Anda di halaman 1dari 11

MEMAHAMI SEBAB SESEORANG MELAKUKAN

FRAUD DAN FRAUD TRIANGLE

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


“Audit Forensik”

Dosen Pengajar :
Dr. AGUS SAMEKTO, S.E., M.Si., AK.,CA

Disusun Oleh :

1. Sofie Yunida Putri (17062020017)


2. Leily Nur Indah Fitriana (17062020018)
3. Nuril Muizzah (17062020019)
4. Rudiana Fibriani (17062020020)

MAGISTER AKUNTANSI ANGKATAN XXV


UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN
JAWA TIMUR
2018

Page | 1
PENGANTAR

Pertanyaan yang sering timbul, mengapa manusia melakukan fraud? Atau


dalam konteks Indonesia, mengapa pejabat penting dengan kedudukan dan
penghasilan tinggi (termasuk guru besar universitas ternama dan pimpinan LSM yang
mempunyai misi memberantas korupsi) justru terlibat dalam tindakan korupsi.

Jawaban sederhana menjelaskan korupsi karena :”corruption (atau fraud) by


need, by greed, and by opportunity” atau dalam bahasa Indonesi (Korupsi karena
kebutuhan, karena serakah dan karena ada peluan). Maka pada pembahasan kali ini
akan memanfaatkan hasil penelitian Donald R. Cressey untuk menjawab pertanyaan
tersebut.

Adapun beberapa faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan fraud atau
kecurangan dalam pelaporan keuangan perusahaan dapat digambarkan melalui fraud
triangle sebagai berikut.

FRAUD TRIANGLE

Bermula dari penelitian Donald R. Cressey yang tertarik pada embezzlers


yang disebutnya “trust violators” atau pelanggra kepercayaan, yakni mereka yang
melanggar kepercayaan atau amanah yang dititipkan kepada mereka. Penelitian nya
diterbitkan dengan judul Other People’s Money : Study in the Social Psychology of
Embezzlement.
PERCEIVED OPPORTUNITY

FRAUD

TRIANGLE
E
PRESSURE RATIONALIZATION

Dalam perkembangan selanjutnya, hipotesis dari penelitian tersebut dikenal


sebagai fraud triangle atau segitiga fraud. Sudut pertama dari segitiga itu diberi judul

Page | 2
pressure yang merupakan perceived non-shareable financial need. Sudut keduanya,
perceived opportunity. Sudut ketiga, rationalization.

PRESSURE

Penggelapan uang perusahaan oleh pelakunya bermula dari suatu tekanan


(pressure) yang menghimpitnya. Orang ini mempunyai kebutuhan keuangan yang
mendesak, yang tidak dapat diceritakan nya kepada orang lain. Konsep yang penting
di sini adalah, tekanan yang menghimpit hidupnya (berupa kebutuhan akan uang),
padahal ia tidak bisa berbagi (sharing) dengan orang lain. Konsep ini di dalam bahasa
inggris disebut perceived non-shareable financial need. Cressey menemukan bahwa
non-shareable problem timbul dari situasi yang dapat dibagi dalam enam kelompok :
1. violation of ascribed obligation
2. problems resulting from personal failure
3. business reversals
4. physical isolation
5. status gaining
6. employer-employee relation

Keenam kelompok situasi tersebut, pada dasarnya berkaitan dengan upaya


memperoleh status lebih tinggi atau mempertahankan status yang sekarang dipunyai.

Violation of Ascribed Obligation

Suatu kedudukan atau jabatan dengan tanggung jawab keuangan, membawa


konsekuensi tertentu bagi yang bersangkutan dan juga menjadi harapan atasan atau
majikannya. Di samping harus jujur, ia dianggap perlu memiliki perilaku tertentu.

Orang dalam jabatan seperti itu merasa wajib menghindari perbuatan yang dapat
merendahkan martabatnya. Inilah kewajiban yang terkait dengan jabatan yang
dipercayakan kepadanya, ini adalah ascribed obligation baginya. Kalaui ia
menghadapi situasi yang melanggar kewajiban terkait dengan jabatannya, ia merasa
masalah yang dihadapinya tidak dapat diungkapkannya kepada orang lain.

Page | 3
Problems Resulting from Personal Failure

Kegagalan pribadi juga merupakan situasi yang dipersepsikan oleh orang yang
mempunyai kedudukan serta dipercaya dalam bidang keuangan, sebagai kesalahan
nya menggunakan akal sehatnya, dan karena itu menjadi tanggungjawab pribadinya.

Seorang pengacara yang kehilangan tabungan hasil kerjanya bertahun-tahun.


Ia menderita rugi karena menanamkan uang nya dalam bisnis yang bersaing dengan
bisnis para pelanggannya. Ia percaya, kalau ia mengungkapkan masalahnya kepada
para pelanggannya, mereka akan bersedia membantu. Namun, ia merasa tidak mampu
mengungkapkan masalah tersebut karena telah menghianati para pelanggannya
dengan berusahan dalam bisnis “rahasia” yang bersaingan dengan mereka. Ia bahkan
tidak berani mengungkapkan kerugian tersebut kepada istrinya, dan memilih mencuri
uang perusahaan. Ia takut kehilangan status nya sebagai orang yang dipercaya dalam
bidang keuangan, karena itu ia takut mengakui kegagalannya. Kehormatan pada diri
sendiri menjadi awal kejatuhannya.

Business Reversals

Cressey menyimpulkan bahwa kegagalan bisnis merupakan kelompok situasi


yang juga mengarah kepada non-shareable problem. Masalah ini berbeda dari
kegagalan pribadi yang dijelaskan diatas, karena pelakunya merasa bahwa kegagalan
itu berasal dari luar dirinya atau luar kendalinya. Dalam persepsinya, kegagalan itu
karena inflasi yang tinggi, atau krisis moneter, tingkat bunga yang tinggi, dan lain-
lain.

Physical Isolation

Situasi ini dapat diterjemahkan sebagai keterpurukan dalam kesendirian.


Dalam situasi ini, orang itu bukan tidak mau berbagi keluhan dengan orang lain. Ia
tidak mempunyai orang lain tempat ia berkeluh dan mengungkapkan masalahnya.

Status Gaining

Situasi ini tidak lain dari kebiasaan buruk untuk tidak mau kalah dengan
“tetangga”. Orang lain punya harta tertentu, ia juga harus seperti itu atau lebih dari

Page | 4
itu. Orang lain punya jabatan tertentu, ia juga harus punya jabatan seperti itu atau
bahkan lebih baik. Dalam situasi yang dibahas di atas, pelaku berusaha
mempertahankan status. Di sini, pelaku bersedia meningkatkan statusnya.

Cressy mencatat, “masalahnya menjadi non-shareable ketika orang itu


menyadari bahwa ia tidak mampu secara financial untuk naik ke status itu, untuk
menikmati simbol-simbol keistimewaan yang dijanjikan status itu secara wajar dan
sah, dan pada saat yang sama ia tidak bisa menerima kenyataan untuk tetap berada
dalam status itu, apalagi kalau harus turun status.”

Employer-Employee Relation

Situasi ini mencerminkan kekesalan (atau kebencian) seorang pegawai yang


menduduki jabatan yang dipegangnya sekarang, tetapi pada saat yang sama ia merasa
tidak ada pilihan baginya, yakni ia tetap harus menjalankan apa yang dikerjakannya
sekarang.

Menurut Cressey, masalah yang diahadapi orang menjadi non-shareable


karena kalau ia mengusulkan solusi untuk masalah yang dihadapinya, ia khawatir
statusnya di organisasi itu menjadi terancam. Juga ada motivasi yang kuat baginya
untuk “membuat perhitungan” dengan majikannya ketika ia merasa diperlakukan
tidak adil.

PERCEIVED OPPORTUNITY

Cressey berpendapat, ada dua komponen dari persepsi tentang peluang.


Pertama, general information, yang merupakan pengetahuan bahwa kedudukan yang
mengandung trust atau kepercayaan, dapat dilanggar tanpa konsekuensi. Pengetahuan
ini diperoleh dari apa yang dia dengar atau lihat, misalnya dari pengalaman orang lain
yang melakukan fraud dan ketidak tahuan atau tidak dihukum atau terkena sanksi.
Kedua, technical sklill atau keahlian/ketrampilan yang dibutuhkan untuk
melaksanakan kejahatan tersebut. Ini biasanya keahlian atau keterampilan yang
dipunyai orang itu dan yang menyebabkan ia mendapat kedudukan tersebut. General
information dan technical skills yang dibahas Cressey bukan semata-mata dipunyai
oleh orang yang punya kedudukan, pegawai biasa juga mempunyainya. Namun,

Page | 5
mereka yang mempunyai posisi dengan kepercayaan di bidang keuangan, ketika
menghadapi non-shareable financial problem, akan melihat general information dan
technical skills sebagai jalan keluar dari masalah itu. Posisi mereka yang mendapat
kepercayaan atau trust, khususnya di bidang keuangan, memungkinkan mereka
memanfaatkan general information dan technical skills yang mereka miliki.

RATIONALIZATION

Rationalization (rasionalisasi), dapat dikatakan sebagai usaha untuk mencari


pembenaran sebelum melakukan kejahatan, bukan sesudahnya. Biasanya secara naluri
alamiah ketika kejahatan telah dilakukan, rationalization ini ditinggalkan. karena tidak
diperlukan lagi. Pertama kali manusia akan berbuat kejahatan atau pelanggaran, ada
perasaan tidak enak. contohnya : ketika kita mengulanginya perbuatan itu menjadi
mudah, dan selanjutnya menjadi biasa. Ketika akan mencuri uang perusahaan untuk
pertama kalinya, pembenarannya adalah: "nanti kubayar, nanti kuganti". Sekah si
pelaku sukses, mencuri secara berulang kali, ia tidak memerlukan rationalization
semacam itu.

Kejahatan Kerah Putih

Kejahatan kerah putih adalah terjemahan untuk istilah yang sangat dikenal
dalam bahasa Inggris, yakni white-collar crime. Istilah ini dikenalkan oleh Edwin H.
Sutherland. kejahatan kerah putih merupakan kejahatan kelas atas, kelas manusia
berkerah putih yang terdiri atas orang-orang bisnis dan profesional terhormat, atau
paling tidak, dihormati. Kejahatan kerah putih terbatas pada kejahatan yang dilakukan
dalam lingkup jabatan mereka. Kamus terbitan the Federal Bureau of Justice
Statistics (Dictionary of Criminal Justice Data Terminology) mendefinisikan white-
collar crime sebagai:
"nonviolent crime for financial gain committed by means of deception by persons
whose occupational status is entrepreneurial, professional or semi-professional
and utilizing their special occupational skills and opportunities; also nonviolent
crime for financial gain utilizing deception and committed by anyone having
special technical and professional knowledge of business and government,
irrespective of the person's occupation."

Page | 6
"Kejahatan tanpa kekerasan demi keuntungan keuangan yang dilakukan dengan
penipuan oleh orang yang pekerjaannya adalah wiraswasta, profesional atau semi
profesional dan yang memanfaatkan keahlian dan peluang yang diberikan oleh
jabatannya; juga kejahatan tanpa kekerasan demi keuntungan keuangan yang
dilakukan dengan penipuan oleh orang yang mempunyai keahlian khusus dan
pengetahuan profesional mengenai bisnis dan pemerintahan, meskipun ia tidak terkait
dengan pekerjaannya.".
Ada suatu definisi lain juga yang diusulkan oleh Albert J. Reiss, Jr. dan Albert
Biderman, yaitu :
"White-collar crime violations are those violations of law to which penalties are
attached that involve the use of a violator's position of economic power, influence,
or trust in the legitimate economic or political institutional order for the purpose
of illegal gain, or to commit an illegal act for personal or organizational gain."

"Pelanggaran kerah putih adalah pelanggaran terhadap hukum yang terkena sanksi
tertentu dan yang meliputi pemanfaatan kedudukan pelakunya yang mempunyai
kekuasaan ekonomi, pengaruh, atau kepercayaan dalam lembaga-lembaga yang
sebenarnya mempunyai legitimasi ekonomi dan politik namun disalahgunakan untuk
keuntungan ilegal atau untuk melakukan kegiatan ilegal demi keuntungan pribadi atau
organisasi."

REPORT TO THE NATION

Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) secara berkala menerbitkan


kajiannya mengenai fraud di Amerika Serikat. Laporan ACFE terakhir mengenai hal
ini dikenal dengan nama Report to the Nation on Occupational Fraud and Abuse.
Meskipun Report to the Nation adalah untuk, dari, dan berkenaan dengan Amerika
Serikat, Namun di dalamnya ada informasi tertentu yang bermanfaat bagi akuntan
forensik (fraud examiners). ACFE mensurvei dengan cara survey online secara
terbuka kepada Certifed Fraud Examiners (CFEs) dengan jangka waktu satu tahun.
sebagai bagian dari survey, responden di minta untuk menyajikan sebuah naratif yang
detail tentang kasus fraud yang terbesar yang pernah mereka tangani/ investigasi
dalam kurun waktu tertentu, Kasus tersebut harus memenuhi 4 kriteria yaitu :

Page | 7
1. Kasus harus berhubungan atau melibatkan Occupational Fraud (didefinisikan
sebagai Fraud secara internal, atau fraud yang dilakukan oleh seseorang yang
di dalam organisasi)
2. Kasus dan investigasi yang dilakukan oleh CFEs haruslah terjadi dalam kurun
waktu survey.
3. Investigasi dari kasus tersebut haruslah sudah selesai pada kurun waktu
survey.
4. CFEs haruslah telah yakin dengan pelaku kejahatan yang telah di identifikasi.

Responden juga di berikan lebih kurang 85 pertanyaan untuk dijawab terkait


dengan kasus yang mereka sajikan tersebut. termasuk dengan informasi si pelaku
kejahatan, korban di dalam organisasi, dan metode yang digunakan untuk melakukan
fraud serta tentang kecenderungan fraud secara menyeluruh. untuk menguji
profesionalitas ACFE hanya mengirimkan kepada CFEs tertentu yang dianggap baik
pada kurun waktu survey dilakukan dan ACFE meminta responden (yakni CFEs)
untuk menyajikan beberapa informasi mengenai pengalaman mereka,

profesionalitas mereka sehingga ACFE tahu siapa yang sedang terlibat untuk
mengatasi kasus yang dikirimkan kepada mereka.
Berikut merupakan responden di dalam Report to the Nation on Occupational Fraud
and Abuse tahun 2012 :

Page | 8
dari table di atas dapat disimpulkan bahwa rata-rata responden adalah Fraud

Examiner/ Investigator dan Responden rata-rata memiliki pengalaman kerja sebagai

professional di bidangnya selama 11 tahun.

Di dalam Report to the Nation on Occupational Fraud and Abuse tahun 2012, dapat

disimpulkan bahwa Fraud dapat terdeteksi dengan adanya informasi (yang dibeikan

oleh karyawan, konsumen, anonym, vendor, owner, competitor ), review yang

dilakukan oleh manajemen dan adanya internal audit.

Page | 9
seperti yang di tunjukan dibawah, pelaku kejahatan fraud jika didasarkan oleh umur

mereka, kebanyakan mereka berumur antara 31 - 41 tahun, da kecenderungannya

adalah laki-laki lebih banyak melakukan fraud di banding dengan perempuan, serta

kebanyakan dari mereka adaah orang yang memiliki degree college sampai kepada

post graduate ke atas.

Jika dilihat melalui perbagian di dalam perusahaan maka bagian yang harus

diwaspadai akan adanya fraud adalah bagian Akuntansi, Operasional, Penjualan,

Manajer eksekutif atau manajer tingkat Atas, Costumer service, dan bagian

Page | 10
pembelian. hal dapat terlihat dari survey yang dilakukan di dalam Report to the

Nation on Occupational Fraud and Abuse tahun 2012. dan kebanyakan dari mereka

melakukan fraud karena ada dorongan dari gaya hidup, kebutuhan finansial yang

mendesak, dan karena adanya control yang kurang baik dari organisasi.

REFERENSI

Tuanakotta, T. M. (2017). Akuntansi Forensik Dan Audit Investigatif. In T. M.


Tuanakotta, Akuntansi Forensik Dan Audit Investigatif Edisi 2. Salemba
Empat.

Page | 11

Anda mungkin juga menyukai