Disusun Oleh:
Vicko Pratama Susanto
00000002386
Pembimbing:
Dr. Roesmawati, SpM
Mata merupakan suatu organ penting bagi manusia untuk menerima informasi secara visual
untuk menjalankan kegiatan, namun banyak gangguan pada mata mulai dari yang ringan
hingga yang berat yang dapat menyebabkan kebutaan pada mata. Dari data gangguan
penglihatan seluruh dunia yang diperoleh dari hasil estimasi yang dilakukan oleh WHO maka
gangguan pada mata diklasifikasikan menjadi low vision jika tajam penglihatan <6/18 - 3/60
dan buta jika tajam penglihatan kurang dari 3/60. 1
Diperkirakan pada tahun 2010 terdapat 285 juta orang yang mengalami gangguan
penglihatan, 39 juta orang termasuk dalam klasifikasi buta. Katarak merupakan salah satu
penyakit yang menyebabkan angka gangguan penglihatan tertinggi di dunia. Katarak
menenmpati urutan ke dua pada klasifikasi low vison atau sekitar 33% dari seluruh klasifikasi
low vision, sedangkan pada klasifikasi buta, katarak menempati urutan pertama sebagai
penyebab kebutaan dengan angka 51% dari seluruh penderita di dunia.
Berdasarkan riset kesehatan daerah (RISKEDA) 2007 dan 2013 didapati angka 85%
kejadian kebutaan diindonesia dialami oleh usia >50 tahun. Katarak merupakan penyebab
utama dari kebutaan itu, diperkirakan insiden katarak ada 0,1%/tahun atau setiap tahun diantara
1000 orang akan terdapat pasien baru katarak. Penduduk di indonesia juga cenderung memiliki
angka kejadian katarak yang lebih cepat 15 tahun dibandingkan dengan penduduk subtropis,
sekitar 16-22% penderita katarak dibawah 50 tahun.1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Lensa ditahan pada tempatnya oleh ligamentum suspensoterium yang dikenal zonula zinnii
yang tersusun atas fibril, fibril ini berasal dari permukaan corpus ciliare dan menyisip ke dalam
ekuator lensa.2,3,4,5
Enam puluh lima persen dari lensa terdiri dari air, sekitar 35%nya protein dan terdapat
sedikit mineral. Lensa juga memiliki kandungan kalium yang tinggi. Dapat juga ditemukan
asam askorbat dan glutation, lensa tidak memiliki pembulu darah, saraf nyeri atau saraf
lensa.2,3,4,5
1. Katarak kongenital/developmental2,3,5
Katarak yang mulai terjadi sebelum atau segera setelah lahir dan bayi berusia kuang dari 1
tahun. Kekeruhan pada lensa kongenital sering terjadi dan sering tidak bermakna, angka
kejadianya adala 3:10000 dari setiap kelahiran dan 2/3nya pada kedua mata. Kekeruhan yang
parsial atau kekeruhan yang diluar sumbu penglihatan atau tidak cukup padat untuk
mengganggu transmisi cahaya tidak memerlukan terapi selain observasi2,3,5
Katarak kongenital diklasifikasikan kedalam dua golongan:
1. Kapsulolentikular dimana pada golongan ini termasuk katarak kapsular dan katarak
polaris
2. Katarak lentikular termasuk dalam golongan ini katarak yang mengenai korteks
atau nuklues saja.
Hampir 50% dari katarak kongenital adalah sporadik dan tidak diketahui penyebabnya.
Pada katarak kongenital dikenal ada beberapa bentuk:2,3,5
Katarak Lamelar atau Zonular
Di dalam perkembangan embriologik permulaan terdapat perkembangan serat
lensa maka akan terlihat bagian lensa sentral yang lebih jernih. Kemudian
terdapat serat lensa keruh dalam kapsul lensa. Kekeruhan berbatas tegas dengan
bagian perifer tetap bening. Katarak lamelar ini mempunyai sifat herediter dan
ditransmisi secara dominan, katarak biasanya bilateral.
Katarak zonular terlihat segera sesudah bayi lahir. Kekeruhan dapat menutupi
seluruh celah pupil, bila tidak dilakukan dilatasi pupil sering dapat mengganggu
penglihatan.
Gangguan penglihatan pada katarak zonular tergantung pada derajat kekeruhan
lensa. Bila kekeruhan sangat tebal sehingga fundus tidak dapat terlihat pada
pemeriksaan oftalmoskopi maka perlu dilakukan aspirasi dan irigasi lensa.
2. Katarak juvenile
Katarak yang lembek dan terdapat pada orang muda, yang mulai terbentuknya usia kurang
dari 9 tahun dan lebih dari 3 bulan. Katarak ini biasanya kelanjutan dari katarak kongenital.
Katarak ini terjadi saat masih terjadi perkembangan serat-serat lensa sehingga biasanya
konsistensinya lembek seperti bubur dan disebut soft cataract. Biasanya katarak juvenil
merupakan bagian dari suatu gejala penyakit keturunan lain.
Tindakan untuk memperbaiki tajam penglihatan ialah pembedahan. Pembedahan dilakukan
bila tajam penglihatan sudah mengganggu pekerjaan sehari-hari. Hasil tindakan pembedahan
sangat bergantung pada usia penderita, bentuk katarak apakah mengenai seluruh lensa atau
sebagian lensa apakah disertai kelainan lain pada saat timbulnya katarak, makin lama lensa
menutupi media penglihatan menambah kemungkinan ambliopia.2,3,4
3. Katarak senil
Katarak senil adalah semua kekeruhan lensa yang terdapat pada usia lanjut, yaitu dia atas
50 tahun. Penyebabnya sampai sekarang masi belum diketahui secara pasti. Perubahan yang
tampak ialah bertambah tebalnya nukleus dengan berkembangnya lapisan korteks lensa. Secara
klinis, proses penuaan lensa sudah tampak sejak terjadi pengurangan kekuatan akomodasi lensa
akibat mulai terjadinya sklerosis lensa yang timbul pada usia dekade 4 dalam bentuk keluhan
presbiopia. Berdasarkan dari morfologinya katarak senil dibagi:2,3,4,5
a. Katarak Nuklear
Pada katarak nuklear terjadi sklerosis pada nukleus lensa dan menjadikan
nukleus lensa menjadi berwarna kuning dan opak. Katarak ini lokasinya pada
bagian tengah lensa atau nukleus. Nukleus cenderung menjadi gelap dan keras
(sklerosis), berubah menjadi kuning sampai coklat. Progresivitasnya lambat.
Bentuk ini merupakan bentuk yang paling banyak terjadi. Pandangan jauh lebih
dipengaruhi daripada pandangan dekat (pandangan baca), bahkan pandangan
baca dapat menjadi lebih baik (miopisasi).
b. Katarak Kortikal
Pada katarak kortikal terjadi perubahan komposisi ion dari korteks lensa serta
komposisi air dari serat-serat pembentuk lensa. Katarak menyerang pada
lapisan yang mengelilingi nukleus atau korteks. Biasanya mulai timbul usia 40-
60 tahun dan progresivitasnya lambat, tetapi lebih cepat daripada katarak
nuklear.
c. Katarak subcapsularis
Kekeruhan mulai dari kecil, daerah opak hanya dibawah capsul, dan biasanya
ada di belakang lensa. Pasien merasa sangat terganggu saat membaca di cahaya
yang terang dan biasanya melihat halo pada malam hari. Dibagi menjadi katarak
subcapsularis posterior dan subcapsularis anterior. Pada subcapsularis posterior
biasanya terdapat pada pasien DM, Myotonic Dystrophy dan penggunaan
steroid. Sedangkan pada subcapsularis anterior biasanya terdapat pada
Glaukoma sudut tertutup akut, toksisitas amiodaron, miotic, dan Wilson
disease.
Berdasarkan dari stadium keparahan katarak, maka katarak senil dibagi menjadi :2,3,4,5,6
1) Katarak Insipien
Kekeruhan yang tidak teratur seperti bercak-bercak yang membentuk gerigi
dasar di perifer dan daerah jernih membentuk gerigi dengan
dasar di perifer dan daerah jernih di antaranya. Kekeruhan
biasanya teletak di korteks anterior atau posterior. Kekeruhan
ini pada umumnya hanya tampak bila pupil dilebarkan. Pada
stadium ini terdapat keluhan poliopia karena indeks refraksi
yang tidak sama pada semua bagian lensa. Bila dilakukan uji bayangan iris akan
positif.
2) Katarak Imatur
Pada stadium yang lebih lanjut, terjadi kekeruhan yang lebih tebal tetapi tidak
atau belum mengenai seluruh lensa sehingga masih terdapat
bagian-bagian yang jernih pada lensa. Pada stadium ini terjadi
hidrasi korteks yang mengakibatkan lensa menjadi bertambah
cembung. Pencembungan lensa ini akan memberikan
perubahan indeks refraksi dimana mata akan menjadi miopik.
Kecembungan ini akan mengakibatkan pendorongan iris ke depan sehingga
bilik mata depan akan lebih sempit. Pada stadium intumensen ini akan mudah
terjadi penyulit glaukoma. Uji bayangan iris pada keadaan ini positif.
3) Katarak Matur
Bila proses degenerasi berjalan terus maka akan terjadi pengeluaran air
bersama-sama hasil disintegrasi melalui kapsul. Di dalam
stadium ini lensa akan berukuran normal. Iris tidak
terdorong ke depan dan bilik mata depan akan
mempunyai kedalaman normal kembali. Kadang pada
stadium ini terlihat lensa berwarna sangat putih akibat
perkapuran menyeluruh karena deposit kalsium. Bila dilakukan uji bayangan
iris akan terlihat negatif.
4) Katarak Hipermatur
Marupakan proses degenerasi lanjut lensa sehingga
korteks mengkerut dan berwarna kuning. Akibat
pengeriputan lensa dan mencairnya korteks, nukleus
lensa tenggelam ke arah bawah (katarak morgagni).
Lensa yang mengecil akan mengakibatkan bilik mata
menjadi dalam. Uji bayangan iris memberikan gambaran pseudopositif. Akibat
masa lensa yang keluar melalui kapsul lensa dapat menimbulkan penyulit
berupa uveitis fakotoksik atau glaukom fakolitik.
c. Katarak Morgagni2,3
Merupakan proses lanjutan dari katarak hipermatur, berjalan terusnya proses katarak
yang diikuti dengan kapsul yang tebal maka korteks akan berdegenerasi dan cairan
tidak dapat keluar, maka korteks akan memperlihatkan bentuk sebagai sekantong susu
disertai dengan nukleus yang terbenam didalam korteks lensa karena lebih berat.
4. Katarak Komplikata
Katarak yang disebabkan oleh penyakit mata lain seperti radang, proses degenerasi dan
penyakit sistemik. Katarak komplikata memiliki tanda khusus dimana katarak berada
pada daerah bawah kapsul atau pada lapis korteks, kekeruhan dapat difus, pungtata
ataupun linear.
A. Definisi: 2,3,5
Terdapat banyak pendapat mengenai batasan dan penyebab dari katarak
komplikata. Dalam buku Vaughan dan Kanski disebutkan bahwa katarak komplikata
terjadi karena adanya penyakit intraokular yang mempengaruhi fisiologi dari lensa
(paling sering adalah uveitis). Galloway menyebutkan katarak komplikata adalah
katarak yang terjadi karena penyakit lain baik dari penyakit mata atau bukan penyakit
mata (sistemik/ penggunaan obat).
Pendapat lain mengatakan bahwa katarak komplikata adalah katarak yang
terjadi akibat gangguan keseimbangan susunan sel lensa oleh faktor fisik atau kimiawi
atau terjadi karena adanya proses inflamasi atau penyakit degeneratif dari segmen
anterior atau posterior mata.
B. Etiologi :4,6
Penyebab dari terjadinya katarak komplikata dibagi menjadi tiga
1. Penyakit lokal pada mata
2. Penyakit sistemik (terutama penyakit endokrin)
3. Trauma
Penyakit lokal pada mata yang dapat menyebabkan katarak komplikata adalah
uveitis anterior yang kronik, glaukoma sudut tertutup, miopia yang tinggi, serta
gangguan herediter pada fundus (misalnya retinitis pigmentosa). Ablasio retina
yang sudah lama juga dikatakan dapat menyebabkan katarak komplikata.
Penyakit sistemik yang memiliki ciri menimbulkan katarak yang bilateral.
Penyakit tersering yang menyebabkan katarak komplikata adalah galaktosemia,
diabetes mellitus pada umur pubertas dan keadaan dewasa bukan pada orang lebih
dari 50 tahun, dan tetani akibat gangguan paratiroid hormon.
Trauma yang dapat menyebabkan katarak di bagi dalam kategori trauma fisik,
mekanis, dan kimia. Katarak komplikata juga bisa disebabkan akibat penggunaan
obat-obatan atau pada pasien dengan down syndrome.4,6
3. Miopia maligna7
Miopia maligna adalah miopia yang berjalan progresif yang dapat
mengakibatkan ablasio retina dan kebutaan. Miopia maligna biasanya bila mopia
lebih dari 6 dioptri disertai kelainan pada fundus okuli dan pada panjangnya bola
mata sampai terbentuk stafiloma postikum yang terletak pada bagian temporal papil
disertai dengan atrofi korioretina.
Atrofi retina berjalan kemudian setelah terjadinya atrofi sklera dan kadang
kadang terjadi ruptur membran Bruch yang dapat menimbulkan rangsangan untuk
terjadinya neovaskularisasi subretina. Dapat juga ditemukan bercak Fuch berupa
hiperplasi pigmen epitel dan perdarahan, atrofi lapis sensoris retina luar, dan lebih
lanjut akan terjadi degenerasi papil saraf optik.
Mekanisme terjadinya disebabkan oleh penyakit di bagian posterior sel-sel
lensa seperti inflamasi vitritis, myopia degenerasi, degenerasi di retina termasuk
rinitis pigmentosa yang mengakibatkan migrasi dan degenerasi sel-sel ekuator ke
posterior pole. Proses migrasi ini tidak cukup dengan satu stimulus. Pada
cataractogenesis yang berperan adalah proses degenerasi, seperti pada retinitis
pigmentosa katarak terjadi karena faktor degenerasi retina.
Miopia maligna dapat ditemukan pada semua umur dan terjadi sejak lahir. Pada
anak-anak diagnosis sudah dapat dibuat jika terdapat peningkatan beratnya miopia
dalam waktu yang relatif pendek.7
B. Penyakit sistemik :
1. Diabetes mellitus 5,6
Diabetes mellitus dapat mempengaruhi kejernihan lensa, indeks refraksinya,
dan besaran akomodasinya. Seiring dengan meningkatnya kadar gula darah,
demikian pula kandungan glukosa di humor aqueous. Karena glukosa dari aqueous
masuk ke lensa secara difusi, oleh karenanya glukosa yang terkandung dalam lensa
akan meningkat. Beberapa glukosa dikonversi oleh enzim aldosa reduktase menjadi
sorbitol, yang tidak dimetabolisir tetapi menetap dalam lensa.
Kemudian, tekanan osmotic menyebabkan influks air ke dalam lensa, yang
menyebabkan edema serabut-serabut lensa. Keadaan hidrasi lensa dapat
mempengaruhi kekuatan refraksi lensa. Pasien diabetes mungkin menunjukkan
perubahan refraksi sementara, yang paling sering adalah miopia, tetapi kadang-
kadang hipermetrop. Orang-orang diabetes menurun kekuatan akomodasinya
dibandingkan dengan orang pada umur yang sesuai, dan presbiopia dapat timbul
pada usia yang lebih muda pada pasien dengan diabetes daripada pasien-pasien
nondiabetes.
Katarak merupakan penyebab umum penurunan visual pada pasien-pasien
diabetes. Meskipun dua tipe katarak secara klasik teramati pada pasien diabetes
pola-pola lainnya juga dapat terjadi. Katarak diabetes sejati atau katarak snowflake,
memiliki gambaran perubahan lensa subkapsular yang tersebar luas, bilateral,
beronset cepat dan akut, biasanya pada orang muda dengan diabetes mellitus yang
tidak terkontrol. Kekeruhan subkapsular putih abu-abu multiple yang memiliki
gambaran snowflake (butiran salju) terlihat pertama kali di korteks lensa anterior
dan posterior superfisial. Vakuola tampak dalam kapsul, dan bentuk celah di
korteks. Katarak kortikal intumescent dan matur terjadi segera sesudahnya.
Katarak senillis adalah tipe kedua yang sering teramati pada pasien diabetes.
Bukti menunjukkan bahwa pasien diabetes memiliki peningkatan risiko perubahan
lensa berhubungan dengan umur dan perubahan lensa ini cenderung terjadi pada
usia yang lebih muda daripada pasien tanpa diabetes. Pasien diabetes memiliki
risiko tinggi terjadinya katarak berhubungan dengan umur yang mungkin
merupakan hasil dari akumulasi sorbitol dalam lensa, perubahan hidrasi yang
mengikutinya, dengan peningkatan glikolisasi protein pada lensa diabetika. 5,6
2. Galaktosemia11
Galaktosemia merupakan ketidakmampuan mengubah galaktosa menjadi
glukosa yang diwariskan secara autosom resesif. Sebagai konsekuensinya,
galaktosa terakumulasi pada jaringan tubuh, yang dengan metabolisme lebih lanjut
mengkonversi galaktosa menjadi galaktitol (dulsitol), gula alkohol dari galaktosa.
Galaktosemia merupakan hasil adanya defek pada satu dari tiga enzim yang terlibat
dalam metabolism galaktosa: galaktosa 1-fosfat uridil transferase, galaktokinase,
atau UDP-galaktosa-4-epimerase. Bentuk yang paling umum dan paling berat,
dikenal sebagai galaktosemia klasik, disebabkan oleh defek pada enzim transferase.
Enzim ini penting untuk mengubah galaktosa menjadi glukosa, karena laktosa yang
merupakan gula utama susu adalah disakarida yang mengandung glukosa dan
galaktosa.11
Pada galaktosemia klasik, pasien akan terlihat gejala malnutrisi seperti
hepatomegali, jaundice dan defisiensi mental yang akan terlihat pada beberapa
minggu pertama kehidupan. Galaktosemia merupakan penyakit yang bersifat
berbahya jika tidak terdiagnosis dan tidak diterapi. Diagnosis galaktosemia klasik
dapat pastikan dengan pemeriksaan urin yag akan ditemukan substansi galaktosa
reduksi non glukosa.11
Sekitar 75 % pasien dengan galaktosemia klasik akan menyebabkan katarak
bilateral, hal ini muncul dalam beberapa minggu pertama dalam kehidupan.
Menumpuknya galactosa dan galacitol pada lensa akan meningkatkan tekanan
osmotik intraselular dan influks cairan lensa. Biasanya, nucleus dan korteks bagian
dalam menjadi keruh, menyebabkan gambaran “tetesan minyak” pada
retroiluminasi. Jika penyakit ini tetap tidak diterapi, katarak berkembang menjadi
kekeruhan lensa total. Terapi galaktosemia adalah mengeliminasi susu dan produk
susu dari diet. Pada beberapa kasus, pembentukan katarak awal dapat dibalik oleh
diagnosis yang tepat dan intervensi pola makan.11
Defisiensi dua enzim lainnya, epimerase dan galaktokinase, juga dapat
menyebabkan galaktosemia. Defisiensi ini lebih jarang dan menyebabkan
abnormalitas sistematis yang lebih ringan. Katarak dapat juga tampak tetapi
biasanya muncul pada umur yang lebih tua daripada galaktosemia klasik.11
B. Roset (bintang)
Katarak berbentuk roset; bentuk ini dapat terjadi segera sesudah
trauma tetapi dapat juga beberapa minggu sesudahnya. Trauma
tumpul mengakibatkan perubahan susunan serat-serat lensa dan
susunan sisten suture (tempat pertemuan serat lensa) sehingga
terjadi bentuk roset. Bentuk ini dapat sementara dan dapat juga
menetap.
2.4. Terapi
Pengobatan dari katarak adalah pembedahan. Tindakan pembedahan dilakukan
jika penderita tidak dapat melihat dengan baik dengan bantuan kacamata untuk
melakukan kegiatannya sehari-hari. Pada adanya katarak yang tidak mengganggu
biasanya tidak dilakukan pembedahan.
Pembedahan katarak pada anak-anak atau infantilis adalah ekstrasi lensa
melalui insisi limbus kecil dengan menggunakan alat irigasi aspirasi mekanis.
Jarang dibutuhkan fakoemulsifikasi. Berbeda dengan pada prosedur ekstrasi pada
orang dewasa, banyak ahli bedah yang mengangkat kapsul posterior dan korpus
vitreous anterior untuk mencegah pembentukan kekeruhan kapsul sekunder atau
aftercataract.
Indikasi operasi :7
a. Pada bayi: kurang dari satu tahun
Bila fundus tidak terlihat. Bila masih dapat terlihat maka katarak dibiarkan
b. Pada usia lanjut
i. Indikasi klinis: jika katarak menimbulkan penbyulit sepoerti uveitis
atau glaucoma, meskipun visus masih cukup baik perlu dilakukan
operasi setelah keadaan sudah tenang
ii. Indikasi visual : saat ada katarak bilateral yang membuat
kemampuan visual buruk dan membuat pasien merasa tidak mampu
bekerja. Adanya katarak matur pada pasien, maka pasien harus
segera dianjurkan melakukan operasi
1. Situasi Gangguan Penglihatan dan Kebutaan. (2018). pusat data dan informasi
kementrian kesehatan RI (infodatin).
2. Vaughan, D., Asbury, T., Schaubert, L., Walibon. and Hariono, B.
(2007). Oftalmologi umum. 17th ed. Jakarta: Widya Medi
3. Elyas, S. and yulianti, s. (2014). ilmu penyakit mata. 5th ed. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta.
4. wijana, n. (1983). ilmu penyakit mata. 3rd ed. jakarta.
5. Jogi, R. (2009). Basic ophthalmology. New Delhi, India: Jaypee Brothers Medical
Publishers.
6. Bowling, B. and Kanski, J. (2015). Kanski's clinical ophtalmology. [Edinburgh]:
Elsevier.
7. Lang, G. and Amann, J. (2000). Ophthalmology. Stuttgart: Thieme.
8. Souza, V., Moura Filho, F., Souza, F., Rocha, C., Furtado, F., Gonçalves, T. and
Vasconcelos, K. (2008). Cataract occurrence in patients treated with antipsychotic
drugs. Revista Brasileira de Psiquiatria, 30(3), pp.222-226.
9. ehrlich, J. (2017). Manual Small Incision Cataract Surgery - EyeWiki. [online]
Eyewiki.aao.org. Available at:
http://eyewiki.aao.org/Manual_Small_Incision_Cataract_Surgery [Accessed 12 May
2018].
10. James, E. (2007). The Etiology of Steroid Cataract. Journal of Ocular Pharmacology
and Therapeutics, 23(5), pp.403-420.
11. Aao.org. (2018). Galactosemia. [online] Available at:
https://www.aao.org/bcscsnippetdetail.aspx?id=256624ba-52bc-4dd2-9d10-
b97d5002d83d [Accessed 13 May 2018].
12. Olson, R., Braga-Mele, R., Chen, S., Miller, K., Pineda, R., Tweeten, J. and Musch,
D. (2017). Cataract in the Adult Eye Preferred Practice Pattern®. Ophthalmology,
124(2), pp.P1-P119.