Anda di halaman 1dari 23

Home » Artikel Ilmiah » PENGEMBANGAN KARAKTER KERJA BERBASIS INDUSTRI

PADA SISWA SMK MELALUI PENDEKATAN DEMAND DRIVEN


By Aswir Astaman September 20, 2011 Artikel Ilmiah

PENGEMBANGAN KARAKTER KERJA


BERBASIS INDUSTRI PADA SISWA
SMK MELALUI PENDEKATAN
DEMAND DRIVEN
Siti Mariah
Universitas Pendidikan Indonesia
email: sitimae_1204@yahoo.co.id

Abstrak
Pengembangan karakter kerja siswa SMK merupakan hal yang urgen dilakukan guna
mempersiapkan lulusannya menghadapi dunia kerja yang sesungguhnya. Tujuan penelitian
ini adalah: mengidentifikasi karakter kerja yang dibutuhkan industri melalui pendekatan
demand driven, dan menemukan model pengembangan karakter kerja siswa SMK sesuai
dengan kebutuhan dunia kerja.
Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan yang mengikuti langkah: pra-
pengembangan; pengembangan model; dan penerapan model. Validasi instrumen
menggunakan analisis faktor konfirmatori (CFA) dan reliabilitas digunakan Cronbach Alpha.
Kecocokan model diuji dengan analisis Structural Equation Modelling (SEM) menggunakan
software LISREL 8.71.
Hasil penelitian diperoleh sebagai berikut: teridentifikasi karakter kerja yang
dibutuhkan industri, ditemukan model pengembangan karakter kerja yang diintegrasikan
dalam pembelajaran praktik di SMK, melalui 5 tahap, yaitu: komitmen kerja, etos kerja,
apresiasi kerja, pembiasaan kerja, dan refleksi. Model tepat (fit) digunakan untuk membangun
karakter kerja siswa SMK yang ditunjukkan dengan nilai p-value 0.161  0.05 dan hasil
goodness of fit index; RMSEA = 0.034  0.08, CFI = 0.990  0.90, and AGFI = 0.847  0.95
yang berarti model mendapat dukungan secara empiris. Dari hasil penelitian di atas,
direkomendasikan sebagai berikut: Pertama, karakter kerja siswa SMK perlu dikembangkan
berdasarkan demand tenaga kerja sesuai bidang keahliannya; Kedua, pengembangan karakter
kerja yang efektif dan efisien diintegrasikan dalam pembelajaran praktik.
Character Building of Work-Based Industries on Vocational High School (VHS)
Students with Demand-Driven Approach
Abstract
Vocational high school (VHS) students character building is one of the urgent need in
preparing graduates to face the real world of work. The purpose of this study are to: identify
the character of work required of the industry through demand-driven approach, and find out
model of character development of vocational students to work in accordance with the needs
of world of work.
This research is the development of the following steps: (1) pre-development, (2) model
development, and (3) application of the model. Validation of the instrument using
confirmatory factor analysis (CFA) and Cronbach Alpha reliability is used. Suitability model
was tested with analysis of Structural Equation Modelling (SEM) using LISREL 8.71
software.
The study has generated the following result: the identified character of work required
by the industry as graduateof vocational high school. This also has found the character
buiding model that integrated in practical learning, through the 5 stages, ie. work
commitment, work ethic, appreciation, work culture, and reflection. Model (fit) is used to
build a work character at vocational students who indicated to the value p-value 0.161  0.05,
and the result of goodness of fit index; RMSEA = 0.034  0.08, CFI = 0.990  0.90, and
AGFI = 0.847  0.95 showing that the strategy has empirical support and fits to use in VHS.
It is recommended as follows: First, the character of vocational students needs to be
developed in accordance with the needs and characteristics of the job in the world of work;
Second, the character building of effective and efficient integrated in practical learning.

Key words: character, work, industry


1. Pendahuluan
Esensi dari tujuan pendidikan kejuruan tingkat menengah (SMK) adalah mempersiapkan
peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu (Depdikbud, 2004: 1). SMK
memegang peranan penting dalam penyediaan tenaga kerja, karena pranata ekonomi
membutuhkan tenaga kerja terdidik dan terlatih. Namun tenaga kerja yang dihasilkan sampai
saat ini masih belum mampu menjawab permasalahan kebutuhan tenaga kerja yang
memenuhi kualifikasi yang disyaratkan dunia kerja. Peluang kerja yang ditawarkan pasar
kerja masih banyak yang belum terisi, karena lulusan pendidikan yang ada tidak terserap
pasar kerja (Dedi S, 2002: 612).
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka pengangguran pada Agustus 2008
berdasarkan pendidikan didominasi oleh lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yakni
17,26 persen, disusul tamatan SMA (Sekolah Menengah Atas) 14,31 persen, dan lulusan
Perguruan Tinggi (PT) 12,59 persen. Namun di sisi lain banyak perusahaan yang mengalami
permasalahan kesulitan mendapatkan tenaga kerja, padahal masalah pengangguran di
Indonesia menjadi wacana nasional. Hal ini menggambarkan adanya kesenjangan antara
demand pasar kerja dengan supply dan ketersediaan tenaga kerja dari institusi pendidikan
kejuruan.
Berdasarkan penelusuran recruitment on-line garment manufacturing di Indonesia yang
berorientasi eksport, syarat yang paling sering dimunculkan bagi calon tenaga kerja pada line
produksi adalah mampu bekerja dengan tekanan kerja yang tinggi, sanggup bekerja lembur,
sanggup ditempatkan di area produksi dan mampu bekerja mencapai target waktu yang
ditetapkan, sehat jasmani dan rohani, ... (http://acecnews.blogspot.com/2008/03/ungaran-
sarigarment.html). Syarat tersebut diajukan pihak industri karena sistem kerja yang
digunakan sangat memerlukan karakter kerja yang tangguh untuk menjalankan sistem
produksinya yang bersifat lean manufacture.
Bekerja di industri garment harus dapat mengikuti irama kerja yang memiliki produktivitas
tinggi dan cepat (output piece per minute), produksi bersifat masal dengan sistem produksi
ban berjalan, dan kualitas produk yang sangat dijaga ketat. Kesiapan mental dan ketahanan
fisik yang baik untuk mendukung kelancaran bekerja harus dimiliki para pekerjanya. Di
samping itu pekerjaan menjahit dan membuat busana adalah pekerjaan keterampilan yang
menunjukkan pada pekerjaan mental, menggunakan gerakan-gerakan tangan melalui
pengintegrasian sensoris yang terkoordinasi dengan baik (terampil, cekatan, cakap, cermat).
Kemampuan teknis (hard skills) yang handal dan mahir apabila tidak didukung oleh karakter
kerja yang baik maka menjadi tidak bermakna untuk bekerja di industri.
Pengembangan karakter kerja bagi siswa SMK merupakan aspek penting dalam
menghasilkan lulusan yang mampu bersaing dan berhasil dalam pekerjaannya. Oleh karena
itu diperlukan kajian model pengembangan karakter kerja untuk kesiapan kerja yang
terintegrasi dalam proses pembelajaran dengan berbagai strateginya. Siswa SMK harus
dipersiapkan untuk menghadapi real job yang ada di dunia usaha dan industri. Bekerja di
industri berada dalam lingkungan yang berbeda dengan lingkungan sekolah. Pengembangan
karakter kerja untuk jangka panjang meliputi pembinaan ketahanan mental, disiplin kerja,
ketahanan fisik, dan perilaku positif siswa. Sedangkan jangka pendek meliputi;
pengembangan wawasan kerja di industri.

Tujuan utama yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah (1) mengidentifikasi
karakter kerja yang diharapkan user (industri) terhadap lulusan SMK, dan (2) merumuskan
model pengembangan karakter kerja siswa SMK agar lulusannya memiliki karakter kerja
yang sesuai dengan tuntutan kerja di industri, serta mengkaji implikasi model tersebut
terhadap relevansi lulusan SMK dengan demand industri. Komponen atau aspek yang dikaji
untuk mendukung model pengembangan karakter kerja siswa SMK adalah sistem kerja yang
digunakan di industri diterapkan pula dalam pembelajaran praktik di sekolah, yaitu sistem
kerja “kaizen” yang meliputi: (1) sikap kerja 5R (ringkas, resik, rawat, rapi, dan rajin), quality
control (QC), dan just in-time (JIT).
Produk yang akan dihasilkan adalah model pengembangan karakter kerja berbasis
industri (Karjain) untuk siswa SMK berkaitan dengan program keahlian tata busana yang
terintegrasi dalam pembelajaran praktik. Konsep dasar model-Karjain adalah belajar bekerja,
melalui 5 tahap yaitu: (1) kontruksi komitmen kerja; (2) konstruksi etos kerja (3) apresiasi
kerja; (4) pembiasaan bekerja (budaya kerja); dan refleksi diri.

2. Kajian Teori
a. Pengembangan Karakter Kerja Berbasis Industri
Karakter sering diberi padanan kata watak, tabiat, perangai atau akhlak. Dalam bahasa
Inggris character diberi arti a distinctive differentiating mark, tanda yang membedakan
secara tersendiri. Karakter merupakan nilai-nilai yang terpatri dalam diri seseorang yang
dibentuk melalui proses; pendidikan, pengalaman, percobaan, pengorbanan dan pengaruh
lingkungan, menjadi nilai intrinsik yang melandasi sikap dan perilaku seseorang (Koesoema,
2007). Menurut (Ferry,. et.al, 2002), karakter tidak turun-temurun, juga tidak berkembang
secara otomatis, harus secara sadar dikembangkan. Dengan demikian karakter adalah suatu
kualitas yang mantap dan khusus (pembeda) yang terbentuk dalam kehidupan individu yang
menentukan sikap dalam mengadakan reaksi terhadap rangsangan dengan tanpa
mempedulikan situasi dan kondisi. Namun untuk mengembangkan karakter, diperlukan
’character coach’ atau ’character mentoring’ yang mengarahkan dan memberitahukan
kekeliruan dan kelemahan-kelemahan karakter seseorang (Koesoema, 2007).
Salah satu point penting dari tugas pendidikan adalah membangun karakter (character
building) anak didik. Fasli Jalal (2010) mengutarakan bahwa pendidikan karakter memiliki
makna lebih tinggi daripada pendidikan moral karena bukan sekedar mengajarkan mana yang
benar dan mana yang salah akan tetapi menanamkan pula kebiasaan yang baik sehingga
siswa menjadi paham, mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik
(http://komunikasi.um. ac.id/?p=1684).
Bentuk-bentuk karakter yang dikembangkan telah dirumuskan secara berbeda.
Indonesia Heritage Foundation merumuskan beberapa bentuk karakter yang harus ada dalam
setiap individu bangsa Indonesia di antaranya; cinta kepada Allah dan semesta beserta isinya,
tanggung jawab, disiplin dan mandiri, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan
kerja sama, percaya diri, kreatif, kerja keras dan pantang menyerah, keadilan dan
kepemimpinan, baik dan rendah hati, dan toleransi, cinta damai dan persatuan. Sementara itu,
character counts di Amerika mengidentifikasikan 6 karakter yang harus dimiliki, yaitu; dapat
dipercaya (trustworthiness), rasa hormat dan perhatian (respect), tanggung jawab
(responsibility), jujur (fairness), peduli (caring), nasionalis (citizenship), ketulusan (honesty),
berani (courage), tekun (diligence) dan integritas.
Pengembangan karakter kerja pada pendidikan kejuruan, menuntut pendekatan
pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja agar hasilnya efektif. Sebagaimana
teori Proser & Allen (1988), bahwa pendidikan kejuruan yang berhasil diantaranya: (a)
efisien jika lingkungan dimana siswa dilatih dengan cara, alat, dan mesin yang sama seperti
yang diperlukan dalam pekerjaan itu; (b) efektif jika melatih kebiasaan berpikir dan bekerja
seperti di DU-DI; (c) efektif jika membentuk kebiasaan kerja dan kebiasaan berfikir yang
benar sehingga cocok dengan pekerjaan; dan (d) pendidikan kejuruan harus memperhatikan
permintaan pasar.
b. Pendekatan Demand Driven
Strategi atau paradigma demand driven pada pendidikan kejuruan sudah lama
dicanangkan oleh Wardiman Djoyonegoro (1988) walaupun belum secara optimal
dilaksanakan dalam sistem pendidikan kejuruan. Dalam kontek pendidikan kejuruan yang
tujuan utamanya adalah menyiapkan lulusannya untuk bekerja, maka pendekatan demand
driven atau pendidikan yang berbasis permintaan ini secara empiris telah cukup bukti efektif
dan efisien untuk dilaksanakan. Pada intinya pendekatan ini meyakini dapat meningkatkan
relevansi pendidikan kejuruan dengan dunia kerja.
Pendekatan demand driven dalam penelitian ini digunakan untuk mengindentifikasi karakter
kerja yang perlu dikembangkan. Melalui pengalaman empirik, kajian teori, dan observasi,
maka strategi yang digunakan adalah dengan mengadopsi sistem kerja di industri dalam
pembelajaran praktik di SMK. Demand driven sebagai pijakan dalam menentukan arah
penelitian, maka landasan prosedur investigasi digambarkan sebagai berikut:

Pasar Kerja
Gambar 1.
Paradigm
a deman driven untuk pengembangan karakter kerja siswa SMK

SMK sebagai salah satu supplier tenaga kerja untuk industri harus mengetahui
kebutuhan akan kualifikasi dan kompetensi pekerja yang disyaratkan industri agar lulusan
yang dihasilkan dapat mengikuti sistem kerja yang ada. Industri busana (garmen)
menggunakan prinsip fundamental dari konsep lean manufacturing dalam proses
produksinya. Kaizen juga sebagai pendekatan bertahap secara sistematis, berkelanjutan, dan
sesuai dengan pencapaian sasaran. Salah satu alat yang paling efektif dalam perbaikan
berkelanjutan terseut adalah konsep 5R yaitu metode yang efektif dalam menciptakan sebuah
lingkungan kerja yang ideal dan mempunyai dampak yang sangat besar terhadap mutu dan
produktivitas. Konsep 5R yang dikembangkan Imai M (1997), yaitu: (a) seiri-short-ringkas,
(b) seiton-straighten-rapi; (c) seiso-sweep and clean-resik; (d) seiketsu-systemize-rawat; (e)
shitsuke-standardize-rajin.
Pembinaan karakter kerja berbasis industri atau disingkat “Karjain” dapat
dipergunakan pada pembelajaran praktik dan membantu guru dalam memperbaiki kultur
pembelajaran ke arah yang mendekati budaya kerja di industri. Model Karjain diilustrasikan
pada gambar berikut:
Gambar 2. Struktur dan Komponen Model-Karjain
Karjain merupakan model pengembangan karakter kerja berbasis industri yang
menerapkan kaizen, QC, dan JIT dalam proses pembelajaran praktik, dan dapat digunakan
untuk membangun rasa percaya diri, siswa bertanggung jawab terhadap pekerjaan yang
sedang dilakukan sampai tuntas; berdisiplin dengan waktu, memiliki daya juang yang tinggi;
dan memiliki ketahanan mental kerja yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Hal ini
didasarkan pada premis bahwa setiap siswa memiliki peluang untuk bekerja di industri.
Model- karjain dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Integrasi pengembangan karakter kerja dalam pembelajaran praktik melalui 5 tahap
kegiatan, yaitu:
a. Tahap komitmen kerja ditunjukkan oleh indikator; kesediaan menerima aturan kerja,
kesepakatan target waktu, kesadaran melaksanakan tugas sesuai aturan (SOP),
kesediaan bekerjasama, dan kesediaan melakukan sikap kerja sesuai dengan yang
diharapkan.
b. Tahap membangun etos kerja melalui simulasi situasi bekerja di industri agar siswa
mengalami bermacam-macam proses kerja untuk menguji reaksi mereka. Tujuanya
adalah untuk membangun etos kerja yang ditunjukkan oleh indikator bekerja ikhlas,
tuntas, semangat, serius, optimis, dan unggul.
c. Tahap pemaknaan cara kerja yaitu menerima dan memaknai nilai-nilai, setia kepada
nilai-nilai tertentu yang bertujuan untuk membangun apresiasi kerja. Apresiasi kerja
ditunjukkan oleh indikator; memahami, menghayati, menyenangi, dan menghargai
bidang pekerjaan.
d. Pembiasaan merupakan kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus, sehingga
menjadi suatu rutinitas atau perilaku yang membudaya dan menjadi karakter yang baik
dalam perilaku kerja. Budaya kerja, ditunjukkan oleh indikator sikap kerja 5R,
berorientasi pada kualitas, budaya just in-time, budaya bekerja jujur, dan bekerjasama.
e. Refleksi merupakan tahap yang menjadikan nilai-nilai sebagai bagian dari pola hidup
yang memungkinkan siswa dapat menyadari apa yang telah diperoleh dan dilakukan
serta merenungkan apa yang telah dipelajarinya sebagai bagian dari proses belajar itu
sendiri.
Bentuk pembinaan karakter kerja di SMK dengan penerapan kaizen, QC, dan JIT akan
semakin luas dibutuhkan penggunaannya karena semua aspek produksi pada saat ini tidak
hanya didasarkan pada kualitas dan kuantitas, melainkan juga standar waktu yang dapat
memenuhi kepuasan pelanggan (customer satisfaction). Dunia industri selalu berlomba-
lomba untuk menekan lead time dengan menggunakan berbagai metode. Metode yang bisa
diimplementasikan pada konsep lead time adalah:
(a) Poka yoke atau error proofing, yaitu mencegah sebuah kesalahan sebelum kesalahan itu
terjadi. Dalam hal ini diperlukan soft skills seperti teliti, disiplin, percaya diri, kejujuran,
dan tanggung jawab.

(b) Line balancing, yaitu menyeimbangkan aliran produksi komponen produk pada setiap
stasiun kerja berdasarkan waktu proses dan kebutuhan. Untuk itu, diperlukan soft skills
mental kerja yang stabil dan tangguh, karena proses produksi berdasarkan target waktu,
kuantitas, dan kualitas yang dijaga ketat terus berjalan secara berkelanjutan.

(c) Ergonomi dan K3, yaitu mengupayakan supaya tercipta suasana kerja yang ENASE
(Efektif, Nyaman, Aman, Sehat serta Efisien). Dalam hal ini diperlukan soft skills
komunikasi, kerjasama, kompetisi yang sehat, dan kepemimpinan.

(d) Sikap kerja 5S (Seiri/Sort, Seiton/Set in order, Seiso/Shine, Seiketsu/ Standardize,


Shitsuke/Sustain) di dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai 5R (Resik, Rapi, Ringkas,
Rawat, dan Rajin). Maka diperlukan soft skills disiplin, tanggung jawab, dan patuh pada
aturan.
(e) Just in Time (JIT), yaitu upaya untuk memproduksi produk sesuai dengan jumlah dan
waktu yang dibutuhkan. Maka diperlukan soft skills percaya akan kemampuan diri,
disiplin, tanggung jawab, keuletan, dan ketahanan mental.

Gerakan 5S merupakan semboyan kerja masyarakat jepang yang diambil dari huruf
awal, yaitu: Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu dan Shitsuke. Istilah ini di Indonesia sering juga
disebut dengan 5 R (ringkas, resik, rapih, rawat, dan rajin) atau 5P (pemilihan, penataan,
pembersihan, pemantapan dan pembiasaan (http://garment-techno.blogspot.com/2010/02/6-
s.html)

Pembentukan budaya kerja bukanlah sesuatu yang instan, dibutuhkan waktu bertahun-
tahun untuk menjadi budaya. Manfaat menerapkan sikap kerja 5S dalam kehidupan bekerja,
yaitu terjaminnya keamanan, keselamatan, kesehatan, dan kenyamanan dalam melakukan
pekerjaan, efisiensi kerja, dan peningkatan kualitas produk. Sehingga banyak perusahaan-
perusahaan yang mengadopsi dan menggunakan prinsip kaizen dengan 5S.

Meskipun konsep kerja kaizen lebih banyak diterapkan pada area kerja di industri,
namun untuk membekali kesiapan kerja siswa maka kebiasaan dalam menyelesaikan tugas-
tugas pembelajaran dengan menerapkan konsep kaizen dapat diimplementasikan dalam
pembelajaran praktik. Hal ini dimaksudkan agar siswa memiliki mental kerja yang terlatih
dengan selalu berorientasi pada kualitas, waktu, dan layanan.
3. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan (Research & Development). Metode
penelitian pengembangan memuat 3 komponen utama yaitu : (1) Model pengembangan, (2)
Prosedur pengembangan, dan (3) Uji coba produk (Depdiknas-Puslitjaknov, 2008: 8). Model
pengembangan menggunakan mix dari Fred dan Borg & Gall dimodifikasi menjadi metode
FBG (Fred, Borg, and Gall) dapat dilihat pada gambar 3 berikut:
Desain
Model
Evaluasi&Revisi

Ujicobadiperluas

Validasi

Supply
lulusanSMK

Ketera
ngan

= menunjukkan arah kegiatan

= menunjukkan hasil dari kegiatan

= menunjukkan proses kegiatan

Gambar 3. Metode FBG Untuk Model Karjain


Model pengembangan dari Fred (2001) memiliki beberapa kelebihan, antara lain; (1)
dikembangkan berdasarkan strategis manajemen yang mengacu pada peningkatan kualitas
input, proses, dan output pendidikan dan relevansinya dengan kebutuhan dunia kerja; (2) data
perencanaan dan operasional dalam menetapkan formula diperoleh melalui tiga tahap
penelitian, sehingga informasi sangat akurat. Peneliti melakukan penyesuaian beberapa
tahapan dalam metode Fred (2001) dengan Borg and Gall (1983) yang disesuaikan dengan
penelitian ini.
1) Tahap pra-pengembangan
Kegiatan yang dilakukan pada tahap pra-pengembangan antara lain: (a) survei ke
industri garmen yang ada di kawasan industri Sukoharjo-Solo dan Bawen Semarang untuk
mengidentifikasi karakter kerja yang perlu dikembangkan. Selanjutnya merancang
pengembangan karakter kerja untuk meningkatkan kualitas lulusan SMK agar sesuai dengan
kualifikasi kerja yang dibutuhkan industri. Kemudian disusun suatu strategi untuk
merealisasikan rancangan yang telah dibuat pada fase desain, meliputi: (1) menyusun
prosedur yakni urutan atau tahapan pelaksanaan model; (2) menentukan strategi penyampaian
seperti peran dan tugas guru yang harus dilakukan dalam pembelajaran praktik; (3)
memberikan gambaran kepada guru bagaimana mengintegrasikannya dalam pembelajaran
praktik; (4) menentukan sistem pendukung, yakni syarat/kondisi yang diperlukan agar model
yang dirancang dapat terlaksana.
2) Tahap Pengembangan

Ujicoba model yang menjadi rangkaian pengembangan ditempuh melalui 3 tahapan


kegiatan, yakni: (1) ujicoba perorangan dan review ahli, (2) ujicoba kelompok terbatas; dan
(3) ujicoba diperluas untuk validasi/ujicoba lapangan. Tahapan ujicoba diadaptasi dari
Tessmer (1993). Hasil dari langkah uji perorangan dan review ahli berupa bahan informasi
untuk revisi prototipe pengembangan, kemudian dilakukan revisi. Prototipe yang telah
direvisi, diuji lebih lanjut kepada kalangan terbatas atau sekelompok kecil pengguna dalam
situasi nyata dan fase ini disebut dengan uji kelompok kecil.
Subyek penelitian adalah siswa SMK program keahlian tata busana tingkat 1 dan 2,
sedangkan pelaksana intervensi adalah guru pengampu pembelajaran praktik. Instrumen
penelitian yang dipersiapkan dan dikembangkan sebagai pengumpul data dalam penelitian
terbagi dalam dua kelompok, yakni: (a) Perangkat pengembangan karakter kerja, dan (b)
Instrumen Penelitian. Validitas instrumen yang berbentuk format validasi, lembar observasi,
dan angket hanya dinilai validitas teoritisnya melalui penilaian ahli/pakar yang dipandang
layak untuk memberikan penilaian terhadap aspek-aspek yang tercantum dalam instrumen
tersebut. Aspek-aspek yang dinilai pada umumnya terdiri atas petunjuk, isi, bahasa, dan
format. Selanjutnya untuk mengukur tingkat kesepakatan antar penilai (inter-rater reliability)
terhadap instrument penelitian, dianalis dengan percentages of agreements (Grinnell, 1988:
160).

Validitas konstruk instrument penelitian diuji dengan menggunakan Confirmatory


factor analysis (CFA) dengan 0,3 (cohen, 2005: 216). Reliabilitas instrument ditunjukkan
dengan Cronbach’s Alpha, dan dianggap reliable jika 0,7 (Yafee, 2003: 14, Garson, 2008:
3). Uji model dilakukan dengan menggunakan CFA dengan bantuan software LISREL. CFA
digunakan untuk mengkonfirmasi fakktor yang membentuk konstruk soft skills. Konstruk
yang dibentuk perlu dinyatakan apakah telah sesuai dengan data dengan bantuan teknik CFA.
Model dianggap fit jika p-value dan RMSEA (Mueller, 1996: 163).

4. Hasil Penelitian dan Pembahasan


a. Tahap Pra-Pengembangan
Identifikasi karakter kerja dianalisis dari hasil survei industri garmen yang ada di kawasan
Sukoharjo-Solo, Bawen dan Ungaran Semarang Propinsi Jawa Tengah.. Survei dilakukan
dengan wawancara, observasi, dan cheklist pada manajer Human Resources Development
(HRD) dan beberapa orang supervisor pada bagian produksi. Berikut disajikan hasil survei
terhadap kebutuhan karakter kerja untuk pekerja di bagian produksi industri garmen.

Gambar 4. Score Rata-rata Harapan dan Tanggapan Industri Garmen Terhadap karakter kerja Lulusan SMK
Program Keahlian Tata Busana
Gambar 5 di atas menunjukan adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan karakter
kerja lulusan SMK, di mana nilai kesenjangan tertinggi berturut-turut pada atribut percaya
diri, semangat, kepemimpinan, dan daya saing maka diasumsikan bahwa siswa SMK masih
perlu ditingkatkan untuk bisa bekerjasama, beradaptasi, lebih patuh pada instruksi dan aturan
kerja. Maka karakter kerja untuk level operator yang harus dikembangkan di SMK merujuk
pada kebutuhan pekerjaan sesuai bidang dan levelnya.
b. Tahap Pengembangan
Validasi model yang digunakan adalah Focus Group Discussion (FGD) dan teknik
Delphi yang dilakukan dengan beberapa pakar pendidikan kejuruan dan pakar pendidikan tata
busana. Hasil yang diperoleh dari tahap FGD meliputi: (1) disepakati pengembangan karakter
kerja berbasis industri yang terintegrasi dalam pembelajaran praktik; (2) disepakati perangkat
pengembangan karjain; (3) disepakati karakter kerja yang paling penting dikembangkan; dan
(4) terkumpul indikator dari setiap atribut. Banyaknya atribut yang dikembangkan dengan
mempertimbangkan aspek kajian teoritis dan kemampuan guru dalam melaksanakannya, serta
kemampuan diri peneliti.
Expert judgment dengan teknik Delphi ini dilakukan dengan beberapa pakar pendidikan
kejuruan dan pakar pendidikan tata busana. Keefektifan model karjain dianalisis dari dimensi
pembentuk karakter kerja, yaitu: komitmen kerja, etos kerja, budaya bekerja, apresiasi kerja,
motivasi kerja, dan kesiapan kerja. Aspek efektivitas yang dikaji adalah: (1) intensitas, model
dibuat sesuai dengan kemampuan siswa, lingkup kompetensi, dan menekankan pada
keterampilan proses dengan indikator tertentu; (2) objektif, model dapat membangun
karakter kerja siswa; (3) praktis, yaitu mudah digunakan untuk mengembangkan karakter
kerja siswa sesuai dengan jam pembelajaran praktik; (4) sistematis, yaitu dapat digunakan
secara terus menerus dalam pembelajaran praktik; dan (5) efisien, yaitu mudah digunakan
dan tidak membutuhkan dana yang besar. Berikut gambaran hasil teknik Delphi ke 2 yang
diperoleh tingkat efektivitas sebagai berikut:

Gambar 5. Tingkat efektivitas Tahapan Model Karjain Hasil Delphi

Kegiatan validasi konseptual (review) terhadap prototipe awal model karjain dan
instrumen-instrumen penelitian melibatkan 4 orang ahli yang dibekali dengan Buku Panduan
Pengembangan dan instrumen beserta lembar penilaiannya.
c. Tahap Penerapan Model
Model yang telah dihasilkan selanjutnya dilakukan serangkaian uji coba, untuk menguji
bahwa hasil validasi para ahli dan praktisi pendidikan terhadap model yang dikembangkan
didukung oleh data empiris di lapangan hingga diperoleh model-karjain yang memenuhi
kriteria valid, praktis, dan efektif.

1. Uji Coba Model


a) Ujicoba Perorangan (One-to-one)
Melalui ujicoba ini diharapkan dapat diidentifikasi permasalahan yang dapat
menghambat keterlaksanaan model-karjain, seperti keterbacaan, penggunaan bahasa, serta
waktu yang diperlukan oleh guru dan siswa dalam menggunakan perangkatnya. Berdasarkan
hasil dari uji coba perorangan maka diperoleh masukan sebagai berikut: instruksi kerja cukup
jelas dan membantu pengerjaan tugas; dapat mendisiplinkan diri dalam mengerjakan tugas;
target kerja membantu semangat dan motivasi kerja; kolom isian waktu terlalu mendetail.
Hasil ujicoba perorangan diperlukan revisi pada format worksheet disederhanakan dan bahasa
instruksinya lebih diperjelas.
b) Ujicoba Terbatas
Proses ujicoba melalui pembelajaran praktik di SMK 2 Godean Sleman melaksanakan
skenario yang telah dirancang. Hasil pengamatan keterlaksanaan dimensi karjain
menunjukkan semua tahap dapat memenuhi dimensi pengembangan karakter kerja dengan
terlaksana dan sangat terlaksana. Hasil penilaian secara umum terhadap tahapan penerapan
model perlu revisi kecil.

Gambar 6. Efektivitas Tahapan Model-karjain Pada Ujicoba Terbatas

Indikator keefektifan dilihat dari aspek: intensitas, yaitu mencakup kompetensi, dan
menekankan pada pembelajaran afektif; objektive, yaitu model dapat digunakan untuk
mengembangkan karakter kerja siswa sesuai dengan tingkat kemampuan siswa; efisien, yaitu
menggunakan waktu pembelajaran praktik, dan tidak memerlukan dana tambahan lain;
sistematik, model dapat digunakan secara kontinu pada setiap pembelajaran praktik; dan
praktis, model sekaligus dapat digunakan memantau atau merekam proses pembelajaran
praktik terkait dengan aspek hard skills. Hasil pengamatan keefektifan model dinilai dari
tahapan pelaksanaan model, digambarkan sebagai berikut.
Hasil ujicoba terbatas menunjukkan bahwa komponen model secara efektif terlaksana
dengan baik dan efektif digunakan untuk mengembangkan karakter kerja siswa SMK
program keahlian tata busana. Sedangkan Hasil pengamatan keefektifan model yang dinilai
dari aspek: rencana pembelajaran (RPP) dan perangkat worksheet. Hasil ujicoba terbatas
menunjukkan bahwa tingkat efektivitas komponen model efektif digunakan dalam
pembelajaran praktik di SMK, sehingga efektif digunakan untuk mengembangkan karakter
kerja siswa SMK program keahlian tata busana digambarkan sebagai berikut:
Gambar 7. Efektivitas Komponen Model karjain Pada Ujicoba Terbatas

c) Hasil Ujicoba Diperluas


Hasil pengamatan keterpenuhan dimensi karjain pada ujicoba diperluas, dijabarkan
sebagai berikut:

Tabel 1

Pengamatan Keterpenuhan Dimensi karjain dalam Pembelajaran Praktik

Dimensi karakter Tingkat Keterlaksanaan


No
kerja ST % T % KT % TT %
1 Komitmen kerja 13 36,1 23 63,9 0 0 0 0
2 Etos Kerja 16 33,3 32 66,7 0 0 0 0
3 Apresiasi Kerja 12 28,6 30 71,4 0 0 0 0
4 Budaya Kerja 14 18,0 62 78,2 3 3,8 0 0
5 Kesiapan Kerja 10 23,8 31 73,8 1 2,4 0 0

Ket: ST=Sangat Terlaksana, T=Terlaksana, KT=Kurang terlaksana, TT=Tidak terlaksana

Tabel 1 menunjukkan bahwa tahap pengembangan karakter kerja pada umumnya dapat
memenuhi dimensi komitmen kerja, etos kerja, apresiasi kerja, budaya kerja, dan kesiapan
kerja. Dua responden menyatakan perlu revisi kecil pada sub indikator setiap dimensi
terlaksana. Sedangkan hasil pengamatan keefektifan model yang dilakukan 6 pengamat pada
3 kelas yang berbeda diperlihatkan pada tabel 4 berikut:
Tabel 2
Hasil Efektivitas Tahap Model-SSW pada ujicoba diperluas
Tingkat Efektivitas
No Tahap karjain Rerata
Intens Objektif Praktis Sistematis Efisien
1 Komitmen kerja 3,4 3,4 3,2 3,3 3,2 3,3
2 Simulasi kerja 3,5 3,4 3,2 3,4 3,2 3,34
3 Apresiasi kerja 3,4 3,4 3,4 3,3 3,4 3,38
4 Pembiasaan bekerja 3,6 3,4 3,4 3,1 3,4 3,38
5 Refleksi 3,2 3,2 3,2 3 3,2 3,16
Tahap Model-karjain efektif digunakan dalam pengembangan karakter kerja siswa
dalam pembelajaran praktik di SMK dengan rerata tingkat efektivitas 3,3. Hasil analisis
keefektifan komponen model karjain digambarkan pada grafik berikut.

Gambar 8. Efektivitas Komponen Model-Karjain Pada Ujicoba Diperluas

Hasil ujicoba diperluas menunjukkan bahwa tingkat efektivitas tahap model efektif
dalam pembelajaran praktik di SMK. Demikian pula komponen model terlaksana secara
efektif dalam pembelajaran praktik, dan efektif digunakan mengembangkan karakter kerja
siswa SMK.
d) Hasil Pengujian Instrumen
1) Validitas Internal
Evaluasi terhadap kemampuan manifes dalam merefleksikan laten diuji dengan
confirmatory factor analysis (CFA). Manifes laten percaya diri memiliki nilai lambda sebesar
0.68 dan t-hitung 5.39 kuadrat lambda 0.68²=46.24% menjelaskan kontribusi dalam
mencerminkan kepercayaan diri. Sedangkan perolehan t-hitung1.96 menandakan signifikan
(Imam Ghozali, 2005: 318). Sehingga manifes pertama dinyatakan valid dengan sumbangan
46.24%. Manifes dalam laten lainnya juga dinyatakan valid yang ditandakan oleh t-hitung
1.96. Berarti semua manifes yang digunakan untuk merefleksikan laten terbukti dapat
berfungsi dengan baik, sehingga tidak dilakukan penghilangan atau penggantian manifes
dalam kuesioner.
2) Reliabilitas Konstruk
Hasil perhitungan koefesien reliabilitas variabel kepercayaan diri diperoleh nilai
sebesar 0.744, perolehan ≥0.7 menandakan bersifat unidimensi atau memiliki reliabelitas
konstruk yang dapat diterima. Manifes variabel laten lainnya juga memiliki koefesien
reliabilitas konstruk ≥0.7, menandakan bersifat unidimensi sehingga dinyatakan reliabel.
3) Variabel Eksogen
Hasil pengukuran pada eksogen lain juga mendapatkan sekor rerata 3 pada semua
variabel, mengindikasikan responden sudah memiliki komitmen, etos, apresiasi, dan budaya
kerja yang tinggi. Secara relatif etos kerja memiliki skor paling rendah, disusul kemudian
budaya, komitmen, apresiasi, terbaik motivasi kerja. Maka aspek: keikhlasan, ketuntasan,
semangat, keseriusan, semangat unggul dan optimisme dalam bekerja sebagai aspek etos
kerja prioritas untuk ditingkatkan. Prioritas kedua adalah aspek budaya kerja ; kerjasama,
just-in-time, quality control, jujur dan sikap kerja 5R.

Gambar 9. Histogram Komparasi Rerata Eksogen


Variabel komitmen kerja dan apresiasi kerja juga memiliki karakteristik sebaran dengan
mayoritas kategori tinggi, pada komitmen sebanyak 65.57%, dan apresiasi kerja sebanyak
62.30%. Dengan demikian motivasi, komitmen dan apresiasi kerja, tidak saja direspon tinggi
secara agregat, melainkan juga secara individupun siswa memberikan tanggapan yang tinggi.
Sedangkan dalam variabel etos kerja dan budaya kerja mayoritas terkategorisasi cukup,
sebanyak 67.21% dalam variabel etos kerja, dan 52.46% dalam budaya kerja.
d). Variabel Endogen
Ada dua belas aspek yang merefleksikan kesiapan kerja. Sekor tertinggi (> 3) terjadi
dalam aspek percaya diri, disiplin, dan daya saing. Untuk aspek dengan skor lebih dari 3
mengindikasikan respon yang tinggi dari siswa, sedangkan aspek lain dengan sekor kurang
dari 3 mengindikasikan respon diatas moderat. Semua aspek tersebut sebagai kesatuan
kesiapan kerja memiliki skor sebesar 2.89, cukup kuat untuk diterima sebagai indikasi
kesiapan kerja yang sudah cukup baik.
Gambar 10. Histogram Variabel Endogen
Secara individu dari 122 partisipan diketahui mayoritas memiliki kesiapan kerja
terkategorisasi cukup dengan jumlah mencapai 68.03%, terbesar berikutnya terkategorisasi
kurang sebanyak 16.39%, kemudian tinggi sebanyak 13.93% dan rendah 1.64%.
1) Hasil Validasi Data
1. Normalitas
Bentuk distribuasi data primer dievaluasi dengan uji kai kuadrat, untuk variabel
motivasi kerja diperoleh koefesien sebesar 0.047 dengan probabilitas 0.98, perolehan p ≥ 0.05
menandakan data berdistribusi normal. Kenormalan ini penting karena berarti hasil ananlisis
terhadapnya dapat digeneralisasikan kepada populasi, dan juga dapat digunakan statistik
parametrik sebagai alatnya.
2. Multikolinieritas
Evaluasi untuk melihat kekuatan hubungan antar eksogen tersebut dilakukan dengan uji
korelasi produk momen, besar korelasinya < 0.8. Kecilnya kofesien korelasi itu menunjukan
hubungan antar eksogen tidak kuat, sehingga dinyatakan tidak terjadi multikolinieritas
(Gujarati, 1995).
3. Outlieritas
Secara relatif selalu ditemukan adanya nilai data yang jauh dari reratanya atau oulier.
Keberadaannya menyebabkan kualitas data menurun dan distribusinya tidak normal. Hasil
normal dalam pengujian sebelumnya menandakan outlieritas yang ada masih dapat
ditoleransi karena tidak menyebabkan data tidak normal.
4. Kesesuaian model
Hubungan antar variabel dalam model yang telah mengalami perbaikan diperlihatkan dalam
gambar di bawah. Secara struktural tidak dilakukan perubahan terhadap variabel utama yang
dihipotesakan, perubahan hanya pada variabel error dari manifes endogen. Nilai chi square
setelah perbaikan model menjadi 117.16 dengan probabilitas (p) sebesar 0.161, perubahan
probabilitas (p) menjadi lebih dari 0.05 menandakan tidak lagi terjadi perbedaan signifikan
antara kovarian sampel dengan kovarian yang estmasi, berarti model yang diajukan mendapat
dukungan kuat dari sampel untuk menjelaskan estimasi atau populasi (Barbara, 1996:748).

Gambar 12. Model Setelah Perubahan


Tabel 4. Hasil Goodness of Fit Index Model Setelah Perubahan
No Index Cut of Value Hasil Keterangan
1 Kai Kuadrat (p) Kecil (p > 0.05) 117.16 (p=0.161) Terpenuhi
2 CFI ≥ 0.90 (max 1) 0.990 Terpenuhi
3 GFI ≥ 0.95 (max 1) 0.897 Moderat
4 AGFI ≥ 0.95 (max 1) 0.847 Moderat
5 RMSEA ≤ 0.08 (Min 0) 0.034 Terpenuhi

Sumber : Hasil pengujian SEM

2) Hasil Uji Struktural

Fungsi pertama menjelaskan bahwa budaya kerja siswa dapat dijelaskan oleh
eksogennya (motivasi, komitmen, etos dan apresiasi). Koefesien positif beta menunjukan bila
variabel eksogen dapat dikelola dengan baik sehingga meningkat, maka dapat mendorong
budaya kerja siswa menjadi lebih baik. Semua variabel eksogen memiliki t-value1.96,
menandakan signifikan dalam mempengaruhi budaya kerja.

Tabel 5. Fungsi dalam model karjain


Fungsi Endogen Eksogen β β² t-val Ket*
1 Motivasi kerja (x1) 0.3176 10.09 2.6946 Sig
Komitmen kerja (x1) 0.3528 12.45 2.7074 Sig
Budaya Kerja (z)
Etos kerja (x1) 0.7264 52.77 3.0143 Sig
Apresiasi kerja (x1) 0.2625 6.89 2.5550 Sig
2 Kesiapan Kerja (y) Budaya Kerja (z) 0.9833 96.68 2.9589 Sig

* T-val ≥ 1.96 : Signifikan Sumber : Hasil pengujian SEM


Kontribusi paling besar dalam mempengaruhi adalah etos kerja disusul kemudian oleh
variabel komitmen kerja, motivasi kerja dan terakhir apresiasi kerja. Model yang
dikembangkan menempatkan variabel budaya kerja sebagai variabel perantara dari motivasi,
komitmen, etos dan apresiasi kerja. Hasil pengujian ditampilkan dalam tabel 5 berikut.
Analisis terhadap kemampuan budaya kerja sebagai interveaning dapat dilakukan melalui
hasil signifikan eksogen terhadap budaya kerja, dan budaya kerja terhadap komitmen kerja.
Semua hubungan antar variabel adalah signifikan, berarti budaya kerja terbukti mampu
menjadi interveaning dalam model.

e) Sintaks Model-Karjain
Model pengembangan karakter kerja yang terintegrasi dalam pembelajaran praktik
merupakan model pembelajaran yang mengadopsi sistem kerja yang digunakan di industri
sebagai dasar dalam mempersiapkan siswa untuk memasuki dunia kerja yang sesungguhnya.
Sintaks model karjain merupakan penjabaran dari prinsip-prinsip dan strategi yang mendasari
pengembangan karakter kerja. Sintaks dari model-karjain dijabarkan pada tabel 6 berikut:
Tabel 6
Sintaks Model-Karjain
No Tahapan Kegiatan
1 Komitmen kerja  Guru memulai pembelajaran tepat waktu
 Guru menerapkan 5R (resik, rawat, rapih, ringkas, dan rajin)
 Guru menjelaskan tujuan pembelajaran
 Guru menjelaskan kompetensi yang harus dicapai
 Guru menjelaskan sistem kerja dan aturan kerja
2 Simulasi kerja  Guru bertindak sebagai supervisor yang mengawasi, membimbing,
mengarahkan, dan mengendalikan proses kerja siswa
 Siswa mengerjakan tugas dengan menggunakan worksheet
 Guru memotivasi kerja siswa
3 Pemaknaan kerja  Guru melakukan quality control pada hasil kerja siswa
 Siswa memperbaiki kesalahan kerja
 Guru memberi catatan dan komentar pada worksheet
 Siswa memperbaiki kesalahan kerja
4 Pembiasaan  Siswa terbiasa melakukan 5R tanpa disuruh
bekerja  Siswa terbiasa mengontrol kualitas setiap elemen kerja
 Siswa terbiasa menyelesaikan tugas tepat waktu sesuai target kerja
5 Refleksi  Guru menampilkan hasil kerja siswa pada setiap akhir pembelajaran
 Guru menampilkan profil perilaku dan cara kerja siswa pada setiap
akhir pembelajaran
Dengan demikian seorang guru yang memiliki komitmen dan mindset tentang
pentingnya karakter kerja bagi siswa SMK, akan memainkan peranannya sebagai supervisor,
model, dan evaluator.

5. Kesimpulan
a. Teridentifikasi karakter kerja yang dibutuhkan industri melalui pendekatan demand driven.
Karakter kerja yang harus dimiliki lulusan SMK meliputi; sikap kerja kaizen (5R: Resik,
Rawat, Ringkas, Rapi, dan Rajin), just in time (JIT), dan quality control (QC).
b. Model karjain valid dan reliabel mengembangkan soft skills siswa SMK berdasarkan
analisis data:
1) Hasil pengujian struktural menemukan hubungan signifikan antar variabel motivasi
kerja, komitmen kerja, etos kerja dan apresiasi kerja yang mempengaruhi kesiapan
kerja dengan budaya kerja sebagai interveaning. Hubungan antar variabel motivasi,
komitmen, etos kerja dan apresiasi sebagai eksogen kesiapan kerja dengan interveaning
budaya kerja.
2) Variabel-variabel yang berpengaruh terhadap pengembangan soft skills siswa sebagai
produk karjain adalah sebagai berikut:
a) Motivasi kerja memberi pengaruh signifikan terhadap budaya kerja siswa (β =
0.3176, t-val = 2.694)
b) Komitmen kerja memberi pengaruh signifikan terhadap budaya kerja siswa (β =
0.3528, t-val = 2.7074)
c) Etos kerja memberi pengaruh signifikan terhadap budaya kerja siswa (β = 0.7264, t-
val = 3.0143)
d) Apresiasi kerja memberi pengaruh signifikan terhadap budaya kerja siswa (β =
0.2625, t-val = 2.5550)
e) Budaya kerja memberi pengaruh signifikan terhadap kesiapan kerja siswa (β =
0.9833, t-val = 2.9589)
f) Budaya kerja merupakan intervening dari variabel motivasi, komitmen, etos dan
apresiasi kerja siswa terhadap kesiapan kerja.
c. Model-Karjain cocok digunakan mengembangkan karakter kerja siswa SMK ketika
diintegrasikan dalam pembelajaran praktik, dengan nilai p-value 0f 0.161  α = 0.05 dan
hasil goodness of fit index; RMSEA = 0.034  0.08, CFI = 0.990 0.90, dan AGFI = 0.847
 0.95, yang menunjukkan data empiris yang diperoleh tidak jauh berbeda dengan teori
yang telah dibangun berdasarkan structural equation modelling, berarti model fit
digunakan mengembangkan karakter kerja siswa SMK program keahlian tata busana.
6. Rekomendasi dan Saran
a. Kepada pihak penentu kebijakan Kementrian Pendidikan Nasional yang terkait dengan
pendidikan kejuruan dalam hal ini SMK yang bersangkutan senantiasa melakukan survei
kebutuhan tenaga kerja secara instensif dan periodik untuk merealisasikan paradigma
SMK melalui demand driven, sehingga dapat ditemukan key indicator yang tepat untuk
dikembangkan dalam proses pembelajaran di SMK karena pendidikan yang berbasis
demand driven lentur terhadap perubahan dan perkembangan zaman.
b. Kepada pengelola pendidikan kejuruan, untuk mengatasi kesenjangan lulusan SMK dengan
kebutuhan tenaga kerja di industri sehingga demand tenaga kerja dari industri dapat
terpenuhi, maka perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut: posisi tenaga kerja lulusan
SMK di dunia kerja sesuai kualifikasi kerja nasional Indonesia (SKKNI), dan sistem kerja
yang digunakan di industri sesuai bidang keahlian dan level kualifikasi kerjanya, karena
masing-masing bidang keahlian dan level atau posisi pekerja di industri menuntut karakter
kerja yang spesifik.

Daftar Pustaka Acuan:

Borg, W.R., & Gall M.D. (1983). Educational research.


New York & London: Longman
Dedi Supriadi. (2002). Sejarah pendidikan teknologi dan
kejuruan di Indonesia. Jakarta: Depdiknas Direktorat
Pendidikan Menengah Kejuruan.
Doni Koesoema, A. (2007). Tiga Matra Pendidikan Karakter. Dalam Majalah BASIS,
Agustus-September 2007.
Gujarati, Damodar. (1995). Basic econometrics. New york: McGraw-Hill,Inc
Imam Ghozali & Fuad. (2008). Struktural equation modeling. Semarang: Badan Peneribit-
UNDIP
Imai, Masaaki (1998). Gemba kaizen. Pendekatan akal sehat, berbiaya rendah pada
manajemen. (terjemahan: kristianto Jahja). Jakarta: Putaka Binaman Pressindo
Natalie M. Ferry, et.al. (2002). Character at Work. Penn State Cooperative Extension in
Berks County. (diambil pada tanggal 12 April 2010 dari
http://extension.psu.edu/workforce/Materials/CharWorkActivities.pdf
Tessmer (1993) General Sequence of Formative Evaluations Types (diambil tgl. 22 Maret
2006 dari http://www.geocities.com/researchTriangle/ 8788/DR.html

Anda mungkin juga menyukai