekamto (dalam Trianto, 2010) mengemukakan maksud dari
model pembelajaran, yaitu “Kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang
sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan
belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang
pembelajaran dan para pengajar dalam merencakana aktivitas belajar mengajar”.
Dengan demikian, aktivitas pembelajaran benar-benar merupakan kegiatan
bertujuan yang tertera secara sistematis. Hal ini sejalan dengan apa yang
dikemukan oleh Eggen dan Kauchak bahwa model pembelajaran memberikan
kerangka dan arah bagi guru untuk mengajar (Trianto, 2010).
Istilah model pembelajaran dalam (Trianto, 2010) mempunyai makna yang
lebih luas daripada strategi, metode atau prosedur. Model pengajaran mempunyai
empat ciri khusus yang tidak dimiliki oleh strategi, metode atau prosedur. Ciri-ciri
tersebut ialah:
1. Rasional teoriti logis yang disusun oleh para pencipta atau pengembangnya.
12

2. Landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa belajar (tujuan


pembelajaran yang akan dicapai).
3. Tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat
dilaksanakan dengan berhasil; dan
4. Lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran itu dapat
tercapai.

2.1.4.1 Model Pembelajaran Inquiri


Indrawati (dalam Trianto, 2010) menyatakan bahwa suatu pembelajaran
pada umumnya akan lebih efektif bila diselenggarakan melalui model-model
pembelajaran yang termasuk rumpun pemrosesan informasi. Hal ini dikarenakan
model pemrosesan informasi menekankan pada bagaimana seseorang berfikir dan
bagaimana dampaknya terhadap cara-cara mengolah informasi. Dengan demikian,
siswa hendaknya diajarkan, bagaimana hal itu diajarkan, jenis kondisi belajar, dan
memperoleh pandangan baru. Salah satu yang termasuk dalam pemrosesan
informasi yaitu model pembelajaran inquiry.
Menurut Gulo (dalam Trianto, 2010) mengatakan bahwa inquiry
merupakan suatu rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal
seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis,
logis, analitis, sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan
penuh percaya diri. Sasaran utama kegiatan pembelajaran inquiry adalah 1)
keterlibatan siswa secara maksimal dalam proses kegiatan belajar 2) keterarahan
kegiatan secara logis dan sistematis pada tujuan pembelajaran 3) mengembangkan
sikap percaya diri tentang apa yang ditemukan dalam proses inquiry.
Kondisi umum yang merupakan syarat timbulnya kegiatan inquiry bagi
siswa adalah :
a. Aspek sosial di kelas dan suasana terbuka yang mengundang siswa
berdiskusi,
b. Inquiry berfokus pada hipotesis,
c. Penggunaan fakta sebagai evidensi (informasi dan fakta).
13

Untuk menciptakan kondisi seperti itu, peranan guru adalah sebagai


berikut :
1) Motivator, memberi rangsangan agar siswa aktif dan bergairah berpikir.
2) Fasilitator, menunjukkan jalan keluar jika siswa mengalami kesulitan.
3) Penanya, menyadarkan siswa dari kekeliruan yang mereka buat.
4) Administrator, bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan kelas.
5) Pengarah, memimpin kegiatan siswa untuk mencapai tujuan yang
diharapkan.
6) Manajer, mengelola sumber belajar, waktu, dan organisasi kelas.
7) Rewarder, memberi penghargaan pada prestasi yang dicapai siswa.
Pembelajaran inkuiri dirancang untuk mengajak siswa secara langsung ke
dalam proses ilmiah ke dalam waktu yang relatif singkat. Hasil penelitian
Scheleneker menunjukkan bahwa latihan inkuiri dapat meningkatkan pemahaman
sains, produktif dalam berfikir kreatif, dan siswa menjadi terampil dalam
memperoleh dan menganalisis informasi.

2.1.4.2 Model Pembelajaran Inquiry Training

Menurut Joyce (2009) model pembelajaran inquiry training pertama sekali


dikembangkan oleh Richard Suchman (1962) untuk mengajarkan siswa tentang
proses dalam meneliti dan menjelaskan fenomena asing. Inquiry Traing berawal
dari sebuah kepercayaan dalam upaya pengembangan para pembelajar mandiri,
metodenya mensyaratkan partisipasi aktif siswa dalam penelitian ilmiah. Tujuan
umum latihan penelitian adalah membantu siswa mengembangkan disiplin
intelektual dan keterampilan yang mampu untuk meningkatkan pertanyaan-
pertanyaan dan pencarian jawaban yang terpendam dari rasa keingintahuan
mereka. Untuk itulah, Suchman tertarik untuk membantu siswa meneliti secara
mandiri, tetapi dalam cara yang disiplin.
Inquiry training dimulai dengan menyajikan kejadian yang sedikit
(puzzling event) pada siswa. Suchman percaya bahwa siswa akan lebih menyadari
tentang proses penyelidikannya dan mereka dapat diajarkan tentang prosedur
ilmiah secara langsung. Pentingnya membawa siswa menyadari bahwa semua
14

pengetahuan bersifat tentative (tidak pasif). Berikut ini adalah beberapa teori
Suchman :
a. Siswa meneliti secara alamiah ketika mereka sedang mengahadapi
persoalan (kebingungan).
b. Mereka dapat sadar dan belajar menganalisis strategi-strategi berpikirnya.
c. Strategi-strategi baru dapat diajarkan secara langsung dan dapat
ditambahkan pada strategi yang telah dimiliki siswa sebelumnya.
d. Penelitian kooperatif dapat memperkaya pemikiran dan membantu siswa
belajar tentang ketidakmestian, sifat pengetahuan yang selalu berkembang
dan menghargai penjelasan alternatif.
Menurut Joyce (dalam Trianto, 2010) menyatakan bahwa teori Suchman
dapat dijabarkan sebagai berikut :
a. Mengajak siswa membayangkan seakan-akan dalam kondisi yang
sebenarnya.
b. Mengidentifikasi komponen-komponen yang berada di sekeliling kondisi
tersebut.
c. Merumuskan permasalahan dan membuat hipotesis pada kondisi tersebut.
d. Memperoleh data dari kondisi tersebut dengan membuat pertanyaan dan
jawaban “ya” atau “tidak”.
e. Membuat kesimpulan dari data-data yang diperolehnya.

2.1.4.3 Sintaks Model Pembelajaram Inquiry Training


Perbedaan utama antara model pembelajaran inquiry training dengan
model pembelajaran inquiry umum terletak pada proses merumuskan hipotesis.
Model pembelajaran inquiry training mengembangkan suatu metode penemuan
baru yang menuntun siswa merumuskan hipotesis bertanya. Sedangkan model
pembelajaran inquiry umum merumuskan hipotesis setelah mengumpulkan
masalah-masalah yang dihadapi (mengajukan pertanyaan) barulah kemudian
siswa diminta untuk membuat jawaban sementaranya (merumuskan hipotes).
15

Tabel 2.1 Sintaks Model Pembelajaran Inquiry Training


Tahap Inquiry Training Perilaku
Tahap 1  Menjelaskan prosedur - prosedur
Menghadapkan pada masalah penelitian.
 Menjelaskan perbedaan peristiwa
Tahap 2  Memverifikasi hakikat objek dan
Mengumpulkan data verifikasi kondisinya
 Memverifikasi peristiwa dari
keadaan permasalahan
Tahap 3  Memisahkan variable-variabel yang
Mengumpulkan data eksperimentasi relevan
 Menghipotesiskan (serta menguji)
hubungan kausal sebab-akibat.
Tahap 4  Memformulasikan aturan dan
Mengorganisasikan, memformulasikan penjelasan.
suatu penjelasan
Tahap 5  Menganalisis pola penelitian dan
Analisis proses inquiry mengembangkan yang paling
kreatif.

Tahap 1. Menghadapkan pada masalah


Dalam tahapan ini mengharuskan guru untuk menyajikan permasalahan,
menjelaskan prosedur-prosedur penelitian pada siswa (objek-objek dan prosedur
tanyaan Ya/Tidak). Rumusan tentang perbedaan-perbedaan, juga mengharuskan
guru untuk memiliki pengetahuan atau pemikiran yang memadai meskipun
strateginya dapat didasarkan pada masalah-masalah sederhana yang berubah-
ubah, trik teka-teki, terkaan, atau magis yang tidak membutuhkan banyak
pengetahuan yang mandala. Tentu saja tujuannya adalah untuk memberikan siswa
pengalaman dalam menginstruksikan pengetahuan baru.
16

Tahap 2. Mengumpulkan data verifikasi


Dalam tahap ini siswa didorong untuk mau berusaha mengumpulkan
informasi mengenai kejadian yang mereka lihat atau alami.
Tahap 3. Mengumpulkan data ekperimentasi
Dalam hal ini siswa memperkenalkan elemen-elemen baru kedalam situasi
permasalahan untuk mengetahui mungkinkah terjadi hal lain ketika data penelitian
mereka diuji coba dengan cara yang berbeda. Walaupun verifikasi dan
eksperimentasi digambarkan sebagai tahap yang terpisah dari model ini.
Tahap 4. Mengorganisasikan, memformulasikan suatu penjelasan
Dalam tahap ini guru meminta siswa mengolah dan merumuskan suatu
penjelasan. Siswa mungkin akan memberikan penjelasan yang tidak sesuai,
meninggalkan rincian-rincian yang sebenarnya esensial. Kondisi ini acapkali
berguna untuk meminta siswa mengutarakan penjelasan mereka sehingga
jangkauan hipotesis-hipotesis yang mungkin ada bisa menjadi lebih jelas.
Tahap 5. Analisis proses inquiry
Dalam tahap ini siswa diminta untuk menganalisis pola penelitian mereka .
Mereka mungkin menentukan pertanyaan-pertanyaan yang efektif, cara-cara
bertanya yang produktif dan tidak atau jenis informasi yang mereka butuhkan dan
tidak mereka peroleh. Tahap ini penting seandainya kita ingin mencoba untuk
mengembangkan secara sistematis.

2.1.4.4 Keunggulan dan Kelemahan Model Inquiry Training


Menurut Marsh (Ngalimun, 2015) Keunggulan model inquiry training
dapat diringkas sebagai berikut:
 Ekonomis dalam menggunakan pengetahuan, hanya pengetahuan yang
relevan dengan sebuah isu yang diamati.
 Memungkinkan siswa dapat memandang konten (isi) dalam sebuah cara
yang lebih realistik dan positif karena mereka dapat menganalisis dan
menerapkan data untuk pemecahan masalah.
17

 Siswa akan termotivasi oleh dirinya sendiri untuk merefleksi isu-isu


tertentu, mencari data-data yang relevan dan membuat keputusan-
keputusan yang sangat berguna bagi dirinya sendiri.
 Hubungan guru dan siswa lebih hangat karena guru lebih bertindak sebagai
fasilitator pembelajaran dan kurang mengarahkan aktivitas-aktivitas yang
didominasi oleh guru.
 Memberikan nilai transfer yang unggul jika dibandingkan dengan metode-
metode lainnya.
Disamping memiliki keunggulan, model pembelajaran inquiry training
juga memiliki kelemahan diantaranya:
 Memerlukan jumlah jam pelajaran kelas yang banyak dan juga waktu di
luar kelas dibandingkan dengan metode pembelajaran lainnya.
 Memerlukan proses mental yang berbeda, seperti perangkat analitik dan
kognitif. Hal ini mungkin kurang berguna untuk semua bidang
pembelajaran.
 Model ini berbahaya bila dikaitkan dengan beberapa problema inkuiri
terutama isu-isu kontroversial.
 Siswa lebih menyukai model bab per bab yang tradisional.
 Model ini sulit untuk dievaluasi dengan menggunakan tes prestasi
tradisional, misalnya bagaimana anda mengevaluasi proses pemikiran
yang digunakan oleh siswa ketika mereka sedang mengerjakan program-
program inkuiri ?

2.1.4. Model Pembelajaran Konvensional


Pembelajaran konvensional merupakan pembelajaran yang selama ini
berlangsung di sekolah. Pembelajaran konvensional yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah pembelajaran dengan menggunakan metode yang biasa
dilakukan oleh guru, yaitu memberi materi melalui ceramah, latihan soal,
kemudian pemberian tugas. Ceramah merupakan salah satu cara penyampaian
informasi dengan pesan dari seseorang kepada sejumlah pendengar di suatu
ruangan. Kegiatan berpusat pada penceramah dan komunikasi searah dari
18

pembaca kepada pendengar. Penceramah mendominasi seluruh kegiatan,


sedangkan pendengar hanya memperhatikan dan membuat catatan seperlunya.
Sanjaya (2013) menyatakan bahwa dalam pembelajaran konvensional,
siswa ditempatkan sebagai objek belajar yang berperan sebagai penerima
informasi secara pasif siswa lebih banya belajar dengan menerima , mencatat, dan
menghafal materi pembelajaran. Pembelajaran bersifat teoritis dan abstrak,
perilaku siswa didasarkan faktor dari luar dirinya misalnya takut hukuman dari
guru. Dengan kata lain, guru adalah penentu jalannya proses pembelajaran.
Model konvensional memiliki banyak kelemahan, karena siswa menjadi
terbawa untuk pasif, guru memiliki perasaan yang sangat dominan, dan perbedaan
kemampuan individual siswa terabaikan.
Pembelajaran konvensional yang diterapkan oleh guru sesuai dengan
observasi awal yaitu pembelajaran langsung serta metode yang diterapkan tidak
bervariasi.
Kelemahan dari model pembelajaran konvensional yaitu:
1. Pelajaran berjalan membosankan, peserta didik hanya aktif membuat
catatan saja
2. Kepadatan konsep-konsep yang diajarkan dapat berakibat peserta didik
tidak mampu menguasai bahan yang diajarkan.
3. Pengetahuan yang diperoleh melalui ceramah lebih cepat terlupakan.
4. Ceramah menyebabkan belajar peserta didik hanya sekedar menghafal
apa yang didapat tanpa mengetahui cara menganalisis, mensintesis,
mengenal permasalahan dan pemecahannya, menimpulkan dan
mengevaluasi.
Kelemahan dari model pembelajaran konvensionl adalah peserta didik
lebih memperhatikan guru dan pandangan peserta didik hanya tertuju pada guru.
19

2.1.5. Materi Pembelajaran


2.15.1 Momentum
Momentum adalah ukuran kesulitan untuk memberhentikan suatu benda
yang sedang bergerak atau hasil perkalian antara massa dan kecepatan benda.
Secara matematis dapat dinyatakan dengan persamaan berikut :

𝑝 = 𝑚. 𝑣 (2.1)

Dengan :
p = momentum (kg m/s)
m = massa benda (kg)
v = kecepatan benda (m/s)

2.1.5.2 Impuls
Impuls merupakan suatu gaya yang dikalikan dengan waktu selama gaya
bekerja. Suatu impuls adalah hasil kali suatu gaya yang bekerja delam waktu yang
singkat yang menyebabkan suatu perubahan dari momentum. Secara matematis
impuls dapat dinyatakan oleh persamaan :
𝐼 = 𝐹 ∆𝑡 (2.2)
dengan :
I = Impuls (Ns)
F = gaya (N)
∆𝑡 = selang waktu (s)
Selain itu, jika mendapatkan sebuah grafik gaya F terhadap kurva maka
dapat menentukan besar impuls dari luas daerah di bawah kurva.

2.1.5.3 Hubungan Momentum dan Impuls


Impuls umumnya digunakan apabila pada suatu peristiwa gaya yang
bekerja sangat besar dalam waktu yang singkat. Bedasarkan Hukum II Newton
mendapatkan persamaan :

𝐹 = 𝑚𝑎 (2.3)
20

∆𝑣
Karena 𝑎 = , maka :
∆𝑡
∆𝑣
𝐹 = 𝑚 ∆𝑡

𝐹 ∆𝑡 = 𝑚 ∆𝑣
𝐹 ∆𝑡 = 𝑚 𝑣2 − 𝑚𝑣1
𝐼 = 𝑝2 − 𝑝1
𝐼 = ∆𝑝 (2.4)
Berdasarkan persamaan di atas, impuls yang bekerja pada suatu benda
sama dengan perubahan momentum yang dimiliki benda tersebut.

2.1.5.4 Hukum Kekekalan Momentum


Suatu tumbukan selalu melibatkan sedikitnya dua benda. Misalnya, benda
itu adalah bola biliar 1 dan bola biliar 2. Sesaat sebelum tumbukan, bola 1
bergerak mendatar ke kanan dengan momentum m1v1 dan bola 2 bergerak
mendatar ke kiri dengan momentum m2v2, terlihat pada gambar 2.1

Gambar 2.1 Bola biliar yang menumbuk satu dengan lainnya


Momentum sistem pertikel sebelum tumbukan tentu saja sama dengan
jumlah momentum bola 1 dan bola 2 sebelum tumbukan.
𝑃 = 𝑚1 𝑣1 + 𝑚2 𝑣2 (2.5)
Momentum sistem partikel sesudah tumbukan sama dengan jumlah
momentum bola 1 dan bola 2 sesudah tumbukan.

𝑃 = 𝑚1 𝑣′1 + 𝑚2 𝑣′2 (2.6)


21

2.1.5.5 Penerapan Konsep Momentum dan Impuls


Prinsip kerja roket mirip dengan prinsip terdorongnya balon mainan.
Sebuah roket mengandung tangki yang berisi bahan bakar hidrogen cair dan
oksigen. Kedua bahan bakar ini dicampur dalam ruang pembakar sehingga terjadi
pembakaran yang menghasilkan gas panas yang menyembur keluar melalui mulut
pipa yang terletak pada ekor roket seperti gambar dibawah ini.

Gambar 2.2 Prinsip Kerja Roket


Akibatnya terjadi perubahan momentum gas dari nol menjadi mv selama
selang waktu. Sesuai dengan hukum II Newton, gas ini menghasilkan gaya pada
gas yang dikerjakan roket. Gaya aksi ini berarah vertical ke bawah. Sesuai dengan
hukum III Newton, timbul reaksi berupa gaya yang dikerjakan gas pada roket
yang besarnya sama, tetapi arahnya berlawanan. Jelaskah, gaya reaksi yang
dikerjakan gas pada roket berarah vertikal ke atas hingga roket akan terdorong ke
atas.
Gaya berat diabaikan sehingga tidak ada gaya luar yang bekerja pada
sistem roket, prisip terdorongnya roket memenuhi hukum kekekalan momentum.
Pada keadaan mula – mula sistem roket dan bahan bakar diam, sehingga
momentumnya sama dengan nol. Sesudah gas menyembur keluar dari roket,
momentum sistem tetap sehingga momentum sistem sebelum dan sesudah gas
keluar adalah sama.
Berdasarkan kekekalan momentum, kecepatan akhir yang dapat dicapai
sebuah roket bergantung pada banyaknya bahan bakar yang dapat dibawa oleh
roket dan kelajuan pancaran gas. Pada dasarnya kedua besaran ini terbatas,
sehingga digunakan roket – roket bertahap, yaitu beberapa roket yang digabung
22

bersama. Begitu bahan bakar tahap pertama telah dibakar habis, roket ini
dilepaskan. Pesawat antariksa bergerak dengan cepat dengan massa total pesawat
dan roket – roket lebih ringan (karena tidak lagi membawa roket pertama). Pada
tahap kedua ini dicapai kecepatan akhir yang jauh lebih cepat. Demikian
seterusnya sampai seluruh bahan bakar roket telah digunakan.

2.1.5.6 Tumbukan
Perlu kita ketahui bahwa biasanya dua benda yang bertumbukan bergerak
mendekat satu dengan yang lain dan setelah bertumbukan keduanya bergerak
saling menjauhi. Ketika benda bergerak, maka tentu saja benda memiliki
kecepatan. Karena benda tersebut mempunyai kecepatan dan massa, maka benda
tersebut pasti memiliki momentum dan juga energi kenetik.
Tumbukan dibagi ke dalam tiga jenis yang disesuaikan dengan
karakteristik gerak benda sesaat setelah tumbukan, yakni tumbukan lenting
sempurna, tumbukan lenting sebagian, dan tidak lenting sama sekali. Perbedaan
tumbukan – tumbukan tersebut dapat diketahui berdasarkan nilai koefisien
elastisitas dari dua buah benda yang bertumbukan. Koefisien elastisitas dari dua
benda yang bertumbukan sama dengan perbandingan negative antara beda
kecepatan sesudah tumbukan dengan kecepatan sebelum tumbukan secara
matematis koefisien elastisitas dapat dinyatakan sebagai berikut :
𝑣 ′ 1 −𝑣′ 2
𝑒 = −( ) (2.7)
𝑣1 −𝑣2

Jenis – Jenis Tumbukan


a. Tumbukan Lenting Sempurna
Pada tumbukan lenting sempurna berlaku hukum kekekalan momentum
dan hukum kekekalan energi mekanik. Energi kinetik total yang dimiliki benda
sebelum dan sesudah tumbukan adalah tetap. Energi potensial benda tidak
diperhitungkan karena kedua benda bergerak dalam satu bidang datar.
23

Gambar 2.3 Tumbukan Lenting Sempurna


Dua buah benda pada bidang datar bergerak berlawanan. Kemudian
setelah terjadi tumbukan, kedua benda tersebut bergerak berlawanan arah dari
arah semula. Kecepatan masing – masing benda adalah 𝑣 ′1 dan 𝑣 ′ 2 . Sesuai
dengan hukum kekekalan momentum diperoleh persamaan (2.6). menurut hukum
kekekalan energi kinetik :
𝐸𝑘1 + 𝐸𝑘2 = 𝐸𝑘′1 + 𝐸𝑘′2
1 1 2 2
(𝑚1 𝑣1 2 + 𝑚2 𝑣2 2 ) = (𝑚1 𝑣 ′1 + 𝑚2 𝑣 ′ 2 ) (2.8)
2 2

Selain memenuhi hukum kekekalan energi kinetik, tumbukan lenting


sempurna juga memenuhi hukum kekekalan momentum. Oleh karna itu, koefisien
elastisitas untuk tumbukan lenting sempurna sama dengan satu (𝑒 = 1).
b. Tumbukan Lenting Sebagian
Pada tumbukan lenting sebagian hanya berlaku hukum kekekalan
momentum dan tidak berlaku hukum kekekalan energi mekanik, karena energy
kinetik benda berkurang selama tumbukan. Energi kinetik benda sesudah
tumbukan lebih kecil daripada sebelum tumbukan.
1
𝐸𝑘 = (𝑚1 𝑣1 2 + 𝑚2 𝑣2 2 )
2
1 2 2
𝐸𝑘′ = (𝑚1 𝑣 ′1 + 𝑚2 𝑣 ′ 2 )
2

Besarnya energi kinetik yang hilang setelah tumbukan dan berubah


menjadi bentuk energi yang lain adalah :
∆𝐸𝑘 = 𝐸𝑘1 − 𝐸𝑘′2 (2.9)
Secara umum, apabila terjadi tumbukan lenting sebagian akan berlaku
persamaan (2.7), dengan 0 < e < 1. Contoh tumbukan lenting sebagian adalah bola
yang menumbuk lantai kemudian memantul kembali ke atas.
Walaupun pada jenis tumbukan ini tidak berlaku hukum kekekalan energy
mekanik, namun hukum kekekala momentum tetap berlaku, persamaan (2.7).
24

konsep tumbukan lenting sebagian dapat diterapkan pada pemantulan sebuah bola
yang jatuh di lantai seperti gambar di bawah ini.

Gambar 2.4 Pemantulan pada tumbukan lenting sebagian


Bola jatuh bebas dari ketinggian h1, sebelum bertumbukan dengan lantai,
kecepatan bola v1. Sesudah bertumbukan dengan lantai, kecepatan bola menjadi
v’1 dan bola mencapai ketingian h2. Dalam hal ini berlaku persamaan (2.8).
Benda pertama adalah bola dan lantai yang bertindak sebagai benda kedua.
Sebelum dan sesudah tumbukan, lantai tetap diam sehingga v2 dan v’2 bernilai nol.
Jika kita hubungkan antara ketinggian dan kecepatannya, akan diperoleh
persamaan :
a. Kecepatan saat tepat sebelum tumbukan
𝑣1 = √2𝑔ℎ (2.10)
b. Kecepatan saat tepat sesudah tumbukan
𝑣1 = √2𝑔ℎ′ (2.11)
Berdasarkan persamaan (2.7) diperoleh :
√2𝑔.ℎ2 −0
𝑒= −
√2𝑔.ℎ1 −0

√ℎ2
𝑒= (2.12)
√ℎ1

c. Tumbukan tidak lenting sama sekali


Jenis tumbukan tidak lenting sama sekali, terjadi sesaat setelah tumbukan,
kedua benda bersatu dan bergerak bersama dengan kecepatan yang sama. Contoh
khas dari tumbukan tidak lenting sama sekali adalah ayunan balistik. Ayunan
balistik merupakan sebuah alat yang sering digunakan untuk mengukur laju
proyektil, seperti peluru.
25

Sebuah balok besar yang terbuat dari kayu atau bahan lainnya digantung
seperti ayunan. Setelah itu, sebutir peluru ditembakkan pada balok tersebut dan
biasanya peluru tertanam di balok. Sebagai akibat dari tumbukan tersebut, peluru
dan balok bersama – sama terayun ke atas sampai ketinggian tertentu (ketinggian
maksimum), seperti ditunjukkan pada gambar 2.5

Gambar 2.5 Balok digantungkan seperti ayunan


Hukum kekekalan momentum hanya berlaku pada waktu yang sangat
singkat ketika peluru dan balok bertumbukan, karena pada saat itu belum ada gaya
luar yang bekerja. Secara matematis dirumuskan sebagai berikut :
𝑚1 𝑣1 = (𝑚1 + 𝑚2 )𝑣′ (2.13)
Ketika balok mulai bergerak, aka nada gaya luar yang bekerja pada balok
dan peluru, yakni gaya gravitasi. Gaya gravitasi cenderung menarik balok kembali
ke posisi setimbang. Karna ada gaya luar yang bekerja, maka hukum kekekalan
momentum tidak berlaku setelah balok bergerak (Giancoli, 2014)

2.1.7 Penelitian sebelumnya


No Nama Peneliti Judul Penelitian Hasil peneliti
1 Afriyanti dan Efek penggunaan Berdasarkan analisis data dari
Derlina (2016) Model hasil penelitian yang telah
Pembelajaran dilakukan dapat dikemukakan
Inquiry Training beberapa kesimpulan sebagai
berbantuan Media berikut. Pertama, model
Visual dan pembelajaran inquiry training
Kreativitas menggunakan media visual
terhadap lebih baik dalam meningkatkan
Keterampilan keterampilan proses sains
Proses Sains siswa daripada pembelajaran
Siswa konvensional. Kedua, hasil
keterampilan proses sains siswa
yang memiliki kreativitas
tinggi lebih baik dibandingkan
26

dengan siswa yang memiliki


kreativitas rendah. Ketiga,
terdapat interaksi model
pembelajaran inquiry training
dan konvensional dengan
kreativitas terhadap
keterampilan proses siswa.
2. Tamba dan Pengaruh Model Data rata-rata pretes kelas
Simamora (2018) Pembelajaran eksperimen dan kontrol
Inquiry Training adalah 33,90 dan 32,16.
Terhadap Hasil Selanjutnya nilai rata-rata
Belajar Siswa postes kelas eksperimen 73,90
Pada Materi dan kelas kontrol 68,26. Uji
Pokok normalitas dan homogenitas
Momentum dan menunjukkan bahwa kedua
Impuls kelas berdistribusi normal dan
homogen. Kesimpulannya
bahwa model pembelajaran
inquiry training pada kelas
eksperimen berpengaruh
terhadap hasil belajar siswa
pada materi pokok momentum
dan impuls kelas X SMA
Negeri 21 Medan T.P
2016/2017.
3. Mihardi dan Derlina Implementasi Berdasarkan hasil penelitian
(2015) Model ditemukan bahwa pembelajaran
Pembelajaran dengan model inquiry training
Inquiry Training lebih efektif dalam
dalam meningkatkan kemampuan
Pembelajaran berpikir formal siswa
Fisika untuk dibandingkan dengan
Meningkatkan pembelajaran direct instruction.
Kemampuan Persentase N-gain kemampuan
Berpikir Formal berpikir formal untuk siswa
Siswa kelas eksperimen untuk
indikator berpikir hipotesis
deduktif, berpikir kombinasi
dan refleksi berada pada
kategori sedang, berpikir
proporsional pada kategori
tinggi. Untuk siswa kelas
kontrol perentase N-gain rata-
rata untuk berpikir hipotesis
deduktif berada pada kategori
rendah, sementara berpikir
27

proporsional, berpikir
kombinasi dan berpikir refleksi
berada pada kategori sedang.
Dengan demikian model
pembelajaraninquiry training
dapat dijadikan solusi untuk
meningkatkan kemampuan
berpikir formal siswa pada
materi pokok kinematika
partikel. Kepada guru
disarankan dapat mencoba
model pembelajaran inquiry
training pada materi pokok
yang lain.
4. Oktaviani dan Pengaruh Model Adanya peningkatan hasil
Situmorang (2018) Pembelajaran belajar siswa. Hasil rata-rata
Inquiry Training postes kelas eksperimen adalah
Berbantu Mind 76,97 dan kelas kontrol adalah
Mapping 72,11.
Terhadap Hasil
Belajar Siswa
Pada Materi
Pokok Suhu dan
Kalor di Kelas X
Semester II SMA
Negeri 3 Medan
T.P 2016/2017.
5. Siahaan dan Sahyar Efek Model Berdasarkan hasil penelitian
(2017) Pembelajaran diperoleh nilai rata-rata pretes
Inquiry Training kelas eksperimen adalah 37,71
Terhadap Hasil dan nilai rata-rata kelas
Belajar Fisika kontrol adalah 34,14.
Pada Materi Kemudian diberikan perlakuan
Kalor dan yang berbeda, kelas
Perpindahannya eksperimen dengan model
di SMP Negeri 38 pembelajaran inquiry training
Medan Kelas VII dan kelas kontrol dengan
Semester II T.A pembelajaran konvensional.
2013/2014. Data postes yang diperoleh
yaitu hasil rata-rata kelas
eksperimen 72,71 dan kelas
kontrol 57,71. Hasil ini
menggambarkan bahwa ada
efek model pembelajaran
inquiry training dalam
meningkatkan hasil belajar
28

Fisika.

2.2.Kerangka Konseptual

Model pembelajaran inquiry training merupakan suatu model


pembelajaran yang mampu menggiatkan siswa untuk berfikir secara aktif, kreatif
dan mampu berfikir kritis dalam proses pembelajaran. Berfikir kritis dapat
mendorong siswa mempertanyakan apa yang mereka dengar dan mengkaji pikiran
mereka sendiri serta memastikan tidak terjadi logika yang keliru.
Dalam menerapkan model pembelajaran inquiry training , guru akan
menghadapkan siswa pada masalah. Masalah yang diajukan tersebut diverifikasi
dengan meninjau masalah tersebut berdasarkan informasi yang mereka alami
(hipotesis awal). Penyelesaian masalah dilakukan dengan cara melakukan
eksperimen dan mengadakan kelompok kecil untuk mendapatkan laporan yang
sesuai dengan kenyataan ataupun berlainan dengan hipotesis awal yang mampu
mengembangkan kemampuan berfikir dalam pengambilan kesimpulan dalam
menyelesaikan permasalahan yang ada.
Model pembelajaran inquiry training membuat siswa tidak sekedar
menghafal pelajaran tetapi dapat menganalisis, mensintesis, mengenal
permasalahan dan pemecahannya, menyimpulkan dan mengevaluasi. Pengetahuan
dengan model pembelajaran inquiry training tidak hanya mengembangkan
kemampuan intelektual tetapi seluruh potensi yang ada, termasuk pengembangan
emosional dan pengembangan keterampilan.
Dengan demikian, diharapkan penerapan model pembelajaran inquiry
training pada materi Momentum dan Impuls mampu menciptakan suasana belajar
29

yang semakin menyenangkan, meningkatkan aktivitas siswa, dan dapat


meningkatkan hasil belajar siswa.

2.3. Hipotesis Penelitian

Dengan menerapkan pembelajaran konvensional dan Inquiry Training, maka


akan didapatkan hasil masing-masing pembelajaran. Kedua hasil tersebut
selanjutnya dibandingkan satu sama lain. Kemudian akan didapatkan bagaimana
pengaruh dari penggunaan model pembelajaran Inquiry Training. Sehingga
didapatkan hipotesis sebagai berikut :
Hipotesis Nol (Ho) : Tidak ada pengaruh yang signifikan penggunaan model
pembelajaran Inquiry Training terhadap hasil belajar
siswa pada materi Momentum dan Impuls di kelas X
semester II MAN 1 MedanT.P. 2018/2019.
Hipotesis Kerja (Ha) : Ada pengaruh yang signifikan penggunaan model
pembelajaran Inquiry Training terhadap hasil belajar
siswa pada materi Momentum dan Impuls di kelas X
semester II MAN 1 MedanT.P. 2018/2019.
30

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini akan dilaksanakan di MAN 1 Medan Jl. William Iskandar No.
7B, Kecamatan Medan Tembung, Kota medan Sumatra Utara. Waktu penelitian
dimulai pada bulan Maret 2019 sampai bulan April 2019 pada tahun ajaran 2018/
2019.

3.2. Populasi dan Sampel Penelitian


3.2.1. Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X MIA Semester
II MAN 1 Medan T.P 2018/ 2019 yang berjumlah tujuh kelas yaitu X MIA-1
sampai X MIA-7.

3.2.2. Sampel Penelitian


Sampel penelitian ini terdiri dari dua kelas yang mewakili populasi
dengan mempunyai karakteristik yang sama. Pengambilan sampel dan penentuan
kelas sampel dalam penelitian diambil secara acak yaitu dengan menggunakan
cluster random sampling. Salah satu kelas sebagai kelas eksperimen yang
diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran Inquiry Training dan kelas
lain sebagai kelas kontrol yang diajarkan dengan menggunakan pembelajaran
konvensional.

3.3. Variabel Penelitian


3.3.1. Variabel Bebas
Variabel bebas merupakan variabel yang dapat dimanipulasi atau dapat
dijadikan sebagai jenis perlakuan, yaitu model pembelajaran Inquiry Training dan
pembelajaran konvensional.
31

3.3.2. Variabel Terikat


Variabel terikat pada penelitian ini, yaitu hasil belajar siswa pada materi
pokok momentum dan impuls di kelas X Semester II MAN 1 Medan T.P 2018/
2019.

3.4. Jenis dan Desain Penelitian


3.4.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah quasi eksperiment (eksperimen semu) yaitu
penelitian yang dimaksudkan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh dari
sesuatu yang dikenakan pada subjek yaitu siswa. Pengaruh yang dimaksudkan
adalah hasil belajar siswa pada kelas eksperimen dengan model pembelajaran
inquiry training sedangkan kelas control dengan pembelajaran konvensional yang
dapat dilihat dari hasil jawaban siswa pada tes belajar.

3.4.2. Desain Penelitian


Penelitian ini melibatkan dua kelas yaitu kelas eksperimen dan kelas
kontrol, dimana kedua kelas ini diberi perlakuan yang berbeda. Kelas eksperimen
diberikan model pembelajaran Inquiry Training sedangkan kelas kontrol diberikan
model pembelajaran konvensional.
Cara mengetahui hasil belajar siswa yang diperoleh dengan dua perlakuan
tersebut, maka siswa diberikan tes sebanyak dua kali yaitu tes yang diberikan
sebelum perlakuan (T1) yang disebut pretes dan tes sesudah perlakuan (T2) yang
disebut postes. Rancangan penelitian ini sebagai berikut :
Tabel 3.1 Group pre-test-post-test design (Arikunto, 2016 )
Kelas Pretes Perlakuan Postes
Eksperimen T1 X1 T2
Kontrol T1 X2 T2
Keterangan :
T1 = Tes awal (Pretes)
T2 = Tes akhir (Posttes)
X1 = Pembelajaran dengan model Inquiry Training
32

X2= Pembelajaran dengan model konvensional (model pembelajaran


langsung).

3.5. Prosedur Penelitian


Tahapan pelaksanaan penelitian ini dapat dipaparkan sebagai berikut:

1. Tahap Awal (Persiapan dan Perencanaan)


Kegiatan yang dilakukan dalam tahapan ini meliputi beberapa persiapan-
persiapan sehubungan dengan pelaksanaan penelitian :
a. Konsultasi dengan Kepala Sekolah MAN 1 Medan untuk memohon
izin melakukan penelitian.
b. Membuat surat persetujuan dosen pembimbing dan surat izin
observasi ke sekolah.
c. Membuat instrument pengumpulan data observasi antara lain lembar
wawancara dan lembar angket.
d. Melakukan observasi langsung dengan memberikan angket kepada
siswa kelas X dan wawancara kepada guru fisika di MAN 1 Medan.
e. Menentukan masalah dan judul penelitian.
f. Pencarian pustaka yang relevan.
g. Mengadakan konsultasi dengan dosen pembimbing skripsi.
h. Menyusun proposal penelitian.
i. Menyusun dan mempersiapkan perangkat pembelajaran seperti RPP,
LKS, tes hasil belajar yang telah divalidasi oleh tiga validator.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian


Kegiatan yang dilakukan meliputi:
a. Menentukan kelas sampel dari populasi yang ada yaitu kelas
eksperimen dan kelas kontrol.
b. Melaksanakan pretest pada kelas ekperimen ataupun kelas kontrol
untuk mengetahui kemampuan awal siswa dan sebagai data awal
sebelum diberi perlakuan.
33

c. Menentukan analisis data pretest yaitu uji normalitas (untuk


mengetahui sampel berdistribusi normal atau tidak), uji homogenitas
(untuk mengetahui kesamaan varians sampel) dan uji t dua pihak
(untuk mengetahui kesamaan pengetahuan awal sampel) pada kedua
kelas sampel.
d. Memberikan perlakuan pada kedua kelas yaitu:
1. Pada kelas eksperimen menggunakan model pembelajaran
inquiry training.
2. Pada kelas kontrol menggunakan pembelajaran konvensional.
e. Mengamati aktivitas saat proses pembelajaran di kelas eksperimen
dan kelas kontrol.
f. Memberikan postes kepada kedua kelas untuk mengetahui hasil
belajar siswa setelah diberi perlakuan

3. Tahap Akhir Penelitian

a. Melakukan analisis data aktivitas siswa dan menganalisis data postes


yaitu uji normalitas dan uji homogenitas untuk kelas eksperimen dan
kelas kontrol.
b. Melakukan uji hipotesis t satu pihak untuk mengetahui ada tidaknya
pengaruh model pembelajaran inquiry training terhadap hasil
belajar siswa.
c. Menarik kesimpulan dari data yang diperoleh tentang hasil
penelitian.
d. Penyusunan laporan penelitian.
34

Studi Pendahuluan

Wawancara Angket

Menganalisis hasil wawancara

Menentukan dua kelas sampel

Pretes

Analisis data

Kelas Eksperimen Kelas Kontrol

Pembelajaran Pembelajaran
Inquiry Training Konvensional

Penilaian Keterampilan Penilaian Sikap

Postest

Analisis data

Kesimpulan

Gambar 3.1. Skema Rancangan Penelitian


35

3.6 Instrumen Penelitian


3.6.1 Lembar Observasi Aktivitas Siswa
Instrumen observasi siswa yang digunakan untuk menilai aktivitas siswa
selama pembelajaran. Observasi aktivitas siswa dalam proses pembelajaran
dilakukan agar mengetahui apakah model pembelajaran inquiry training yang
diterapkan mengakibatkan timbulnya berbagai aktivitas siswa. Observasi
dilakukan oleh observer dengan menggunakan lembar observasi dan meiliki
langkah sebagai berikut :
1. Penilaian kemampuan aktivitas proses belajar siswa dilakukan dengan cara
memberikan tanda checklist () dengan pedoman rubrik observasi pada
kolom yang tersedia sesuai dengan fakta yang diamati.
2. Rumus untuk menentukan nilai aktivitas proses belajar siswa adalah
𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑜𝑙𝑒ℎ
𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 = 𝑥 100
𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑢𝑚

3. Untuk menentukan taraf nilai proses belajar siswa dengan nilai yang
dicapai adalah dengan menggunakan rubric sandar/kriteria penilaian.
Tabel 3.2 Rubrik Penilaian Observasi Aktivitas Siswa

Tahap
No Indikator
Inquiry Deksriptor Penilaian
. yang dinilai
Training
1. Mengha- Merumuskan Memperhatikan 0. Tak satupun
dapkan masalah prosedur Inquiry deksriptor
pada (listening Training yang di tampak
masalah activities) jelaskan 1. Satu deksriptor
Memperhatikan tampak
permasalahan yang 2. Dua deksriptor
disajikan. tampak
Menjawab pertanyaan 3. Tiga deksriptor
yang dijelaskan. tampak
2. Pengum- Mengumpu- Mengumpulkan 0. Tak satupun
pulan lkan data informasi deksriptor
data verifikasi Mengajukan hipotesis tampak
verifikasi (oral Mengajukan 1. Satu deksriptor
activities) pertanyaan tampak
2. Dua deksriptor
tampak
3. Tiga deksriptor
tampak
36

3. Pengum- Mengumpul- Melakukan percobaan 0. Tak satupun


pulan kan data dengan teman deksriptor
data eksperimen sekelompok tampak
eksperi- (motor Melakukan prosedur 1. Satu deksriptor
men activities) sesuai dengan LKPD tampak
Mencatat data hasil 2. Dua deksriptor
percobaan tampak
3. Tiga deksriptor
tampak
4. Mengor- Menganalisis Mengolah data 0. Tak satupun
ganisasi- data Merumuskan suatu deksriptor
kan, percobaan penjelasan tampak
memfo- (mental Menjelaskan hasil 1. Satu deksriptor
rmulasi- activities) diskusi tampak
kan suatu 2. Dua deksriptor
penjelas- tampak
an 3. Tiga deksriptor
tampak
5. Analisis Merumuskan Mendengarkan 0. Tak satupun
proses kesimpulan penjelasan yang deksriptor
inquiry (writing disampaikan tampak
activities) Mencatat kesimpulan 1. Satu deksriptor
Menentukan tampak
pertanyaan yang 2. Dua deksriptor
efektif. tampak
3. Tiga deksriptor
tampak

3.6.2 Instrumen Penilaian Keterampilan dan Sikap


Instrumen ini berfungsi untuk mencatat keteramplan dan sikap siswa selama
pembelajaran berlangsung. Adapun manfaatnya yaitu memperoleh informasi
balikan (feed back) guru di dalam kegiatan belajar mengajar. Instrumen penilaian
keterampilan dans instrumen penilaian sikap yang dipakai dikedua kelas adalah
observasi. Observasi yang dilakukan bersifat langsung dan dilakukan dengan
bantuan dua orang pengamat yang dilengkapi dengan rubrik . Untuk memudahkan
pengamatan, siswa diberikan nomor di dalam kelompok sehingga pengamat
memberikan penilaian dengan menandai pada nomor siswa yang beraktivitas.
Pengamat memberikan skor untuk setiap deskripsi yang muncul.
37

Rubrik penilaian keterampilan yang akan dinilai dapat dilihat dalam tabel
3.3 dan rubrik penilaian sikap yang akan dinilai dapat dilihat pada tabel 3.4
berikut :
Tabel 3.3. Rubrik Penilaian Keterampilan

Aspek yang Penilaian


Dinilai 1 2 3
Merangkai Rangkaian alat tidak Rangkaian alat Rangkaian alat benar
alat benar benar, tapi tidak dan memperhatikan
memperhatikan keselamatan kerja
keselamatan kerja
Pengamatan Pengamatan tidak Pengamatan Pengamatan cermat dan
cermati cermat tapi tidak mengandung
mengandung interpretasi
interpretasi
Data yang Data tidak lengkap Data lengkap, tapi Data lengkap,
diperoleh tidak terorganisir terorganisir, dan ditulis
atau ada yang dengan benar
salah tulis

Menarik Kesimpulan tidak Sebagian Semua kesimpulan


kesimpulan benar atau tidak kesimpulan ada benar dan sesuai
sesuai tujuan yang tidak benar dengan tujuan
atau tidak sesuai
dengan tujuan
Mengkomu- Hasil yang Hasil yang Hasil yang
nikasikan dikomunikasikan dikomunikasikan dikomunikasikan
tidak relevan dengan kurang relevan relevan dengan
teori sebagian dengan teori
teori

Tabel 3.4. Rubrik Penilaian Sikap

No. Aspek yang Dinilai Rubrik


1. Rasa ingin tahu 1. Siswa tidak menunjukkan antusias dalam
pembelajaran, sulit terlibat aktif dalam
kegiatan tanya jawab walaupun telah
didorong untuk terlibat
2. Menunjukkan rasa ingin tahu, namun tidak
terlalu antusias, dan baru terlibat aktif
dalam kegiatan tanya jawab ketika disuruh
3. Menunjukkan rasa ingin tahu yang besar,
38

antusias, aktif dalam kegiatan tanya jawab


2. Jujur 1. Siswa menulis hasil karya dari kelompok
lain
2. Siswa menulis hasil karya dari hasil sendiri
dan kelompok lain
3. Siswa menulis hasil karya dari hasil
analisis sendiri
3. Disiplin 1. Tidak mengikuti pelajaran tanpa alasan
dan tidak mengumpulkan tugas sama
sekali
2. Terlambat masuk kelas dan
mengumpulkan tugas tidak sesuai yang
dijadwalkan guru
3. Berada di kelas sebelum guru datang dan
mengumpulkan tugas sesuai waktu yang di
jadwalkan guru.
4 Teliti 1. Siswa menganalisis dan mengerjakan
percobaan pada LKPD namun tidak sesuai
dengan prosedur percobaan
2. Siswa menganalisis dan mengerjakan
percobaan pada LKPD tidak seluruhnya
sesuai dengan prosedur percobaan
3. Siswa menganalisis dan mengerjakan
percobaan pada LKPD sesuai dengan
prosedur percobaan
5 Kerjasama 1. Belum bekerjasama sesama anggota
kelompok baik saat pengumpulan data dan
tidak bersikap ulet dalam pengolahan data
2. Bekerjasama sesama anggota kelompok
saat pengumpulan data berlangsung,
namun kadang-kadang masih
mementingkan ego masing-masing dan
tidak bersikap ulet agar masalah dalam
melaksanakan percobaan dapat
diselesaikan
3. Bekerjasama sesama anggota kelompok
saat pengumpulan dan pengolahan data
berlangsung serta senantiasa bersikap ulet
agar masalah dalam percobaan yang
dilakukan cepat terselesaikan
6 Tanggung Jawab 1. Tidak berupaya sungguh-sungguh dalam
menyelesaikan tugas selama diskusi dan
tidak tepat waktu
2. Berupaya tepat waktu dalam
menyelesaikan tugas, namun belum
menunjukkan upaya terbaiknya.
39

3. Tanggung jawab dalam menyelesaikan


tugas selama diskusi berlangsung dengan
hasil terbaik yang bisa dilakukan, berupaya
tepat waktu dan mampu menampilkan di
depan kelas.

3.6.3 Tes Hasil Belajar


Tes hasil belajar yang digunakan untuk mengukur penguasaan kognitif
siswa pada materi momentum dan impuls. Tes hasil belajar siswa yang berjumlah
dua puluh soal dalam bentuk pilihan berganda dengan lima pilihan (option). Tes
disusun berdarkan taksonomi Bloom dalam ranah kognitif yaitu : Pengetahuan/
Ingatan (C1), Pemahaman (C2), Aplikasi/Penerapan (C3), Analisis (C4), Menilai
(C5), dan Mencipta (C6).
Sebelum dilakukan penelitian, tes yang telah disusun terlebih dahulu
diperiksa validator. Tes ini diberikan dua kali yaitu pretes (sebelum perlakuan)
dan postes (setelah perlakuan).
Tabel 3.5 Kisi- Kisi Hasil Belajar Pada Materi Pokok Momentum dan Impuls

No. Sub materi Ranah Kognitif Jumlah


pokok C1 C2 C3 C4 C5 C6
1. Momentum 1 2 3 4,6 5,7 7
2. Impuls 8 9 10,11,12 13 6
3. Tumbukan 15 16,17 14,18,19,20 7
Jumlah 3 4 8 3 2 - 20

Keterangan :

C1 = Mengingat (Pengetahuan)
C2 = Memahami (Pemahaman)
C3 = Menerapkan
C4 = Analisis
C5 = Menilai
40

3.7. Teknik Analisis Item Tes Hasil Belajar


3.7.1 Validitas Isi
Validitas isi dapat diusahakan tercapainya sejak saat penyusunan dengan
cara merinci seperti buku pelajaran. Disinilah pentingnya kisi-kisi sebagai alat
untuk memenuhi validitas isi. Dalam hal tertentu untuk tes yang telah disusun
sesuai dengan kurikulum (materi dan tujuan) agar memenuhi validitas isi, dapat
pula dimintakan bantuan ahli seperti dosen atau guru bidang studi untuk
menelaah apakah konsep materi yang diajukan telah memadai atau tidak sebagai
sampel tes. Dengan demikian validitas isi tidak memerlukan uji coba dan analisis
statistik atau dinyatakan dalam bentuk angka-angka.

3.7.2 Reliabilitas
Reliabilitas menunjuk pada tingkat keterandalan sesuatu. Reliabel artinya
dapat dipercaya, jadi dapat diandalkan. Rumus yang digunakan untuk menentukan
koefisien reliabilitas yaitu menggunakan rumus Kuder-Richardson (KR-20):
yaitu:

𝑛 𝑆 2 − ∑ 𝑝𝑞
𝑅11 = ( )( ) … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … (3.1)
𝑛−1 𝑆2

∑ 𝑥12
Dengan : 𝑆 2 = 𝑁

Keterangan:
R11 = reliabilitas tes secara keseluruhan
p = proporsi subjek yang menjawab item dengan benar
q = proporsi subjek yang menjawab item dengan salah (q = 1 - p)
 pq = jumlah hasil perlakuan antara p dan q
N = jumlah siswa
n = jumlah item
S = standar deviasi
Kriteria pengujian validitas adalah setiap item valid apabila rxy > rtabel
(rtabel diperoleh dari nilai kritis r product moment dengan taraf signifikn α =
0,05).
41

Tabel 3.6 Nilai dan Kategori Reliabilitas.


Nilai Kategori
0.00 – 0.20 Sangat rendah
0.21 – 0.40 Rendah
0.41 – 0.60 Cukup
0.61 – 0.80 Tinggi
0.81 – 1.00 Sangat tinggi
(Arikunto, 2016:116).

3.7.3 Taraf Kesukaran


Rumus yang digunakan untuk menentukan tingkat kesukaran tes masing-
masing item tes yaitu:

𝐵
𝑃 = 𝐽𝑆 … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … . (3.2)

Dengan:
P = indeks kesukaran
B = jumlah siswa yang menjawab benar
JS = jumlah seluruh siswa
Adapun kategori penilaiannya dapat ditunjukkan pada Tabel 3.7 berikut.
Tabel 3.7 Nilai dan Kategori Taraf Kesukaran

Nilai Kategori

0 – 0,30 Sukar

0,31 – 0,70 Sedang

0,71 – 1,00 Mudah

(Arikunto, 2016)

3.7.4 Daya Pembeda Tes


Analisis ini dimaksud untuk mengetahui kemampuan butir-butir soal tes
hasil belajar membedakan antara siswa yang berkemampuan tinggi (pandai)
42

dengan siswa yang berkemampuan rendah (bodoh). Rumus yang digunakan untuk
menentukan daya beda masing-masing item tes dapat dilihat di bawah dan
kategori penilaian dapat ditunjukkan pada tabel 3.8.

𝐵𝐴 𝐵𝐵
𝐷= − = 𝑃𝐴 − 𝑃𝐵 … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … . (3.3)
𝐽𝐴 𝐽𝐵

Dengan :

D = daya pembeda

BA = jumlah benar pada kelompok atas

BB = jumlah benar pada kelompok bawah

JA = jumlah siswa pada kelompok atas

JB = jumlah siswa pada kelompok bawah

Adapun kategori penilaian daya pembeda tes dapat dilihat pada tabel 3.8
berikut ini.
Tabel 3.8 Nilai dan Kategori Daya Pembeda Tes
Nilai Kategori
0,00 – 0,20 Buruk
0,20 – 0,40 Cukup
0,40 – 0,70 Baik
0,70 − 1,00 Baik sekali
(Arikunto, 2016)

Setelah memperoleh hasil validitas, reliabilitas, taraf kesukaran dan daya


pembeda tes, tentunya peneliti akan memilah item-item soal yang sudah valid dan
reliabel untuk dijadikan sebagai instrumen tes dalam penelitian. Item yang tidak
valid otomatis dibuang sebab sudah terbukti tidak dapat mengukur apa yang
seharusnya diukur.
43

3.8 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dilakukan setelah data diperoleh. Adapun teknik


analisis data pada penelitian sebagai berikut :

3.8.1 Menghitung nilai skor mentah


Dalam perhitungan nilai skor mentah, apabila jawaban benar diberi skor 1
dan bila jawaban salah diberi skor 0. Selanjutnya jumlah skor total dari setiap
siswa dikonversikan ke dalam bentuk nilai dengan menggunakan rumus :
𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑜𝑙𝑒ℎ
𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 = 𝑥 100
𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑢𝑚

3.8.2 Menghitung Nilai Rata-Rata (Mean) dan Simpangan Baku


Menurut Sudjana (1989:67) untuk menghitung rata-rata digunakan rumus
sebagai berikut :

∑ 𝑥1
𝑥1 =
̅̅̅
𝑛

Dimana :

𝑥1 = Rata-rata hasil belajar fisika kelas eksperimen

𝚺xi = Jumlah skor siswa kelas eksperimen


n = Jumlah siswa

a. Menentukan simpangan baku

n xi2   xi 2
s
n  1

b. Standart deviasi dan varians dari masing-masing kelompok dengan rumus:


n1  f1 x1  ( f1 x1 ) 2
2
S1 
2

n1 (n1  1)
44

Dengan
S12 = Varians kelompok 1 kelas eksperimen
𝚺x1 = jumlah skor sampel 1 (Sudjana, 1989:95)

3.8.3 Uji Normalitas


Uji ini digunakan untuk melihat apakah sampel berdistribusi normal atau
tidak. Pengujian ini dilakukan pada saat pengumpulan data tes awal (pretes) Uji
yang digunakan adalah Liliefors dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Untuk setiap bilangan baku ini menggunakan daftar distribusi normal baku
kemudian menghitung peluang F(z) = P(z ≤ zi).
b. Menghitung proposisi z1, z2 ....zn yang lebih kecil atau yang sama dengan z,
jika proposisi ini dinyatakan dengan S (zi) rumus :
𝑏𝑎𝑛𝑦𝑎𝑘𝑛𝑦𝑎 𝑍1 𝑍2 … … … 𝑍𝑖 𝑦𝑎𝑛𝑔 ≤ 𝑍𝑖
𝑆(𝑍𝑖 ) =
𝑛
c. Menghitung selisih F(z)- S(zi), kemudian tentukan harga mutlaknya.
d. Ambil harga paling besar diantara harga-harga mutlak selisih tersebut.
e. Jika Lhitung lebih besar Ltabel, berarti data berdistribusi normal atau sebaliknya
(Sudjana, 1989:466).

3.8.4 Uji Homogenitas


Uji homogenitas bertujuan untuk mengetahui apakah data mempunyai
varians yang homogen atau tidak. Uji ini dilakukan pada saat pengumpulan data
tes awal (pretes).
Ho : S12 = S22 atau kedua sampel mempunyai varians yang sama
Ha : S12 ≠ S22 atau kedua sampel tidak mempunyai varians yang sama

dengan menggunakan rumus:

𝑣𝑎𝑟𝑖𝑎𝑛𝑠 𝑡𝑒𝑟𝑏𝑒𝑠𝑎𝑟
𝐹=
𝑣𝑎𝑟𝑖𝑎𝑛𝑠 𝑡𝑒𝑟𝑘𝑒𝑐𝑖𝑙
2
S
F  12
S2
45

Keterangan :
2
S1 = Varians dari kelompok besar
2
S 2 = Varians dari kelompok kecil

Kriteria pengujian : hipotesis H0 diterima jika F(1 )( n1 1) < F < F1  ( n 1,n 1)
2 1 2

untuk taraf nyata α, dimana Fβ (m,n) didapat dari daftar distribusi F dengan peluang
β, dk pembilang = m dan dk penyebut = n (Sudjana, 1989: 249).

3.8.5 Uji Hipotesis (uji t)

3.8.5.1 Uji Kesamaan Rata-rata Pretest (Uji t dua pihak)


Menurut Sudjana (1989:239) untuk mengetahui kesamaan (tidak berbeda
secara signifikan) kemampuan awal siswa siswa pada kedua kelompok sampel
maka digunakan uji t dua pihak. Hipotesis yang diuji berbentuk :

𝐻0 : 𝜇1 = 𝜇2

𝐻𝑎 ∶ 𝜇1 ≠ 𝜇2

Keterangan :

𝐻0 : 𝜇1 = 𝜇2 : Rata-rata kemampuan awal siswa pada kelas eksperimen sama


dengan kemampuan awal siswa pada kelas control

𝐻𝑎 ∶ 𝜇1 ≠ 𝜇2 : Rata-rata kemampuan awal siswa pada kelas eksperimen tidak


sama dengan kemampuan awal siswa pada kelas kontrol.

Untuk uji hipotesis digunakan uji t dengan rumus:

𝑋̅1 − 𝑋̅2
𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 =
𝑆 1 1
√𝑛 + 𝑛
1 2

Dengan standar deviasi gabungan:


46

(𝑛1 − 1)𝑠12 + (𝑛2 − 1)𝑠22


𝑆2 =
𝑛1 + 𝑛2 − 2

Keterangan:
t = Harga t perhitungan
𝑋̅1 = Nilai rata-rata hasil belajar siswa kelas eksperimen
𝑋̅2 = Nilai rata-rata hasil belajar siswa kelas kontrol
𝑛1 = Jumlah sample kelas eksperimen
𝑛2 = Jumlah sample kelas kontrol
𝑆2 = Varians hasil belajar gabungan dua kelas
𝑠12 = Varians hasil belajar pada kelas eksperimen
𝑠22 = Varians hasil belajar pada kelas kontrol
Kriteria pengujian adalah : Ho diterima jika – t1  1 / 2   t  t1  1 / 2  dimana t1  1/ 2 

didapat dari daftar distribusi t dengan dk = ( n1  n 2 - 2) dan peluang ( 1 1/ 2  ) dan


  0,05 . Untuk harga t lainnya Ho ditolak (Sudjana, 1989).

Jika hipotesis Ho diterima, berarti kemampuan awal siswa pada kelas


eksperimen sama dengan kemampuan awal siswa pada kelas kontrol, dan jika
analisis data menunjukkan harga t yang lain, maka Ho ditolak dan Ha diterima
berarti kemampuan awal siswa pada kelas eksperimen tidak sama dengan
kemampuan awal siswa pada kelas kontrol.

3.8.5.2 Uji Kesamaan Rata-rata Postes ( Uji t satu pihak)


Uji hipotesis satu pihak digunakan untuk mengetahui adanya pengaruh
hasil belajar siswa dengan menerapkan model inquiry training lebih baik
dibandingkan dengan pembelajaran konvensional, pada materi pokok Momentum
dan Impuls. Hipotesis yang diuji berbentuk :

𝐻0 : 𝜇1 = 𝜇2

𝐻𝑎 ∶ 𝜇1 ≠ 𝜇2
47

Keterangan :

𝐻0 : 𝜇1 = 𝜇2 : Tidak ada perbedaan hasil belajar siswa akibat pengaruh model


pembelajaran inquiry training pada materi pokok momentum dan
impuls di kelas X Semester II MAN 1 Medan T.P 2018/2019.

𝐻𝑎 ∶ 𝜇1 ≠ 𝜇2 : Ada perbedaan hasil belajar siswa akibat pengaruh model


pembelajaran inquiry training pada materi pokok momentum
dan impuls di kelas X Semester II MAN 1 Medan T.P 2018/2019.

Untuk mengetahui data penelitian berdistribusi normal dan homogen,


maka hipotesis diuji menggunakan uji t dengan rumus, yaitu :

𝑋̅1 − 𝑋̅2
𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 =
𝑆 1 1
√𝑛 + 𝑛
1 2

Dengan standar deviasi gabungan:

(𝑛1 − 1)𝑠12 + (𝑛2 − 1)𝑠22


𝑆2 =
𝑛1 + 𝑛2 − 2

Keterangan:
t = Harga t perhitungan
𝑋̅1 = Nilai rata-rata hasil belajar siswa kelas eksperimen
𝑋̅2 = Nilai rata-rata hasil belajar siswa kelas kontrol
𝑛1 = Jumlah sample kelas eksperimen
𝑛2 = Jumlah sample kelas kontrol
𝑆2 = Varians hasil belajar gabungan dua kelas
𝑠12 = Varians hasil belajar pada kelas eksperimen
𝑠22 = Varians hasil belajar pada kelas kontrol
Kriteria pengujian adalah : Ho diterima jika – t hitung  ttabel dimana t1  

didapat dari daftar distribusi t dengan dk = ( n 1  n 2 - 2) dan peluang (1   ). Untuk


harga t lainnya Ho ditolak (Sudjana, 1989:239).
48

Jika hipotesis Ho diterima, berarti tidak ada perbedaan hasil belajar siswa
akibat pengaruh model pembelajaran inquiry training pada materi pokok
momentum dan impuls di kelas X Semester II MAN 1 Medan T.A 2018/2019.
Dan jika analisis data menunjukkan harga t yang lain, maka Ho ditolak dan
diterima Ha berarti ada perbedaan hasil belajar siswa akibat pengaruh model
pembelajaran inquiry training pada materi pokok momentum dan impuls di kelas
X Semester II MAN 1 Medan T.P 2018/2019, oleh karena itu model pembelajaran
inquiry training dikatakan ada pengaruhnya terhadap peningkatan hasil belajar
siswa.
49

DAFTAR PUSTAKA
Ahokoski, E., Korventaoska, M., Koen Veermans, dan Jackkulc, T. 2015.
Teachers’ Experince of an Inquiry Learning Training Course in Finland.
International Journal of association for Science education. 28. 305-314.
Anggrain, D.P dan Sani, R.A. 2015. Analisis Model Pembelajaran Scientific
Inquiry dan Kemampuan Berpikir Kreatif terhadap Keterampilan Sains
Siswa SMA. Jurnal Pendidikan Fisika. 4 (2). 47-54.
Arikunto, S. 2009. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Derlina, Afriyanti. L. 2016. Efek Penggunaan Model Pembelajaran Inquiry
Training Berbantuan Median Visual dan Kreativitas Terhadap
Keterampilan Proses Sain. Jurnal Cakrawala Pendidikan. (2016) Th.
XXXV, No. 2.

Giancoli, C. D. 2014. FISIKA Prinsip dan Aplikasi Edisi Ketujuh Jilid 1. Jakarta :
Erlangga.

Hamalik, O. 2008. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara


Joyce, B and Weil, M. 2009. Model-model Pengajaran Edisi Delapan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ngalimun. 2015. Strategi dan Model Pembelajaran. Yogyakarta: Aswaja Pesindo

Oktaviani, R. dan Situmorang, R. 2018. Pengaruh Model Pembelajaran Inquiry


Training Berbantu Mind Mapping Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada
Materi Pokok Suhu dan Kalor di Kelas X Semester II SMA Negeri 3
Medan T.P 2016/2017. Jurnal Inovasi Pembelajaran Fisika (INPAFI). 6
(1). 66-72.
Puspendik Kemdikbud. 2017. Rekap Hasil UN. Diakses pada 5 February 2019.
https://puspendik.kemdikbud.go.id/hasil-un.
Sanjaya, W. 2013. Strategi pembelajaran berorientasi standar proses
pembelajaran pendidikan. Jakarta: Kencana.

Siahaan, S.A. dan Sahyar. 2017. Efek Model Pembelajaran Inquiry Training
terhadap Hasil Belajar Fisika pada Materi Kalor dan Perpindahannya di
SMP Negeri 38 Medan Kelas VII Semester II T.A 2013/2014. Jurnal
Inovasi Pembelajaran Fisika (INPAFI). 5(1). 69-75.

Slameto.2013. Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya. Rineka Cipta:


Jakarta..

Sudjana. 2005. Metoda Statistika. Bandung : Tarsito


50

Sudjana. 2016. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja


Rosdakarya.
Suryosubroto, B. Beberapa Aspek Dasar-Dasar Kependidikan. Jakarta: Rineka
Cipta.
Tamba, M. T. dan Simamora, P. 2018. Pengaruh Model Pembelajaran Inquiry
Training Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Materi Pokok Momentum dan
Impuls. Jurnal Inovasi Pembelajaran Fisika (INPAFI). 6 (1). 42-50.

Trianto. 2009. Mendesain model pembelajaran Inovatif-progresif. Jakarta:


Prestasi Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai