Anda di halaman 1dari 37

Optimasi Faktor Ekstraksi (Komposisi Solven, Ukuran Serbuk dan Rasio Serbuk-Solven) pada Daun

Randu
(Ceiba pentandra Gaertn.) Menggunakan Response Surface Methodology
WEDITA DESTRIANI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penggunaan bahan alam dibidang kesehatan maupun bidang lain seperti

kosmetik hingga saat ini mulai meningkat, terlebih dengan adanya isu back to

nature serta anggapan masyarakat terkait efektivitas dan keamanan produk herbal

yang dianggap lebih menjamin dengan efek samping yang lebih ringan

dibanding dengan produk sintetis. Hal ini mendorong penilitian tentang efektivitas

tanaman obat terus meningkat dari tahun ke tahun (Gunawan dan Mulyani, 2004).

Tanaman randu merupakan salah satu tanaman yang banyak terdapat di

Indonesia dan biasanya dimanfaatkan sebagai bahan pengisi kasur dibeberapa

daerah (Pratiwi, 2011). Tanaman ini mengandung berbagai macam komponen

kimia seperti vitamin A, C dan E, elemen makro dan mikro, asam-asam lemak,

asam siklopropenoat (Lestari, 2008), alkaloid, flavonoid, fenolik, saponin, tanin,

phytate, oksalat (Friday dkk, 2011) karotenoid dan lain sebagainya (Rina, 2014).

Salah satu kandungan dari tanaman ini yaitu senyawa flavonoid. Menurut Friday

dkk, kandungan senyawa golongan flavonoid pada daun randu yaitu sekitar 26,06

± 0,16 mg/g. Senyawa golongan flavonoid telah banyak dikembangkan dan teliti

khasiatnya dalam bidang pengobatan. Senyawa flavonoid yang tersebar berbagai

tanaman diketahui menunjukkan aktivitas antioksidan, antibakteri, antimutagenik,

1
Optimasi Faktor Ekstraksi (Komposisi Solven, Ukuran Serbuk dan Rasio Serbuk-Solven) pada Daun
Randu
(Ceiba pentandra Gaertn.) Menggunakan Response Surface Methodology
WEDITA DESTRIANI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/ 2

antiinflamasi, antialergi, antiviral, antineopastik, antitrombotik serta vasodilator

dan lain sebagainya ( Alan dan Miller, 1996; Friday dkk, 2011).

Tanaman ini memiliki banyak potensi yang dapat dimanfaatkan diberbagai

bidang terutama dibidang kesehatan seperti sebagai antidiabetes, antifungi,

hepatoprotektor, antihipoglikemia, antidiare, antihelmintik dan manfaat lainnya

yang telah terbukti secara uji praklinis oleh peneliti-peneliti terdahulu sehingga

tanaman ini dapat dijadikan sebagai bahan baku obat herbal (Pratiwi, 2011;

Elumalai 2012).

Produk herbal telah diterima secara luas di hampir seluruh negara di dunia.

Menurut WHO negara-negara di Afrika, Asia dan Amerika Latin menggunakan

obat herbal sebagai pelengkap pengobatan primer yang mereka terima. Bahkan di

Afrika sebanyak 80% dari populasi menggunakan obat herbal untuk pengobatan

primer (WHO, 2003). Tren produk herbal yang tengah berkembang dan diminati

dikalangan masyarakat ini merupakan peluang bagi produsen baik industri kecil

maupun industri besar untuk mengembangkan dan menghasilkan produk berbasis

bahan alam. Namun, komponen-kompenen kimia yang terkandung didalam suatu

tumbuhan sangat beragam dan kompleks sehingga menyulitkan dalam proses

isolasi atau ekstraksinya. Variasi metode-metode ekstraksi belum bisa menjamin

kuantitas senyawa yang terekstraksi tinggi. Sedangkan untuk pengembangan serta

pemanfaatan ekstrak tumbuhan misal untuk formulasi sediaan produk herbal

merupakan produksi skala besar dan membutuhkan ekstrak yang berjumlah besar

pula sehingga dalam mengembangkan obat herbal, kebanyakan industri


Optimasi Faktor Ekstraksi (Komposisi Solven, Ukuran Serbuk dan Rasio Serbuk-Solven) pada Daun
Randu
(Ceiba pentandra Gaertn.) Menggunakan Response Surface Methodology
WEDITA DESTRIANI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/ 3

mengusahakan untuk mendapatkan rendemen serta kandungan senyawa aktifnya

dalam jumlah yang tinggi. Untuk itu, perlu dilakukan proses optimasi pada

kondisi ekstraksi sehingga dapat menghasilkan senyawa aktif dalam jumlah yang

optimal. Optimasi kondisi ekstraksi ini dilakukan pada beberapa faktor ekstraksi

yang berpengaruh pada efektivitas ekstraksi seperti konsentrasi solven, rasio

solid-solven dan ukuran serbuk simplisia. Ukuran serbuk simplisia akan

mempengaruhi tebal lapis batas yang akan mempengaruhi jarak yang harus

ditempuh pelarut untuk menembus dinding sel serbuk dan mencapai kandungan

kimia aktif didalam sel (BPOM RI, 2000). Sedangkan rasio serbuk-solven juga

berpengaruh pada efektivitas esktraksi, umumnya jumlah senyawa yang terekstrak

akan meningkat dengan meningkatnya jumlah pelarut. Faktor lain seperti

komposisi penyari juga berpengaruh pada efektivitas ekstrakasi karena dapat

mempengaruhi tingkat polaritas cairan penyari sehingga akan mempengaruhi jenis

senyawa aktif yang dilarutkan juga.

Metode optimasi seperti single factor experiment atau one factor at a time

(OFAT) terdapat banyak kekurangan karena hanya dapat memantau satu variabel

saja pada satu waktu sedangkan faktor lain dibuat konstan. Disamping itu, metode

ini tidak dapat menunjukkan interaksi antar faktor terhadap variabel respon. Selain

itu jumlah eksperimen yang perlu dilakukan untuk mendapatkan informasi yang

diinginkan jauh lebih banyak sehingga memerlukan waktu dan biaya yang lebih

banyak pula (Sin dkk, 2006). Salah satu metode yang dapat digunakan untuk

mengatasi keterbatasan dari metode diatas yaitu dengan menggunakan tehnik


Optimasi Faktor Ekstraksi (Komposisi Solven, Ukuran Serbuk dan Rasio Serbuk-Solven) pada Daun
Randu
(Ceiba pentandra Gaertn.) Menggunakan Response Surface Methodology
WEDITA DESTRIANI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/ 4

statistika multivariat. Salah satu metode yang banyak diterapkan untuk

mengoptimasi proses ekstraksi yaitu dengan Respon Surface Methodology

(RSM) dengan desain eksperimen Central Composite Design (Anuar dkk, 2013).

Metode RSM merupakan gabungan dari teknik matematika dan statistika yang

digunakan untuk membuat model dan menganalisis suatu respon yang

dipengaruhi oleh beberapa variabel bebas atau faktor, dengan tujuan

mengoptimalkan respon tersebut (Montgomery, 2009). Ide dasar metode ini

adalah memanfaatkan desain eksperimen berbantuan statistika untuk mencari nilai

optimal dari suatu respon (Nuryanti, 2008). Pendekatan ini dapat mengembangkan

desain eksperimen yang cocok serta dapat mengintegrasikan semua variabel

independen dan menggunakan semua data yang di-input dari eksperimen untuk

dibuat suatu persamaan yang dapat memberikan nilai teoritis sebagai output-nya

(Said dkk, 2015). Beberapa contoh penerapan RSM dalam proses ekstraksi yaitu

seperti optimasi faktor ekstraksi senyawa flavonoid yaitu konsentrasi etanol, rasio

liquid-solid dan kecepatan mikrowave pada tanaman Physalis alkekengi var.

Frachetii oleh Pin-yi dkk (2015), optimasi konsentrasi etanol, waktu ekstraksi

dan temperatur ekstraksi pada daun henna dengan parameter fenolik total oleh Ho

dkk (2010), optimasi waktu ekstraksi, konsentrasi solven serta temperatur

ekstraksi pada kacang kedelai dengan kadar polifenolik sebagai respon oleh

Banerjee dkk (2011) dan lain sebagainya.


Optimasi Faktor Ekstraksi (Komposisi Solven, Ukuran Serbuk dan Rasio Serbuk-Solven) pada Daun
Randu
(Ceiba pentandra Gaertn.) Menggunakan Response Surface Methodology
WEDITA DESTRIANI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/ 5

B. Rumusan Masalah

1. Berapakah komposisi solven yang tepat untuk mengekstraksi senyawa

flavonoid pada daun randu (Ceiba pentadra Gaertn.) dalam jumlah yang

optimal?

2. Berapakah ukuran serbuk simplisia yang tepat untuk mengekstraksi senyawa

flavonoid pada daun randu (Ceiba pentadra Gaertn.) dalam jumlah yang

optimal?

3. Berapakah rasio-serbuk solven yang tepat untuk mengekstraksi senyawa

flavonoid pada daun randu (Ceiba pentadra Gaertn.) dalam jumlah yang

optimal?

C. Tujuan Penelitian

1. Menentukan komposisi solven yang tepat untuk mengekstraksi senyawa

flavonoid pada daun randu menggunakan Response Surface Methodology?

2. Menentukan ukuran serbuk yang tepat untuk mengekstraksi senyawa

flavonoid pada daun randu menggunakan Response Surface Methodology?

3. Menentukan rasioserbuk-solven yang tepat untuk mengekstraksi senyawa

flavonoid pada daun randu menggunakan Response Surface Methodology?


Optimasi Faktor Ekstraksi (Komposisi Solven, Ukuran Serbuk dan Rasio Serbuk-Solven) pada Daun
Randu
(Ceiba pentandra Gaertn.) Menggunakan Response Surface Methodology
WEDITA DESTRIANI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/ 6

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai

kondisi faktor ekstraksi (komposisi solven, ukuran serbuk dan rasio serbuk-

solven) yang optimal untuk mengekstrakasi senyawa golongan flavonoid pada

daun randu. Hasil penelitian dapat bermanfaat untuk diaplikasikan dalam bidang

industri herbal yang membuat dan mengembangkan daun randu sebagai bahan

bakunya.
Optimasi Faktor Ekstraksi (Komposisi Solven, Ukuran Serbuk dan Rasio Serbuk-Solven) pada Daun
Randu
(Ceiba pentandra Gaertn.) Menggunakan Response Surface Methodology
WEDITA DESTRIANI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/ 7

E. Tinjauan Pustaka

1. Randu

Kapuk randu berasal dari bagian utara Amerika Selatan, Amerika Tengah,

Karibia, dan Afrika (Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, 2001). Randu atau

pohon kapok (C. pentanda) adalah pohon yang banyak tumbuh di daerah rendah

sampai 400 meter dari permukaan laut, di kebun, di tepi jalan, dan di tempat lain

yang berhawa panas (Heyne, 1987 dalam Kumarawati, 1998). Tanaman ini dapat

tumbuh di daerah tropis yang curah hujannya sekitar 1500 - 3000 mm (Heyne,

1987) atau antara 16 0LU sampai 16 0LS termasuk di Indonesia (Pratiwi, 2014).

Pada ketinggian dan iklim yang curah hujannya terlalu tinggi, tanaman ini masih

dapat tumbuh subur serta bertambah tinggi akan tetapi hasil panennya tidak tetap

dan buahnya muda membusuk. Selain itu, tanaman ini juga tahan pada musim

kering yang cukup kuat (Heyne, 1987).

a. Klasifikasi

Klasifikasi tanaman (Ceiba pentandra Garertn.) Sebagai berikut:

Devisi : Spermatophyta

Sub devisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Bangsa : Malvales

Suku : Malvaceae

Marga : Ceiba
Optimasi Faktor Ekstraksi (Komposisi Solven, Ukuran Serbuk dan Rasio Serbuk-Solven) pada Daun
Randu
(Ceiba pentandra Gaertn.) Menggunakan Response Surface Methodology
WEDITA DESTRIANI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/ 8

Jenis : Ceiba pentandra (L.) Gaertn.

Sinonim :Eriodenderon afractuuosum Dc.

(BPOM RI, 2009)

b. Nama lain

Aceh : Panju

Melayu : Kakabu

Jawa tengah : Randu

Makasar : Kau-kau

Madura : Kapo

(BPOM RI, 2009)

c. Deskripsi

Merupakan tanaman habitus berupa pohon, tinggi ± 30 m, batang berkayu

bulat, hijau kecoklatan serta daun majemuk, membundar sedangkan anak daun

melanset panjang 5-16 cm, lebar 1,5-4,5 cm. Selain itu, kapuk randu (C.

pentandra Gaertn.) dapat tumbuh diberbagai macam kondisi tanah baik dari tanah

berpasir sampai tanah liat berdrainase baik, tanah aluvial, tanah sedikit asam

sampai netral (Pratiwi, 2012) serta masih dapat tumbuh pada tanah-tanah lempung

liat dan margalit (Heyne, 1987) namun hasilnya sangat sedikit. Kapuk randu (C.

pentandra Gaertn.) dapat juga hidup pada daerah kering dan temperatur di bawah

nol dalam jangka pendek serta peka terhadap kebakaran (Direktorat Pembenihan

Tanaman Hutan ,2001).


Optimasi Faktor Ekstraksi (Komposisi Solven, Ukuran Serbuk dan Rasio Serbuk-Solven) pada Daun
Randu
(Ceiba pentandra Gaertn.) Menggunakan Response Surface Methodology
WEDITA DESTRIANI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/ 9

d. Kandungan Kimia

Berbagai komponen yang terkandung didalam tanaman randu yaitu seperti

vitamin A, C dan E, elemen makro dan mikro seperti Fe, Ca, Mg, Zn, Cu, K, Na,

asam-asam lemak, protein, karbohidrat, mineral, serat, serta komponen kimia

seperti alkaloid, fenolik, flavonoid, saponin, tanin, karotenoid, tripsin inhibitor,

phytate, oksalat dan lainnya dalam berbagai jumlah (Pratiwi, 2011; Friday dkk,

2011). Berikut tabel daftar kandungan kimia daun randu berdasarkan penelitian

Friday dkk (2011) :

Tabel 1. Komposisi kandungan daun randu (Friday dkk, 2011)

Komposisi daun randu (Ceiba pentandra leaf)


Moisture Protein Lemak Serat Karb. Vitamin
content (%) (%) kasar (%) (%) A C E (mg/g)
(%) (µg/g) (mg/g)
4,89±0,35 12,97± 4,35± 4,35± 52,06± 18,15± 4,91± 0,18±
1,60 0,60 0,46 2,10 0,05 0,16 0,02
Komposisi elemen makro dan mikro
Fe Ca Mg K Na Mn Cu Zn
(mg/100g)
0,35±0,05 7,66± 2,46± 11,40± 5,53± 0,02± 0,03± 0,04±
1,40 0,46 2,41 0,95 0,01 0,01 0,02
Komponen bioaktif
Fen. Alk. Flav. Tanin Sap. HUI TI Oksalat Phytate
(mg/g) (mg/g) (mg/g) (mg/g) (mg/g) (mg/g) (mg/g) (mg/g) (mg/g)
173,94 4,54± 26,06± 0,48± 1,55± 9,65± 14,54± 0,10± 0,15±
± 0,20 0,16 0,03 0,03 1,28 0,50 0,01 0,02
3,09
Komposisi Asam lemak
As. Laurat As. Miristat As. Palmitat As. Oleat As. Linoleat As. Stearat
(%) (%) (%) (%) (%) (%)
- - 15,92±0,17 - 0,72±0,02 -
Optimasi Faktor Ekstraksi (Komposisi Solven, Ukuran Serbuk dan Rasio Serbuk-Solven) pada Daun
Randu
(Ceiba pentandra Gaertn.) Menggunakan Response Surface Methodology
WEDITA DESTRIANI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/ 10

Salah satu kandungan daun randu yaitu senyawa golongan flavonoid. Pada

daun randu sendiri senyawa flavonoid ini dibuktikan memiliki efektivitas sebagai

antiinflamasi (Elumalai, 2012). Senyawa flavonoid yang terdapat pada daun randu

yaitu isoflavon glikosida dan aglikonnya yaitu 5-hidroksi-7,4’,5’-trimetoksi-3’-O-

α-L-arabinofurasil-(16)-β- D-glukopiranosida; 5-hidroksi-7,4’,5’-trimetoksi-3’-

O-α-D-glukosida dan aglikon 5,3’-dihidroksi-7,4’,5;-trimetoksiisoflavon yang

mana strukturnya dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Struktur flavonoid daun randu

Pada bagian biji randu diketahui mengandung gosipol, asam siklopropenoat

(Lestari, 2008), asam lemak tidak jenuh, senyawa fenolik, karbohidrat, protein,

enzim (Kiran et al., 2011:048), karotenoid, flavonoid, alkaloid dan tanin (Rina,

2014). Ekstrak etanol pada daun mengandung zat bioaktif seperti gula pereduksi,
Optimasi Faktor Ekstraksi (Komposisi Solven, Ukuran Serbuk dan Rasio Serbuk-Solven) pada Daun
Randu
(Ceiba pentandra Gaertn.) Menggunakan Response Surface Methodology
WEDITA DESTRIANI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/ 11

poliuronoid, tanin, dan plobatanin (Asare & Oseni, 2012:44 dalam Pratiwi, 2014).

Daun mudanya mengandung fenol, alkaloid, flavonoid, tanin, saponin, phytate,

oksalat, trypsin inhibitor, dan hemagglutinin (Friday et al.,2011:95).

Ekstrak etanol pada kulit batang mengandung zat bioaktif seperti gula

pereduksi, saponin, poliuronoid, polifenol, tanin, plobatanin (Asare & Oseni,

2012:44 dalam Pratiwi, 2014), glikosida isoflavon (isoflavon vavain) (Ueda et

al.,2002:403), antrakinon dan alkaloid (Doughari & Ioryue,2009:1333).

Ekstrak etanol pada batang C. pentandra mengandung flavonoid, tanin,

saponin, alkaloid, asam borat, klorbutanol, benzalkonium klorida, sedangkan

simplisia (serbuk) batangnya mengandung hidrokuinon, triterpenoid (Pratiwi et

al.,2012:246), dan pentosan yang lebih tinggi nilainya dibandingkan Pinus patula

dan Anthocephalus indicus (Walia et al.,2009:15 dalam Pratiwi, 2014).

e. Kegunaan

Tanaman kapok atau randu secara tradisional hanya digunakan sebagai bahan

pembuat atau pengisi kasur, bantal atau selimut (Pratiwi, 2014). Namun, di

beberapa negara sudah banyak kebiasaan tradisional yang menggunakan tanaman

ini untuk pengobatan penyakit-penyakit yang disebabkan oleh bakteri, jamur,

parasit serta gangguan inflamasi, aprodisia, sebagai diuretik bahkan mencegah

diabetes (Asare & Oseni,2012:44 dalam Pratiwi, 2014; Elumalai 2012). Friday

dkk (2011) menyatakan bahwa tanaman randu mengandung berbagai nutrient dan

fitokimia yang dapat mendukung penggunaan sebagai obat tradisional.


Optimasi Faktor Ekstraksi (Komposisi Solven, Ukuran Serbuk dan Rasio Serbuk-Solven) pada Daun
Randu
(Ceiba pentandra Gaertn.) Menggunakan Response Surface Methodology
WEDITA DESTRIANI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/ 12

Berbagai macam penelitian telah dilakukan untuk mengetahui efektivitas

tanaman ini pada berbagai kondisi seperti Nwachukwu dkk (2008) melaporkan

bahwa ekstrak alkohol dan ekstrak air dari tanaman ini memiliki efektivitas

sebagai antifungi. Selain itu Bairwa dkk (2011) melaporkan bahwa fraksi etil

asetat dari ekstrak metanol kulit kayu randu memiliki efektivitas hepatoprotektor

pada mencit yang diinduksi kerusakan hati dengan parasetamol. Penelitian lain

menunjukkan macam-macam efektivitas tanaman randu seperti ekstrak

metanolnya memiliki efektivitas anti ulcer pada mencit yang diinduksi etanol dan

Pyloros ligated (Bhushan dkk, 2011), serta menunjukkan aktivitas hipolipidemia

dan hipoglikemia (Aloke dkk, 2011), antidiare (Sule dkk, 2001), antihelmintik

(Dielh dkk, 2011) dan lain sebagainya.

Berbagai sumber lain juga menyebutkan bermacam-macam bagian tanaman

ini dilaporkan memiliki manfaat melawan diabetes tipe II, hipertensi, sakit kepala,

pusing, konstipasi, penyakit mental, deman, peptic ulcer dan lepra serta sebagai

diuretik (Elumalai dkk, 2012). Pemanfaatan lainnya yaitu daunnya dapat

digunakan untuk mengobati batuk (pengencer lendir) dan diare (Pratiwi, 2014)

serta memiliki khasiat untuk menghilangkan bekas luka dan mengobati panas

dalam (Perhutani, 2011). Sari daun yang masih muda digunakan untuk membantu

pertumbuhan rambut dengan cara digosokkan pada kulit kepala kemudian dipijat-

pijat (Kumarawati, 2010). Selain itu, daunnya juga digunakan untuk obat kompres

mata jika lelah atau panas, obat asma, dan peradangan rectum dan usus, disentri

dan radang kandung kemih (Perry,1980:253 dalam pratiwi, 2014; Affandi et al,
Optimasi Faktor Ekstraksi (Komposisi Solven, Ukuran Serbuk dan Rasio Serbuk-Solven) pada Daun
Randu
(Ceiba pentandra Gaertn.) Menggunakan Response Surface Methodology
WEDITA DESTRIANI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/ 13

2012). Sedangkan minyak dari biji digunakan untuk obat kudis dan membantu

pertumbuhan rambut, bunganya untuk mengobati konstipasi, serbuk buahnya

untuk mengatasi nyeri perut serta serat kapuk digunakan untuk membersihkan

luka bakar (Pratiwi, 2014). Getahnya berkhasiat sebagai astrigent dan untuk

mengobati luka dan radang selaput lendir usus (enteritis) (Affandi et al, 2012).

2. Ekstraksi dan Ekstrak

a. Metode Ekstraksi

Ekstraksi merupakan proses penarikan zat atau komponen kimia yang dapat

larut dari suatu bahan (simplisia) dengan menggunaka pelarut yang sesuai

sehingga terpisah dari komponen yang tidak larutnya (BPOM RI, 2013). Pada

proses penyarian ini terjadi pemindahan massa zat aktif yang semula berada dalam

sel, ditarik oleh cairan penyari tertentu sehingga zat aktif terlarut dalam cairan

penyari (Harborne, 1987). Pada proses ekstraksi, terjadi fase pencucian

(pembasahan) dan fase ekstraksi. Fase pecucian atau pembasahan terjadi pada saat

cairan penyari kontak atau bersentuhan dengan simplisia serbuk sehingga pelarut

akan menembus kedalam sel yang mengkerut dan membuat sel menjadi

mengembang serta mudah diekstraksi (Voigt, 1994). Fase kedua yaitu fase

ekstraksi, pada fase ini sel-sel yang telah mengembang mudah untuk ditembus

oleh pelarut sehingga dengan mengalirnya bahan pelarut kedalam ruang sel juga

menyebabkan protoplasma membengkak dan zat aktif akan terlarut sesuai dengan

kelarutannya dan berdifusi keluar sel dimana tingkat konsentrasinya masih


Optimasi Faktor Ekstraksi (Komposisi Solven, Ukuran Serbuk dan Rasio Serbuk-Solven) pada Daun
Randu
(Ceiba pentandra Gaertn.) Menggunakan Response Surface Methodology
WEDITA DESTRIANI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/ 14

rendah. Proses difusi ini akan terus terjadi sampai terjadinya keseimbangan

konsentrasi antara diluar dan didalam sel (Voigt,1994). Metode ekstraksi dipilih

berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari bahan mentah obat, daya

penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi dan kepentingan dalam

memperoleh ekstrak yang sempurna atau mendekati sempurna (Ansel, 1989).

Pembagian metode ekstraksi menurut Ditjen POM (2000) adalah :

1) Cara Dingin

Ekstraksi cara dingin yaitu ekstraksi yang tidak menggunakan panas dalam

proses penyariannya. Berikut metode-metode ekstraksi cara dingin

a) Maserasi

Maserasi merupakan proses penyarian komponen kimia pada simplisia

dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengadukan pada temperatur

ruangan (kamar). (Depkes RI, 2000). Cairan penyari akan menembus dinding sel

dan masuk ke rongga sel kemudian melarutkan zat aktif yang terkandung

didalamnya dan oleh karena adanya perbedaan konsentrasi sehingga zat aktif akan

ditarik keluar sel hingga tercapai kesetimbangan. Maserasi kinetik berarti

perlakuan pengadukan secara terus-menerus selama proses maserasi sedangkan

remaserasi berarti pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyarian

maserat pertama dan seterusnya ( Depkes RI, 2000). Pada maserasi tidak

memungkinkan terjadinya ekstraksi absolut, tetapi semakin besar perbandingan

simplisia terhadap cairan penyari makan semakin banyak hasil yang diperoleh

(Voigth, 1994). Metode maserasi digunakan untuk simplisia kering dan cairan
Optimasi Faktor Ekstraksi (Komposisi Solven, Ukuran Serbuk dan Rasio Serbuk-Solven) pada Daun
Randu
(Ceiba pentandra Gaertn.) Menggunakan Response Surface Methodology
WEDITA DESTRIANI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/ 15

penyari yang direkomendasikan untuk metode ini adalah etanol atau campuran

etanol air. Keuntungan dari maserasi adalah pengerjaannya mudah dan

peralatannya murah dan sederhana. Sedangkan kekurangannya yaitu waktu yang

diperlukan untuk mengekstraksi bahan cukup lama, penyarian kurang sempurna,

serta pelarut yang digunakan jumlahnya banyak jika harus dilakukan remaserasi

(BPOM RI, 2013).

b) Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna

(Exhaustiva extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan.

Proses terdiri dari tahapan pengembangan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi

sebenarnya (Penetesan atau penambungan ekstrak) terus-menerus sampai

diperoleh ekstrak atau perkolat yang jumlahnya 1-5 kali bahan (Depkes RI, 2000).

Pada perkolasi, melalui suplai bahan pelarut yang segar, perbedaan konsentrasi

selalu dipertahankan. Dengan demikian ekstraksi total secara teoritis

dimungkinkan (praktis jumlah bahan yang dapat diekstraksi mencapai 95%)

(Voigt, 1995).

Perkolasi umumnya digunakan untuk mengekstraksi serbuk kering terutama

simplisia yang keras seperti kulit batang, kulit buah, biji, kayu dan akar. Penyari

yang digunakan umumnya adalah etanol atau campuran etanol-air. Metode ini

tidak memerlukan tahapan penyaringan perkolat, hanya saja kerugian dari metode

ini yaitu waktu yang dibutuhkan lebih lama dan jumlah penyari yang digunakan

lebih banyak (Depkes RI, 2013)


Optimasi Faktor Ekstraksi (Komposisi Solven, Ukuran Serbuk dan Rasio Serbuk-Solven) pada Daun
Randu
(Ceiba pentandra Gaertn.) Menggunakan Response Surface Methodology
WEDITA DESTRIANI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/ 16

2) Cara Panas

a) Refluks

Refluks merupakan metode ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik

didihnya selama wakrtu tertentu dan jumlah pelarut yang relatif konstan dengan

adanya pendingin balik. Cairan penyari akan menguap, uap tersebut akan

diembunkan dengan pendingin tegak dan akan kembali menyari zat aktif dalam

simplisia tersebut, demikian seterusnya. Umumnya dilakukan dengan

pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali (Depkes RI, 2000)

b) Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru

yang umumnya dilakukan dengan menggunakan alat yang khusus sehingga terjadi

ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya

pendinginan balik (Depkes RI, 2000). Sokletasi merupakan metode ekstraksi

untuk bahan baku yang tahan terhadap pemanasan dengan meletakkan bahan yang

akan diekstraksi dalam sebuah kantung ekstraksi (kertas saring) didalam sebuah

alat ekstraksi dari gelas yang bekerja konstan (Voigt, 1995)

c) Infundasi

Merupakan metode ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air

(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 900C)

selama 15 menit (Depkes RI, 2000).

d) Dekok
Optimasi Faktor Ekstraksi (Komposisi Solven, Ukuran Serbuk dan Rasio Serbuk-Solven) pada Daun
Randu
(Ceiba pentandra Gaertn.) Menggunakan Response Surface Methodology
WEDITA DESTRIANI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/ 17

Merupakan ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur 90 0C selama 30

menit (Depkes RI, 2000).

e) Digesti

Merupakan maserasi dengan pengadukan secara kontinu pada tempertur yang

lebih tinggi dari temperatur kamar yaitu biasanya 40-50 0C (Depkes RI, 2000).

b. Ekstrak

Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif

dari simplisia menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir

semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang terisi diperlulakukan

sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes RI, 1995). Macam-

macam ekstrak berdasarkan sifatnya yaitu :

1) Ekstrak encer, yaitu sediaan yang memiliki konsistensi semacam madu

dan dapat dituang.

2) Ekstrak kental, sediaan yang dilihat dalam keadaan dingin dan tidak

dapat dituang. Kandungannya air yang berjumlah sampai 30%.

Tingginya kandungan air menyebabkan ketidakstabilan sediaan obat

karena cemaran bakteri

3) Ekstrak kering, sediaan yang memiliki konsistensi kering dan mudah

dituang, sebaiknya memiliki kandungan lembab tidak lebih dari 5%.

4) Ekstrak cair, ekstrak yang dibuat sedemikiannya sehingga 1 bagian

simplisia sesuai dengan bagian ekstrak cair.

c. Faktor-faktor Ekstraksi
Optimasi Faktor Ekstraksi (Komposisi Solven, Ukuran Serbuk dan Rasio Serbuk-Solven) pada Daun
Randu
(Ceiba pentandra Gaertn.) Menggunakan Response Surface Methodology
WEDITA DESTRIANI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/ 18

Faktor-faktor seperti komposisi solven, waktu ekstraksi, temperatur, pH, rasio

serbuk-solven dan ukuran serbuk merupakan faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi efektivitas penyarian komponen kimia dari suatu simplisia (Dent

dkk, 2012).

1) Komposisi solven

Cairan penyari dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang baik

untuk senyawa kandungan yang berkhasiat atau yang aktif dari bahan, dengan

demikian senyawa tersebut dapat dipisahkan dari bahan dan dari senyawa

kandungan lainnya, serta ekstrak hanya mengandung sebagian besar senyawa

kandungan yang diinginkan. Dalam hal ekstrak total, maka cairan pelarut dipilih

yang melarutkan hampir semua metabolit sekunder yang terkandung. Pelarut

sebaiknya merupakan pelarut terbaik untuk bahan yang akan diekstraksi dan harus

dapat terpisah dengan baik setelah pengocokan (Amiarsih, 2005). Berdasarkan

Departemen Kesehatan Indonesia, faktor utama untuk pertimbangan pada

pemilihan cairan penyari adalah selektivitas, kemudahan bekerja dan proses

dengan cairan tersebut, ekonomis, ramah lingkungan dan keamanan (Depkes RI,

2000).

Pelarut polar melarutkan zat terlarut atau solut ionik atau zat yang bersifat

polar lainnya, begitu juga dengan pelarut non polar. hal ini disimpulkan dalam

pernyataan like dissolve like (Martin, 2009). Semakin tinggi berat molekul solven,

maka semakin rendah polaritasnya dan akan meyebabkan senyawa lain yang
Optimasi Faktor Ekstraksi (Komposisi Solven, Ukuran Serbuk dan Rasio Serbuk-Solven) pada Daun
Randu
(Ceiba pentandra Gaertn.) Menggunakan Response Surface Methodology
WEDITA DESTRIANI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/ 19

memiliki berat molekul hampir sama dengan solven tersebut akan lebih mudah

terekstraksi. Hal ini bisa dihubungkan dengan prinsip like dissolve like.

Komposisi solven mempengaruhi tingkat polaritas cairan penyari sehingga

akan mempengaruhi jenis senyawa aktif yang dilarutkan juga. Kelarutan senyawa

sebagian besar disebabkan oleh polaritas pelarut, yaitu oleh dipol momennnya

(Martin, 2009). Kelarutan senyawa dipengaruhi juga oleh struktur senyawanya

sehingga sulit untuk menemukan pelarut yang benar-benar tepat untuk

mengekstraksinya apalagi untuk mengekstraksi senyawa dari bahan alam yang

diketahui sangat kompleks disamping itu, keberadaan analit didalam bahan alam

juga bervariasi dalam beberapa bentuk, ada yang dalam bentuk bebas,

terkonjugasi dengan gula, karbohidrat, protein dan lain sebagainya yang secara

tidak langsung mempengaruhi solubilitasnya (Luthtria, 2006).

Kombinasi dari dua atau lebih solven dengan perbandingan tertentu akan

menghasilkan tingkat kepolaran yang lebih bervariasi dan lebih selektif dari pada

satu komponen solven saja. Air dan etanol memiliki kelarutan yang hampir sama

karena memiliki gugus hidriksil yang menyebabkan keduanya bersifat hidrofilik.

Akan tetapi, campuran etanol – air menunjukankan hasil yang lebih efisien untuk

mengekstraksi senyawa fenolik jika dibandingkan dengan monosolvennya

(Spigno dk, 2007). Menurut Spigno (2007), penambahan air dalam jumlah yang

kecil pada pelarut organik akan menyebabkan medium lebih polar dan dapat

memfasilitasi proses ekstraksi senyawa fenolik. Flavonoid merupakan salah satu


Optimasi Faktor Ekstraksi (Komposisi Solven, Ukuran Serbuk dan Rasio Serbuk-Solven) pada Daun
Randu
(Ceiba pentandra Gaertn.) Menggunakan Response Surface Methodology
WEDITA DESTRIANI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/ 20

senyawa fenolik yang memiliki kepolaran yang bervariasi. Berikut merupakan

macam-macam pelarut dan golongan senyawa yang dapat dilarutkannya :

Tabel 2. Pelarut dan jenis senyawa yang terlarut didalamnya (Pramono, 2012)

Jenis cairan penyari Jenis/ golongan kandungan kimia


Heksan, petroleum eter, Mono dan seskuiterpen (komponen minyak atsiri), di dan
benzen, toluen triterpen, steroid, flavon polimetoksi, lemak, resin, klorofil
Kloroform, diklorometana Semua yang larut diatas, aglikon antrakinon, kumarin, alkaloid
bebas, kurkumin, fenol bebas
Dietil eter Semua yang diatas, aglikon flavonoid polihidroksi, asam fenolat,
Etil asetat Semua yang diatas, flavonoid monoglikosida, kuasinoid,
glikosida lain
Etanol, metanol, isopropanol, Semua yang diatas, flavonoid diglikosida, tanin, saponin
butanol
Air panas Semua yang diatas mulai dari dietil eter, flavonoid poliglikosida,
garam alkaloid, mono dan disakharida, asam amino dan protein

2) Ukuran serbuk

Penyarian perlu memperhatikan sifat fisika dan kimia simplisia atau bahan

yang digunakan serta kandungan zat aktifnya. Simplisia yang lunak dapat dengan

muda ditembus oleh cairan penyari sedangkan simplisia yang keras susah

ditembus oleh cairan penyari dan sebaiknya diserbuk terlebih dahulu sampai halus

sebelum dilakukan penyarian (Depkes RI, 1986). Derajat halus serbuk

berpengaruh terhadap efektivitas penyarian karena mempengaruhi tebal lapisan

batas (TLB). TLB merupakan jarak yang harus ditempuh oleh cairan penyari

untuk mencapai kandungan kimia aktif didalam sel bahan (Pramono, 2012).

Semakin besar TLB, artinya semakin besar ukuran serbuk sehingga semakin tidak

efektif proses penyarian yang terjadi. Sebaliknya, semakin kecil ukuran serbuk

maka luas permukaan area per unit massa serbuk akan semakin besar sehingga
Optimasi Faktor Ekstraksi (Komposisi Solven, Ukuran Serbuk dan Rasio Serbuk-Solven) pada Daun
Randu
(Ceiba pentandra Gaertn.) Menggunakan Response Surface Methodology
WEDITA DESTRIANI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/ 21

TLB akan semakin kecil dan efektivitas penyarian juga semakin baik kecuali jika

terjadi penggumpalan (Luthria, 2012; Pramono, 2012; Velioglu, 2011). Akan

tetapi serbuk yang terlalu halus dapat menyebabkan beberapa kerugian

diantaranya (Pramono, 2012) :

a. Mengakibatkan banyak sel yang pecah sehingga menyebabkannya

kehilangan kandungan kimia yang mudah menguap seperti minyak atsiri.

b. Banyak kandungan kimia yang seharusnya tidak larut dalam cairan

penyari dan tetap tinggal didalam sel menjadi tertarik keluar sel dan

mengotori sari.

c. Butiran serbuk yang terlalu halus jika terkena cairan penyari dapat

menggumpal sehingga dapat menyumbat dan menghambat cairan penyari

pada proses perkolasi.

d. Pada bahan berupa biji dan rimpang, jika diekstraksi menggunakan air

atau etanol encer dan dipanaskan makan akan menggumpal dan

membentuk bubur bahkan kanji karena banyak mengandung amilum.

Selain itu ukuran partikel yang terlalu halus akan menyulitkan pada saat

penyaringan karena akan membentuk suspesi yang susah dipisahkan (Depkes RI,

1986)

3) Rasio solid-soven

Penentuan rasio solid-solven merupakan salah satu tahap yang penting dalam

proses ekstraksi karena kandungan kimia bahan tidak bisa terekstraksi secara

sempurna jika rasionya terlalu kecil, walaupun jika terlalu tinggi akan
Optimasi Faktor Ekstraksi (Komposisi Solven, Ukuran Serbuk dan Rasio Serbuk-Solven) pada Daun
Randu
(Ceiba pentandra Gaertn.) Menggunakan Response Surface Methodology
WEDITA DESTRIANI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/ 22

menyebabkan kenaikan biaya (Du dkk, 2015). Semakin tinggi rasio solid-solven

maka semakin tinggi pula solut yang didapat walaupun penggunaan solven

berdasarkan prinsip transfer massa (Spigno, 2006). Semakin tinggi rasio antara

serbuk dan solven maka semakin tinggi gradien konsentrasi yang tersedia untuk

menarik senyawa aktif dari dalam simplisia sehingga dapat meningkatkan kinetika

ekstraksi (Quan dkk, 2013). Berdasarkan penelitian sebelum-sebelumnya

dijelaskan bahwa semakin tinggi rasio perbandingan solid-liquid maka efektivitas

penyarian juga semakin baik (Luthria, 2007), akan tetapi rasio solid-liquid ini

perlu dioptimasi dan dipertimbangkan terlebih dahulu untuk keefisienan

penggunaan solven atau campuran solven agar tidak terjadi pemborosan solven

(Luthria, 2007)

3. Response Surface Methodology

Optimasi merupakan proses untuk meningktakan performa dari suatu sistem,

proses atau suatu produk dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan

maksimum dari proses tersebut. Salah satu metode optimasi yang menggunakan

analisis statistik multivariat yang cukup relevan yaitu metode permukaan respon

(Response Surface Methodology) (Bazerra dkk, 2008).Response surface

methodology (RSM) pertama kali dikenalkan oleh Box dan Wilson (1951) dan

telah diterapkan untuk mengatasi kekurangan dan keterbatasan dari metode

konvensional (single factor experiment) (Ho dkk, 2009). Response Surface

Methodology (RSM) merupakan gabungan dari teknik matematika dan statistika


Optimasi Faktor Ekstraksi (Komposisi Solven, Ukuran Serbuk dan Rasio Serbuk-Solven) pada Daun
Randu
(Ceiba pentandra Gaertn.) Menggunakan Response Surface Methodology
WEDITA DESTRIANI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/ 23

yang digunakanuntuk membuat model dan menganalisis suatu respon yang

dipengaruhi oleh beberapa variabel bebas atau faktor, dengan tujuan

mengoptimalkan respon tersebut. Metode response surface menggunakan teknik

statistika untuk mengembangkan model yang dapat menjelaskan keseluruhan

proses serta menjelaskan interaksi antar variabel sehingga dapat untuk

mengoptimalkan respon (Montgomery, 2009; Sundari, 2015).

Tujuan utama metode response surface adalah mendapatkan komposisi taraf

perlakuan yang menghasilkan respon optimum. Secara umum, metode response

surface dapat digambarkan secara visual melalui response surface plot dan kontur

plot. Melalui plot tersebut dapat diketahui bentuk hubungan antara respon dengan

variabel bebasnya (Bradley, 2007). Keuntungan menggunakan RSM ini adalah

dapat mempermudah pencarian wilayah optimum. Bila tidak menggunakan

metode tersebut, harus dilakukan eksperimen berulang-ulang dimana eksperimen

tersebut membutuhkan biaya dan waktu yang banyak sehingga tidak efektif dan

efesien (Ernawati, 2012).

Sebelum menerapkan metode respon permukaan, hal penting yang pertama

perlu dilakukan adalah memilih desain eksperimen yang akan digunakan dalam

menentukan eksperimen seperti apa yang akan dipelajari dalam region

eksperimen. Desain eksperimen orde pertama seperti factorial desain dapat

digunakan jika hubungan variabel menunjukkan fungsi linier atau tidak terjadi

curvature. Akan tetapi jika pendekatan respon tidak menunjukan fungsi linier

maka desain eksperimen yang digunakan yaitu persamaan orde kedua, seperti
Optimasi Faktor Ekstraksi (Komposisi Solven, Ukuran Serbuk dan Rasio Serbuk-Solven) pada Daun
Randu
(Ceiba pentandra Gaertn.) Menggunakan Response Surface Methodology
WEDITA DESTRIANI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/ 24

faktorial desain 3 level, Box-Behnken, Central Composite dan Doehlert designs.

Perbedaan dari beberapa desain eksperimen tersebut terletak pada pemilihan titik

eksperimental, jumlah level faktor, jumlah eksperimen serta blok (Bazerra dkk,

2008).

RSM digunakan untuk menyelidiki faktor-faktor yang berpengaruh pada

proses ekstraksi dan dengan pendekatan ini keseluruhan percobaan beserta

interaksi antar variabelnya dapat diketahui dan dipertimbangkan. Pendekatan ini

digunakan untuk mendapatkan respon permukaaan dengan cara memasukkan data

percobaan pada model polinomial serta mengevaluasi pengaruh dari masing-

masing faktor dan interaksi antara masing-masing faktor (Palma, 2016). Apabila

semua faktor yang dipertimbangkan akan dievaluasi, maka persamaan RSM dapat

dituliskan sebagai berikut :

yang mana adalah respon dan adalah faktor-faktor yang merupakan variabel

terkontrol selama eksperimen.. Biasanya persamaan yang digunakan adalah model

orde kedua :

Dimana Y = fungsi respon; β0adalah intersep, β1, β2, dan β3, adalah koefisien

linier;β11, β22, dan β33 adalah koefisien kuadratik dan β12, β13, dan β23 merupakan

koefisien interaksi, sedangkan ε merupakan komponen residual yang bersifat

random dan terdistribusi secara identik dan saling bebas (Independent Identically
Optimasi Faktor Ekstraksi (Komposisi Solven, Ukuran Serbuk dan Rasio Serbuk-Solven) pada Daun
Randu
(Ceiba pentandra Gaertn.) Menggunakan Response Surface Methodology
WEDITA DESTRIANI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/ 25

Distributed-IID) dengan terdistribusi normal pada nilai rataan 0 dan varian σ2 –

secara matematis dinyatakan dengan ε ≈ IID normal (0, σ2 ) (Bazerra, 2008;

Nuryanti, 2008).

Oleh karena bertujuan untuk menentukan respon y optimal, perlu untuk

menemukan estimasi yang paling mendekati dari korelasi antara variabel

independen dengan respon permukaan dengan cara mencari titik stasioner. Titik

stasioner merupakan titik dari variabel independent yang menghasilkan respon

didaerah optimum. Penentuan titik stasioner diperoleh dengan mendiferensiasikan

persamaan polinomial orde dua kedalam bentuk matriks terhadap variabel x:

̂ ̂ ̂
...........................................................................(1)

dalam notasi matriks dinyatakan sebagai :

̂ ̂ .................................................................................................(2)

dengan matriks :
̂ ̂ ̂ ̂
̂ ̂ ̂ ̂
[ ] dan
[̂ ] [̂ ̂ ̂ ]

Turunan ̂ terhadap vektor adalah sama dengan 0, sehingga dapat

dinyatakan dengan :

̂
..............................................................................................(3)

didapat titik stasioner .................................................................(4)


Optimasi Faktor Ekstraksi (Komposisi Solven, Ukuran Serbuk dan Rasio Serbuk-Solven) pada Daun
Randu
(Ceiba pentandra Gaertn.) Menggunakan Response Surface Methodology
WEDITA DESTRIANI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/ 26

Substitusikan persamaan (4) ke persamaan (2) maka diperoleh nilai respon

optimal yang diprediksi terjadi pada titik stasioner, yaitu :

̂ ̂ ........................................................................................................(5)

Dengan memasukkan nilai dari titik stasioner ke persamaan (6) dibawah ini,

makan akan didapat nilai sesungguhnya dari variabel-variabel independen yang

menghasilkan respon optimal (Nuryanti, 2008).

.............................................................................................................(6)

Dimana xi adalah nilai kode untuk variabel , X1 merupakan nilai sebenarnya

dari variabel X, X0 merupakan nilai sebenarnya dari titik pusat (centre point)

sedangkan merupakan selisih antar level (Li dkk, 2011).

Setalah ditemukan titik stasioner, ditentukan pula karakteristik permukaan

respon didaerah optimum setelah didapatkan titik stasioner. Penentuan

katakteristik permukaan respon ini digunakan untuk mengetahui apakah jenis titik

stasioner yang didaptkan berupa titik minimum, maksimum atau titik pelana

(Nuryanti, 2008; Montgomery, 1976 ). Karakteristik permukaan respon dapat

diidentifikasi dari gambar kontur dan grafik permukaan responnya atau dengan

menggunakan analisis kanonik jika variabel yang digunakan banyak. Metode

kanonik mentrasnformasikan fungsi respon dari titik asal ke titik

stasioner dan merotasikan sumbuh koordinatnya, sehingga dihasilkan fungsi

respon sebagai berikut :

̂ ̂ ............................................................(7)
Optimasi Faktor Ekstraksi (Komposisi Solven, Ukuran Serbuk dan Rasio Serbuk-Solven) pada Daun
Randu
(Ceiba pentandra Gaertn.) Menggunakan Response Surface Methodology
WEDITA DESTRIANI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/ 27

Dimana :
: Variabel independen baru hasil transformasi

̂ : Harga y pada titik stasioner

: Konstanta yang merupkan eigen value dari matriks B, 1=1,2,...,k

Karakteristik dari permukaan respon ditentukan oleh harga λi. Jika nilainya

semua positif maka x0 adalah titik minimum, sedangkan jika semua negatif maka

x0 adalah titik maksimum, jika harganya berbeda tanda diantara harga λi, maka x0

merupakan titik pelana (Nuryanti, 2008).

4. Central Composite Design

Central Composite Design (CCD) merupakan salah satu desain eksperimen

yang mendukung untuk optimasi proses dengan RSM yang merupakan model

orde kedua (kuadratik). CCD memiliki tiga macam titik desain yang berbeda

yang terdiri dari 2 level faktorial design (±1), 2 level star design (titik aksial) yang

berjarak α dari central point serta bertanggung jawab pada efek kuadratik (±α;

│α│≥1) dan 1 level center point. Dengan demikian setiap variabel pada CCD

terdiri dari lima level yaitu –α, -1, 0, +1 dan +α (Leiviskä, 2013). Hubungan

antara nilai kode dan nilai sebenarnya dapat ditunjukkan dari persamaan (6)

(Bazerra dkk, 2008)

Jumlah faktor yang dapat dioptimasi dengan CCD minimal dua faktor dengan

masing-masing terdiri dari lima level. Keuntungan dari CCD yaitu dapat

mengurangi jumlah eksperimen dengan cara mengeliminasi sejumlah percobaan


Optimasi Faktor Ekstraksi (Komposisi Solven, Ukuran Serbuk dan Rasio Serbuk-Solven) pada Daun
Randu
(Ceiba pentandra Gaertn.) Menggunakan Response Surface Methodology
WEDITA DESTRIANI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/ 28

yang tidak cukup berguna pada model (Simon, 1970).CCD menjelaskan

bagaimana cara menentukan susunan titik eksperimen dengan efesiensi estimasi

orde pertama dan orde kedua dari model matematika. Hal ini menjadi kelebihan

sekaligus kekurangan dari CCD karena dengan jumlah level yang lebih banyak

tersebut keakuratan model menjadi lebih tinggi akan tetapi jumlah eksperimen

juga lebih banyak (Cheng, 2014).

Gambar 2. Central Composite Design untuk optimasi dua (a) dan tiga (b) variabel (Bazerra,
2008)

Untuk mendapatkan model orde dua yang bagus dalam menghasilkan nilai

prediksi, model harus memiliki nilai variansi yang stabil dan konsisten yang layak

pada titik x. Oleh karena itu, rancangan desain harus rotatableartinya pada semua

titik x jaraknya harus sama terhadap titik pusat sehingga variansi pada nilai

pediksi respon adalah konstan di lingkaran. Desain CCD merupakan desain yang

bersifat rotatabledengan pemilihan nilai α yang bergantung pada jumlah variabel

yang digunakan (Ernawati, 2012).


Optimasi Faktor Ekstraksi (Komposisi Solven, Ukuran Serbuk dan Rasio Serbuk-Solven) pada Daun
Randu
(Ceiba pentandra Gaertn.) Menggunakan Response Surface Methodology
WEDITA DESTRIANI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/ 29

5. Box Benkhen Design

Box-Behnken Design (BBD) merupakan desain percobaan pada metode RSM

yang mana kombinasi perlakuan yang diambil yaitu midpoint dari daerah tepi

ruang proses dan pada daerah center (Sundarini, 2015). Box-Behnken Design

digunakan sebagai rancangan percobaan untuk mengevaluasi hubungan yang

nonlinier antara variabel respon dan variabel faktor (Ho dkk, 2009). Sama seperti

CCD, BBD juga menjelaskan bagaimana cara menentukan susunan titik

eksperimental pada faktorial tiga level dengan efesiensi estimasi orde pertama dan

orde kedua dari model matematika, hanya saja level faktor yang digunakan pada

BBD lebih sedikit dari pada CCD (Bazerre dkk, 2008). BBD merupakan desain

eksperimen yang dapat digunakan untuk mengoptimasi proses dengan minimal

tiga variabel faktor dengan masing-masing variabel faktor terdiri dari tiga level (-

1, 0, +1) (Bazerre dkk, 2008; Anuar dkk, 2013). BBD kompetibel dengan RSM

karena dapat mengestimasi parameter model kuadratik, bentuk desain

percontohan, deteksi lack of fit dari model serta menggunakan blok (Pamal dkk,

2016).

BBD memiliki desain yang lebih efiesien karena jumlah eksperimen yang

dilakukan relatif lebih sedikit sehingga lebih ekonomis dibanding desain

eksperimen kuadratik lainnya (Anuar dkk, 2013). Selain itu titik eksperimen

terletak pada daerah yang optimum yaitu diantara level rendah dan level tinggi

sehingga tidak terdapat titik pada daerah kubik (Anuar dkk, 2013). Salah satu

kelebihan lain dari metode ini yaitu tidak memasukkan semua faktor yang terletak
Optimasi Faktor Ekstraksi (Komposisi Solven, Ukuran Serbuk dan Rasio Serbuk-Solven) pada Daun
Randu
(Ceiba pentandra Gaertn.) Menggunakan Response Surface Methodology
WEDITA DESTRIANI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/ 30

pada daerah sangat rendah maupun daerah limit yang tinggi, sehingga tidak

menghasilkan eksperimen yang tidak berguna pada daerah ekspektasi (titik

optimal) (sundarini, 2015).

Gambar 3. Box-Benhken design untuk optimasi tiga variabel (Bazerra, 2008)

6. Flavonoid

a. Pengertian dan Klasifikasi

Flavonoid merupakan senyawa polifenol yang strukturnya merupakan turunan

dari inti aromatik flavon atau 2-fenilbnezopiron (Robinson, 1995). Flavonoid

memiliki struktur dasar C6-C3-C6 dimana bagian C6 adalah cincin benzen yang

dihubungkan dengan tiga atom C yang merupakan rantai alifatik. Cincin diberi

tanda A, B, C dan atom karbon dinamai menurut sistem penomeran dengan

menggunakan angka biasa untuk cincin A dan angka beraksen untuk cincin B

(Markham, 1988).
Optimasi Faktor Ekstraksi (Komposisi Solven, Ukuran Serbuk dan Rasio Serbuk-Solven) pada Daun
Randu
(Ceiba pentandra Gaertn.) Menggunakan Response Surface Methodology
WEDITA DESTRIANI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/ 31

Gambar 4. Struktur kerangka flavonoid (Achmad, 1986)

Gambar 5. Kerangkan tipe-tipe flavonoid (Mabry dkk, 1970)


Optimasi Faktor Ekstraksi (Komposisi Solven, Ukuran Serbuk dan Rasio Serbuk-Solven) pada Daun
Randu
(Ceiba pentandra Gaertn.) Menggunakan Response Surface Methodology
WEDITA DESTRIANI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/ 32

Penggolongan flavonoid berdasarkan pada penambahan rantai oksigen

heterosiklik dan variasi distribusi gugus hidrofilnya. Variasi oksidasi pada atom

C3 mempengaruhi sifat, khasiat, golongan atau tipe flavonoid. Klasifikasi

flavonoid berdasarkan perbedaan rantai C3 yaitu : flavon, flavonolol, flavonol,

flavonon, isoflavon, auron, dan khalkon (Robinson, 1995).

Flavonoid memiliki aktivitas anti-mutagenik, antibakteri, anti inflamasi,

antialergi, antiviral, antineoplastik, antitrombotik, vasodilator (Alan dan Miller,

1996), antioksidan, antiangiogenik, anti esterogenik, antiprofilatif (Zhang dan

Morris, 2003). Sedangkan yang sering ditemukan dalam tanaman adalah flavon

dan flavonol (Robinson, 1995) yang biasanya dalam bentuk O-glikosida.

Perbedaan keduanya yaitu flavonol memiliki gugus hidroksi pada C3. Flavonol

terdiri atas quercetin yang umumnya merupakan komponen terbanyak dalam

tanaman, kaempferol, dan myricetin. Flavon yang terdiri atas apigenin dan

luteolin, hanya ditemukan pada bahan pangan tertentu, contohnya seledri, lada

(hanya luteolin), dan peterseli (hanya apigenin) (Lee, 2000).

Flavonoid merupakan golongan senyawa fenolik terbesar yang terdapat pada

tumbuhan (Tjandra, 2010). Senyawa flavonoid banyak terdapat didalam famili

Polygonaceae, Rutaceae, Leguminaceae, Umbeliferae dan Compositae (Evans dan

Tease, 2002). Keberadaan flavonoid didalam tanaman kemungkinan berfungsi

sebagai pelindung daun dari efek radiasi sinar ultraviolet dan menekan

fotoperoksidasi lipid oleh penangkapan anion superoksida yang dihasilkan selama

proses peroksidasi dalam kloroplas (Harborne, 1987). Dalam tumbuhan, sangat


Optimasi Faktor Ekstraksi (Komposisi Solven, Ukuran Serbuk dan Rasio Serbuk-Solven) pada Daun
Randu
(Ceiba pentandra Gaertn.) Menggunakan Response Surface Methodology
WEDITA DESTRIANI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/ 33

jarang dijumpai flavonoid dalam bentuk tunggal biasanya terdapat dalam bentuk

campuran dan jenis yang berbeda. Flavonoid dapat berbentuk terikat pada gula

sebagai glikosida dan sebagai aglikon flavonoid (Harbone, 1987). Aglikon

flavonoid (yaitu flavonoid tanpa gula terikat) terdapat dalam berbagai bentuk

struktur (Markham, 1988). Gula juga dapat terikat pada atom karbon flavonoid

dan dalam hal ini gula terikat langsung pada inti benzen dengan suatu ikatan

karbon-karbon yang tahan asam. Glikosida yang demikian disebut C-glikosida.

Oleh karena itu, senyawa golongan flavonoid memiliki polaritas yang bervariasi

mulai dari senyawa polar seperti bentuk glikosida flavonoid, semi polar seperti

flavonoid polihidroksi bahkan sampai senyawa non-polar seperti flavonoid

polimetoksi.

b. Sifat-sifat

Didalam tumbuhan, flavonoid terdapat dalam bentuk aglikon maupun

glikosida sehingga kelarutannya bervariasi sesuai dengan golongan dan

substitusinya (Robinson, 1995) dan relatif sulit untuk mendapatkannya. Bentuk

aglikon flavonoid relatif kurang polar sehingga lebih larut dalam pelarut yang

kurang polar seperti eter, etil asetat, sedikit dalam alkohol dan tidak larut dalam

air. Sedangkan untuk glikosida flavonoid merupakan senyawa polar sehingga

cukup larut dalam pelarut polar seperti etanol, metanol, butanol, aseton,

dimetilsulfoksida, dimetilformamid dan air (Markham, 1998).

Gugus hidroksi pada flavonoid menyebabkan senyawa flavonoid bersifat

asam dan membentuk asam fenolat yang dapat bereaksi dengan basa membentuk
Optimasi Faktor Ekstraksi (Komposisi Solven, Ukuran Serbuk dan Rasio Serbuk-Solven) pada Daun
Randu
(Ceiba pentandra Gaertn.) Menggunakan Response Surface Methodology
WEDITA DESTRIANI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/ 34

garam fenolat sehingga pada penambahan NH3 warna berubah menjadi kuning dan

menyebabkan bergeseran batokromik (Markham, 1998). Struktur senyawa

flavonoid memiliki karakteristik yang khas pada UV 366 nm sehingga

memungkinkan untuk diidentifikasi dengan kromatografi lapis tipis.

Tabel 3. Penafsiran warna bercak flavonoid pada UV 366 nm


Warna bercak dibawa sinar UV Jenis flavonoid yang mungkin
Sebelum Setelah disemprot
disemprot NH3 NH3
Ungu gelap Kuning, hijau a. Biasanya flavon 5-OH dan 4’-OH atau 3-OH
kuning atau coklat yang tersubtitusi, atau flavonol dengan 5-ON
dan 4’-OH
b. Kadang flavonon dengan 5-OH dan 4’OH
kalkon tanpa hidroksi grup pada cincin B.
Tanpa atau sedikit a. Flavon atau flavonol dengan 5-OH tapi tanpa 4’-
perubahan OH bebas atau tersubtitusi
b. Isoflavon, dihidroflavonol dan kadang flavonon
dengan 5-OH.
c. Kalkon dengan 2’-atau 6’-OH tapi tanpa 2- atau
4-OH.
Biru terang Kadang flavonon dengan 5-OH
Merah atau oranye Kalkon dengan 2- atau 4-OH bebas
Fluoresen biru Fluoresen kuning- a. Flavon dan flavonon tanpa 5-OH bebas
terang hijau atau biru-hijau b. Flavonol tanpa 5-OH bebas tapi dengan 3-OH
tersubstitusi
Tanpa atau sedikit Isoflavon tanpa 5-OH bebas
perubahan
Fluoresens cerah Isoflavon tanpa 5-OH bebas
biru terang
Tidak tampak Fluoresen biru Isoflavon tanpa 5-OH bebas
terang
Kuning tipis Tanpa atau sedikit Flavonols dengan 3-OH bebas dan dengan atau tanpa
dan kuning atau perubahan 5-OH bebas
Fluoresen
oranye
Fluoresen Orange atau merah Auron dengan 4-OH bebas dan kadang kalkon dengan
kuning, hijau- 2-atau4-OH
kuning, biru- Tanpa atau sedikit a. Auron dengan 4’-OH bebas dan flavonon tanpa
hijau atau hijau perubahan 5-OH bebas
b. Flavonols dengan 3-OH bebas dan dengan atau
tanpa 5-OH bebas.
Kuning pucat Kuning terang-ungu Dihidroflavonol tanpa 5-OH bebas
Optimasi Faktor Ekstraksi (Komposisi Solven, Ukuran Serbuk dan Rasio Serbuk-Solven) pada Daun
Randu
(Ceiba pentandra Gaertn.) Menggunakan Response Surface Methodology
WEDITA DESTRIANI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/ 35

Flavonoid memiliki sistem aromatik yang terkonjugasi dan karena itu

menunjukkan pita serapan kuat pada daerah spektrum UV dan spektrum sinar

tampak (Harborne, 1987).

F. Landasan Teori

Salah satu kandungan yang terdapat pada daun randu dan memiliki aktivitas

yang sudah dibuktikan yaitu senyawa golongan flavonoid. Senyawa flavonoid

memiliki polaritas yang bervariasi sehingga kelarutannya juga bervariasi seperti

pada tabel 2. Ditinjau dari tabel 2 bahwa senyawa flavonoid yang bersifat polar

sampai semi polar dapat larut didalam pelarut etanol. Sedangkan senyawa

flavonoid yang polar larut dalam air, sehingga kombinasi antara kedua solven

tersebut akan dapat melarutkan senyawa flavonoid dalam jumlah yang tinggi.

Selain itu, untuk menghasilkan kadar senyawa aktif yang tinggi perlu juga

dilakukan optimasi terhadap faktor ekstraksi lainnya seperti ukuran serbuk san

rasio serbuk-solven. Semakin kecil ukuran serbuk, efektivitas penyarian akan

semakin baik karena tebal lapis batas serbuk semakin rendah sehingga jarak

penyari untuk melarutkan senyawa semakin kecil. Selain itu, rasio serbuk-solven

yang semakin tinggi juga akan menyebabkan efektivitas penyarian semakin baik

karena semakin lama tercapainya kejenuhan sehingga senyawa yang dapat tertarik

semakin banyak. Ketiga kondisi ekstraksi tersebut perlu optimasi untuk

mendapatkan kadar flavonoid dalam jumlah yang maksimal. Optimasi kondisi

ekstraksi pada daun randu bertujuan untuk meningkatkan jumlah ekstrak yang
Optimasi Faktor Ekstraksi (Komposisi Solven, Ukuran Serbuk dan Rasio Serbuk-Solven) pada Daun
Randu
(Ceiba pentandra Gaertn.) Menggunakan Response Surface Methodology
WEDITA DESTRIANI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/ 36

diperoleh dengan cara menemukan kondisi ekstraksi yang paling baik untuk

memperoleh kadar ekstrak dalam jumlah yang optimal. Metode optimasi yang

banyak diterapkan pada optimasi proses ekstraksi dan memiliki keakuratan yang

cukup tinggi dalam menentukan titik optimum yaitu Response surface

methodology (RSM) dengan desain eksperimen CCD. Berbagai penelitian yang

telah dilakukan untuk mengoptimasi berbagai kondisi ekstraksi menggunakan

metode ini seperti optimasi waktu ekstraksi, rasio solven dan temperatur ekstraksi

pada Forsythia suspensa dengan respon yaitu kadar forsythoside yang dilakukan

oleh Li dkk (2011), optimasi konsentrasi etanol, waktu ekstraksi dan temperatur

ekstraksi pada daun henna dengan parameter fenolik total (Ho dkk, 2010),

optimasi waktu ekstraksi, konsentrasi solven serta temperatur ekstraksi pada

kacang kedelai dengan kadar polifenolik sebagai respon (Banerjee, 2011),

optimasi konstrasi etanol, rasio solid-soven dan kekuatan microwave pada kulit

Physalis alkekengi dengan kadar flavonoid sebagai respon (Pin-yi, 2014) dan

banyak penelitian lainnya. Metode RSM merupakan metode optimasi yang

menggunakan analisis statistik multivariat dengan menggabungkan teknik

matematika dan statistika yang cukup relevan dalam menentukan titik optimal

eksperimen serta mengidentifikasi interaksi antar variabel faktor karena setiap

level variabel terletak pada daerah sekitar optimum serta dengan kondisi

eksperimen yang terdiri dari kombinasi faktorial, star point dan titik pusat (center

point) disamping lebih efisien karena jumlah eksperimen yang dilakukan lebih

sedikit (Montgomery, 2009; Bazerra dkk, 2008; Anuar dkk, 2013). Optimasi
Optimasi Faktor Ekstraksi (Komposisi Solven, Ukuran Serbuk dan Rasio Serbuk-Solven) pada Daun
Randu
(Ceiba pentandra Gaertn.) Menggunakan Response Surface Methodology
WEDITA DESTRIANI
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/ 37

faktor ekstraksi tersebut dapat menggunakan metode RSM dan desain CCD

dengan bantuan software Design Expert 10.02 seperti yang telah dilakukan

peneliti-peneliti sebelumnya.

G. Hipotesis

1. Campuran pelarut etanol-air dapat melarutkan senyawa flavonoid pada daun

randu dengan lebih baik daripada pelarut tunggalnya.

2. Semakin kecil ukuran serbuk maka semakin banyak senyawa flavonoid pada

daun randu yang terekstraksi.

3. Semakin tinggi rasio antara serbuk dan solven maka semakin banyak senyawa

flavonoid yang terekstraksi.

Anda mungkin juga menyukai