Anda di halaman 1dari 7

Nama : 1. Avianti Burhan S.

(1041511196)

2. Khusnul Khotimah (1041511093)

FARMAKOGENETIKA ASMA

A. PENDAHULUAN

Pengaruh obat yang terjadi dari pemberian obat pada manusia akan beraneka ragam
(bervariasi) dari orang ke orang. Keanekaragaman ini dipengaruhi oleh berbagai penyebab
baik yang berasal Dari obat maupun dari individu yang bersangkutan. Penyebab yang berasal
dari individu pun dapat bermacam-macam, misalnya penyakit yang diderita, umur, status
gizi, diet, faktorgenetika,dan lain-lain.Farmakogenetika merupakan salah satu bidang dalam
farmakologiklinik yang mempelajari keanekaragaman pengaruh genetic terhadap respon obat.

Kepentingan dari studi farmakogenetika ini yang paling sederhana adalah untuk
mengetahui atau mengenali individu-individu tertentu dalam populasi ,yang
dikarenakanadanyaciri-cirigenetiktertentu, akanbereaksiataumendapatkanpengaruhobat yang
tidak sewajarnya dibandingkan anggota populasi lain pada umumnya. Sehingga dengan
demikian dapat dilakukan upaya-upaya pencegahan agar pengaruh buruk yang tidak
dikehendaki tidak sampai terjadi, misalnya dengan menyesuaikan besar dosis atau dengan
menghindari pemakaian obat tertentu pada individu tertentu. Sayangnya, tidak selamanya
pedoman ini dapat diterapkan secara praktis dalam praktek klinis sehari-hari. Hal ini karena :

 Teknik untuk mendiagnosis atau mengenali ciri-ciri genetic tersebut tidak selalu secara
praktis dapat dikerjakan dalam praktek sehari-hari.
 Beberapa bentuk efeksamping yang tidak dikehendaki, termasuk bentuk-bentuk yang berat
sekalipun merupakan reaksi abnormal individu yang bersifat idiosinkratik yang juga tidak
diketahui secara pasti factor apa yang mempengaruhi.
 Bentuk-bentuk keanekaragaman (variasi) pengaruh obat yang disebabkan faktorgenetik,
walaupun banyak yang sudah diketahui, tetapi masih banyak juga yang belum
diungkapkan sehingga selalu diperlukan penelitian-penelitian farmakogenetik untuk
mengungkapkanya.
Studi farmakogenetik juga berguna untuk mempelajari adanya perbedaan antar
kelompok etnik dalam hal pengaruh atau respons terhadap obat, yang kemungkinan karena
adanya perbedaan dalam frekuensi gen yang ada dalam populasi dari masing-masing
kelompok etnik tersebut. Sebagaicontoh yang menarik adalah pebedaan antar kelompok etnik
dalam metabolisme (asetilasi) obat-obat tertentu seperti isoniazid, dapson, sulfadimidin,
prokainamid, dan hidralazin. Dalam hal kemampuan asetilasi obat-obat ini maka individu-
individu dalam populasi akan terbagi secara tegas menjadi fenotipe asetilator cepat dan
asetilator lambat, dan sifat ini ditentukan oleh suatu gen otosom, yakni sifat asetilator cepat
ditentukan oleh gen dominan otosom sedangkan sifat asetilator lambato leh gen resesif
otosom. Yang menarik ternyata frekuensi asetilator ini berbeda antar masing-masing
kelompok etnik oleh karena adanya perbedaan dalam frekuensi gen aasetilasi dalam populasi.
Proporsi asetilator lambat pada berbagai kelompok etnik bervariasi sebagai berikut :
Eskimo : 5%
Jepang : 10%
Cina : 20%
Melayu : 35%
Indian-Amerika : 40%
Ras Kaukasoid : 50%
Ras Negroid : 50-100%

Munculnya beberapa jenis allele dan haplotip tersebut disebabkan karena terjadinya
beberapa mutasi yang terjadi pada sel reproduksi dari masing-masing individu. Perbedaan
allele dan polimorfisme dalam individu disebabkanoleh terjadinya perubahan susunan basa-
basa DNA seperti perubahan salah satu basa DNA, delesi ataupun rearrangement DNA dalam
salah satu lokus kromosomnya. Beberapa gen yang bertanggung jawab terhadap metabolisme
obat seperti gen P450, yang menyandi ekspresi dari enzim-enzim metabolisme obat yaitu
CYP2C19, CYPIA1, CYP206, CYP2C9, CYP2E1. Variasi struktur dan fungsi dari enzim-
enzim tersebut dapat menyebabkan meningkatnya efek samping dari berbagai jenis obat
termasuk antidepresan, amfetamin, dan beberapa obat golongan beta-adreno receptor. (Radji
M, 2011)
Variasi allele pada enzim metabolisme obat lainnya yaitu thiopurine methyl transferase
(TPMT), dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan. Polimorfisme pada enzim
sering kali juga dapat meningkatkan efek toksik dari obat dibandingkan dengan individu
normal. Penyakit-penyakit kelainan genetik telah diketahui antara lain disebabkan oleh
terjadinya mutasi DNA, dan polimorfisme. Mutasi dan polimorfisme ini dapat terjadi pada
coding regions dari gen, pada promo tor gen ataupun pada sekuen regulator.Variasi mutasi
dalam suatu gen dapat menyebabkan beberapa kelainan. Berbagai jenis penyakit diketahui
berhubungan dengan terjadinya berbagai mutasi DNA. Saat ini diperkirakan sekitar
1500 jenis penyakit yang berkaitan dengan kelainan genetik (Radji M, 2011).

B. PENGERTIAN ASMA
Asma berasal dari kata "asthma" dari bahasa Yunani yang berarti "sukar bernafas".
Penyakit asma merupakan penyakit lima besar penyebab kematian di dunia yang bervariasi
antara 5-30% (berkisar 17,4%).4 Di Indonesia prevalensi asma belum diketahui secara pasti,
namun diperkirakan 2-5 % penduduk Indonesia menderita asma. Asma merupakan penyakit
kronis saluran pernapasan yang ditandai oleh inflamasi, peningkatan reaktivitas terhadap
berbagai stimulus, dan sumbatan saluran napas yang bisa kembali spontan atau dengan
pengobatan yang sesuai. Asma merupakan penyakil saluran nafas yang ditandai oleh
penyempitan bronkus akibat adanya hiperreaksi terhadap sesuatu perangsangan
langsung/fisik ataupun tidak langsung. Tanpa pengelolaan yang baik penyakit ini akan
mengganggu kehidupan penderita sehari-hari dan penyakit akan cenderung mengalami
peningkatan dan dapat menimbulkan komplikasi ataupun kematian (Ratih Oemiati, Marice
Sihombing, Qomariah, 2010)
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan
terutama adalah : sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel.
1. Sel Mast
Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi degranulasi
sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan preformed mediator seperti
histamin, protease dan newly generated mediator seperti leukotrin, prostaglandin dan
PAF yang menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi.
Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang tinggi. Cross-linking reseptor
IgE dengan “factors” pada sel mast mengaktifkan sel mast. Terjadi degranulasi sel
mast yang mengeluarkan preformed mediator seperti histamin dan protease serta
newly generated mediators antara lain prostaglandin D2 dan leukotrin. Sel mast juga
mengeluarkan sitokin antara lain TNF-alfa, IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-CSF.
2. Limfosit T
Limfosit T yang berperan pada asma ialah limfosit T-CD4+ subtipe Th2). Limfosit T
ini berperan sebagai orchestra inflamasi saluran napas dengan mengeluarkan sitokin
antara lain IL-3, IL-4,IL-5, IL-13 dan GM-CSF. Interleukin-4 berperan dalam
menginduksi Th0 ke arah Th2 dan bersama-sama IL-13 menginduksi sel limfosit B
mensintesis IgE. IL-3, IL-5 serta GM-CSF berperan pada maturasi, aktivasi serta
memperpanjang ketahanan hidup eosinofil.
3. Sel Epitel
Sel epitelyang teraktivasi mengeluarkan a.l 15-HETE, PGE2 pada penderita asma.
Sel epitel dapat mengekspresi membran markers seperti molekul adhesi, endothelin,
nitric oxide synthase, sitokin atau khemokin. Epitel pada asma sebagian mengalami
sheeding. Mekanisme terjadinya masih diperdebatkan tetapi dapat disebabkan oleh
eksudasi plasma, eosinophil granule protein, oxygen free-radical, TNF-alfa, mast-cell
proteolytic enzym dan metaloprotease sel epitel.
4. Eosinofil
Eosinofil jaringan (tissue eosinophil) karakteristik untuk asma tetapi tidak spesifik.
Eosinofil yang ditemukan pada saluran napas penderita asma adalah dalam keadaan
teraktivasi. Eosinofil berperan sebagai efektor dan mensintesis sejumlah sitokin
antara lain IL-3, IL-5, IL-6, GM-CSF, TNF-alfa serta mediator lipid antara lain LTC4
dan PAF. Sebaliknya IL-3, IL-5 dan GM-CSF meningkatkan maturasi, aktivasi dan
memperpanjang ketahanan hidup eosinofil. Eosinofil yang mengandung granul
protein ialah eosinophil cationic protein (ECP), major basic protein (MBP), eosinophil
peroxidase (EPO) dan eosinophil derived neurotoxin (EDN) yang toksik terhadap
epitel saluran napas.

C. FARMAKOGENETIKA ASMA
Asma adalah penyakit yang diturunkan telah terbukti dari berbagai penelitian.
Predisposisi genetik untuk berkembangnya asma memberikan bakat/ kecenderungan untuk
terjadinya asma. Fenotip yang berkaitan dengan asma, dikaitkan dengan ukuran subjektif
(gejala) dan objektif (hipereaktiviti bronkus, kadar IgE serum) dan atau keduanya. Karena
kompleksnya gambaran klinis asma, maka dasar genetik asma dipelajari dan diteliti melalui
fenotip-fenotip perantara yang dapat diukur secara objektif seperti hipereaktiviti bronkus,
alergik/ atopi, walau disadari kondisi tersebut tidak khusus untuk asma. Banyak gen terlibat
dalam patogenesis asma, dan beberapa kromosom telah diidentifikasi berpotensi
menimbulkan asma, antara`lain CD28, IGPB5, CCR4, CD22, IL9R,NOS1, reseptor agonis
beta2, GSTP1; dan gen-gen yang terlibat dalam menimbulkan asma dan atopi yaitu IRF2, IL-
3,Il-4, IL-5, IL-13, IL-9, CSF2 GRL1, ADRB2, CD14, HLAD, TNFA, TCRG, IL-6, TCRB,
TMOD dan sebagainya.
Gen-gen yang berlokasi pada kompleks HLA (human leucocyte antigen) mempunyai
ciri dalam memberikan respons imun terhadap aeroalergen. Kompleks gen HLA berlokasi
pada kromosom 6p dan terdiri atas gen kelas I, II dan III dan lainnya seperti gen TNF-α.
Banyak studi populasi mengamati hubungan antara respons IgE terhadap alergen spesifik
dan gen HLA kelas II dan reseptor sel T, didapatkan hubungan kuat antara HLA alel DRB1
15 dengan respons terhadap alergen Amb av.
Selain itu, Kromosom 11,12,13 memiliki berbagai gen yang penting dalam
berkembangnya atopi dan asma. Fenotip alergik dikaitkan dengan kromosom 11, kromosom
12 mengandung gen yang mengkode IFN-y, mast cell growth factor, insulin-like growth
factor dan nictric oxide synthase. Studi berkesinambungan menunjukkan ada ikatan positif
antara petanda-petanda pada lokus 12q, asma dan IgE, demikian pula kromosom 14 dan 19.
Mutasi pada kluster-kluster gen sitokin pada kromosom 5 dihipotesiskan sebagai predisposisi
terjadinya asma. Berbagai gen pada kromosom 5q berperan dalam progresiviti inflamasi baik
pada asma maupun atopi, yaitu gen yang mengkode sitokin IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-12, IL-
13, dan GMCSF. Interleukin-4 sangat penting dalam respons imun atopi, baik dalam
menimbulkan diferensiasi sel Th2 maupun merangsang produksi IgE oleh sel B. Gen IL-4
dan gen-gen lain yang mengatur regulasi ekspresi IL-4 adalah gen yang berpredisposisi untuk
terjadi asma dan atopi.

D. PENGOBATAN ASMA
Obat yang sering diberikan pada penderita asma adalah :Tablet Prednison. Tablet
Prednison mengandung prednison yang merupakan glukokortikoid. Glukokortikoid adalah
steroid adrenokortikal, dimana kedua- duanya ada yang alami dan sintetik, yang mudah dan
siap diserap melalui traktus gastrointestinalis. Enzim metabolisme fase 1 yang berperan:
CYP3A4.Target primer obat : Glukokortikoid Reseptor (GR), dengan nama gen NR3C1,
berfungsi untuk reseptor glukokortikoid. Mempunyai dua model peran: sebagai factor
transkripsi yang mengikat kepada elemen respon glukokortikoid (Glukokotikoid Response
Element/GRE) dan sebagai modulator untuk faktor transkripsi yang lain. Berpengaruh pada
respons inflamasi, proliferasi sel, dan diferensiasi target jaringan. Selain itu, Glukokortikoid
juga merupakan hormon yang muncul secara alamiah yang mencegah atau menekan proses
radang dan respons imun ketika diberikan dengan dosis farmakologi (Lusiani Tjandra,)
Adapun efek samping paling khas pada penggunaan prednison adalah keadaan yang
disebut dengan moon face (wajah pasien menjadi berisi sehingga terlihat bulat seperti bulan
purnama) dan buffalo hump (timbunan lemak berlebih pada punggung bagian atas sehingga
tampak seperti punuk kerbau), Selain itu Efek samping lainnya antara lain tekanan darah
menjadi tinggi, berkurangnya kadar kalium dalam plasma, glaukoma, katarak, munculnya
ulkus pada usus dua belas jari (duodenum), memburuknya keadaan diabetes, dapat terjadi
obesitas tetapi juga mungkin terjadi penurunan berat badan, susah tidur, pusing, perasaan
bahagia yang tidak tepat, bulging eyes, jerawat/acne, kulit menjadi rapuh, garis merah atau
ungu di bawah kulit, proses penyembuhan luka dan jejas yang melambat, pertumbuhan
rambut meningkat, perubahan pendistribusian lemak ke seluruh tubuh (khas: buffalo hump),
kelelahan yang ekstrim, lemah otot, siklus mens yang tidak teratur, penurunan keinginan
melakukan aktivitas seksual, rasa terbakar pada ulu hati, peningkatan pengeluaran keringat,
penghambatan pertumbuhan pada anak- anak, kejang, dan gangguan psikiatri.

E. DAFTAR PUSTAKA

Asma, Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia, PDPI, 2004


Katzung BG. Farmakologi Dasar dan Klinik, Buku 2, Edisi 8. Jakarta : Penerbit Salemba
Medika, 2001
Oemiati Ratih, Marice Sihombing, dan Qomariah, Faktor-faktor yang Berhubunga Dengan
Penyakit Asma di Indonesia, Media Litbang Kesehatan Volume XX Nomor 1 tahun
2010
Radji, M., 2011, Buku Ajar Mikorobiologi Panduan Mahasiswa Farmasi dan Kedokteran,
107,118, 201-207, 295, Jakarta,Buku Kedokteran EGC.
Sundaru H, Sukamto. Asma Bronkial. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi IV. Jakarta
:Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2006 ; 245-254.
Tjandra,lusiani. 2010. Penggunaan Prednison Pada Penderita Asma Bronkhiale Dikaitkan
Dengan Kadar IgE Dan IgG Penderita. Surabaya : Universitas Wijaya Kusuma
Surabaya
Zul Dahlan (2005). Masalah Asma di Indonesia dan Penaggulangannya. Bandung:
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

Anda mungkin juga menyukai