Nurul
Yunarti Wulandari
Wahyu Widayati, S.Pd.
Susanti
Rita Tiaswari
Ristohadi S.
Suci Nurasih
Tutik Suwartini, S.Pd.
Suyatmi
Sri Murtini
Kasih Tak Sampai di Merapi
ANTOLOGI CERPEN
©Forum Guru Sleman Menulis 2019
PERPUSTAKAAN NASIONAL
Katalog Dalam Terbitan (KDT)
ISBN:
14 X 20 cm, vi + 78 halaman
Cetakan Pertama Juli 2019
Diterbitkan oleh
Forum Guru Sleman Menulis (FGSM)
Dana....................................................................................................... 1
Nurul
Pecel Milenial....................................................................................... 4
Yunarti Wulandari
Kasih Tak Sampai di Lereng Merapi................................................ 8
Wahyu Widayati, S.Pd.
Puntung Rokok.................................................................................... 15
Susanti
Impian.................................................................................................... 18
Susanti
Sampah Kemasan................................................................................ 21
Susanti
Anak Letnan.......................................................................................... 24
Susanti
Sebuah Status ........................................................................................ 27
Susanti
Bunga Kertas......................................................................................... 30
Rita Tiaswari
Cinta Yang Kandas............................................................................... 33
Ristohadi S.
Salah Jalan............................................................................................. 36
Suci Nurasih
Diana...................................................................................................... 39
Tutik Suwartini, S.Pd.
Kenduri.................................................................................................. 43
Suyatmi
Kesucian Penari.................................................................................... 48
Suyatmi
Kasih Tak Sampai di Merapi v
Ular Misterius....................................................................................... 53
Suyatmi
Dua Pilihan........................................................................................... 58
Sri Murtini
Kandas di Tengah Jalan....................................................................... 63
Sri Murtini
Cinta Yang Hilang................................................................................ 67
Sri Murtini
Uang Koperasi Sekolah....................................................................... 72
Sri Murtini
Tangisan di Sudut Sekolah................................................................. 75
Sri Murtini
Profil Penulis......................................................................................... 78
***
***
Ujian tinggal dua hari lagi. Mirna sudah mengikuti latihan ujian
beberapa kali. Pagi itu ia sudah siap mengikuti pelajaran. Semangatnya
begitu besar. Dia selalu ingin membanggakan orang tuanya.
Semua penjelasan guru ia perhatikan. Pada latihan ujian terakhir ia
mendapatkan nilai terbaik untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia.
Semua tidak membuatnya puas. Ia ingin mewujudkan impian
kakeknya.
Pada saat pelajaran sedang berlangsung, Mirna dipanggil guru
BK, Bimbingan dan Konseling. Guru tersebut menyuruhnya berkemas.
Ia keluar dengan menggendong tasnya.
“Mirna, ada yang menjemputmu untuk pulang,” kata guru
tersebut.
“Memangnya ada apa, Bu?”tanya Mirna.
“Kakekmu meninggal baru saja,” jawab Guru BK tersebut.
“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un,” ucap Mirna lirih. Masih teringat
jelas wajah kakeknya tadi malam ketika menahan sakit. Ia berangkat
sekolah ketika kakeknya tertidur. Tetapi Mirna pun tidak tahu apakah
kakeknya tertidur atau tidak sadarkan diri. Waktu itu, ayahnya sedang
sibuk mencari beberapa tetangga. Ada beberapa tetangga sudah di
depan rumah ketika Mirna mengeluarkan sepedanya tadi pagi. Mereka
membawa buku Yasiin. Barulah sekarang Mirna sadar bahwa mereka
akan mendoakan kakeknya.
Mirna berjalan mengikuti Guru BK. Di sudut kantor sudah duduk
Pak Mardi, tetangga sebelah rumahnya. Pak Mardi langsung berdiri
begitu melihat Mirna datang. Ia menghampiri Mirna.
“Mirna, bapak menjemputmu pulang karena kakekmu
meninggal,” ucap Pak Mardi.
“Iya, Pak. Terimakasih,” sahut Mirna.
Mirna dan Pak Mardi kemudian berpamitan pada Guru BK.
Mereka berjalan menju sepeda motor di sudut halaman sekolah.
Selama perjalanan pulang, air mata Mirna mengalir terus. Ia begitu
18 Kasih Tak Sampai di Merapi
kehilangan kakeknya. Tinggal dua hari lagi ujian. Di dalam hati ia
bertanya mengapa kakeknya diambil Tuhan begitu cepat. Mirna ingin
mewujudkan impian kakeknya. Ia ingin menyerahkan nilai hasil
ujiannya besok untuk kakeknya.
Beberapa menit kemudian mereka sampai rumah Mirna. Rumah
itu sudah penuh dengan orang. Ada tetangganya. Kerabat sebagian
juga sudah datang. Mirna turun dari sepeda motor. Ia berjalan
menuju ruang tamu. Di situlah tempat jenazah kakeknya. Ia tidak kuat
mendekat karena takut air matanya jatuh ke jenazah. Ia hanya melihat
dari jarak dua meter sambil menangis.
“Mirna,” suara ibunya terdengar dari belakang sambil memeluk
Mirna. “Ini sudah yang terbaik buat kakek. Jangan ditangisi. Kakek
sudah bahagia di alam yang lain. Sekarang tinggal kamu wujudkan
impian kakekmu,” lanjut ibunya.
“Iya, Bu,” ucap Mirna lirih.
“Sekarang kamu bersih-bersih dan ganti baju. Setelah itu ikutlah
melakukan salat jenazah,” kata Ibunya kepada Mirna.
Mirna segera menuju kamarnya. Ia bersih-bersih dan ganti baju.
Kemudian mukena ia siapkan di depan kamar. Ia menuju tempat
wudhu. Setelah wudhu, ia raih mukenanya dan melaksanakan
kewajibannya yaitu salat jenazah. Doa ia panjatkan untuk kakeknya.
Dua hari kemudian, Mirna menempuh ujian. Ia tetap semangat
menyiapkan diri untuk ujian. Walaupun sedang dalam suasana
bergabung, ia tetap semangat untuk mencapai impiannya. Ia ingin
membahagiakan orang tua dan juga almarhum kakeknya.
Ia sudah siap di ruang ujian. Semalam ia sudah belajar dengan
sungguh-sungguh. Besar harapan Mirna untuk mendapatkan nilai
yang maksimal. Ia menyiapkan peralatan yang diperlukan dalam ujian.
Beberapa menit kemudian, pengawas ujian datang membawa satu
amplop coklat besar. Salah satu pengawas membacakan tata tertib.
Setelah itu ia menunjukkan keutuhan amplop soal. Pengawas yang lain
kemudian membuka amplop tersebut menggunakan gunting.
Tak lama setelah para pengawas mengecek isi amplop, lembar
jawab dan soal dibagikan. Mirna mengerjakan soal dengan hati-hati.
Ia harus teliti dan jangan gegabah. Ia pun tidak memedulikan beberapa
temannya yang saling tanya. Ia ingin berusaha dengan kemampuannya
sendiri.
Ujian berlangsung selama enam hari. Hari-hari itu Mirna lalui
dengan lancar. Ibadah dan puasa sunnah juga ia jalankan. Untuk
mencapai hasil yang maksimal, dibutuhkan usaha yang maksimal.
Itu adalah motivasinya menuju kesuksesannya. Ia selalu ingin
Riri terlihat sedih. Ia baru saja dimarahi ibunya. Itu semua gara-
gara tumpukan sampah kemasan di meja kamarnya. Ibunya tidak suka
Riri menjadi anak yang ceroboh. Ia tidak bisa menjaga kebersihan
kamarnya. Tapi Riri sudah terbiasa dengan keadaan tersebut. Ibunya
memang suka marah-marah jika melihat tempat yang kotor.
“Ri, Ri, Riri!” terdengar suara ibunya memanggil.
“Iya Bu, sebentar,” sahut Riri sambil berjalan menuju ibunya.
“Tolong sampah yang ada di dapur kamu buang!” perintah ibunya.
“Baik Bu,” sahut Riri sambil lalu. Ia berjalan menuju tempat
sampah di dapur. Ia ambil tempat sampah itu. Ia berjalan keluar menuju
penampungan sampah di luar pagar rumah. Sampai di sana ia buang
sampah itu.
Ia melihat banyak plastik kemasan deterjen dan makanan. Ia ambil
beberapa kemasan tersebut. Kemudian ia bersihkan menggunakan air
kran di depan rumah. Kemasan-kemasan tersebut ia bawa ke kamar. Ia
jadikan satu dengan sampah kemasan yang ada di kamarnya. Supaya
ibunya tidak marah, ia simpan barang tersebut di laci meja belajarnya.
Hari berikutnya, saat pulang sekolah Riri mendengar ibunya
marah-marah. Rupanya sampah kemasan yang ia simpan telah
ditemukan ibunya. Riri sudah menyiapkan diri untuk menerima
omelan ibunya. Tampak ibunya bermuka kesal ketika keluar dari
kamar Riri.
“Kamu itu lhoi. Jadi anak kok jorok banget. Sampah disimpan di
laci meja belajar. Ibu harus bagaimana lagi menasehati kamu. Jagalah
kebersihan kamarmu!” kata ibunya emosi.
“Iya Bu,” kata Riri. Hanya itu yang bisa ia ucapkan supaya masalah
tidak panjang. Ia harus menjaga kedamaian di rumahnya. Ia tidak
mau berdebat dengan ibunya. Berdebat hanya akan membuat masalah
menjadi rumit.
Karena laci meja belajarnya sudah tidak aman, maka Riri mencari
tempat lagi. Ia melihat kardus bekas besar. Dulu itu ia gunakan untuk
Kasih Tak Sampai di Merapi 21
menyimpan buku bekas. Tetapi buku bekas itu sudah dijual oleh
ibunya. Ia masukkan sampah kemasan yang sudah lumayan banyak ia
kumpulkan. Kardus sudah hampir penuh. Ia taruh kardus tersebut di
atas lemari. Karena ibunya pendek pasti tidak bisa mengambil kardus
tersebut.
Ia kemudian istirahat sebentar dan menuju ruang makan. Ibunya
sudah ada di sana untuk menyiapkan makan siang. Ia duduk di kursi
makan. Makanan yang sudah ibunya siapkan, ia santap dengan nikmat.
“Ri, sekarang banyak tikus lho,” kata ibunya sambil duduk.
“Benarkah, Bu?”
“Tadi ibu menemukan beberapa bahan makanan, kemasannya
berlubang. Ada bekas gigitan di salah satu ujung kemasan,” lanjut
ibunya.
“Tikus itu nakal ya Bu.”
“Iya. Oleh karena itu, kamu jangan suka menyimpan sampah di
kamarmu. Nanti kamarmu jadi sasaran tikus.”
Riri terdiam. Ia tidak mau melanjutkan perbincangan itu. Lebih
baik diam daripada membuat masalah. Makanan yang disiapkan
ibunya sudah habis. Riri mencuci piring dan gelas kemudian kembali
ke kamarnya. Di dalam kamar ia kembali mengambil kardus yang
berisi sampah kemasan. Ia membuka buku yang berisi cara membuat
kerajinan dari barang bekas.
Gunting, benang, dan jarum ia ambil dari laci mejanya. Kemasan
yang sudah ia bersihkan sebelumnya, ia potong-potong menjadi ukuran
yang sama. Kemasan deterjen ia kelompokkan jadi satu. Kemasan
makanan ia kelompokkan sendiri juga. Riri mulai menjahit potongan
kemasan menjadi sebuah tas belanja. Selesai membuat tas dari sampah
kemasan, ia rebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ia tertidur pulas.
Ibunya sedang membersihkan rumah ketika itu. Ia masuk ke
dalam kamar Riri. Muka ibunya terlihat begitu kesal ketika melihat
lantai kamar Riri. Di lantai berserakan sampah potongan kemasan.
Mendadak muka ibunya mencair ketika melihat lima buah tas belanja
yang terbuat dari sampah kemasan.
Tas belanja itu diambil. Ternyata selama ini ia berpikir hal yang
salah tentang Riri. Ia berpikir Riri itu jorok karena sering menyimpan
sampah kemasan. Ternyata sampah kemasan itu ia simpan untuk
dijadikan barang kerajinan. Ia begitu merasa bersalah. Riri yang sedang
tidur, ia dekati. Kepala anaknya itu ia elus dengan penuh kasih sayang.
“Maafkan ibu, sayang,” ucap ibunya lirih. “Ibu sudah terlalu sering
menyalahkanmu,” lanjutnya. Air mata menggenang di sudut matanya.
Pelan-pelan air matanya jatuh mebasahi pipinya.
Sebut saja namaku Joni. Aku adalah anak seorang letnan. Ayahku
adalah letnan Joko. Semua polisi dan tentara di daerah Yogyakarta kenal
dengan ayahku. Aku adalah anak pemberani. Geng motor “Manly”
adalah tempatku berbagi bersama teman-temanku. Kami berbagi
kebahagian dan kesedihan. Solidaritas sangat dijunjung tinggi dalam
gengku. Jika ada anggota yang tersakiti, maka kami akan membalas
orang yang sudah menyakitinya.
Aku masih duduk di kelas VIII SMP. Tapi aku ikut geng yang
anggotanya berusia dua sampai tiga tahun di atasku. Setiap pulang
sekolah aku berkumpul bersama mereka. Begitu pula siang itu. Aku
nongkrong bersama anggota geng yang lain. Kami sedang menunggu
beberapa teman yang masih sekolah.
Agenda hari ini kami akan menyerang salah satu anak laki-laki,
siswa SMA 2 Melati. Anak tersebut kemarin telah menampar adik
dari salah satu anggota geng kami. Anak laki-laki menampar anak
perempuan. Tentu kami harus membalas.
“Joni, apa kau sudah siap dengan senjatamu?” tanya temanku.
“Tentu saja Bang, ini seperti rencana kita. Hanya untuk menakut-
nakuti anak itu,” sahutku.
Pistol ayahku tadi pagi aku ambil dari laci kamarnya. Pistol ini
hanya untuk menakut-nakuti saja. Tidak ada peluru di dalamnya.
“Ayo anak-anak, kita habisi dia!” perintah komandan geng kami.
“Siap,” sahut kami secara kompak. Kami mengendarai sepeda
motor seperti kilat. Tujuan kami adalah jalan samping SMA 2 Melati.
Anak yang menjadi sasaran kami biasa pulang lewat sana. Beberapa
menit kemudian sampailah kami di sana. Kami menunggu sasaran
kami lewat.
Sepuluh menit kami menunggu. Yang kami tunggu akhirnya
datang.
“Itu dia. Ayo serang!” perintah komandan kami. Kami berlari
menuju anak sasaran kami.
24 Kasih Tak Sampai di Merapi
Komandan kami baru memegang baju anak tersebut ketika
terdengar sirine polisi. Aku, komandan geng dan beberapa temanku
tertangkap polisi. Beberapa temanku yang lain berhasil menyelamatkan
diri. Ini bukan pertama kalinya aku masuk kantor polisi. Sudah
beberapa kali aku masuk kantor polisi gara-gara tawuran. Akan tetapi
aku selalu dibebaskan dalam waktu kurang dari 24 jam. Itu karena
ayahku adalah Letnan Joko. Semua polisi mengenal ayahku. Mereka
segan dengan ayahku. Aku yakin kali ini pun aku akan segera bebas.
Di rumah ibuku mencemaskanku. Ayah sedang menikmati
secangkir kopi sambil menonton acara musik di televisi. Ketika itu
terdengar dering telepon.
“Hallo!” seru ibu ketika mengangkat telepon.
“Hallo ibu. Kami dari kantor polisi. Hari ini kami menangkap
anak Ibu, mas Joni. Dia terlibat dalam tawuran antar siswa. Pistol juga
kami temukan di tasnya,” kata polisi yang menelapon.
“Baik Pak, kami akan segera ke sana. Terima kasih Pak polisi,”
sahut ibuku sambil menutup telepon.
Ia kemudian berjalan menuju tempat ayahku duduk. Dia
menghela napas panjang.
“Ada apa, Bu? Sepertinya ada masalah,” tanya ayah.
“Telepon dari kantor polisi. Lagi-lagi anak kita tawuran, Yah.
Pistol Ayah juga dibawa tuh,” kata ibu santai.
“Sebentar lagi kita ke sana. Tunggu sampai kopiku habis. Ibu
beres-beres dulu saja sana. Ini kan masalah biasa. Kali ini harus kita
bikin jera anak itu. Biar tahu tanggung jawab. Masih kelas VIII SMP
kok sudah banyak bikin masalah,” kata ayah panjang lebar.
“Terserah, Yah. Apa pun keputusanmu, ibu ngikut aja,” sahut ibu.
Ibu kembali ke dapur untuk beres-beres. Kemudian ia menuju
kamar untuk bersiap menuju kantor polisi.
“Bu, ayo berangakat!” terdengar ayah memanggil.
Ibu segera menuju ke tempat ayah. Mereka berdua menuju
kantor polisi tempat aku ditahan. Malam itu aku merasa menjadi anak
yang malang. Bagaimana tidak? Ayahku tidak mau membebaskanku.
Katanya aku harus berlatih tanggung jawab.
“Pak polisi, biarkan Joni ditahan dulu di sini. Biar dia rasakan
dinginnya sel tahanan,” kata ayah kepada polisi malam itu.
“Joni, jadikan ini pelajaran. Ibu berharap ini tidak terjadi lagi,” kata
ibu kepadaku.
Walau bagaimanapun ini tetap salahku. Aku harus bertanggung
jawab. Aku tidak boleh lari. Apa lagi menggunakan jabatan ayahku untuk
lari dari tanggung jawab. Satu minggu aku manjalani kehidupanku di
Pagi itu sekolah masih terlihat sepi. Tiap-tiap kelas banyak yang
belum hadir. Aku datang masih awal. Keluargaku membiasakan
anak sekolah harus berangkat lebih pagi, ketimbang kesiangan bisa
terlambat. Kemudian datang Andre teman sekelasku. Wajahnya ceria
penuh semangat.
“Selamat pagi Ras,” sapaan pagi dari Andre yang suka ramah
dengan teman.
“Hai Ndre, pagi juga,” responku.
“Apa kabar denganmu?”
“Baik, Ndre. Bagaimana denganmu, baik juga, kan?”
Andre punya teman namanya Dimas. Kakak kelas. Aku kenal
dengannya, orangnya tampan lagi pandai. Tapi aku gak pernah bergaul
dengannya.
“Ras, kamu dapat salam dari temanku,” kata Andre.
“Temanmu siapa?” aku balik bertanya.
“Itu kelas IX A,” lanjut Andre menegaskan.
“Siapa dia,?” tanyaku balik.
“Namanya…, nanti aja.”
“Salam apa?”
“Salam persahabatan dong,” jawab Andre.
“Baik, salam kembali,” jawabku untuk mengakhiri pembicaraan.
Karena terlihat teman-teman sudah pada dating. Membuat perasaanku
tidak enak.
Tak lama kemudian, datang beberapa teman. Pembicaraan
dengan Andre terputus. Tak lama kemudian bel berbunyi, pertanda
sekolah masuk. Pelajaran segera di mulai.
Pelajaran belum lama dimulai, Namun aku tidak fokus menerima
pelajaran. Hati dan pikiranku masih terngiang pembicaraan tadi
dengan Andre. Hal mendapat salam dari kakak kelas dan juga belum
tahu siapa dia.
Lonceng berbunyi tanda istirahat pertama. Aku berusaha
36 Kasih Tak Sampai di Merapi
menemui Andre.
“Ndre, aku ingin kau melanjutkan yang tadi pagi!” kataku.
“Yang mana Ras?” Andre balas tanya. “Dari Dimas, ya?”
Aku mengangguk. “Salam kembali ya nDre.” Dimas itu kakak
kelasku. Dia kelas III. Sepertinya dia siswa yangpandai di kelasnya. Juga
lancar bahasa Inggrisnya.
Bel berbunyi, penanda waktunya masuk kelas. Pelajaran pun
segera dimulai
***
Pagi itu, seperti biasa aku berangkat ke sekolah. Tumben pagi ini
sekolah sudah tampak ramai. Anak-anak sudah bergerombol. Bahkan
di tangga perpustakaan pun banyak anak-anak. Aku keheranan
mengapa di sana banyak anak-anak.
Aku melihat mereka. Jangan-jangan ada yang jatuh dari tangga.
Kenapa mereka berkerubung seperti semut. Di sudut sekolah yang
paling timur. Belum sempat kulepas helmku,tiba-tiba ada anak yang
datang menghampiriku.
“Bu Laila menangis,” katanya.
“Ada apa?” kataku sambil melepas helm.
“Tidak tahu Bu, ditanya tidak menjawab.”
“O... ya, sebentar Bu Guru ke sana,” jawabku.
Segera kulepas jaket dan memakir motorku. Aku segera berjalan
menuju tangga perpustakaan. Banyak anak berkerubung. Segera
kusibak kerumunan anak-anak. Mereka memandang kearahku.
Kutahu ada tanda tanya yang besar menghiasi wajah mereka.
“Mbak ada apa?” tanyaku.
Dia tidak menjawab, malah nangisnya semakin kencang. Aku
binggung, ada apa dengan anak ini. Kenapa anak ini seakan-akan
ketakutan. Segera kudekap dia. Aku berusaha menenangkannya. Tapi
usahaku tak berhasil. Dia semakin menjadi-jadi menangisnya.
“Mbak sudah, itu dilihatin teman-teman,” kataku sambil kuajak
untuk berdiri. Laila menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Dia
tetap masih menangis. Bahkan semakin menjadi tangisannya. Di sela-
sela tangisannya kudengar nama bapaknya dipanggil.
“Mbak ada apa,” tanyaku lagi.
Dia tidak menjawab. Hanya kata bapak yang keluar dari mulutnya.
“Ayo kita ke kelas saja,” kataku sambil memapahnya menuju kelas.
Waktu itu jam belum menunjukkan pukul tujuh. Jadi masih
banyak anak-anak bermain di halaman. Segera kuajak Laila menuju
kelasnya. Kucarikan tempat duduk agar tenang. Segera kuambilkan
Kasih Tak Sampai di Merapi 75
minum ke kantor.
Di kantor sudah banyak guru yang hadir. Mereka keheranan
melihatku datang dengan tergopoh-gopoh.
“Ada apa Bu,” tanya Bu Sarti.
“Itu Bu, Laila dari tadi menangis.”
“La... ada apa?” tanya salah satu guru lagi.
“Aku tidak tahu Bu, ini baru mau kuambilkan minum biar dia
tenang dulu,” kataku sambil keluar dengan membawa segelas teh
hangat.
Sesampai di kelas segera kudekati Laila dan kusuruh minum. “Ayo
ini tehnya diminum,” kataku.
Dia mengeleng.
“Ayo Mbak,” sambil kusodorkan gelas di depannya.
Laila tetap mengeleng, sambil masih menanggis. Dari luar kulihat
banyak mata memandang kami. Seakan mereka bertanya ada apa. Laila
masih terus menanggis. Dia masih menyebut nama bapaknya berkali-
kali. Aku juga bertanya-tanya ada apa dengan anak ini.
Segera aku pergi keluar. Kutanya siapa yang rumahnya dekat
dengan Laila. “Mbak siapa yang rumahnya dekat dengan Laila,”
tanyaku.
“Putri Bu,” jawab salah satu dari mereka.
Kemudian kucari Putri di kerumunan anak-anak dekat musala.
Sebentar kemudian kulihat dia baru keluar dari kantin. “Put, Putri.” Tak
lama anak tadi berlari menghampiriku.
“Ada apa Bu?”
“Rumahmu dekat dengan Laila ya,” tanyaku.
“Iya Bu,” jawabnya.
“Tadi ada apa di rumah Laila?”
“Tadi di rumah Laila di datangi polisi Bu, terus bapaknya Laila
dibawa sama Pak Polisi,” jawabnya polos.
Aku kaget mendengar jawaban anak tadi. Ada apa dengan
bapaknya Laila ya, kok sampai dibawa polisi. “Kamu tahu tidak kenapa
dibawa polisi?”
“Tidak Bu, karena tadi saya juga takut, terus berangkat sekolah,”
jawabnya lagi.
“O… ya sudah, terimakasih ya Put.”
Aku kembali ke kantor. Kuberitahukan ke bapak ibu guru kalu
bapaknya Laila di bawa polisi. Makanya Laila tidak mau berhenti
menangis. Bapak ibu guru ikut kaget mendengarnya. Mereka juga
bertanya-tanya apa gerangan yang menyebabkan bapaknya Laila
dibawa polisi.