PENDIDIKAN ISLAM
Dosen Pengampu
ROBI SEPRYA,M.Pd .I
Disusun oleh:
Kelompok 6
SASTI ERANI
NIM. 1238200738
CHOLIDATISSAJIDAH
NIM 1238200703
HALAMAN COVER ........................................................................... i
DAFTAR PUSTAKA
BAB
PENDAHULUAN
ALIRAN PERENIALISME
3 Zuhairini dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Penerbit Bumi Aksara, 2008) hlm 27
tugas filsafat dan filsafat pendidikan. Beberapa tokoh pendukung gagasan ini
adalah: Robert Maynard Hutchins dan Mortimer Adler.4
Pendukung filsafat perenialis adalah Robert Maynard Hutchins dan
jejak perkembangan filsafat perenial jauh lebih tampak dalam konteks sejarah
perkembangan intelektual barat, apalagi sebagai jenis filsafat khusus, filsafat
ini mendapat elaborasi sistem dari para perenialis barat, seperti Agostino
Steunco. Namun, filsafat perenial atau yang sering disebut sebagai
kebijaksanaan universal, disebabkan oleh beberapa alasan yang kompleks
secara berangsur-angsur mulai runtuh menjelang akhir abad ke-16. Salah satu
alasan yang paling dominan adalah perkembangan yang pesat dari filsafat
materialis. Filsafat materialis ini membawa perubahan yang radikal terhadap
paradigma hidup dan pemikiran manusia pada saat itu.
yang merentang sejak abad ke-16 hingga akhir abad ke-20. Memasuki akhir
abad ke-20 dan awal abad ke-21, sehingga pada tiap-tiap bentuk pemikiran
baru yang muncul hingga pada zaman kontemporer. Dan zaman kontemporer
inilah dapat dikatakan zaman kebangkitan filsafat perenialisme.5
Aliran filsafat perenialisme menegaskan bahwa pendidikan diarahkan
pada upaya pengembangan kemampuan intelektual anak didik melalui
pemberian pengetahuan yang bersifat abadi, universal, dan absolut.6
Adapun jalan yang ditempuh adalah dengan cara regresif yakni kembali
kepada prinsip umum yang ideal yang dijadikan dasar tingkat pada zaman
kuno dan abad pertengahan. Prinsip umum yang ideal itu berhubungan
dengan nilai ilmu pengetahuan, realita dan moral yang mempunyai peranan
penting dan pemegang kunci bagi keberhasilan pembangunan kebudayaan
pada abad ini. Prinsip yang bersifat eksiomatis ini tidak terikat waktu dan
tetap berlaku dalam perjalanan sejarah.
Perkembangan konsep-konsep perenialisme banyak dipengaruhi oleh
tokoh-tokoh seperti Plato, Aristoteles, dan thomas Aquinas. Dalam pokok
pikirannya, Plato menguraikan ilmu pengetahuan dan nilai sebagai
manifestasi dan hukum universal yang abadi dan ideal. Sehingga, ketertiban
sosial hanya akan mungkin terwujud bila ide itu menjadi tolok ukur yang
memiliki asas normatif dalam semua aspek kehidupan.7
Asas-asas filsafat perenialisme bersumber pada filsafat kebudayaan
yang mempunyai dua sayap, yaitu perenialisme yang theologis yang ada
dalam pengayoman supremasi gereja Katholik, khususnya menurut ajaran dan
interpretasi Thomas Aquinas, dan perenialisme sekular yakni yang berpegang
kepada ide dan cita filosofis Plato dan Aristoteles.
5http://luphypamali.blogspot.com/2012/03/ Pengertian-Aliran-Perenialisme-dan-
Esensialisme-Menurut-Para-Ahli. html/ di akses 29 sept 2016
6 Abuddin Nata. Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005) hlm 26
7 Parasetya. Filsafat Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2002) hlm 35
Pendapat di atas sejalan dengan apa yang dikemukakan H.B
Hamdani Ali8 dalam bukunya filsafat pendidikan, bahwa Aristoteles sebagai
mengembangkan philosophia perenis, yang sejauh mana seseorang dapat
menelusuri jalan pemikiran manusia itu sendiri. ST. Thomas Aquinas telah
mengadakan beberapa perubahan sesuai dengan tuntunan agama Kristen
tatkala agama itu datang. Kemudian lahir apa yang dikenal dengan nama
Neo-Thomisme. Tatkala Neo-Thomisme masih dalam bentuk awam maupun
dalam paham gerejawi sampai ke tingkat kebijaksanaan, maka ia terkenal
dengan nama perenialisme.
Pandangan-pandangan Thomas Aquinas di atas berpengaruh besar
dalam lingkungan gereja Katholik. Demikian pula pandangan-pandangan
aksiomatis lain seperti yang diutarakan oleh Plato dan Aristoteles. Lain dari
Menurut plato, “dunia ideal”, bersumber dari ide mutlak, yaitu Tuhan.
Kebenaran, pengetahuan, dan nilai sudah ada sebelum manusia lahir yang
semuanya bersumber dari ide yang mutlak tadi. Manusia tidak
mengusahakan dalam arti menciptakan kebenaran, pengetahuan, dan nilai
moral, melainkan bagaimana manusia menemukan semuanya itu. Dengan
mengunakan akal dan rasio, semuanya itu dapat ditemukan kembali oleh
manusia.
2. Aristoteles
Aristoteles (348-322 SM), adalah murid plato, namun dalam
(sebetulnya dengan filsafat Aristoteles, sebab pada waktu itu yang dijadikan
dasar pemikiran logis adalah neoplationalisme dan plotinus yang
dikembangkan oleh St. Agustinus. Menurut Aquinas, tidak dapat
pertentangan antara filsafat (khususnya filsafat Aristoteles) dengan ajaran
agama (kristen). Keduanya dapat berjalan dalam jalannya masing-masing.
Thomas aquinas secara terus menerus dan tanpa ragu-ragu mendasarkan
filsafatnya kepada filsafat Aristoteles.
Pandangan tentang realitas, ia kemukakan, bahwa segala sesuatu yang
ada karena diciptakan oleh Tuhan, dan tergantung kepada-Nya. Mengalir
dari Tuhan bagaikan air yang mengalir dari sumbernya. Thomas Aquinas
menekankan dua hal dalam pemikiran tentang realitanya, yaitu dunia tidak
diadakan dari semacam bahan dasar dan penciptaan tidak terbatas untuk
suatu saat saja.
Dalam masalah pengetahuan, Thomas Aquina mengemukakan bahwa
pengetahuan itu diperoleh sebagai persentuhan dunia luar dan akal budi
menjadi pengetahuan, selain pengetahuan manusia yang bersumber dari
wahyu, manusia dapat memperoleh pengetahuan dengan melaui pengalaman
dan rasionya, (disini dia mengemukakan pandangan filsafat idealisme,
asas normatif dalam tata pemerintahan. Maka tujuan utama pendidikan adalah
“membina pemimpin yang sadar dan mempraktikkan asas-asas normatif itu
dalam semua aspek kehidupan. Menurut Plato, manusia secara kodrati
memiliki tiga potensi, yaitu: nafsu, kemauwan dan pikiran. Pendidikan
hendaknya berorientasi pada potensi itu dan kepada masyarakat, agar supaya
kebutuhan yang ada disetiap lapisan masyarakat bisa terpenuhi. Ide-ide Plato
itu dikembangkan oleh Aristoteles dengan lebih mendekat pada dunia
kenyataan. Bagi Aristoteles, tujuan pendidikan adalah “kebahagiaan”. Untuk
mencapai tujuan pendidikan itu, maka aspek jasmani, emosi yang intelek
10
harus dikembangkan secara seimbang.
Seperti halnya prinsip-prinsip Plato dan Aristoteles, pendidikan yang
dimaksud oleh Thomas Aquinas adalah sebagai “Usaha mewujudkan
kapasitas yang ada dalam individu agar menjadi aktualitas” aktif dan nyata.
Dalam hal ini peranan guru adalah mengajar dan mem beri bantuan kepada
anak didik untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada pada dirinya.11
Pandangan Perenialisme memandang masa lampau adalah masa yang
cukup dijadikan pedoman, sementara pendidikan Islam memandang
pendidikan perlu pencapaian tujuan. Oleh karena itu, tugas pendidikan Islam
senantiasa dilakukan terus menerus dan tanpa batas. Hal ini karena hakikat
pendidikan Islam merupakan proses tanpa akhir. Sejalan dengan konsensus
universal yang ditetapkan oleh Allah swt dan Rasul-Nya:
10 M. Solihin. Perkembangan Filsafat dari Klasik hingga Modern. (Bandung: Pustaka
pendekatan, yaitu:
1. Pendidikan dipandang sebagai pengembangan potensi.
2. Pendidikan dipandang sebagai pewaris budaya.
3. Pendidikan dipandang sebagai interaksi antar potensi dan budaya.
Menurut Hasan Langgulung ketiga pendekatan itu tidak dapat berjalan
sendiri-sendiri, karena dimungkinkan adanya ketinggian penekanan pada satu
segi, sementara segi-segi lain proporsinya lebih kecil. Oleh sebab itu ia harus
berjalan secara sinergitas.12
Prinsip-prinsip pendidikan perenialisme tersebut perkembangannya
dalam P1e3r sUpyeokhti fS Paednudlliodhik. aLno Ics lCaimt .h (lJmur n7a3l al-Asas, Vol. III, No.
1, April 2015) hlm 173
Manusia sebagai makhluk yang memiliki sifat rasional dan sifat itulah yang
melahirkan konsep dasar tentang kebebasan. Manusia memiliki senjata yang
bersifat rasional tersebut untuk dapat menghilangkan belenggu atau rintangan
kebenaran yang pasti dan abadi. Anak harus diberi pelajaran yang
pasti yang akan memperkenalkannya dengan keabadian dunia. Anak
tidak boleh dipaksa untuk mempelajari pelajaran yang tampaknya
penting suatu saat saja.
4. Pendidikan bukan merupakan peniruan dari hidup melainkan
merupakan suatu persiapan untuk hidup. Di sekolah anak
berkenalan dengan hasil yang terbaik dari warisan sosial budaya.
5. Siswa seharusnya mempelajari karya-karya besar dalam literatur
yang menyangkut sejarah, filsafat, seni, kehidupan sosial, politik
dan ekonomi.
M. Amin Abdullah14 menyebutkan bahwa ada empat model pemikiran
keislaman, yaitu model tekstual salafi, model tradisional mazhabi, model
modernis dan model neo modernis. Dari empat model ini, tekstual salafi
dianggap lebih dekat dengan perenialisme. Tektual salafi berupaya
memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung di dalam
Al-Quran dan Sunnah dengan melepaskan diri dari dan kurang
mempertimbangkan situasi kongkrit dinamika pergumulan masyarakat.
Masyarakat ideal yang diinginkan adalah masyarakat era masa Nabi
Muhammad saw. dan para sahabat yang menyertainya. Rujukan utama dari
pemikirannya adalah kitab Suci Al-Quran dan kitab-kitab klasik tanpa
menggunakan pendekatan keilmuan yang lain. Perbedaan model ini dengan
perenial terlihat dari sisi keinginan kaum perenial untuk kembali kepada jiwa
yang menguasai abad pertengahan, sementara tekstual salafi lebih kepada era
Nabi Muhammad saw.dan para sahabatnya.
14
kenabian dan sahabat). Namun pada intinya keduanya lebih berwatak regresif.
Model pemikiran tekstualis salafi juga beranggapan bahwa nilai-nilai
kehidupan pada masyarakat salaf perlu dijunjung tinggi dan dilestarikan
keberadaannya hingga sekarang, baik nilai-nilai insyaniyah maupun nilai-
nilai Illahiyah, karena masyarakat salaf dipandang sebagai masyarakat yang
ideal. Karena itu keduanya juga berwatak konservatif, dalam arti sama-sama
hendak mempertahankan nilai, kebiasaan dan tradisi masyarakat terdahulu.
Dalam bangunan pemikiran filsafat pendidikan Islam, model ini dapat
dikatagorikan sebagai tipologi perennial tekstual salafi dan sekaligus
15
sikap dan cara berfikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada nilai,
norma dan adapt kebiasaan serta pola-pola piker yang ada secara turun
menurun dan tidak mudah terpengaruh oleh situasi sosio histories masyarakat
yang sudah mengalami perubahan dan perkembangan sebagai akibat dari
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan watak mazhabinya
diwujudkan dalam bentuk kecenderungannya untuk mengikuti aliran,
pemahaman atau doktrin, serta pola-pola pemikiran sebelumnya yang
dianggap sudah relative mapan.
Dalam konteks pemikiran filsafat pendidikan Islam, tipologi ini
lebih.
f. Kurikulum
Kurikulum menurut kaum perenialis harus menekankan
pertumbuhan intelektual siswa pada seni dan sains. Untuk
menjadi “terpelajar secara cultural” para siswa harus berhadapan
dengan bidang seni dan sains yang merupakan karya terbaik yang
diciptakan oleh manusia.
Dua dari pendukung filsafat perenialis adalah Robert Maynard
Hutchins, dan Mortimer Adler. Sebagai rektor the University of Chicago,
umum yang menjadi pandangan hidup yang kokoh pada zaman kuno
dan abad pertengahan. Dalam pandangan perenialisme pendidikan
lebih banyak mengarahkan perhatiannya pada kebudayaan ideal yang
telah teruji dan tangguh.
b. Kurikulum menekankan pada perkembangan intelektual siswa pada
seni dan sains. Untuk menjadi terpelajar secara kultural, para siswa
harus berhadapan pada bidang-bidang seni dan sains yang merupakan
karya terbaik dan paling signifikan yang diciptakan oleh manusia.
c. Perenialisme tetap percaya terhadap asas pembentukan kebiasaan
PENUTUP
A. Kesimpulan
Beberapa pandangan tokoh perenialisme terhadap pendidikan:
1.
Menurut Plato adalah Program pendidikan yang ideal harus
didasarkan atas paham adanya nafsu, kemauan, dan akal. Sedangkan
tujuan utama pendidikan adalah membina pemimpin yang sadar
akan asas normative dan melaksanakannya dalam semua aspek
kehidupan.
2. Menurut Aristoteles adalah Perkembangan budi merupakan titik
pusat perhatian pendidikan dengan filsafat sebagai alat untuk
http://luphypamali.blogspot.com/2012/03 /Pengertian-Aliran-Perenialisme-dan-
Esensialisme-Menurut-Para-Ahli. html/ di akses 29 sept 2016