Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Maternal and Paternal Mental Health


I. Maternal Mental Health Problem
a. Definisi
Maternal mental health problem adalah masalah kesehatan yang terjadi
pada wanita selama kehamilan atau di tahun pertama setelah kelahiran anak.
Masalah kesehatan mental yang terjadi pada ibu dapat berupa kecemasan,
suasana hati yang rendah dan depresi hingga psikosis.
b. Prevalensi
Depresi dan kecemasan adalah masalah kesehatan mental yang paling
umum selama kehamilan, dengan sekitar 12% wanita mengalami depresi
dan 13% mengalami kecemasan di beberapa titik; banyak wanita akan
mengalami keduanya. Depresi dan kecemasan juga memengaruhi 15-20%
wanita di tahun pertama setelah melahirkan. Di seluruh dunia sekitar 10%
wanita hamil dan 13% wanita yang baru saja melahirkan mengalami
gangguan mental, terutama depresi. Di negara-negara berkembang ini
bahkan lebih tinggi, yaitu 15,6% selama kehamilan dan 19,8% setelah
kelahiran anak. Gangguan mental ibu bisa diobati. Intervensi yang efektif
dapat diberikan bahkan oleh penyedia layanan kesehatan non-spesialis yang
terlatih (WHO, 2008)
c. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya Maternal Mental Health
Problem
1. Kerawanan pangan yang parah
2. Subyek status sosial yang rendah
3. Tingkat ekonomi keluarga yang rendah
4. Fungsi keluarga yang tidak terjaga
5. Ketidakmampuan untuk curhat pada pasangan
6. Hubungan pernikahan: tidak mendukung; poligami
7. Single parents dengan stabilitas kerja yang kurang baik
8. Riwayat penganiayaan anak
9. Kekerasan dari pasangan
10. Kehamilan tidak diinginkan
(Beydoun et al., 2010 ; Yamakawa et al., 2010 ; Cortès franch et al., 2018 ;
Mcdonald et al., 2012 ; WHO, 2008)
Menurut WHO (2008) disebutkan bahwa tingginya prevalensi maternal
mental health problem selama periode perinatal di sebabkan oleh beberapa
faktor resiko, yaitu mulai dari biologis (misalnya, hormon dan modifikasi
neurokimia) hingga psikologis (misalnya, tipe kepribadian dan cara berpikir)
dan penentu sosial (kesenjangan gender dalam akses ke pendidikan dan
peluang-peluang yang menghasilkan pendapatan, peran sosial, beban
pekerjaan tidak dibayar yang tidak proporsional, paparan kekerasan keluarga,
otonomi rendah, kemiskinan dan kesulitan yang tidak disengaja). Secara
keseluruhan buktinya adalah bahwa kondisi ini ditentukan secara
multifactorial. Ditemukan bahwa wanita lebih cenderung menjadi depresi
ketika mereka mengalami jebakan dan penghinaan, sangat menonjol dalam
hal ini.
Masalah kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan sangat umum
selama kehamilan dan setelah melahirkan di semua bagian dunia. Satu dari
tiga hingga satu dari lima wanita di negara berkembang, dan sekitar satu dari
sepuluh wanita di negara maju, memiliki masalah kesehatan mental yang
signifikan selama kehamilan dan setelah melahirkan. Sebagai contoh,
tingginya tingkat masalah kesehatan mental pada wanita hamil dan ibu telah
dilaporkan dari banyak negara di Afrika seperti Ethiopia, Nigeria, Senegal,
Afrika Selatan, Uganda, Zimbabwe dan banyak lainnya (WHO, 2008)
d. Dampak
Kaitan antara masalah kesehatan mental dan kesehatan ibu adalah
penyebab utama kekhawatiran karena mereka secara langsung atau tidak
langsung meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu. Kesehatan mental ibu
memiliki efek jangka panjang pada kesejahteraan ibu, hubungan keluarga
dan kesehatan mental, penyesuaian sosial dan keterikatan anak selama
tahun-tahun kritis pertama kehidupan.
Kesehatan mental ibu memiliki efek signifikan pada kesehatan anak-
anaknya selama kehamilan tetapi juga sepanjang kehidupan anak dengan
pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan otak janin dan otak dini.
Dalam kasus yang parah, penderitaan ibu mungkin sangat parah sehingga
mereka bahkan bisa bunuh diri. Selain itu, ibu yang terkena dampak tidak
dapat berfungsi dengan baik. Akibatnya, pertumbuhan dan perkembangan
anak-anak juga dapat terpengaruh secara negatif. Oleh karena itu
pencegahan, diagnosis dini dan intervensi sangat penting (WHO, 2008)

II. Paternal Mental Health Problem


a. Definisi
Paternal mental health problems adalah masalah kesehatan yang terjadi
pada ayah / suami / pasangan selama kehamilan atau di tahun pertama
setelah kelahiran anak. Sebuah meta-analisis yang dilakukan oleh
Bazemore dan Paulson (2010) mengatakan bahwa masalah kesehatan
mental mempengaruhi sekitar 10% ayah pada periode sebelum dan sesudah
persalinan, tetapi ada pandangan yang saling bertentangan mengenai waktu
dan perjalanan gejala. Waktu yang terbatas, yaitu, terjadinya masalah
kesehatan mental pada suatu titik waktu tertentu. Dalam penelitian ini
ditemukan bahwa depresi adalah yang paling umum pada masa ayah awal
ketika anak berusia tiga hingga enam bulan. Studi-studi lain malah
menemukan bahwa depresi ayah lebih umum pada akhir, daripada
postpartum awal.
b. Prevalensi
Menurut Bazemor dalam Koh.Y et al., (2013), masalah kesehatan
mental perinatal ibu telah dipelajari secara luas dan diatasi sebagai masalah
kesehatan yang signifikan. Depresi pascapersalinan, khususnya, telah
dipelajari secara menyeluruh dan diakui sebagai masalah kesehatan mental
yang signifikan dengan prevalensi 10-20% di antara wanita. Sebagai
perbandingan, masalah kesehatan mental ayah sebagian besar kurang
diteliti. Namun, ada bukti yang muncul tentang pentingnya masalah
kesehatan mental di antara para ayah pada periode postpartum. Tingkat
depresi postpartum yang dilaporkan di antara para ayah berkisar antara 5,3
hingga 31,7%. Sebuah meta-analisis dari 43 studi menunjukkan bahwa
depresi antenatal dan postpartum terbukti pada sekitar 10% pria.
c. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya Paternal Mental Health
Problem
1. Ayah menjadi semakin terlibat dan diintegrasikan ke dalam peran
pengasuhan karena peran perempuan/ ibu yang semakin aktif dalam
angkatan kerja
2. Patriarchy Society
3. Peningkatan keterlibatan ayah ada meskipun ada beberapa norma sosial
(misalnya, ayah sebagai orang tua sekunder) dan kebijakan nasional
(misalnya, kurangnya cuti ayah, kemungkinan lebih rendah untuk
menerima hak asuh) yang dapat berfungsi sebagai pencegah atau
hambatan untuk keterlibatan ayah.
4. Transisi menuju menjadi ayah adalah pengalaman yang mengubah
hidup bagi laki-laki di usia reproduksi yang berlanjut sepanjang hidup
mereka (Vanska et al., 2017 ; Adamsons et al., 2013 ; Kruger et al.,
2014).
5. perceraian atau perpisahan
6. Pengangguran
7. kesulitan keuangan
8. Kondisi rumah yang kurang nyaman
9. kurangnya dukungan sosial

d. Dampak Paternal menthal health


 Depresi ayah dikaitkan dengan perilaku pengasuhan yang maladaptif
terhadap anak dan hasil negatif anak. Sebuah meta-analisis oleh Wilson
dan Durbin tahun 2010, menemukan bahwa depresi ayah dikaitkan
dengan peningkatan pengasuhan negatif (misalnya, kontrol psikologis,
permusuhan, intrusi) dan penurunan perilaku pengasuhan positif
(misalnya, kasih sayang, keterlibatan positif, dukungan).
 kecemasan ayah telah dikaitkan dengan penurunan kehangatan dalam
hubungan ayah-anak (Bögels et al., 2001),
 depresi ayah selama kehamilan dan periode perinatal dapat memiliki
efek buruk pada kesejahteraan psikososial anak-anak hingga setidaknya
7 tahun efek yang tetap ketika mengendalikan baik ibu dan kemudian
depresi ayah (Kvalevaag et al., 2013; Ramchandani et al., 2005;
Ramchandani, O'Connor, et al., 2008; Ramchandani, Stein et al., 2008).
 Ada juga bukti bahwa depresi pada ayah selama masa kanak-kanak
anak mereka dikaitkan dengan kesehatan mental anak mereka selama
masa transisi ke dewasa. Reeb et al (2015) melakukan penelitian
tentang depresi ayah selama masa remaja awal anak-anak mereka dan
perilaku menginternalisasi anak mereka di masa depan. Depresi ayah
dikaitkan dengan gejala depresi dan kecemasan keturunannya pada usia
21 tahun..
Parental Menthal health
Dalam kondisi tertentu, mungkin kondisi kesehatan kedua orang tua
yaitu Ayah dan Ibu mengalami gangguan. Kondisi ini dinamakan Parental
Menthal health.
Orang tua yang mengalami gangguan parental menthal health akan
merasa kesulitan dalam mengasuh anak, sehingga dapat menyebabkan
anak mengalami pelecehan, khususnya pelecehan emosional dan adanya
pengabaian. Dalam kasus langka, gangguan mental orang tua yang parah,
orang tua/ wali mungkin memiliki delusi (khayalan yang tidak realistis)
terkait dengan anak-anak mereka, misalnya mereka mungkin percaya
bahwa mereka sedang dirasuki, memiliki kekuatan khusus atau secara
medis tidak sehat sehingga merasa tidak mampu menjaga anaknya
( Cleaver et al, 2011 ; Hogg, 2013 ).
Sumber menyatakan telah terjadi kasus pelecehan atau penelantaran
anak. Analisis dari 175 kasus serius dari 2011-14 menemukan bahwa 53%
kasus menampilkan masalah kesehatan mental orang tua ( Sidebotham,
2016 ). Bahkan ada sumber yang menyatakan bahwa gangguan kesehatan
mental dapat menurun pada anaknya, anak-anak memiliki risiko yang
meningkat secara substansial mengembangkan gangguan kejiwaan, terutama
gangguan yang sama seperti orang tua mereka (Henin et al. , 2005; Hillegers et
al., 2005; Rasic, Hajek, Alda, & Uher, 2014)

Dampak parental menthal health pada anak dapat terjadi seperti :


a. Dampak pada bayi dan anak usia 1 tahun : Bayi dari ibu yang
mengalami penyakit mental perinatal berisiko lebih tinggi untuk
dilahirkan prematur dengan berat badan lahir rendah. Bayi-bayi ini
mungkin juga mudah tersinggung dan memiliki masalah
tidur. Depresi pascakelahiran dapat memengaruhi ikatan orangtua dan
pengasuh dengan bayi mereka dan berdampak negatif pada
perkembangan intelektual, emosional, sosial, dan psikologis bayi.

b. Dampak pada anak dan remaja:

 kesusahan jika dihadapkan dengan situasi yang menakutkan


seperti upaya bunuh diri orang tua, overdosis atau perilaku yang
mudah berubah

 standar hidup yang lebih rendah atau kesulitan keuangan jika


penyakit orang tua mereka menyulitkan mereka untuk bekerja

 malu atau malu atas kondisi orang tua atau wali mereka,
membatasi persahabatan dan interaksi sosial mereka karena
stigma sosial yang melekat pada penyakit mental

 intimidasi dan isolasi sosial

 pemisahan dari orang tua atau pengasuh dengan layanan anak-


anak atau rawat inap orang tua

 dalam kasus yang paling serius, anak-anak dapat menderita


pelecehan atau pengabaian dari orang tua atau pengasuh dengan
masalah kesehatan mental ( Aldridge, 2006 ; Cleaver et al,
2011 ; Cooklin, 2013 ; Gajos dan Beaver, 2017 ; Gatsou et al,
2017 ; Grove et al, 2015 ; Henninger dan Luze, 2012 ; Stallard
et al, 2004 ; Tunnard, 2004 ; Wolpert et al, 2015 )
c. Kekhawatiran dan kecemasan :
Kekhawatiran dan kecemasan anak : Penyakit mental orang tua
dapat menyebabkan anak sangat cemas. Penelitian menunjukkan
anak-anak dapat mengalami sejumlah ketakutan dan frustrasi,
meliputi :

 Mereka akan mengembangkan kecemasan itu sendiri menjadi


lebih parah jika tidak segera ditangani.

 Mereka merasa diisalahkan karena membuat orang tua atau


pengasuh mereka sakit atau karena gagal melindungi mereka.

 Harapan untuk bertindak sebagai 'dewasa' dan sebagai pengasuh


ketika di rumah tetapi diperlakukan seperti anak kecil ketika di
sekolah.

 Menghadapi harapan yang bertentangan dari orang tua atau wali


mereka.

 Takut diintimidasi, dipilih dan distigmatisasi oleh anak-anak dan


orang dewasa lainnya.

 Kehilangan kedekatan yang mungkin mereka nikmati dengan


orang tua mereka sebelum mereka sakit.

 Orang tua atau wali mereka mungkin tidak pernah pulih atau
kondisinya semakin memburuk.

 Keluarga akan menjadi objek rasa malu atau stigma.

 Keluarga itu akan berpisah dan mereka akan dirawat (Cooklin,


2010)

B. Patriahchy Society
I. Definisi
Menurut Darwin dalam Ratna (2010), ideologi patriarki merupakan salah
satu variasi dari ideologi hegemoni. Artinya, suatu ideologi yang
membenarkan penguasaan satu kelompok terhadap kelompok lainnya dan
diterima secara sukarela. Ideologi patriarki memiliki kecenderungan disetujui
atau disepakati oleh kelompok inferior yang selanjutnya disebut sebagai
kelompok yang terhegemoni. Istilah hegemoni berasal dari akar kata dalam
bahasa Yunani yaitu, hegeistha, berarti memimpin, kepemimpinan, dan
kekuasaan yang melebihi kekuasaan yang lain.
Patriarki adalah bentuk organisasi mental/sosial, spiritual, ekonomi dan
politik/penataan masyarakat yang dihasilkan oleh pelembagaan bertahap
hubungan politik berbasis seks yang dibuat, dipertahankan dan diperkuat oleh
berbagai lembaga yang saling berhubungan erat untuk mencapai konsensus
mengenai nilai lebih rendah dari perempuan dan peran mereka. Lembaga-
lembaga ini saling berhubungan tidak hanya dengan satu sama lain untuk
memperkuat struktur dominasi laki-laki terhadap perempuan, tetapi juga
dengan sistem pengucilan, penindasan dan/ atau dominasi lainnya berdasarkan
perbedaan nyata atau yang dirasakan antara manusia, menciptakan negara-
negara yang merespon hanya untuk kebutuhan dan kepentingan beberapa
lelaki kuat (Alda Facio, 2013)
The Royal Academy of the Spanish Language Dictionary mendefinisikan
Patriarki sebagai “Organisasi sosial primitif di mana wewenang dijalankan
oleh kepala keluarga laki-laki, memperluas kekuasaan ini bahkan kepada
kerabat jauh dari garis keturunan yang sama.
Sedangkan menurut Barfield dalam Kruger (2014), patriarki
melambangkan sebuah sistem sosial dimana garis keturunan berasal dari
pihak bapak.
Dapat disimpulkan bahwa patriarki adalah konstruksi sosial dan ideologis
yang menganggap laki-laki (yang merupakan leluhur) lebih unggul daripada
perempuan. Patriarki memaksakan stereotip karakter maskulinitas dan
femininitas dalam masyarakat yang memperkuat hubungan kekuasaan yang
tidak dapat dilakukan antara pria dan wanita. Dalam sistem patriarki, laki-laki
berada pada posisi yang lebih menguntungkan dan cenderung “berkuasa”
terhadap perempuan (Preeti S Rawat, 2014 : Pranowo, 2004).

II. Karakteristik
Menurut Alda Facio (2013) terdapat beberapa aspek, elemen atau karakteristik
Patriarki modern adalah sebagai berikut ;
1. Terdapat model Patriarki yang berbeda di waktu dan di budaya dan tempat
yang berbeda tetapi nilai yang lebih rendah diberikan kepada perempuan
dan peran mereka dibandingkan dengan laki-laki dan peran mereka tetap
konstan di semua model. Dengan kata lain, Patriarki hidup berdampingan
dengan berbagai bentuk pemerintahan dan pengorganisasian politik sosial
keagamaan yang sangat berbeda seperti kekaisaran, kerajaan, teokrasi,
republik, demokrasi, dll. Dan dapat hidup berdampingan dengan sangat
baik dengan kapitalisme, sosialisme, dll. Namun, karena untuk globalisasi
kapitalisme neoliberal, hampir semua Leluhur yang ada saat ini dapat
dikategorikan sebagai Leluhur kapitalis.

2. Dalam semua Patriarki yang diketahui, makna negatif dikaitkan dengan


perempuan dan aktivitas mereka melalui simbol dan mitos (tidak selalu
dinyatakan secara eksplisit). Simbol dan mitos ini berbeda dalam budaya
yang berbeda tetapi dalam setiap budaya mereka mengartikan makna
negatif bagi wanita atau feminin

3. Patriarki terdiri dari struktur atau institusi yang mengecualikan perempuan


dari partisipasi dalam, atau kontak dengan, ruang kekuasaan yang lebih
tinggi, atau apa yang diyakini sebagai ruang kekuasaan terbesar secara
ekonomi, politik, budaya dan agama.
4. Terlepas dari hal di atas, perempuan tidak diperlakukan secara identik
dalam Patriarki, juga tidak semua perempuan dikecualikan dengan cara
yang sama dari ruang kekuasaan. Sebenarnya perlakuan yang berbeda ini
adalah suatu mekanisme di mana kurangnya solidaritas dan daya saing di
antara perempuan dipromosikan. Kurangnya solidaritas dan daya saing di
antara perempuan kadang-kadang meningkat untuk saling menghina satu
sama lain, sehingga memastikan kesetiaan mereka terhadap nilai-nilai pria
dan pria.

5. Patriarki diproduksi oleh dan pada saat yang sama mempromosikan, suatu
pola pikir yang didasarkan pada pemikiran dikotomis, hierarkis, dan
seksual. Pola pikir ini membagi realitas menjadi dua kategori dikotomis
yang menempatkan semua realitas yang dirasakan baik ke dalam hal-hal
dan tindakan yang terkait dengan alam atau hal-hal dan tindakan yang
dihasilkan oleh budaya. Selain itu, segala sesuatu yang ditempatkan dalam
kategori "budaya" dinilai terlalu tinggi sementara segala sesuatu yang
terkait dengan alam dinilai terlalu rendah. Dengan menempatkan laki-laki
dan maskulin di bawah kategori budaya yang lebih tinggi, dan perempuan
dan feminin di bawah kategori alam yang kurang dihargai, "laki-laki" dan
maskulinitas menjadi parameter, model atau paradigma kemanusiaan,
sedangkan subordinasi perempuan dibenarkan berdasarkan pada dugaan
"peran alami" mereka yang lebih rendah.

6. Dalam Patriarki, peran gender dan stereotip mungkin berbeda di setiap


kelas sosial, usia dan budaya tetapi melalui mekanisme, struktur dan
institusi yang disebutkan sebelumnya, itu membuat peran dan stereotip ini
tampak alami dan universal.

7. Dalam Patriarki yang diberikan semua manusia tidak akan menikmati hak
istimewa yang sama atau memiliki kekuatan yang sama. Memang,
pengalaman dominasi laki-laki atas perempuan secara historis membantu
sebagian laki-laki untuk memperluas dominasi itu terhadap kelompok laki-
laki lain, dengan memasang hierarki di antara laki-laki yang kurang lebih
sama di setiap budaya atau wilayah saat ini. Laki-laki di puncak hierarki
patriarki memiliki kekuatan ekonomi yang besar; adalah orang dewasa dan
hampir selalu berbadan sehat; memiliki identitas gender maskulin yang
jelas dan identitas heteroseksual yang terdefinisi dengan baik, menambah
beberapa fitur berdasarkan wilayah. Sebagai contoh, di Amerika Latin, bagi
seseorang untuk berada di puncak hierarki patriarki, bahwa manusia harus
berkulit putih dan Kristen, di samping karakteristik lain yang dimiliki
bersama dengan rekan-rekan Patriarki di seluruh wilayah.

8. Di berbagai model Patriarki yang berbeda, perempuan dihadapkan pada


tingkat dan jenis kekerasan yang berbeda, beberapa umum terjadi pada
semua dan yang lain khusus untuk setiap model budaya, agama atau
ekonomi yang diadopsi oleh Patriarki.

9. Patriarki adalah struktur dominasi, subordinasi dan eksklusi pertama yang


diakui oleh Sejarah dengan modal H (sejarah patriarkal yang diakui) dan
masih tetap menjadi sistem dasar dominasi. Ironisnya, meski merupakan
sistem ketimpangan yang paling kuat dan bertahan lama, hampir tidak
pernah dianggap seperti itu oleh perempuan itu sendiri. Faktanya, justru
karena invisibilisasi Patriarki adalah salah satu lembaganya, bahkan
beberapa feminis menyangkal keberadaannya.

III. Penyebab
1. Peran Orang Tua
Akar dari semua perilaku patriarkal umumnya bersumber dari
lingkungan sekitar tempat tinggal dan orang tua. Sejak kecil, banyak
keluarga yang mengarahkan anak laki-laki untuk bermain mobil-mobilan
atau bermain bola karena itu dianggap lebih “macho” dan kuat dibanding
bermain boneka. Boneka dianggap seperti permainan yang sudah
disegmentasikan secara paten untuk perempuan karena bersifat mengasuh
sebagaimana kodratnya, menurut pendapat masyarakat umum.
Pembentukan awal laki-laki yang diarahkan menjadi kuat dan macho
sedangkan perempuan mengasuh boneka saja di rumah, adalah bibit dari
masyarakat patriarki. Pola pikir ini akan menuntun laki-laki ke depannya
untuk mempunyai hasrat atas otoritas terhadap perempuan karena
menganggap dirinya lebih kuat secara fisik dan psikis. Jika di lingkungan
tempat tinggalnya tidak ada edukasi yang memadai tentang kesetaraan
gender apalagi untuk menghargai semua gender, bagaimana ia bisa
mengaplikasikannya.
2. Konstruksi Sosial Masyarakat tentang Laki-Laki
Laki-laki diwajibkan untuk membayar tagihan, bekerja banting tulang,
memimpin rumah tangga dan lain-lain. Laki-laki juga dipaksa untuk tidak
menunjukkan emosinya secara berlebih seperti menangis karena akan
dianggap lemah, padahal tidak ada tolok ukur pasti tentang kelemahan itu
sendiri. Laki-laki dibebani tanggung jawab superior secara fisik, psikis
maupun finansial yang begitu banyak sehingga sering kali berakhir pada
kesimpulan pola pikir laki-laki berhak mengatur ini itu terhadap
perempuan. Karena laki-laki merasa sudah ditekan dari berbagai sisi oleh
masyarakat, maka ia merasa memiliki kewajiban untuk mengarahkan
perempuan.

IV. Struktur Patriarki


Menurut Walby (2014) patriarki memiliki struktur-struktur, sebagai
berikut;
1. Produksi patriarki dalam keluarga
Dalam struktur ini, pekerjaan rumah tangga perempuan diambil alih
oleh suami mereka atau orang-orang yang tinggal bersama mereka.
Seorang perempuan boleh jadi menerima pemeliharaan sebagai ganti dari
pekerjaan mereka, khususnya saat mereka tidak memiliki pekerjaan dengan
upah. Ibu rumah tangga adalah kelas yang memproduksi, sementara para
suami adalah kelas pengambil alih. Dengan kata lain seorang ibu rumah
tangga dan kontribusinya dalam menjalankan rumah kurang dihargai dan
dipandang rendah
2. Patriarki pada pekerjaan dengan upah
Struktur patriarki kedua pada level ekonomi adalah relasi patriarki
dalam pekerjaan dengan upah. Sebuah bentuk penutupan patriarki yang
kompleks di dalam pekerjaan dengan gaji melarang perempuan masuk ke
dalam jenis pekerjaan yang lebih baik dan memisahkan mereka ke dalam
pekerjaan yang lebih buruk yang menganggap mereka kurang terampil.
Dalam hal ini, perempuan diberikan pekerjaan yang lebih buruk dan
dibayar lebih rendah dari laki-laki untuk pekerjaan yang sama
3. Patriarki dalam negara
Dalam memberikan dukungan pada kepentingan patriarkal, rasis, dan
kapitalis negara memilih untuk tidak campur tangan atau lambat dalam
melakukan intervensi dalam kasus-kasus ketidakadilan terhadap
perempuan. Dapat dikatakan negara memiliki bias sistematis terhadap
kepentingan patriarki seperti tampak dalam kebijakan-kebijakan dan
tindakan-tindakannya. Misalnya, laki-laki mendapatkan kekebalan hukum
dari kekerasan yang dilakukanya kepada perempuan, hingga akhirnya
praktik kekerasan ini disahkan oleh negara, karena negara tidak melakukan
tindakan efektif apa pun untuk melawan tindakan kekerasan..
4. Kekerasan laki-laki
Kekerasan laki-laki terhadap perempuan adalah perlakuan buruk
(kekerasan dan diskriminasi) yang dijatuhkan kepada perempuan sebagai
konsekuensi dari kepercayaan pada penaklukan perempuan. Kekerasan
tersebut merupakan perilaku rutin yang dialami oleh perempuan. Laki- laki
menganggap bahwa kekerasan pada perempuan adalah hal yang biasa dan
standar sehingga secara sistematis hal ini ditoleransi oleh masyarakat,
kecuali kekerasan khusus dan bersikap berlebihan seperti pemerkosaan,
pelecehan seksual, dan pemukulan terhadap istri secara kejam baru menjadi
hal yang diperhatikan.
.
5. Patriarki dalam seksualitas
Pada struktur ini, laki-laki menganggap bahwa laki-laki mampu
berperan sebagai heteroseksual. Struktur patriarki dalam seksualitas
membahas tentang alasan-alasan bagi orientasi seksual sebagai seorang
heteroseksual, lesbian maupun homoseksual. Dan pada bentuk ini laki- laki
berorientasi untuk bisa memilih untuk berhubungan seksual dengan siapa
dan memiliki kekuasaan penuh dan mendominasi ketika berhubungan
seksual.
6. Patriarki dalam lembaga budaya
Lembaga-lembaga ini penting untuk pembangkitan berbagai variasi
subjektivitas gender dalam bentuk yang berbeda-beda. Struktur ini terdiri
dari seperangkat lembaga yang menciptakan representasi perempuan dari
pandangan patriarki dalam berbagai arena, diantaranya seperti agama,
pendidikan dan media. Selain itu, struktur relasi patriarki dalam lembaga
budaya mencakup gagasan-gagasan maskulinitas dan feminitas dan hal-hal
yang membedakan keduanya. Maskulinitas mengharuskan ketegasan, aktif,
lincah, dan cepat mengambil inisiatif, sedangkan feminitas mengharuskan
kerjasama, pasif, lembut dan emosional. Identitas maskulin dan feminin di
atas disosialisasikan pada gender tertentu sejak lahir dalam lingkungan
keluarga, dalam mencerminkan budaya patriarki lembaga budaya mengatur
perilaku perempuan di tempat-tempat umum. Misalnya mengatur pakaian
yang dikenakan perempuan harus bersifat feminim dan juga membatasi
gerak dan perilaku perempuan di masyarakat.

C. Dampak Patriarchy Society terhadap Maternal dan Paternal Mental


Health
I. Paternal Mental Health
a. Mortalitas tinggi
Menurut studi yang dilakukan Stanistreet, Bambra dan Scott-Samuel
(2005), tingginya tingkat patriarki berbanding lurus dengan tingginya
mortalitas laki-laki. Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian
Kruger, Fisher dan Wright dari University of Michigan (2014) yang
memperoleh hasil yang serupa, didapatkan bahwa laki-laki yang hidup di
lingkungan dengan tingkat patriarki tinggi memiliki mortalitas yang lebih
tinggi dibanding mereka yang hidup di lingkungan dengan kesetaraan
gender.
Menurut penelitian Kruger et al (2014), patriarki mencerminkan tingkat
kontrol laki-laki terhadap perempuan sebagai aset reproduksi. Selain itu
patriarki juga membuat adanya tingkat persaingan antar laki-laki untuk
mendapatkan posisi dan kekuasaan, yang secara historis dilakukan demi
kesuksesan proses reproduksi dari laki-laki itu sendiri. Karena lelaki dengan
kontrol serta status sosial lebih tinggi akan mendapat kesuksesan lebih
dalam proses reproduksinya, dibandingkan dengan mereka yang tidak
memiliki kontrol dan status sosialnya rendah. Kemudian untuk meraih
dominasi secara sosial, laki-laki akan bersaing satu sama lain dan tidak
jarang dengan cara yang berbahaya. Intensitas kompetisi antar laki-laki ini
yang diprediksi mengakibatkan tingkat kematian laki-laki jadi lebih tinggi.

II. Maternal Mental Health


Gender dapat dan memang berdampak pada produksi kesehatan mental
di setiap tingkatan - individu, kelompok dan lingkungan - dan secara kritis
terlibat dalam penyampaian keadilan dan kesetaraan yang berbeda. Gender
mengonfigurasikan posisi material dan simbolik yang diduduki perempuan
dalam hierarki sosial dan juga pengalaman yang mengkondisikan kehidupan
mereka (WHO, 2000). Gender dan patriarki akan menimbulkan relasi kuasa
yang tidak setara karena laki-laki dianggap lebih utama daripada perempuan
yang berakibat pada kedudukan suami pun dianggap mempunyai kekuasaan
untuk mengatur rumah tangganya termasuk istri dan anak-anaknya.
Anggapan bahwa istri milik suami dan seorang suami mempunyai
kekuasaan yang lebih tinggi daripada anggota keluarga yang lain dan
menjadikan laki-laki berpeluang melakukan kekerasan. Beberapa masalah
kesehatan yang ditimbulkan dari budaya patriarki adalah sebagai berikut ;
a. Common Mental Health (CMD)
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Malhotra, et.al ( 2019)
di India, didapatkan bahwa dampak utama dari patriarchy society adalah
Common Mental Health (CMD) yang berupa depresi, kecemasan, dan
keluhan somatik di mana wanita mendominasi. Depresi unipolar, yang
diprediksi menjadi penyebab utama kedua beban disabilitas global pada
tahun 2020, dua kali lebih sering terjadi pada wanita. Selain itu, risiko
gangguan kecemasan seumur hidup (misalnya, gangguan kecemasan
umum) 2-3 kali lebih tinggi pada wanita dibandingkan dengan pria.
Dalam kasus gangguan kecemasan, perempuan memiliki keparahan
gejala yang lebih besar dibandingkan laki-laki.
Dalam penelitian menunjukkan bahwa CMD seperti depresi dan
kecemasan sangat terkait dengan gender wanita selain kemiskinan.
Dikatakan bahwa wanita memiliki resiko 2-3 kali lebih besar untuk
dipengaruhi oleh CMD. Ditemukan bahwa faktor yang secara independen
terkait dengan risiko CMD adalah faktor-faktor yang mengindikasikan
kerugian gender. Faktor-faktor ini termasuk penggunaan alkohol
berlebihan oleh pasangan, kekerasan seksual, dan fisik oleh suami,
menjadi janda atau berpisah, memiliki otonomi yang rendah dalam
pengambilan keputusan, dan memiliki tingkat dukungan yang rendah dari
keluarganya.
Selama masa hidup mereka, perempuan dihadapkan dengan berbagai
stresor kehidupan termasuk melahirkan dan peran keibuan, merawat dan
mengasuh orang tua dan sakit keluarga. Selain itu, perempuan kurang
diberdayakan karena kesempatan pendidikan yang lebih rendah dan
pekerjaan yang terhormat. Selain itu, bahkan mereka yang aman secara
finansial takut untuk melewati batas sosial dan karenanya juga tampaknya
rentan.
b. Mental Illnes
Meskipun gangguan mental yang parah seperti skizofrenia dan
gangguan bipolar memiliki angka kejadian lebih rendah dibandingkan
dengan CMD, perjalanan kronis dan kecacatan terkait pencetus gangguan
ini sangat parah. Selain itu, stigma yang terkait dengan penyakit ini
memiliki dampak besar tidak hanya pada penderitanya tetapi juga pada
keluarga. Juga, keluarga dibebani dengan perawatan pasien ini selama
hampir seluruh hidup mereka dalam banyak kasus. Seperti yang diketahui
bahwa tekanan emosional dan finansial pada pengasuh mungkin luar
biasa. Tidak ada perbedaan gender yang mencolok dalam tingkat
gangguan mental berat seperti skizofrenia dan gangguan bipolar yang
memengaruhi <2% populasi. Perbedaan gender telah dilaporkan,
bagaimanapun, dalam usia timbulnya gejala, fitur klinis, frekuensi gejala
psikotik, perjalanan gangguan ini, penyesuaian sosial, dan hasil jangka
panjang. Gambaran klinis gangguan bipolar berbeda antara pria dan
wanita; wanita memiliki episode depresi yang lebih sering, lebih sering
mengalami pola gangguan mood musiman. Studi lintas budaya besar
mengenai skizofrenia telah menunjukkan bahwa "jenis kelamin
perempuan" dikaitkan dengan arah dan hasil yang lebih baik dari
skizofrenia di negara-negara berkembang. Lebih lanjut, perempuan
memiliki usia skizofrenia yang lebih lambat dibandingkan dengan laki-
laki.
Meskipun jenis kelamin perempuan dikaitkan dengan hasil yang
menguntungkan, konsekuensi sosial seperti pengabaian oleh keluarga
suami, tuna wisma, kerentanan terhadap pelecehan seksual, dan
keterpaparan terhadap HIV; dan infeksi lainnya berkontribusi pada
kesulitan rehabilitasi wanita. Tingkat prevalensi untuk pelecehan seksual
dan fisik wanita dengan penyakit mental yang parah adalah dua kali lipat
yang diamati pada populasi umum wanita.
c. Suicide
Studi membuktikan bahwa bunuh diri dan melukai diri sendiri telah
menjadi masalah yang universal, dan diketahui bahwa wanita lebih banyak
melakukan upaya bunuh diri dibandingkan laki-laki. Menurut Biswas
dalam Malhotra (2019) dikatakan bahwa anak perempuan dari keluarga
inti dan wanita yang menikah pada usia yang sangat muda berada pada
risiko yang lebih tinggi untuk percobaan bunuh diri dan melukai diri
sendiri. Tingkat bunuh diri berdasarkan usia untuk India mengungkapkan
bahwa tingkat bunuh diri meningkat baik pada pria dan wanita antara usia
18 dan 29 tahun sedangkan pada kelompok usia 10-17, tingkat untuk
wanita lebih tinggi dari pada pria.
Menurut penelitian Malhotra et.al, (2019) CMD, paparan kekerasan,
dan kelaparan dewasa ni merupakan prediktor terkuat dari insiden
percobaan kasus bunuh diri. Sebagian besar upaya bunuh diri merupakan
sebagai respons terhadap kegagalan dalam hidup, kesulitan dalam
hubungan interpersonal, dan pelecehan terkait mahar. Dalam
penelitiannya, dikatakan bahwa penyebab umum bunuh diri di India
adalah gangguan hubungan interpersonal yang diikuti oleh gangguan
kejiwaan dan penyakit fisik. Kekerasan pasangan telah ditemukan secara
khusus dikaitkan sebagai faktor risiko independen untuk percobaan bunuh
diri pada wanita.
d. Violence and Abuse
Budaya dan posisi subordinasi perempuan merupakan awal dari
munculnya peluang tindakan kekerasan terhadap perempuan. Dominasi
laki-laki selalu dipertahankan karena kepentingan-kepentingan pribadi
hingga membatasi akses perempuan dalam segala bidang, politik,
ekonomi, sosial dan lainnya. Semua ini dilakukan karena laki-laki berada
dalam status quo hegemoni laki-laki yang bagi mereka bisa berbuat apa
saja terhadap perempuan
Banyak hal yang dapat diidentifikasi sebagai penyebab timbulnya
kekerasan kepada perempuan/istri. Di antara sebab-sebab utamanya adalah
masih timpangnya relasi antara laki-laki dan perempuan yang masih
menganggap kaum laki-laki lebih dari kaum perempuan dalam segala hal,
sehingga dengan demikian istri/perempuan hanya bertugas dalam urusan
rumah tangga. Ketergantungan ekonomi istri terhadap suami juga sebagai
salah satu pemicu timbulnya kekerasan tersebut. Sehingga suami
melakukan kekerasan itu dengan maksud agar istri tidak lagi menolak
kehendak suami, juga untuk menunjukan maskulinitas (Muhajaroh, 2016)
Konsekuensi dari kekerasan berbasis gender sangat menghancurkan
termasuk tekanan emosional seumur hidup, masalah kesehatan mental,
termasuk gangguan stres pascatrauma dan kesehatan reproduksi yang
buruk. Masalah kesehatan mental yang umum dialami oleh wanita yang
dilecehkan adalah depresi, kecemasan, stres pasca trauma, insomnia, dan
gangguan penggunaan alkohol, serta berbagai keluhan somatik dan
psikologis lainnya (Malhotra S, 2019).
Menurut Jauhariyah (2017), berbagai kasus kekerasan dalam rumah
tangga tidak lepas dari masih adanya budaya patriarki yang masih melekat
sebagai pola pikir hingga menjadi faktor penyebab. Termasuk juga
memberi legitimasi pada tindakan kekerasan yang dilakukan laki-laki
kepada pasangannya. Budaya patriarki yang memberikan pengaruh bahwa
laki-laki itu lebih kuat dan berkuasa daripada perempuan, sehingga istri
memiliki keterbatasan dalam menentukan pilihan atau keinginan dan
memiliki kecenderungan untuk menuruti semua keinginan suami, bahkan
keinginan yang buruk sekalipun. Terdapat sebuah realitas sosial yang
kerap terjadi di masyarakat apabila kekerasan “boleh saja” dilakukan
apabila istri tidak menuruti keinginan suami
e. Kesehatan Reproduksi
Dalam penelitian Malhotra et, al (2019) yang dilakukan di India,
didapatkan hasil bahwa gangguan mental sering terjadi selama akhir
kehamilan dan pada periode postpartum. Postpartum blues adalah
penyakit postpartum yang paling umum dan paling parah yang
mempengaruhi antara 50% dan 80% dari ibu baru sedangkan depresi
postpartum merupakan episode depresi utama dengan onset dalam waktu
6 minggu postpartum dalam sebagian besar kasus.
Penghasilan rendah, kelahiran anak perempuan ketika seorang anak
diinginkan, masalah dalam hubungan dengan ibu mertua dan orang tua,
kejadian buruk dalam kehidupan selama kehamilan dan kurangnya
bantuan fisik adalah semua faktor risiko untuk timbulnya depresi pasca
persalinan. Selain itu, periode postpartum membawa potensi gangguan
kejiwaan pada wanita dengan penyakit mental yang sudah ada
sebelumnya. Demikian pula, tinjauan sistematis terbaru tentang gangguan
perinatal umum nonpsikotik (CPMD) di antara wanita dari negara
berpenghasilan rendah dan menengah memperkirakan sekitar satu dari
enam wanita hamil dan satu dari lima wanita yang baru saja melahirkan
mengalami CPMD. Resikonya paling tinggi terjadi pada wanita yang
paling memiliki masalah secara sosial dan ekonomi.
Faktor risiko penting lainnya termasuk faktor berbasis gender seperti
bias terhadap bayi perempuan, pembatasan peran terkait pekerjaan rumah
tangga dan perawatan bayi, dan beban kerja berlebihan yang tidak dibayar;
terutama di rumah tangga multi-generasi di mana menantu perempuan
memiliki otonomi kecil, dan kekerasan berbasis gender. Juga, menopause
adalah masa perubahan bagi wanita tidak hanya dalam sistem endokrin
dan reproduksi mereka, tetapi juga keadaan sosial dan psikologis mereka.
Sudah lama diketahui bahwa menopause disertai dengan depresi dan
gangguan mental lainnya.
Faktor kesehatan reproduksi, khususnya keluhan ginekologis seperti
keputihan dan dispareunia secara independen terkait dengan risiko CMD.
Lebih penting lagi, gejala ginekologis sebenarnya bisa menjadi ekuivalen
somatik CMD pada wanita dalam budaya Asia.
f. Kasus Pelecehan Seksual
Komnas Perempuan mengeluarkan Catatan Tahunan (Catahu) tahun
2016 dengan temuan terdapat 16.217 kasus pelecehan seksual yang
berhasil didokumentasikan.
Budaya patriarki memposisikan laki-laki sebagai pihak yang gagah
dan cenderung memiliki keleluasaan untuk melakukan apapun terhadap
perempuan. Ini yang menyebabkan tingginya angka pelecehan seksual di
Indonesia. Budaya ini juga memberikan konstruksi dan pola pikir apabila
laki-laki berkaitan erat dengan ego maskulinitas sementara femininitas
sendiri diabaikan dan dianggap sebagai sesuatu yang lemah. Masyarakat
seperti membiarkan jika ada laki laki bersiul dan menggoda kaum
perempuan yang melintas di jalan, tindakan mereka seolah-olah menjadi
hal yang lumrah dan wajar sebab sebagai laki-laki, mereka harus berani
menghadapi perempuan, laki-laki dianggap sebagai kaum penggoda
sementara kaum hawa adalah objek atau makhluk yang pantas digoda dan
tubuh perempuan dijadikan sebab dari tindakan kekerasan itu sendiri.
Terdapat pula yang disebut dengan victimblaming, atau suatu kondisi
dimana pihak korban yang justru menjadi objek atau sasaran kesalahan
dari sebuah kejadian. Pada kasus pelecehan seksual, perempuan justru
menjadi pihak yang disalahkan, entah itu berkaitan dengan cara
berpakaian, tingkah laku, waktu kejadian pelecehan, atau justifikasi yang
tidak menempatkan laki-laki sebagai pelakuf. Dasar dari justifikasi
tersebut adalah merupakan sesuatu yang normal untuk lakilaki melakukan
pelecehan seksual karena mereka memiliki libido atau syahwat yang
tinggi, letak permasalahannya justru terdapat di perempuan yang “menurut
moralitas masyarakat” tidak bisa menjaga dirinya dengan baik atau
terhormat. Para korban pun akhirnya diberi label oleh lingkungan sosial
dengan label yang jelek atau bahkan hina.
g. Pernikahan Dini
Menurut data penelitian Pusat Kajian Gender dan Seksualitas
Universitas Indonesia tahun 2015, angka pernikahan dini di Indonesia
peringkat kedua di kawasan Asia Tenggara. Menurut data penelitian Pusat
Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia tahun 2015, angka
pernikahan dini di Indonesia peringkat kedua di kawasan Asia Tenggara.
Ada sekitar 2 juta dari 7,3 perempuan Indonesia di bawah umur 15 tahun
sudah menikah dan putus sekolah. Jumlah ini diperkirakan akan
meningkat menjadi 3 juta orang di tahun 2030. Dari banyak kasus yang
berhasil dihimpun oleh Komnas Perempuan, hampir 50% pernikahan dini
dilakukan antara perempuan berusia dibawah 18 tahun dengan laki-laki
berusia diatas 30 tahun dan terjadi dibawah tekanan atau paksaan.
Terdapat pengaruh dari budaya patriarki dan konstruksi sosial yang
dibentuk oleh masyarakat mengenai pernikahan dini, seperti perempuan
adalah penerima nafkah dan hanya berkecimpung di sektor domestik.
Implikasinya adalah kebebasan mereka benarbenar dibatasi dengan status
seorang istri, seperti misalnya mereka tidak diberi kesempatan untuk
meneruskan pendidikan hingga ke jenjang yang lebih tinggi atau
mengembangkan bakat serta kemampuan yang mereka miliki. Sebagian
besar dari mereka berstatus sebagai ibu rumah tangga dan cenderung tidak
produktif sama sekali. Pekerjaan mereka hanya berkutat di mencuci,
memasak, menyapu, dan membersihkan rumah.
Dalam buku Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam
karangan E.Linda Yuliani dijelaskan bahwa budaya patriarki yang masih
terjadi di masyarakat membuat posisi perempuan menjadi terpojok dalam
kasus pernikahan dini. Mereka tidak memiliki kebebasan untuk
melakukan penolakan karena di beberapa adat, perempuan yang menolak
untuk dinikahi adalah perempuan yang hina dan tidak tahu diri. Maka,
meskipun realitas sosial yang terjadi bahwa banyak dari mereka yang
belum siap secara mental untuk menikah, namun sayangnya fakta tersebut
masih diabaikan.

Anda mungkin juga menyukai