Anda di halaman 1dari 24

ALIRAN PERENIALISME DALAM PANDANGAN FILSAFAT

PENDIDIKAN ISLAM

Tugas Mata Kuliah


Filsafat Pendidikan Islam

Dosen Pengampu
ROBI SEPRYA,M.Pd .I

Disusun oleh:
Kelompok 6

SASTI ERANI
NIM. 1238200738
CHOLIDATISSAJIDAH
NIM 1238200703

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH ( STIT AL KIFAYAH )

PEKAN BARU RIAU

TA. 2020 / 2021


DAFTAR ISI

HALAMAN COVER  ........................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN  ............................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN  ................................................................... 2

A.  Latar Belakang Aliran Perenialisme .............................. 2

B.  Tokoh-tokoh dalam Pemikiran Perenialisme ............... 5

C.  Pengaruh Aliran Perenialisme dalam Dunia Pendidikan 7

D.  Konsep Dasar Aliran Perenialisme dalam Pendidikan 13

E.  Analisis Kritis terhadap Konsep Aliran Perenialisme 16

BAB II PENUTUP  .............................................................................. 23

A.  Kesimpulan ........................................................................ 23

B.  Saran ................................................................................... 23

DAFTAR PUSTAKA
 BAB

PENDAHULUAN

Sejarah perkembangan filsafat pada umumnya dimulai dari mitologi yang


 berkembang di masyarakat Yunani Kuno. Sebelum filsafat berdiri dengan jati
dirinya yang asli sebagai filsafat, mitos merupakan filsafat itu sendiri yang
menurut penciptanya sama sekali bukan mitos, melainkan cara berpikir empiris,
logis, dan realistis. Perkembangan filsafat mulai Yunani Kuno hingga zaman
modern dan pasca-modernisme mengantarkan kita pada zaman kegemilangan
 pengetahuan bagi kehidupan manusia di dunia. Perkembangan tersebut
sesungguhnya merupakan bagian dari terbentuknya filsafat pendidikan. Latar
 belakang setiap perkembangan mengisyaratkan bahwa pendidikan sangat penting
untuk kehidupan umat manusia.1 
Filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat umum. Filsafat
 pendidikan pada dasarnya menggunakan cara kerja filsafat dan akan
menggunakan hasil-hasil dari filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran manusia
tentang realitas, pengetahuan dan nilai.  Brubacher mengelompokkan filsafat
 pendidikan pada dua kelompok besar, yaitu filsafat pendidikan “progresif”, dan
filsafat pragmatisme dari John Dewey, dan romatik naturalism dari Rooesseau.
Yang kedua, didasari oleh filsafat idealism, realisme humanism (humanisme
rasional), dan supernaturalisme atau realisme religius. Filsafat-filsafat tersebut
melahirkan filsafat pendidikan esensialisme, perenialisme, dan sebagainya.2 
Melalui makalah ini, penulis akan membahas tentang Aliran Perenialisme
dalam Filsafat Pendidikan Islam.
Dalam makalah ini penulis akan membuat rumusan masalah sebagai berikut:
1.  Sejarah aliran perenialisme di Barat 
2.  Bagaimana aliran perenialisme dalam pandangan filsafat pendidikan
Islam 

21 UAynoash Saldauhlulodhin.  .P  Feinlsgaafnata Pr eFnidlsidaifkaat nP.e


(nBdaidnidkuang. :( PBuasntdakuan gS:e Atialf,a 2b0e1ta1,) 2. 0h1lm2) 5 h6lm 70
BAB II

ALIRAN PERENIALISME

DALAM PANDANGAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

A.   Latar Belakang Aliran Perenialisme


Perenialisme diambil dari kata perennial, diartikan sebagai “continuing
throughout the whole year” atau “lasting for a very long time” atau secara
sederhananya diartikan abadi atau kekal 3. Aliran filsafat ini berpegang pada
kepercayaan terhadap nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat kekal.
Aliran Perenialisme melihat bahwa akibat dari kehidupan zaman
modern telah menimbulkan krisis diberbagai bidang kehidupan umat
manusia. Untuk mengatasi krisis ini perenialisme memberikan jalan keluar
 berupa “kembali kepada kebudayaan masa lampau” regresive road to
culture. Oleh sebab itu perenialisme memandang penting peranan
pendidikan dalam
 proses mengembalikan keadaan manusia zaman modren ini kapada
kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal yang telah teruji
ketangguhannya.
Aliran perenialisme lahir pada abad kedua puluh. Perenialisme lahir
sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka menentang
 pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang
 baru. Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan,
ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral,
intelektual dan sosio kultual. Sikap kembali kepada masa lampau bukanlah
 berarti nostalgia, sikap yang membanggakan kesuksesan dan memulihkan
kepercayaan pada nilai-nilai asasi abad silam, tetapi berupaya menghidupkan
nilai-nilai tersebut sebab juga masih diperlukan dalam abad modern.
Perenialisme berpendapat bahwa untuk mengatasi gangguan
kebudayaan, diperlukan usaha untuk menemukan dan mengamankan
lingkungan sosio kultural, intelektual dan moral, dan inilah yang menjadi

3 Zuhairini dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Penerbit Bumi Aksara, 2008) hlm 27
tugas filsafat dan filsafat pendidikan. Beberapa tokoh pendukung gagasan ini
adalah: Robert Maynard Hutchins dan Mortimer Adler.4 
Pendukung filsafat perenialis adalah Robert Maynard Hutchins dan

Mortimer Adler. Hutchins mengembangkan suatu kurikulum berdasarkan


 penelitian terhadap Great Books  (Buku Besar Bersejarah) dan pembahasan
 buku-buku klasik. Perenialis menggunakan prinsip-prinsip yang dikemukakan
Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquino. Pandangan-pandangan Plato dan
Aristoteles mewakili peradaban Yunani Kuno serta ajaran Thomas Aquino
dari abad pertengahan. Filsafat perenialisme terkenal dengan bahasa latinnya
Philosophia Perenis. Pendiri utama dari aliran filsafat ini adalah Aristoteles
sendiri, kemudian didukung dan dilanjutkan oleh St. Thomas Aquinas sebagai
 pembaru dan reformer utama dalam abad ke-13.

Teori atau konsep pendidikan perenialisme dilatar belakangi oleh


filsafat-filsafat Plato yang merupakan bapak edialime klasik, filsafat
Aristoteles sebagai bapak realisme klasik dan filsafat Thomas Aquinas yang
mencoba memadukan antara filsafat Aristoteles dengan ajaran (filsafat) gereja
katolik yang tumbuh pada zamannya (abad pertengahan).
Kira-kira abad ke-6 hingga abad ke-15 merupakan abad kejayaan dan
keemasan filsafat perenialisme. Namun, mungkin saja perkembangan filsafat
 perenial ini hanya dalam kerengka sejalan pemikiran barat saja, melainkan
 juga terjadi di wilayah lainnya dan memang harus tetap diakui bahwasanya

 jejak perkembangan filsafat perenial jauh lebih tampak dalam konteks sejarah
 perkembangan intelektual barat, apalagi sebagai jenis filsafat khusus, filsafat
ini mendapat elaborasi sistem dari para perenialis barat, seperti Agostino
Steunco. Namun, filsafat perenial atau yang sering disebut sebagai
kebijaksanaan universal, disebabkan oleh beberapa alasan yang kompleks
secara berangsur-angsur mulai runtuh menjelang akhir abad ke-16. Salah satu
alasan yang paling dominan adalah perkembangan yang pesat dari filsafat
materialis. Filsafat materialis ini membawa perubahan yang radikal terhadap
 paradigma hidup dan pemikiran manusia pada saat itu.

4 Abdul Khobir. Filsafat Pendidikan Islam. (Pekalongan: Stain Press, 2009) hlm 62


Memasuki abad ke-18, karena pengaruh filsafat materialis, bayak aspek
relita yang diabaikan, dan yang tinggal hanyalah mekanistik belaka. Filsafat
materialis ini begitu kuat mempengaruhi pola pikir manusia abad modern

yang merentang sejak abad ke-16 hingga akhir abad ke-20. Memasuki akhir
abad ke-20 dan awal abad ke-21, sehingga pada tiap-tiap bentuk pemikiran
 baru yang muncul hingga pada zaman kontemporer. Dan zaman kontemporer
inilah dapat dikatakan zaman kebangkitan filsafat perenialisme.5 
Aliran filsafat perenialisme menegaskan bahwa pendidikan diarahkan
 pada upaya pengembangan kemampuan intelektual anak didik melalui
 pemberian pengetahuan yang bersifat abadi, universal, dan absolut.6 
Adapun jalan yang ditempuh adalah dengan cara regresif yakni kembali
kepada prinsip umum yang ideal yang dijadikan dasar tingkat pada zaman

kuno dan abad pertengahan. Prinsip umum yang ideal itu berhubungan
dengan nilai ilmu pengetahuan, realita dan moral yang mempunyai peranan
 penting dan pemegang kunci bagi keberhasilan pembangunan kebudayaan
 pada abad ini. Prinsip yang bersifat eksiomatis ini tidak terikat waktu dan
tetap berlaku dalam perjalanan sejarah.
Perkembangan konsep-konsep perenialisme banyak dipengaruhi oleh
tokoh-tokoh seperti Plato, Aristoteles, dan thomas Aquinas. Dalam pokok
 pikirannya, Plato menguraikan ilmu pengetahuan dan nilai sebagai
manifestasi dan hukum universal yang abadi dan ideal. Sehingga, ketertiban

sosial hanya akan mungkin terwujud bila ide itu menjadi tolok ukur yang
memiliki asas normatif dalam semua aspek kehidupan.7 
Asas-asas filsafat perenialisme bersumber pada filsafat kebudayaan
yang mempunyai dua sayap, yaitu perenialisme yang theologis yang ada
dalam pengayoman supremasi gereja Katholik, khususnya menurut ajaran dan
interpretasi Thomas Aquinas, dan perenialisme sekular yakni yang berpegang
kepada ide dan cita filosofis Plato dan Aristoteles.

5http://luphypamali.blogspot.com/2012/03/ Pengertian-Aliran-Perenialisme-dan-
 Esensialisme-Menurut-Para-Ahli. html/ di akses 29 sept 2016
6 Abuddin Nata. Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005) hlm 26
7 Parasetya. Filsafat Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2002) hlm 35
  Pendapat di atas sejalan dengan apa yang dikemukakan H.B
Hamdani Ali8 dalam bukunya filsafat pendidikan, bahwa Aristoteles sebagai
mengembangkan philosophia perenis, yang sejauh mana seseorang dapat

menelusuri jalan pemikiran manusia itu sendiri. ST. Thomas Aquinas telah
mengadakan beberapa perubahan sesuai dengan tuntunan agama Kristen
tatkala agama itu datang. Kemudian lahir apa yang dikenal dengan nama
 Neo-Thomisme. Tatkala Neo-Thomisme masih dalam bentuk awam maupun
dalam paham gerejawi sampai ke tingkat kebijaksanaan, maka ia terkenal
dengan nama perenialisme.
Pandangan-pandangan Thomas Aquinas di atas berpengaruh besar
dalam lingkungan gereja Katholik. Demikian pula pandangan-pandangan
aksiomatis lain seperti yang diutarakan oleh Plato dan Aristoteles. Lain dari

itu juga semuanya mendasari konsep filsafat pendidikan perenialisme.


 Neo-Scholastisisme atau Neo-Thomisme ini berusaha untuk menyesuaikan
ajaran-ajaran Thomas Aquinas dengan tuntutan abad ke dua puluh. Misalnya
mengenai perkembangan ilmu pengetahuan cukup dimengerti dan disadari
adanya. Namun semua yang bersendikan empirik dan eksprimentasi hanya
dipandang sebagai pengetahuan yang fenomenal, maka metafisika
mempunyai kedudukan yang lebih penting. Mengenai manusia di kemukakan
 bahwa hakikat pengertiannya adalah ditekankan pada sifat spiritualnya.
Simbol dari sifat ini terletak pada peranan akal yang karenanya manusia dapat

mengerti dan memahami kebenaran-kebenaran yang fenomenal maupun yang


 bersifat religi.

B.   Tokoh-tokoh dalam Pemikiran Perenialisme 


1.  Plato
Plato (427-347 SM), hidup pada zaman kebudayaan yang sarat dengan
ketidakpastian, yaitu filsafat sofisme. Ukuran kebenaran dan ukuran moral
merupakan sofisme manusia secara pribadi, sehingga pada zaman itu tidak
ada kepastian dalam moral, tidak ada kepastian dalam kebenaran, tergantung
 pada masing-masing individu. Plato berpandangan bahwa realitas yang
hakiki itu tetap tidak berubah. Realitas atau kenyataan-kenyataan itu tidak
ada pada diri manusia dari asalnya, yang berasal dari realitas yang hakiki.

Menurut plato, “dunia ideal”, bersumber dari ide mutlak, yaitu Tuhan.
Kebenaran, pengetahuan, dan nilai sudah ada sebelum manusia lahir yang
semuanya bersumber dari ide yang mutlak tadi. Manusia tidak
mengusahakan dalam arti menciptakan kebenaran, pengetahuan, dan nilai
moral, melainkan bagaimana manusia menemukan semuanya itu. Dengan
mengunakan akal dan rasio, semuanya itu dapat ditemukan kembali oleh
manusia.
2.   Aristoteles
Aristoteles (348-322 SM), adalah murid plato, namun dalam

 pemikiranya ia mereaksi terhadap filsafat gurunya. Yaitu idealisme. Hasil


 pemikirannya disebut filsafat realisme (realism clasik). Cara berfikir
Arithoteles berbeda dengan gurunya Plato, yang menekankan rasional
spekulatif. Arithoteles mengambil cara berfikir rasional empiris realitas. Ia
mengajarkan cara berfikir atas prinsip realitas, yang lebih dekat dengan
alam kehidupan manusia sehari-hari.
Aristoteles hidup pada abad ke empat sebelum masehi, namun ia
dinyatakan sebagai pemikir abad pertengahan. Karya-karya Aristoteles
merupakan dasar berfikir abad pertengahan yang melahirkan renaissance.

Sikap positifnya terhadap inkuiri menyebabkan ia mendapat sebutan sebagai


 bapak sains moderen. Kebajikan akan menghasilkan kebahagiaan dan
kebajikan bukanlah pernyataan atau perenungan pasif, melalaikan
merupakan sikap kemauan yang baik dari manusia.
Menurut Aristoteles, manusia adalah makhluk materi dan rohani
sekaligus. Sebagai materi, ia menyadari bahwa manusia dalam hidupnya
dalam kondisi alam materi dan sosial. Sebagai makhluk rohani manusia
sadar akan menuju pada proses yang lebih tinggi yang menuju kepada
manusia ideal dan manusia sempurna.
3.   Thomas Aquinas
Thomas Aquinas mencoba mempertemukan satu pertentangan yang
muncul pada waktu itu, yaitu antara ajaran kristen dengan filsafat

(sebetulnya dengan filsafat Aristoteles, sebab pada waktu itu yang dijadikan
dasar pemikiran logis adalah neoplationalisme dan plotinus yang
dikembangkan oleh St. Agustinus. Menurut Aquinas, tidak dapat
 pertentangan antara filsafat (khususnya filsafat Aristoteles) dengan ajaran
agama (kristen). Keduanya dapat berjalan dalam jalannya masing-masing.
Thomas aquinas secara terus menerus dan tanpa ragu-ragu mendasarkan
filsafatnya kepada filsafat Aristoteles.
Pandangan tentang realitas, ia kemukakan, bahwa segala sesuatu yang
ada karena diciptakan oleh Tuhan, dan tergantung kepada-Nya. Mengalir

dari Tuhan bagaikan air yang mengalir dari sumbernya. Thomas Aquinas
menekankan dua hal dalam pemikiran tentang realitanya, yaitu dunia tidak
diadakan dari semacam bahan dasar dan penciptaan tidak terbatas untuk
suatu saat saja.
Dalam masalah pengetahuan, Thomas Aquina mengemukakan bahwa
 pengetahuan itu diperoleh sebagai persentuhan dunia luar dan akal budi
menjadi pengetahuan, selain pengetahuan manusia yang bersumber dari
wahyu, manusia dapat memperoleh pengetahuan dengan melaui pengalaman
dan rasionya, (disini dia mengemukakan pandangan filsafat idealisme,

realisme, dan ajaran gerejanya). Filsafat aquinas disebut tomisme. Kadang-


kadang orang tidak membedakan antara neotonisme dengan perenialisme.9 

C.   Pengaruh Aliran Perenialisme dalam Dunia Pendidikan


Dalam pendidikan, kaum perenialis berpandangan bahwa dalam dunia
yang tidak menentu dan penuh kekacauan serta membahayakan, seperti
halnya yang kita rasakan dewasa ini, tidak ada satupun yang lebih bermanfaat
daripada kepastian tujuan pendidikan, serta kestabilan dalam perilaku
 pendidik.

9 Anas Salahudin. Loc.Cit. hlm 57-59


Pokok pikiran Plato tentang ilmu pengetahuan dan nilai-nilai adalah
manifestasi dari pada hukum universal yang abadi dan sempurna yaitu ideal,
sehingga ketertiban sosial hanya akan mungkin bila ide itu menjadi ukuran,

asas normatif dalam tata pemerintahan. Maka tujuan utama pendidikan adalah
“membina pemimpin yang sadar dan mempraktikkan asas-asas normatif itu
dalam semua aspek kehidupan. Menurut Plato, manusia secara kodrati
memiliki tiga potensi, yaitu: nafsu, kemauwan dan pikiran. Pendidikan
hendaknya berorientasi pada potensi itu dan kepada masyarakat, agar supaya
kebutuhan yang ada disetiap lapisan masyarakat bisa terpenuhi. Ide-ide Plato
itu dikembangkan oleh Aristoteles dengan lebih mendekat pada dunia
kenyataan. Bagi Aristoteles, tujuan pendidikan adalah “kebahagiaan”. Untuk
mencapai tujuan pendidikan itu, maka aspek jasmani, emosi yang intelek
10
harus dikembangkan secara seimbang.  
Seperti halnya prinsip-prinsip Plato dan Aristoteles, pendidikan yang
dimaksud oleh Thomas Aquinas adalah sebagai “Usaha mewujudkan
kapasitas yang ada dalam individu agar menjadi aktualitas” aktif dan nyata.
Dalam hal ini peranan guru adalah mengajar dan mem beri bantuan kepada
anak didik untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada pada dirinya.11 
Pandangan Perenialisme memandang masa lampau adalah masa yang
cukup dijadikan pedoman, sementara pendidikan Islam memandang
 pendidikan perlu pencapaian tujuan. Oleh karena itu, tugas pendidikan Islam

senantiasa dilakukan terus menerus dan tanpa batas. Hal ini karena hakikat
 pendidikan Islam merupakan proses tanpa akhir. Sejalan dengan konsensus
universal yang ditetapkan oleh Allah swt dan Rasul-Nya:

 🟏 


    
“dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini
(ajal).” (QS. 15: 99).

10  M. Solihin.  Perkembangan Filsafat dari Klasik hingga Modern.  (Bandung: Pustaka

Setia. C1e1t  ZI,u 2h0a0ir7i)n hi,l dmk k8.8 Loc. Cit hlm 29


Demikian juga tugas yang diberikan pada lembaga pendidikan Islam
 bersifat dinamis dan progresif mengikuti kebutuhan anak didik dalam arti
yang luas. Untuk menelaah tugas pendidikan Islam, dapat dilihat dari tiga

 pendekatan, yaitu: 
1.   Pendidikan dipandang sebagai pengembangan potensi.
2.  Pendidikan dipandang sebagai pewaris budaya.
3.  Pendidikan dipandang sebagai interaksi antar potensi dan budaya.
Menurut Hasan Langgulung ketiga pendekatan itu tidak dapat berjalan
sendiri-sendiri, karena dimungkinkan adanya ketinggian penekanan pada satu
segi, sementara segi-segi lain proporsinya lebih kecil. Oleh sebab itu ia harus
 berjalan secara sinergitas.12 
Prinsip-prinsip pendidikan perenialisme tersebut perkembangannya

telah mempengaruhi sistem pendidikan modern, seperti pembagian kurikulum


untuk sekolah dasar, menengah perguruan tinggi dan pendidikan orang
dewasa.
Mohammad Noor Syam (1984) mengemukakan pandangan
 perenialisme, bahwa pendidikan harus lebih mengarahkan pusat perhatiannya
 pada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh. Perenialisme
memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan
keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan ideal. Perenialisme
tidak melihat jalan yang meyakinkan, selain kembali pada prinsip-prinsip

yang telah sedemikian rupa membentuk sikap kebiasaan, bahwa kepribadian


manusia yaitu kebudayaan dahulu (Yunani Kuno) dan kebudayaan abad
 pertengahan.13 
Tujuan dari pendidikan, menurut pemikiran perennialis, adalah
memastikan bahwa para siswa memperoleh pengetahuan tentang prinsip-
 prinsip atau gagasan-gagasan besar yang tidak berubah. Tuntutan tertinggi
dalam belajar, menurut perenialisme adalah latihan dan disiplin mental. Maka
teori dan praktik pendidikan haruslah mengarah kepada tuntutan tersebut.

12  Saidah A. Pemikiran Essensialisme, Eksistensialisme, Perenialisme, dan Pragmatisme

dalam P1e3r sUpyeokhti fS Paednudlliodhik. aLno Ics lCaimt .h (lJmur n7a3l al-Asas, Vol. III, No.
1, April 2015) hlm 173
Manusia sebagai makhluk yang memiliki sifat rasional dan sifat itulah yang
melahirkan konsep dasar tentang kebebasan. Manusia memiliki senjata yang
 bersifat rasional tersebut untuk dapat menghilangkan belenggu atau rintangan

yang dihadapi dan menjadi merdeka. Kemerdekaan itu haruslah menjadi


tujuan dan dilaksanakan dalam pendidikan, supaya anak didik mempunyai
kemampuan untuk berbuat dengan sengaja. Atas dasar pandangan tersebut
dapat disimpulkan bahwa belajar itu pada hakekatnya adalah belajar untuk
 berpikir.
Kurikulum menurut kaum perenialis harus menekankan pertumbuhan
intelektual siswa pada seni dan sains, bidang-bidang yang merupakan karya
terbaik dan paling signifikan yang diciptakan oleh manusia untuk dapat
menjadi “terpelajar secara kultural”. Hanya satu pertanyaan untuk bidang

kurikulum yang harus diajukan: Apakah para siswa memperoleh keberhasilan


yang merepresentasikan usaha-usaha yang paling tinggi dalam bidang itu?
Jadi, seorang guru Bahasa Inggris SMU dapat mengharuskan para siswanya
untuk membaca Moby Dick-nya Melville atau sebagian dari drama
Shakepeare bukannya sebuah novel dalam daftar terlaris saat ini. Sama halnya
dengan siswa IPA akan mempelajari mengenai tiga hukum gerakan atau tiga
hukum termodinamika bukannya membangun suatu model penerbangan
ulang alik angkasa luar.
Kebijakan di dunia pendidikan yang relevan menyangkut beberapa

 prinsip pendidikan perenialisme secara umum, yaitu :


1.   Pada hakikatnya manusia di mana pun dan kapan pun ia berada
adalah sama walaupun lingkungannya berbeda. Tujuan pendidikan
adalah sama dengan tujuan hidup, yaitu untuk mencapai kebijakan
dan kebajikan. Hutckin mengemukakan bahwa pendidikan harus
sama bagi semua orang, dimanapun dan kapanpun ia berada,
demikian juga tujuan pendidikan harus sama yaitu memperbaiki
manusia sebagai manusia.
2.   Manusia harus menggunakan rasio untuk mengarahkan sifat

 bawaannya sesuai dengan tujuan yang ditentukan. Manusia adalah


 bebas namun mereka harus belajar untuk memperhalus pikiran dan
mengontrol seleranya.
3.   Tugas pendidikan adalah memberikan pengetahuan tentang

kebenaran yang pasti dan abadi. Anak harus diberi pelajaran yang
 pasti yang akan memperkenalkannya dengan keabadian dunia. Anak
tidak boleh dipaksa untuk mempelajari pelajaran yang tampaknya
 penting suatu saat saja.
4.   Pendidikan bukan merupakan peniruan dari hidup melainkan
merupakan suatu persiapan untuk hidup. Di sekolah anak
 berkenalan dengan hasil yang terbaik dari warisan sosial budaya.
5.   Siswa seharusnya mempelajari karya-karya besar dalam literatur
yang menyangkut sejarah, filsafat, seni, kehidupan sosial, politik

dan ekonomi.
M. Amin Abdullah14 menyebutkan bahwa ada empat model pemikiran
keislaman, yaitu model tekstual salafi, model tradisional mazhabi, model
modernis dan model neo modernis. Dari empat model ini, tekstual salafi
dianggap lebih dekat dengan perenialisme. Tektual salafi berupaya
memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung di dalam
Al-Quran dan Sunnah dengan melepaskan diri dari dan kurang
mempertimbangkan situasi kongkrit dinamika pergumulan masyarakat.
Masyarakat ideal yang diinginkan adalah masyarakat era masa Nabi

Muhammad saw. dan para sahabat yang menyertainya. Rujukan utama dari
 pemikirannya adalah kitab Suci Al-Quran dan kitab-kitab klasik tanpa
menggunakan pendekatan keilmuan yang lain. Perbedaan model ini dengan
 perenial terlihat dari sisi keinginan kaum perenial untuk kembali kepada jiwa
yang menguasai abad pertengahan, sementara tekstual salafi lebih kepada era
 Nabi Muhammad saw.dan para sahabatnya.

14

1995) hlm A 8m6 in Abdullah. Falsafah Kalam di Era Postmodernisme. (Yogyakarta: Pustaka


Pelajar,
Berbeda dengan Abdullah di atas, Muhaimin15 justru membagi tipologi
 pemikiran filsafat Islam itu ke dalam lima kelompok, yaitu perenial esensial
salafi, perenial esensial mazhabi, modernis, perenial esensial kontekstual

falsifikatif , dan rekonstruksi sosial yang berlandaskan tauhid. Dari kelima


tipologi tersebut, dua di antaranya sesuai dengan perenialisme yaitu perenial
esensial salafi dan perenial esensial mazhabi, meskipun memiliki perbedaan
dengan istilah salafi dan mazhabi.
Perenial esensial salafi merupakan konstruksi tipologi tekstual salafi
dilihat dari wataknya yang bersifat regresif dan konservatif, maka lebih dekat
dengan perenialisme dan essensialism. Hanya saja perenialisme menghendaki
agar kembali kepada jiwa yang menguasai abad pertengahan, sedangkan
model tekstual salafi menghendaki agar kembali ke masyarakat salaf (era

kenabian dan sahabat). Namun pada intinya keduanya lebih berwatak regresif.
Model pemikiran tekstualis salafi juga beranggapan bahwa nilai-nilai
kehidupan pada masyarakat salaf perlu dijunjung tinggi dan dilestarikan
keberadaannya hingga sekarang, baik nilai-nilai insyaniyah maupun nilai-
nilai Illahiyah, karena masyarakat salaf dipandang sebagai masyarakat yang
ideal. Karena itu keduanya juga berwatak konservatif, dalam arti sama-sama
hendak mempertahankan nilai, kebiasaan dan tradisi masyarakat terdahulu.
Dalam bangunan pemikiran filsafat pendidikan Islam, model ini dapat
dikatagorikan sebagai tipologi perennial tekstual salafi dan sekaligus

essensial tekstual salafi. Parameter dari perennial-tekstual salafi adalah watak


regresifnya yang ingin kembali ke masa salaf sebagai masyarakat ideal yang
dipahaminya secara tekstual. Parameter essensial-tekstual salafi adalah watak
konservatifnya untuk mempertahankan dan melestarikana nilai-nilai Illahiyah
dan insaniyah yang dipraktikkan pada masa salaf yang juga dipahami secara
tekstual tanpa adanya verifikasi dan kontekstualisasi. Untuk
menyederhanakan istilah pada medel filsafat pendidikan Islam pada tipologi
ini kita pakai istilah perennial-essensial salafi.

15

dan Pergu Mruuahna Timinigng, i P. (eJnagkeamrtba a: nRgaajna KGurarfikinudluom P


ePrseandai,d 2ik0a0n7 )A, ghaaml. a1 0Is9l a-1m1 0di Sekolah, Madrasah
Sedangkan perenial esense mazhabi merupakan konstruksi tipologi
tradisional mazhabi dilihat dari wataknya lebih menonjolkan sifatnya yang
tradisional dan mazhabi. Watak tradisionalnya diwujudkan dalam bentuk

sikap dan cara berfikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada nilai,
norma dan adapt kebiasaan serta pola-pola piker yang ada secara turun
menurun dan tidak mudah terpengaruh oleh situasi sosio histories masyarakat
yang sudah mengalami perubahan dan perkembangan sebagai akibat dari
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan watak mazhabinya
diwujudkan dalam bentuk kecenderungannya untuk mengikuti aliran,
 pemahaman atau doktrin, serta pola-pola pemikiran sebelumnya yang
dianggap sudah relative mapan.
Dalam konteks pemikiran filsafat pendidikan Islam, tipologi ini

 berusaha membangun konsep pendidikan Islam melalui kajian terhadap


khazanah pemikiran pendidikan Islam karya para ulama’ pada periode
terdahulu, baik dalam bangunan tujuannya pendidikannya, kurikulum atau
 program pendidikan, hubungan pendidik dan peserta pendidik, metode
 pendidikan, maupun lingkungan pendidikan (konteks belajar) yang
dirumuskannya. Bahkan ia juga merujuk atau mengadopsi produk-produk
 pemikiran pendidikan dari para cendikiawan non muslim terdahulu tanpa
dibarengi dengan daya kritis yang memadai.
Dengan demikian tipologi filsafat pendidikan Islam ini lebih dekat

dengan perenialism dan essensialism, terutama dari wataknya yang regresif


dan konservatif. Maka berdasarkan tipologi tersebut tersusunlah tipologi
filsafat pendidikan yang disebut dengan perennial-esensial mazhabi.

D.   Konsep Dasar Aliran Perenialisme dalam Pendidikan


1.   Hakikat pendidikan 
Tentang pendidikan kaum Perenialisme memandang education as
cultural regression: pendidikan sebagai jalan kembali, atau proses
mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan

masa lampau yang dianggap sebagai kebudayaan ideal. Tugas pendidikan


adalah memberikan pengetahuan tentang nilai-nilai kebenaran yang pasti,
absolut, dan abadi yang terdapat dalam kebudayaan masa lampau
yang dipandang sebagai kebudayaan ideal tersebut.Sejalan dengan hal di

atas, penganut Perenialisme percaya bahwa prinsip-prinsip pendidikan


 juga bersifatuniversal dan abadi. 
Robert M. Hutchins mengemukakan “Pendidikan mengimplikasikan
 pengajaran. Pengajaran mengimplikasikan pengetahuan. Pengetahuan
dalah kebenaran. Kebenaran di mana pun dan kapan pun adalah
sama. Karena itu kapan pun dan di mana pun pendidikan adalah sama”.
Selain itu pendidikan dipandang sebagai suatu persiapan untuk
hidup, bukan hidup itu sendiri. (Madjid Noor,dkk, 1987)
Filsafat pendidikan Perenialisme mempunyai empat prinsip dalam

 pembelajaran secara umum yang mesti dimiliki manusia, yaitu:


a.  Kebenaran bersifat universal dan tidak tergantung pada tempat,
waktu, dan orang.
 b.  Pendidikan yang baik melibatkan pencarian pemahaman atas
kebenaran
c.  Kebenaran dapat ditemukan dalam karya-karya agung
d.  Pendidikan adalah kegiatan liberal untuk mengembangkan nalar
2.  Tujuan umum pendidikan
Membantu anak menyingkap dan menanamkan kebenaran-kebenaran

hakiki. Oleh karena itu kebenaran-kebenaran itu universal dan konstan,


maka kebenaran-kebenaran tersebut hendaknya menjadi tujuan-tujuan
 pendidikan yang murni. Kebenaran-kebenaran hakiki dapat dicapai
dengan sebaik-baiknya melalui latihan intelektual secara cermat untuk
melatih pikiran dan latihan karakter sebagai suatu cara mengembangkan
manusia spiritual.
3.   Hakikat Guru
Tugas utama dalam pendidikan adalah guru-guru, dimana tugas
 pendidikanlah yang memberikan pendidikan dan pengajaran

(pengetahuan) kepada anak didik. Faktor keberhasilan anak dalam


akalnya sangat tergantung kepada guru, dalam arti orang yang telah
mendidik dan mengajarkan. Berikut pandangan aliran perenialisme
mengenai guru atau pendidikan:

a.  Guru mempunyai peranan dominan dalam penyelenggaraan


kegiatan belajar mengajar di kelas.
 b.  Guru hendaknya orang yang menguasai suatu cabang ilmu,
seorang guru yang ahli (a master teacher) bertugas membimbing
diskusi yang akan memudahkan siswa menyimpulkan kebenaran-
kebenaran yang tepat, dan wataknya tanpa cela. Guru dipandang
sebagai orang yang memiliki otoritas dalam suatu
 bidang pengetahuan dan keahliannya tidak diragukan.
4.   Hakikat murid

Murid dalam aliran perenialisme merupakan makhluk yang


dibimbing oleh prinsip-prinsip pertama, kebenaran-kebenaran abadi,
 pikiran mengangkat dunia biologis. Hakikat pendidikan upaya proses
transformasi pengetahuan dan nilai kepada subjek didik, mencakup
totalitas aspek kemanusiaan, kesadaran, sikap dan tindakan kritis terhadap
seluruh fenomena yang terjadi di sekitarnya. Pendidikan bertujuan
mencapai pertumbuhan kepribadian manusia yang menyeluruh secara
seimbang melalui latihan jiwa, intelek, diri manusia yang rasional;
 perasaan dan indera. Karena itu pendidikan harus mencakup pertumbuhan

manusia dalam segala aspeknya: spiritual, intelektual, imajinatif, fisik,


ilmiah, bahasa, baik secara individual maupun secara kolektif, dan
mendorong semua aspek ini ke arah kebaikan dan mencapai
kesempurnaan.
5.   Proses Belajar Mengajar
Tuntutan tertinggi dalam belajar menurut Perenialisme, adalah
latihan dan disiplin mental. Maka, teori dan praktik pendidikan haruslah
mengarah kepada tuntunan tersebut.
Teori dasar dalam belajar menurut Perenialisme terutama:

a.  Mental disiplin sebagai teori dasar


Menurut Perenialisme sependapat latihan dan pembinaan
 berpikir adalah salah satu kewajiban tertinggi dalam belajar, atau
keutamaan dalam proses belajar. Karena program pada umumnya

dipusatkan kepada pembinaan kemampuan berpikir.


 b.  Rasionalitas dan Asas Kemerdekaan
Asas berpikir dan kemerdekaan harus menjadi tujuan utama
 pendidikan, otoritas berpikir harus disempurnakan sesempurna
mungkin. Dan makna kemerdekaan pendidikan hendaknya
membantu manusia untuk dirinya sendiri yang membedakannya
dari makhluk yang lain. Fungsi belajar harus diabdikan bagi
tujuan itu, yaitu aktualisasi diri manusia sebagai makhluk
rasional yang bersifat merdeka.

c.    Leraning to Reason (belajar untuk berpikir)


Bagaimana tugas berat ini dapat dilaksanakan, yakni belajar
supaya mampu berpikir. Perenialisme tetap percaya dengan asas
 pembentukan kebiasaan dalam permulaan pendidikan anak.
Kecakapan membaca, menulis, dan berhitung merupakan
landasan dasar. Dan berdasarkan pentahapan itu, maka learning
to reason menjadi tujuan pokok pendidikan sekolah menengah
dan pendidikan tinggi.
d.  Belajar sebagai persiapan hidup

Belajar untuk mampu berpikir bukanlah semata-mata tujuan


kebajikan moral dan kebajikan intelektual dalam rangka
aktualitas sebagai filosofis. Belajar untuk berpikir berarti pula
guna memenuhi fungsi  practical philosophy  baik etika,
sosial
 politik, ilmu dan seni.
e.    Learning through teaching
Dalam pandangan Perenialisme, tugas guru bukanlah perantara
antara dunia dengan jiwa anak, melainkan guru juga sebagai
murid yang mengalami proses belajar sementara mengajar. Guru

mengembangkan potensi- potensiself discovery, dan ia melakukan


otoritas moral atas murid-muridnya, karena ia seorang
 profesional yang memiliki kualifikasi dan superior dibandingkan
dengan murid-muridnya. Guru harus mempunyai aktualitas yang

lebih.
f.   Kurikulum 
Kurikulum menurut kaum perenialis harus menekankan
 pertumbuhan intelektual siswa pada seni dan sains. Untuk
menjadi “terpelajar secara cultural” para siswa harus berhadapan
dengan bidang seni dan sains yang merupakan karya terbaik yang
diciptakan oleh manusia.
Dua dari pendukung filsafat perenialis adalah Robert Maynard
Hutchins, dan Mortimer Adler. Sebagai rektor the University of Chicago,

Hutchin (1963) mengembangkan suatu kurikulum mahasiswa S1


 berdasarkan penelitan terhadap Buku besar bersejarah (Great Book) dan
 pembahasan buku-buku klasik. Kegiatan ini dilakukan dalam seminar-
seminar kecil. Kurikulum perenialis Hutchins didasarkan pada tiga asumsi
mengenai pendidikan:
a.  Pendidikan harus mengangkat pencarian kebenaran manusia yang
 berlangsung terus menerus. Kebenaran apapun akan selalu benar
dimanapun juga. Kebenaran bersifat universal dan tak terikat
waktu

 b.  Karena kerja pikiran adalah bersifat intelektual dan memfokuskan


 pada gagasan-gagasan, pendidikan juga harus memfokuskan pada
gagasan- gagasan. Pengolahan rasionalitas manusia adalah fungsi
 penting pendidikan 
c.  Pendidikan harus menstimulus para mahasiswa untuk berfikir
secara mendalam mengenai gagasan-gagasan yang signifikan.
Guru atau tenaga pendidik harus menggunakan pemikiran yang
 benar dan kritis seperti metoda pokok mereka dan mereka harus
mensyaratkan hal yang sama pada siswa. 
E.   Analisis Kritis terhadap Konsep Aliran Perenialisme
1.    Nilai positif
a.   Perenialisme mengangkat kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip

umum yang menjadi pandangan hidup yang kokoh pada zaman kuno
dan abad pertengahan. Dalam pandangan perenialisme pendidikan
lebih banyak mengarahkan perhatiannya pada kebudayaan ideal yang
telah teruji dan tangguh. 
 b.  Kurikulum menekankan pada perkembangan intelektual siswa pada
seni dan sains. Untuk menjadi terpelajar secara kultural, para siswa
harus berhadapan pada bidang-bidang seni dan sains yang merupakan
karya terbaik dan paling signifikan yang diciptakan oleh manusia. 
c.   Perenialisme tetap percaya terhadap asas pembentukan kebiasaan

dalam permulaan pendidikan anak. Kecakapan membaca, menulis,


dan berhitung merupakan landasan dasar. 
d.   Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau
 proses mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam
kebudayaan ideal. Perenialisme memberikan sumbangan yang
 berpengaruh baik teori maupun praktik bagi kebudayaan dan
 pendidikan zaman sekarang. 
e.   Dalam pendidikan perenialisme, siswa diberi kebebasan untuk
mengembangkan bakat dan kemampuannya dan siswa diberi

kebebasan untuk mengemukakan pendapatnya. 


f.   Siswa belajar untuk mencari tahu sendiri jawaban dari masalah atau
 pertanyaan yang timbul diawal pembelajaran. Dengan mendapatkan
sendiri jawaban itu, siswa pasti akan lebih mengingat materi yang
sedang dipelajari. 
g.   Membentuk output yang dihasilkan dari pendidikan di sekolah
memilki keahlian dan kecakapan yang langsung dapat diterapkan
dalam kehidupan masyarakat. 
2.    Nilai negatif
a.  
Pengetahuan dianggap lebih penting dan kurang memperhatikan
kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang menganut paham ini

menekankan pada kebenaran absolut, kebenaran universal yang tidak


terkait pada tempat dan waktu aliran ini lebih berorientasi ke masa
lalu.
 b.  Perenialis kurang menerima adanya perubahan-perubahan, karena
menurut mereka perubahan banyak menimbulkan kekacauan,
ketidakpastian dan ketidakteraturan terutama dalam kehidupan moral,
intelektual, dan sosio-kultural.
c.  Fokus perenialis mengenai kurikulum adalah pada disiplin-disiplin
 pengetahuan abadi, hal ini akan berdampak pada kurangnya perhatian

 pada realitas peserta didik dan minat-minat siswa.


d.  Mengabaikan kurikulum yang telah ditentukan, yang menjadi tradisi
sekolah. Mengurangi bimbingan dan pengaruh guru.
e.  Dalam pendidikan perenialisme, siswa menjadi orang yang
mementingkan diri sendiri, ia menjadi manusia yang tidak memiliki
 self discipline dan tidak mau berkorban demi kepentingan umum.
f.  Aliran Perenialisme memandang bahwa masa lampau adalah masa
yang cukup untuk dijadikan sebagai pedoman, sementara dalam Islam
memandang pendidikan perlu pencapaian tujuan. Oleh karena itu,

tugas pendidikan Islam senantiasa dilakukan terus menerus dan tanpa


 batas.
3.   Solusi yang coba ditawarkan
a.  
Dalam proses pembelajaran guru harus menyeimbangkan antara
 pengetahuan dan kegiatan sehari-hari siswa yaitu dengan
menyeimbangkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Guru
dikelas tidak hanya menekankan pada aspek kognitif saja.
 b.  Perenialis harus lebih bisa terbuka terhadap perubahan yang terjadi
disetiap zaman karena suatu perubahan tidak selalu berdampak buruk

atau memberi pengaruh negatif dalam kehidupan moral, intelektual,


dan sosio-kultural. Harus dapat menyaring perubahan-perubahan yang
terjadi.
c.  Dalam pembelajaran kaum perenialisme harus lebih memperhatikan

kurikulum yang telah berlaku. Karena kurikulum merupakan acuan


dasar bagi setiap penyelenggara pendidikan. Kurikulum berperan
 penting guna menjalankan proses pendidikan.
d.  Dalam pendidikan menurut kaum perenialisme harus lebih
mementingkan pendidikan bagi peserta didik agar peserta didik
mempunyai konsep diri yang kuat dan memiliki displin ilmu. Peserta
didik harus didik untuk kebih memperhatikan kepentingan umum.
Karena peserta didik nantinya akan menjadi bagian dari masyarakat
dan kepentingan umum merupakan kepentingan yang harus berada di

atas kepentingan pribadi.


Bab III

PENUTUP 

A.   Kesimpulan
Beberapa pandangan tokoh perenialisme terhadap pendidikan: 
1. 
Menurut Plato adalah Program pendidikan yang ideal harus
didasarkan atas paham adanya nafsu, kemauan, dan akal. Sedangkan
tujuan utama pendidikan adalah membina pemimpin yang sadar
akan asas normative dan melaksanakannya dalam semua aspek
kehidupan.
2.  Menurut Aristoteles adalah Perkembangan budi merupakan titik
 pusat perhatian pendidikan dengan filsafat sebagai alat untuk

mencapainya. Sedangkan tujuan pendidikan adalah membentuk


kebiasaan pada tingkat pendidikan usia muda dalam menanamkan
kesadaran menurut aturan moral.
3.  Menurut Thomas Aquinas adalah Pendidikan adalah menuntun
kemampuan-kemampuan yang masih tidur agar menjadi aktif atau
nyata. Sedangkan tujuan pendidikan adalah menuntun kemampuan-
kemampuan yang masih tidur menjadi aktif atau nyata tergantung
 pada kesadaran tiap-tiap individu.
B.   Saran 

Kepada setiap mahasiswa/i yang membaca makalah ini agar dapat


memberikan masukan, tanggapan, dan komentar yang positif serta
membangun agar makalah ini lebih sempurna.
Daftar Pustaka

Abdullah, Amin. 1995   Falsafah Kalam di Era Postmodernisme. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar

Ali, Hamdani. 1993  Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Kota Kembang

http://luphypamali.blogspot.com/2012/03 /Pengertian-Aliran-Perenialisme-dan-
  Esensialisme-Menurut-Para-Ahli. html/ di akses 29 sept 2016

Khobir, Abdul. 2009. Filsafat Pendidikan Islam. Pekalongan: Stain Press

Muhaimin. 2007. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah,


  Madrasah dan Perguruan Tinggi. Jakarta : Raja Grafindo Persada

 Nata, Abuddin. 2005. Filsafat Pendidikan Islam Jakarta: Gaya Media Pratama

Parasetya. 2002. filsafat pendidikan, Bandung: Pustaka Setia

Sadulloh, Uyoh. 2012. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta

Saidah A.  Pemikiran Essensialisme, Eksistensialisme, Perenialisme, dan


  Pragmatisme dalam Perspektif Pendidikan Islam. Jurnal al-Asas, Vol. III,
 No. 1, April 2015

Salahudin, Anas. 2011. Filsafat Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia

Solihin, M. 2007  Perkembangan Filsafat dari Klasik hingga Modern. Bandung:


Pustaka Setia. Cet I

Zuhairini dkk. 2008. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Penerbit Bumi Aksara

Anda mungkin juga menyukai