Anda di halaman 1dari 4

KEUTAMAAN PUASA TASU’A DAN ‘ASYURA

Puasa sunah yang sudah biasa dikenal dan dilakukan oleh kaum muslimin pada setiap bulan Hijriyah
adalah puasa Senin dan Kamis, puasa Daud, dan puasa sunah tiga hari pada pertengahan bulan (tanggal
13,14, dan 15) Hijriyah.

Pada bulan tertentu terdapat puasa sunah tambahan. Misalnya pada bulan Dzulhijah, dianjurkan
melakukan puasa sunah dari tanggal 1 sampai 9. Puasa tanggal 9 Dzulhijah disebut juga puasa Arafah,
karena bertepatan dengan wukuf jama’ah haji di padang Arafah.

Di bulan Muharram ini juga terdapat anjuran puasa sunah khusus, yaitu puasa sunah Tasu’a dan ‘Asyura.
Puasa sunah Tasu’a adalah puasa sunah yang dikerjakan pada tanggal 9 Muharram. Adapun puasa sunah
‘Asyura adalah puasa sunah yang dikerjakan pada tanggal 10 Muharram.

َِ‫سلَّ َِمِقَد َِمِ ْال َمدينَ ِةَِفَ َو َج ِد‬ َِّ ِ‫صلَّى‬


َ ‫َللاهِ َعلَيْهِِ َو‬ َِّ ِ‫ل‬
َ ِ‫َللا‬ َِ ‫سو‬ ‫نِ َر ه‬ َِّ َ ‫ِأ‬،ِ‫َللاهِ َع ْن هه َما‬
َِّ ِ‫ي‬
َِ ‫َعنِِِابْنِِ َعبَّاسِِ َرض‬
ِ‫ِ”ِ َماِ َهذَاِ ْال َي ْو هِم‬:ِ‫سلَّ َِم‬ َِّ ِ‫صلَّى‬
َ ‫َللاهِ َعلَيْهِِ َو‬ َ ِ‫َللا‬ َِّ ِ‫ل‬ ِ‫سو ه‬ ‫لِلَ هه ِْمِ َر ه‬ َِ ‫ِفَقَا‬،ِ‫ورا َِء‬َ ‫ش‬ ‫ِ َي ْو َِمِ َعا ه‬،ِ‫ْال َي ههو ِدَِص َيا ًما‬
َِِ‫ِ َوغ ََّرقَِِف ْر َع ْون‬،ِ‫سىِ َوقَ ْو َم ِهه‬ َ ‫َللاهِفيهِِ همو‬ َِّ ِ‫ِِأ َ ْن َجى‬،ِِ‫عظيم‬ َ ِِ‫ِ َهذَاِيَ ْوم‬:ِ‫صو همونَ ِههِ؟ِ”ِفَقَالهوا‬ ‫الَّذيِت َ ه‬
ِ”ِ:ِ‫سلَّ َِم‬ َ ‫َللاهِ َعلَيْهِِ َو‬َِّ ِ‫صلَّى‬ َِّ ِ‫ل‬
َ ِ‫َللا‬ ِ‫سو ه‬ ‫لِ َر ه‬ َِ ‫ِفَقَا‬،ِ‫صو هم ِهه‬ ‫نِنَ ه‬ ِ‫ِفَنَ ْح ه‬،ِ‫ش ْك ًرا‬ ‫سىِ ه‬ َ ‫صا َم ِههِ همو‬َ َ‫ِف‬،ِ‫َوقَ ْو َم ِهه‬
ِ‫ِ َوأ َ َم َِرِبص َيامه‬،ِ‫سلَّ َِم‬ َِّ ِ‫صلَّى‬
َ ‫َللاهِ َعلَيْهِِ َو‬ َ ِ‫َللا‬ َِّ ِ‫ل‬ِ‫سو ه‬ ‫صا َم ِههِ َر ه‬ َ َ‫سىِم ْن هك ِْمِف‬ َ ‫نِأ َ َحقِِ َوأ َ ْولَىِب همو‬ ِ‫“ فَن َْح ه‬
Dari Ibnu Abbas RA bahwasanya Rasulullah SAW saat datang di Madinah mendapati orang-orang Yahudi
melakukan puasa pada hari ‘Asyura. Maka Rasulullah SAW bertanya kepada mereka, “Hari apa yang
kalian melakukan puasa ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah hari yang agung. Pada hari ini Allah
menyelamatkan nabi Musa dan kaumnya, dan menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya. Maka nabi Musa
melakukan puasa sebagai wujud syukur kepada Allah. Oleh karena itu kami juga melakukan puasa.”

Rasulullah SAW bersabda, “Kami lebih wajib dan lebih layak mengikuti puasa Musa daripada kalian.”
Rasulullah SAW melakukan puasa ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk melakukan puasa
‘Asyura juga.” (HR. Bukhari dan Muslim, dengan lafal Muslim)

Dalam riwayat Bukhari, Ahmad, dan Abu Ya’la menggunakan lafal:

‫سى‬ ِْ ‫لِم‬
َ َ‫ِف‬،ِ‫نِ َعد ِّهوه ِْم‬
َ ‫صا َم ِههِ همو‬ َِّ ِ‫صالحِِ َهذَاِ َي ْومِِنَ َّجى‬
َِ ‫َللاهِبَنيِإس َْرائي‬ َ ِِ‫َهذَاِ َي ْوم‬
“Ini adalah hari yang baik. Pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka. Maka nabi
Musa melakukan puasa.”

Puasa ‘Asyura sudah dikenal dan dilakukan oleh kaum musyrikin Quraisy sejak zaman jahiliyah,
sebagaimana dijelaskan oleh ummul mukminin Aisyah RA. Boleh jadi mereka melakukannya berdasar
ajaran nenek moyang mereka yang mewarisinya dari ajaran nabi Ibrahim dan Ismail Alaihima Salam.
Pada masa Islam, Rasulullah SAW dan para sahabat juga melakukan puasa ‘Asyura. Pada masa tersebut,
puasa ‘Asyura hukumnya wajib. Hal itu berlangsung sampai turun surat Al-Baqarah (2) ayat 183-185

1
yang mewajibkan puasa Ramadhan. Sejak saat itu, puasa ‘Asyura ‘sekedar’ disunahkan, tidak lagi
diwajibkan.

ِ،ِِ‫صو هم ِههِقه َريْشِِفيِال َجاهليَّة‬ ‫ورا َِءِت َ ه‬


َ ‫ش‬ ‫ِ َكانَِِيَ ْو هِمِ َعا ه‬:ِ‫ت‬ ِْ َ‫ِقَال‬،ِ‫َللاهِ َع ْن َها‬
َِّ ِ‫ي‬ َِ ‫ش ِةَِ َرض‬ َ ‫نِِ َعائ‬ِْ ‫َع‬
ِ،ِِ‫ِ َوأ َ َم َِرِبص َيامه‬،ِ‫صا َم ِهه‬ َ َِ‫ِفَلَ َّماِقَد َِمِال َمدينَ ِة‬،ِ‫صو هم ِهه‬‫سلَّ َِمِ َي ه‬ َِّ ِ‫صلَّى‬
َ ‫َللاهِ َعلَيْهِِ َو‬ َِّ ِ‫ل‬
َ ِ‫َللا‬ ِ‫سو ه‬‫َو َكانَِِ َر ه‬
ِْ ‫ِ َو َم‬،ِ‫صا َم ِهه‬
‫نِشَا َِءِت َ َر َك ِهه‬ َ ِ‫نِشَا َِء‬ ِْ ‫ِفَ َم‬،ِ‫ورا َِء‬َ ‫ش‬ ‫كِيَ ْو َِمِ َعا ه‬ ِ‫ض ه‬
َِ ‫انِت َ َر‬ َ ‫ضِ َر َم‬َِ ‫فَلَ َّماِفهر‬
Dari Aisyah RA berkata: “Hari ‘Asyura adalah hari yang kaum Quraisy biasa melakukan puasa pada masa
jahiliyah. Rasulullah SAW pada waktu itu (di Makah, pent) juga melakukan puasa Asyura. Ketika beliau
datang di Madinah, beliau melakukan puasa ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk
melakukannya. Ketika puasa Ramadhan diwajibkan, maka beliau tidak melakukan (tidak mewajibkan,
pet) puasa ‘Asyura. Barangsiapa ingin maka ia mengerjakan puasa ‘Asyura dan barangsiapa ingin maka ia
tidak mengerjakan puasa ‘Asyura.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Meski hukum puasa ‘Asyura adalah sunah, namun Rasulullah SAW sangat tekun mengerjakannya.
Sebagaimana dijelaskan dalam hadits:

َِ ‫سلَّ َِمِ َيت َ َح َّرىِص َي‬


ِ‫ام‬ َِّ ِ‫صلَّى‬
َ ‫َللاهِ َعلَيْهِِ َو‬ َ ِ‫ي‬ َِّ ‫ِ َماِ َرأَيْتهِِالنَّب‬:ِ‫ل‬ َِ ‫َللاهِ َع ْن هه َماِقَا‬
َِّ ِ‫ي‬ َِ ‫عبَّاسِِ َرض‬ َ ِِ‫نِابْن‬ ِْ ‫َع‬
َِ‫ضان‬َ ‫ش ْه َِرِ َر َم‬ َّ ‫ورا َِءِ َو َهذَاِال‬
َ ِ‫ش ْه َِرِيَ ْعني‬ َ ‫ش‬ ‫لِ َهذَاِ ْاليَ ْو َِمِيَ ْو َِمِ َعا ه‬ ِ ِّ ‫غيْرهِِإ‬
َ ِ‫ضلَ ِههِ َعلَى‬
َّ َ‫يَ ْومِِف‬
Dari Ibnu Abbas RA berkata: “Aku tidak pernah melihat Nabi SAW begitu semangat mengerjakan puasa
satu hari yang lebih beliau utamakan dari hari yang lain selain hari ini, yaitu hari Asyura dan bulan ini,
yaitu bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Para ulama menjelaskan bahwa makna ‘begitu semangat’ dalam hadits di atas adalah antusias untuk
mengerjakannya demi mengharap pahala yang besar di sisi Allah SWT. Besarnya pahala puasa ‘Asyura
disebutkan dalam hadits shahih sebagai berikut:

ِ‫ِإنِّيِِأ َ ْحتَس ه‬،ِ‫ورا َِء‬


ِ‫ب‬ َ ‫ش‬ َِ ‫سلَّ َِمِقَا‬
‫ِصيَا هِمِيَ ْومِِ َعا ه‬:ِ‫ل‬ َِّ ِ‫صلَّى‬
َ ‫َللاهِ َعلَيْهِِ َو‬ َِّ ‫نِالنَّب‬
َ ِ‫ي‬ َِّ َ ‫ِأ‬،َِ ‫نِِأَبيِقَتَا ِدَِة‬ ِْ ‫َع‬
‫سنَ ِةَِالَّتيِقَ ْبلَ ِهه‬
َّ ‫نِيه َكفِّ َِرِال‬ ِْ َ ‫َللاِأ‬
َِّ ِ‫َعلَى‬
Dari Abu Qatadah RA bahwasanya Nabi SAW bersabda: “Puasa hari ‘Asyura, aku mengharapkan
pahalanya di sisi Allah dapat menghapuskan dosa-dosa kecil setahun sebelumnya.” (HR. Muslim dan
Ibnu Majah)

Selain puasa ‘Asyura pada tanggal 10 Muharram, Islam juga menganjurkan puasa sunah Tasu’a pada
tanggal 9 Muharram. Berdasar hadits shahih dari Ibnu Abbas RA berkata:

َِّ ِ‫ل‬
ِ‫َللا‬ َِ ‫سو‬ ‫ِ َياِ َر ه‬:ِ‫ورا َِءِ َوأ َ َم َِرِبص َيامهِِقَالهوا‬ َ ‫ش‬‫عا ه‬ َ ِ‫سلَّ َِمِ َي ْو َِم‬ َِّ ِ‫صلَّى‬
َ ‫َللاهِ َعلَيْهِِ َو‬ َ ِ‫َللا‬ َِّ ِ‫ل‬ ِ‫سو ه‬‫امِ َر ه‬ َِ ‫ص‬ َ َِِ‫حين‬
ِ‫ِ”ِفَإذَاِ َكانَِِ ْال َعا هِم‬:ِ‫سلَّ َِم‬ َِّ ِ‫صلَّى‬
َ ‫َللاهِ َعلَيْهِِ َو‬ َِّ ِ‫ل‬
َ ِ‫َللا‬ ِ‫سو ه‬ ‫لِ َر ه‬ َِ ‫ارىِفَقَا‬ َ ‫ص‬ َ َّ‫ظ هم ِههِ ْاليَ ههو ِد هِ َوالن‬ِّ َ‫إنَّ ِههِيَ ْومِِتهع‬
َِّ ِ‫ل‬
ِ‫َللا‬ ِ‫سو ه‬ ‫يِ َر ه‬ َِ ِّ‫ِ َحتَّىِت ه هوف‬،ِ‫ل‬ِ‫ِفَلَ ِْمِيَأْتِِ ْالعَا هِمِ ْال هم ْقب ه‬:ِ‫ل‬ َِ ‫ص ْمنَاِ ْاليَ ْو َِمِالتَّاس َِعِ”ِقَا‬ ‫َللاهِ ه‬ َِّ ِ‫نِشَا َِء‬ ِْ ‫لِإ‬ِ‫ْال هم ْقب ه‬
‫سلَّ َِم‬ َِّ ِ‫صلَّى‬
َ ‫َللاهِ َعلَيْهِِ َو‬ َ
2
“Ketika Rasulullah SAW melakukan puasa ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk mengerjakan
puasa ‘Asyura, para sahabat berkata: “Wahai Rasulullah, hari ‘Asyura adalah hari yang diagungkan oleh
orang-orang Yahudi dan Nasrani.” Maka Rasulullah SAW bersabda, “Jika tahun datang tiba, insya Allah,
kita juga akan melakukan puasa pada tanggal Sembilan Muharram.” Tahun mendatang belum tiba,
ternyata Rasulullah SAW keburu wafat. (HR. Muslim, ath-Thabari, dan al-Baihaqi).

Imam Malik, Syafi’i, Ahmad, dan mayoritas ulama menjadikan hadits di atas sebagai dalil kesunahan
puasa tanggal sembilan dan sepuluh Muharram. Dengan demikian, puasa sunah pada bulan Muharram
memiliki beberapa tingkatan:

Tingkatan paling rendah adalah melaksanakan puasa pada hari ‘Asyura semata. Menurut pendapat
yang lebih kuat sebagaimana disebutkan oleh imam Abu Ja’far ath-Thahawi al-Hanafi, Ibnu Hajar al-
Haitami asy-Syafi’i, dan Manshur al-Bahuti al-Hambali, puasa ‘Asyura boleh dikerjakan satu hari saja
tanpa disertai sehari sesudahnya atau sehari sebelumnya, meskipun ia jatuh pada hari Jum’at, Sabtu,
atau Ahad.

Tingkatan di atasnya adalah melaksanakan puasa pada hari Tasu’a dan ‘Asyura.

Semakin banyak puasa sunah yang ia lakukan pada bulan Muharram, maka keutamaannya juga
semakin besar. Namun sebaiknya tidak melakukan puasa sunah sebulan penuh, sesuai contoh dari Nabi
SAW dan para sahabat.

Perlu diketahui bahwa beberapa ulama menyatakan kesunahan menggabungkan puasa ‘Asyura dengan
puasa sehari sesudahnya (11 Muharram). Pendapat mereka tersebut didasarkan kepada hadits berikut
ini:

ِ،ِ‫ورا َِء‬
َ ‫ش‬ ‫ِ”ِ ه‬:ِ‫سلَّ َِم‬
‫صو همواِ َي ْو َِمِ َعا ه‬ َِّ ِ‫صلَّى‬
َ ‫َللاهِ َعلَيْهِِ َو‬ َِّ ِ‫ل‬
َ ِ‫َللا‬ ِ‫سو ه‬ َِ ‫ِقَا‬:ِ‫ل‬
‫لِ َر ه‬ َِ ‫ِقَا‬،ِِ‫نِِابْنِِ َعبَّاس‬ِْ ‫َع‬
‫ِأ َ ِْوِبَ ْعدَِههِيَ ْو ًما‬،ِ‫صو همواِقَ ْبلَ ِههِيَ ْو ًما‬ ‫ِ ه‬،َِ‫“ َوخَالفهواِفيهِِ ْاليَ ههو ِد‬
Dari Ibnu Abbas RA berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Laksanakanlah puasa hari ‘Asyura! Namun
selisihilah puasa Asyura orang-orang Yahudi! Laksanakanlah juga puasa sehari sebelumnya atau sehari
sesudahnya.” (HR. Ahmad, al-Humaidi, al-Baihaqi, al-Bazzar, Ibnu ‘Adi, dan Ibnu Khuzaimah)

Sebagian ulama, di antaranya syaikh Ahmad Syakir, menyatakan hadits ini hasan. Namun pendapat
mayoritas ulama yang lebih kuat menyatakan hadits ini sangat lemah, karena di dalamnya ada dua
perawi yang lemah yaitu Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila al-Anshari al-Kufi, dan Daud bin Ali
bin Abdullah bin Abbas Al-Hasyimi.

Perawi Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila al-Anshari al-Kufi adalah perawi yang sayyi-ul hifzhi
jiddan, sangat buruk sekali kekuatan halafannya. Ia dilemahkan oleh imam Ahmad, Yahya bin Ma’in, dan
lain-lain. (Tahdzib al-Kamal, 25/622 dan Mizan al-I’tidal, biografi no. 7825)

Tentang kedudukan perawi Daud bin Ali bin Abdullah bin Abbas Al-Hasyimi, imam adz-Dzahabi berkata:
“Haditsnya tidak bisa dijadikan hujah.” (Al-Mughni fi adh-Dhu’afa’, 1/219)

3
Menurut penelitian yang benar, anjuran puasa tanggal 10 ditambah puasa sehari sebelumnya atau
sehari sesudahnya adalah pendapat pribadi Ibnu Abbas (hadits mauquf), bukan sabda Nabi SAW. Imam
Al-Baihqi, Abdurrazzaq, dan ath-Thahawi meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari jalur Ibnu Juraij
dari Atha’ dari Ibnu Abbas RA yang berkata: “Laksanakanlah puasa tanggal 9 dan 10 Muharram,
selisihilah orang-orang Yahudi!” Imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam Lathaif al-Ma’arif juga
menshahihkan riwayat ini.

Sebagian ulama, di antaranya imam Asy-Syafi’I dalam Al-Umm, menyebutkan disunahkan puasa tiga hari
berturut-turut yaitu pada tanggal 9, 10, dan 11 Muharram dengan dua alasan:

Pertama, sebagai bentuk kehati-hatian terkait perbedaan penentuan masuknya awal bulan. Imam
Ahmad berkata: “Jika awal masuknya bulan tersamar baginya, maka hendaknya ia melakukan puasa tiga
hari. Ia melakukan hal itu agar ia yakin mendapatkan puasa tanggal sembilan dan sepuluh.” (Al-Mughni,
4/441) Imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam Lathaif al-Ma’arif menjelaskan bahwa di kalangan ulama
tabi’in, yang melakukan hal itu adalah imam Ibnu Sirin dan Abu Ishaq.

Kedua, meniatkan diri untuk melaksanakan puasa sunah tiga hari dalam sebulan. Sesuai anjuran dalam
hadits dari Abdullah bin Amru bin Ash RA berkata, “Rasulullah SAW bersabda:

‫ش ْهرِِ هكلِّه‬
َّ ‫ص ْو هِمِال‬ َّ ‫ص ْو هِمِث َ ََلثَةِِأَيَّامِِمنَِِال‬
َ ِ،ِِ‫ش ْهر‬ َ
“(Pahala) Puasa sunah tiga hari setiap bulan adalah bagaikan (pahala) puasa satu tahun penuh.” (HR.
Bukhari dan Muslim)

Anda mungkin juga menyukai