Anda di halaman 1dari 84

ANTOLOGI CERPEN

Kasih Tak Sampai di Merapi

Nurul
Yunarti Wulandari
Wahyu Widayati, S.Pd.
Susanti
Rita Tiaswari
Ristohadi S.
Suci Nurasih
Tutik Suwartini, S.Pd.
Suyatmi
Sri Murtini
Kasih Tak Sampai di Merapi
ANTOLOGI CERPEN
©Forum Guru Sleman Menulis 2019

Penulis: Nurul, et.al


Editor: Budi Sardjono
Layout-design: Orang Kampung Design
Gambar Sampul: Orang Kampung Design

PERPUSTAKAAN NASIONAL
Katalog Dalam Terbitan (KDT)
ISBN:
14 X 20 cm, vi + 78 halaman
Cetakan Pertama Juli 2019

Diterbitkan oleh
Forum Guru Sleman Menulis (FGSM)

dalam kerjasama dengan


Kunca Wacana
Jl. Kenanga No.138-A, RT.05/RW.57,
Sambilegi Kidul, Maguwoharjo, Depok,
Sleman, Yogyakarta
Telp: 0815-684-82-809, 0812-2512-5885,
email: kuncawacana@gmail.com

ii Kasih Tak Sampai di Merapi


Kata Pengantar

Kasih Tak Sampai di Merapi iii


iv Kasih Tak Sampai di Merapi
Daftar Isi

Kata Pengantar..................................................................................... iii


Daftar Isi................................................................................................ v

Dana....................................................................................................... 1
Nurul
Pecel Milenial....................................................................................... 4
Yunarti Wulandari
Kasih Tak Sampai di Lereng Merapi................................................ 8
Wahyu Widayati, S.Pd.
Puntung Rokok.................................................................................... 15
Susanti
Impian.................................................................................................... 18
Susanti
Sampah Kemasan................................................................................ 21
Susanti
Anak Letnan.......................................................................................... 24
Susanti
Sebuah Status ........................................................................................ 27
Susanti
Bunga Kertas......................................................................................... 30
Rita Tiaswari
Cinta Yang Kandas............................................................................... 33
Ristohadi S.
Salah Jalan............................................................................................. 36
Suci Nurasih
Diana...................................................................................................... 39
Tutik Suwartini, S.Pd.
Kenduri.................................................................................................. 43
Suyatmi
Kesucian Penari.................................................................................... 48
Suyatmi
Kasih Tak Sampai di Merapi v
Ular Misterius....................................................................................... 53
Suyatmi
Dua Pilihan........................................................................................... 58
Sri Murtini
Kandas di Tengah Jalan....................................................................... 63
Sri Murtini
Cinta Yang Hilang................................................................................ 67
Sri Murtini
Uang Koperasi Sekolah....................................................................... 72
Sri Murtini
Tangisan di Sudut Sekolah................................................................. 75
Sri Murtini

Profil Penulis......................................................................................... 78

vi Kasih Tak Sampai di Merapi


Dana
Nurul

Semenjak kecil Dana memang berbeda sifat dengan kakaknya,


Rika. Maklumlah dengan statusnya sebagai anak bungsu membuatnya
mendapat limpahan kasih sayang dari orang tuanya. Dengan keadaan
keluarga yang tergolong berada, praktis segala kebutuhan Dana hampir
selalu terpenuhi. Hal inilah yang mungkin membuatnya menjadi
anak yang manja dan melakukan sesuatu sesuai dengan kehendaknya.
Kelakuan Dana cenderung ke arah usil. Bahkan karena keusilannya dia
sering dijuluki “Si Jail” oleh teman-temannya.
Keusilannya tidak saja dilakukan di sekolah.Di rumah pun
semua penghuni sudah pernah merasakannya. Sore ini kakaknya yang
menjadi korban.
“Danaaaa!!” teriak Rika pada Dana. “ Kamu kemanakan kertas-
kertas yang ada di kamar kakak?”
Dana yang memang suka usil hanya cengar cengir saja saat
diteriaki oleh kakaknya. Kebiasaannya memang kadang membuat seisi
rumah kalang kabut. Selalu saja ada bahan yang bisa dijadikan mainan.
“Ayo, dikembalikan. Itu kertas baru kakak beli kemarin. Masa
kertas satu rim sudah kamu habiskan.”
“Aku hanya ambil satu kok Kak? Tidak aku ambil semua,” elak
Dana.
“Iya ambilnya satu tapi berkali-kali kan. Lagian untuk apa sih
kertas sebanyak itu? Pasti untuk kau buat mainan. Iya kan?”
Sambil mengejar Dana yang tidak mau mengaku pada kakaknya,
Rika mencoba menarik bajunya. Tiba-tiba Dana bertubrukan dengan
mamanya yang sedang membawa baki berisi sepiring kue dan
minuman. Hampir saja mamanya jatuh tersenggol tubuh gempalnya.
“Aduh, aduh, ini mama lagi bawa makanan masa mau ditabrak.
Ayo kalian berhenti main kejar-kerajaran. Ini minuman papa jadi mau
tumpah,” kata mamanya. “Ini ada apa?’ lanjutnya.
“Dana mengambil kertas-kertas yang ada di dalam kamarku, Ma.
Dan dia tidak mau mengaku kalau sudah mengambilnya!” teriak Rika.
Kasih Tak Sampai di Merapi 1
“Dana, apa benar apa yang dikatakan kakakmu?” tanya mamanya
dengan halus.
“Hehe, benar Ma. Tapi aku kan tidak ngambil semuanya. Aku
mengambil tidak banyak kok,” kata Dana jujur.
“Terus kertasnya kamu buat apa?”.
“Aku buat macam-macam, Ma. Ada robot, topeng, mobil, bola dan
banyak lagi. Aku kasih liat ya Ma.” Dana masuk ke kamar mengambil
sekeranjang mainan. Bentuknya beraneka macam dan semuanya
terbuat dari kertas. Rika dan mamanya sampai bengong melihat benda-
benda tersebut. Mereka heran Dana bisa membuat mainan sebanyak
itu.
Benar saja apa yang dikatakan gurunya saat melaporkan bahwa
Dana di sekolah membuat ulah. Hampir semua buku tulis yang
dimilikinya penuh dengan gambar. Bahkan sampai tidak tersisa kertas
kosong sedikit pun untuk menulis materi dari gurunya. Pada awalnya,
mamanya tidak percaya dengan kejadian tersebut. Tetapi dengan
melihat hari ini dia baru percaya apa yang dikatakan gurunya itu benar.
“Dana, benda-benda ini mau kamu apakan setelah jadi begini?
Apa kamu tidak sayang dengan kertas-kertas ini. Akhirnya nanti hanya
masuk ke tempat sampah. Padahal sebenarnya masih bisa digunakan
dengan baik saat sebelum kamu buat seperti ini,” kata mamanya.
“Kalau mama jadi kertas ini pastinya sudah menangis. Karena
sudah kau sia-siakan. Padahal membuat satu rim kertas sama dengan
menebang satu pohon. Kalau kita menggunakan kertas semakin
banyak, maka banyak pohon yang kita tebang,” lanjut mamanya.
“Tuh, dengerin apa kata mama. Makanya kalau mau buat sesuatu
harus dipikirin dulu. Ada manfaatnya atau tidak. Kalau begini kan jadi
sayang kertasnya. Mau dipakai sudah tidak bisa, mau dibuang terlalu
banyak,” omel Rika. “Awas lho, kalau nanti kertas-kertas ini sampai
menghantuimu! ”
“Kakak jangan menakut-nakuti aku. Aku gak takut!” Dana
membela diri.
Benar saja apa yang diancamkan Rika. Malam harinya dia
bermimpi. Dalam mimpinya, dia berada di sebuah daerah yang gundul.
Semua pohon ditebang tak bersisa. Daerah itu berada di dataran tinggi.
Dia melihat sepanjang mata memandang, tak satu pun pohon yang
masih berdiri.
Tiba-tiba datang banjir bandang. Dana tidak sempat
menyelamatkan diri. Dia terbawa arus banjir. Saat itu dia tahu bahwa arus
banjir yang melandanya bukan berupa air tetapi kertas-kertas. Kertas
itu sangat banyak seperti air bah yang keluar dari tanggul sungai yang

2 Kasih Tak Sampai di Merapi


jebol. Dana berteriak meminta tolong, tapi suara tidak sampai keluar.
Dia sangat ketakutan. Kertas-kertas datang menyerbu sampai ke leher.
Bahkan sampai mau menenggelamkannya. Tangannya menggapai-
gapai ke atas. Tetapi sia-sia. Tidak ada yang bisa menolongnya.
Dana terbangun dari mimpinya dengan peluh bercucuran.
Dia menangis ketakutaan. Dalam tidurnya dia terdengar berteriak-
teriak. Suaranya sampai terdengar ke kamar Rika yang ada di sebelah
kamarnya. Rika bergegas masuk.
“Dana ada apa? Tadi terdengar suara teriak-teriak. Kamu
bermimpi ya?”
“Kak Rika, Dana minta maaf sudah membuat kertas-kertas kakak
habis,” kata Dana setelah menunggu agak lama.“Dana berjanji tidak
akan menyia-nyiakan kertas-kertas lagi. Dana akan menggunakan
kertas dengan hemat.”
“Kakak sudah memaafkan Dana kok. Tapi ingat ya, untuk tidak
mengulangi lagi perbuatan seperti itu. Tidak boros kertas baik di
rumah maupun di sekolah.“ kata Rika.“Kalau kamu mau, besok kita
daur ulang saja sampah kertas yang sudah kamu gunakan itu. Kita buat
kertas lagi. Dan kita manfaatkan lagi.“
“Memangnya kertas-kertas itu masih bisa dimanfaatkan kembali
ya Kak? Asyik, berarti aku masih bisa pakai kertas itu lagi.”
Dengan asyik, Dana menyebutkan rencana besok setelah mendaur
ulang sampah. Ia akan membuat bentu-bentuk lain yang tidak kalah
bagusnya dengan kertas daur ulang. Dari belakang tubuhnya, Rika
menyentil telingannya dengan rasa sayang.
“Memang kalau sudah jadi sifatnya gak mudah merubahnya.
Tapi setidaknya Dana sudah menyadari kesalahannya,” batin Rika
memperhatikan adiknya.

***

Kasih Tak Sampai di Merapi 3


Pecel Milenial
Yunarti Wulandari

Sejak punya hp android Rere selalu sibuk menatapnya. Di rumah


jarang sekali dia mau membantu ibunya di warung. Kalau pun ada
di warung selalu hp itu ada digenggamanya. Ibunya sampai kawatir
dengan kesehatan mata anaknya. Kata tetangga-tetangganya melihat
layar hp terus-menerus bisa mengakibatkan buta. Setiap kali dilarang
Rere selalu bilang ,”Tanggung Bu, baru ol.”
Sebenernya ibunya tidak tau apa itu ol. Dia cuma diam saja karena
akhir-akhir ini warung menjadi begitu ramai bila siang hari. Lebih
baik ia mengerjakan pesanan pelanggan agar tidak kelewatan. Ibunya
menambah penghasilan dengan berjualan nasi pecel dan gorengan di
depan rumahnya. Akhir-akhir ini dia heran, banyak pembeli bukan
tetangganya. Bahkan sering memborong, sehingga kadang siang hari
daganganya sudah habis.
Kadang banyak pelanggan kecele karena kehabisan. Mereka minta
buat lagi biar tetap bisa menikmati pecel. Tapi dia sudah tidak kuat
lagi membuatnya karena persiapanya memutuhkan waktu dan tenaga
yang lama. Kalau sampe sore tidak bisa mengurus anak-anaknya.
Ibunya Rere mempunyai 3 anak . Yang pertama sudah kuliah, yang
kedua SMA dan Rere adalah anak terakir yang duduk di bangku SMP.
Mereka adalah anak yang berbakti dan mengerti keadaan orang
tuanya. M mau membantu pekerjaan orangtua. Setiap pulang sekolah
mau membantu ibu dan bapaknya. Bapaknya Rere seorang petani
yang tekun mengerjakan sawah. Dia selalu menanam sayuran yang
bisa dijual, untuk makan sehari-hari dan dibuat pecel. Jadi setiap hari
bapak dia memanen tanamanaya sehingga isterinya tinggal membeli
bahan-bahan yang belum ada.
Kakak rere yang paling besar, Riko, memang selalu pulang agak
sore dari kuliahnya. Tetapi selalu membantu bapaknya di sawah. Bila
ada tanaman yang harus dipanen untuk modal pecel ibunya dan dijual
dipasar. Sedangkan kakak Rere yang tengah , Dino, selalu membantu
ibunya menyiapakan dagangan sepulang sekolah. Terkadang dia
4 Kasih Tak Sampai di Merapi
juga membantu meracik pesanan pelanggan. Semua dilakukan
dengan senang hati karena memang dia anak yang suka membantu
orangtuanya.
Suatu hari ketika ibunya dan Dinosedang menyiapkan pesanan
pelanggan,Rere duduk di belakang warung sambil bermain hp. Ibu
memanggiluntuk membantu karena merasa kewalahan menyiapkan
pesanan.
“Rere, tolong ibu membungkus gorengan ini. Kakakmu masih
menggoreng, nanti keburu pembelinya datang,” kata ibunya.
“Sebentar Bu, tanggung baru ol ini,” jawab Rere.
“Al ol al ol terus. Tidak kasihan sama kakak dan ibumu? Kalo gak
pernah mau membantu nanti hp ibu ambil, dijual saja untuk tambah
modal dagangan!” kata ibunya agak keras.
Rere tetap bermain hp sehingga ibunya makin jengkel. Dino
yang melerai, karena ia yakin pasti Rere sedang merekap pesanan
pecel untuk grup lesnya, grup ekstra olahraga dan grup pemuda dusun
berapa.
“Sudah Bu, biarkan dulu, nanti kalau sudah selesaipasti membantu
kita,” kata Dino.
“Ibu heran sama anak itu. Kerjaanya setiaphari main hp terus.
Nanti kalau matanya sakit bagaimana?’ tanya ibunya.
“Ibu tenang saja. Nanti biar Dino yang memberi tahu.”
Ibunya diam dan segera melanjutkan pekerjaannya. Sambil
bekerja ia berpikir, sebenarnya ol itu apa to. Sanpai anaknya setiap hari
mengerjakan hal itu.Ia bingung tetapi terus melanjutkan pekerjaanya. Ia
tidak mau berpikir yang lebih dalam takut pusing. Anak-anak jaman
sekang memang beda dengan jamannya dulu. Dulu, setiap dipanggil
bapak atau a ibunya tidak berani menolak. Selalu langsung datang.
Anak sekarang, dipanggil bilangnya, “Tanggung, baru ol.” Sebenarnya
ol itu apa?
Begitulah keseharian mereka. Selalu sibuk dengan kegiatan sehari-
hari menyiapkan dagangan untuk para pelanggan. Setelah habis pecel
dan gorengan,ibunya dan Dino membersihkan tempatnya. Agar bila
dipakai esuk hari nyaman dan pelanggan pun merasa betah.
Riko sepulang kuliah selalu berusaha membantu bapaknya
di sawah. Mereka berdua baru pulang bila hari mau maghrib. Lalu
mandi dan ke masjid jamaah dengan para tetangga. Sementara ibunya
menyiapkan keperluan makan malam, Dino nonton televisi sekalian
memetiki sayuran yang harus direbus esuk hari. Baru kemudian belajar
dan mengerjakan tugas sekolah.
Tak terasa sudah mau akhir bulan. Sayuranyang dipanen di

Kasih Tak Sampai di Merapi 5


sawah akan segera habis. Harus membeli benih lagi. Ibunya juga harus
merekap stok dagangan untuk membeli keperluan-keperluan yang
harus dibeli dipasar pusat karena harganaya lebih murah. Bapaknya
sudah minta uang untuk membeli benih bayam dan sawi. Karena
selama ini semua hasil panen selalau diserahkan kepada isterinya untuk
dikelola membiayai sekolah anak-anak.
Sore itu ibunya merekap pendapatan selama sebulan untuk
dibagi-bagi dalam mencukupi semua keperluan rumah tangga.
Setelah dihitung dan dibagi-bagi, ia bersyukur sekali karena bulan itu
mempunyai keuntungan lebih dari bulan lalu. Bisa digunakan untuk
membayar SPP Riko, uang bulanan Dino dan jatah bulanan Rere.
“Alhamdulilah Pak, bulan ini dibantu panen kita bisa mempunyai
uang cukup untuk membayar semua keperluan anak-anak dan
membeli bibit sayuran lagi. Bahkan masih ada kelebihannya,” kata
ibunya.
“Ibu simpan untuk keperluan anak-anak lagi nanti,” jawab
suaminya.
“Riko dan Dino, kalian kapan mau membayar SPP?”
“Saya ikut saja Pak kapan ada uang,” jawab Riko.
“Saya juga pak,” kata Dino.
Keduanya merasa bahagia karena memiliki anak-anak yang
berbakti, mau mengerti keadaan orangtuanya. Mereka tidak suka
meminta yang orangtuanya tidak mampu membelikan. Bertanya dulu
jika memiliki keinginan dan tidak memaksa bila memang orang tuanya
belum mempunyai uang.
“Terus saya pak?” tanya Rere.
“ Ha ha ha,”semua mentertawakan.
Rere merajuk karena tidak ditanya kapan membayar sekolah.
Ia sekolah di SMP Negeri sehingga SPP masih ditanggung oleh
pemerintah. Kebutuhan sehari-harilah yang lebih banyak bagi dia
karena merasa sebagai anak bontot. Ia sering minta segala kebutuhanya
didahulukan.
“Kamu itu, disuruh membantu ibu bilangnya ol terus. Giliran
bagian minta paling banyak,” gerutu ibunya sambil mencubit pipi
anaknya dengan sayang.
“Ibuuuuu, selama ini Rere olitu merekap semua pesanan pecel dan
gorengn dari teman-teman. Jadi tidak main game. Makanya pesanan
menjadi lebih banyak,” sahut Rere cemberut.
“Apalagi itu game?” tanya ibunya.
“Iya Bu, jadi selama ini Rere menawarkan dagangan kita lewat
hp. Sehingga banyak teman-temannya dan tetangga-tetangga pada

6 Kasih Tak Sampai di Merapi


beli. Game itu permainan yang bisa dimainkan di hp. Jadi justru paling
banyak mendapatkan pesanan,” kata Dino.
“Oya, jadi selama ini pesanan kita banyak karena Rere?” tanya
ibunya.“Maafkan ibu Nak. Ibu telah salah sangka.”
“ It’s oke Bu,” sahut Rere.
“Waduh apalagi itu It’s oke?”
Semua tertawa mendengar pertayaan itu.
“Kalian itu, ibunya bingung malah ditertawakan.”
“It’s oke itu baiklah ibuu,” kata Rere sambil tersenyum.
“Oalah,” kata ibunya sambil berlalu memberesi piring-piring yang
mereka pergunakan untuk makan.
Bapak dan ibunya bahagia mempunyai anak-anak yang mengerti
keadaan mereka. Mau membantu pekerjaan mereka sehari-hari dan
tidak pernah memaksakan keinginan pada orang tuanya. Rere tidak
seperti yang mereka duga, ternyata justru yang paling perduli dan
berusaha melariskan dagangan ibunya.

***

Kasih Tak Sampai di Merapi 7


Kasih Tak Sampai di Lereng Merapi
Wahyu Widayati, S.Pd.

Berulang kali Satria menyusuri hutan di sekitar lereng Merapi.


Namun petualangan kali ini terasa begitu berat dan menyesakkan
dada. Target yang harus diselesaikan adalah lari dari wilayah Kaliurang
menyusuri hutan menuju Desa Kinahrejo dan berakhir di sekitar
Kaliadem. Beristirahat sebentar dan harus kembali dengan cepat pula
sampai di Kaliurang dalam waktu yang telah ditentukan.
Misi kali ini terasa berat. Meskipun Satria sudah mempersiapkan
sejak awal untuk menyusuri hutan yang cukup lebat itu. Menyusuri
hutan sudah menjadi hal yang biasa bagi Satria. Apalagi hutan Kaliurang
yang sudah sangat familiar baginya. Namun beban psikologis ketika
harus menyelesaikan misi dalam waktu yang cepat dan kondisi mental
menghadapi ujian kenaikan tingkat sebagai pendekar harus dilalui.
"Tolong! Tolong! Tolong" sayup-sayup terdengar suara minta
tolong.
Satria yang berlari paling depan di antara rombongan para
pendekar akhirnya membelokkan arah ke sebelah kiri. Ia menuju suara
orang yang merintih meminta tolong. Menengok ke kanan, ke kiri, dan
ke atas berulang-ulang dilakukan namun tidak ditemui orang yang
minta tolong.
"Audzu billahi minas syaiton nirojim," komat-kamit Satria
melafalkan kalimat kalimat Ilahiyah untuk mengusir ketakutan. Bulu
kudukpun berdiri, dan tidak terasa dia masuk ke dalam hutan terlalu
jauh.
"Tolong! Tolong! Tolong," terdengar kembali suara orang minta
tolong dan semakin jelas di sebelah kiri tempat dia berdiri.
Satria pun masih komat-kamit melafalkan ayat Kursi untuk
mengusir ketakutan. Pelan-pelan dia berjalan menuju suara yang
semakin lama semakin lemah namun justru semakin jelas.
Nafas begitu terengah, desir darah menggelegak. Pandangan
matanya tertuju pada seorang gadis yang kelihatan tertelungkup.
Tubuhnya tertindih seikat rumput di atasnya. Rumput gajah yang
8 Kasih Tak Sampai di Merapi
sudah diikat rapi menindih gadis itu. Ternyata gadis tersebut jatuh
dari jalan setapak sedalam kurang lebih 4 meter. Satria berpikir keras
benarkah ini manusia ataukah gadis jadi-jadian.
Antara kasihan dan takut bercampur aduk menjadi satu. Namun
karena Satria adalah orang yang tertempa oleh keadaan untuk selalu
menolong, dia berusaha untuk mencari tahu apa yang sebenarnya
terjadi. Sambil tidak lupa pula dzikir untuk menguatkan dirinya.
"Mbak" tanyanya pelan-pelan.
"Tolong tolong tolong," jawaban itu justru semakin keras, namun
sejurus kemudian tiada lagi suara. Gadis itu pingsan.
Satria belum sempat mendapatkan jawaban siapa sebenarnya
gadis yang diperkirakan berusia 18 tahun itu. Akhirnya rasa
kemanusiaannya lebih menonjol. Dia berusaha untuk mencari jalan
menuju ke lembah yang tidak terlalu dalam tersebut. Dengan sedikit
susah payah ia berhasil mendekati Si gadis yang masih tidak sadarkan
diri. Pelan-pelan ikatan rumput gajah yang berada di atas punggungnya
diangkat dan digeser. Kemudian tubuhnya ia balikkan dalam posisi
tidak tertelungkup.
"Mbak, Mbak, bangun Mbak," seru Satria sambil menggoyangkan
badan gadis itu. Ia nampak kebingungan, apa yang harus dikerjakan.
Akhirnya Si gadis hanya didiamkan dan ditidurkan di tempat yang
nyaman.
Sambil tertunduk lesu antara bimbang apa yang akan dilakukan
Satria memandangi gadis tersebut. Gadis desa kulit sawo matang
dengan rambut diikat di belakang setinggi bahu. Hidung mancung
tiada make up yang menghiasi wajahnya yang mulus. Tidak tahu
kenapa justru Satria memandangi gadis itu dengan perasaan iba. Aliran
darah semakin cepat memandang gadis tersebut. Degup jantung pun
mengiramakan sesuatu yang tidak biasa. Namun Satria segera bisa
menguasai diri dengan kebiasaan dzikir yang di dibiasakan oleh Sang
Guru kepadanya.
Pelan-pelan mata gadis itu terbuka."Tolong tolong tolong!" suara
lirih itu keluar dari mulut mungil gadis usia SMA itu.
Terperanjat kaget Satria melompat dengan sedikit perasaan
lega."Mbak sudah bangun ya," katanya dengan penuh harap.
Gadis itu diam saja. Masih kelihatan lemas badannya dan
tidak bertenaga. Namun mata masih bisa melihat sekeliling.Dengan
sigap Satria mengambil botol minuman yang tadi dibawa gadis
itu yang tergeletak jatuh di samping ikatan rumput. Dia kemudian
meminumkannya.
"Nama Mbak siapa?" tanya Satria pelan.

Kasih Tak Sampai di Merapi 9


"Yati," jawab si gadis pelan.
"Kenapa Yati sampai terjatuh?" tanya Satria kembali.
"Tadi waktu jalan di situ ada ular. Saya ketakutan sampai terpeleset
dan jatuh di jurang," jawab Yati.
Melihat Satria berperawakan kecil namun kekar, ada degup irama
jantung yang tidak beraturan di hati Yati. Hati merasakan perasaan yang
berbeda ketika melihat Satria. Namun kebimbangan pun menyeruak
dari hatinya. Siapa sebenarnya Satria, kenapa dia sampai di hutan
tempat biasa dia merumput.
"Bisa duduk?" tanya Satria pelan, sambil mendukung Yati dengan
memegang pundak dan pinggang.
Yati pun berusaha untuk duduk sambil meringis menahan sakit
kakinya yang terlihat begitu biru memar. Setelah duduk Satria kemudian
memberikan minumnya kembali. Kali ini Yati bisa meminum dengan
tangannya sendiri. Ketika tangan beradu tangan ada desiran halus
yang membuat darah berdesir semakin cepat. Namun Satria cepat
menguasai keadaan dengan kebiasaan dzikir. Sehingga desiran darah
yang cepat tersebut tidak semakin cepat sampai terjadi sesuatu yang
membahayakan.
Yati pun merasakan hal yang sama sampai wajahnya merona
merah menahan malu ketika tangan bersentuhan. Dia meminum
dengan lahap karena terasa haus dan untuk menenangkan pikirannya.
"Mbak Yati bisa jalan?" tanya Satria Sambil mencoba memapah
untuk berusaha berdiri.
Yati pun menurut di papah berdiri. Ada perasaan damai bersandar
di dada Satria. Ada perasaan ingin terus berada di samping Satria.
Entah kenapa, walaupun baru pertama kali bertemu.Setelah berdiri
Satria pun kembali mencoba mengajak Yati untuk mencoba jalan. Dan
akhirnya dia pun bisa jalan pelan. Namun kemudian terduduk lesu,
sambil menangis.
"Kenapa Mbak Yati?"tanya Satria pelan.
"Kalau ketahuan Bapak saya pasti dimarahi. Apalagi bila pulang
tidak membawa rumput. Dengan keadaan seperti ini bagaimana saya
bisa pulang dan membawa rumput," kata Yat.
"Jangan khawatir nanti mas antar pulang," kata Satria
menenangkan.
Akhirnya mereka berdua pun pulang beriringan, Satria dengan
perasaan gagah berani membawa ikatan rumput gajah yang tidak begitu
berat baginya. Sebagai pendekar yang sudah terbiasa menghadapi
keadaan ekstrim, hal ini merupakan ujian baginya. Ia sampai lupa
bahwa tujuan di hutan ini adalah untuk melintasi dan merupakan

10 Kasih Tak Sampai di Merapi


bagian dari ujian kenaikan tingkat.
Yati berjalan di depan menunjukkan arah menuju rumahnya.
Sementara Satria mengikuti dari belakang sambil membawa rumput
gajah. Ada perasaan berkecamuk di hati dan pikiran Satria melihat
gadis di depannya yang berjalan masih sedikit pincang karena luka
memar di kakinya. Sebagai mahasiswa calon pendidik dia sudah sering
berinteraksi dengan anak-anak di usia SMA seperti Yati. Karena ia
mahasiswa semester akhir di Fakultas Pendidikan Biologi.
Sambil berjalan pincang Yati menahan sakit, menunjukkan
kakinya terluka cukup serius. Sekitar 30 menit kemudian mereka sampai
di Dusun Kinahrejo. Waktu sudah hampir maghrib. Terlihat di depan
pintu orangtua Yati berdiri gelisah mencari putri semata wayangnya.
Begitu melihat Yati berdiri di halaman sambil jalan pincang, ayahnya
segera menghampiri dengan muka yang dingin.
"Kenapa kamu jalan seperti itu? Siapa itu yang membawakan
rumput?" tanya ayahnya dengan penuh selidik dan muka kurang
bersahabat. Yati tidak menjawab pertanyaan ayahnya, justru kemudian
sedikit berlari dan menangis menuju ibunya.
Satria tidak mempedulikan keadaan. Dia segera menurunkan
rumput di dekat kandang sapi depan rumah. Lalu segera berpamitan
sambil setengah berlari. Dia teringat teman-teman seperguruan yang
tentunya gelisah karena dia belum sampai di rumah atau penginapan.
Orang tua Yati hanya bengong saja melihat pria yang bersama anaknya
tiba-tiba berpamitan sambil berlari.
Satria pun berlari dengan kencang tanpa menunggu jawaban dari
orang tua Yati. Dia berlari dengan kencang meninggalkan pedusunan
Kinahrejo, menurun sedikit lembah menuju kali kuning menyusuri
pinggir hutan yang telah dilaluinya berulang kali. Hari sudah menjelang
gelap, dia semakin cepat berlari agar tidak kemalaman di pinggir
hutan tersebut. Karena dia tidak membawa perlengkapan sedikitpun,
perbekalan apapun semuanya ditinggal di penginapan. Dan benar
saja teman-temannya sudah menunggu di sekitar hutan Kaliurang
sambil mencari-cari kemungkinan ada di mana salah satu temannya.
Merekapun bernafas lega ketika menemukan Satria keluar dari hutan
sambil terengah-engah karena berlari terus.
"Allahuakbar Allahuakbar...." terdengar suara azan dari masjid
samping penginapan. Teman-teman segera mendampingi Satria tanpa
bicara apapun menuju penginapan. Sampai di penginapan, segera
teman-temannya menuju kamar mandi berebut karena semuanya
belum mandi. Jadilah antrian yang panjang, saudara seperguruan
saling mengerti dan tidak menanyakan sesuatu kepada Satria untuk

Kasih Tak Sampai di Merapi 11


menjaga suasana.
Sang Guru yang dari tadi juga merasa gelisah kelihatan tenang
melihat murid kesayangannya datang dalam keadaan selamat. Segera
seluruh muridnya dikomando untuk mendirikan shalat di penginapan.
Usai shalat dzikir, perguruan tersebut kembali hiruk-pikuk untuk antre
makan sambil bercerita. Sang Guru mendekati Satria yang duduk lesu
sambil menerawang kedepan sesekali memandangi makanan yang
belum juga dimakan.
"Kenapa kamu datang terlambat? Padahal biasanya kamu paling
depan sampai di tempat tujuan?" sapa gurunya membangunkan
lamunan Satria.
"Guru, saya tadi habis menolong seseorang yang celaka di hutan.
Dia terpeleset jatuh ke dalam jurang yang tidak terlalu dalam," jawab
Satria.
"Bagus, jiwa ksatria mu membuatmu mau menolong orang di saat
seharusnya kamu bisa ikut ujian dengan baik." Pembicaraan terhenti
karena terdengar azan yang cukup keras dari pengeras suara masjid
di samping penginapan. Gurunya segera mengajak seluruh murid
perguruan pencak silat untuk menuju masjid melaksanakan jamaah
Isya.
Malam itu selesai mengikuti ceramah dan pembinaan dari Sang
Guru, teman-teman Satria terhanyut dalam keakraban. Ada yang
membakar jagung, ada yang ngobrol-ngobrol sambil bermain kartu,
ada yang bercanda ria, ada yang sekedar berjalan-jalan di halaman
penginapan. Karena terlalu capek Satria langsung tertidur di kamar
yang telah disediakan.
Di keheningan malam kurang lebih pukul 02.00 malam. Antara
sadar dan tidak, Satria merasa didatangi oleh orang yang serasa tidak
asing lagi pernah dilihatnya.
"Hai pemuda, kau telah menolong anakku. Namun jangan harap
kau bisa mendekati anakku. Kalau itu kau lakukan, maka bencana besar
akan menimpa dirimu dan temanmu. Camkan ini baik-baik. Anakku
bukanlah untukmu. Dia sudah dijodohkan dengan penghuni Merapi.
Ingat-ingatlah ini, jauhilah wilayah hutan larangan. Agar semuanya
baik-baik saja kecuali kamu pingin celaka." Perlahan kabut putih
menyelimuti orang tua berjanggut itu, yang kemudian hilang berjalan
tertiup angin menuju ke arah timur.
Satria masih tertegun dan hanya bisa duduk di tempat tidur
sambil melihat temannya yang terlelap tidur berserakan di seantero
penginapan. Satria segera mengambil air wudhu bermunajat kepada
yang maha kuasa. Bayangan Yati, gadis yang ditolong tiba-tiba terlihat

12 Kasih Tak Sampai di Merapi


melintas seperti mengiba minta tolong kembali. Segera dia mengucek
matanya apakah ini mimpi atau nyata.
Yati tidak berkata apapun, hanya dengan menunjukkan wajah
memelas meminta tolong. Aliran darah deras mengalir terasa betul
pembuluh darah Satria. Degup jantung tidak beraturan menyeruak
bersamaan dengan perasaan antara tumbuhnya benih-benih cinta dan
rasa kasihan. Semakin diperhatikan bayangan itu, semakin menggelora
perasaan kepada Yati. Belum sempat berkata apapun, tiba-tiba
bayangan Yati menghilang bersamaan kabut yang ditiupkan oleh orang
tua yang mendatangi sewaktu tidur.
"Astaghfirullahaladzim, hasbunallah wanikmal wakil nikmal
Maula wanikman Nasyir," bibir Satria segera mengucapkan lafal lafal
dzikir. Tiba-tiba terasa ada yang menepuk pundak Satria. Ternyata
gurunya sudah berada di belakangnya.
"Satria jangan kau teruskan apa yang menjadi perasaanmu!
Guru di telepati oleh penguasa alam lelembut dalam hutan larangan,
agar kamu tidak melanjutkan hubungan yang terlarang dengan gadis
itu. Pikirkanlah masa depanmu saja. Karena kalau kau lanjutkan itu,
banyak orang yang nanti akan tersakiti." Gurunya menghentikan
sapaannya sambil menghela nafas panjang, mengajak Satria duduk di
luar. Mereka duduk menghadap ke Timur, melihat hutan yang lebat di
sebelah timur Kaliurang.
"Ketahuilah Satria, gadis itu gadis yang polos, tetapi dia memang
menjadi korban dari kebiadaban kepercayaan masyarakat yang
belum mampu untuk menghindarkan diri dari kepercayaan turun
temurun. Dan itu bukan wilayah kita untuk ikut campur. Guru tadi di
peringatkan keras oleh pimpinan mereka melalui telepati. Oleh karena
itu guru meminta betul padamu untuk mematuhi ini."
Satria urung menuju masjid. Dia merenung apa yang seharusnya
dilakukan. Kata cinta belum terucap, desiran perasaan halus di kalbu
belum berpadu. Gejolak rasa masih terpendam. Gadis Yati yang
sebenarnya juga memiliki perasaan sama belum pula mengungkapkan.
Akankah perasaan ini berlanjut menjadi sesuatu hubungan
istimewa? Pikiran dan perasaan Satria menggelora berkecamuk
melawan apapun yang menjadi penghalang bagi dirinya. Sebagai
ksatria muda, perguruan pencak silat olah kanuragan dan kedigdayaan
sebenarnya dia pingin melawan semua ketidakadilan ini. Namun
perintah guru begitu kuat harus dijalani.
Pagi harinya seusai shalat subuh, seluruh pendekar muda
diharuskan berlari kembali melewati hutan menuju Kinahrejo dan
berakhir di Bebeng. Karena ujian akhir akan diadakan dengan olah

Kasih Tak Sampai di Merapi 13


kanuragan dan olah rasa. Ujian yang terberat adalah olah rasa, karena
seluruh siswa perguruan harus bisa menafsirkan perintah dari guru
berdasarkan telepati yang dikirimkan oleh guru.
Satria pun berlari dengan semangat. Ketika melewati Kinahrejo,
sengaja Satria melewati depan rumah Yati. Kebetulan Yati sedang
menyapu halaman dengan jalan yang masih pincang.Berpadu
pandangan mereka sejenak diiringi desiran halus aliran darah, terpadu
pula dengan denyut jantung yang tidak berirama normal kembali
dirasakan oleh dua insan yang dimabuk cinta.
Tiba-tiba gurunya yang berada di belakang Satria segera menepuk
pundak pendekar muda untuk segera melanjutkan perjalanan. Terlihat
Yati meneteskan air mata. Apakah cintanya bertepuk sebelah tangan?
Satria pun berpikir demikian. Perpisahan itu pun tidak diiringi dengan
kata-kata maupun bahasa tubuh.
Satria terhanyut dalam perasaan, ujian olah rasa dan kanuragan
kali ini tidak bisa dilalui dengan baik. Telepati yang diberikan guru tidak
bisa ditafsirkan dengan baik pula. Sang Guru memaklumi kegalauan
hati muridnya yang sangat disayangi. Akhirnya ujian pun selesai dan
mereka pulang ke penginapan.
Satria pulang dengan kawalan ketat guru agar tidak mendekati
rumah Yati. Tapi ternyata Yati tahu juga apa yang jadi perasaan Satria.
Yati mencegat di pojok jalan Dusun, dia hanya mengatakan lirih. "Yati
sanggup menunggu Mas Satria sampai kapanpun".
Hal itu tidak berlangsung lama. Karena Yati segera diajak oleh
orangtuanya untuk pulang.Satria belum sempat mengucapkan kata
pun terus diajak pulang pula oleh gurunya. Satria terdiam, sampai
pulang di kampus tercinta.

14 Kasih Tak Sampai di Merapi


Puntung Rokok
Susanti

Sore itu Rama duduk di teras rumahnya. Dia tampak menikmati


rokok yang dihisapnya. Sejak kelas enam SD, ia sudah mulai merokok.
Sekarang dia sudah kelas delapan SMP. Uang jajannya selalu habis
untuk membeli rokok. Dia mengenal rokok dari teman-teman di
lingkungan sekitarnya. Teman-temanya memiliki usia di atasnya.
Sudah berkali-kali ibunya mengingatkan untuk berhenti merokok.
Rama tetap tidak mau berhenti. Dia sudah kecanduan rokok. Pada sore
itu, ibunya mengingatkan kembali.
“Mas Rama, tolong berhentilah merokok. Itu tidak baik untuk
kesehatanmu. Lihat! Asapnya juga mengotori udara di sekitar kita,” kata
ibunya.
“Sudahlah Bu, aku bosan mendengar ceramah seperti ini terus,”
sahut Rama.
Ibunya terlihat menghela napas. Dengan nada lebih tinggi dari
sebelumnya, ibunya berkata,“Ibu hanya mengingatkanmu. Semua
untuk kebaikanmu!”
“Kebaikan. Kebaikan. Terus saja ucapkan itu. Aku lebih tahu
mana yang baik untukku,” kata Rama dengan nada lebih tinggi dari
ibunya. Dia berdiri dan menatap ibunya dengan tajam. Setelah itu dia
pergi. Ibunya hanya bisa mengelus dada tanpa mengucapkan sepatah
kata pun.
Rama sampai di pos ronda tempat berkumpul dengan teman-
temannya. Di sana sudah banyak para anak muda. Mereka sedang
bermain kartu sambil menikmati rokok. Rama disambut oleh teman-
temanya. Dia duduk bersama mereka. Rokok yang sudah dia nikmati
dari rumah tadi belum habis. Terdengar sorak gembira anak-anak
muda itu. Semua bersenang-senang sampai larut malam.
Di rumah, ibunya berjalan mondar-mandir. Sesekali ia mengintip
keluar dari balik korden jendela. Dia mengkhawatirkan anaknya. Jam
dinding sudah menunjukkan pukul 23.00 WIB. Anaknya belum juga
pulang. Dia takut anaknya terjerumus ke pergaulan yang tidak baik.
Kasih Tak Sampai di Merapi 15
Malam itu anaknya juga belum makan. Walaupun anaknya tadi sudah
menentangnya, dia tetap menyayanginya.
Rama berjalan menuju ke rumah. Pandangannya sudah kabur
karena mengantuk. Yang dia inginkan saat itu hanyalah ingin sampai
rumah. Dia ingin segera tidur. Di sela-sela jarinya masih terselip
puntung rokok yang masih menyala. Benda itu sudah hampir habis.
Sampai di halaman rumah ia membuang puntung rokok itu. Puntung
rokok itu jatuh di tumpukan jerami samping kandang sapi.
Ibunya kaget ketika mendengar pintu dibanting Rama. Di satu sisi
ibunya lega anaknya sudah pulang.
“Mas, syukurlah kamu sudah pulang. Ibu menunggumu dari tadi.
Apa kamu mau makan dulu?”
“Tidak. Aku mau tidur saja,” sahut Rama.
“Apa kamu tidak lapar? Kamu kan tadi pergi sore hari dan belum
makan,” lanjut ibunya.
“Aku sudah ditraktir temanku. Tidurlah, Bu! Aku mau tidur juga,”
kata Rama sambil berlalu menuju kamarnya.
Ibunya pun berjalan menuju pintu. Dia mengunci pintu.
Kemudian dia merapikan korden yang sempat tersibak tadi.
Ibu dan anak itu tertidur dengan lelap di kamarnya masing-
masing. Angin malam itu bertiup lebih kencang daripada malam
sebelumnya. Puntung rokok yang ada di atas tumpukan jerami mulai
menimbulkan api. Nyala api semakin membesar membakar tumpukan
jerami itu.
Bukan hanya tumpukan jerami yang terbakar. Kandang sapi
yang berbahan kayu juga ikut terbakar. Sapi di dalam kandang
mulai mengeluarkan suara meronta. Tidak ada satu orang pun yang
mendengar. Para penduduk seakan terbius oleh mimpi-mimpi mereka.
Begitu pula dengan Rama dan ibunya.
Beberapa menit kemudian lewatlah salah satu tetangga Rama. Dia
baru pulang kerja karena mendapat jadwal piket malam di tempatnya
bekerja. Saat itu api sudah mulai membakar setengah dari dapur
rumah Rama. Rupanya api merambat melalui pagar bambu yang
menghubungkan kandang sapi dan dapur. Tumpukan kayu bakar di
dapurlah yang membuat api tambah besar.
“Kebakaran! Kebakaran! Kebakaran!” teriak tetangga Rama.
Ibunya Rama terbangun mendengar teriakan itu. Asap sudah
memenuhi kamar tidurnya. Dia keluar dari kamar. Ternyata asap sudah
memenuhi seluruh rumahnya. Dia berjalan menuju pintu kamar
Rama. Dia membuka pintu itu dan berteriak membangunkan anaknya
tersebut.

16 Kasih Tak Sampai di Merapi


“Mas! Mas! Bangun! Ayo bangun!” teriak ibunya.
Rama terbangun mendengar teriakan ibunya. Ia melihat seluruh
kamarnya penuh dengan asap. Ia langsung berlari menuju ibunya.
Mereka berdua berlari keluar. Di halaman rumahnya sudah berkumpul
beberapa tetangganya.
“Syukurlah. Kalian segera keluar,” kata seorang tetangganya.
Para tetangganya segera mencari ember dan air. Mereka berusaha
memadamkan api yang sudah membakar kandang sapi dan dapur
rumah. Akhirnya api pun berhasil mereka padamkan. Setelah api
padam, mereka duduk di halaman rumah. Ibunya Rama hanya bisa
menangisi musibah tersebut. Rama menangis sambil berteriak.
“Maafkan aku Ibu. Aku tadi membuang puntung rokok
sembarangan. Aku tidak tahu kalau akan menjadi seperti ini,” kata
Rama.
“Sudahlah, Mas. Ini sudah terjadi. Kamu harus memperbaiki
kesalahanmu. Sapi kita adalah tabungan untuk sekolahmu nanti. Tapi
sudah tiada. Ibu tidak tahu apa rencana Tuhan selanjutnya,” kata ibunya.
“Bu, aku berjanji akan membantu ibu bekerja,” lanjut Rama.
Ibunya masih mengeluarkan air mata. Habis sudah tabungan
untuk masa depan anaknya. Tinggal beberapa bulan lagi anaknya
akan melanjutkan ke SMA. Tentunya membutuhkan biaya yang tidak
sedikit. Dia hanya seorang petani. Hasil panennya juga tidak pasti.
Rama mengeluarkan sebungkus rokok dari dalam saku celananya.
Dia melemparkannya ke tanah. Diinjak-injaknya benda tersebut sambil
berteriak,”Semua karena benda terkutuk ini!”
Bapak-bapak menenangkannya. Ibu-ibu menenangkan
ibunya. Kejadian malam itu membuat Rama sadar. Dia sadar bahwa
kelakuannya sudah merugikan dirinya sendiri dan orang di sekitarnya.
Setelah kejadian itu, Rama tidak merokok lagi.

Kasih Tak Sampai di Merapi 17


Impian
Susanti

Ujian tinggal dua hari lagi. Mirna sudah mengikuti latihan ujian
beberapa kali. Pagi itu ia sudah siap mengikuti pelajaran. Semangatnya
begitu besar. Dia selalu ingin membanggakan orang tuanya.
Semua penjelasan guru ia perhatikan. Pada latihan ujian terakhir ia
mendapatkan nilai terbaik untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia.
Semua tidak membuatnya puas. Ia ingin mewujudkan impian
kakeknya.
Pada saat pelajaran sedang berlangsung, Mirna dipanggil guru
BK, Bimbingan dan Konseling. Guru tersebut menyuruhnya berkemas.
Ia keluar dengan menggendong tasnya.
“Mirna, ada yang menjemputmu untuk pulang,” kata guru
tersebut.
“Memangnya ada apa, Bu?”tanya Mirna.
“Kakekmu meninggal baru saja,” jawab Guru BK tersebut.
“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un,” ucap Mirna lirih. Masih teringat
jelas wajah kakeknya tadi malam ketika menahan sakit. Ia berangkat
sekolah ketika kakeknya tertidur. Tetapi Mirna pun tidak tahu apakah
kakeknya tertidur atau tidak sadarkan diri. Waktu itu, ayahnya sedang
sibuk mencari beberapa tetangga. Ada beberapa tetangga sudah di
depan rumah ketika Mirna mengeluarkan sepedanya tadi pagi. Mereka
membawa buku Yasiin. Barulah sekarang Mirna sadar bahwa mereka
akan mendoakan kakeknya.
Mirna berjalan mengikuti Guru BK. Di sudut kantor sudah duduk
Pak Mardi, tetangga sebelah rumahnya. Pak Mardi langsung berdiri
begitu melihat Mirna datang. Ia menghampiri Mirna.
“Mirna, bapak menjemputmu pulang karena kakekmu
meninggal,” ucap Pak Mardi.
“Iya, Pak. Terimakasih,” sahut Mirna.
Mirna dan Pak Mardi kemudian berpamitan pada Guru BK.
Mereka berjalan menju sepeda motor di sudut halaman sekolah.
Selama perjalanan pulang, air mata Mirna mengalir terus. Ia begitu
18 Kasih Tak Sampai di Merapi
kehilangan kakeknya. Tinggal dua hari lagi ujian. Di dalam hati ia
bertanya mengapa kakeknya diambil Tuhan begitu cepat. Mirna ingin
mewujudkan impian kakeknya. Ia ingin menyerahkan nilai hasil
ujiannya besok untuk kakeknya.
Beberapa menit kemudian mereka sampai rumah Mirna. Rumah
itu sudah penuh dengan orang. Ada tetangganya. Kerabat sebagian
juga sudah datang. Mirna turun dari sepeda motor. Ia berjalan
menuju ruang tamu. Di situlah tempat jenazah kakeknya. Ia tidak kuat
mendekat karena takut air matanya jatuh ke jenazah. Ia hanya melihat
dari jarak dua meter sambil menangis.
“Mirna,” suara ibunya terdengar dari belakang sambil memeluk
Mirna. “Ini sudah yang terbaik buat kakek. Jangan ditangisi. Kakek
sudah bahagia di alam yang lain. Sekarang tinggal kamu wujudkan
impian kakekmu,” lanjut ibunya.
“Iya, Bu,” ucap Mirna lirih.
“Sekarang kamu bersih-bersih dan ganti baju. Setelah itu ikutlah
melakukan salat jenazah,” kata Ibunya kepada Mirna.
Mirna segera menuju kamarnya. Ia bersih-bersih dan ganti baju.
Kemudian mukena ia siapkan di depan kamar. Ia menuju tempat
wudhu. Setelah wudhu, ia raih mukenanya dan melaksanakan
kewajibannya yaitu salat jenazah. Doa ia panjatkan untuk kakeknya.
Dua hari kemudian, Mirna menempuh ujian. Ia tetap semangat
menyiapkan diri untuk ujian. Walaupun sedang dalam suasana
bergabung, ia tetap semangat untuk mencapai impiannya. Ia ingin
membahagiakan orang tua dan juga almarhum kakeknya.
Ia sudah siap di ruang ujian. Semalam ia sudah belajar dengan
sungguh-sungguh. Besar harapan Mirna untuk mendapatkan nilai
yang maksimal. Ia menyiapkan peralatan yang diperlukan dalam ujian.
Beberapa menit kemudian, pengawas ujian datang membawa satu
amplop coklat besar. Salah satu pengawas membacakan tata tertib.
Setelah itu ia menunjukkan keutuhan amplop soal. Pengawas yang lain
kemudian membuka amplop tersebut menggunakan gunting.
Tak lama setelah para pengawas mengecek isi amplop, lembar
jawab dan soal dibagikan. Mirna mengerjakan soal dengan hati-hati.
Ia harus teliti dan jangan gegabah. Ia pun tidak memedulikan beberapa
temannya yang saling tanya. Ia ingin berusaha dengan kemampuannya
sendiri.
Ujian berlangsung selama enam hari. Hari-hari itu Mirna lalui
dengan lancar. Ibadah dan puasa sunnah juga ia jalankan. Untuk
mencapai hasil yang maksimal, dibutuhkan usaha yang maksimal.
Itu adalah motivasinya menuju kesuksesannya. Ia selalu ingin

Kasih Tak Sampai di Merapi 19


membahagiakan orangtuanya.
Sudah satu minggu Mirna berada di rumah. Hasil ujian belum
juga keluar. Tidak ada teman yang menelpon atau SMS. Artinya belum
ada informasi dari sekolah tentang hasil ujian. Di satu sisi ia percaya
nilainya pasti bagus. Tetapi ia juga takut kalau hasilnya mengecewakan.
“Mirna, sarapan dulu sana,” sapa ibunya.
“Nanti, Bu. Mirna masih kenyang,” sahut Mirna.
“Nilai ujiannya belum keluar Mir?”
“Belum, Bu. Kata Bu guru satu minggu setelah ujian,” jawab Mirna.
“Sekarang sudah satu minggu lho.”
“Mungkin besok pagi, Bu,” kata Mirna kemudian. Ibunya pergi ke
dapur ketika telepon berdering. Mirna berlari menuju telepon .
“Hallo! Ini siapa ya?” tanya Mirna.
“Ini Ratih,” sahut si penelpon.
“Ada apa Ratih?” .
“Besok kita disuruh berangkat sekolah. Nilai ujian kita sudah
keluar,” kata Ratih.
“Baiklah. Terima kasih ya.”
Telepon kemudian ditutup. Harapan besar sudah ada di depannya.
Ia berdoa semoga nilai ujiannya bagus. Dengan nilai yang bagus, ia
akan bisa bersekolah di SMA terfavorit.
Keesokan hari, Mirna sudah bersiap berangkat sekolah. Ia
berpamitan dan memohon doa kepada ibunya. Setelah itu, ia berangkat
dengan menaiki sepeda kesayangannya. Beberapa menit kemudian ia
sampai di sekolah.
Mirna mendekati kumpulan teman-temannya di depan papan
pengumuman. Rupanya daftar nilai ujian ditempel di papan tersebut.
Ia mencari namanya di antara deretan huruf. Akhirnya ia menemukan
namanya. Pada kolom jumlah tertulis angka 48,65. Sedangkan pada
kolom terakhir yaitu ranking, tertulis angka 1. Mirna begitu bahagia.

20 Kasih Tak Sampai di Merapi


Sampah Kemasan
Susanti

Riri terlihat sedih. Ia baru saja dimarahi ibunya. Itu semua gara-
gara tumpukan sampah kemasan di meja kamarnya. Ibunya tidak suka
Riri menjadi anak yang ceroboh. Ia tidak bisa menjaga kebersihan
kamarnya. Tapi Riri sudah terbiasa dengan keadaan tersebut. Ibunya
memang suka marah-marah jika melihat tempat yang kotor.
“Ri, Ri, Riri!” terdengar suara ibunya memanggil.
“Iya Bu, sebentar,” sahut Riri sambil berjalan menuju ibunya.
“Tolong sampah yang ada di dapur kamu buang!” perintah ibunya.
“Baik Bu,” sahut Riri sambil lalu. Ia berjalan menuju tempat
sampah di dapur. Ia ambil tempat sampah itu. Ia berjalan keluar menuju
penampungan sampah di luar pagar rumah. Sampai di sana ia buang
sampah itu.
Ia melihat banyak plastik kemasan deterjen dan makanan. Ia ambil
beberapa kemasan tersebut. Kemudian ia bersihkan menggunakan air
kran di depan rumah. Kemasan-kemasan tersebut ia bawa ke kamar. Ia
jadikan satu dengan sampah kemasan yang ada di kamarnya. Supaya
ibunya tidak marah, ia simpan barang tersebut di laci meja belajarnya.
Hari berikutnya, saat pulang sekolah Riri mendengar ibunya
marah-marah. Rupanya sampah kemasan yang ia simpan telah
ditemukan ibunya. Riri sudah menyiapkan diri untuk menerima
omelan ibunya. Tampak ibunya bermuka kesal ketika keluar dari
kamar Riri.
“Kamu itu lhoi. Jadi anak kok jorok banget. Sampah disimpan di
laci meja belajar. Ibu harus bagaimana lagi menasehati kamu. Jagalah
kebersihan kamarmu!” kata ibunya emosi.
“Iya Bu,” kata Riri. Hanya itu yang bisa ia ucapkan supaya masalah
tidak panjang. Ia harus menjaga kedamaian di rumahnya. Ia tidak
mau berdebat dengan ibunya. Berdebat hanya akan membuat masalah
menjadi rumit.
Karena laci meja belajarnya sudah tidak aman, maka Riri mencari
tempat lagi. Ia melihat kardus bekas besar. Dulu itu ia gunakan untuk
Kasih Tak Sampai di Merapi 21
menyimpan buku bekas. Tetapi buku bekas itu sudah dijual oleh
ibunya. Ia masukkan sampah kemasan yang sudah lumayan banyak ia
kumpulkan. Kardus sudah hampir penuh. Ia taruh kardus tersebut di
atas lemari. Karena ibunya pendek pasti tidak bisa mengambil kardus
tersebut.
Ia kemudian istirahat sebentar dan menuju ruang makan. Ibunya
sudah ada di sana untuk menyiapkan makan siang. Ia duduk di kursi
makan. Makanan yang sudah ibunya siapkan, ia santap dengan nikmat.
“Ri, sekarang banyak tikus lho,” kata ibunya sambil duduk.
“Benarkah, Bu?”
“Tadi ibu menemukan beberapa bahan makanan, kemasannya
berlubang. Ada bekas gigitan di salah satu ujung kemasan,” lanjut
ibunya.
“Tikus itu nakal ya Bu.”
“Iya. Oleh karena itu, kamu jangan suka menyimpan sampah di
kamarmu. Nanti kamarmu jadi sasaran tikus.”
Riri terdiam. Ia tidak mau melanjutkan perbincangan itu. Lebih
baik diam daripada membuat masalah. Makanan yang disiapkan
ibunya sudah habis. Riri mencuci piring dan gelas kemudian kembali
ke kamarnya. Di dalam kamar ia kembali mengambil kardus yang
berisi sampah kemasan. Ia membuka buku yang berisi cara membuat
kerajinan dari barang bekas.
Gunting, benang, dan jarum ia ambil dari laci mejanya. Kemasan
yang sudah ia bersihkan sebelumnya, ia potong-potong menjadi ukuran
yang sama. Kemasan deterjen ia kelompokkan jadi satu. Kemasan
makanan ia kelompokkan sendiri juga. Riri mulai menjahit potongan
kemasan menjadi sebuah tas belanja. Selesai membuat tas dari sampah
kemasan, ia rebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ia tertidur pulas.
Ibunya sedang membersihkan rumah ketika itu. Ia masuk ke
dalam kamar Riri. Muka ibunya terlihat begitu kesal ketika melihat
lantai kamar Riri. Di lantai berserakan sampah potongan kemasan.
Mendadak muka ibunya mencair ketika melihat lima buah tas belanja
yang terbuat dari sampah kemasan.
Tas belanja itu diambil. Ternyata selama ini ia berpikir hal yang
salah tentang Riri. Ia berpikir Riri itu jorok karena sering menyimpan
sampah kemasan. Ternyata sampah kemasan itu ia simpan untuk
dijadikan barang kerajinan. Ia begitu merasa bersalah. Riri yang sedang
tidur, ia dekati. Kepala anaknya itu ia elus dengan penuh kasih sayang.
“Maafkan ibu, sayang,” ucap ibunya lirih. “Ibu sudah terlalu sering
menyalahkanmu,” lanjutnya. Air mata menggenang di sudut matanya.
Pelan-pelan air matanya jatuh mebasahi pipinya.

22 Kasih Tak Sampai di Merapi


Ibunya kemudian meninggalkan Riri. Ia keluar dari kamar
tersebut. Di dalam hatinya ia merasa bangga dengan anaknya tersebut.
Anaknya selama ini hanya diam ketika dimarahi. Ternyata ia punya
kegiatan yang begitu mulia. Mengubah sampah menjadi barang
berguna.
Satu jam kemudian Riri terbangun. Ia melihat sekeliling
kamarnya. Lantai kamarnya terlihat begitu berantakan. Barang-barang
untuk membuat tas belanja tadi belum ia bereskan. Sisa-sisa potongan
sampah kemasan juga belum ia buang. Segera ia membersihkan lantai
dan menata kamarnya. Tas belanja hasil kreasinya disimpannya dalam
lemari. Besok sepulang sekolah, ia akan menjualnya ke pusat kerajinan
tangan dari barang bekas.
Keesokkan harinya ia bangun dengan penuh semangat. Ia menuju
ruang makan. Ibunya sudah menyiapkan sarapan di meja makan.
Senyum menghiasi wajah ibunya. Sudah lama Riri tidak melihat
senyum ibunya yang begitu tulus. Biasanya ibunya tampak kesal jika
di pagi hari. Itu mungkin karena ibunya terlalu letih mengatur rumah.
Setelah sarapan, Riri berpamitan kepada ibunya.
“Bu, Riri berangkat sekolah dulu ya,” kata Riri sambil mencium
tangan ibunya.
“Hati-hati ya nak!”
Sebelum keluar rumah, ia menuju kamar untuk mengambil tas
belanja buatannya. Riri mengayuh sepedanya dengan penuh semangat.
Ia mengikuti pelajaran dengan muka yang ceria. Semangatnya begitu
besar. Apalagi ketika ia mengingat senyum ibunya yang begitu tulus.
Setelah bel tanda pulang berbunyi, anak-anak berhamburan
keluar kelas. Mereka ingin segera pulang. Termasuk Riri, ia ingin
segera pulang. Tetapi sebelum pulang ia ingin menjual tas belanjanya
dulu. Setelah itu, ia mampir ke toko untuk membelikan hadiah ulang
tahun untuk ibunya. Ia mendapatkan uang lima puluh ribu dari hasil
penjualan tas. Uang itu ia gunakan untuk membeli jilbab untuk ibunya.
Ia minta tolong pelayan toko untuk membungkusnya menjadi kado
yang cantik.
“Ibu, Riri ada sesuatu untuk Ibu,” kata Riri begitu bertemu dengan
ibunya. Ia berikan kado dari hasil jerih payahnya kepada ibunya. Ibunya
menangis bahagia.

Kasih Tak Sampai di Merapi 23


Anak Letnan
Susanti

Sebut saja namaku Joni. Aku adalah anak seorang letnan. Ayahku
adalah letnan Joko. Semua polisi dan tentara di daerah Yogyakarta kenal
dengan ayahku. Aku adalah anak pemberani. Geng motor “Manly”
adalah tempatku berbagi bersama teman-temanku. Kami berbagi
kebahagian dan kesedihan. Solidaritas sangat dijunjung tinggi dalam
gengku. Jika ada anggota yang tersakiti, maka kami akan membalas
orang yang sudah menyakitinya.
Aku masih duduk di kelas VIII SMP. Tapi aku ikut geng yang
anggotanya berusia dua sampai tiga tahun di atasku. Setiap pulang
sekolah aku berkumpul bersama mereka. Begitu pula siang itu. Aku
nongkrong bersama anggota geng yang lain. Kami sedang menunggu
beberapa teman yang masih sekolah.
Agenda hari ini kami akan menyerang salah satu anak laki-laki,
siswa SMA 2 Melati. Anak tersebut kemarin telah menampar adik
dari salah satu anggota geng kami. Anak laki-laki menampar anak
perempuan. Tentu kami harus membalas.
“Joni, apa kau sudah siap dengan senjatamu?” tanya temanku.
“Tentu saja Bang, ini seperti rencana kita. Hanya untuk menakut-
nakuti anak itu,” sahutku.
Pistol ayahku tadi pagi aku ambil dari laci kamarnya. Pistol ini
hanya untuk menakut-nakuti saja. Tidak ada peluru di dalamnya.
“Ayo anak-anak, kita habisi dia!” perintah komandan geng kami.
“Siap,” sahut kami secara kompak. Kami mengendarai sepeda
motor seperti kilat. Tujuan kami adalah jalan samping SMA 2 Melati.
Anak yang menjadi sasaran kami biasa pulang lewat sana. Beberapa
menit kemudian sampailah kami di sana. Kami menunggu sasaran
kami lewat.
Sepuluh menit kami menunggu. Yang kami tunggu akhirnya
datang.
“Itu dia. Ayo serang!” perintah komandan kami. Kami berlari
menuju anak sasaran kami.
24 Kasih Tak Sampai di Merapi
Komandan kami baru memegang baju anak tersebut ketika
terdengar sirine polisi. Aku, komandan geng dan beberapa temanku
tertangkap polisi. Beberapa temanku yang lain berhasil menyelamatkan
diri. Ini bukan pertama kalinya aku masuk kantor polisi. Sudah
beberapa kali aku masuk kantor polisi gara-gara tawuran. Akan tetapi
aku selalu dibebaskan dalam waktu kurang dari 24 jam. Itu karena
ayahku adalah Letnan Joko. Semua polisi mengenal ayahku. Mereka
segan dengan ayahku. Aku yakin kali ini pun aku akan segera bebas.
Di rumah ibuku mencemaskanku. Ayah sedang menikmati
secangkir kopi sambil menonton acara musik di televisi. Ketika itu
terdengar dering telepon.
“Hallo!” seru ibu ketika mengangkat telepon.
“Hallo ibu. Kami dari kantor polisi. Hari ini kami menangkap
anak Ibu, mas Joni. Dia terlibat dalam tawuran antar siswa. Pistol juga
kami temukan di tasnya,” kata polisi yang menelapon.
“Baik Pak, kami akan segera ke sana. Terima kasih Pak polisi,”
sahut ibuku sambil menutup telepon.
Ia kemudian berjalan menuju tempat ayahku duduk. Dia
menghela napas panjang.
“Ada apa, Bu? Sepertinya ada masalah,” tanya ayah.
“Telepon dari kantor polisi. Lagi-lagi anak kita tawuran, Yah.
Pistol Ayah juga dibawa tuh,” kata ibu santai.
“Sebentar lagi kita ke sana. Tunggu sampai kopiku habis. Ibu
beres-beres dulu saja sana. Ini kan masalah biasa. Kali ini harus kita
bikin jera anak itu. Biar tahu tanggung jawab. Masih kelas VIII SMP
kok sudah banyak bikin masalah,” kata ayah panjang lebar.
“Terserah, Yah. Apa pun keputusanmu, ibu ngikut aja,” sahut ibu.
Ibu kembali ke dapur untuk beres-beres. Kemudian ia menuju
kamar untuk bersiap menuju kantor polisi.
“Bu, ayo berangakat!” terdengar ayah memanggil.
Ibu segera menuju ke tempat ayah. Mereka berdua menuju
kantor polisi tempat aku ditahan. Malam itu aku merasa menjadi anak
yang malang. Bagaimana tidak? Ayahku tidak mau membebaskanku.
Katanya aku harus berlatih tanggung jawab.
“Pak polisi, biarkan Joni ditahan dulu di sini. Biar dia rasakan
dinginnya sel tahanan,” kata ayah kepada polisi malam itu.
“Joni, jadikan ini pelajaran. Ibu berharap ini tidak terjadi lagi,” kata
ibu kepadaku.
Walau bagaimanapun ini tetap salahku. Aku harus bertanggung
jawab. Aku tidak boleh lari. Apa lagi menggunakan jabatan ayahku untuk
lari dari tanggung jawab. Satu minggu aku manjalani kehidupanku di

Kasih Tak Sampai di Merapi 25


tahanan. Memang tidak ada enaknya tinggal di tahanan. Aku tidak
mau mengulanginya lagi.
“Mas Joni, sekarang keluarlah. Hari ini mas Joni bebas,” kata polisi
yang membukakan pintu sel.
“Terima kasih, Pak,” kataku.
“Jangan diulangi lagi ya Mas. Kami tidak ingin menangkapmu
lagi,” lanjut Pak polisi.
“Siap pak,” sahutku sambil tersenyum.
Aku keluar dari kantor polisi itu. Rasanya udara di luar jauh lebih
segar daripada sebelumnya. Jelas saja. Itu karena aku sudah satu minggu
terkurung dalam ruangan pengap. Aku berjalan menuju pangkalan
ojek.
“Ojek Pak,” sapaku pada bapak-bapak yang sedang duduk di atas
sepeda motor.
“Iya Dik. Mari mau ke mana?” tanyanya padaku.
“Jalan Cenderawasih nomor 15,” jawabku dengan tersenyum.
Aku langsung naik ke boncengan sepeda motor itu. Beberapa
menit kemudian kami tiba di rumahku. Tampak ibu sedang menyapu
halaman. Setiap hari memang ibu menengokku. Tetapi rasanya tetap
saja aku rindu padanya. Aku turun dari sepeda motor.
“Sebentar ya Pak. Saya ambil uang dulu,” kataku kepada bapak
tukang ojek yang aku tumpangi.
“Baik Dik,” sahutnya.
Aku berlari menuju tempat ibuku. Ibu tersenyum melihatku. Aku
memeluknya erat. Ibu membelai kepalaku dengan penuh kasih sayang.
“Bu, minta uang buat bayar ojek,” kataku masih di pelukan ibu.
“Kamu itu. Merusak suasana saja,” kata ibu sambil melepaskan
pelukkannya. Ia berjalan menuju bapak tukang ojek. Ibu menyerahkan
uang kepadanya. Bapak tukang ojek kemudian pergi. Ibu kembali
menghampiriku dan mengajakku masuk ke rumah.
“Jon, besok kami harus pamitan kepada para gurumu,” kata ibu.
“Lho, kenapa Bu?” tanyaku kaget.
“Kamu dikeluarkan dari sekolah itu. Kamu akan pindah sekolah,”
jawab ibu. Jawaban ibu membuatku kaget. Ternyata kesalahanku telah
berdampak buruk. Aku sadar. Aku tidak akan mengulangi hal yang
sama.
Sekolah baruku besok adalah awalku menuju Joni yang
baru. Sudah tidak ada lagi geng motor. Tawuran sudah hilang dari
kehidupanku. Belajar menuju kesuksesan adalah tujuan utamaku saat
ini. Kata maaf tidak akan pernah habis. Kata itu untuk ayah, ibu, guru
dan teman-temanku. Anak letnan harus aku bersihkan.

26 Kasih Tak Sampai di Merapi


Sebuah Status
Susanti

Rino adalah anak dari kepala desa. Semua keinginannya selalu


dipenuhi oleh orang tuanya. Tidak terkecuali keinginannya kali ini.
Ia minta dibelikan smartphone. Ia ingin punya seperti temannya.
Selama ini ia hanya meminjam milik ibunya jika ingin menghubungi
temannya.
Oranguanya segera memenuhi keinginannya. Sebuah smartphone
keluaran terbaru diberikan oleh ibunya sebagai hadiah ulang tahun.
Rasanya senang sekali. Rino bisa menampilkan foto-foto kegiatannya
di statusnya. Setiap menit bahkan detik ia bisa memperbarui statusnya.
Ia pun juga bisa melihat status teman-temannya.
Siang itu dia membuat status tentang keberadaannya di sebuah
tempat wisata bersama teman-temannya. Padahal waktu itu adalah jam
les di sekolah. Ia tidak peduli dengan apa yang ia lakukan.
Ketika sampai rumah, ia melihat ayah dan ibunya berada di kamar
tamu. Muka keduanya begitu seram. Mereka sedang marah. Rino tidak
tahu jika mereka marah karena statusnya.
“Rino, darimana kamu?” tanya ayahnya dengan nada agak tinggi.
“Dari sekolah, Yah,” jawab Rino.
“Jangan bohong kamu,” bentak ayahnya sambil berdiri. Ibunya
terlihat menenangkan ayahnya.
“Buat apa aku bohong. Kalau ayah tidak percaya padaku, tanya
saja pada Bobi,” sahut Rino dengan keras.
Rino pergi dari ruang tamu menuju kamarnya. Sampai saat itu, ia
belum tahu kalau ayahnya telah membaca statusnya. Rino tidak mau
ambil pusing. Ia mandi lalu menuju ruang makan. Terlihat ibu dan
ayahnya sudah menunggu di sana.
Rino duduk di dekat ibunya. Mereka makan dengan lahap.
Biasanya ayahnya selalu banyak bercerita tentang hal-hal lucu. Kali
ini ia hanya diam. Bahkan ia tidak melihat ke Rino sama sekali. Rino
belum juga paham kalau ayahnya sudah mengetahui kesalahannya.
Rino benar-benar bingung dengan sikap ayahnya malam
Kasih Tak Sampai di Merapi 27
itu. Setelah makan, ayahnya menuju teras. Ia nyalakan rokok dan
menghisapnya. Rino mendekati ayahnya.
“Yah, Rino ada salah ya?” tanyanya.
Ayahnya hanya diam. Dia seperti tidak mempedulikan
keberadaan Rino di situ. Rino semakin bingung. Biasanya apa pun
salahnya selalu ditegur oleh ayahnya. Malam itu ayahnya hanya diam.
Apapun pertanyaan Rino tidak dijawab. Kemudian ia menemui ibunya.
“Pikirlah sendiri. Carilah kesalahanmu dan perbaikilah,” kata
ibunya ketika ditanya Rino.
Kata-kata itu tidak bisa hilang dari kepalanya. Apa kesalahannya
hari itu? Ia belum juga bisa menemukannya. Ia bermain smartphone
untuk menghilangkan keresahan hatinya. Kemudian ia menelpon Jodi.
“Jod, apa ayahmua pernah marah padamu?” tanya Rino memulai
obrolannya dalam telepon.
“Tentu saja,” jawab Jodi.
“Pernahkan kamu tidak tahu alasan ayahmu marah?” tanyanya
lagi.
“Pernah,” jawab Jodi.
“Hari ini ayah dan ibuku marah padaku. Setiap aku tanya
kesalahanku apa. Mereka tidak mau menjawabnya. Aku ingung Jod,”
jelas Rino.
“Apa pertanyaan ayahmu ketika pertama kali kamu datang?”
tanya Jodi.
“Kamu dari mana? Begitu pertanyaan ayahku. Aku jawab saja dari
sekolah. Coba, salahku di mana Jod. Tapi ayah tidak percaya dengan
jawabanku,” lanjutnya.
“Nggak ada yang salah. Memang tadi kita seharian di sekolah
karena ada les. Kok bisa ayahmu tidak percaya dengan jawabanmu?”
tanya Jodi selanjutnya.
“Aku juga tidak tahu Jod.”
Lumayan lama perbincangan mereka terhenti dalam telepon.
“Rino! Rino!” panggil Jodi.
“Ya, ada apa?” tanya Rino.
“Lihatlah statusmu tadi siang!” perintah Jodi. Rino membuka
status-statusnya. Ia melihat pada saat jam les ia membuat status. Status
itu menunjukkan fotonya bersama teman-temanya. Foto itu diambil
seminggu lalu ketika mereka main bareng sepulang sekolah. Latar foto
itu adalah sebuah tempat wisata. Tadi siang ia baru saja mendapatkan
kiriman foto itu dari Tio. Setelah itu ia pajang dalam statusnya. Padahal
saat itu jam les.
Ia baru mengerti apa yang membuat ayah dan ibunya marah.

28 Kasih Tak Sampai di Merapi


Mereka mengira Rino membolos lalu pergi ke tempat wisata bersama
teman-temannya. Ia lalu langsung keluar dari kamar. Ia berjalan
menuju tempat ayahnya menonton televisi.
“Yah,” Rino memulai perbincangannya. “Ayah marah karena
statusku tadi siang ya?” tanya Rino.
“Lha itu kamu tahu. Kenapa tadi siang tidak mau jawab jujur,” kata
ayahnya dengan nada tinggi.
“Yah, masih ingat tidak? Seminggu lalu aku minta izin sepulang
sekolah mau main dengan teman-temanku,” tanya Rino.
“Masih. Kalian ke Pantai Indah kan? Diantar ibunya Aldo,” jawab
ayahnya.
“Nah, itu ingat.” kata Rino. “Foto yang ada di statusku siang
tadi adalah foto seminggu yang lalu. Saat aku main bersama teman-
temanku di Pantai Indah.”
“Ooo, berarti ayah dan ibu salah sangka padamu,” kata ayahnya.
“Maaf ya Nak,” lanjutnya lagi dengan tersenyum.
Mereka kemudian nonton televisi sambil ngobrol seperti malam-
malam sebelumnya. Hanya sebuah status ternyata dapat membuat
perselisihan.
“Rino, ayah ada pesan buat kamu. Berhati-hatilah dalam membuat
status. Perhatikan waktu dan kegiatan yang akan kamu bagikan. Jangan
sampai membuat orang lain salah sangka. Hari ini hanya ayah dan ibu
yang salah sangka karena sebuah status. Tetapi selanjutnya bisa saja
orang lain salah sangka kepadamu. Jagalah namamu. Jangan sampai
ini terulang lagi,” jelas ayahnya kepada sebagai pesan malam sebelum
tidur. Ayahnya selalu memberikan pesan kepada Rino sebelum tidur.
Hari itu adalah hari yang paling berkesan untuk Rino. Membuat
status pertama dengan smartphone barunya. Sebuah status yang
membuatnya lebih berhati-hati lagi dalam membuat status untuk ke
depannya.

Kasih Tak Sampai di Merapi 29


Bunga Kertas
Rita Tiaswari

Wajah anak itu menelungkup itu diantara tangisnya. Aku tidak


bisa membayangkan andaikan orangtuanya mengetahui apa yang
terjadi pada anak gadisnya tersebut.Masih dalam hitungan jam yang
lalu kehebohan terjadi. Atas laporan siswa dari status media sosial,sosok
gadis muda telah terekspos dalam foto layaknya bintang film porno XX.
Gadis itu sebagian wajahnya jelas terlihat. Dia yang duduk menangis
didepanku. Jaman sekarang betapa cepat melebar berita yang tersaji
dimedia masa. Dengan mudah dibagikan ke beberapa akun media
sosial.
“Mbak, kamu tahu di foto?” tanyaku dengan suara parau.
“Iya,tapi saya dipaksa Bu,” gadis itu menjawab ditengah isak
tangisnya.
“Siapa dia?” kataku sambil memegang tangannya.
“Pacar saya,” tertunduk gadis itu menjawab dengan pelan
“Ya ampun, kamu sudah sejauh itu?“ rasanya dadaku begitu sesak
mendengarnya.
Dengan terisak Tiara menceritakan awal mula sampai terjadinya
insiden fotonya dimuat disebuah akun medsos. Bisa jadi kini sudah
dibagikan ke puluhan orang. Dia sangat malu dengan teman-temannya
dikelas. Pacarnya tega melakukan itu hanya karena tidak mau diputus.
Baru satu tahun berjalan ia berhubungan dengan pacarnya.Dia
mengenalnya tanpa sengaja. Ketika itu dia mencari ayahnya yang
sedang bekerja karena ibunya sedang sakit. Saat itu handphone ayahnya
tidak bisa dihubungi. Karena itu dia menemui ayahnya di tempat kerja.
Saat itulah dia berkenalan dengan Agus, penjaga parkir di salah satu
gerbang menuju tempat wisata.
Pada awalnya mereka hanya saling kasih kabar dengan handphone.
Tak jarang juga menelpon sampai malam. Dunia seolah bagai milik
berdua. Mereka bahagia. Agus adalah anak DO SMA. Ia tidak dapat
melanjutkan karena sudah jarang masuk sekolah. Orangtuanya
bercerai. Wajar anak itu menjadi tidak terurus.
30 Kasih Tak Sampai di Merapi
Pasangan muda yang sedang dimabuk asmara. Masa-masa
indah. Pada awalnya hanya sebatas sms-an, telpon dengan paket
gratis, akhirnya berlanjut pada kontak fisik. Mereka berdua suda
berani boncengan, berpegangan tangan. Terlebih saat berdua. Semakin
hari semakin bertambah dari sekedar berpegang tangan, berciuman
pipi akhirnya berlanjut memenuhi godaan syetan. Entah belajar dari
mana, Agus seperti pemain yang sudah berpengalaman. Ia bebas
memperlakukan Tiara. Dia seolah memiliki trik bagaimana Tiara bisa
dengan mudah jatuh ke dalam rayuannya.
Masih kuingat seminggu yang lalu gadis itu berada dikantin.
Dengan santainya dia jajan padahal saat itu jam pelajaran. Aku pegang
lengannya, tanpa sengaja dia meringis kesakitan. Ternyata lengannya
memar karena disakiti ayahnya. Ayahnya memarahinya, lalu menabok
dengan keras. Aku mengecek langsung lengannya. Memang terlihat
cukup keras.Entah apa yang terjadi. Mungkin saja dia menjawab ketika
dinasihati orangtuanya. Mungkin dia menjawab dengan tidak sopan.
“Tiara, ini jamnya siapa?” kusapa dia saat itu.
“Eh....siapa ya, bahasa Inggris, Bu,” jawabnya sambil senyum
senyum.
“Terus, kenapa bisa ke kantin?“
“Hiii...haus Bu. Saya pamit ke toilet.”
“Sudah cepat ke kelas!” kataku sambil memegang lengannya.
“Duhhhh.....sakit!” dia nampak menyeringai.
Tiara wajahnya hitam manis. Ia terlihat centil dan pemberani
dibanding teman perempuan satu kelasnya. Suaranya lantang
dengan gaya bicara yang ceplas ceplos. Terkesan kurang menjaga
adat kesopanan. Dia tinggal didekat kawasan wisata dibawah pesona
Gunung Merapi. Ayahnya bekerja sebagai penggali pasir. Sudah
menjadi rahasia umum disekitar itu terdapat banyak losmen dan hotel
kecil kelas melati. Yang menginap disana kebanyakan bukan pasangan
resmi. Mereka berhubungan gelap, semua seolah sudah menjadi satu
paket dengan kegiatan wisata didaerah sana.
Pemandangan gunung yang sejuk. Penggalian bahan material
tambang yang menjadikan kemakmuran masyarakat disekitar sana.
Juga wisata kuliner yang beraneka ragam menarik wisatawan yang
ingin menghabiskan akhir pekan dengan nyaman. Tidak sedikit
pengunjung dari luar kota menghabiskan waktu dengan nyaman di
sana.
Karena itu para remaja di sana biasa menyaksikan berbagai
pemandangan yang menarik. Berpuluh pasangan yang memadu kasih
diarea mereka. Mereka juga menikmati pesona pegunungan. Ada yang

Kasih Tak Sampai di Merapi 31


menikmati dari sisi timur, sisi selatan, sisi utara. Tempat tinggal Tiara
terletak di kawasan itu.
Lalu dia menjadi korban salah pergaulan. Itulah dampak negatif
remaja yang tinggal di daerah wisata. Hal itu bisa menjadi pelajaran
bagi para orangtua.
Ibaratnya, Tiara jadi bunga kertas yang sudah lusuh di masa
remaja.

32 Kasih Tak Sampai di Merapi


Cinta Yang Kandas
Ristohadi S.

Yandi pemuda tampan asli Palembang. Ia dosen Fakultas


Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jurusan Pendidikan Sejarah di
Universitas Sriwijaya. Ia mengambil studi lanjut Program Doktor
Program Studi Ilmu Sejarah di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia di Jakarta.
Untuk merampungkan disertasinya, ia memerlukan data
otentik tentang candi-candi di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta dan Jawah Tengah.
Selama mengumpulkan data ia akan tinggal di rumah Pak
Ngatman, Lurah Desa Bokoharjo, Kecamatan Prambanan. Rumah
itu memang sering dijadikan tempat mondok para peneliti karena
dianggap strategis. Ia mendapatkan rekomendasi tempat ini dari
profesornya yang asli orang Sleman. Ia akan tinggal di situ selama enam
bulan.
Hari itu ia datang ke rumah tersebut setelah terbang dari Jakarta.
Begitu ia mendarat di Bandar Udara Internasional Adisutjipto, langsung
menuju ke Prambanan.
Marni anak Pak Ngatman yang menyambut kedatangannya.
Gadis cantik kembang desa. Saat bertemu, keduanya beradu pandang.
Tiba-tiba berdesirdada Yandi bagai sebuah anak panah menancap di
jantungnya.
Setelah ia dipersilakan masuk dan duduk, beberapa saat datang
seorang yang nampak tua namun terlihat gagah.
“Monggo, Nak Yandi ya?” Pak Ngatman menyapa.
“Iya Pak. Bapak Ngatman?” Yandi mencoba berbicara akrab.
“Iya, iya. Nak Yandi nanti akan ditemani putri saya. Dia Magister
Ilmu Sejarah di UGM,” terang Pak Ngatman.
Dalam hati Yandi kagum. Btapa hebatnya Marni. Selain cantikjuga
pintar. Magister lulusan kampus terkenal di Yogyai. Sungguh pantas jika
ia mengidamkan Marni sebagai isterinya. “Doktor Yandi dan Magister
Marni, pas,” gumamnya dalam hati.
Kasih Tak Sampai di Merapi 33
Setelah istirahat, hari itu juga Marni mengajak Yandi ke Candi
Prambanan.
“Mas Yandi, ini Candi Prambanan. Dibangun pada abad sembilan
oleh Rakai Pikatan raja keenam Kerajaan Medang. Dia penerus Wangsa
Sanjaya. Ini Candi Hindu terbesar Mas. Dan jadi tandingan Candi
Borobudur yang merupakan Candi Buddha terbesar. Dibangun oleh
Wangsa Sailendra yang dulu berpusat di Sumatra. Tempatmu to Mas?”
Marni menjelaskan sejarah dengan sangat detail.
“Ooiya, ya, “ Yandi sempat gugup. Namun ia nampak bangga. Ia
kembali membayangkan, jika kelak dia menjadi pendampingya.
“Marni, aku suka kamu menjelaskan ini dengan rinci,” kaya Yandi
mencoba mengalihkan kegalauannya hatinya. Karena ia sudah jatuh
cinta. Marni nampak sedikit kaget namun buru-buru mengalihkannya
juga.
Dari Prambanan keduanya menuju ke Candi Ratu Boko.
“Kalau ini Situs Ratu Boko atau biasa disebut Candi Boko, Mas.
Situs ini diduga sebagai istana Ratu Boko ayah dari Loro Jonggrang.
Merupakan candi induk di Candi Prambanan tadi,” terang Marni.
Selain asal-usul dia juga menjelaskan tentang seni pahat dan desain
bangunan dari kedua candi tersebut.
Tak terasa sore telah menyergap. Sunset di Situs Ratu Boko
menjadi objek menarik para wisatawan.
“Marni, indah sekali ya pemandangan sore di sini. Aku suka,”
ucap Yandi. Ingin sekali lagi ia mengungkapkan rasa cintanya pada
Marni, namun belum berani.
Pagi itu sehabis mandi Yandi disuruh sarapan.
“Mas, monggo gudegnya didhahar,” ibunya Marni menyajikan
sarapan.
“Njih Bu, nuwun.” Ia mencoba berbahasa Jawa walaupun masih
kaku setelah lebih kurang tiga bulan di Prambanan.
Hari itu ia dan Marni menuju ke Candi Borobudur. Perjalanan
ke Candi Borobudur memerlukan waktu sekitar 45 menit. Waktu
segitu, bersama Marni terasa cepat sekali.
Setelah mendapatkan penejelasan panjang lebar tentang sejarah
Candi Borobudur, Marni mengajaknya ke puncak candi dan merogoh
arca dari lubang-lubang stupa. Konon siapa yang dapat menyentuh atau
memegangnya, maka permintaan atau keinginannya akan terwujud.
“Mas Yandi, ayo coba sampai ndak tangan Jenengan?” ajak Marni.
“Sedikit lagi bias,” kata Yandi.
Namun seorang petugas menyuruhnya untuk segera turun.
Malam itu Yandi sudah tidak tahan mengungkapkan isi hatinya.

34 Kasih Tak Sampai di Merapi


Karena ia sudah harus kembali ke Jakarta.
“Marni sudah enam bulan aku disini. Sudah saatnya aku
menyampaikan ini kepadamu. Sungguh sejak awal perjumpaan kita,
aku betul-betul jatuh hati kepadamu. Aku bermaksud melanjutkan
hubungan ini. Aku akan ajak ayah dan ibuku ke sini untuk
meminangmu. Bagaimana?”
Marni tidak bisa memberi jawaban seketika itu juga. Meski dalam
hati ia merasa senang.
“Besok aku akan ke Jakarta untuk merampungkan disertasiku ini.
Lebih kurang enam bulan program doktorku selesai. Kuharap kamu
mau menungguku kembali ke sini.”
Marni tetap diam. Namun dari wajahnya terlihat bahwa dia
bersedia menunggunya.
Proses penyusunan disertasi akhirnya lebih cepat dari waktu yang
diperkirakan Yandi. Ujian doktornya sudah dituntaskan dengan hasil
Summa Cum Laude dengan indeks prestasi 3,92.
Setelah menyelesaikan studinya, ia pulang ke Palembang. Ia
selesaikan urusan administrasi di Universitas Sriwijaya. Dia sudah
resmi menyandang gelar doctor. Dr. Yandi Permana Sumadi, M.Sc.
Karena sudah dianggap mampu menikah, ia menyampaikan
maksud hatinya. Minta kedua orangtuanya untuk meminang gadis
idamannya. Setelah persiapan cukup matang ia bersama keluarga
bersiap ke Sleman.
Lama waktu perjalanan dari Palembang ke Yogyakarta lebih
kurang satu setengah jam. Perjalanan cukup lancer. Iia dan keluarganya
telah sampai ke Yogyakarta dan langsung menuju rumah Marni.
Bu Murni yang menyambut kedatangan mereka. Tak lama
kemudian muncul suaminya dari dalam. Betapa terkejut Pak Madi
melihat sesosok orang yang pernah dicintai 27 tahun yang lalu.
Ditambah lagi sosok Pak Ngatman yang sangat ia benci. Ternyata Pak
Ngatman adalah Bejo Suwito yang merebut Murni darinya.
“Ooo jadi kamu Bejo, Bapak dari Marni?” kata Pak Madi dengan
nada tinggi.
Yandi dan Marni yang berada di belakang terkejut karena
terdengar percekcokan itu. Keduanya lantas ke depan.
“Yandi kita pulang, dan jangan lagi kau hubungi Marni atau Bejo
ini,” Pak Madi marah dan sangat emosional. Bu Murni segera lari ke
belakang. Teringat akan kejadian 27 tahun yang lalu.
“Marni, masuk!” Pak Ngatman juga nampak marah.
Pak Madi memutuskan untuk langsung pulang ke Palembang.
Termasuk Yandi yang nampak bersedih dan kecewa berat.

Kasih Tak Sampai di Merapi 35


Salah Jalan
Suci Nurasih

Pagi itu sekolah masih terlihat sepi. Tiap-tiap kelas banyak yang
belum hadir. Aku datang masih awal. Keluargaku membiasakan
anak sekolah harus berangkat lebih pagi, ketimbang kesiangan bisa
terlambat. Kemudian datang Andre teman sekelasku. Wajahnya ceria
penuh semangat.
“Selamat pagi Ras,” sapaan pagi dari Andre yang suka ramah
dengan teman.
“Hai Ndre, pagi juga,” responku.
“Apa kabar denganmu?”
“Baik, Ndre. Bagaimana denganmu, baik juga, kan?”
Andre punya teman namanya Dimas. Kakak kelas. Aku kenal
dengannya, orangnya tampan lagi pandai. Tapi aku gak pernah bergaul
dengannya.
“Ras, kamu dapat salam dari temanku,” kata Andre.
“Temanmu siapa?” aku balik bertanya.
“Itu kelas IX A,” lanjut Andre menegaskan.
“Siapa dia,?” tanyaku balik.
“Namanya…, nanti aja.”
“Salam apa?”
“Salam persahabatan dong,” jawab Andre.
“Baik, salam kembali,” jawabku untuk mengakhiri pembicaraan.
Karena terlihat teman-teman sudah pada dating. Membuat perasaanku
tidak enak.
Tak lama kemudian, datang beberapa teman. Pembicaraan
dengan Andre terputus. Tak lama kemudian bel berbunyi, pertanda
sekolah masuk. Pelajaran segera di mulai.
Pelajaran belum lama dimulai, Namun aku tidak fokus menerima
pelajaran. Hati dan pikiranku masih terngiang pembicaraan tadi
dengan Andre. Hal mendapat salam dari kakak kelas dan juga belum
tahu siapa dia.
Lonceng berbunyi tanda istirahat pertama. Aku berusaha
36 Kasih Tak Sampai di Merapi
menemui Andre.
“Ndre, aku ingin kau melanjutkan yang tadi pagi!” kataku.
“Yang mana Ras?” Andre balas tanya. “Dari Dimas, ya?”
Aku mengangguk. “Salam kembali ya nDre.” Dimas itu kakak
kelasku. Dia kelas III. Sepertinya dia siswa yangpandai di kelasnya. Juga
lancar bahasa Inggrisnya.
Bel berbunyi, penanda waktunya masuk kelas. Pelajaran pun
segera dimulai

***

Pagi itu, aku seperti biasa berangkat ke sekolah lebih awal.


Menyusul Andre, dia mendekatiku.
“Saras, kau dapat salam lagi dari Dimas. Dia ingin bertemu
denganmu.”
“Oya. Mau apa dan di mana?”
“Ya mau kenalan dan minta ngisi diari.”
“Baik Ndre, aku mau asal kau menemaniku. Habis aku ada
perasaan takut dan tidak enak kalau dilihat orang banyak.”
“Boleh, aku nanti menemani kamu berdua.”
Akhirnya aku bertemu dengan Dimas.
“Hai Saras,apa kabar. Aku Dimas. Menjumpaimu bermaksud
ingin berkenalan sama kamu. Apakah kau mau?” tanya Dimas.
“Boleh.”
“Terimakasih kau sudah mau menerimaku.Sebagai tanda
persahabatan, kau isi diariku ini ya. Ini aku ngasih foto, kuharap kau
juga ngasih foto sama aku.”
Aku tersenyum. Sekarang sahabatku tambah satu, yaitu kakak
kelasku bernama Dimas.
“Saras ini kamu dapat titipan sesuatu si dia,” kata Andre suatu saat.
“Apa ndre?”
“Di dalam buku ini. Ambil saja.”
“Oya. Terimakasih.”
Mata hatiku melihat Andre. Sebetulnya dia juga ingin kenal lebih
dekat denganku. Seperti halnya Dimas, namun dia tak berani untuk
mengutarakannya.
Pertemananku dengan Dimas berlangsung baik dan lancer.
Setelah itu dia suka kirim surat dengan perantaran Andre. Akupun titip
balasan surat melelui Andre juga.
Dimas juga sering memantauku walau sebentar ketika aku
menerima pelajaran di kelas.Tidak hanya itu, dia kadang berkunjung

Kasih Tak Sampai di Merapi 37


ke rumahku.
Dalam hatiku bertanya, apakah seperti ini bisa disebut pacaran.
Tapi aku menolak kalau disebut pacar. Mengingat usiaku masih sangat
muda, masih termasuk pendidikan dasar. Inikah yang dinamakan
cinta monyet. Biarlah berlangsung seperti ini, yang penting aku tidak
mengangggapnya sebagai pacar. Aku akan menyebut hubungan ini
sebagai persahabatan.
Sepertinya Dimas menginginkanku lebih dari persahbatan.
Karena dia sudah kelas IX dan sebentar lagi sudah mau duduk di
bangku SMA.
Di sekolah, pelajaran yang sulit kupahami adalah matematika
dan bahasa Inggris. Aku mesti butuh orang yang bisa membimbingku.
Sementara orang yang kepandaiannya di atasku adalah. Andre jagoan
dikelasnya untuk matematika dan bahasa inggris. Ketika aku punya
tugasPR aku minta tolong Dimas untuk mengajari. Tentu saja melalui
Andre.
Sepertinya Andre ingin punya posisi di hatiku, layaknya aku
dengan Dimas. Dia sering ngajak ngobrol. Juga tidak kencan tahu-tahu
nylonong datang ke rumah untuk berkunjung.
Seiring berlalunya waktu, tibalah saatnya memasuki semester
genap. Yang kelas bawah akan ujian kenaikkan kelas dan yang kelas
paling atas sudah menjelang ujian kelulusan.
Dimas dinyatakan lulus ujian, dan diterima di SMA yang letaknya
tidak begitu jauh dari sekolahku. Kalau pulang sekolah dia kadang
langsung main ke rumah untukcurhat tentang situasi di sekolah yang
baru itu.
Dan tahu-tahu setahun telah terlewati. Aku juga lulus dari sekolah
SMP, saatnya mencari sekolah lanjutan. Tapi aku tidak satu sekolahan
sama Dimas, Andre pun juga tiidak satu sekolahan. Kami semua
berpisah dalam menuntut ilmu,
Seiring berjalannya waktu, aku banyak kegiatan dan kesibukan.
Komunikasi kamijarang terjadi. Yah, cinta yang tak berbalas. Akhirnya
kami semua berpisah?
Cinta tidak harus memiliki. Boleh saja bercinta, karena cinta
pemberian Yang Kuasa. Semua berhak memberi atau menerimanya.

38 Kasih Tak Sampai di Merapi


Diana
Tutik Suwartini, S.Pd.

Ruangan berukuran 6x5 meter tampak sunyi. Yang empunya


sibuk mempersiapkan pertempuran. Tidak lama lagi. Tinggal
menunggu dalam hitungan tiga kali dua puluh empat jam. Mereka
memasang anak panah, menarik tali busurnya. Anak panah melesat,
dilepaskan tepat setelah tali busur mengendur sempurna. Belum lagi
pedang disabetkan dengan serangan maut. Membuat Diana bergidik
ngeri.
“Teman-teman mengapa kalian serius sekali. Benar-benar seperti
perang sungguhan,” Diana mendengus kesal. Tidak seorangpun
menoleh. Gadis itu berteriak sekali lagi. Kali ini lebih kencang.“Hei!”
Beberapa dari mereka tak peduli. Beberapa hanya berpaling nol
koma satu detik, lantas kembali berkutat dengan buku-buku tebal yang
memuakkan. Beberapa tampak sebal, namun memilih diam. Tak ingin
membuang waktu untuk berdebat.
“Hei, Diana! Masih pantaskah kamu disebut manusia. Kamu
selalu mengganggu kami dengan ocehanmu yang tak berguna itu.
Ujian akhir semester tinggal hitungan hari. Tapi kamu malah membuat
keributan,” umpat salah satu dari mereka.
“Benar. Kalau kamu bosan keluar saja,” Mea menjambak rambut
Diana. Menarik keluar kelas.
“Kamu mau mati. Sebagai balasan kamu harus ikut aku!”
Setelah sepuluh menit berlalu. Mereka telah merangsek ke
belakang sekolah. Meskipun awalnya Mea membantah. Mengerang.
Bak induk beruang yang kehilangan bayinya. Tapi akhirnya ia pasrah.
Tak mau cengkeraman tangan Diana semakin erat. Mungkin kalau
dibiarkan bisa membuat tulang pengumpilnya patah.
“Serius kau menyuruhku memanjat? Lihat dipojok sana ada
CCTV. Kita bisa terekam.”
Diana menyeringai, mengangguk.
“CCTV itu sudah mati dua bulan lalu. Ah, aku ini hafal sekali area
yang tidak terekam CCTV. Kau tak perlu khawatir.”
Kasih Tak Sampai di Merapi 39
Diana senang sekali membuat ulah. Belum genap seminggu,
ia membuat masalah dengan guru Bahasa Indonesia. Saat Bu Yerin
menyuguhkan dua buah novel memerintah salah seorang murid
memilih. Antara novel bersampul lusuh dengan novel baru. Tentu saja
si murid memilih novel yang masih baru.
“Itulah kebiasaan manusia anak-anak, menilai sesuatu dengan
melihat luarnya saja. Sesuatu yang terlihat buruk luarnya, belum tentu
buruk. Sesuatu yang terlihat baik di luar, belum tentu benar-benar
baik,” kata Bu Yerin.
Diana megacungkan jari telunjuk tinggi-tinggi. Berdiri
anggun. Menatap hangat Bu Yerin. Tersenyum. Wajah Diana terlihat
menyenagkan. Siapa sangka ia akan menyemprotkan puluhan kata
yang memicu naik darah.
“Bagaimana Diana? Ada pertanyaan?”
Diana menatap keluar sebentar. Menyusun kata-kata untuk
dilontarkan. Lantas kembali menatap Bu Yerin. Tersenyum sinis. Sorot
matanya berubah menyeramkan.
“Ibu sendiri dan Kepala Sekolah yang membedakan siswa
berdasarkan kekuatan orang tua kami. Bukankan lebih mengerikan
ketimbang memandang orang lain berdasarkan penampilannya?”
“Saya tidak mengerti apa yang kamu bicarakan Diana.”
“Oh Ibu Guru, mengapa Anda merendakan suara begitu? Apa
karena ayah saya seorang presiden direktur? Saya penasaran berapa
uang yang berhasil ibu kantongi selama ini!”
Bu Yerin naik pitam. Mata beliau membelalak, membulat
sempurna. Sebulat keputusan beliau menghukum Diana, memberi
skors selama tiga hari. Tidak cukup sampai pada kemarahan Bu Yerin.
Kepala sekolah pun murka dibuatnya.
Kala itu Diana sengaja berpapasan dengan ibu kepala sekolah.
Diana membungkukkan badan, memberi salam hangat dengan amat
sangat sopan. Menyanjung dengan hiperbolis untuk mengambil hati
beliau.
“Terima kasih Ibu Kepala Sekolah telah memimpin sekolah ini
dengan baik. Komite yang anda bentuk amat sangat maju. Saya juga
menyiapkan hadiah untuk ibu. Mohon ibu dapat menerimanya,” kata
Diana.
Kini saat yang ditunggu-tunggu telah tiba. Diana menyerahkan
hadiah yang sedari tadi ia sembunyikan di balik badan. Hadiah yang
akan memaksa sang penerima berpikir keras, bertanya-tanya arti dari
hadiah tersebut. Sebuah sekop berbahan besi. Ibu Kepala Sekolah kaget
bukan main. Tersirat jelas pada guratan wajah beliau.

40 Kasih Tak Sampai di Merapi


“Ibu pasti akan membutuhkan ini untuk mengeruk bongkahan
emas di sekolah ini,” kata Diana.
Jika ayah Diana tidak mempunyai kekuasaan, ibu kepala sekolah
sudah melayangkan surat untuk menendang Diana keluar sekolah.
Matahari mulai berpulang ke peraduan. Jelaga hitam telah
terusir oleh keindahan sore itu. Kala jingga telah terpanggil. Kala tinta
berwarna orange dan merah bak ditumpahkan di langit lepas. Kala
Mea dan Diana menyadari, mereka membolos lama sekali. Dari jam
pelajaran pertama sampai persekolahan berakhir. Tapi, tidak ada yang
mereka sesali hari itu. Seharian suntuk mereka bermain di taman
bermain. Mereka menaiki bianglala, kuda putar, dan roller coaster.
Hari itu Mea benar-benar berterima kasih pada Diana. Hanya
dengan Diana ia dapat tertawa sekeras mungkin. Hanya dengan Diana
kabut putih di pelupuk mata Mea runtuh. Sungai-sungai kecil mengalir
di pipinya. Diana pendengar yang baik. Ia mampu meluluhkan hati
Mea untuk tidak selalu membungkam mulutnya disaat sesuatu terjadi.
Terkadang kita perlu menceritakan masalah yang kita hadapi kepada
orang terpercaya. Masalah tidak harus diselesaikan sendirian. Paling
tidak, perlu mendengarkan solusi dari orang yang kita percaya.
“Adakah tempat yang ingin kamu kunjungi lagi sebelum kita
kembali ke sekolah?” Diana bertanya pada sahabat barunya. Sejak
mereka menghabiskan waktu bersama, keduanya merasa saling
menguatkan.
“Bisa mampir ke toko buku, aku pengen beli novel terbarunya
penulis Sun,” Mea terus mengoceh sepanjang jalan menuju toko buku.
Mea bercerita tentang penulis Sun. Diana hanyut dalam kalimat demi
kalimat yang terucap dari mulut Mea. Diana sangat malas mendengar
hal-hal yang berkaitan dengan penulis Sun. Tapi, jika Mea yang
bercerita, ia tidak pernah merasa bosan sedikit pun.
“Mengapa penulis Sun tidak mau mengungkap identitasnya.
Padahal jika beliau mau, akan semakin banyak pengemarnya dan akan
tambah kaya,” celoteh Mea.
Diana tertawa, “Memangnya salah menganggap identitas itu
privasi?”
“Setidaknya kita tahu beliau laki-laki atau perempuan.”
“Jadi, sejak kapan kamu mengemari penulis Sun?”
“Sejak Sun menerbitkan novel pertamanya. Saat itu aku sedang
frustasi jadi aku pergi ke toko buku dan tidak sengaja menemukan
novel Sun. Aku langsung tertarik dengan judulnya yang kupikir sama
dengan hidupku,”
Senin, tanggal tujuh, bulan tujuh, tahun dua ribu tujuh belas. Mea

Kasih Tak Sampai di Merapi 41


mencari-cari keberadaan Diana. Sudah pukul tujuh kurang lima menit,
tapi bocah itu tidak kunjung menampakkan ujung rambutnya. Mea
tidak sabar ingin memberitakan hal yang luar biasa. Sesuatu yang akan
menggemparkan dunia. Penulis Sun akan mengadakan interview. Mea
mentelepon Diana puluhan bahkan ratusan kali. Melayangkan puluhan
pesan. Menanyakan keberadaan Diana. Zonk. Tidak ada jawaban.
Bel telah berbunyi tiga puluh menit lalu. Perang masih berkecamuk
di kepala Mea. Bagaimana jika terjadi sesuatu dengan Diana. Mea
menggelengkan kepala kuat-kuat, membuang pikiran buruk yang
menguasai otaknya. Tiga menit kemudian, Diana menghubungi
Mea melalui panggilan video. Hanya satu kalimat, tapi sudah cukup
memberi kelegaan di hati Mea.
“Mea, aku mau membolos hari ini, kamu tidak usah mencariku,”
kata Diana.
Seluruh penjuru sekolah dihebohkan dengan munculnya jurnalis
Sun di media massa. Tidak ada yang menyibukkan kegiatan lain, selain
memandangi layar televisi. Menunggu kemunculan jurnalis yang
menyembunyikan identitasnya di balik nama penanya.
“Apa yang dia lakukan di sana?”
“Sepertinya dia memang biang pembuat masalah.”
“Cewek gila,”
Begitulah tanggapan sebagian besar dari mereka,melihat Diana
yang muncul di layar televisi. Sebagian lagi mengedipkan mata berkali-
kali. Memastikan apa yang sedang dilihatnya. Termasuk Mea yang
merupakan penggemar berat Sun.
“Halo teman-teman. Nama saya Diana Zhaferra Melody dengan
nama pena Sun. Di sini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada
teman-teman yang sudah menyukai novel-novel saya. Saya juga ingin
minta maaf karena sudah membuat kalian semua menunggu untuk
mengetahui siapakah saya. Dan alasan saya mengungkapkan identitas
adalah karena sahabat saya. Saya ingin memberikan kejutan untuk
sahabat saya.Mea, inilah penulis Sun yang ingin sekali kamu temui.”
Lihatlah seorang Diana yang kerap mereka remehkan. Liatlah ia
menjadi mutiara yang didambakan banyak orang.

42 Kasih Tak Sampai di Merapi


Kenduri
Suyatmi

Sore itu seperti biasanya Sumi selesai mengerjakan tugas rumah.


Setelah mandi ia mengambil makanan untuk menyuapi anaknya. Ia
bergegas ke luar rumah sambil menggandeng Lisa yang baru berumur
satu setengah tahun. Mereka berjalan menuju rumah bulik Warni yang
berada di samping kiri rumahnya.
Sumi usianya baru sekitar 25 tahun. Selesai kuliah ia menikah,
tidak bekerja. Suaminya bekerja mencari nafkah untuk kebutuhan
hidup sehari-hari.
Kebetulan bulik Warni baru saja selesai menyapu halaman. Ia
duduk-duduk santai di teras rumahnya. Bulik Warni adik ayah mertua
Sumi.
“Eh Lisa, sini nak!” panggil bulik Warni sambil melambaikan
tangan.
“Ya bulik,” jawab Sumi mewakili anaknya yang belum lancar
berbicara.
“Lisa cepat besar ya?”
“I ya, Bulik. Lisa makannya selalu habis banyak.” sahut Sumi
sambil menyuapi anaknya.
Lisa menggelengkan kepala pertanda tidak mau dekat dengan
bulik Warni. Ketika mereka sedang asyik berbincang-bincang Ratna
datang. Ia baru saja pulang dari warung dekat rumah Bulik warni.
Ratna adalah tetangga dekat Sumi. Rumahnya ada di belakang rumah.
Ia ikut terlibat dalam pembicaraan tersebut.
“Eh, ngomong-ngomong sebentar lagi memasuki bulan ruwah
ya?” kata Ratna.
“Oh iya,” jawab bulik Warni
“ Ya, sekarang bulan Rajab hampir berakhir,” sahut Sumi sambil
sesekali menyuapi Lisa.
“Kita siap-siap membuat sedekah atau genduri,” kata bulik Warni.
Setiap bulan Ruwah dusun mereka mengadakan acara tradisi
nyadran atau sadranan. Biasanya warga membuat kenduri secara
Kasih Tak Sampai di Merapi 43
masal. kenduri merupakan puncak acara. Sebelum diadakan kenduri,
ada rangkaian acara yang lain. Dimulai dari rapat dusun sampai
terbentuknya panitia. Lalu diadakan rangkaian kegiatan sampai dengan
puncak acara, yaitu kenduri.
“Kalau begitu sebentar lagi akan ada rapat dusun,”ucap Sumi.
“Yang ikut rapat hanya bapak-bapak,”kata bulik Warni
“Iya,”sahut Sumi dan Ratna secara bersamaan.
“Seandainya para ibu diperkenankan ikut rapat, saya punya usul,”
kata Sumi
“Sampaikan saja kepada suamimu!”
“Iya ya.”
“Memangnya kamu mau usul apa?” tanya bulik Warni
“Dalam acara kenduri besok, para ibu sebaiknya membuat
sedekahan berbentuk bahan makanan mentah saja.”
“Lho kok bias. Saya tidak setuju!” sahut bulik Warni.
“Mengapa?”
“Kita sudah terbiasa membuat kenduri dalam bentuk makanan
yang dimasak. Bahkan dari leluhur kita sudah seperti itu. Sudah tradisi
turun temurun di dusun kita. Jadi kita harus mewarisi itu,”jawab bulik
Warni.
“Menurutmu bagaimana Rat?” tanya bulik Warni sambil menoleh
ke arah Ratna.
“Aku setuju dengan Bulik. Kita sudah terbiasa kenduri dengan
makanan matang. Yaitu nasi,sayur oseng, lauk, perkedel, kerupuk dan
lainya, iya kan?”
“Ya,” jawab bulik Warni.
“Maaf, saya pulang dulu ya? Mau memasak untuk makan nanti,
silakan bincang-bincangnya dilanjut,” kata Ratna.
“Kok tergesa-gesa pulang?” tanya Sumi
“Nanti akan ada tamu,”jawab Ratna.
“Oh,” ucap Sumi.
“Ya silakan!”jawab bulik Warni.
Ratna segera melangkah pulangi. Bulik Warni dan Sumi
melanjutkan percakapannya. Mereka masih berbicara tentang acara
sadranan.
“Bulik, sekarang sudah beda, sekarang jaman modern. Kita
harus mengikuti perkembangan jaman. Lagipula kita masih tetap
melestarikan tradisi kan? Hanya wujudnya lain.”
“Saya tetap tidak setuju,” jawab bulik Warni sambil cemberut
“Ah bulik!”
“Apa kamu mau merusak tradisi yang sudah ada?”

44 Kasih Tak Sampai di Merapi


“Tidak bulik, mana mungkin? Saya tidak berani.”
“Itu buktinya, kamu akan membuat sedekah dalam bentuk bahan
makanan mentah! Artinya kamu merubahnya. Lama-lama akan
merusak nilai tradisi.”
“Merubah sedikit tidak apa-apa kan? Toh tidak mengubah nilai
tradisinya. Coba Bulik piker. Seandainya kita membuat makanan
yang sudah matang, apa tidak mubadzir?Makanan sering tidak
habis dimakan. Bahkan terbuang begitu saja. Kadang dibiarkan basi.
Sudah mendingan untuk beri makan hewan peliharaan. Kalau tidak
punya hewan peliharaan, ya percuma. Jika dijemur untuk dijadikan
karak,tidak mungkin karena sekarang musim hujan.”
“Pokoknya tidak setuju,titik!”tukas bulik Warni semakin jengkel.
“Hmm,”desah Sumi. “Kalau kenduri dengan bahan mentah tidak
mubadzir. Bahan bisa diolah kapan saja menurut kebutuhan.”
“Alangkah baiknya kalau bersedekah kenduri dengan makanan
yang matang. Orang yang menerima tidak perlu repot-repot memasak.
Tinggal makan saja. Itu juga praktis kan?Bagi yang mengeluarkan
sedekah mendapat pahala yang lebih banyak,” lanjut bulik Warni.
“Tapi Bulik, tetap saja makanan belum tentu habis!” sahut
Sumi dengan nada lebih tinggi.
Bulik Warni semakin kesal, lalu terdiam. Dalam hati ia berkata,
”Ini orang sok pintar. Mentang-mentang lulusan perguruan tinggi.
Walaupun sarjana toh tetap saja jadi ibu rumah tangga. ”
Sumi pun terdiam sembari menghela nafas. Ia mengawasi Lisa
yang sedang bermain. Lisa sudah menghabiskan makanannya. Sesekali
melirik ke arah bulik Warni yang masih cemberut.
Dalam hati Sumi berpiki, “Susah juga bicara dengan orang tua.
Pikirannya kuno. Keras kepala. Tidak bisa menerima perubahan
jaman. Sekarang jaman praktis, tidak perlu repot-repot mengolah.
Lebih enak.”
Sesaat tidak ada percakapan antara mereka. Tampak dari arah jalan
pak RT menuju teras bulik Warni. Ia pulang dari sawah memanggul
cangkul. Kedatangan pak RT memecah suasana. Tampaknya pak RT
merasakan gelagat yang kurang baik.
“Ada apa?” tanya Pak RT sambil menurunkan cangkul dari
bahunya.
“Tidak apa-apa pak, hehe…!” jawab Sumi.
“Saya lihat kalian agak tegang!”
“Sedikit,” jawab Sumi lirih
“Itu lho Pak, orang zaman sekarang kurang menghargai tradisi.
Seperti Sumi ini. Dalam acara sadranan nanti Sumi punya usul agar

Kasih Tak Sampai di Merapi 45


membuat kenduri bentuk bahan mentah. Hal ini akan merusak tradisi
yang sudah turun-temurun dari leluhur.”
Pak RT tidak segera bicara. Ia lalu duduk sambil kipas-kipas
menggunakan caping. Ia mamandangi keduanya dengan heran. Tidak
lama kemudian ia tersenyum.
“Acaranya masih agak lama kok sudah pada ribut!” kata pak RT.
“Saya cuma punya usul,” sahut Sumi.
“Usulan kok maksa!” kata bulik Warni.
“Sabar ya?” kata pak RT.
“Bagaimana dengan usul saya, setuju kan pak?”
“Ya nanti dulu. Kita belum mengadakan rapat dusun.
Kemungkinan awal bulan depan akan diadakan rapat. Nanti usulan
Sumi akan saya sampaikan di rapat dusun.”
“Benar ya pak?” kata Sumi.
“Jangan kuatir!”
“Trimakasih Pak.”
“Sama-sama,” jawab pak RT sambil tersenyum.
“Pasti usulannya tidak disetujui!”kata bulik Warni sambil
mencibir. “Warga sini tidak mau merubah tradisi yang sudah dilakukan
dari dulu.”
“Belum tentu juga,” kata Sumi
“Sudah, jangan ribut,” kata pak RT sambil berdiri mengambil
cangkul. “Hari sudah menjelang magrib, ayo bubar!” katanya lagi
sambil bergegas melangkah menuju rumahnya.
Sumi tidak berkata apa-apa lalu menggendong Lisa. Tanpa pamit,
ia segera pulang. Bulik Warni pun bergegas cuci tangan di kran samping
rumah, lalu masuk menutup pintu sambil menggerutu.
Di perjalanan pulang Sumi bertemu Ratna.
“Mau kemana?” tanya Sumi
“Ke warung lagi, ada sesuatu yang lupa kubeli.Eh, bagaimana
usulanmu tadi?”
“Bulik tetap tidak setuju.”
“Saya juga.”
“Sudahlah, saya mau pulang!” kata Sumi semakin jengkel.
Ratna terdiam heran melihat sikap Sumi. Ia segera melajutkan
pergi ke warung.Dalam hatia berkata, ”Hmm nampaknya Sumi marah.
Ah biarlah!”
Sampai di rumah Sumi menurunkan Lisa dari gendongannya.
Lisa berlari mendekat ayahnya yang sedang duduk di ruang tamu.
Sumi mengikutinya. Lisa segera dipangku ayahnya. Sambil melihat
Sumi ayah Lisa berkata.“Ada apa, kok cemberut?”

46 Kasih Tak Sampai di Merapi


“Saya jengkel sama bulik Warni.”
“Memangnya kenapa?”
“Itu lho Yah, tadi bincang-bincang dengan bulik Warni tentang
sadranan. Saya punya usul untuk membuat kenduri dari bahan mentah
saja. Bulik Warni tidak setuju.”
“Oh, lalu?”
“Saya jengkel.”
“Tidak perlu marah. Dalam waktu dekat akan ada rapat dusun
yang membahas tentang acara sadranan. Usulmu akan aku sampaikan.”
“Iya, tadi pak RT juga bicara begitu.”
“Nah jelas kan?”
Sumi mengangguk-angguk sambil tersenyum. Suaminya juga
tersenyum.
“Yuk kita shalat magrib,sudah tiba waktunya!” kata suaminya
“Ya,” jawab Sumi sambil mengangkat Lisa dari pangkuan ayahnya.
Dalam hati Sumi berkata,”Semoga usulku disetujuhi.”

Kasih Tak Sampai di Merapi 47


Kesucian Penari
Suyatmi

Lestari gadis berusia 17 tahun. Ia sangat cantik. Tubuhnya ideal.


Berambut panjang. Lesung pipit menambah manis senyumannya.
Tidak heran jika ia menjadi penari.
Lestari menjadi kembang desa. Banyak pemuda yang tertarik
padanya. Tak jarang laki-laki sering menggodanya. Namun ia tidak
mudah tergoda. Ia gadis yang sangat baik.
Di desanya Lestai menjadi buah bibir. Ia terkenal ramah. Suka
menolong. Tidak sombong walaupun sangat cantik. Tetangga sangat
menyukainya.
Suatu ketika ia melihat seorang nenek. Nenek itu sedang membawa
beras. Kelihatan sangat berat.
“Nek, biar saya bawa berasnya!” kata lestari sambil tersenyum.
“Cah ayu, rumah nenek jauh.”
“Tak mengapa nek.”
“Kamu cantik dan suka menolong,”kata nenek itu.
Lestari tersenyum lalu membawa beras nenek. Ia mengantarkan
sampai rumahnya.
“Terimakasih Cah Ayu,” kata nenek itu setiba di rumahnya.
“Sama-sama nek. Saya permisi.”
Tampak dari dalam rumah nenek itu ada seorang pemuda tampan.
Pemuda itu bernama Darma. Ia cucu nenek yang tinggal bersamanya.
Orangtuanya bekerja di Jakarta. Mereka sedang berlibur di desanya.
“Nek, gadis cantik,” bisik pemuda kepada nenek.
“Kamu suka?” kata neneknya.
Darma mengangguk. Lestari mendengar lirih. Ia tersipu malu.
Segera ia melangkah pulang sambil menunduk.
Lestari anak kedua dari tiga bersaudara. Anak seorang petani
di desa. Namanya Pak Karto. Hidupnya sederhana. Namun ia sangat
memperhatikan pendidikan anaknya.
Lestari duduk di kelas dua. Ia murid di sekolah kejuruan seni
tradisional. Seni tari jurusannya. Ia memang pandai menari. Ia
48 Kasih Tak Sampai di Merapi
mempelajari seni tari klasik.
“Lestari, sebaiknya kamu mengikuti sanggar tari!” kata bu Suci
guru tarinya.
“Ya Bu. Tapi di mana?” tanya Lestari.
“Ada sanggar tari klasik yang ada di Kadipaten,”jelas bu Suci.
“Baik, saya akan ikut di sana.”
Selain belajar menari di sekolah, ia menambah tambahan latihan.
Belajar di sanggar tari klasik Yogyakarta. Ia sangat rajin. Gerakannya
luwes. Ia termasuk penari yang baik.
Jarak rumah dan sekolah lumayan jauh. Jarak tempuh bisa
mencapai satu jam. Agar tidak terlambat. ia kos dekat sekolahnya.
Apalagi ia menambah belajar menari di sanggar. Seminggu sekali baru
pulang.
Di sekolah ia sering mewakili pentas. Sekolah sering mendapat
undangan untuk mengirimkan beberapa penari. Baik di dalam maupun
luar kota. Terkadang pentas di salah satu stasiun televisi Yogyakarta.
Hari itu di sekolah ada pengumuman tentang nama-nama yang
akan mewakili sekolah untuk pentas di luar.
“Selamat Tar, kamu terpilih mewakili kami!”kata Sita teman karib
di kelasnya.
“Terimakasih Sita, kamu juga,” jawab Lestari.
Sita adalah teman karib Lestari di kelasnya. Mereka sering
mewakili pentas. Sudah banyak pengalaman pentasnya. Hampir setiap
seminggu sekali mereka pentas. Mereka mendapat imbalan sejumlah
uang. Cukup untuk jajan dan membeli paralatan sekolah. Bahkan
kadang-kadang cukup untuk membayar sewa kos.
Di sanggar Lestari juga dikenal sebagai penari yang baik. Ia
sering terpilih untuk pentas. Setiap malam Minggu sanggar tarinya
mengadakan pentas. Kelompok Lestari menarikan tari Srimpi. Para
penari melakukannya dengan penuh ekspresi.
Penonton biasanya para wisatawan. Kebanyakan wisatawan
asing. Penonton rela membeli karcis untuk menonton tari klasik gaya
Yogyakarta. Mereka menonton dengan rasa takjub.
Tarian pertama tampil yaitu tari golek, yang kedua tari klana,
selanjutnya tari serimpi atau bedhaya. Terkadang ditampilkan
sendratari Ramayana atau Mahabharata. Teriannya sangat memukau.
Selesai menari Lestari dan teman-temannya menerima upah.
Mereka sangat senang. Selain menyalurkan hobi mereka juga mendapat
penghasilan.
“Alhamdulillah, lumayan bisa untuk jajan,” kata Sita sambil
menyimpan uangnya di tas.

Kasih Tak Sampai di Merapi 49


“Iya, Alhamdulillah. Bisa untuk bayar sewa kos satu bulan,” jawab
Lestari.
Suatu ketika Lestari terpilih lagi untuk pentas di Pulau Bali.
Lestari bersama tim akan menari tari srimpi. Ia berangkat naik pesawat
terbang. Ini pengalaman pertamakali Lestari naik pesawat. Ia sangat
senang tetapi sedikit takut.
Di sana Lestari dan teman-temannya menari sangat bagus. Acara
pentas dilaksanakan pada malam hari. Penonton sangat puas. Mereka
memberi tepuk tangan sambil berdiri. Hampir semua penonton
bersorak.
“Bagus…bagus hebat!” kata penonton.
Para penari pun merasa lega dan puas. Mereka menari dengan
penuh tanggung jawab. Hal ini berkat kerjasama semua tim yang
terlibat.
Keesokan harinya rombongan penari mengadakan refresing.
Meraka jalan-jalan diobjek wisata. Hatinya sangat gembira tiada tara.
Selain puas menari, mereka juga bisa jalan-jalan.
“Asyiiik, kita bisa menikmati keindahan objek di sisni,” kata
Lestari.
“Senang sekali kita bisa melihat tarian Bali. Dan juga adat
istiadatnya. Di sini kaya akan budaya juga. Sama dengan tempat kita,”
jawab Sita.
“Ya Sit, kita bisa saling belajar tentang adat budaya,” kata Lestari.
Di penginapan mereka beristirahat. Mereka melepas lelah.
Semalaman pentas sangat melelahkan. Dan esok harinya mereka jalan-
jalan.
“Yuk, kita kemas-kemas!”kata Sita.
“Ya, jangan sampai ada yang ketinggalan!”jawab Lestari.
Mereka segera mengemasi barang-barang bawaan. Mereka dengan
cermat memasukkan ke dalam tas. Termasuk barang-barang yang
dibeli untuk oleh-oleh. Lestari membeli oleh-oleh untuk orangtuanya.
Pada waktu yang ditentukan rombongan penari pulang.
Rombongan sampai di sekolahan. Lestari dijemput kakaknya pulang
ke desa. Ia sudah rindu pada keluarganya.
Sampai di rumah Lestari menceritakan pengalamannya.
Orangtuanya sangat bangga. Keluarganya selalu mendukung kegiatan
Lestari.
“Nak, kamu harus bisa jaga diri,” kata ayahnya.
“Baik Pak,”jawab Lestari.
“Kembangkan prestasimu. orangtuanya selalu mendoakanmu.
Kamu menjadi kebanggaan keluarga,” kata ibunya.

50 Kasih Tak Sampai di Merapi


Lestari tersenyum bahagia. Ia merasa mendapatkan kasih sayang
yang luar biasa. Lestari sangat bersyukur.
“Oh ya, seminggu lagi saya akan tampil di istana,” kata Lestari.
“Kraton Yogyakarta?” tanya ayahnya.
“Ya, di pendapa istana Ngayoyakarta Hadiningrat,”jawab Lestari.
Seminggu kemudian tiba saatnya Lestari akan tampil di Kraton
Ngayogyakarta. Ia mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya.
Ini adalah penampilan pertama di istana. Sungguh merupakan
pengalaman yang sangat istimewa.
Para penari akan menarikan tari bedhaya. Tarian ini sangat sakral.
Khusus ditarikan di kalangan bangsawan. Penarinya pun tidak boleh
sembarangan.
Menari di istana berbeda dengan menari di tempat lain. Harus
memenuhi beberapa syarat. Penari harus melakukan ritual. Diantaranya
puasa. Selain itu penari putri harus dalam keadaan suci. Tidak dalam
masa menstruasi. Selain itu juga benar-benar masih gadis.
Syarat-syarat tersebut tidak boleh dilanggar. Jika berani melanggar
pantangan, maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Penari
yang melnggar pantangan akan mengalami musibah.
“Apakah kalian sudah siap untuk tampil besok?”tanya pelatih
pada waktu selesai gladi bersih.
“Siap!” jawab para penari.
“Apa sudah melaksanakan puasa?” tanya pelatih.
Semua penari sudah melaksanakan syarat-syaratnya. Namun
Lestari sangat gelisah. Biasanya pada tanggal itu ia datang bulan.
Tepat pada hari yang ditentukan para penari siap tampil. Mereka
berhias di ruang yang disediakan. Sebentar-sebentar Lestari ke kamar
mandi. Ia mengecek apakah datang bulan atau tidak. Beberapa kali ia
mondar-mandir ke kamar mandi. Lestari merasa gelisah.
Beberapa menit sebelum tampil, Lestari ke kamar mandi. Ia
kaget ternyata telah datang bulan. Ia sangat takut. Tinggal lima menit
merekan tampil. Tidak ada waktu untuk bicara kepada pelatihnya.
Apalagi tidak ada penari pengganti.
Terpaksa Lestari pun ikut tampil. Ia tampil dengan rasa was-
was. Penampilannya tidak maksimal. Hampir saja ia keliru dalam
melakukan gerakan. Ia gemetar. Keringat dingin keluar dari tubuhnya.
Pentas tarinya hampir selesai. Tiba-tiba Lestari tidak sadar diri.
Ia mengalami kejang. Matanya melotot. Badannya bergetar kencang
dan kaku. Pentasnya menjadi kacau. Penari yang pain panik. Penonton
bingung.
Lestari diangkat keluar dari arena pentas. Dibawa ke ruang rias.

Kasih Tak Sampai di Merapi 51


Semua orang berusaha menyadarkannnya. Namun belum berhasil.
Petugas istana memanggil orang sakti. Orang sakti istana berusaha
keras. Lestari berhasil disadarkan dengan waktu yang lama. Setelah
sadar orang sakti berbicang-bincang dengan Lestari.
“Nak, apakah kamu dalam keadaan tidak suci?” tanya orang sakti.
“Iya,” Lesatari menjawab lirih dengan rasa sangat takut.
“Lain kali harus berkata jujur!” kata orang sakti.
Lestari mengangguk-angguk. Ia tidak berani berkata-kata lagi.
Ia juga takut dimarahi pelatihnya. Ini pengalaman yang tidak pernah
terlupakan. Pengalaman yang sangat berat bagi Lestari. Ia benjanji
dalam hati. Tidak akan mengulangi kesalahan lagi.

52 Kasih Tak Sampai di Merapi


Ular Misterius
Suyatmi

Sore itu pulang sekolah Doni tidak langsung menuju rumahnya.


Ia sudah berjanji pada Bagus teman sekelasnya. Mereka akan pulang
ke rumah Bagus. Mereka berencana untuk mengerjakan tugas sekolah
bersama. Mereka sekolah tingkat SMA di wilayah Yogyakarta.
Mereka mendapat tugas dari bu Sita untuk mengerjakan soal
matematika. Dalam hal matematika Doni kurang menguasai materi. Ia
minta bantuan Bagus untuk mengajarinya.
Setelah pelajaran usai Doni dan Bagus menuju tempat parkir.
Mereka berjalan bersama. Mereka naik motor masing-masing. Bagus
berada di depan diikuti Doni. Mereka menuju rumah Bagus.
Rumah Bagus berada di dusun Kasuran. Wilayah desa
Margomulyo kecamatan Seyegan. Rumahnya agak jauh dari kota. Dari
tempat sekolah bisa ditempuh sekitar 25 menit.
Sampai di rumah mereka memarkir motor di depan rumah.
Halaman rumah Bagus luas. Ada beberapa pohon rambutan. Ada pula
tanaman bunga.
Bagus mengajak Doni masuk rumah. Lalu mempersilakan Doni
duduk di kursi tamu. Doni menurunkan tas punggungnya.
“Akhirnya sampai juga di rumahmu Gus”
“Ya, tunggu sebentar ganti baju dulu.”
Bagus beranjak ke ruang dalam. Sesaat kemudian muncul ibunya
Bagus. Orangnya sangat ramah.
“Eh ada tamu, siapa namamu Nak?” tanya ibunya Bagus
“Nama saya Doni, saya teman sekelas Bagus.”
“Oh ya, rumahnya mana?”
“Bantul Bu.”
“Jauh sekali, nanti menginap di sini saja.”
“Rencana seperti itu Bu,termakasih.”
“Tapi seperti ini, rumahnya sederhana dan tidak sebagus rumah
di kota.”
“Sama saja Bu, di sini nyaman, udaranya lebih sejuk.”
Kasih Tak Sampai di Merapi 53
“Ya kalau di desa memang seperti ini. Oh ya, silakan duduk
dulu!”kata ibunya Bagus sambil tersenyum.
Doni pun mengangguk sambil tersenyum. Perempuan itu
beranjak menuju dapur. Ia membuat minum.
Sesaat kemudian Bagus muncul dari dalam. Ia sudah berganti
baju. Juga membawa sepiring kue dan ceriping di stoples. Kemudian
diletakkan di meja. Ibunya muncul membawa minuman teh.
“Mari diminum Nak!”katanya sambil meletakkan minuman.
“Terimakasih, bikin repot,” jawab Doni.
“Ah, tidak repot kok Nak!”
Setelah mempersilakan minum ia melangkah ke dalam. Bagus
dan Doni melanjutkan percakapan sambil minum dan makan kue.
Mereka memang teman dekat semenjak di SMA. Keduanya sangat
cocok.
“Don, kita mengerjakan tugas nanti malam saja, sekarang masih
capai, kita istirahat dulu,” kata Bagus.
“Terserah sajalah!” jawab Doni.
“Ayo dihabiskan minumannya Don!”
“Beres, ini sudah habis.”
“Mau nambah lagi?”
“Tidak, sudah cukup.”
“Yuk ke kamarku saja,kita lanjutkan ngobrolnya di sana!”
Doni berdiri pertanda setuju. Mereka beranjak menuju kamar
Bagus. Mereka akan beristirahat.
Setiba di kamar Doni tampak heran. Lalu duduk di ranjang yang
terbuat dari bambu. Alasnya berupa galar yang terbuat dari belahan
bambu yang dirajah. Di atas galar ada tikar yang terbuat dari mendong.
Dalam hati Doni berfikir,” Ranjangnya kok seperti ini, berbeda
dengan ranjang pada umumnya.”
“Donkamuheran?” tanya Bagus melihat gelagatnya.
“Gus, kamu tidur tidak beralaskan kasur?”
“Banyak yang bertanya seperti itu, Don. Hampir semua temanku
yang masuk kamarku berkata begitu. Kamu akan mendengar ceritaku.
Boleh percaya, tidak pun tidak apa-apa. Tapi sebaiknya percaya saja.”
“Memangnya kenapa?”tanya Doni tambah penasaran.
“Dahulu kala semua penduduk di Kasuran tidak ada yang berani
tidur beralaskan kasur kapuk. Semua percaya hal tersebut sebagai
pantangan. Jika ada yang melanggar maka akan terjadi sesuatu yang
tidak baik dalam keluarganya.”
“Oh.”
“Pernah ada kejadian yang mengerikan. Ada seorang bapak yang

54 Kasih Tak Sampai di Merapi


tidur beralaskan kasur kapuk. Tiba-tiba tubuhnya dililit ular besar.
Untunglah selamat. Ada juga yang sekedar melihat di kasurnya.”
“Kok bisa Gus?”tanya Doni semakin penasaran.
“Kenyataannya seperti itu,Don.”
“Awal mulanya kenapa?”
“Tidak tahulah, saya percaya saja.”
Doni manggut-manggut keheranan. Dalam hati Doni tidak
percaya dengan hal-hal yang gaib seperti itu. Doni jadi agak bingung.
Bagus melihat sikap Doni.
“Sudahlah Don, kita mandi dulu yuk!”
Malam harinya mereka mengerjakan tugas sekolah. Mereka
menyelesaikannya dengan cepat. Doni masih kepikiran tentang
pembicaraan tadi sore.
“Tidur yuk!”ajak Bagus
“Oke.”
Mereka menuju kamar. Lalu tidur berdua. Doni belum bisa tidur.
Dia masih teringat cerita Bagus.
“Gus, apa benar ceritamu tadi?”
“Percayalah!”
Bagus terlelap lebih dulu. Doni masih selalu ingat cerita itu.
Akhirnya lala-lama tertidur pula. Tiba-tiba Doni berteriak minta
tolong.
“Don … Don … bangun … bangun,” kata Bagus sambil tangannga
menggoyang-goyangkan tubuh Doni.
Doni tersentak dan bangun. Ia lalu duduk. Nafasnya terengah-
engah. Badannya berkeringat.
“Kamu mimpi?”tanya Bagus.
“Syukurlah cuma mimpi,” jawab Doni.
“Makanya sebelum tidur berdoa dulu, sudahlah ayo tidur lagi!”
lanjut Bagus.
Doni terdiam lalu merebahkan tubuh. Ia berusaha tidur, namun
sulit juga. Ternyata Doni bermimpi didatangi seekor ular. Ular itu akan
melilit kakinya. Untung Bagus segera membangunkan.
Keesokan harinya mereka bersiap-siap pergi kesekolah. Setelah
berpamitan mereka berangkat. Mereka naik motor masing-masing.
Selama di jalan Doni masih ingat pada mimpinya.
Sampai di sekolah Doni menceritakan pengalamannya kepada
teman-teman. Spontan teman-temannya tertawa. Mereka tidak
percaya. Bahkan beberapa dari mereka akan membuktikannya.
Malam Minggu mereka berencana menginap di rumah Bagus.
Mereka akan menyiapkan kasur kapas. Ada tiga teman, yaitu Ito,

Kasih Tak Sampai di Merapi 55


Dimas dan Aldi. Doni tidak ikut. Doni kuatir jika mimpi itu menjadi
kenyataan.
Tibalah saatnya malam Minggu. Mereka melaksanakan
rencananya. Mereka ke rumah Bagus bersama naik mobil. Kasur kapas
pun dibawa.
Mereka tiba di rumah Bagus sudah malam. Kasurdibawa ke
kamar Bagus. Diletakkannya di ranjang. Lalu mereka keluar kamar.
Mereka menonton televisi sambil bercanda.
“Gus apa benar yang diceritakan Doni?” tanya Dimas.
“Buktikan saja!”
“Yup, kita buktikan bersama,” jawab Ito.
Mereka melanjutkan nonton televisi. Kebetulan acaranya sepak
bola. Pas dengan kesukaannya. Acaranya seru.
Malam sudah semakin larut. Acara sepak bolanya sudah usai.
Mereka mengantuk. Lalu bersama-sama menju kamar Bagus.
Tiba di kamar, Ito dan Dimas menuju ranjang kasur. Bagus dan
Aldi duduk di lantai beralas tikar. Mereka penasaran. Tetapi ada rasa
kuatir juga.
“Jangan-jangan ceritanya sungguhan,” Kata Aldi.
“Belum tentu,” jawab Dimas.
“Ah, itu mitos,” sahut Ito.
Bagus tersenyum mendengar pembicaraan mereka. Lalu ia
merebahkan tubuhnya dekat Aldi. Mereka tidur di lantai. Dimas dan
Ito juga bersiap tidur. Lalu mereka tidur di kasur.
Mereka cepat tidur pulas. Maklum selama seharian tadi tidak
tidur siang. Malam pun semakin larut. Menjeleng pagi Dimas dan Ito
tersentak. Mereka kaget.
“Ada ular…ada ular!” teriak Dimas dan Ito.
“Mana?” tanya Aldi.
“Hati-hati Dim, ular itu melilit kakimu!” kata Aldi.
Suasana malam menjadi kacau. Kamar Bagus menjadi ramai.
Keluarga Bagus terbangun. Beberapa tetangga ada yang datang.
Suasana menjadi tegang.
Diantara para tetangga ada seorang pawang ular. Pawang tersebut
bukan orang sembarangan. Dia terkenal memiliki kemampuan yang
hebat. Diantaranya dapat menjinakkan ular. Ular berhasil diangkat.
Pawang membawanya ke sungai untuk dilepas. Sungai itu tidak jauh
dari rumah Bagus.
Ternyata secara diam-diam Bagus memanggil pawang. Pawang
tersebut tinggal di dusun Kasuran. Bagus ke rumah pawang sehari
sebelum teman-temannya datang. Jadi, keluarga Bagus dan warga

56 Kasih Tak Sampai di Merapi


Kasuran sudah mengantisipasi. Mereka sudah berjaga-jaga agar tidak
terjadi hal-hal yang diinginkan. Syukurlah semuanya selamat.

Kasih Tak Sampai di Merapi 57


Dua Pilihan
Sri Murtini

Sista, gadis berusia 19 tahun yang cantik. Tubuhnya tinggi


semampai. Matanya agak sipit, dengan bulu mata yang lentik. Kulitnya
kuning langsat. Dia gadis yang benar-benar seperti bidadari. Tiada cela
sedikitpun. Membuat semua mata tak jemu memandangnya.
Selain itu perilakunya sangat santun. Penyabar dan penyayang
pada siapapun. Selalu mau bergaul dengan siapapun. Tak membedakan
miskin dan kaya. Dia selalu mengulurkan tangannya bagi yang
membutuhkannya. Makanya dia selalu disegani kawan-kawannya.
Sista Priyantun. Ayahnya seorang pengusaha. Bernama Raden
Mas Seco Priyantun. Dia terkenal kaya raya. dan masih keturunan
darah bangsawan. Keluarganya selalu dihormati. Ayahnya selalu
disegani di mana pun dia berada.
Sista hidup dengan bergelimang harta. Di keliling dengan banyak
asisten rumah tangga. Hidup serba tidak kekurangan. Apapun yang ia
minta pasti akan terwujud. Meskipun demikian sista tidak sombong,
bahkan dia sering memberikan pertolongan bagi yang memerlukan.
Sekarang ia duduk di kelas tiga SMA. Sekolah favorit yang yang
berada di kotanya. Ia anak yang pandai. Dia selalu mendapat ranking
pertama di kelasnya. Bahkan selalu mendapat juara dalam beberapa
event perlombaan yang diikutinya.
Namun malang bagi Sista. Gadis cantik dan pandai itu sampai
sekarang belum pernah bertemu dengan ibu kandungnya. Ibunya
berpisah dengan ayahnya sejak dia masih bayi. Sejak itu Sista hidup
dengan ibu tirinya.
Sampai suatu saat ia tahu, bahwa ibu yang selalu mengasuhnya
itu bukan ibu kandungnya. Ibu yang ia tahu selama ini adalah ibunya
sendiri. Meskipun ibu sambung ia sangat sayang padanya. Sampai-
sampai rasa sayang ibu sambungnya itu tak berbeda dengan ibu
kandung.
Rasa sedih dirasakannya, setelah tahu bahwa ibu yang selama ini
bukan ibu kandungnya. Ia ingin sekali bertemu dengan ibunya. “Aku
58 Kasih Tak Sampai di Merapi
ingin bertemu ibu,” katanya lirih.
Pada suatu hari Sista bertanya pada ayahnya, “ Yah sebenarnya
ibu Sista di mana?’’
“La.., ibu Sista ya bundamu itu,” jawab ayahnya.
“Bunda itu kan bukan ibu kandungku, Yah.”
Ayahnya tampak terkejut, tapi dia bersikap tenang. Sista tahu
kalau ayahnya menyembunyikan sesuatu. “Sista, kenapa kamu berkata
demikian. Ibu sista ya Bunda.”
Sista mulai tak bisa membendung air matanya. Dia menangis.
Tiba-tiba bundanya datang. Di dekatinya Sista dan bertanya,”Nak,
ada apa kok menanggis,” tanyanya dengan penuh kasih sayang.
Memang selama ini bundanya selalu sayang dan perhatian
padanya. Sampai-sampai tak dirasakannya kalau bunda itu bukan ibu
kandungnya.
“Maaf Bunda, di mana ibu kandungku?” tanya Sita.
“Ibumu ya aku,” jawab wanita itu.
Terlihat wajah sedih di matanya. Berlinang air matanya. Ia merasa
bersalah, sudah membuat bunda bersedih. “Maafkan aku bunda, tapi
aku ingin bertemu dengan ibuku. Meskipun bunda sudah merawat dan
menganggap aku sebagai anaknya sendiri. Tapi aku ingin tahu ibuku,”
kata Sita.
Ayah dan bundanya saling berpandangan. Ada ssuatu yang
mereka sembunyikan.
“Sista, kamu sekarang sudah besar, sudah bisa membedakan
antara yang benar dan yang salah.” kata bundanya sambil duduk
didekat anaknya.
Sista melihatt air mata bundanya menetes di pipi. Ia sebenarnya
tak tega, tapi bagaimana lagi. Bundanya terus memegang tangannya.
Terasa dia tidak ingin kehilangan anaknya itu.
“Nak memang Bunda adalah ibu sambungmu yang telah
merawatmu sejak bayi.Kalau kamu ingin tahu, ibumu telah berpisah
dengan ayah sejak kamu masih berumur dua bulan. Kami berpisah
karena sudah tidak ada kecocokkan di antara kami,” kata ayahnya.
Ayahnya terdiam beberapa saat. Ada beban yang berat yang seolah
dirasakannya. Sepertinya dia tidak mau membuka luka lama. Sista tahu
itu tapi ia juga butuh kepastian.
Ingin tahu ibu kandungnya. Seperti apa wajahnya, dan bagaimana
keadaannya sekarang. Semua itu sekarang berkecamuk dalam
kepalanya.
“Tapi kamu tidak usah cari ibumu,” lanjutnya.
“Aku hanya kepingin lihat keadaan ibuku, Yah. Di mana ibuku?”

Kasih Tak Sampai di Merapi 59


Air mata Sista mulai tak bisa terbendung. Bundanyalalu
mendekap. Dia berusaha menenangkannya. “Nak sudahlah, kamu
kan sebentar lagi mau ujian.Kamu harus fokus ke ujianmu dulu, Nak,”
sambungnya.
“Tapi Bunda aku harus ketemu ibuku!”
“Iya tapi kamu juga harus memikirkan ujianmu dulu, ya Nak!”
bujuk ibunya. “Kamu kan sudah punya Bunda.”
Sista berlari ke kamar. Ditumpahkan air matanya.Tak terbendung.
“Ibu..., ibu..., di mana kamu,” rintih hatinya.
Tak lama kemudian bundanya menyusul. Dia mengusap kepala
anaknya dengan lembut. Ia begitu sayangnya. Kemudian ayahnya
masuk. Mereka sepertinya tak tega. Dengan penuh kasih sayang
ayahnya membelai. Sepertinya mereka tidak mau kehilangan dirinya.
“Kalau kamu mau tahu, ibumu sekarang sudah menikah,” kata
ayahnya.
“Sekarang ibu tinggal di mana?”
“Ibumu sudah berkeluarga lagi, Nak, sekarang tinggal di Yogya.
Tapi ayah tidak tahu lagi alamatnya, Nak.”
“Ayah ayo kita cari ibu, aku ingin ketemu,” pinta Sista.
“Iya nanti kita cari, tapi ingat minggu depan kamu baru akan
ujian,” ayahnya memberikan pengertian. Dia menasihati untuk
mencari ibunya setelah ujian selesai.
“Kamu harus menyiapkan ujian dulu, karena itu demi masa
depanmu.”
Sista masih belum bisa menghentikan air matanya. Bundanya
juga turut berlinangan air mata.
“Sista, kamu harus ingat, kamu kan ingin masuk ke fakultas
kedokteran,” kata bundanya mengingatkan. “Untuk itu kamu harus
fokus dulu ke ujianmu ya.”
Setelah agak tenang orangtuanya meninggalkan Sista di kamar.
Walaupun hari telah larut malam, mata Sista tak dapat terpejam.
Dia ingat kata ayahnya. Ibunya ada di Yogya. Tapi ayahnya tak tahu
alamatnya. “Ibu..., ibu..., aku ingin ke temu.”
Dalam benaknya yang ada hanya ibunya. “Di mana dia, bagaimana
keadaannya?” Tak terpikirkan lagi masa ujian sudah di ambang pintu.
Hanya ibu dan ibu yang ada. Begitu rindunya Sista pada ibunya.
Sehingga membuatnya seperti linglung.
Tak lagi nampak Sista yang periang. Wajahnya selalu murung.
Duka mendalam yang dia rasakan.
Kedua orang tuanya begitu kasihan melihat keadaan Sista. Mereka
takut anaknya jatuh sakit.

60 Kasih Tak Sampai di Merapi


“Aku harus mencari ibu,” katanya lirih. Tapi hari Senin aku harus
ujian. Bagaimana ini?” gumam Sista.
Dentang jam sudah berbunyi lima kali. Sista juga belu beranjak
dari tempat tidur.
“Sista..., Sista...,” panggil bundanya dari luar. “ Ayo bangun sudah
siang, kamu harus sekolah,” katanya.
“Bun aku tidak sekolah, aku mau cari ibu.”
“Ayo Nak, bunda masuk ya,” lanjutnya.
“Iya,”
Bundanya masuk ke kamar. Kembali Sista berucap, “Aku mau cari
ibu, Bun,” katanya dengan nada sedih.
“Iya Nak, tapi kamu harus ingat Senin kamu ujian,” jawab
bundanya.
“Tapi aku maunya sekarang Bun.”
“Iya sayang, nanti sepulang sekolah, kita bicarakan lagi.”
Dengan bujukan bundanya Sista mau berangkat sekolah.
Dia kemudian menyiapkan diri untuk berangkat sekolah. Tampak
wajah muramnya belum hilang. Tergambar di matanya rasa sedih
yang mendalam. Setelah berpamitan dengan ke dua orang tuanya ia
berangkat sekolah. Dia diantar oleh sopir ayahnya.
Sesampai di sekolah teman-temannya heran melihat Sista. Sista
yang selalu ceria diam seribu bahasa. Di matanya terlihat sembab.
Tanda dia habis menanggis.
“Hai Sista, kamu kenapa?” tanya salah satu temannya.
“Tidak apa-apa,” jawab Sista sambil berlari ke kelas.
Lena teman akrabnya berlari mengikutinya. Sesampai di kelas
Sista menanggis. Dia berkata, ”Aku mau mencari ibuku.”
“Ibu...,”
“Memangnya bundamu ke mana?”
“Ibuku, Na, ibu kandungku.”
Lena semakin bingung. “Ibu kandungmu kan ya bundamu to....”
Sista memandang Lena yang masih bingung mendengar
jawabannya. Lena mendekati Sista, dan berkata, “Ibu kandung. Teryata
bundaku bukan ibu kandungku.”
“La., kamu tahu dari mana?” tanya Lena.
“Semalam di rumahku ada tamu, tak sengaja mendengar
pembicaraan mereka.” Sambil menghela nafas Sista melanjutkan
ceritanya.“Saudara jauh dari ayahku. Dia menanyakan wanita yang
membuatkan teh itu siapa? Kemudian ayahku memberitahu bahwa
itu istrinya. Dia kelihatan kaget. Selanjutnya ayah bercerita tentang
kehidupannya selama ini. Dari situlah aku mendengar bahwa bunda

Kasih Tak Sampai di Merapi 61


bukan ibuku.”
“O..., begitu!”
“Nanti sepulang sekolah aku mau mencari ibu ke Yogya.”
“Memangnya kamu tahu alamat ibumu,”
“Belum, katanya tinggal di Yogya.”
“Sis Yogya itu luas, kamu mau mencari kemana?”
“Entahlah yang penting nanti aku akan ke sana,” jawab Sista.
Bel masuk sudah terdengar. Tanda pelajaran akan segera dimulai.
Begitu pula dengan Sista dan Lena, mereka segera menempatkan diri.
Tak berapa lama kemudian datang Bu Guru. Ucapan salam dengan
serempak diucapkannya. Kemudian ia segera memulai pelajaran.
Hati dan pikiran Sista sudah tidak dapat konsentrasi. Yang ada
hanya bangaimana dapat bertemu dengan ibunya. Dan bagaimana
dengan ujiannya. Antara ujian dan mencari ibu bergulat jadi satu
dibenaknya.

62 Kasih Tak Sampai di Merapi


Kandas di Tengah Jalan
Sri Murtini

Herni itulah namaku. Rumahku jauh di pedesaan. Jauh dari kota.


Jauh dari deru kendaraan bermesin. Hari-hariku dipenuhi dengan
suara jengkrik dan katak. Hamparan sawah nan menghijau selalu
menjadi pemandanganku. Burung yang beterbangan selalu menghias
alamku.
Aku berasal dari keluarga yang tak mampu. Bapakku seorang
buruh tani. Ibuku juga menjadi buruh setelah menyelesaikan pekerjaan
rumahnya. Kami juga selalu membantu bapak ibuku semampu kami.
Demi untuk sesuap nasi dan membayar sekolah.
Kami hidup bertujuh di rumah. Kami berlima bersaudara. Aku
anak pertama dari keluargaku. Adikku ada lima. Kami hidup rukun,
selalu saling membantu. Segala masalah kami selesaikan bersama.
Pada suatu hari kami duduk bersama. “Pak sebentar lagi akan
ujian sekolah, aku akan malanjutkan sekolah,” kataku.
“Tapi kamu mau melanjutkan ke mana?”
“Aku mau ke UNY, Pak. Aku mau jadi guru.”
Kulihat kening bapak berkerut. Aku tahu, bapak tidak sanggup
lagi membiayaiku. Biaya kuliah terlalu mahal bagi kami. Aku sendiri
menyadari kalau untuk mendapatkan beasiswa itu hal mustahil bagiku.
Aku bukan anak yang pandai. Bahkan di sekolah aku tak pernah
mendapat rangking.
“Ni, kalau mau melanjutkan lagi rasanya bapak tidak mampu,”
katanya lirih.
Aku sebenarnya jadi kasihan sama bapak. Bapak kerja keras
siang malam demi menghidupi kami. Walaupun kami bersama ibu
juga sering membantu mencari sesuap nasi. Tapi itu masih belum
mencukupi kami. Adik-adikku juga masih membutuhkan biaya untuk
sekoalah.
“Pak nanti aku mau bekerja sambil kuliah,” kataku.
“Kamu mau bekerja di mana?”
“Aku akan ikut orang.”
Kasih Tak Sampai di Merapi 63
“Siapa?” tanya bapakku dengan terkejut.
“Ini Pak, kemarin keluarganya Pak Hasan yang di Yogya,
membutuhkan pembantu.”
“Pembantu!”
“Iya Pak,” jawabku menyakinkan bapak.
“Tapi bagaimana bisa kamu mau kuliah sambil bekerja?”
Sebenarnya aku juga ragu bagaimana nanti aku kuliah sambil
bekerja. Tapi ini jalan satu-satunya aku dapat kuliah. Kuyakinkan diriku
sendiri, pasti aku bisa. Akan kuatur waktuku sebaik mungkin. Aku
tahu bapakku dan ibuku ragu. Aku akan berusaha menyakinkannya.
Waktu ujian sudah tiba. Kupersiapkan diriku sebaik mungkin.
Kuatur langkahku demi ujianku. Aku tak mau gagal. Akan kugunakan
kesempatan ini demi kuliahku.
Sampai pada suatu hari datanglah tamu di rumahku. Pak Projo
namanya. Dia keluarga yang kaya raya di desaku. Mempunyai sawah
yang luas di mana-mana. Mempunyai kebun cengkih yang luas pula.
Pengawainya pulhan orang. Salah satunya adalah bapak. Dia seorang
duda beranak satu.
Setelah dipersilahkan duduk. Bapak segera menemuinya. Kami
merasa kaget dengan kedatangannya. Kami juga heran mengapa Pak
Projo sampai datang ke rumah.Setelah duduk bapak bertanya tujuan
Pak Projo.
“Maaf Pak, ada apa ya Bapak datang ke gubug saya?” tanya bapak.
“Saya ke sini ingin…” katanya sambil melihat ke kiri dan kanan.
Kami merasa takut, ada apa gerangan Pak Projo datang ke rumah.
Apa bapak ada kesalahan waktu bekerja. Beribu tanda tanya memenuhi
benak kami. “Ni, ini minumya dibawa keluar,” kata ibu memudarkan
lamunanku.
Aku keluar menghidangkan minuman. Kulihat Pak Projo
memandangku dengan pandangan yang berbeda. Membuatku menjadi
salah tingkah.
“Mari silahkan di minum, Pak.”
“O ya, terimakasih,” jawabnya kaget.
Aku kembali ke dalam. Kurasakan ada sesuatu yang aneh pada
Pak Projo waktu aku menghidangkan minum tadi. Sepertinya dia
memperhatikan diriku. Entah apa yang dia pandang pada diriku.
Kembali bapakku melanjutkan pembicaraannya. Sebenarnya aku
ingin tahu apa yang mereka bicarakan. Tapi aku malu. Aku kembali
ke tempat semula. Kudengar sayup-sayup mereka bicara. Tak seberapa
lama Pak Projo pun pulang.
Tak sabar aku menunggu bapak. Ingin mengetahui apa yang

64 Kasih Tak Sampai di Merapi


dibicarakan tadi. Tak lama bapak kembali masuk rumah. Segera duduk
diikuti ibu dari belakang. Dengan tatapan penuh tanda tanya, ibu
segera duduk di sebelah bapak.
Aku belum berani mendekat. Kulihat bapak dan ibuku asik
berbincang-bincang. Kelihatannya mereka serius. Entah apa yang
mereka bicarakan.
Tiba-tiba ibuku memanggil, “Ni, Harni sini Nduk.”
“Ya Bu.” Aku segera mendekat dan duduk didekat ibu.
“Begini Nduk, kedatangan Pak Projo tadi sebenarnya melamar
kamu,” kata bapak pelan tapi membuat dadaku berguncang.
Seperti ada petir di siang bolong. Aku kaget setengah mati. Tak
ada firasat apa-apa pada diriku. Tiba-tiba saja ada yang melamarku.
Sangat mengejutkan bagiku.
“Dia ingin menikahimu,” lanjut bapak.
Tak sepatah katapun keluar dari mulutku. Mulutku sepertinya
terkunci. Tak terbayang sedikitpun aku akan menikah dengan orang
yang usianya jauh tua dibandingkan dengan diriku. Sudah punya anak
lagi.
Baru semalam impianku untuk kuliah akan terwujud. Harapan
membayangkan kuliah sudah di pelupuk mata. Namun hari ini pupus
sudah harapanku itu. Aku harus menikah.
“Maafkan bapak, yang tak bisa menolaknya.” Bapak menghela
nafas. Sepertinya sangat berat dia menyampaikan padaku. Tapi
bagaimana mungkin bapak menolaknya.
Aku segera masuk ke kamar meninggalkan bapak dan ibuku. Tak
sepatah katapun keluar dari mulutku. Ibuku segera menyuslku. Dia
mendekati dan berkata,” Nduk kamu harus bisa mengerti, ya!Maafkan
kami ya Nduk, kami tak kuasa menolaknya.”
Kuangkat mukaku menatap ibu. Aku tahu ada beban berat
diwajahnya. Ibu menanggis. Tak mampu lagi kami membendung air
mata. Kusadari aku anak terbesar di keluarga. Anak yang harus ikut
memikirkan nasib adik-adikku.
“Nduk sudahklah, kamu sudah cukup tinggi sekolahmu,” kata
bapak.
“Tapi aku ingin kuliah, Pak.”
“Iya aku tahu tapi aku juga tidak tega kamu bekerja, ikut orang
lagi.”
“Tapi Pak, bagaimana aku dapat menikah dengannya?”
Bapak terdiam mendengar pertanyaanku. Bapak orangnya sabar.
Beliau mendekatiku. “Nduk ini mungkin sudah takdirmu, kamu harus
menikah dengan Pak Projo.Mungkin kamu dijadikan penolong, untuk

Kasih Tak Sampai di Merapi 65


ikut membantu menentukan nasib ke tiga adikmu.Kamu kan tahu
bapak tidak bisa berbuat banyak,” kata bapak.
Aku hanya tertunduk diam. Sepertinya hanya kata “ya” yang aku
katakan, demi keluargaku.

66 Kasih Tak Sampai di Merapi


Cinta Yang Hilang
Sri Murtini

Tet...,tet...,tet...,bel berbunyi tiga kali. Wajah girang tampak pada


mereka. Segera mereka berkemas untuk pulang. Afgan segera maju ke
depan untuk memimpin doa. Setelah berdoa mereka mengucap salam.
Tak lupa berjabat tangan denganku sebelum pulang.
Anak-anak yang bertugas piket segera bersiap untuk piket.
Ada yang menyapu dan menutup jendela. Ada pula yang merapikan
meja dan kursi. Sedangkan aku fokus pada buku di atas meja yang
berantakan. Tak sampai lima menit buku sudah tertata rapi. Aku
bergegas menuju ke kantor.
Di tengah jalan kudengar bunyi whatsapp dari hp. Setelah duduk
di ruang guru, segera ku buka hpku. Mataku terbelalak membaca isi
wa. Satu kali kubaca rasanya tak percaya dengan isinya. Kubaca wa tadi
satu kali lagi. Setelah yakin dengan isinya aku berlari.
“Pak, Pak, Pak Sur ini ada wa seperti ini,” kataku.
“Wa apa bu,” jawabnya.
“Ini lo, Pak,” sambil kusodorkan hpku.
Kemudian Pak Sur segera membacanya. Dia geleng-geleng kepala.
“Ah tidak mungkin,” katanya. “Tidak apa-apa bu,” jawabnya dengan
tenang. Tetapi aku mulai ketakutan dengan isi wa tadi.
Dengan tergopoh-gopoh aku segera ke kantor. Kulihatkan lagi wa
tadi ke teman guru. Bu Fatma segera membaca isi wa dengan perlahan.
“Bu nanti saya titip Bella, ya... anaknya tidak mau pulang ke rumah
bapaknya. Tapi jika tidak pulang, dia akan dipukuli. Sekarang saya
disuruh pergi, nanti tolong Bella diantar sampai luar, ya Bu.”
Dengan menghela nafas panjang Bu Fatma memandangku. Ada
tanda tanya besar di antara kami. “Bagaimana Bu ini,” tanya Bu Fatma.
Aku terdiam, saling pandang. “Terus bagaimana Bu?”
“Ini kalau beneran bagaimana,” tanyaku lagi. Aku mulai ketakutan.
Jantungku berdebar keras. Keringat dinginku mulai mengalir.
Sejak pagi bapaknya Bella sudah mondar-mandir di depan
sekolah. Entah sudah tiga atau empat kali dia menuju kantin, untuk
Kasih Tak Sampai di Merapi 67
menemui Ibunya Bella. Memang setiap pagi Bella diantar ibunya ke
sekolah. dan menunggunya di kantin.
Dari wa yang ku baca, ibunya dimarahi, diminta untuk pergi.
Bapaknya ingin agar Bella pulang ke rumahnya. Karena takut dimarahi
dan diancam mau dipukuli akhirnya dia pergi.
Di kantor masalah ini menjadi ramai diperbincangkan. Kata Bu
Kepala Sekolah, “La ini yo tidak bener kalau masalah ini di pasrahkan
di sekolah.Sebenarnya masalahnya bagaimana to,” tanyanya.
“Bella itu sebenarnya memang sudah ditinggalkan ibunya sejak
kecil.Dia kemudian diasuh bapak sama neneknya.Setelah dua tahun
terakhir ini Bella ikut ibunya, entah bagaimana ceritanya sampai bisa
ikut ibunya,” kata Pak Sur.
“Ohh, begitu.”
“Jadi Bella belum lama ya, ikut ibunya lagi.”
“Iya.”
“Terus kenapa Bella kok mau diminta bapaknya, Pak?”
“Karena bapaknya tidak terima Bella setelah besar ikut ibunya.
Padahal waktu kecil kan yang ngasuh bapaknya.”
Aku hanya mengangguk-angguk. Kupikir bapaknya juga ada
benarnya. Mau minta Bella karena merasa sudah mengasuhnya sejak
kecil. Tapi dari sisi ibunya juga benar karena Bella tidak mau ikut
bapaknya. Aku hanya bisa mengeleng-ngelengkan kepalaku.
Tiba-tiba terlihat bapaknya Bella menuju kelas. Aku bergegas
berlari ke luar. Di kelas masih banyak anak-anak yang piket. Sampai di
kelas terlihat Bella sudah menanggis ketakutan. Kudekati dan kudekap
dia. Tidak berapa lama, dia merasa tenang. Lalu kusuruh dia duduk
di kelas.
Ku dekati bapaknya Bella. “Pak ada apa?”
“La, itu Bella mau tak suruh pulang ke rumah tidak mau.”
“Kan Bella sudah ikut ibunya to Pak.”
“Iya, tapi hanya tak suruh pulang dua atau tiga hari tidak mau. Dia
itu saya suruh ngajari adik-adiknya belajar.La istri saya juga sudah 15
hari tidak pulang.Hanya saya suruh ngajari adik-adiknya bu,” katanya
lagi.
Setelah saya berpikir sejenak memang bapaknya Bella juga baru
pusing. Dia ditinggal istrinya yang ke dua entah kemana. Padahal di
rumah masih ada tiga anaknya yang masih duduk di kelas satu dan kelas
dua. Tujuan ingin mengambil Bella untuk membantu adik-adiknya.
“Pak, sekarang aku mau tanya ke Bella dulu ya Pak, mau tidak ikut
bapak.”
“Ya Bu,” jawabnya.

68 Kasih Tak Sampai di Merapi


Kupanggil Bella. Ia masih terlihat ketakutan dan menanggis.
Aku mencoba meredakan dan bertanya, “Mbak, kamu mau pulang ke
rumah bapak tidak.”
“Tidak mau, Bu,”
“La kamu mau ikut siapa.”
“Mau ikut ibuku,” jawabnya sambil menanggis.
“Cuma tiga hari saja,” kata bapaknya menyela.
“Tidak mau,” jawab Bella.
“Ya sudah, jangan menanggis lagi. Ayo sekarang piketnya pindah
ke kelas sebelah. Besok yang akan kita tempati untuk tryout,” kataku
utuk mengalihkan perhatian anak-anak.
“Ya Bu,” jawab mereka serempak. Mereka segera berlarian menuju
kelas yang akan mereka bersihkan. Tak ketinggalan Bella juga ikut.
Setelah anak-anak ke kelas lain kembali kudekati bapaknya Bella.
Dia masih kelihatan marah dan kecewa. “Pak, saya minta pengertian
bapak. Bella besok hari Senin akan ujian ya Pak, tolong kalau tidak mau
jangan dipaksa. Kasihan, Pak Bellanya.”
“Cuma tiga hari kok, Bu.”
“Walau hanya tiga hari kalau anaknya tidak mau, terus gimana?”
“Cuma untuk ngajari adik-adiknya Bu,” kembali alasan itu
diucapkan lagi.
“Iya, Pak, tapi tadi bapaknya kan dengar sendiri kalau Bella tetap
tidak mau. “Tolong ya pak, beri pengertian pada Mbak Bella, yang
sebentar lagi akan ujian. Bapak kan tidak mau to kalau anak bapak
gagal dalam ujian. Kan kasihan Mbak Bellanya,” kataku menyakinkan
dia.
Dia terdiam. Kuperhatikan raut wajahnya. Ada sirat kekecewaan
di wajahnya. Wajar saja kalau dia kecewa, kataku dalam hati. Siapa yang
mau untuk kehilangan anaknya.
“Tapi Bu, bagaimana kalau dia ikut ibunya terlalu lama dia akan
membenci saya,” katanya lirih. Dengan nada sedih dia menatapku. Aku
merasakan kesedihan yang mendalam di matanya.
“Ya tidaklah pak, masak anak benci sama bapaknya.”
“Iya bu, sekarang saja tidak mau ke rumah,” katanya. “Aku yang
membesarkannya Bu, kok setelah besar, malah begitu,” sambungnya.
“ Maaf ya Pak, mungkin karena saat ini Mbak Bella baru ingin
sama ibunya.” jawabku. Sebenarnya aku hanya meredam agar dia tidak
marah. Hati kecilku sebenarnya mengatakan kalau Si Bella takut sama
bapaknya. Aku saja takut melihatnya.
Tubuhnya tinggi besar. Berperawakan hitam. Dia berwajah
seram. Banyak tato di tubuhnya. Pokoknya menyeramkan. Apa lagi

Kasih Tak Sampai di Merapi 69


kalau kudengar cerita dari Mbak Sri penjaga kantin. Katanya dia
sering ringan tangan. Sering memarahi dan menyakiti istrinya. Suka
menempeleng, menyiksa istrinya.
Siapa yang tidak takut dengannya. Apalagi dengan anaknya yang
sering dimarahi dan diancam akan diseret kalau tidak mau pulang.
Kasihan memang Mbak Bella. Karena keadaan bapak dan ibunya dia
menjadi kurbannya.
Hari semakin siang, anak-anak yang piket sudah selesai. Aku
bingung bapaknya Bella masih di sini. Kemudian aku dekati dia lagi.
“Pak, maaf, bagaimana kalau mengajak pulangnya Bella setelah ujian
nasional saja.”
“Terus kapan itu, Bu.”
“Ya, setelah bulan April ya, Pak.Agar Mbak Bella dapat
berkonsentrasi,” jawabku lagi.
Bapaknya Bellaterdiam. Dia kelihatannya baru berpikir. Terlihat
dari raut wajahnya.
Aku berusaha menyakinkan dia. Aku tahu karena Bella tidak mau
sama bapaknya. Aku kasihan padanya. Dia menjadi rebutan kedua
orangtuanya. Karena perpisahan kedua orangtuanya Si Bella harus
menanggung akibatnya.
Tanpa berkata apapun dia pergi meninggalkan aku. Aku lega
akhirnya dia meninggalkan sekolah. Walaupun dia tidak pamit dan
berkata apapun padaku. Aku maklum dengan keadaannya. Siapa yang
mau dibenci sama anaknya.
Sebenarnya aku juga kasihan sama dia. Tapi keadaan yang harus
dia pilih. Mungkin dia berpikir kalau juga kasihan pada anaknya.
Sebentar lagi akan menghadapi ujian. Atau mungkin dia juga berpikir
caranya untuk mengajaknya pulang.
Pikiranku berkecamuk memikirkan hal itu. Aku menjadi
gundah. Bagaimana nanti selanjutnya. Aku tak mau Bella tidak ikut
ujian. Kasihan dia, harus banyak pikiran. Menanggung beban yang
seharusnya bukan untuknya.
Aku masih berpikir bagaimana nanti Bella pulang. Ibunya Bella
sudah pergi, entah kemana. Dia takut sama mantan suaminya.
Setelah bapaknya pergi, segera kupanggil Bella. “Nanti kamu
pulangnya bagaimana, Mbak,” tanyaku.
“Nanti saya disuruh pulang tempatnya Mbak Lia, Bu.”
“Terus nanti ketemu ibumu di mana?”
“Nanti aku diantar sama Bude Sri ketemu ibu.”
“Di mana ketemunya,” tanyaku.
“Di sekolahnya Mas Oki, Bu.”

70 Kasih Tak Sampai di Merapi


“O…Ya, Hati-hati, ya,Mbak.”
Kemudian anak-anak segera pulang Mbak Bella ikut pulang ke
rumah Mbak Lia. Aku merasa lega. Bella tidak jadi diambil bapaknya.
Segera aku bergegas pergi ke kantin. Kutemui Mbak Sri penjaga
kantin. Kutanyakan di mana ibunya la.
“Saya tidak tahu Bu. Hanya nanti Bella saya jemput di sekolah,
nanti ketemuan di sana,” jawabnya.
“O ya, terimakasih ya Mbak,” jawabku.
Aku merasa senang, ada keceriaan di wajah Bella saat pulang tadi.
Semoga bapaknya tidak lagi memaksanya untuk pulang ke rumahnya.
Jam menunjukkan waktu pulang. Aku segera berkemas-kemas
pulang. Tiba-tiba hpku berbunyi. Terlihat wa dari ibunya Bella. Kubaca
wa itu. “Bu, Alkhamdulillah, aku sudah sampai di rumah. Senang dan
lega rasanya mendengar berita itu.”
Ikut plong rasanya aku setelah menmbaca wa itu.

Kasih Tak Sampai di Merapi 71


Uang Koperasi Sekolah
Sri Murtini

Ketika aku tiba di sekolah sudah banyak anak bermain di halaman.


Di antara mereka langsung menghampiriku. Wajah mereka tampak
ceria. Beberapa anak segera mengulurkan tangan, sambil berkata,
“Selamat pagi, Bu.”
“Pagi,” jawabku, sambil menjabat tangan mereka satu demi satu.
Tiba-tiba mataku tertuju pada kerumunan anak-anak. “Ada apa
itu,” kataku dalam hati penuh penasaran. Aku berjalan menuju ke
tempat anak-anak berkerumun.
“Bu Guru uang koperasi hilang,” kata Nita anak kelas VI.
“Kok bisa, berapa hilangnya,” tanyaku sambil menyibak
kerumunan anak-anak.
“Semua Bu.”
“Bagaimana mungkin?”
“Tadi kami piket di koperasi Bu. Sebelum piket kami lihat uangnya
banyak. Tapi setelah kami selesai piket, kata Nina uangnya sudah tidak
ada.”
“Waktu mau ambil uang kembalian tadi, uangnya sudah tidak
ada, Bu.”
“Tadi yang bertugas piket di koperasi siapa?” tanyaku.
“Ada tiga anak Bu, Nita, Fani, dan Sifa.”
“La kok bisa, yang piket tadi di mana.”
“Tadi setelah Nita dan Fani piket, mereka mengembalikan sapu di
kelas. Sifa belum berangkat. Setelah itu mereka kembali ke koperasi dan
uangnya sudah hilang semua,” jawab Nana.
Aku mengangguk-angguk. Kok bisa ya uang koperasi hilang.
Belum pernah ada kejadian seperti ini. Bagaimana mungkin uangnya
bisa hilang begitu saja. “Mungkin ada yang ambil di antara mereka,”
kataku dalam hati. Aku belum merasa curiga pada siapapun.
Aku segera ke ruang guru. ”Bu, uang koperasinya hilang,” kataku
pada guru lain.
“Berapa Bu?” tanyanya kaget.
72 Kasih Tak Sampai di Merapi
“Semua,” jawabku
“Waduh, kok bisa?”
“Saya tadi diberitahu oleh-oleh anak-anak.”
Kami terdiam sejenak. Tiada kata yang keluar dari mulut kami.
Kami hanya merasa heran. Uang koperasi yang selama ini aman-aman
saja, kok bisa hilang.
“Terus kira-kira siapa yang mengambilnya ya Bu?” tanya Bu Sari.
“Aku tidak tahu Bu. Nanti setelah istirahat saja kita bicarakan lagi,”
jawabku.
Jam sudah menunjukkan pukul 07.00WIB. Waktunya anak-anak
masuk kelas. Kami segera menuju kelas masing-masing. Memulai
mengajar. Sesampai di kelas kuucapkan salam.
“Selamat pagi Bu Guru.”
“Selamat pagi anak-anak,” jawabku. “Anak-anak tadi sebelum bel
masuk ada kejadian uang sekolah hilang. Apakah ada yang tahu, siapa
yang mengambilnya?”
“Tidak tahu Bu,” jawab mereka serempak.
“Anak-anak kalau mengambil bukan milik kita itu boleh tidak?’
“Tidak.”
“Berdosa tidak anak-anak,”
“Berdosa Bu Guru.”
“Nah, kalau begitu bagi siapa saja yang merasa mengambil, tolong
dikembalikan ya! Kalau tidak ada yang mengaku nanti satu persatu
anak-anak akan diberi minum air putih. Apabila ada yang mengambil
dan tidak mau mengaku nanti akan terjadi sesuatu pada dirinya.”
Anak-anak terdiam. “Ya, sudah sekarang kita lanjutkan pelajaran
kita dulu.”
Setelah waktunya istirahat, aku kembali ke kantor. Dari kantor
kulihat anak-anak masih memperbincangkan uang koperasi yang
hilang. Begitu pula bapak ibu guru juga masih memperbincangkan hal
yang sama. Kami merencanakan sesuatu agar anak yang mengambil
uang mau mengaku. Agar jera tidak mencuri lagi.
Bel masuk berbunyi. Aku ke kelas dengan membawa air putih
untuk diminumkan pada anak-anak. “Selamat siang anak-anak!”
“Siang Bu Guru,” jawab mereka.
“Anak-anak, sekarang Bu Guru membawa air putih untuk kalian
minum. Seperti kataku tadi siapa yang mengambil uang koperasi akan
ketahuan.”
Suasana kelas menjadi ramai. Anak-anak saling bertatap muka,
ada tanda tanya di antara mereka. Aku sebenarnya merasa kasihan
pada mereka.Ada rasa takut pada wajah mereka. Tapi hanya dengan

Kasih Tak Sampai di Merapi 73


cara ini untuk mengetahui siapa yang mengambil uangnya.
Satu persatu mereka maju ke depan. Setelah mereka meminum,
aku mulai mencurigai satu anak yang kelihatannya berbeda dengan
yang lain. Seperti ada rasa takut yang disembunyikan. Aku tidak mau
menuduhnya,karena belum terbukti. Aku pura-pura tidak tahu.
Waktupun berlalu. Hari itu tidak ada yang mau mengaku. Tapi
aku percaya, bahwa anak terebut yang mengambil. Hal itu terlihat dari
raut mukanya.
Pagi harinya anak-anak masuk sekolah kembali. Sepertinya
kejadian kemarin sudah terlupakan. Aku segera menuju ke kantor.
Melakukan aktifitas seperti biasanya. Tak lama kemudian pintu kantor
diketuk seseorang.
“Assalamuallaiku,” katanya.
“Waalaikumsallam, mari silahkan masuk Bu,” jawabku.
Teryata salah satu orang tua siswa yang datang.
“Ada apa?”
Ibu itu mengatakan tujuannya datang ke sekolah. Dia bilang mau
minta maaf. Dia bilang kalau anaknya yang telah mengambil uang
koperasi. Dan anak tersebut tidak berani berangkat ke sekolah.
“ O... begitu Bu,” kataku.
Aku mengangguk-angguk menanggap. Kujelaskan bahwa yang
kami lakukan dengan tujuan anak jera. Aku juga bilang kalau besok
anak tersebut tolong disuruh untuk berangkat sekolah. Kami tidak
akan memberi hukuman. Kami hanya ingin agar anak tersebut tidak
lagi melakukan hal yang sama.
Akhirnya pagi harinya anak tersebut sudah berangkat sekolah.
Kudekati dia. Sebelum kusapa dia sudah minta maaf. Sepertinya dia
takut sekali. Kuusap kepalanya, “Jangan diulangi lagi ya,” kataku.
“Iya Bu,” jawabnya sambil keluar air matanya.
Dia menatapku, sepertinya ada rasa penyesalan yang mendalam
pada dirinya.

74 Kasih Tak Sampai di Merapi


Tangisan di Sudut Sekolah
Sri Murtini

Pagi itu, seperti biasa aku berangkat ke sekolah. Tumben pagi ini
sekolah sudah tampak ramai. Anak-anak sudah bergerombol. Bahkan
di tangga perpustakaan pun banyak anak-anak. Aku keheranan
mengapa di sana banyak anak-anak.
Aku melihat mereka. Jangan-jangan ada yang jatuh dari tangga.
Kenapa mereka berkerubung seperti semut. Di sudut sekolah yang
paling timur. Belum sempat kulepas helmku,tiba-tiba ada anak yang
datang menghampiriku.
“Bu Laila menangis,” katanya.
“Ada apa?” kataku sambil melepas helm.
“Tidak tahu Bu, ditanya tidak menjawab.”
“O... ya, sebentar Bu Guru ke sana,” jawabku.
Segera kulepas jaket dan memakir motorku. Aku segera berjalan
menuju tangga perpustakaan. Banyak anak berkerubung. Segera
kusibak kerumunan anak-anak. Mereka memandang kearahku.
Kutahu ada tanda tanya yang besar menghiasi wajah mereka.
“Mbak ada apa?” tanyaku.
Dia tidak menjawab, malah nangisnya semakin kencang. Aku
binggung, ada apa dengan anak ini. Kenapa anak ini seakan-akan
ketakutan. Segera kudekap dia. Aku berusaha menenangkannya. Tapi
usahaku tak berhasil. Dia semakin menjadi-jadi menangisnya.
“Mbak sudah, itu dilihatin teman-teman,” kataku sambil kuajak
untuk berdiri. Laila menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Dia
tetap masih menangis. Bahkan semakin menjadi tangisannya. Di sela-
sela tangisannya kudengar nama bapaknya dipanggil.
“Mbak ada apa,” tanyaku lagi.
Dia tidak menjawab. Hanya kata bapak yang keluar dari mulutnya.
“Ayo kita ke kelas saja,” kataku sambil memapahnya menuju kelas.
Waktu itu jam belum menunjukkan pukul tujuh. Jadi masih
banyak anak-anak bermain di halaman. Segera kuajak Laila menuju
kelasnya. Kucarikan tempat duduk agar tenang. Segera kuambilkan
Kasih Tak Sampai di Merapi 75
minum ke kantor.
Di kantor sudah banyak guru yang hadir. Mereka keheranan
melihatku datang dengan tergopoh-gopoh.
“Ada apa Bu,” tanya Bu Sarti.
“Itu Bu, Laila dari tadi menangis.”
“La... ada apa?” tanya salah satu guru lagi.
“Aku tidak tahu Bu, ini baru mau kuambilkan minum biar dia
tenang dulu,” kataku sambil keluar dengan membawa segelas teh
hangat.
Sesampai di kelas segera kudekati Laila dan kusuruh minum. “Ayo
ini tehnya diminum,” kataku.
Dia mengeleng.
“Ayo Mbak,” sambil kusodorkan gelas di depannya.
Laila tetap mengeleng, sambil masih menanggis. Dari luar kulihat
banyak mata memandang kami. Seakan mereka bertanya ada apa. Laila
masih terus menanggis. Dia masih menyebut nama bapaknya berkali-
kali. Aku juga bertanya-tanya ada apa dengan anak ini.
Segera aku pergi keluar. Kutanya siapa yang rumahnya dekat
dengan Laila. “Mbak siapa yang rumahnya dekat dengan Laila,”
tanyaku.
“Putri Bu,” jawab salah satu dari mereka.
Kemudian kucari Putri di kerumunan anak-anak dekat musala.
Sebentar kemudian kulihat dia baru keluar dari kantin. “Put, Putri.” Tak
lama anak tadi berlari menghampiriku.
“Ada apa Bu?”
“Rumahmu dekat dengan Laila ya,” tanyaku.
“Iya Bu,” jawabnya.
“Tadi ada apa di rumah Laila?”
“Tadi di rumah Laila di datangi polisi Bu, terus bapaknya Laila
dibawa sama Pak Polisi,” jawabnya polos.
Aku kaget mendengar jawaban anak tadi. Ada apa dengan
bapaknya Laila ya, kok sampai dibawa polisi. “Kamu tahu tidak kenapa
dibawa polisi?”
“Tidak Bu, karena tadi saya juga takut, terus berangkat sekolah,”
jawabnya lagi.
“O… ya sudah, terimakasih ya Put.”
Aku kembali ke kantor. Kuberitahukan ke bapak ibu guru kalu
bapaknya Laila di bawa polisi. Makanya Laila tidak mau berhenti
menangis. Bapak ibu guru ikut kaget mendengarnya. Mereka juga
bertanya-tanya apa gerangan yang menyebabkan bapaknya Laila
dibawa polisi.

76 Kasih Tak Sampai di Merapi


Segera kuhampiri Laila. Kutenangkan dia. Kusodorkan
kembali gelas yang berisi teh tadi. Dengan berbagai rayuan dia mau
meminumnya. Setelah agak tenang,kuajak dia berbincang-bincang lagi.
“Sudahlah Mbak, tidak apa-apa,mungkin bapak hanya diminta
keterangan.”
“Tapi bapak dibawa naik mobil polisi, Bu,” kembali dia menanggis
lagi.
Kutenangkan lagi dari tanggisnya. Dia mungkin ketakutan
bapaknya akan di penjara.
“Nanti aku tidak bisa ketemu bapak lagi Bu,” katanya penuh haru.
“Tidak, di sana kan cuma sebentar nanti terus pulang, kan hanya
dimintai keterangan,” kataku.
Laila agak reda dari tangisnya. Dia mungkin sudah agak tenang
mendengar penjelasanku.
Bel masuk pun telah berbunyi tiga kali. Tanda pelajaran segera
dimulai. Kami segera menempatkan diri. Demikian pula dengan anak-
anak segera masuk ke kelas masing-masing.
Laila sudah kelihatan tenang kebetulan dia ada di kelasku.
Sesekali kulirik dia. Kuperhatikan, masih ada beban berat yang yang
harus ditanggungnya. Ada rasa takut yang menghantuinya. Beban dari
sang ayah yang harus dibawa oleh mobil polisi, yang menghilangkan
senyum manisnya. Hilang sudah kegembiraannya.

Kasih Tak Sampai di Merapi 77


Profil Penulis

78 Kasih Tak Sampai di Merapi

Anda mungkin juga menyukai