Salah satu perubahan dari Perpres 54 Tahun 2010 ke Perpres 70 Tahun 2012 yaitu pada pasal 55, yang
berkaitan dengan tanda bukti perjanjian pengadaan. Perlu diperjelas pengertian antara bukti pembelian
dan kuitansi. Sementara batas nilai pembelian terkait hal tersebut juga berubah, dimana pembelian
sampai dengan Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) cukup dibuktikan dengan bukti pembelian, dan
pembelian sampai dengan Rp.50.000.000,- (lima pulu juta rupiah) cukup ditambahkan kuitansi.
Menurut pasal 55 Perpres RI Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden
RI Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah ayat (1) yaitu Tanda bukti
perjanjian terdiri atas :
1. Bukti Pembelian;
2. Kuitansi;
3. Surat Perintah Kerja (SPK); dan
4. Surat Perjanjian.
Pada ayat (2) pasal 55 bukti pembelian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, digunakan untuk
pengadaan barang/jasa yang nilainya sampai dengan Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah). Dan pada
ayat (3) Kuitansi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hufuf b, digunakan untuk pengadaan barang/jasa
yang nilainya sampai dengan Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
Pasal 11 Perpres 70 Tahun 2012 menyebutkan tugas pokok dan kewenangan Pejabat Pembuat
Komitmen (PPK) antara lain MENYETUJUI BUKTI PEMBELIAN ATAU MENANDATANGANI KUAITANSI/
SURAT PERINTAH KERJA (SPK)/ SURAT PERJANJIAN.
Untuk Pengadaan barang dengan pengadaan langsung yang tidak menggunakan SPK, Pejabat Pengadaan
menyerahkan negosiasi harga kepada PPK, pembelian/ pembayaran dilakukan oleh PPK.
Pasal 66 ayat (1) Perpres 70 Tahun 2012 menyatakan PPK menetapkan HPS barang/jasa, kecuali untuk
kontes/ sayembara dan pengadaan langsung yang menggunakan bukti pembelian.
Dalam Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, pada
pasal 273 ayat (1) Bukti Transaksi yang digunakan dalam prosedur akuntansi pengeluaran kas
sebagaimana dimaksud dalam pasal 272 mencakup :
a. Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D); atau
b. Nota Debet Bank.
Pada ayat (2) pasal 273 Bukti Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan :
a. Surat Penyediaan Dana (SPD);
b. Surat Perintah Membayar (SPM);
c. Laporan/ Bukti Pengeluaran Kas dari bendahara pengeluaran; dan
d. Kuitansi Pembayaran dan bukti tanda terima barang/jasa.
Dalam Undang-Undang Bea Materai, surat-surat yang memuat jumlah uang (penerimaan uang,
pembukuan uang serta pelunasan uang) dikenakan tarif bea materai yaitu :
1. Sampai dengan Rp.250.000,- TIDAK DIKENAKAN BEA MATERAI;
2. Rp.250.000,- s/d Rp.1.000.000,- DIKENAKAN BEA MATERAI Rp.3.000,-;
3. Lebih dari Rp.1.000.000,- DIKENAKAN BEA MATERAI Rp.6.000,-.
Pejabat Pengadaan langsung mensurvei minimal 2 (dua) penyedia dan memilih penyedia yang termurah
dengan kualitas yang sama dan selanjutnya melakukan negosiasi harga dan selanjutnya PPK melakukan
pembayaran kepada penyedia setelah barang diperiksa PPHP, apabila hanya memakai nota pembelian,
maka tidak diperlukan negosiasi harga karena < 10 juta tidak diwajibkan adanya HPS.
Artinya, untuk pelaksanaan pengadaan di pemerintah daerah, tanda bukti perjanjian untuk pengadaan
barang/jasa yang nilainya sampai dengan Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) adalah bukti
pembelian/ faktur dilengkapi dengan kuitansi pembayaran bermaterai cukup.
KESIMPULAN
BELANJA SAMPAI DENGAN Rp.10.000.000,-
Bukti adm :
1. Bukti Pembelian (Nota/ faktur) (disetujui oleh PPK bisa tanda tangan, paraf, serta tercantum
pengesahan dari PPHP “barang telah diterima dalam keadaan baik dan cukup”)
2. BKP bermaterai cukup (ditanda tangani bendahara pengeluaran, PA, PPTK, Penyedia serta PPHP)