Anda di halaman 1dari 17

Demonstrasi Kedudukan Fetus dan Penanganan Distokia

A. Materi
Alat dan Bahan :
1. Boneka sapi
2. Os coxae pada sapi
3. Kamera untuk dokumentasi
B. Metode
1. Boneka sapi diposisikan pada bagian cranial dari os pelvis seolah-olah fetus berada
di dalam cavum abdomen.
2. Atur kedudukan fetus dari presentasi, posisi dan postur fetus yang normal sampai
abnormal, serta di dokumentasikan dengan kamera untuk dapat dipelajari lebih lanjut
3. Fetus dengan kedudukan yang abnormal dilakukan penanganan yang tepat sehingga
fetus dapat dikeluarkan dari cavum pelvis.
Hasil Dokumentasi Kedudukan Fetus
N GAMBAR KETERANGAN
O
1. Presentasi : Penanganan :
Longitudinal  Fiksasi kaki depan sebelah
anterior kanan dengan ligasi tali.
Posisi : Dorso  Fiksasi kuku kaki kiri
sacral dengan tangan
Postur:  Repulsi bersamaan dengan
Unilateral carpal ektensi sendi siku sebelah
flexion sinister kiri
 Tarik paksa

2. Presentasi : Penanganan :
Longitudinal  Fiksasi kaki depan sebelah
anterior kanan dan mandibula
Posisi : Dorso dengan ligasi tali.
sacral  Repulsi bersamaan dengan
Postur: unilateral ekstensi sendi bahu
elboflexion sehingga menjadi carpal
sinister flexion sinister kemudian
ditarik
 Selanjutnya fiksasi kuku
kaki kiri dengan tangan
 Repulsi bersamaan dengan
ektensi sendi siku sebelah
kiri
 Tarik paksa

3. Presentasi : Penanganan :
Transversal  Repulsi bagian bawah fetus
dorsal kemudian versi agar
Posisi : Cephalo menjadi longitudinal
ilial kiri anterior, posisi dorso ilial
kanan
 Rotasi 900 berlawanan arah
jarum jam, sehingga postur
menjadi bilateral elbow
flexion.
 Fiksasi mandibula fetus
kemudian repulsi lalu
ekstensi kaki kanan yang
mengalami elbow flexion
sehingga postur menjadi
carpal flexion
 Kemudian fiksasi teracak
kaki kanan, lalu repulsi
bersamaan dengan ekstensi
carpal flexion sehingga kaki
kanan menjadi lurus
 Fiksasi kaki kanan dengan
menggunakan tali.
 Untuk kaki selanjutnya,
Lakukan repulsi, lalu
ekstensi bagian kaki kiri
menjadi postur carpal
flexion.
 Fiksasi teracak kaki kiri, lalu
repulsi bersamaan dengan
ekstensi carpal flexion
menjadi postur normal
Selanjutnya lakukan tarik
paksa.
4. Presentasi: Penanganan :
Longitudinal  Fiksasi kedua kaki depan
anterior dengan tali
Posisi :  Tangan kiri repulsi
Dorso sacral bersamaan dengan tangan
Postur : kanan ekstensi kepala dan
Penekukan kepala leher ke dalam cavum
dan leher yang pelvis sehingga menjadi
mengarah presentasi longitudinal
kebawah anterior dengan postur
normal
 Tarik paksa
5. Presentasi : Penanganan:
Longitudinal  Fiksasi kedua kaki
anterior depan pedet dengan tali.
Posisi :  Repulsi sampai ke
Dorso sacral cavum abdomen,
Postur: untukmendapatkan
Penekukan kepala ruang gerak yang lebih
dan leher yang luas.
mengarah  Ekstensi kepala dan
kesamping kiri. leher sehingga menjadi
presentasi longitudinal
anterior dengan postur
normal.
 Kemudian tarik paksa.

6. Presentasi: Penanganan :
Longitudinal  Fiksasi kepala
anterior  Repulsi
Posisi :  Ekstensi sendi bahu kanan
Dorso sacral menjadi carpal flection
Postur : dextra
Bilateral Elbow  Repulsi dan ekstensi carpal
Flexion dextra menjadi postur
normal
 Fiksasi kepala dan kaki
kanan
 Ekstensi sendi bahu kiri
menjadi carpal flection
sinistra
 Repulsi dan ekstensi carpal
sinistra menjadi postur
normal
 Tarik paksa

7. Presentasi : Penanganan:
Longitudinal  Fiksasi kaki belakang kiri
posterior fetus dengan tali
Posisi:  Fiksasi kaki belakang kanan
Dorso-sacral fetus dengan tangan, pegang
Postur: tarsal fetus untuk menutupi
Tarsal flexion kuku fetus
unilateral  Repulsi fetus dari cavum
pelvis ke rongga abdomen
dan lakukan ekstensi hingga
kaki pada postur normal
 Tarik paksa fetus dengan
menarik kedua kaki
belakang hingga keluar
8. Presentasi: Penanganan:
Longitudinal  Fiksasi kedua kaki depan
anterior dengan menggunakan tali
Posisi:  Repulsi fetus sehingga
Dorso-sacral masuk kedalam cavum
Postur: pelvis
Cephalo ilial  Versi sehingga kepala dan
kanan leher dalam keadaan lurus.
 Tarik paksa fetus dengan
menarik kedua kaki depan
hingga keluar

9. Prsentasi: Penanganan:
Longitudinal  Cari teracak kaki kanan
posterior fetus, fiksasi menggunakan
Posisi: tangan
Dorso sacral  Repulsi dan ekstensi hip
Postur: flexon sehingga menjadi
Bilateral hip tarsal flexion
flexion  Repulsi dan ekstensi tarsal
flexion sehingga postur
menjadi normal.
 Fiksasi kaki kanan fetus
menggunakan tali
 Lakukan hal yang sama
pada hip flexion sinistra
 Dilakukan tarik paksa.
10 Presentasi: Penanganan:
. Longitudinal  Fiksasi kaki kiri fetus
posterior  Repulsi dan ekstensi dari hip
Posisi: flexion menjadi tarsal
Dorso sacral flexion
Postur:  Selanjutnya, mencari
Uniteral hip teracak kaki kanan dan
flexion difiksasi
 Repulsi dan ekstensi tarsal
flexion sehingga postur
normal
 Tarik paksa sehingga fetus
keluar
11 Presentasi: Penanganan:
. Transversal  Repulsi bagian kepala
ventral disertai versi sehingga
Posisi: diperoleh presentasi
Cephalo illio longitudinal posterior,
kanan posisi dorso illium sinistra
Postur: -  Rotasi 90º searah jarum jam,
posisi menjadi dorso sacral
 Kemudian dicari kaki
belakang kanan, dilakukan
repulsi dan ekstensi hip
flexion secara bersamaan
sehingga menjadi tarsal
flexion
 Dicari teracak kaki belakang
kanan dan dilakukan fiksasi
menggunakan tangan
operator
 Repulsi dan ekstensi tarsal
flexion sehingga kaki dalam
posisi normal
 Fiksasi kaki belakang kanan
dengan menggunakan tali.
 Lakukan hal yang sama
pada kaki belakang kiri
sehingga didapatkan
kedudukan normal,
langsung ditarik paksa.
12 Prsentasi: Penanganan:
. Longitudinal  Fiksasi mandibula dengan
anterior tali
Posisi:  Fiksasi kaki kiri
Dorso sacral menggunakan tangan
Postur:  Repulsi bersamaan dengan
Bilateral carpal ekstensi sehingga postur
flexion menajdi normal
 Lakukan hal yang sama
pada kaki kanan
 Selanjutnya, tarik paksa

13 Presentasi: Penanganan:
. Longitudinal  Masukkan tangan dan cari
posterior teracak kaki belakang
Posisi: kanan, lakukan fiksasi
Dorso sacral  Repulsi dan ekstensi tarsal
Postur: kaki belakang kanan fetus
Bilateral tarsal sehingga postur menjadi
flexion normal
 Fiksasi kaki belakang kanan
 Selanjutnya, lakukan hal
yang sama pada kaki
belakang kiri
 Fiksasi kaki belakang kiri
 Tarik paksa untuk
mengeluarkan fetus.
Pembahasan

Distokia adalah apabila tahap pertama, terutama tahap kedua, proses kelahiran
sangat diperpanjang, sulit atau tidak mungkin dilaksanakan oleh hewan induk tanpa
bantuan manusia. Dystocia berasal dari kata Yunani (Dys= sulit; tokos= kelahiran)
yang berarti kesulitan kelahiran. Distokia lebih umum terjadi pada hewan primipara
dari pada pluripara. Insiden distokia lebih banyak ditemukan pada kebuntingan
sebelum waktunya, karena penyakit pada uterus, kematian foetus dan kelahiran
kembar, atau pada kebuntingan yang berakhir jauh melewati waktunya karena foetus
yang terlampau besar (Toelihere, 2010).
Sebab-sebab distokia dibagi menjadi dua, yaitu sebab dasar dan sebab langsung.
Sebab dasar diantaranya meliputi sebab-sebab herediter, sebab gizi dan tatalaksana,
sebab penyakit infeksius, tarumatik dan sebab-sebab campuran. Sedangkan sebab-
sebab langsung terdiri dari dua sebab yaitu sebab maternal (25%) dan sebab fetal (75%)
(Toelihere, 2010).
a. Sebab maternal
Sebab maternal distokia sebagian besar adalah faktor-faktor yang
menyebabkan penyempitan atau stenosis saluran kelahiran atau yang
menghalangi pemasukan foetus secara normal ke dalam saluran kelahiran
(Toelihere, 2010). Faktor-faktor tersebut meliputi :
1. Kondisi induk sapi
Kondisi induk sapi berkaitan dengan ada tidaknya penyakit maupun
kelainan pada induk yang menyebabkan terjadinya distokia. Dalam hal ini
contohnya induk mengalami hipokalsemia yang akan berefek pada
terjadinya inersia uterine primer sehingga bisa menyebabkan distokia
(Jackson, 2007). Selain itu, hypoplasia herediter atau kongenital saluran
kelahiran atau vulva, stenosis cervix, vagina, atau vulva karena
pertumbuhan jaringan ikat atau bekas luka dari kesulitan kelahiran yang lalu
(Toelihere, 2010).
2. Pelvis area
Kejadian distokia akibat dari diameter pelvis area ini lebih banyak terjadi
pada sapi dara yang memiliki ukuran area pelvis lebih kecil dibandingkan
sapi dewasa yang sudah siap bunting. Ukuran pelvis yang kecil karena
betina belum dewasa tubuh ((Toelihere, 2010).
3. Lama kebuntingan
Lama kebuntingan akan ada kaitannya dengan ukuran fetus. Jadi semakin
lama masa kebuntingan sapi akan semakin banyak nutrisi yang diserap oleh
fetus untuk pertumbuhan sehingga ukuran fetus akan meningkat baik itu
dari berat badannya ataupun dari panjang struktur tulangnya. Peningkatan
ukuran menyebabkan fetus lebih sulit dalam melewati saluran peranakan.
4. Umur induk
Umur induk berkaitan dengan dewasa kelamin pada induk. Jika induk masih
berupa sapi dara kemungkinan untuk terjadinya distokia lebih tinggi karena
ukuran dari pelvis masih terlalu kecil, dan apabila dipaksakan untuk bunting
kemudian partus justru bisa menyebabkan terjadinya fraktur (Jackson,
2007).
b. Sebab fetal
Sebab fetal distokia lebih umum disebabkan oleh kelainan presentasi, posisi
dan postur, dan fetus yang terlampau besar (Toelihere, 2010). Sebab-sebab ini
meliputi :
1. Ukuran fetus
Semakin besar ukuran fetus akan semakin sulit keluar melalui saluran
peranakan dikarenakan ukuran fetus yang melebihi dari saluran peranakan
itu sendiri (Purohit, et al, 2012).
2. Jenis kelamin fetus
Pada fetus jantan kemungkinan terjadinya distokia lebih tinggi
dibandingkan dengan fetus betina, dikarenakan masa kebuntingan pada
fetus jantan lebih lama daripada fetus betina. Kebuntingan lebih lama
menyebabkan peningkatan pertumbuhan sehingga ukuran fetus lebih besar
dibandingkan saluran peranakan.
3. Kondisi fetus
Kondisi fetus yang dimaksud dalam hal ini yaitu fetus masih hidup atau
mati. Kematian fetus intrauterine pada akhir kebuntingan atau awal
kelahiran bisa menyebabkan distokia. Kematian fetus intrauterine bisa
disebabkan karena ukuran fetus yang terlalu besar atau adanya akumulasi
gas subkutan (Jackson, 2007; Purohit, et al, 2012).
4. Maldeposition pada fetus
Maldeposition dalam hal ini meliputi presentasi, posisi, dan atau postur
yang tidak normal sehingga mempersulit induk ketika proses partus
(Jackson, 2007; Toelihere, 2010). Kedudukan fetus normal adalah
presentasi anterior/osterior, posisi dorso sacral dengan kepala bertumpu
pada kedua kaki. Sedangkan kedudukan abnormal fetus adalah sebagai
berikut:
- Presentasi
Persentasi adalah hubungan antara sumbu panjang fetus dengan sumbu
panjang tubuh induk, atau bagian dari tubuh fetus yang menghadap ke
cavum pelvis. Apabila sejajar disebut presentasi longitudinal dan
apabila menyilang disebut presentasi transversal. Presentasi
longitudinal anterior dan posterior merupakan presentasi normal,
sedangkan presentasi transversal dorsal dan ventral merupakan
presentasi fetus yang tidak normal.
- Posisi
Posisi adalah hubungan antara punggung fetus pada persentasi
longitudinal atau kepala fetus pada persentasi transversal terhadap
bagian dari pelvis induk. Posisi normal dari fetus adalah posisi dorso
sacral. Posisi abnormal pada presentasi longitudinal adalah posisi
dorso illial kanan, posisi dorso illial kiri, posisi dorso pubis. Posisi
abnormal pada presentasi transversal adalah posisi cephalo illial kanan
dan posisi cephalo illial kiri
- Posture
Posture adalah hubungan antara kepala dan leher, anggota gerak baik
kaki depan, kaki belakang terhadap tubuh fetus. Posture yang normal
adalah kepala dan leher, kaki depan dan kaki belakang dalam keadaan
lurus. Posture abnormal pada presentasi longitudinal anterior adalah
kepala dan leher melipat ke atas, kebawah dan ke samping; melipatnya
sendi bahu unilateral maupun bilateral; melipatnya sendi siku
unilateral maupun bilateral. Posture abnormal pada presentasi
longitudinal posterior adalah melipatnya sendi pinggul unilateral
maupun bilateral dan melipatnya sendi loncat unilateral maupun
bilateral
5. Fetal monster
Karena adanya kelainan pada bentuk dari fetus itu sendiri. Kelainan ini
bisa disebabkan karena faktor fisik, kimiawi, ataupun virus. Faktor-faktor
ini akan mengganggu fetus pada waktu sebelum terjadinya organogenesis
yaitu sebelum umur fetus 42 hari yang kemudian mengganggu dalam
proses pertumbuhan fetus. Bentuk dari fetal monster ini bisa berupa
gabungan dari kembar, sistomosis, kelahiran bulldog, dan lain-lain
(Jackson, 2007).

Banyak cara yang dapat dipilih dan dipakai untuk penanggulangan distokia.
Namun, sebelum penanggulangan distokia, dilakukan prosedur pendahuluan terlebih
dahulu. Beberapa prosedur pedahuluan yang dilakukan adalah:
1. Anamnesa; sejarah kejadian distokia dan informasi lain perlu diperoleh dari
pemilik ternak atau dari pengamatan sendiri
2. Pemeriksaan umum; kondisi fisik hewan (pulsus dan suhu badan harus diukur
dan dicatat), apakah kurus, terlampau gemuk, atau dalam kondisi yang baik,
pemeriksaan vulva (keadaan cairan vulva, apakah encer, berlendir, berdarah,
atau membusuk),
3. Pemeriksaan khusus dan pengekangan; pemeriksaan secara terperinci
terhadap saluran kelamin dan foetus yang hanya dilakukan sesudah hewan
dikurung dikandang jepit dan dikekang, karena penanggulangan distokia
biasanya berlangsung segera sesudah pemeriksaan. Jika mungkin hewan
sebaiknya berdiri pada waktu pemeriksaan. Pada keadaan berbaring
pemeriksaan sulit dilakukan karena viscera dan foetus tertekan ke dalam rongga
pelvis.

Sesudah pemeriksaan yang teliti, umumnya dipilih cara yang paling konservatif
demi kepeningan pemilik, dokter hewan, induk hewan dan foetus. Tujuan dasar
penanggulangan distokia adalah melahirkan anak yang hidup dan mencegah perlukaan
pada induk. Menurut Toelihere (2006), penanggulangan distokia dapat dibagi atas
empat cara, yaitu mutasi, tarik paksa, foetotomi atau embriotomi dan section caesaria
atau laparohiseretomi.
1. Tarik paksa
Penarikan secara paksa ialah pengeluaran foetus dari induk melalui
saluran kelahiran dengan menggunakan kekuatan atau tarikan dari luar. Cara
tarik paksa pada presentasi anterior adalah dengan dipergunakan rantai atau
tali yang dililitkan pada phalanx atau dias siku. Rantai harus diikat erat untuk
mencegah tergelincir ke daerah kuku yang dapat menyebabkan terlepasnya
kuku bila ditarik. Pada presentasi anterior penarikan foetus dapat pula
dilakukan dengan tali yang diikatkan pada rahang bawah. Pemakaian rantai
tidak dianjurkan untuk mengikat rahang bawah karena sering merusak gigi-gigi
seri foetus. Pada presentasi posterior penarikan dapat dilakukan dengan rantai
atau tali yang diikatkan pada phalanx atau diatas persendian tarsus. Bahaya
yang dapat terjadi sama dengan pada penarikan kaki depan.
2. Sectio caesaria
Section caesaria adalah pengeluaran foetus, umumnya pada waktu
partus, melalui laparohisterotomi atau pembedahan pada perut dan uterus.
Bedah ini dilakukan apabila mutasi, tarik paksa dan foetotomi nampaknya tidak
dapat atau sangat sulit dilakukan untuk mengeluarkan fetus atau apabia
peternak menginginkan supaya fetus dikeluarkan dalam keadaan hidup.
Indikasi dilakukan sectio caesaria adalah terjadi distokia pada hewan
betina yang belum dewasa tubuh, dilatasi dan relaksasi cervix yang tidak
sempurna, kelemahan uterus dengan involusi cervix dan uterus, foetus yang
terlampau besar secara abnormal, mumifikasi foetus, stenosis vagina, dan
stenosis saluran kelahiran karena tumor.
3. Mutasi
Mutasi adalah penanggulangan distokia dengan mengambalikan foetus
ke presentasi, posisi dan postur normal. Penanganan mutasi yaitu :
a). Repulsi atau retropulsi, yaitu mendorong fetus keluar dari rongga pelvis
induk atau saluran kelahiran memasuki rongga abdomen dan uterus dimana
ruang cukup tersedia untuk pembetulan posisi atau postur fetus dan
ekstremitas.
b). Rotasi adalah pemutaran fetus pada sumbu panjangnya untuk membawa
fetus pada posisi dorso-sakral.
c). Versi, yaitu suatu tindakan memutar fetus pada sumbu transversalnya
untuk memperbaiki presentasi menjadi presentasi anterior maupun
posterior.
d). Ekstensi, yaitu tindakan meluruskan persendian yang menekuk.
4. Fetotomi atau embriotomi
Fetotomi pemotongan foetus untuk mengurangi ukurannya dengan
menyisihkan berbagai bagian foetus. Keuntungan foetotomi adalah teknik ini
mengurangi ukuran besar fetus, menghindarkan “sectio caesaria”,
memerlukan hanya sedikit bantuan, menghindari kemungkinan trauma dan
perlukaan akibat penarikan yang berlebih-lebihan. Sedangkan kekurangannya
adalah fetotomi dapat berbahaya dan menyebabkan perlukaan atau ruptura
uterus atau saluran kelahiran oleh alat-alat atau oleh tulang-tulang tajam, dapat
mengambil banyak waktu, menghabiskan tenaga induk dan tenaga pelaksana,
dapat juga membahayakan pelaksana dengan luka-luka oleh alat-alat, dan
apabila sudah terjadi emfisema kemungkinan terjadi infeksi pada tangan
pelaksana.

DAFTAR PUSTAKA

Jackson,P.G.G. 2007. Handbook Obstetri Veteriner Edisi Kedua. Yogyakarta: Gadjah


Mada University Press, diterjemahkan oleh Aris Junaidi.

Purohit, G.N., Solanki, K.,Shekhar.C.,Yadaf, S.P.2012. Perpective of fetal dystokia in


cattle and buffalo.Veterinary science development 2012;volume 2; e8.

Toelihere, MR. 1985. Ilmu Kebidanan Pada Ternak Sapi dan Kerbau. Jakarta: UI-
Press.

Anda mungkin juga menyukai