Anda di halaman 1dari 17

PERENEALISME

Disusun guna untuk memenuhi tugas mata kuliah


Filsafat Pendidikan Semester Gasal 2018/2019

Disusun oleh : Kelompok 6 / MPI C


1. Bagus Muhammad Yusuf 206180081 Moderator
2. Dani Kurniawan 206180082 Notulen
3. Fajar Dimas Ramdhani 206180091 Pemateri

Dosen Pengampu :
Drs. Waris, M.Pd.

JURUSAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
(IAIN) PONOROGO
OKTOBER 2018

i
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT atas segala
karunia dan inayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah
Filsafat Pendidikan yang membahas tema tentang “PERENEALISME” ini.
Shalawat serta salam semoga selamanya tercurahkan kepada Rasulullah SAW,
keluarga, sahabat, dan seluruh pengikutnya.
Dengan adanya makalah ini diharapkan dapat mempermudah para
pembaca dalam memperoleh dan memahami dalam pelajaran Filsafat Pendidikan
ini.
Penulisan makalah ini dapat terselesaikan karena bantuan banyak pihak,
karena itu kami menyampaikan ucapan terimakasih kepada semua pihak. Makalah
ini disusun berdasarkan sumber bacaan, pengetahuan, dan pengalaman yang kami
baca dan kami pelajari, dengan segala keterbatasannya, sehingga di dalamnya
masih banyak kesalahan dan kekurangan.
Akhirnya, semoga penulisan makalah ini dapat menjadi pelengkap
referensi-referensi lain yang sudah ada dan bermanfaat bagi kita semua.

Ponorogo, 21 Oktober 2018


Penyusun

Kelompok 6 / MPI C

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................. i
KATA PENGANTAR ........................................................................... ii
DAFTAR ISI .......................................................................................... iii
BAB I: PENDAHULUAN.................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ............................................................. 1
BAB II: PEMBAHASAN......................................................................
A. Pengertian Perenealisme ................................................. 2
B. Pandangan-Pandangan Perenealisme ............................ 4
a. Pandangan Ontologis Perenealisme ......................... 4
b. Pandangan Epistimologi Perenealisme .................... 5
c. Pandangan Aksiologi Perenealisme ......................... 8
C. Pandangan Perenealisme tentang Pendidikan, Peserta
Didik, Guru, Dan Kurikulum………………….……..... 9

BAB III: KESIMPULAN ..................................................................... 13


DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 14

iii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Aliran Perenealisme merupakan terapan dari filsafat umum. Filsafat
pendidikan pada dasarnya menggunakan cara kerja filsafat dan akan
menggunakan hasil-hasil dari filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran manusia
berupa realitas, pengetahuan, dan nilai. Berikut ini aliran perenialisme dalam
filsafat pendidikan. Perenialisme diambil dari kata perennial yang memiliki
makna kepercayaan filsafat yang berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma
yang bersifat kekal dan abadi.
Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif.
Perenealisme menentang pandangan progresivisme yang menekankan
perubahan dan suatu yang baru. Perenialisme memandang bahwa situasi
dunia penuh kekacauan, ketidak-pastian, dan ketidak-teraturan, terutama pada
kehidupan moral, intelektual, dan sosial kultular. Maka perlu adanya usaha
untuk memperbaiki kekacauan tersebut. Perenealisme memberikan jalan
keluar yaitu dengan cara kembali pada masa lampau yang dianggap ideal dan
teruji ketangguhannya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Perenealisme?
2. Bagaimana pandangan Perenealisme terhadap Ontologi, Epistimologi dan
Aksiologi?
3. Bagaimana pandangan Perenealisme terhadap Pendidikan?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Perenealisme
2. Untuk mengetahu pandangan Perenealisme terhadap Ontologi,
Epistimologi, dan Aksiologi
3. Untuk mengetahui pandangan Perenealisme terhadap Pendidikan.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Perenialisme
Secara etimologis, perenialisme diambil dari kata perenial dengan
mendapat tambahan -isme, perenial berasal dari bahasa Latin yaitu perennis,
yang kemudian diadopsi ke dalam bahasa Inggris, berarti kekal, selama-
lamanya atau abadi.1 Sedang tambahan –isme dibelakang mengandung
pengertian aliran atau paham.2
Perenialisme dengan kata dasarnya perenial, yang berarti continuing
throughout the whole year atau lasting for a very long time, yakni abadi atau
kekal yang terus ada tanpa akhir.
Dalam pengertiannya yang lebih umum dapat dikatakan bahwa tradisi
dipandang juga sebagai prinsip-prinsip yang abadi yang terus mengalir
sepanjang sejarah manusia, karena ia adalah anugerah tuhan pada semua
manusia dan memang merupakan hakikat insaniah manusia.
Karena esensi aliran ini berupaya menerapkan nilai-nilai atau norma-
norma yang bersifat kekal dan abadi yang selalu seperti itu sepanjang sejarah
manusia, maka perenialisme dianggap sebagai suatu aliran yang ingin
kembali atau mundur kepada nilai-nilai kebudayaan masa lampau. Kembali
kepada masa lampau dalam konteks aliran ini, bukanlah dalam pengertian
bernostalgia dan sekedar mengingat-ingat kembali pola kehidupan masa lalu,
tetapi untuk membina kembali keyakinan akan nilai-nilai asasi masa silam
untuk menghadapi problematika kehidupan manusia saat sekarang dan
bahkan sampai kapan pun dan dimana pun. Perenialisme, sesuai dengan
namaanya yang berarti segala sesuatu yang ada sepanjang sejarah manusia,
melihat bahwa tradisi berkembangan intelektual yang telah terbukti dan
memberikan solusi bagi berbagai masalah kehidupan masyarakat perlu

1
Komaruddin hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif
Filsafat Perenial (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2003)hal. 39
2
Adi Gunawan, Kamus Ilmiah Popoler, (Surabaya:Kartika, tt)hal. 175

2
3
digunakan dan diterapkan dalam menghadapi alam modern yang syarat
dengan masalah kehidupan. Kondisi dunia modern yang sangat
mengandalkan rasionalitas empiris-positivistis yang memandang kebenaran-
kebenaran dalam konteksnya yang serba terukur, teramati dan teruji secara
inferensial dan yang melihat realitas sebagai sesuatu yang serba materi, telah
pula memunculkan berbagai problem kemanusiaan, seperti munculmya sikap
ambivalensi yang mencekam dan akan mendatangkan kebohongan,
kebimbangan, kekakuan, kecemasa, ketakutan dalam bertingkah laku,
sehingga manusia hidup dalam ketidak menentuan dan cenderung kehilangan
arah dan jati dirinya.
Pengabaian berpikir logis dalam hal ini telah memunculakan
ketidakmampuan manusia melihat pengetahuan yang sebenarnya. Hal ini
mengingat corak kehidupan yang serba rasional bertujuan dengan landasan
empiris-positivistis yang melihat realitas dunia dengan serba objektif dimana
kebenaran ilmu berangkat dari fakta-fakta yang terverifikasi dan terukur
secara ketat, telah pula menjadikan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai
orientasi kehidupan. Kondisi dunia yang terganggu oleh budaya yang tak
menentu, yang berada dalam kebingungan dan kekacauan seperti yang
diungkap di atas, memerlukan usaha serius untuk menyelamatkan manusia
dari kondisi yang mencekam dengan mencari dan menemukan orientasi dan
tujuan yang jelas, dan ini adalah tugas utama filsafat pendidikan. Perenealis
dalam hal ini mengambil jalan regresif dengan mengembalikan arahnya
seperti yang menjadi prinsip dasar perilaku yang dianut pada masa kuno dan
abad pertengahan.3
Dengan kata lain Filsafat Perenealisme adalah aliran yang memiliki esensi
berupaya menerapkan nilai-nilai atau norma-norma yang bersifat kekal dan
abadi yang selalu seperti itu sepanjang sejarah manusia.

3
Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan(Bandung:PT Refika Aditama, 2011)hal. 158-159
4
B. Pandangan-Pandangan Perenealisme
a. Pandangan Ontologis Perenealisme
Ontologi perenealisme terdiri dari pengertian-pengertian seperti
benda individual, esesnsi, aksiden, dan substansi. Secara ontologis,
perenalisme membedakan suatu realita dan aspek-aspek perwujudannya.
Benda individual di sini adalah benda sebagaimana yang tampak
dihadapan manusia dan yang ditangkap dengan panca indra. Esensi dari
suatu kualitas menjadikan benda itu lebih intrinsik daripada fisiknya,
seperti manusia yang ditinjau dari esensinya adalah makhluk berpikir.
Sedangkan aksiden adalah keadaan-keadaan khusus yang dapat beubah-
ubah dan sifatnya kurang penting dibandungkan dengan yang esensial.
Sedangkan substansi adalah kesatuan dari tiap-tiap individu, misalnya
partikular dan universal, materilaldan spiritual.
Dengan demikian, segala yang ada ada di alam semesta ini
merupakan hal yang logis dalam karakternya. Setiap sesuatu yang ada
tidak hanya merupakan kombinasi antara zat atau benda, tapi juga
merupakan unsur potensialitas dengan bentuk yang merupakan
unsur aktualitas, sebagaimana yang diuraikan oleh Aristoteles. Tak hanya
itu, ia juga merupakan sesuatu yang datang bersama – sama dari “apa”
yang terkandung dalam inti (essence) dan potensialitas dengan tindakan
untuk “berada” yang merupakan unsur aktualitas, sebagaimana yang
diungkap oleh St. Thomas Aquinas uraian diatas sejalan dengan apa yang
dikatakan Poedjawijatna, bahwa esnsi dari kenyataan itu adalah menuju
kearah aktualitas, sehingga makin lama makin jauh dari potensialitas.4
Perenealisme memiliki pandangan ontologi bahwa manusia setiap waktu
adalah potensialitas yang sedang berubah menjadi aktualitas. Dengan
peningkatan suasana hidup di spiritual ini manusia dapat semakin

4
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan
Pendidikan,(Depok:Rajagrafindo Persada, 2013), hal. 109-110
5
mendekatkan diri kepada Tuhan yang merupakan pencipta dan tujuan
terakhir.
b. Pandangan Epistimologi Perenialisme
Perenealisme berpendapat bahwa segala sesuatu yang dapat
diketahui dan merupakan kenyataan adalah apa yang terlindung pada
kepercayaan. Kebenaran adalah segala sesuatu yang menunjukkan
kesesuaian antara fikiran dengan benda-benda. Benda-benda disini
adalah hal-hal yang keberadaannnya bersendikan prinsip-prinsip
keabadian. Ini berarti bahwa perhatian mengenai kebenaran adalah
perhatian mengenai esensi dan sesuatu.
Menurut perenialisme, filsafat yang tertinggi adalah ilmu
metafisika. Sebab sains adalah sebagai ilmu pengetahuan menggunakan
metode induktif yang bersifat analisis empiris yang kebenarannya
terbatas dan relatif. Perenialisme berpendapat bahwa ilmu pengetahuan
merupakan filsafat yang tertinggi, karena dengan ilmu pengetahuan lah
seseorang dapat berfikir secara induktif. Jadi, dengan berfikir maka
kebenaran itu dapat dihasilkan. Apabila fikiran itu bermula dalam
keadaan potensialitas, maka dia dapat dipergunakan untuk menampilkan
tenaganya secara penuh.
Oleh karena itu, secara epistomologi, manusia harus memiliki
pengetahuan tentang pengertian dari kebenaran yang sesuai denganrealita
hakiki,yang dibuktikan dengan kebenaran yang ada pada diri sendiri
dengan menggunakan tenaga pada logika melalui metode diskusi.
Metode deduksi merupakan metode fiilsafat yang menghasilkan
kebenaran hakiki, dan tujuan dari epistimologi perenialisme dalam
premis mayor dan metode induktifnya sesuai dengan ontologi tentang
relita khusus. Menurut perinealisme penguasaan pengetahuan melalui
prinsip-prinsip pertama adalah modal bagi seseorang untuk
mengembangkan fikiran dan kecerdasan. Prinsip-prinsip pertama
6
mampu mempunyai peranan penting karena ia telah memiliki evidensi
diri sendiri. Dengan pengetahuan nahan penerangan yang cukup, orang
akan mampu mengenal dan memahami faktor-faktor dan problema yang
perlu diselesaikan dan berusaha untuk mengadakan penyelesaian
masalahnya.
Diharapkan, anak didik mampu mengenal dan mengembangkan
karya-karya yang menjadi landasan pengembangan disiplin mental.
Karya-karya ini merupakan buah fikiran besar pada masa lampau.
Berbagai buah fikiran mereka yang oleh zaman telah dicatat menonjol
seperti bahasa, sastra, sejarah, filsafat, politik, ekonomi, matematika,
ilmu pengetahuan alam, dan lain-lainnya, yang telah hanya memberikan
sumbangan kepada perkembangan zaman dahulu.
Dengan mengetahui beberapa pemikiran para ahli diatas, maka
anak didik akan mempunyai dua keuntungan. Pertama, anak-anak akan
mengetahui apa yang terjadi pada masa lampau yang telah difikirkan oleh
orang-orang besar. Kedua, mereka memikirkan peristiwa-peristiwa
penting dan karya-karya tersebut untuk diri sendiri dan sebagai bahan
pertimbangan zaman sekarang.
Dengan mengetahui dan mengembangkan pemikiran karya-karya
para ahli pada masa lampau tersebut, anak didik mengetahuibagaimana
pemikiran para ahli dalam biidangnya masing-masing dan dapat
mengetahui bagaimana peristiwa pada masa lampu tersebut dapat
berguna bagi diri mereka sendiri dan sebagai bahan pertimbangan
pemikiran mereka pada zaman sekarang.

Tugas utama pendidikan adalah mempersiapkan anak didik kearah


kematangan. Matang dalam arti hidup akalnya. Jadi, akal inilah yang
perlu mendapat tuntunan kearah kematangan tersebut. Sekolah rendah
memberikan pendidikan dan pengetahuan serba dasar. Dengan
pengetahuan yang tradisional seperti membaca, menulis dan berhitung,
7
anak didik memperoleh dasar penting bagi pengetahuan-pengetahuan
yang lain.
Sekolah sebagai tempat utama dalam pendidikan, mempersiapkan
anak didik kearah kematangan akal dengan memberikan pengetahuan.
Sedangkan tugas utama guru adalah memberikan pendidikan dan
pengajaran (pengetahuan pada anak didik). Dengan kata lain,
keberhasilan anak dalam bidang akalnya sangat tergantung kepada guru,
dalam arti orang yang telah mendidik dan mengajarkan.
Terkait dengan hakikat pendidikan tinggi, Robert Hutchkins dalam
Jalaluddin dan Abdullah Idi, mengutarakan lebih lanjut bahwa kalau pada
abad pertengahan pendidikan tinggi bersendikan filsafat teologis,
sedangkan sekarang bersendikan filsafat metafisika filsafat ini pada
dasarnya adalah cinta intelektual dari Tuhan. Disamping itu, karena
kedudukan sendi-sendi tersebut penting, maka perguruan tinggi tidak
seharusnya bersifat utilitis.
Dengan demikian, hakikat pendidikan tinggi sekarang ini
hendaknya berdasatkan pada filsafat metafisika, yaitu filsafat tentang
berdasarkan cinta intelektual dari Tuhan. Namun karena manusia itu pada
hakikatnya sama, maka perlu dikembangkan pendidikan yang sama bagi
semua orang yang disebut pendidikan umum. Melalui kurikulum yang
satu dan proses belajar yang disesuaikan dengan karakterestik setiap
individu, diharapkan setiap individu itu terbentuk atas dasat landasan
kejiwaan yang sama.5
Pandangan Perenealisme terhadap Epistimologi adalah
pengetahuan merupakan ilmu pendidikan tertinggi sebab
pengetahuan menggunakan metode induktif yang bersifat analisis. Hal
ini berarti bahwa fakta-fakta dianalisa kebenarannya dan kemudian
diuraikan terlebih dahulu lalu baru dirumuskan menjadi suatu
kesimpulan.

5
Ibid, hal. 110-113
8
c. Pandangan Aksiologi Perenealsime
Perenialisme memandang masalah nilai berdasarkan asas-asas
supranatural, yakni menerima universal yang abadi. Dengan asaa seperti
itu, ontologi dan epistemologi tidak hanya didasarkan pada prinsip
teologi supernatural, tetapi juga aksiologi. Khusus dalam tingkah laku
manusia, manusia sebagai sobjek telah memiliki potensi-potensi
kebaikan sesuai dengan kodratnya, disamping kecenderungan-
kecenderungan dan dorongan-dorongan kearah yang tidak baik.
Masalah nilai merupakan hal yang utama dalam prenialisme,
karena ia berdasarkan pada asas-asas spranatural yaitu menerima
universal yang abadi, khususnya tingkah laku manusia. Jadi, hakikat
manusia yang pertama adalah pada jiwanya oleh karena itu, hakikat
manusia itu juga menentukan perbuatan-perbuatannya, dan persoalan
nilai adalah persoalan spiritual. Dalam aksiologi prinsip pikiran demikian
bertahan dan tetap berlaku. Secara etika, tindakaan itulah yang bersesuain
dengan sifat rasional manusia, karena manusia itu secara almaiah
condong padaa kebaikan.
Jadi, manusia sebagai subjek dalam bertingkaah laku telah
memiliki potensi kebaikan sesuai dengan kodratnya, disamping tekanan
kecenderungan-kecenderungan dan dorongan-dorongan kearaah yang
tidak baik. Tindakan yang baik adalah yang bersesuaian dengan sifat
rasional manusia. Kodrat wujud manusia yang pertama-tama tercermin
dari jiwa dan pikirannya yang disebut dengan kekuatan potensial yang
memimbing tindakan manusia menuju pada tuhan atau menjahui tuhan,
dengan kata lain melakukan kebaikan atau kejahatan. Sedangkan
kebaikan tertinggi adalah mendekatkan diri pada tuhan sesudah berfikir
rasional.6 Manusia merupakan makhluk animal rasionale dengan
demikian tujuan pendidikan adalah mengembangkan akal budi dan nilai-

6
Ibid, hal.114-115
9
nilai dalam jiwa peserta didik agar dapat memiliki kebijaksanaan dalam
kehidupan

C. Pandangan Perenealisme tentang Pendidikan, Peserta Didik, Guru, dan


Kurikulum
a. Pandangan Perenealisme tentang Peserta Didik
Perenealisme dalam kontekss pendidkan dibangun atas dasar suatu
keyakinan ontologisnya, bahwa batang tubuh pengetahuan yang
berlangsung dalam ruang dan waktu ini mestilah terbentuk melalui dasar-
dasar pendidikan yang diterima manusia dalam kesejarahannya. Menurut
Robert M. Hutchins, tugas pokok pendidikan adalah pengajaran.
Pengajaran menunjukkan pengetahuan sedangkan pengetahuan itu sendiri
adalah kebenaran. Kebenaran pada setiap manusia adalah sama, oleh
karena itu dimanapun dan kapanpun ia akan selalu sama.
Pendidikan menurut aliran ini bukanlah semacam imitasi kehidupan,
tetapi tidak lain adalah suatu upaya mempersiapkan kehidupan. Menurut
aliran ini, sekolah tidak akan pernah dapat menjadi situasi kehidupan
yang riil. Anak dalam hal ini menyusun rancangan dimana ia belajar
dengan prestasi-prestasi warisan budaya masa lalu. Tugasnya kemudian
adalah bagaimana merealisasikan nilai-nilai yang diwariskan kepadanya
dan jika memungkinkan meningkatkan dan menambah prestasi-prestasi
melalui usaha sendiri.
Prinsip mendasar pendidikan bagi aliran pereneal ini adalah
membantu subjek-subjek didik menemukan dan menginternalisasikan
kebenaran abadi, karena memang kebenarannya mengandung sifat
universal dan tetap. Kebenaran-kebenaran seperti ini hanya dapat
diperoleh subjek-subjek didik melalui latihan-latihan intelektual yang
dapat menjadikan pikirannya teratur dan tersistematisasi sedemikian
rupa. Hal ini semakin penting terutama jika dikaitkan dengan persoalan
pengembangan spiritual manusia. Aliran ini meyakini bahwa pendidikan
10
adalah transfer ilmu pengetahuan tentang kebenaran abadi. Pengetahuan
adalah suatu kebenaran sedangkan kebenaran selamanya memiliki
kesamaan. Oleh karena itu pula maka penyelenggaraan pendidikan pun
dimana-mana mestilah sama. Pendidikan mestilah mencari pola agar
subjek-subjek didik dapat menyesuaikan diri bukan pada dunia saja,
tetapi hendaklah pada hakikat-hakikat kebenaran. Penyesuaian diri pada
kebenaran merupakan tujuan belajar itu sendiri. Oleh karena itu, para
pereneal memandang bahwa tuntutan tertinggi dalam belajar adalah
latihan dan disiplin mental. Para perenealis percaya, bahwa pemikiran
subjek-subjek didik akan menjadi nyata melalui pelatihan-pelatihan
intelektual. Realisasi diri sangat tergantung pada disiplin diri, sedangkan
disiplin diri dapat diraih melalui disiplin eksternal. Berdasarkan
pemikiran ini, maka perenealis menyimpulkan bahwa belajar adalah
upaya keras untuk memperoleh sesuatu ilmu pengetahuan melalui
disiplin tinggi dalam latihan pengembangan prinsip-prinsip rasional. Sifat
rasional manusia yang diyakini aliran ini telah menjadikannya meyakini
kebebasan individu, sehingga kebebasan merupakan asas yang mesti
dihargai dalam penyelenggaraan pendidikan sehingga subjek didik
terbiasa berbuat atas kehendak dan kemauan sendiri yang akan berujung
pada penanaman rasa tanggung jawab. Makna hakiki dari belajar
menurut aliran ini adalah belajar untuk berpikir. Aliran ini meyakini
bahwa dengan cara latihan berpikir, subjek didik akan memeiliki
senjata ampuh dalam menghadapi berbagai rintangan yang akan
menurunkan martabat kemanusiaannya.

b. Pandangan Perenealisme tentang Guru


Perenealisme membedakan belajar kepada dua wilayah besar, yaitu
wilayah pengajaran dan wilayah penemuan. Yang pertama belajar
memerlukan bantuan guru. Guru dalam hal ini memberikan pengetahuan
dan pencerahan kepada subjek-subjek didik, baik dengan cara menunjuk-
11
kan maupun menafsirkan implikasi dari pengetahuan yang diberikan.
Sedangkan yang kedua, tidak lagi memerlukan gurur, karena subjek didik
dalam pola ini diharapkan telah dapat belajar atas dasar kemampuannya
sendiri. Ketika seorang anak mengalami kegagalan dalam belajar, maka
para guru mestilah tidak menempatkan kesalahan pada kondisi yang tidak
menyenangkan. Tugas guru yang sesungguhnya adalah bagaimana ia
mampu menyelesaikan berbagai persoalan melalui pendekatan intelektual
dalam belajar yang sama bagi setiap subjek didik. Tugas guru dalam
konteks aliran ini lebih pada pembimbing daripada pemberi atau transfer
pengetahuan. Guru digambarkan sebagai tenaga ahli yang memiliki
otoritas keilmuwan tertentu, yang secara niscaya selalu siap
membimbing dan membantu subjek-subjek didiknya agar memiliki
kemampuan intelektual dan spiritual yang memadai untuk menghadapi
problema kehidupannya. Tidak ada alasan bagi guru untuk memberikan
sikap yang tidak menyenangkan hanya karena anak mengalami
kegagalan dalam proses humanitasnya. Melalui pendekatan penyadaran
akan intelektualitas, anak akan dapat diarahkan dan dikembangkan pada
penyempurnaan kemanusiaannya.

c. Pandangan Perenealisme tentang Kurikulum


Mengingat tugas utama pendidikan dalam aliran perenealisme adalah
mempersiapkan subjek didik ke arah kematangan rasionalitas dalam
menghadapi berbagai problema dan kesulitan kehidupan, maka aliran ini
pun tidak mengabaikan pengalaman langsung ataupun tidak langsung
yang diperlukan subjek didik dalam mempelajari kebutuhan riilnya.
Berdasarkan konsep dasar tersebut, perenealisme lebih cenderung pada
subject-centred dalam kurikulum maupun dalam metode dan pendekatan
yang ditempuh dalam proses pembelajarannya. Dalam kurikulum akan
terlihat materi-materi yang mengarah pada kepentingan dan kebutuhan
subjek didiknya dalam menumbuh-kembangkan potensi berpikir kreatif
12
yang dimilikinya, sedangkan dalam metode mengutamakan metode yang
selalu menjaga kebebasan berpikir individu, baik melalui diskusi dan
pemecahan masalah maupun dalam penelitian dan penemuan. Aliran
perenealisme meyakini bahwa tugas sekolah tingkat dasar adalah
pendidikan watak dengan mengaksentuasikan perhatian pada kebajikan-
kebajikan moral. Untuk kepentingan ini, perlu adanya upaya penanaman
dan latihan yang memadai agar kebajikan moral itu benar-benar tertanam
secara kuat. Pada tingkat perguruan tinggi, aliran ini menekankan bahwa
materi pembelajaran mestilah bersendikan filsafat metafisika, karena
filsafat ini pada dasarnya adalah cinta intelektual dari Tuhan, dan hanya
dengan cara demikian, dunia akademi ditopang oleh sendi yang kuat
dlam menghadapi kehidupannya dalam masyarakat.7
Sehingga dapat disimpulkan bahwa Perenealisme memandang siswa sebagai
objek, guru sebagai subjek, dan kurikulum tidak fleksibel yaitu menekankan
pada pelajaran bahasa, budaya, matematika, dan sejarah.

7
Muhmidayeli, Op. Cit. hal. 163-166
BAB III
KESIMPULAN
1. Perenealisme dapat diartikan abadi atau kekal dan dapat berarti pula tiada
akhir, esensi kepercayaan filsafat perenealisme adalah berpegang pada nilai-
nilai atau norma-norma yang bersifat abadi
2. Secara ontologis, perenealisme membedakan suatu realita dalam aspek-aspek
perwujudannya. Secara perenialisme, ilmu pengetahuan merupakan filsafat
tertinggi, karenan denga ilmu pengetahuan lah seseorang dapat berfikir secara
induktif. Jadi, dengan berfikir maka kebenaran itu akan dapat di hasilkan.
Perenealisme memandang masalah nilai berdasarkan asas-asas supernatural,
yakni menerima universal yang abadi. Masalah nilai merupakan hal yang
utama dalam perenealis.
3. Perenealisme memandang pendidikan sebagai suatu upaya untuk
mempersiapkan kehidupan. Prinsip dasar pendidikan bagi perenealisme
adalah membantu subjek didik menemukan dan menginternalisasikan
kebenaran abadi, karena memang kebenarannya mengandung sifat universal
dan tetap. Tugas seorang subjek didik menurut aliran ini adalah mempelajari
berbagai karya dalam berbagai literatur filsafat, sejarah, dan sains. konteks
guru pada aliran ini adalah sebagai pembimbing, perenealisme cenderung
menerka kurikulum dan metode subject-centred.

13
DAFTAR PUSTAKA
Gunawan, Adi. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Kartika.
Hidayat, Komaruddin dan Muhammad Wahyuni Nafis. 2003. Agama Masa Depan
Filsafat Perenial. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Jalaluddin dan Abdullah Idi. 2013. FILSAFAT PENDIDIKAN: Manusia, Filsafat,
dan Pendidikan. Depok: PT RajaGrafindo Persada.
Muhmidayeli. 2011. Filsafat Pendidikan. Bandung: PT Refika Aditama.

14

Anda mungkin juga menyukai