Anda di halaman 1dari 27

Assessment Mutu Beton Eksisting Berdasarkan SNI 2847:2013,

ACI 318-11, ACI 214.4R-10 dan ACI 228.1R-03


Studi Kasus : Bangunan 35 Lantai

Rastandi, J.I.(1),Sjah, J.(2), Handika, N(3), Sentosa, B.O.B(3) , Sunandar, Y(4)


jrastandi@eng.ui.ac.id, jessicasjah@eng.ui.ac.id, n.handika@eng.ui.ac.id, bastian.sentosa@ui.ac.id,
yulius.risen@gmail.com

ABSTRAK
Salah satu hal penting dalam melakukan assessment struktur bangunan beton adalah menentukan
mutu beton eksisting dari struktur tersebut. SNI 2847:2013 hanya memberikan acuan bagaimana
menentukan syarat penerimaan apakah hasil tes tekan benda uji silinder sesuai dengan mutu beton
rencana, tetapi tidak lebih lanjut bagaimana menentukan mutu beton ekivalen jika ternyata tidak sesuai
dengan mutu beton rencana. Tulisan ini akan membahas bagaimana ACI 318-11 yang menjadi acuan
SNI, menentukan mutu beton ekivalen, yang juga merujuk kepada ACI 214.4R-10 dan ACI 228.1R-03.
Suatu studi kasus mengenai assessment mutu beton suatu bangunan 35 lantai dibahas, dimana
dilakukan juga pengujian non destruktif sebagai pembanding.

KATA KUNCI : Mutu beton ekivalen, pengujian destruktif dan non destruktif, standar pengujian.

PENDAHULUAN
Dengan semakin gencarnya pembangunan di Indonesia, kita dihadapkan pula pada persoalan
kualitas struktur bangunan, terutama jika berkaitan dengan struktur beton bertulang. Kekuatan
dari struktur beton bertulang selain bergantung kepada mutu baja tulangan juga sangat
bergantung kepada mutu beton. Baja tulangan yang diproduksi di pabrik relatif memiliki mutu
yang lebih terjamin dan seragam. Sedangkan beton, yang merupakan campuran berbagai
macam agregat alam dan pada proses pengerjaannya juga sangat tergantung kepada
workmanship para pekerja konstruksi, relatif memiliki mutu yang lebih bervariasi. Beton yang
didesain memiliki mutu sama pun, dapat mempunyai variasi mutu yang cukup besar karena
perbedaan faktor-faktor tersebut.
Untuk menjaga kesesuaian mutu beton pada struktur bangunan dengan mutu beton desain
(fc’), SNI 2847:2103 [1] pada pasal 5.6 mengatur mengenai masalah evaluasi dan penerimaan
beton, dimana disyaratkan bahwa suatu uji kekuatan tekan harus merupakan nilai kekuatan
tekan rata-rata dari paling sedikit dua silinder 150 kali 300 mm yang dibuat dari adukan yang
sama dan diuji pada umur beton 28 hari atau pada umur uji yang ditetapkan untuk penentuan
fc’.
Permasalahan yang kemudian timbul ialah bahwa mutu beton yang terpasang, tidak selalu
sama dengan mutu beton benda uji silinder, karena adanya pengaruh workmanship dan
faktor-faktor lainnya. Ada kalanya suatu struktur diragukan mutu betonnya, baik karena secara
kasat mata terlihat ataupun karena hasil uji silinder yang tidak masuk kriteria standar. Untuk
ini SNI 2847:2013 [1] pada pasal 5.6.5 mengatur mengenai penyelidikan untuk hasil uji
kekuatan tekan beton yang rendah.
____________________________________________________________________
(1) Staf pengajar Departemen Teknik Sipil FTUI, Direktur PT. Risen Engineering Consultant
(2) Staf Pengajar Departemen Teknik Sipil FTUI, Direktur CV. Lentera Indokonstruksi
(3) Staf Pengajar Departemen Teknik Sipil FTUI
(4) Senior Engineer pada PT. Risen Engineering Consultant
Dalam tulisan ini akan secara khusus membahas mengenai tata cara penyelidikan dan
penentuan mutu beton eksisting, baik untuk struktur yang baru dibangun ataupun struktur
yang sudah lama dibangun dan ingin dilakukan evaluasi. Berturut-turut akan dibahas
mengenai peraturan yang berlaku, tata cara pengambilan benda uji dan proses perhitungan
yang sesuai dengan aturan yang ada. Pembahasan akan mengacu kepada SNI 2847:2013
[1] serta acuan-acuan yang digunakan pada SNI tersebut.

EVALUASI PENERIMAAN BETON DAN KEKUATAN STRUKTUR YANG ADA

Penyelidikan Kekuatan Beton Benda Uji Standar


Langkah awal untuk melakukan investigasi kekuatan dari beton disebutkan dalam SNI
2847:2013 [1] pada Pasal 5.6, yakni terkait dengan evaluasi penerimaan beton. Mengenai
tingkat kekuatan mutu beton, penjelasan lebih rinci dapat dilihat pada Pasal 5.6.5.3.3.
Pada pasal 5.6.3.3., mengenai benda uji yang dirawat secara standar, dikatakan bahwa untuk
mutu beton 35 MPa atau kurang, tidak ada uji kekuatan untuk setiap sampelnya yang berada
kurang dari 3,5 MPa dari target mutu betonnya. Sedangkan untuk mutu beton (fc’) lebih dari
35 MPa, batas bawah nilai uji kuat tekannya tidak kurang dari 0.90 fc’ (selisih maksimum dari
mutu targetnya adalah 10% dari fc’).
Sementara itu, untuk benda uji silinder yang dirawat di lapangan (Pasal 5.6.4 SNI 2847:2013
[1]), kekuatan uji silinder yang dirawat di lapangan pada saat umur uji yang ditetapkan untuk
penentuan fc’ harus tidak kurang dari 85% kekuatan pembanding silinder yang dirawat di
laboratorium (Pasal 5.6.4.4 SNI 2847:2013 [1]).
Jika satu saja persyaratan yang disampaikan pada Pasal 5.6.3.3 tidak terpenuhi, terdapat
beberapa langkah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan nilai rata-rata dari hasil uji kuat
tekan. Persyaratan yang tertulis dalam Pasal 5.6.5, Penyelidikan untuk hasil uji kekuatan
tekan beton yang rendah, harus dilakukan.
Pada pasal 5.6.5, investigasi hasil uji kuat tekan beton yang rendah, pasal 5.6.5.1 menyatakan
bahwa jika ada uji kekuatan silinder yang dirawat di laboratorium jatuh di bawah fc’ lebih dari
nilai yang diberikan pada pasal 5.6.3.3 (b) atau jika pengujian silinder yang dirawat di
lapangan menunjukkan defisiensi dalam perlindungan dan perawatan (lihat Pasal 5.6.4.4),
langkah-langkah harus diambil untuk memastikan bahwa daya dukung beban struktur tidak
terancam bahaya.

Penyelidikan untuk Hasil Uji Kekuatan Tekan Beton yang Rendah


Jika pada kenyataan penyelidikan di lapangan hasil pengetesan sampel standar (silinder)
tidak masuk kriteria Pasal 5.6.3.3 SNI 2847:2013 [1], diperlukan investigasi lebih lanjut pada
struktur tersebut. Hal ini tertuang dalam pasal 5.6.5.2 yang menyatakan bahwa jika nilai kuat
tekan beton yang rendah sudah diketahui dan hasil perhitungan menunjukan adanya
kapasitas pemikul beban (load-carrying capacity) yang berkurang secara signifikan, maka
pengujian sampel beton inti (cores) yang diambil dari area tersebut sesuai dengan ASTM
C42M [2] diperbolehkan. Tiga sampel beton inti harus diambil untuk setiap uji kekuatan tekan
yang jatuh di bawah nilai yang diberikan pada pasal 5.6.3.3 (b).
Ditambahkan pada pasal 5.6.5.4. SNI 2847:2013 [1], dikatakan bahwa beton di area yang
diwakili oleh uji inti harus dianggap memadai secara struktural: jika rata-rata tiga sampel beton
inti sama dengan setidaknya 85% fc' dan jika tidak ada satupun sampel beton inti yang nilai
kekuatanya kurang dari 75% dari fc'. Tambahan jumlah sampel dari pengujian beton inti
diizinkan untuk diambil dari lokasi yang memperlihatkan hasil kekuatan beton inti yang
cenderung salah. Dengan demikian pengambilan jumlah sampel lebih dari tiga diperbolehkan
untuk mengetahui berapa besar kuat tekan beton eksisting.
Pasal 5.6.5.4. SNI 2847:2013 [1] dan ACI 318-11 [3] ini sejalan dengan Bab 8 ACI 214.4R-10
[4] yakni, pada konstruksi yang baru, beton dianggap memadai secara struktural jika kekuatan
rata-rata dari tiga sampel beton inti, yang hanya dikoreksi untuk l/d sesuai dengan ASTM C42
/ C42M [2] melebihi 0.85 fc’, dan tidak ada satupun sampel dengan kekuatan kurang dari
0.75fc’.
Berdasarkan pada pernyataan yang terdapat pada Pasal 5.6.5.4. SNI 2847:2013 [1] dan ACI
318-11 [3], serta Bab 8 ACI 214.4R-10 [4], dapat dikatakan bahwa dengan menggunakan 3
sampel beton inti, yang terkoreksi hanya untuk l/d sesuai dengan ASTM C42 / C42M [2],
disyaratkan, nila rata-rata dari fc’ beton inti adalah setidaknya 85% fc’, dengan catatan tidak
ada satupun sampel yang nilainya lebih rendah dari 75% fc’.
Pada beberapa kondisi di lapangan, tahapan pertama dalam pasal 5.6.5.4 di atas (kriteria
85% fc’ untuk nilai rata-rata dan minimal 75% fc’ untuk nilai individu) tidak dapat dipenuhi dan
kekuatan struktur masih meragukan, pasal 5.6.5.5 menyarankan adanya pengujian lapangan
pada kekuatan struktur beton sesuai dengan Pasal 20 dari SNI 2847: 2013 [1] atau ACI 318-
11 [3].

Menentukan Nilai fc’ Ekuivalen untuk Evaluasi Kapasitas Struktur Eksisting


Pada pasal 20 baik SNI 2847: 2013 [1] maupun ACI 318-11 [3], lebih tepatnya pada Pasal
20.2.3, dikatakan bahwa untuk mengevaluasi kekuatan struktur yang ada, data sampel beton
dengan uji silinder atau sampel beton inti harus digunakan untuk memperkirakan nilai fc’
ekuivalen. SNI tidak membahas bagaimana cara menentukan besarnya nilai fc’ ekuivalen.
Namun demikian, jika kita melihat Pasal 20.2.3 ACI 318-11 [3], di bagian komentar, artikel ini
jelas merujuk hanya pada satu referensi dalam penentuan nilai fc’ ekivalen dari hasil uji beton
inti, yaitu ACI 214.4R-10 [4], Guide for Obtaining Cores and Interpreting Compressive Strength
Results. Bab 8 dan Bab 9 membahas tentang investigasi kuat tekan sampel beton inti dan
metode penentuan fc’ ekuivalen.
Seperti yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya, Bab 8 ACI 214.4R-10 [4],
mengatakan bahwa beton yang dicurigai, dianggap memadai secara struktural, jika memenuhi
persyaratan kekuatan rata-rata dari tiga sampel inti yang dikoreksi hanya untuk l/d sesuai
dengan ASTM C42 / C42M [2] (Pasal 7.9.1), melebihi atau sama dengan 0.85fc’, dan tidak
ada satu sampel yang memiliki kekuatan kurang dari 0.75fc’. Jadi, terdapat kriteria rata-rata
uji tekan sampel memiliki nilai 0.85fc’ dan masing-masing tidak melebihi 0.75fc’.
Lebih lanjut, di sini jelas dikatakan bahwa kriteria rata-rata uji tekan 0.85fc’ dan masing-masing
tidak melebihi 0.75fc’, bukanlah untuk menentukan besarnya nilai fc' ekuivalen. 0.85fc’ dan
0.75fc’ adalah kriteria penerimaan dari nilai uji tekan sampel beton inti. Nilai fc’ ekuivalen
ditentukan pada Bab 9 ACI 214.4R-10 [4].
Perlu diingat bahwa untuk penentuan nilai fc’ ekivalen tidak dapat dilakukan dengan cara
membagi nilai kuat tekan individu terkecil dengan faktor 0.75 dan nilai rata-rata kuat tekan
dengan 0.85 kemudian diambil yang terkecil diantara keduanya. Cara ini salah dan tidak dapat
dipertanggung jawabkan karena sama sekali tidak memperhitungkan dan mengabaikan
proses statistik.
Untuk perhitungan fc’ ekuivalen, pembahasan berlanjut lebih rinci pada Bab 9 ACI 214.4R-10
[4], di mana nilai fc hasil uji tekan sampel inti harus dikoreksi oleh 4 faktor. Bab 9 menyajikan
prosedur lengkap untuk menentukan kekuatan desain ekuivalen (fc’ ekuivalen) untuk evaluasi
struktural untuk substitusi langsung ke dalam persamaan kekuatan konvensional yang
mencakup faktor reduksi kekuatan. Terdapat dua metode yang dijelaskan di bab ini. Kedua
metode merupakan analisis berbasis statistik. Langkah perhitungan fc’ ekuivalen Bab 9.4 ACI
214.4R-10 [4] dijelaskan di bawah ini dalam dua metode. Nilai fc’ ekuivalen di sini sejalan
dengan definisi deskripsi statistik fc’ sebagai persentil ke sepuluh terendah dari uji tekan di
lapangan.
Pada Bab 9.4 ini juga dikatakan tidak ada metode penentuan fraktil persentil 10% yang dapat
diterima secara universal, namun demikian terdapat beberapa kriteria yang perlu diperhatikan
dalam perhitungannya, antara lain:
1. Faktor bias dari pengujian tekan sampel inti,
2. Nilai ketidakpastian dari setiap faktor koreksi kekuatan,
3. Kesalahan dari nilai rata-rata dan standar deviasi yang diukur yang disebabkan oleh
pengambilan sampel, dimana kesalahan berkurang seiring dengan meningkatnya
ukuran sampel,
4. Variabilitas yang disebabkan oleh penyimpangan yang dapat diterima dari prosedur
pengujian standar yang dapat menyebabkan standar deviasi tes kekuatan yang diukur
melebihi variasi kekuatan in-place yang sebenarnya, dan
5. Tingkat kepercayaan yang diinginkan.

Konversi Kuat Tekan Inti Beton (fcore) ke Kuat Tekan Ekivalen Setempat (fc)
Mengacu kepada ACI 214.4R-10 [4] istilah kuat tekan beton inti disini merupakan terjemahan
dari core strength (fcore) dan kuat tekan ekivalen setempat sebagai terjemahan dari equivalent
in-place strength (fc). Kuat tekan ekivalen setempat, fc, didapat dengan mengalikan kuat tekan
inti beton fcore dengan 4 (empat) faktor yang mempengaruhinya, seperti dapat dilihat pada
persamaan (1).

fc  Fl Fdia Fmc Fd fcore (1)


d

dimana:
fc = Kuat tekan ekuivalen setempat

fcore = Kuat tekan beton inti

Fl = Faktor koreksi kekuatan dari rasio l/d


d

Fdia = Faktor koreksi kekuatan dari diameter

Fmc = Faktor koreksi kekuatan dari kondisi kelembaban dari sampel beton inti

Fd = Faktor koreksi kekuatan untuk efek dari kerusakan yang berkelanjutan


selama pengeboran, termasuk retak halus dan undulasi pada permukaan
yang dibor dan pemotongan melalui partikel agregat kasar yang kemudian
dapat muncul selama pengujian.

Kuat tekan ekivalen setempat atau fc yang dihasilkan disini dipergunakan hanya untuk
perhitungan f’c,eq yang metode perhitungannya akan dibahas pada bagian selanjutnya. fc ini
tidak boleh dipergunakan untuk evaluasi penerimaan mutu beton berdasarkan pasal 5.6.5.4.
SNI 2847:2013 [1], karena fc pada pasal 5.6.5.4 hanya dikoreksi dengan faktor l/d seperti yang
dijelaskan pada Bab 8 ACI 214.4R-10 [4].
Tabel 1. Besar dan ketepatan dari factor koreksi kekuatan untuk mengkonversi kekuatan beton
inti menjadi nilai fc’ ekuivalen berdasarkan ACI 214.4R-10 [4].
Koefisien
Faktor Nilai rata-rata
Keragaman, V, %
Fl Perlakuan standar 2 2
 l  l
d 1  0.130   f core   2   2.5  2  
 d  d
Direndam air 48 jam 2 2
 l  l
1  0.117   f core   2   2.5  2  
 d  d
Kering 2 2
 l  l
1  0.144   f core   2   2.5  2  
 d  d
Fdia 2 inchi (50 mm) 1.06 11.8
4 inchi (100 mm) 1.00 0.0
Faktor koreksi
diameter 6 inchi (150 mm) 0.98 1.8
sampel beton
inti
Fmc Standar 1.00 2.5
Direndam air 48 jam 1.09 2.5
Faktor koreksi
kandungan air Kering 0.96 2.5
Fd 1.06 2.5

Faktor koreksi kerusakan akibat


pengeboran selama pengambilan
sampel.

Tabel 1 menunjukkan nilai rata-rata dari strength correction factors yang disampaikan oleh
Bartlett and MacGregor (1995) [5] berdasarkan pada data untuk normal-weight concrete
dengan kuat tekan antara 2000 and 13.400 psi (14 dan 92 MPa). Kolom sebelah kanan
menunjukkan koefisien keragaman V yang mengindikasikan ketidakpastian nilai rata-rata.
Sebagai contoh, suatu beton inti yang memiliki diameter core 100 mm with dengan l/d = 2
yang telah direndam 48 jam sebelum diuji memiliki fc = 1.0 × 1.0 × 1.09 × 1.06fcore = 1.16fcore.

Metode 1: Tolerance Factor Method - Hindo and Bergstrom 1985 [6]

 Ksc    Zsa 
2 2
f c', eq  f c  (2)

dimana:
1 n
fc   f ci
n i 1
(3)

n = Jumlah sampel beton inti


fc = Rata-rata kekuatan sampel beton inti dari lapangan, dihitung dengan
persamaan (2)
fci = Kekuatan ekuivalen satu sampel beton inti dari lapangan, dihitung dengan
persamaan (3)
Tabel 2. K-factors untuk one-sided tolerance limits pada 10% fractile (Natrella 1963 [7])
berdasarkan ACI 214.4R-10 [4].

n Confidence level
75% 90% 95%
3 2.50 4.26 6.16
4 2.13 3.19 4.16
5 1.96 2.74 3.41
6 1.86 2.49 3.01
8 1.74 2.22 2.58
10 1.67 2.06 2.36
12 1.62 1.97 2.21
15 1.58 1.87 2.07
18 1.54 1.80 1.97
21 1.52 1.75 1.90
24 1.50 1.71 1.85
27 1.49 1.68 1.81
30 1.48 1.66 1.78
35 1.46 1.62 1.73
40 1.44 1.60 1.70
n adalah jumlah benda uji

Tabel 3. Z-factors (Natrella 1963 [7]) berdasarkan ACI 214.4R-10 [4].


Confidence level, % Z
75 0.67
90 1.28
95 1.64

sc = Standar deviasi dari sampel beton inti dari lapangan, dihitung dengan
persamaan (4)
K = Faktor-K untuk batas toleransi sepihak pada fraktil 10% mengikuti Tabel 2

f  fc 
2
n
Sc    n  1 (4)
ci

i 1

sa = Standar deviasi dari sampel beton inti dari lapangan akibat sifat empiris
faktor koreksi kekuatan, dihitung dengan persamaan (5).
Z = Faktor-Z mengikuti Tabel 3

   V
2
  Vmc   Vd 
2 2 2
Sa  f c Vl dia
(5)
d

Vl = Koefisen keragaman terkait dengan F l gunakan formulasi pada Table 9.1


d d
ACI 214.4R-10 [4]
Vdia = Koefisen keragaman terkait dengan Fdia gunakan koefisien pada Table 9.1
ACI 214.4R-10 [4]
Vmc = Koefisen keragaman terkait dengan Fmc gunakan koefisien pada Table 9.1
ACI 214.4R-10 [4]
Vd = Koefisen keragaman terkait dengan Fd gunakan koefisien pada Table 9.1
ACI 214.4R-10 [4]

Pada metode ini, terlihat ketergantungan analisis pada jumlah sampel ( n ). Dari (3) terlihat
dengan nilai n semakin besar, maka besarnya fc’ rata-rata semakin kecil. Di sisi lain, pada
penentuan nilai sc , nilai n yang semakin besar akan mengakibatkan koreksi sc yang semakin
kecil, sehingga dalam perhitungan fc’ ekuivalen (persamaan (1)), nilainya bisa lebih besar.

Faktor koreksi yang diperhitungkan terdiri dari:


- Faktor koreksi rasio l/d mengadopsi dari ASTM C42 / C42M [2].
- Faktor koreksi diameter sampel beton inti,
- Faktor koreksi kandungan air,
- Faktor koreksi kehancuran akibat pengeboran selama pengambilan sampel.
Untuk penentuan tingkat kepercayaan (confidence level), Hindo dan Bergstrom (1985) [6]
menyarankan 75% confidence level untuk ordinary structures, 90% untuk important buildings,
dan 95% untuk komponen yang krusial pada nuclear power plants.

Metode 2: Alternate Method - Bartlett and MacGregor (1995) [5]


Bartlett and MacGregor (1995) [5] berpendapat bahwa pendekatan berdasarkan faktor
toleransi (tolerance factor approach) mungkin terlalu konservatif dalam praktik karena tes
beton inti terlalu tinggi memperkirakan variabilitas sebenarnya dari fc. Oleh karena itu, nilai
f’c,eq yang dihasilkan terlalu rendah karena nilai Sc yang digunakan dalam persamaan (4)
terlalu tinggi. Mereka mengusulkan penggunaan persamaan (6) untuk menghitung f’c,eq.

f c', eq  C  f c  (6)
CL

Di mana:
C = Koefisien yang tergantung pada jumlah batch, jumlah anggota, dan jenis
konstruksi, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4

Tsc 
2

 fc  CL
 fc 
n
  Zsa 
2
(7)

n = Jumlah sampel beton inti


fc = Rata-rata kekuatan sampel beton inti dari lapangan, dihitung dengan
persamaan (2)
T = Faktor T, diperoleh dari distribusi Student’s t dengan (n-1) derajat kebebasan,
seperti ditunjukan pada Tabel 5
sc = Standar deviasi dari sampel beton inti dari lapangan, dihitung dengan
persamaan (4)
Z = Faktor-Z mengikuti Tabel 3
sa = Standar deviasi dari sampel beton inti dari lapangan akibat sifat empiris faktor
koreksi kekuatan, dihitung dengan persamaan (5)
Tabel 4. C-factors berdasarkan ACI 214.4R-10 [4].

Structure composed of: One Many


One batch of concrete 0.91 0.89
Many Cast-in-place 0.85 0.83
batches of Precast 0.88 0.87

Tabel 5. One-sided T-factors berdasarkan ACI 214.4R-10 [4].

n Confidence level
75% 90% 95%
3 0.82 1.89 2.92
4 0.76 1.64 2.35
5 0.74 1.53 2.13
6 0.73 1.48 2.02
8 0.71 1.41 1.90
10 0.70 1.38 1.83
12 0.70 1.36 1.80
15 0.69 1.34 1.76
18 0.69 1.33 1.74
21 0.69 1.33 1.72
24 0.69 1.32 1.71
30 0.68 1.32 1.70

PENGAMBILAN DAN PENGUJIAN KUAT TEKAN BETON INTI : ASTM VS SNI


Tata cara pengambilan dan pengujian benda uji beton inti diatur dalam Standar Nasional yaitu
SNI 03-3403-1994 [8] (Metode Pengujian Kuat Tekan Beton Inti Pemboran), SNI 03-6898-
2002 [9] (Tata Cara Pelaksanaan Pengambilan dan pengujian Kuat Tekan Beton Inti) dan SNI
03-2492-2002 [10] (Metode Pengambilan dan Pengujian Beton Inti) serta Standar
Internasional yaitu ASTM C42/C42M (Standard Test Method for Obtaining and Testing Drilled
Cores and Sawed Beams of Concrete) [2]. Ada beberapa perbedaan ketentuan dalam
perawatan benda uji dan perhitungan faktor koreksi uji kuat tekan beton inti dari kedua standar
tersebut.
Terdapat 3 (tiga) buah SNI yang mengatur pengambilan dan pengujian kuat tekan beton inti.
Standar SNI 03-3403-1994 [8] memuat metode pengujian dan prosedur interpretasi hasil
pengujian kuat tekan beton inti di laboratorium. Standar SNI 03-2492-2002 [10] memuat
prosedur pengambilan beton inti, persiapan pengujian dan pengujian kuat tekan secara
umum. Standar SNI 03-6898-2002 [9] mencakup prosedur pengambilan benda uji beton inti,
prosedur pengujian kuat tekan beton inti dan prosedur interpretasi hasil pengujian kuat tekan
beton inti. Terlihat bahwa SNI 03-6898-2002 [9] sebenarnya merupakan penyempurnaan dan
penggabungan antara SNI 03-3403-1994 [8] dengan SNI 03-2492-2002 [10] namun tidak
tertuang dalam Kata Pengantar dari Standar SNI 03-6898-2002 [9]. Namun ada beberapa hal
di dalam SNI 03-2492-2002 [10] dan SNI 03-3403-1994 [8] yang tidak tercantum pada SNI
03-6898-2002 [9] dan sebaliknya, beberapa diantaranya adalah ketentuan Batasan jumlah
tulangan besi dalam benda uji beton inti, ketentuan diameter benda uji beton inti dan
perawatan benda uji beton inti tepat setelah diperoleh dari proses pengeboran beton eksisting
di lapangan. Sehingga perlu dilakukan evaluasi kembali terhadap ketiga SNI tersebut agar
tidak membingungkan karena terdapat ketentuan yang tidak sinkron antara SNI yang satu
dengan SNI yang lainnya.
Di dalam tulisan ini akan dibahas beberapa perbedaan ketentuan antara standar ASTM
dengan Standar SNI diantaranya adalah perawatan benda uji beton inti, perhitungan faktor
koreksi uji kuat tekan beton inti dan diameter benda uji beton inti.

Perawatan Benda Uji Beton Inti: ASTM VS SNI


Perbedaan signifikan mengenai persyaratan pengambilan benda uji beton inti antara SNI dan
ASTM adalah bagaimana menjaga kelembaban benda uji beton inti. Standar ASTM
C42/C42M [2] mengatur secara detail bagaimana menjaga kondisi kelembaban benda uji
beton inti dibandingkan dengan Standar SNI.
Pada bagian 7.3 dalam Standar ASTM C42/C42M [2] memuat persyaratan kondisi
kelembaban benda uji beton inti, dimana pada bagian 7.3.1 dijelaskan bahwa tepat setelah
benda uji diperoleh dari pengeboran beton eksisting di lapangan, permukaan benda uji dilap
lalu didiamkan kurang dari 1 jam hingga permukaan benda uji kering. Kemudian simpan setiap
benda uji pada kantung plastik klip tertutup untuk menjaga kondisi kelembaban benda uji.
Benda uji beton inti tidak boleh terkena paparan sinar matahari secara langsung. Pemotongan
kedua ujung permukaan benda uji harus dilakukan dalam jangka waktu kurang dari 2 hari
setelah pengambilan benda uji beton inti di lapangan. Setelah benda uji dipotong, benda uji
dilap dan dimasukkan kembali ke kantung plastik klip tertutup dalam waktu minimal 5 hari.
Lalu dilanjutkan dengan proses kaping dan pengujian kuat tekan beton.
Perbedaan pertama, jika dibandingkan dengan ASTM C42/C42M [2], SNI 03-6898-2002 [9]
bagian 8.1 point ke-17 memuat persyaratan bahwa benda uji beton inti hasil dari pengeboran
dibungkus dengan kain lap basah atau dimasukkan ke dalam kantong plastik yang berisi
larutan air kapur. Namun SNI tidak menjelaskan terkait batasan durasi waktu transportasi dari
proses pengambilan hingga proses pemotongan benda uji seperti yang dipersyaratkan oleh
ASTM C42/C42M [2].
Perbedaan kedua, SNI 03-6898-2002 [9] bagian 6.3 memuat ketentuan perawatan benda uji
beton inti ke dalam 2 (dua) kategori yang berbeda berdasarkan masa layanan bangunan yaitu
masa layan kering atau masa layan basah. Dimana untuk bangunan dengan masa layan
kering, disyaratkan bahwa benda uji beton inti yang diperoleh harus dikeringudarakan sesuai
dengan suhu dan kelembaban udara pada bagian struktur tersebut dalam waktu minimal 7
(tujuh) hari sebelum diuji. Dalam hal ini, dengan memenuhi ketentuan perawatan benda uji
pada masa layan kering sesuai standar SNI artinya juga memenuhi standar ASTM C42/C42M
[2] yang menyatakan perawatan benda uji minimal 5 (lima) hari. Sedangkan untuk bangunan
dengan masa layan basah, benda uji beton inti yang diperoleh harus direndam dalam air kapur
dengan suhu 23oC ± 2oC selama minimal 40 jam kemudian dilap permukaannnya sebelum
diuji tekan. Standar ASTM C42/C42M [2] tidak menyajikan ketentuan adanya perawatan
benda uji beton inti pada masa layan basah.

Faktor Pengali untuk Perhitungan Kuat Tekan Beton Inti Terkoreksi: ASTM VS SNI
Standar ASTM C42/C42M [2] bagian 7.9 mengatur perhitungan kuat tekan beton inti terkoreksi
dengan 1 (satu) buah faktor pengali yang bergantung dari rasio antara panjang dengan
diameter (L/D) benda uji, dimana faktor pengali ini berlaku untuk benda uji beton inti dengan
kondisi L/D ≤ 1.75. Nilai faktor pengali ini identik dengan faktor pengali yang diatur dalam SNI
03-6898-2002 [9] bagian 7.4.2, dimana di dalam SNI faktor pengali ini dilambangkan dengan
C1.
Selain faktor koreksi C1, di dalam SNI 03-6898-2002 [9] bagian 7.4 terdapat dua faktor koreksi
lainnya yang perlu dievaluasi yaitu C0 dan C2.
Faktor koreksi C0 yang diatur dalam SNI 03-6898-2002 [9] bagian 7.4.1 adalah faktor pengali
yang bergantung pada arah pengambilan benda uji beton inti yang terdiri dari arah
pengambilan horizontal untuk struktur kolom atau balok atau dinding geser dengan nilai C0=
1 dan arah pegambilan vertikal untuk struktur pelat dengan nilai C0= 0,92.
Faktor koreksi yang terakhir, faktor koreksi C2 yang diatur dalam SNI 03-6898-2002 [9] bagian
7.4.3 adalah faktor pengali akibat adanya tulangan besi di dalam benda uji beton inti dengan
arah tegak lurus dengan sumbu benda uji. Formula perhitungan koefisien pengali C2 disajikan
pada bagian 3.12 pada SNI 3403:1994. Pada SNI 03-2492-2002 [10] bagian 4.4 diatur bahwa
jumlah tulangan besi di dalam benda uji beton inti maksimal adalah 2 (dua) batang. Di dalam
ASTM C42/C42M [2] tidak memiliki faktor koreksi ini karena pada bagian 5.1.2 ASTM
C42/C42M [2] dinyatakan dengan jelas bahwa benda uji yang mengandung tulangan besi
sebaiknya tidak digunakan dalam pengujian kuat tekan, kuat tarik dan kuat lentur beton.
Dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan jumlah faktor pengali dalam perhitungan kuat
tekan beton inti terkoreksi antara ASTM C42/C42M [2] dengan SNI 03-3403-1994 [8]. Standar
ASTM C42/C42M [2] memiliki 1 (satu) buah faktor koreksi sedangkan SNI 03-3403-1994 [8]
memiliki 3 (tiga) buah faktor koreksi. Sehingga hasil akhir perhitungan kuat tekan beton inti
terkoreksi dengan menggunakan Standar SNI cenderung akan lebih rendah dibandingkan
dengan menggunakan Standar ASTM.

Diameter Benda Uji Beton Inti: ASTM VS SNI


Pada SNI 03-2492-2002 [10] bagian 4.2 memuat ketentuan diameter beton inti minimum yang
adalah 100 mm dan bagian 4 point 1 mensyaratkan bahwa diameter benda uji beton inti harus
lebih besar dari tiga kali ukuran nominal maksimum agregat kasar dalam beton keras
eksisting. Sedangkan pada SNI 03-3403-1994 [8] mencantumkan bahwa diameter benda uji
beton inti yang dipilih adalah 100 mm atau 150 mm dengan ketentuan tidak boleh kurang dari
tiga kali ukuran nominal maksimum dari agregat kasar dalam beton keras eksisting dan tidak
boleh kurang dari dua kali ukuran nominal maksimum dari agregat kasar yang terkandung
dalam benda uji beton inti.
Standar ASTM C42/C42M [2] bagian 7.1.1 mengatur ketentuan diameter minimum benda uji
beton inti yaitu 94 mm atau dua kali ukuran nominal maksimum agregat kasar.
Perbedaan pertama terkait diameter benda uji beton inti antara standar SNI dan ASTM adalah
syarat batasan diameter minimum yang diatur dalam standar SNI relatif sedikit lebih besar
dibandingkan standar ASTM.
Perbedaan kedua yang tidak ditemukan pada Standar SNI adalah di dalam Standar ASTM
C42/C42M [2] bagian 7.1.2 mengatur ketentuan diameter benda uji beton inti yang diijinkan
apabila kondisi lapangan tidak memungkinkan untuk mendapatkan benda uji yang memenuhi
persyaratan ASTM C42/C42M [2] bagian 7.1.1. Misalkan kondisi ketebalan struktur beton
eksisting yang terbatas atau jarak tulangan besi dalam beton sangat rapat, maka pengambilan
benda uji beton inti dengan diameter kurang dari 94 mm diijinkan dengan memberikan
keterangan pada saat pelaporan hasil uji. Kuat tekan benda uji beton inti dengan diameter 50
mm terbukti memberikan hasil yang lebih rendah dan bervariasi dibandingkan dengan benda
uji beton inti dengan diameter 100 mm. Di samping itu, semakin kecil diameter benda uji beton
inti akan lebih sensitif terhadap faktor koreksi L/D [6].

Laboratorium Penguji Terakreditasi


Laboratorium Penguji di Indonesia saat ini dituntut untuk dapat memberikan jasa pelayanan
di bidang pengujian dalam menghadapi pasar global, sehingga diperlukan standarisasi dan
penilaian kesesuaian yang diakui baik dalam taraf nasional maupun internasional. Peran
laboratorium penguji menjadi penting karena sangat menentukan baik di dalam proses
pengendalian mutu maupun penjaminan mutu dari hasil pengujian. Untuk memperoleh
keseragaman dalam menganalisa hasil pengujian antar laboratorium penguji diperlukan suatu
standar bertaraf nasional dan internasional yang memuat persyaratan sistem manajemen
sistem serta persyaratan teknis, diantaranya adalah Standar SNI ISO/IEC 17025:2017 [11]
(Persyaratan Umum Kompetensi Laboratroium Pengujian dan Laboratorium kalibrasi).
Sejak tahun 2018, Indonesia telah mengadopsi Standar SNI ISO/IEC 17025:2008 [12]
menjadi SNI ISO/IEC 17025:2017 [11] yang ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional
(BSN). BSN merupakan sebuah Lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah Indonesia untuk
menyusun, merevisi, mengesahkan dan menerbitkan SNI. Komite Akreditasi Nasional adalah
satu-satunya Lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah Indonesia dimana berwenang untuk
melakukan proses asesmen dan menerbitkan sertifikat akreditasi.
Dengan menerapkan standar SNI ISO/IEC 17025:2017 [11], laboratorium penguji atau
laboratorium kalibrasi dapat memperoleh pengakuan kompetensi laboratorium dari badan
Komite Akreditasi Nasional (KAN) berupa penerbitan sertifikat akreditasi untuk ruang lingkup
pengujian tertentu. Sertifikat akreditasi yang diterbitkan oleh KAN diakui dalam skala nasional
dan skala internasional melalui perjanjian saling pengakuan (Mutual Recognition Agreements:
MRA).
Sampai dengan April 2019, terdapat 1315 laboratorium penguji yang telah terakreditasi oleh
KAN. Namun hingga saat ini, menurut informasi dari website resmi BSN tercatat hanya 5
(lima) laboratorium penguji yang mempunyai sertifikat akreditasi untuk ruang lingkup
pengujian kuat tekan beton inti dengan mengacu pada Standar SNI, salah satu diantaranya
adalah Laboratorium Uji Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Indonesia yang
merupakan satu-satunya laboratorium perguruan tinggi yang telah terakreditasi untuk ruang
lingkup pengujian tersebut.

NON DESTRUCTIVE TEST (NDT) SEBAGAI ALTERNATIF PENGUJIAN UNTUK


ESTIMASI MUTU BETON EKSISTING
Satu-satunya cara yang diakui oleh SNI 2847:2013 [1] dan juga ACI 318-11 [3] untuk
mendapatkan mutu beton eksisting adalah dengan pengujian beton inti. Akan tetapi
pengambilan beton inti ini seringkali menemui kendala di lapangan, misalnya karena jarak
tulangan yang rapat atau lokasi yang sangat sulit, sehingga tidak memungkinkan untuk
dilakukan pengambilan beton inti. Dalam hal ini maka pengujian non-destruktif atau Non
Destructive Test (NDT) menjadi alternative untuk memperkirakan mutu beton elemen
tersebut.
ACI 228.1R-03 In-Place Methods to Estimate Concrete Strength [13] memberikan beberapa
alternatif NDT untuk mengestimasi mutu beton eksisting, antara lain yang sudah dikenal
secara umum di Indonesia seperti Hammer Test dan Ultra Pulse Velocity (UPV) Test.
Berdasarkan pengalaman penulis, UPV Test memberikan prediksi yang lebih baik dibanding
Hammer Test, karena Hammer Test hanya memberikan hasil untuk area permukaan beton
saja, sedangkan UPV Test dapat memberikan hasil yang lebih representatif jika
interpretasinya dilakukan secara benar. Sejenis dengan UPV Test. Berikut akan dibahas
secara singkat mengenai interpretasi hasil UPV dan juga metode lain yang sejenis dengan
UPV, yaitu Ultrasonic Concrete Tomography (UCT) Test. UCT Test ini memang belum
tercover dalam ACI, tetapi memiliki prinsip yang sama dengan UPV Test, sehingga
interpretasinya dapat dilakukan seperti UPV Test.

Ultra Pulse Velocity (UPV) Test


Alat utama yang digunakan untuk pengujian Ultrasonic Pulse Velocity (UPV) adalah Pundit
(Gambar 1), yang merupakan singkatan dari Portable Ultrasonic Non-destructive Digital
Indicating Tester. Pundit berfungsi untuk menghasilkan pulsa ultrasonik rendah, dan sekaligus
mengukur waktu yang dibutuhkan gelombang ultrasonik untuk menjalar dalam suatu media di
antara dua transducer, yang dalam hal ini adalah beton yang akan diuji.
Gambar 1 Pundit (Portable Ultrasonic Non-destructive Digital Indicating Tester)

Gambar 2. Tipkal grafik hubungan antara cepat rambat gelombang dengan kuat tekan beton (sumber ACI
228.1R-03 [13])

Tata cara pengambilan data cepat rambat dengan UPV Test diatur dalam ASTM C597
Standard Test Method for Pulse Velocity Through Concrete, sedangkan interpretasi hasil
pengukuran cepat rambat terhadap mutu beton diatur berdasarkan ACI 228.1R-03 In-Place
Methods to Estimate Concrete Strength, khususnya pasal 2.6 mengenai Ultrasonic Pulse
Velocity. Dalam pasal ini dikatakan bahwa hubungan antara kuat tekan dan cepat rambat
adalah nonlinear dan hubungan yang sesungguhnya antara kedua hal ini sangat tergantung
campuran beton itu sendiri. Berarti hubungan antara kuat tekan beton dan cepat rambat dari
masing-masing campuran beton kemungkinan tidak sama. Gambar 2 merupakan contoh yang
diberikan oleh ACI 228.1R-03 untuk korelasi antara kuat tekan beton dengan cepat rambat.
Korelasi ini diperoleh dengan cara melakukan pengukuran cepat rambat pada lokasi core drill
dan memplot hasil crushing test sebagai fungsi dari velocity atau cepat rambat hasil UPV Test.
Dari hasil plot ini kemudian dicari korelasinya dengan menggambarkan trendline-nya.
Ultrasonic Concrete Tomography (UCT) Test
Secara prinsip, UCT Test mirip dengan UPV Test, dimana sama-sama menggunakan prinsip
rambatan gelombang dalam media. Perbedaannya ialah, UPV Test menggunakan gelombang
longitudinal, sedangkan UCT Test menggunakan gelombang transversal atau gelombang
geser (shear wave). Selain itu, jika UPV Test menggunakan hanya 2 sensor, dimana 1 sensor
merupakan transducer dan sensor lainnya merupakan receiver, Alat UCT (Gambar 3)
mempunyai 48 sensor (Gambar 4), dimana ke-48 sensor ini merupakan transducer sekaligus
receiver. Adanya 48 sensor ini otomatis UCT Test memberikan hasil yang lebih representative
(Gambar 5), karena hasil UCT Test menggambarkan kondisi cepat rambat gelombang dalam
3 dimensi. Hasil cepat rambat gelombang yang diberikan oleh UCT Test merupakan rata-rata
dari hasil yang didapat dari array 4 x 12 sensornya.

Secara prinsip interpretasi mutu beton dari UCT Test ini sama dengan interpretasi UPV Test.
Untuk tiap-tiap kasus harus dibuat grafik korelasi antara cepat rambat gelombang geser dan
hasil kuat tekan beton inti. Grafik hasil korelasi ini kemudian dipakai untuk mengestimasi kuat
tekan bagian lainnya yang dilakukan UCT Test.

Adanya 48 sensor memungkinkan pengambilan data hanya dari satu sisi saja dgn jangkauan
yang dapat menembus hingga ketebalan beton maksimum 2 meter. Dengan demikian cepat
rambat yang didapat bukan merupakan hanya cepat rambat pada permukaan saja, tetapi
merupakan cepat rambat rata-rata untuk beton setebal dimensi elemen struktur pada lokasi
pengujian.

Gambar 3. Alat Ultrasonic Concrete Tomograph

Gambar 4. Tampak 4x12 sensors array


Gambar 5. Ilustrasi 4x12 transducer memeriksa integritas dan cepat rambat beton

STANDAR DALAM PENANGANAN DATA OUTLIERS


Dalam proses observasi lapangan, terdapat data yang beragam sehingga dapat ditemukan
sebuah atau beberapa data yang tidak koheren. Hal ini dapat disebut sebagai data “outliers”.
Data ini bercirikan dengan nilai simpangan yang besar terhadap rata-rata data yang ada.
Sehingga untuk menangani ini, ASTM E 178 [14] memberikan aturan statistik yang mengatur
prosedur dalam mengeliminasi data tersebut.

Pengamat dalam mengambil data, sering kali menyadari bahwa terdapat data yang memiliki
simpangan besar, sehingga data tersebut haruslah dihilangkan. Di dalam banyak kasus,
penyebab dari simpangan nilai tersebut, dapat diketahui penyebabnya berdasarkan bukti fisik
dari sampel data tersebut. Oleh karena itu perlu diperhatikan juga dalam proses eliminasi
data, metode statistik dapat digunakan untuk menjadi dasar pendukung pembuangan data
“outliers” terutama terhadap sampel data yang tidak dapat diidentifikasi penyebab kondisi
fisiknya.

Kriteria dasar yang digunakan merupakan hasil perhitungan dari nilai kritis dari sampel data
yang diambil kemudian dibandingkan dengan nilai kritis teori random sampling. Namun harus
juga memperhatikan tingkat kepercayaan yang berkisar antara 1% hingga 5%. Perlu
diperhatikan juga, dasar kriteria tersebut diambil dengan asumsi sebaran datanya berupa
distribusi normal.

Metode yang direkomendasikan diambil dari ASTM E 178 [14] akan dijelaskan sebagai
berikut. Data yang diragukan dimisalkan sebagai 𝑥 dimana 𝑛 adalah jumlah data yang
diambil dan Kriteria tes 𝑇 ialah :
𝑇 𝑥 𝑥̅ /𝑠 (8)

Dimana 𝑥̅ adalah nilai rata-rata dari data sebanyak 𝑛 dan 𝑠 adalah simpangan baku dari
populasi data yang diambil dengan perhitungan sebagai berikut:
∑ 𝑥 𝑥̅ ∑ 𝑥 𝑛 ∙ 𝑥̅ ∑ 𝑥 ∑ 𝑥 /𝑛 (9)
𝑠
𝑛 1 𝑛 1 𝑛 1

Prosedur diatas tersebut digunakan untuk nilai data yang diragukan merupakan batas atas,
jika nilai yang diragukan merupakan batas bawah maka kriteria tes 𝑇 𝑥 𝑥̅ /𝑠. Tingkat
kepercayaan yang digunakan bisa diambil dengan batas antara 1% hingga 5% dan
dibandingkan dengan tabel dari ASTM E 178 [14] [15]. Data yang diragukan haruslah
diurutkan terlebih dahulu nilainya 𝑥 𝑥 𝑥 ⋯ 𝑥 .

Tabel 6. One-sided T (nilai kritis) ketika standar deviasi dihitung dari data sampling yang sama
diambil dari ASTM E 178 [14] [15]

Jumlah Tingkat Tingkat Tingkat Tingkat Tingkat Tingkat


data, n signifikansi lebih signifikansi lebih signifikansi lebih signifikansi lebih signifikansi lebih signifikansi lebih
dari 0.1 % dari 0.5 % dari 1 % dari 2.5% dari 5 % dari 10 %

3 1.155 1.155 1.155 1.155 1.153 1.148

4 1.499 1.496 1.492 1.481 1.463 1.425

5 1.780 1.764 1.749 1.715 1.672 1.602

6 2.011 1.973 1.944 1.887 1.822 1.729

7 2.201 2.139 2.097 2.020 1.938 1.828

8 2.358 2.274 2.221 2.126 2.032 1.909

9 2.492 2.387 2.323 2.215 2.110 1.977

10 2.606 2.482 2.410 2.290 2.176 2.036

11 2.705 2.564 2.485 2.355 2.234 2.088

12 2.791 2.636 2.550 2.412 2.285 2.134

13 2.867 2.699 2.607 2.462 2.331 2.175

14 2.935 2.755 2.659 2.507 2.371 2.213

15 2.997 2.806 2.705 2.549 2.409 2.247

16 3.052 2.852 2.747 2.585 2.443 2.279

17 3.103 2.894 2.785 2.620 2.475 2.309

18 3.149 2.932 2.821 2.651 2.504 2.335

19 3.191 2.968 2.854 2.681 2.532 2.361

20 3.230 3.001 2.884 2.709 2.557 2.385

21 3.266 3.031 2.912 2.733 2.580 2.408

22 3.300 3.060 2.939 2.758 2.603 2.429

23 3.332 3.087 2.963 2.781 2.624 2.448

24 3.362 3.112 2.987 2.802 2.644 2.467

25 3.389 3.135 3.009 2.822 2.663 2.486

* untuk data sampling n lebih dari 25 dapat dilihat di ASTM E 178 [11]

PENENTUAN JUMLAH BENDA UJI


SNI 2847:2013 [1] maupun ACI 214.4R-10 [4] memang tidak mengatur berapa banyak benda
uji yang harus diambil jika harus dilakukan pengambilan inti beton, artinya kita dibebaskan
untuk menentukan berapa jumlah benda uji yang akan diambil, sesuai dengan prinsip-prinsip
statistik. Dalam referensi lain, yaitu ASCE41-17 [17], pasal 10.2.2.4, diatur mengenai jumlah
tes minimum untuk benda uji. Ada tiga level pengumpulan data, yang dibagi atas minimum,
biasa dan komprehensif yang tergantung dari level performace struktur yang ingin dicapai.
Sebagi contoh, jika diinginkan untuk mengevaluasi struktur hingga ke level Damage Control,
maka dibutuhkan level pengumpulan data yang biasa (Usual Data Collection), dimana untuk
struktur beton yang diketahui fc’ rencananya, disyaratkan minimum diambil 1 benda uji untuk
tiap mutu beton dengan minimum jumlah sebanyak 3 benda uji untuk seluruh gedung. Jika
mutu beton rencana tidak diketahui, maka minimum harus diambil 1 benda uji untuk tiap
elemen struktur penahan gempa, dengan minimum jumlah benda uji sebanyak 6 buah untuk
keseluruhan gedung.
Untuk struktur yang ingin dievaluasi hingga ke level Immediate Occupancy, dibutuhkan level
pengumpulan data secara comprehensif (Comprehensive Data Collection). Untuk level ini
koefisien variasi dari benda uji tersebut harus lebih kecil dari 20%. Jika lebih dari 20% maka
harus diambil benda uji tambahan hingga koefisien variasinya minimal sama dengan 20%.
Pada Comprehensive Data Collection, jika mutu beton rencana diketahui dan tidak ada hasil
kuat tekan silinder pada saat konstruksi, maka diharuskan untuk melakukan tes tekan beton
inti sebanyak 3 benda uji untuk tiap lantai, atau tiap 306 m3 (400 yd3) atau 930m2 (10,000 ft2),
tergantung mana yang lebih banyak. Jika mutu beton rencana tidak diketahui dan tidak ada
data pengujian kuat tekan silinder pada saat konstruksi, maka diharuskan untuk melakukan
tes tekan beton inti sebanyak 6 benda uji untuk tiap lantai, atau tiap 306 m3 (400 yd3) atau
930m2 (10,000 ft2), tergantung mana yang lebih banyak.
Sebagai catatan, ASCE41-17 [17], pasal 10.2.2.3 menyatakan bahwa dalam penentuan lokasi
pengambilan benda uji harus dilakukan pada komponen struktur yang mempunyai peranan
yang penting baik sebagai penahan beban gravitasi maupun beban gempa dan diambil pada
area yang mempunyai tegangan yang lebih kecil.
ACI 562-16 [18] pada pasal 6.3.5 menyatakan bahwa dalam penentuan lokasi dan jumlah
benda uji harus dapat mencerminkan karateristik dari material tersebut. Tidak disebutkan
secara pasti jumlah yang harus diambil. Dalam komentarnya dikatakan bahwa jumlah
minimum benda uji dipengaruhi oleh data yang tersedia dalam dokumen perencanaan dan
pada masa konstruksi, tipe sistem struktur, tingkat akurasi yang diinginkan dan kondisi
eksiting struktur yang bersangkutan. Penentuan lokasi dan jumlah benda uji harus dilakukan
oleh licensed design professional engineer dan dilakukan dengan hati-hati untuk
meminimalisir sesedikit mungkin kerusakan tulangan eksisting serta pengambilan harus
dilakukan pada lokasi yang menimbulkan efek paling kecil terhadap kekuatan struktur.

STUDI KASUS : BANGUNAN 35 LANTAI + 3 LAPIS BASEMENT


Studi kasus berikut merupakan suatu assesment yang dilakukan khususnya terhadap mutu
beton suatu bangunan yang terdiri dari 3 lapis basement dan tower 35 lantai. Pada kasus ini
dilakukan coring pada 25 titik lokasi dan sebagai pembanding juga dilakukan UPV Test dan
UCT Test. Mutu beton rencana terdiri dari 3 macam seperti pada Tabel 7. Pada Tabel 8
diperlihatkan data crushing test dari 25 sampel beton inti berdiameter 69 mm.
Dari 25 data hasil crushing test ini, kemudian dikelompokkan sesuai dengan mutu beton
rencana dan kemudian diperiksa apakah dari 25 data ini ada yang termasuk outliers.
Pemeriksaan outliers dilakukan berdasarkan ASTM E 178 [14]. Dari Tabel 9 dapat dilihat
bahwa seluruh data dapat dipergunakan, tidak ada yang termasuk outliers. Selanjutnya
dilakukan perhitungan fc’ ekivalen berdasrkan Bab 9 ACI 214.4R-10 [4] yang dapat dilihat
pada Tabel 12 hingga Tabel 14.
Tabel 7. Mutu beton rencana pada tiap lantai

fc' desain 
No. Lokasi
(MPa)
1 Lantai 21 ~ 35 35
2 Lantai 8 ~ 20 40
3 Lantai B3 ~ 7 45
Tabel 8. Data crushing test dari 25 sampel coredrill

Kuat  fc' desain  fc rata‐rata 


No. Lokasi
Tekan  (Mpa) (Mpa)
1 P6 ‐ AS 2 ‐9 / 2U‐2V 26.03 45
2 P6 ‐ AS 2 ‐9 /2A‐2B 35.58 45
3 P5 ‐ AS 2‐7/2L 29.15 45
4 P5 ‐ AS 2‐12/2K 26.60 45
5 P3 ‐ AS 2‐9/2U 42.79 45
6 P3 ‐ AS 2‐11/2Q‐2R 43.00 45
7 P1‐ AS 2‐10 / 2B 30.33 45
8 P2 ‐ AS 2‐11/2E‐2F 36.37 45
9 B1‐ AS 1‐8/ 1C‐1D 47.88 45 33.93
10 B1 ‐ AS 2‐11 / 2Q‐2R 38.31 45
11 B1 ‐ AS 2‐6 / 2A‐2B 35.00 45
12 B2 ‐ AS 2‐11 / 2E‐2F  38.91 45
13 B2 ‐ AS 2‐11/ 2Q‐2R 28.86 45
14 B2 ‐AS 1‐4;1‐5 / 1E 35.89 45
15 B3 ‐ AS 1‐8 / 1C‐1D 43.48 45
16 TOWER, LT5 ‐ AS 2 ‐11/2R‐2Q 21.54 45
17 TOWER, LT.5 ‐ AS 2‐11 / 2D‐2E 17.06 45
18 TOWER, LT .15‐ AS 2‐11 / 2D‐2E  36.05 40
19 TOWER,  LT.15 ‐ AS 2‐11 / 2P‐2Q  33.38 40 37.83
20 TOWER, LT.15‐AS 1‐8 / 1C‐1D 44.05 40
21 TOWER, LT.26 ‐ AS 1‐8 / 1E‐1F 34.96 35
22 TOWER, LT.32 ‐ AS 2‐11 / 2P‐2Q 17.86 35
23 TOWER, LT.23 ‐ AS 2‐11 / 2P‐2Q  25.76 35 26.03
24 TOWER, LT 32‐AS 2‐11/2D‐2E 28.74 35
25 TOWER, LT 23‐AS 2‐11 /2D‐2E 22.84 35

Tabel 9. Hasil pemeriksaan outliers dari 25 sampel berdasarkan mutu beton rencana

Test Desc. fc' design 40


No. of Outliers 0
Avg. 37.8266667
S.Std. Dev. 5.552
Total No. (n) 3
Tc 1.155
1.155
Test ID Test Value Tn Outlier
1 36.05 0.320 No
2 33.38 0.801 No
3 44.05 1.121 No

Test Desc. fc' design 35


No. of Outliers 0
Avg. 26.032
S.Std. Dev. 6.405
Total No. (n) 5
Tc 1.715
Test ID Test Value Tn Outlier
1 28.74 0.423 No
2 22.84 0.498 No
3 17.86 1.276 No
4 25.76 0.042 No
5 34.96 1.394 No
Pada Tabel 8, benda uji nomor 1 hingga 5 diambil pada elemen horisontal (balok) sedangkan
nomor 6 hingga 25 diambil dari elemen vertikal (kolom dan shearwall). Walaupun benda uji
nomor 1 hingga 17 didesain memiliki mutu yang sama, dalam memproses data, harus
dilakukan pengujian secara statistik, apakah 2 kelompok data ini (balok dan kolom/shearwall)
dapat digabung. Pengujian statistik ini dikenal sebagai Student's t-test.

Untuk t-test hasil benda uji 45 MPa, data dibagi ke dalam 2 kelompok, yaitu kelompok balok
dan kolom/sw. Kelompok data balok yaitu : 26.03, 35.38, 29.15, 26.60, 42.79, sedangkan
kelompok kolom/sw yaitu : 43.00, 30.33, 36.37, 47.88, 38.31, 35.00, 38.91, 28.86, 35.89,
43.48, 21.54, 17.07. Selanjutnya dihitung mean, variance dan standard deviation dari kedua
kelompok data ini. Hasil perhitungan mean, variance dan standard deviation dapat dilihat pada
Tabel 10.

Selanjutnya dihitung nilai t, yang didapat dari persamaan (10), dimana nilai standard deviation
dari pooled sample, Sp yang digunakan dihitung dari persamaam (11).

Tabel 10 Mean, Variance dan Standard Deviation

Balok Kolom / SW
Mean 31.99 34.72
Variance 50.1929 81.0857
Stand. Dev. 7.0847 9.0048
n 5 12

|𝑥̅ 𝑥̅ |
𝑡
1 1 (10)
𝑆
𝑛 𝑛
𝑛 1 𝑠 𝑛 1 𝑠
𝑆 (11)
𝑛 𝑛 1

Dari hasil perhitungan t, didapat nilai t = 0.6661, dimana nilai t ini kemudian dibanding dengan
critical value, t1 – α/2, yang dapat dilihat pada
Tabel 11. Tabel ini adalah nilai untuk data dengan 15 derajat kebebasan (degree of freedom /
dof), yang umum terdapat pada buku-buku referensi statistik, seperti pada Larsen and Marx
[16]. Nilai derajat kebebasan, dof, dapat dihitung dari persamaan 12.
𝑑𝑜𝑓 𝑛 𝑛 2 (12)

Tabel 11 Critical value t1 – α/2 dengan 15 derajat kebebasan

Significance Level Critical Value


95% 2.131
99% 2.947
99.9% 4.073

Dari perbandingan nilai t = 0.6661 dengan Tabel 11 di atas, dapat dilihat bahwa t lebih kecil
dari critical value untuk significance level 99.9%. Ini berarti bahwa rata-rata kuat tekan antara
balok dan kolom/SW tidak memiliki perbedaan yang significant , sehingga data-data dari balok
dan kolom/SW dapat digabung untuk mutu fc’=45 MPa pada perhitungan selanjutnya.
Tabel 12. Perhitungan fc’ ekivalen untuk lantai B3 – Lt 7

Fc diameter L l/d F l/d F mc F dia Fd fc average f c


NO LOKASI (fc - ave fc)2
(Mpa) (mm) (mm) (1 / Mpa) (Mpa) (Mpa)
1 P6 ‐ AS 2 ‐9 / 2U‐2V 26.03 69.00 141.10 2.0 1.00 1.00 1.0372 1.06 28.61 37.30 75.41
2 P6 ‐ AS 2 ‐9 /2A‐2B 35.58 69.00 141.00 2.0 1.00 1.00 1.0372 1.06 39.11 3.29
3 P5 ‐ AS 2‐7/2L 29.15 69.00 141.20 2.0 1.00 1.00 1.0372 1.06 32.04 27.61
4 P5 ‐ AS 2‐12/2K 26.6 69.00 140.70 2.0 1.00 1.00 1.0372 1.06 29.24 64.89
5 P3 ‐ AS 2‐9/2U 42.79 69.00 140.50 2.0 1.00 1.00 1.0372 1.06 47.04 94.92
6 P3 ‐ AS 2‐11/2Q‐2R 43 69.00 141.00 2.0 1.00 1.00 1.0372 1.06 47.27 99.41
7 P2 ‐ AS 2‐11/2E‐2F 36.37 69.00 141.10 2.0 1.00 1.00 1.0372 1.06 39.98 7.19
8 P1‐ AS 2‐10 / 2B 30.33 69.00 140.70 2.0 1.00 1.00 1.0372 1.06 33.34 15.65
9 B1‐ AS 1‐8/ 1C‐1D 47.88 69.00 140.80 2.0 1.00 1.00 1.0372 1.06 52.63 235.19
10 B1 ‐ AS 2‐11 / 2Q‐2R 38.31 69.00 141.20 2.0 1.00 1.00 1.0372 1.06 42.11 23.17
11 B1 ‐ AS 2‐6 / 2A‐2B 35 69.00 140.30 2.0 1.00 1.00 1.0372 1.06 38.48 1.39
12 B2 ‐ AS 2‐11 / 2E‐2F  38.91 69.00 140.60 2.0 1.00 1.00 1.0372 1.06 42.77 29.99
13 B2 ‐ AS 2‐11/ 2Q‐2R 28.86 69.00 140.70 2.0 1.00 1.00 1.0372 1.06 31.72 31.04
14 B2 ‐AS 1‐4;1‐5 / 1E 35.89 69.00 140.00 2.0 1.00 1.00 1.0372 1.06 39.45 4.66
15 B3 ‐ AS 1‐8 / 1C‐1D 43.48 69.00 140.00 2.0 1.00 1.00 1.0372 1.06 47.80 110.32
16 TOWER, LT5 ‐ AS 2 ‐11/2R‐2Q 21.54 69.00 140.00 2.0 1.00 1.00 1.0372 1.06 23.68 185.39
17 TOWER, LT.5 ‐ AS 2‐11 / 2D‐2E 17.06 69.00 140.00 2.0 1.00 1.00 1.0372 1.06 18.75 343.76
 1,353.31

n = 17.00 V l/d = 0.000 K = 1.55 f 0.10 = 23.01


sc  = 9.20 V dia = 0.059 Z =  0.67 fc'eq1 = 22.91
sa  = 2.57 V mc = 0.025 T = 0.69 (fc) CL = 34.99
so = 9.55 V d = 0.025 C = 0.83 fc'eq2 = 29.04

Tabel 13. Perhitungan fc’ ekivalen untuk lantai Lt. 8 – Lt. 20

Fc diameter L l/d F l/d F mc F dia Fd fc average f c


NO LOKASI (fc - ave fc)2
(Mpa) (mm) (mm) (1 / Mpa) (Mpa) (Mpa)
1 TOWER, LT .15‐ AS 2‐11 / 2D‐2E  36.05 69.00 140.50 2.0 1.00 0.96 1.0372 1.06 38.04 39.92 3.51
2 TOWER, LT.15 ‐ AS 2‐11 / 2P‐2Q  33.38 69.00 140.80 2.0 1.00 0.96 1.0372 1.06 35.22 22.02
3 TOWER, LT.15‐AS 1‐8 / 1C‐1D 44.05 69.00 140.80 2.0 1.00 0.96 1.0372 1.06 46.48 43.12
 68.66

n = 3.00 V l/d = 0.000 K = 2.50 f 0.10 = 25.27


sc  = 5.86 V dia = 0.059 Z =  0.67 fc'eq1 = 25.15
sa  = 2.75 V mc = 0.025 T = 0.82 (fc)CL = 36.59
so = 6.47 V d = 0.025 C = 0.83 fc'eq2 = 30.37

Tabel 14. Perhitungan fc’ ekivalen untuk lantai Lt. 21 – Lt. 35

Fc diameter L l/d F l/d F mc F dia Fd fc average f c


NO LOKASI (fc - ave fc)2
(Mpa) (mm) (mm) (1 / Mpa) (Mpa) (Mpa)
1 TOWER, LT.26 ‐ AS 1‐8 / 1E‐1F 34.96 69.00 141.20 2.0 1.00 0.96 1.0372 1.06 36.89 27.14 95.08
2 TOWER, LT.32 ‐ AS 2‐11 / 2P‐2Q 17.86 69.00 141.50 2.1 1.00 0.96 1.0372 1.06 18.84 68.79
3 TOWER, LT.23 ‐ AS 2‐11 / 2P‐2Q  25.76 69.00 141.00 2.0 1.00 0.96 1.0372 1.06 27.18 0.00
4 TOWER, LT 32‐AS 2‐11/2D‐2E 28.74 69.00 103.00 1.5 0.97 0.96 1.0372 1.06 29.42 5.18
5 TOWER, LT 23‐AS 2‐11 /2D‐2E 22.84 69.00 103.00 1.5 0.97 0.96 1.0372 1.06 23.36 14.27
 183.33

n = 5.00 V l/d = 0.000 K = 1.96 f 0.10 = 13.87


sc  = 6.77 V dia = 0.059 Z =  0.67 fc'eq1 = 13.81
sa  = 1.87 V mc = 0.025 T = 0.74 (fc)CL = 24.57
so = 7.02 V d = 0.025 C = 0.83 fc'eq2 = 20.40
Jika dilihat rumus fc’ ekuivalen pada persamaan (2), (6) dan (7), nilai faktor K dan T sangat
dipengaruhi oleh jumlah data yang dipergunakan. Faktor K dan T pada persamaan fc’
ekuivalen merupakan faktor pengurang, sehingga semakin besar nilai K dan T, maka nilai fc’
ekuivalen akan semakin kecil. Dari Tabel 2 dan Tabel 5 dapat dilihat bahwa nilai K dan T akan
semakin kecil seiring dengan bertambahnya jumlah data. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa dengan semakin bertambahnya jumlah data yang digunakan, maka relatif akan
didapatkan nilai fc’ ekuivalen yang lebih besar.
Hal ini sejalan dengan logika, bahwa jika data yang dimiliki semakin banyak, maka tingkat
kepercayaan terhadap hasil pengolahan data juga akan semakin tinggi, sehingga nilai fc’
ekuivalen yang akan dihasilkan juga dapat lebih tinggi.
Pada Tabel 15 diperlihatkan hasil dari fc’ ekivalen yang dihitung berdasarkan metode 1 dan
metode 2 sesuai yang telah dijelaskan pada Tabel 12 hingga Tabel 14 diatas serta
perbandingannya dengan hasil tes tekan.

Tabel 15. Hasil perbandingan crushing test dengan fc’ ekivalen


Crushing Test
fc  fc 
fc'  Nilai rata‐ Nilai  0.85 fc' 
Nilai  Nilai  ekivalen  ekivalen 
No. Lokasi desain  Hasil Rata‐ rata >  minimum >  desain 
Maksimum  Minimum  metode  metode 
(MPa) Rata  (MPa) 0.85 fc  0.75 fc  (Mpa)
(MPa) (MPa) 1 (MPa) 2 (MPa)
desain desain
1 Lantai B3 ~ 7 45 33.93 47.88 17.06 Tidak Tidak 38.25 22.91 29.04
2 Lantai 8 ~ 20 40 37.83 44.05 33.38 Ya Ya 34.00 25.15 30.37
3 Lantai 21 ~ 35 35 26.03 34.96 17.86 Tidak Tidak 29.75 13.81 20.40

Menarik untuk dicermati dari hasil rangkuman pada Tabel 15 di atas, khususnya untuk hasil uji
tekan lantai 8-20. Dari 3 hasil tes tekan beton inti, memenuhi syarat nilai rata-rata lebih besar
dari 85% fc’ dan nilai individunya tidak ada yang dibawah 75% fc’. Ini berarti secara aturan
berdasarkan SNI 2847:2013 pasal 5.6.5.4, mutu beton lantai 8-20 memenuhi persyaratan
mutu fc’ = 40 MPa. Akan tetapi jika dihitung nilai fc’ ekivalennya jauh berada di bawah 40
MPa. Berdasarkan metode 1 hanya sebesar 22.15 MPa dan metode 2 sebesar 30.37 MPa.
Perlu diingat bahwa nilai fc’ ekivalen di atas hanya berdasarkan 3 nilai uji tekan beton inti,
sehingga mutu beton ekivalennya pun akan berada jauh di bawah 40 MPa. Penambahan
jumlah benda uji akan menghasilkan nilai fc’ ekivalen yang lebih tinggi, dengan catatan jika
nilai rata-rata nya dan nilai simpangannya relatif sama.
Pendapat lain yang menghitung mutu beton ekivalen berdasarkan nilai terendah antara nilai
rata-rata dibagi 0.85 (37.83 MPa : 0.85 = 44.51 MPa) dan nilai individu terkecil dibagi 0.75
(33.38 MPa : 0.75 = 44.51 MPa) akan menghasilkan mutu beton ekivalen sebesar 44.51 MPa.
Pendapat ini salah, karena secara statistik tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam evaluasi mutu beton bangunan eksisting, seringkali dijumpai kendala keterbatasan
jumlah benda uji beton inti yang dapat diambil, karena bangunan tetap beroperasi dan atau
berpenghuni. Pengambilan inti beton selain menimbulkan kebisingan, juga memerlukan air
yang akan mengotori area sekitar pengambilan benda uji. Untuk mengatasi hal ini Non
Destructive Test (NDT) dapat menjadi alternative untuk mengevaluasi mutu beton eksisting.
Dalam SNI 2847:2013 [1] maupun ACI 214.4R-10 [4] tidak disebutkan mengenai NDT, akan
tetapi dalam ACI 562-16 [18] pasal 6.4.3.2 dikatakan bahwa NDT dapat diijinkan untuk dipakai
mengevaluasi mutu beton eksisting jika dibuat suatu korelasi yang valid antara hasil kuat
tekan beton inti dengan hasil NDT. Penggunaan NDT saja untuk menentukan mutu beton
sebagai pengganti tes kuat tekan beton inti tidak diijinkan.
Berikut ditampilkan contoh hasil dari non desktruktif test yang menggunakan pembacaan UPV
dan UCT. Pengambilan UPV dilakukan pada lantai B3 - Lt. 7 di area parkir dikarenakan
kemudahan akses dan pengambilan data secara direct juga dimungkinkan. Sementara UCT
dilakukan pada lantai 8 hingga lantai 35 dikarenakan bangunan ini sudah dihuni dan tidak
diijinkan untuk mengakses ruangan-ruangan di dalamnya, maka assessment dilakukan hanya
pada corewall area tangga service sehingga pembacaan dilakukan menggunakan UCT.
Pada Gambar 6 diperlihatkan korelasi antara kecepatan rambat gelombang ultrasonik dari
hasil pembacaan UPV dengan mutu beton hasil crushing test. Berdasarkan grafik korelasi ini,
maka didapatkan mutu beton berdasarkan UPV test pada Tabel 16. Kemudian nilai fc ekivalen
dihitung menggunakan metode 1 dan metode 2 seperti yang dapat dilihat pada
Tabel 17.

KORELASI CEPAT RAMBAT GELOMBANG UPV VS MUTU BETON
60

50

40
fc (Mpa)

30
R² = 0.535288281020
20

10

0
3200 3400 3600 3800 4000 4200 4400 4600

Velocity (m/s)

Gambar 6. Grafik korelasi pembacaan UPV dengan mutu beton

Tabel 16. Interpretasi mutu beton berdasarkan pembacaan UPV berdasarkan grafik pada
Gambar 6.
No Lokasi Kecepatan f'c (MPa) f'c desain
rata-rata (m/s) (MPa)
1 Lantai P7, AS 2H / 2-6 3889 34.5 45
2 Lantai P7, AS 2K / 2-7 3540 25.5 45
3 Lantai P7, AS 2P / 2-2 3837 33.0 45
4 Lantai P7, AS 2U / 2-14 3362 21.9 45
5 Lantai P7, AS 2Q / 2-17;2-18 3748 30.6 45
6 Lantai P7, AS 2K / 2-12 3926 35.7 45
7 Lantai P7, AS 2F / 2-17;2-18 3980 37.4 45
8 Lantai P6, AS 2N / 2-6 3713 29.7 45
9 Lantai P6, AS 2G / 2-2 3952 36.5 45
10 Lantai P6, AS 2K / 2-12 3455 23.7 45
11 Lantai P6, AS 2P / 2-17 3704 29.4 45
12 Lantai P6, AS 2U / 2-14 3872 34.0 45
13 Lantai P6, AS 2U / 2-9 3710 29.6 45
14 Lantai P6, AS 2Q / B4 3601 26.9 45
15 Lantai P6, AS BE / B4 3865 33.8 45
16 Lantai P5, AS BE / B4 3778 31.4 45
17 Lantai P5, AS 2P / 2-2 3908 35.1 45
18 Lantai P5, AS 2K / 2-7 3665 28.5 45
19 Lantai P5, AS 2U / 2-9 3595 26.8 45
20 Lantai P5, AS 2U / 2-14 3553 25.8 45
21 Lantai P5, AS 2K / 2-12 3471 24.1 45
22 Lantai P5, AS 2F / 2-17;2-18 3462 23.9 45
23 Lantai P5, AS 2B / 2-14 3593 26.7 45
24 Lantai P5, AS 2B / 2-5 3772 31.2 45
25 Lantai P5, AS 2H / 2-2 3886 34.5 45
No Lokasi Kecepatan f'c (MPa) f'c desain
rata-rata (m/s) (MPa)
26 Lantai P4, AS BE / B4 3961 36.8 45
27 Lantai P4, AS 2Q / B4 3961 36.8 45
28 Lantai P4, AS 2T / 2-1;2-2 3996 37.9 45
29 Lantai P4, AS 2U / 2-10 3234 19.6 45
30 Lantai P4, AS 2T / 2-17;2-18 3656 28.2 45
31 Lantai P4, AS 2Q / 2-17;2-18 3410 22.8 45
32 Lantai P4, AS 2L / 2-12 3194 18.9 45
33 Lantai P4, AS 2F / 2-17;2-18 3738 30.3 45
34 Lantai P4, AS 2B / 2-10 3597 26.8 45
35 Lantai P4, AS 2K / 2-7 3887 34.5 45
36 Lantai P3, AS 2T / 2-17;2-18 3260 20.0 45
37 Lantai P3, AS 2N / 2-13 3997 37.9 45
38 Lantai P3, AS 2P / 2-17 3242 19.7 45
39 Lantai P3, AS 2H / 2-13 3589 26.6 45
40 Lantai P3, AS 2B / 2-5 3462 23.9 45
41 Lantai P3, AS 2G / 2-2 3953 36.5 45
42 Lantai P3, AS 2H / 2-6 3822 32.6 45
43 Lantai P3, AS 2N / 2-6 3951 36.4 45
44 Lantai P3, AS BF / B4 3885 34.4 45
45 Lantai P2, AS 2Q / B4 3701 29.4 45
46 Lantai P2, AS BE / B4 4187 44.7 45
47 Lantai P2, AS 2B / 2-5 3891 34.6 45
48 Lantai P2, AS 2B / 2-10 3839 33.1 45
49 Lantai P2, AS 2G / 2-17 3586 26.6 45
50 Lantai P2, AS 2H / 2-13 3314 21.0 45
51 Lantai P2, AS 2U / 2-9 3462 23.9 45
52 Lantai P2, AS 2P / 2-2 3513 24.9 45
53 Lantai P1, AS BE / B4 3991 37.7 45
54 Lantai P1, AS 2Q / B4 3797 31.9 45
55 Lantai P1, AS 2C / 2-1 3576 26.3 45
56 Lantai P1, AS 2B / 2-5 3846 33.3 45
57 Lantai P1, AS 2B / 2-9 3613 27.2 45
58 Lantai P1, AS 2B / 2-14 3529 25.3 45
59 Lantai P1, AS 2G / 2-2 3810 32.3 45
60 Lantai P1, AS BF / B4 3999 38.0 45
61 Lantai P1, AS 2G / 2-17 3872 34.0 45
62 Lantai P1, AS 2P / 2-17 3403 22.7 45
63 Lantai B1, AS 2K / 2-7 3762 30.9 45
64 Lantai B1, AS 2C / B3 3836 33.0 45
65 Lantai B1, AS 2C / 2-1 3818 32.5 45
66 Lantai B1, AS 2C / 2-1 3829 32.8 45
67 Lantai B1, AS BC / 1-6 3707 29.5 45
68 Lantai B1, AS 2A / 1-7 3983 37.5 45
69 Lantai B1, AS BC / 1-1 3816 32.4 45
70 Lantai B1, AS 1C / 1-1 4018 38.6 45
71 Lantai B1, AS 1C / 1-1 3886 34.5 45
72 Lantai B1, AS BG / 1-1 3726 30.0 45
73 Lantai B2, AS 2H / 2-13 3822 32.6 45
74 Lantai B2, AS 2P / 2-17 3221 19.4 45
75 Lantai B2, AS 2N / 2-13 3389 22.4 45
76 Lantai B2, AS 2F / 2-17;2-18 3884 34.4 45
77 Lantai B2, AS BE / B3 3760 30.9 45
78 Lantai B2, AS 2C / 1-12 3945 36.3 45
79 Lantai B2, AS 2T / 1-10 3939 36.1 45
80 Lantai B2, AS BC / 1-6 3841 33.2 45
81 Lantai B2, AS 2T / 1-3 3920 35.5 45
82 Lantai B2, AS 1C / 1-1;1-2 3968 37.0 45
Tabel 17. Nilai fc’ ekivalen dari pembacaan UPV

fc  fc 
Hasil Rata‐Rata   Nilai Maksimum  Nilai Minimum  Hasil Rata‐ Nilai  Nilai 
fc' desain  ekivalen  ekivalen 
No. Lokasi Crushing Test   Crushing Test  Crushing Test  Rata UPV  Maksimum  Minimum 
(MPa) metode 1  metode 2 
(MPa) (MPa) (MPa) (MPa) UPV (MPa) UPV (MPa)
(MPa) (MPa)
1 Lantai B3 ~ 7 45 33.93 47.88 17.06 30.58 44.72 18.93 22.92 25.52

KORELASI AMIRA VS MUTU BETON
80
70
60
50
fc (Mpa)

40
30
20
10
0
R² = 0.510380518313
1700 1800 1900 2000 2100 2200 2300 2400

Velocity (m/s)

Gambar 7. Grafik korelasi pembacaan UCT dengan mutu beton

Tabel 18. Interpretasi mutu beton berdasarkan pembacaan UCT berdasarkan grafik pada
Gambar 7

Avg UCT f'c desain


No. Lokasi f'c (MPa)
velocity (m/s) (MPa)
1 LT.7 AS 1-5;1-8 /1B 1880 21.41 45
2 LT.7-LT.P6, AS 1-7 / 1D-1E 1890 22.02 45
3 LT.6 AS 1-5;1-8 /1B 2010 30.73 45
4 LT.6 AS 1-5 / 1D-1E 2010 30.73 45
5 LT.6-LT.5, AS 1-8 /BE-1E 1860 20.26 45
6 LT.6-LT.5, AS 1-7 / BE-1E 1880 21.41 45
7 LT.5-LT.4, AS 1-8 / BE-1E 1863 20.44 45
8 LT.3-LT.2, AS 1-7 / 1D-1E 1947 25.77 45
9 LT.2 AS 1-5;1-8 /1B 2150 45.35 45
10 LT.2 AS 1-5/1D-1E 1940 25.30 45
11 LT.2-LT.1, AS 1-7 / 1D-1E 1973 27.75 45
12 LT.2-LT.GF, AS 1-7 / 1D-1E 2053 34.66 45
13 LT.8 - LT.7, AS 2-11 / 2Q-2R 1963 26.99 45
14 LT.7 AS 2-8 / 2M-2N 1920 23.93 45
15 LT.7 AS 2-11 / 2Q-2R 2010 30.73 45
16 LT.6 -LT.5, AS 2-11 / 2Q-2R 1790 16.67 45
17 LT.3 - LT.2, AS 2-11 / 2R-2S 2045 33.87 45
18 LT. GF, AS 2-11 / 2R-2S 1897 22.43 45
19 LT.7 JANITOR 2270 63.30 45
20 LT.7 - LT.6, AS 2-11 /2E-2F 1807 17.46 45
21 LT.3-LT.2, AS 2-11 /2E-2F 1857 20.07 45
22 LT.GF, AS 2-11 /2E-2F 1967 27.24 45
23 LT.P6, AS 2-5 /2D 1892 22.14 45
24 LT.P4 AS 2-9;2-10/2J 1870 20.83 45
Tabel 19. Nilai fc’ ekivalen dari pembacaan UCT

fc  fc 
Hasil Rata‐Rata   Nilai Maksimum  Nilai Minimum  Hasil Rata‐ Nilai  Nilai 
fc' desain  ekivalen  ekivalen 
No. Lokasi Crushing Test   Crushing Test  Crushing Test  Rata UCT  Maksimum  Minimum 
(MPa) metode 1  metode 2 
(MPa) (MPa) (MPa) (MPa) UCT (MPa) UCT (MPa)
(MPa) (MPa)
1 Lantai B3 ~ 7 45 33.93 47.88 17.06 27.15 63.30 16.67 16.38 25.59

Pada Gambar 7 diperlihatkan korelasi antara kecepatan rambat gelombang ultrasonik dari
hasil pembacaan UCT dengan mutu beton hasil crushing test. Berdasarkan grafik korelasi ini,
maka didapatkan mutu beton berdasarkan UCT test pada
Tabel 18. Kemudian nilai fc ekivalen dihitung menggunakan metode 1 dan metode 2 seperti
yang dapat dilihat pada
Tabel 19.
Berdasarkan nilai fc’ ekivalen yang diperoleh dari pengujian UPV dan UCT memberikan hasil
fc’ ekivalen maksimum yang mendekati. Jadi bisa disimpulkan bahwa penyelidikan dengan
menggunakan UCT yang mampu dilakukan hanya pada satu sisi dari beton juga dapat
disandingkan dengan UPV. Kemudahan pemeriksaan dari satu sisi dengan UCT, memberikan
nilai tambahan bagi kemudahan assessment pada elemen struktur corewall atau bagian
struktur lain yang tidak bisa dilakukan oleh UPV secara direct.
Berdasarkan dari 3 penyelidikan yaitu hasil tes tekan, UPV dan UCT; hasil tes tekan tetap
memberikan hasil yang lebih dipercaya dikarenakan sudah tertuang dalam peraturan. Perlu
ada sampel beton inti yang cukup untuk memberikan hasil yang bisa dipertanggungjawabkan.
Hasil UPV dan UCT dapat dipergunakan untuk menambah tingkat kepercayaan terhadap hasil
uji tekn beton inti, disamping itu penggunaan NDT dapat mengurangi kerusakan yang
ditimbulkan dari pengambilan sampel beton inti.

KESIMPULAN
Dari uraian tulisan yang disampaikan di atas, dapat disimpulkan :
1. Secara aturan, assessment mutu beton eksisting harus dilakukan berdasarkan SNI
2847:2013 serta referensi pendukungnya yaitu ACI 214.4R-10 untuk penghitungan mutu
beton ekivalen, serta ASTM E178 untuk penentuan data outliers.
2. Terdapat 3 SNI yang masih berlaku mengenai uji tekan beton inti, yaitu SNI 03-3403-1994,
SNI 03-6898-2002 dan SNI 03-2492-2002, akan tetapi ketiga SNI ini tidak sejalan dengan
SNI 2847:2013, yang hanya mengacu kepada ASTM C42M.
3. Laboratorium pengujian yang melakukan pengambilan dan pengujian benda uji beton inti
sebaiknya dipilih yang sudah terakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) khusus
untuk bidang pengujian beton inti, sehingga terjamin keakurasian hasilnya dan dapat
dipertanggung jawabkan secara professional.
4. Jumlah benda uji beton inti sangat berpengaruh terhadap mutu beton ekivalen, terutama
jika deviasi data cukup besar. Jumlah data yang lebih banyak akan menghasilkan nilai
mutu beton ekivalen yang relatif lebih besar, sedangkan jumlah data yang lebih sedikit
akan menghasilkan mutu beton ekivalen yang relatif lebih kecil.
5. Secara aturan mutu beton ekivalen hanya dapat ditentukan berdasarkan hasil uji tekan
beton inti, sedangkan NDT dapat membatu memberikan gambaran yang lebih lengkap
mengenai sebaran data mutu beton pada struktur.
6. Penggunaan Ultrasonic Concrete Tomography (UCT) Test dapat digunakan dan
memberikan hasil yang lebih baik dibanding Ultrasonic Pulse Velocity (UPV) Test, terlebih
jika struktur hanya dapat diakses pada satu sisi saja.

REFERENSI
 
[1] Badan Standar Nasional, SNI 2847:2013 Persyaratan Beton Struktural untuk
Bangunan Gedung, BSN, 2013.
[2] ASTM, C42/C42M Standard Test Method for Obtaining and Testing Drilled Cores and
Sawed Beams of Concrete, ASTM, 2007, pp. 1-7.
[3] ACI Committee 318, ACI 318M-11: Building Code Requirements for Structural
Concrete (ACI 318M-11) An ACI Standard and Commentary Reported, ACI, 2011.
[4] ACI Committee 214, ACI 214.4R-10: Guide for Obtaining Cores and Interpreting
Compressive Strength Results, ACI, 2010.
[5] F. M. Bartlett and J. G. MacGregor, "Equivalent Specified Concrete Strength from Core
Test Data," Concrete International, vol. 17, no. 3, pp. 52-58, March 1995.
[6] F. M. Bartlett and J. G. Macgregor, "Effect of Core Diameter on Concrete Core
Strengths," Journal ACI Mater, vol. 91, no. 5, p. 460–470, September 1994.
[7] M. G. Natrella, Experimental Statistics : Handbook No. 9. Washington: National Bureau
of Standards, United States Government Printing Office, 1963.
[8] Badan Standar Nasional, SNI 03-3403-1994: Metode Pengujian Kuat Tekan Beton Inti
Pemboran, BSN, 1994.
[9] Badan Standar Nasional, SNI 03-6898-2002: Tata Cara Pelaksanaan Pengambilan
dan Pengujian Kuat Tekan Beton Inti, BSN, 2002.
[10] Badan Standar Nasional, SNI 03-2492-2002: Metode Pengambilan dan Pengujian
Beton Inti, BSN, 2002.
[11] Komite Akreditasi Nasional, SNI ISO/IEC 17025:2017 Persyaratan Umum Kompetensi
Laboratorium Pengujian dan Laboratorium Kalibrasi, Komite Akreditasi Nasional, 2017.
[12] Komite Akreditasi Nasional, SNI ISO/IEC 17025:2008 Persyaratan Umum Kompetensi
Laboratorium Pengujian dan Laboratorium Kalibrasi, Komite Akreditasi Nasional, 2008.
[13] ACI Committee 228, ACI 228.1R-03 In-Place Methods to Estimate Concrete Strength,
ACI, 2003.
[14] ASTM, E178 Dealing With Outlying Observations, ASTM, 2016.
[15] F. E. Grubbs and G. Beck, "Extension of Sample Sizes and Percentage Points for
Significance Tests of Outlying Observations," Technometrics, vol. 14, no. 4, p. 847–
854, 1972.
[16] Larsen, R. J., and Marx, M. L., 2006, Introduction to Mathematical Statistics and Its
Applications, fourth edition, Prentice Hall, Upper Saddle River, NJ, 928 pp.
[17] ASCE 41-17, Seismic Evaluation and Retrofit of Existing Buildings, ASCE, 2017, pp
141-143
[18] ACI Committee 562, ACI 562-16, Code Requirements for Assessment, repair, and
Rehabilitation of Existing Concrete Structures and Commentary, ACI, 2016, pp 38-39

Anda mungkin juga menyukai