Anda di halaman 1dari 35

CAK

NUR
DAN
AMA
NAH
YAN
G
TERT
INGG
AL
Oleh : Lies
Marcoes-
Natsir
Post Time :

Tulisan ini
mungkin tak
sepenuhnya
sesuai
dengan
harapan para
pengagum
Can Nur. Ini
memang
bukan
sebuah
manakib –
meminjam
istilah dalam
tradisi
pesantren di
mana sang
tokoh
diletakkan
sebagai
manusia
istimewa
dan “serba
maha”.
Tulisan ini
lebih
dimaksudkan
sebagai
otokritik
kepada kita
sendiri
dengan
merenungka
n kembali
pesan dan
amanah Cak
Nur yang
mungkin
masih
tertinggal
sejauh yang
dapat kita
tangkap.

Saya tak
merasa dekat
dengan Cak
Nur. Bahkan
saya juga tak
begitu yakin
apakah Cak
Nur cukup
kenal dengan
saya. Ketika
beliau
menunjukan
sinar
terangnya
sebagai
intelektual
muda Islam
di awal tahun
70-an saya
masih
tinggal di
kampung.
Ketika saya
masuk IAIN
dan aktif di
HMI Ciputat,
Cak Nur
telah
berangkat ke
Chicago dan
pandangan–
pandangan
Cak Nur
tentang
pembaharun
Islam hanya
terdengar
samar
melalui
beberapa
senior saya
di HMI
Ciputat.
Mereka
mengenalkan
Cak Nur
utamanya
melalui NDP
(Nilai Dasar
Perjuangan)
HMI yang
digagas dan
dirumuskan
Cak Nur.
Lalu ketika
beliau
kembali ke
Tanah Air,
saya justru
sedang
menjauh dari
isu-isu langit
dan memilih
bergelut
dengan
realitas bumi
menyelami
derita kaum
perempuan
sambil
menjajal diri
sebagai
antropolog
otodidak.
Dan ketika
kami
bersama-
sama duduk
sebagai tim
peneliti
“Sikap dan
Pandangan
Hidup
Ulama
Indonesia” di
LIPI di awal
tahun 80-an,
meja kami
telah
terlanjut
berjauhan;
beliau
peneliti
senior
sementara
saya peneliti
lapangan.

Sebenarnya
beberapa kali
ada
kesempatan
untuk duduk
semeja
dengan Cak
Nur. Tahun
1992,
Wardah
Hafidz dan
saya
mengundang
Cak Nur
untuk bicara
sebagai
pembanding
Riffat
Hassan yang
sengaja kami
undang ke
Puncak.
Namun Cak
Nur tak jadi
hadir. Saya
beberapa kali
pernah
diundang
Paramadina
untuk bicara
isu gender.
Saya secara
khusus diberi
kehormatan
untuk bicara
di forum
KKA yang
cukup
bergengsi
ketika itu
untuk
menyampaik
an ceramah
tentang
gender dan
Islam .
Dalam
undangan
tercantum
bahwa saya
akan
dipersanding
kan dengan
Cak Nur.
Tapi ternyata
beliau malah
mengutus
Mas
Komaruddin
Hidayat.
Sejak itu
saya
menyadari
bahwa Cak
Nur memang
kelihatannya
tak begitu
berminat
pada isu
gender dan
isu gerakan
perempuan.

Sebagaimana
dicatat
Musdah
Mulia,
banyak
aktivis
perempuan
merasa
dikecewakan
oleh sikap
Cak Nur ini .
Jika Cak Nur
begitu peduli
pada
kalangan
tertindas
mengapa
untuk isu
perempuan
beliau tak
menaruh
perhatian?
Demikian
kira-kira
gumaman
beberapa
teman kami.
Musdah
memang
kemudian
menemukan
jawabannya
bahwa
anggapan
bahwa Cak
Nur tak
pernah
menyoal isu
perempuan
adalah keliru
belaka.
Pandangan
dan rumusan
konsep
tauhid Cak
Nur
sangatlah
jelas
bagaimana
seharusnya
relasi-relasi
yang adil dan
setara
dibangun
didasarkan
pada konsep
penegakan
tauhid.
Perendahan
sesama
manusia,
atau
menuhankan
manusia lain
(dalam hal
ini bisa
suami )
merupakan
salah satu
bentuk
pengingaran
terhadap
prinsip
ajaran tauhid
itu sendiri,
kira-kira
demikian
argumen Cak
Nur.

Dari
Ensiklopedia
Cak Nur kita
juga dapat
menemukan
entri yang
cukup
panjang
yang
menunjukka
n
pandangan-
pandangan
Cak Nur
tentang
prinsi-prinsip
dasar
berelasi
secara adil
baik di level
keluarga dan
rumah
tangga
maupun
level
komunitas
dan bangsa.

Namun
kecilnya
perhatian
Cak Nur
pada isu
perempuan
bukanlah
sesuatu yang
mengejutkan
. Bagi Cak
Nur
perempuan
adalah non
issu. Cak
Nur adalah
pengayom
kelas
menengah
terdidik
Islam
perkotaan
dan terlahir
dari keluarga
menengah di
kampungya.
Di rumah
dan
lingkungann
ya Cak Nur
tak
berpengalam
an dengan
penindasan
terhadap
perempuan.
Demikian
juga bagi dan
dalam
kelompok
yang
diayominya,
kesulitan-
kesulitan
perempuan
tak terlalu
nyata
dihadapan
mereka. Hal
ini berbeda
dengan
teman-teman
NU yang
dalam
definisi
Martin van
Bruninessen
lebih gigih
menyoal isu
ini karena
mereka
memang
berhadapan
dengan
persoalan ini
. Kitab
kuning
adalah satu
hal di mana
secara
tekstual
perempuan
diletakan
secara sangat
subordinatif
didalamnya .
Dan
ketidaksetara
an terhadap
perempuan
dalam dunia
pesantren
yang feodal
adalah hal
lain yang
menjadi
pemandanga
n mereka
sehari hari.

Sebaliknya
Cak Nur
hampir tak
melihat isu
itu
dilingkungan
nya.
Setidaknya
isu itu
tersembunyi
menjadi
persoalan
personal.
Pelaku
poligami
misalnya,
segera
mendapatkan
sanksi sosial
berupa
“pengucilan”
atau “tak
perlu
membicaraka
nnya’. Dari
sisi ini
kalangan
perempuan
di
lingkungan
Cak Nur
nampaknya
mendapatkan
perlindungan
kolektif
berupa
budaya yang
lebih santun
terhadap
perempuan.
Dari sisi ini
sangatlah
bisa
difahami
mengapa
Cak Nur
geming
dengan
sikapnya. Isu
perempuan
memang tak
menjadi isu
bagi Cak Nur
karena itu
bukan
persoalan
nyata dan
terbuka bagi
kalangan
menengah di
sekitarnya.
Mereka tak
melihat
perempuan
(istri, anak
perempuan
atau menantu
mereka)
mengalami
diskrimatif
secara
langsung.
Istri mereka
punya
kegiatan dan
aktivitas
yang hebat
dan mandiri.
Mereka
bebas
menyetir
mobil
sendiri serta
bersosialisasi
sesuai
dengan
pilihannya
sendiri.
Menyatakan
bahwa
perempuan
tertindas
sangat sulit
bagi Cak
Nur.
Mengapakah
pula Cak Nur
harus
dipaksa
untuk bicara
isu
perempuan,
sesuatu yang
tak beliau
lihat sebagai
persoalan di
sekitarnya?

Lalu
persoalan
apa yang
dihadapi Cak
Nur?

Dalam
pendapat
saya, Cak
Nur punya
mimpi
tentang
Islam
Indonesia
yang modern
dan maju. Ia
sangat
mencita-
citakan
Indonesia
menjadi
negara
modern,
maju yang
dilandasi
oleh prinsip-
prinsip Islam
yang juga
moderen.
Untuk
mewujudkan
mimpinya itu
ia sangat
berharap
kepada
kawan-
kawannya
dari
kalangan
HMI yang
juga pada
umumnya
menjadi
kalangan
menegah
kota terdidik.
Kebanyakan
dari mereka
kemudian
duduk dalam
birokrasi
yang dalam
tahun 80an
mendapat
keistimewaa
n dari
pemerintaha
n Orde Baru
melalui
jaringan
partai
penguasa
yaitu Golkar.
Sebagian
dari mereka
yang tak
duduk di
birokrasi
mendapat
peluang
menjadi
pengusaha,
tepatnya
pengusaha
pribumi/Mus
lim.

Cak Nur
sangat
berharap
bahwa
kalangan
konglomerat
Muslim dan
para birokrat
yang
menjadi
mesin politik
Orde Baru
adalah
mereka yang
memiliki
intergritas
kemusliman
yang bersih
dengan
kehidupan
yang juga
cukup
sejahtera.
Meskipun
Cak Nur tak
pernah
memilih
umatnya
namun
sangat jelas
bahwa
mereka
adalah
kelompok-
kelompok
yang
dilayani
kepentingan
spiritualnya
oleh Cak Nur
selama ini.
Untuk
memenuhi
kepentingan
kelompok
ini
dibangunlah
lembaga
pendidikan
yang cukup
bergengsi --
Paramadina
yang terletak
di daerah
elite Pondok
Indah.
Bersama
Mas Dawam,
Cak Nur giat
memberi
dorongan
dan mencari
kemungkina
n bagi
kalangan
muda untuk
mendapatkan
pendidikan
di luar
negeri.

Sebagai
tokoh, Cak
Nur juga tak
segan
memberi
dukungan
kepada
kalangan
birokrat
daerah yang
akarnya
sangat jelas
yaitu HMI.
Beliau
nampaknya
berharap
betul bahwa
mesin
birokrasi
yang
menggerakan
Orde Baru
dari pusat
sampai
daerah
adalah
kalangan
Islam yang
terdidik
moderen dan
maju.

Tapi Cak
Nur
menemukan
fakta lain.
Islam yang
mereka
hadirkan dan
tampilkan
ternyata
bukan Islam
substantif
sebagaimana
selama ini
Cak Nur
ajarkan.
Islam yang
mereka
ambil hanya
berhenti
pada simbul-
simbul dan
atribut.
Islam lalu
menjadi
panggung—
panggung
pertunjukkan
: melakukan
perjalanan
umrah dan
haji lengkap
dengan
fasilitas
istimewa
sesuai
dengan kelas
sosial yang
selama ini di
bangun,
menyelengga
rakan
berbagai
mengajian
di rumah
dan kantor-
kantor,
membangun
mushala
mewah
berpenyejuk
dan
penggunaan-
penggunaan
atribut
keagamaan
lainnya.

Sementara dalam kehidupan sehari-


hari sebagai birokrat, konglomerat
atau aktivis partai, banyak diantara
mereka sebetulnya justru
mengkhianati cita cita Cak Nur. Mesin
birokrasi dijalankan dengan
kecurangan, korupsi dan KKN.

Dalam
sebuah
pertemuan di
Leinden
tahun 2000,
Cak Nur
bercerita
betapa dia
kecewa dan
sedih ketika
suatu saat dia
berkunjung
ke Ambon.
Ini terjadi
jauh sebelum
peristiwa
kekerasan
meletus di
sana. Lalu
seorang
alumni HMI
yang ada di
jajajarn
birokrasi
daerah
menceritakan
dengan
bangga
bahwa
hampir 90 %
kalangan
birokrasi di
Ambon telah
diambil alih
oleh “kita”.
Cak Nur
menyatakan
kegusaranny
a.
Menurutnya
pendekatan
itu sangat
tidak arif. Ini
hanya akan
menyulut
kecemburuan
sosial karena
sumber
kekuasaan
daen
ekonomi di
daerah hanya
ada di
birokrasi.
Ibarat sebuah
nubuat,
ramalan Cak
Nur itu
kemudian
menjadi
kenyataan.

Dalam
pandangan
saya amanah
yang paling
penting dan
masih
menjadi
hutang besar
di antara kita
kepada Cak
Nur adalah
bagaimana
membawa
Islam
Indonesia
yang maju,
modern dan
bersih.
Bagaimana
membawa
garam pada
setiap
masakan,
dan bukan
masakannya
itu sendiri.
Dan inilah
yang belum
dicapai
ketika Can
Nur masih
hidup. Dia
telah
mencurahkan
hidupnya
untuk
melayani
kebutuhan
kalangan
menengah
yang
membutuhka
n
pengayoman
dengan
memberikan
corak
keberagamaa
n yang tidak
kampungan.
Dia juga
bekerja
sangat keras
untuk
membuktika
n bahwa
Islam adalah
cocok untuk
kehidupan
moderen.

Tetapi
agaknya Cak
Nur telah
dikhianati.
Mereka
memanfataka
nnya dengan
hanya
mengambil
Islam simbol
dan bukan
Islam esensi.
Akibatnya
seperti yang
kita saksikan
saat ini
Indonesia
sedang
menuju pada
ujian yang
sangat berat.
Keindonesia
an dan ke
Islaman yang
selama ini
menjadi cita-
cita Cak Nur
supaya dapat
berkohesi
dengan
mulus
nampaknya
sedang
menuju pada
dua kutub
yang
sebetulnya
sangat
bertolak
belakangan.
Apakah
Indonesia
kembali
menjadi
negara
sekuler di
mana isu
agama
dijauhi dan
diletakan
menjadi isu
personal,
atau negara
menjadi
ajang
eksperimenta
si dari
mereka yang
punya mimpi
utopia
dimana
ideologi
Islam
digunakan
sebagai
landasan
hidup
berbangsa
dan
bernegara
dan berkeras
untuk
menerapkan
syariat Islam
dalam
peraturan
peraturan
negara dan
perda-perda.
Utopia itu
muncul
karena
mereka
melihat
bahwa corak
Islam yang
ada dan
menjadi ciri
Islam Orde
Baru
bukanlah
Islam yang
sebenarnya
Islam.
Mereka
melihat
pengelolaan
negara yang
korup
sebagai
sesuatu yang
tidak Islami.
Dan untuk
itu mereka
menawarkan
dan mencita-
citakan
penerapan
ideologi
Islam
sebagai
penawar atas
berbagai
persoalan
yang
berpangkal
pada
pengelolaan
negara yang
amburadul
ini. Semua
ini jelas
sangat
meresahkan
dan bukan
sesuatu yang
pernah
dicita-
citakan Cak
Nur.

* Tulisan ini
dalam versi
yang lebih
panjang
pernah
dipresentasik
an di
Universitas
Paramadina,
November
2006. Meski
begitu dari
segi isu saya
kira masih
tetap relevan
hingga sata
ini.

Anda mungkin juga menyukai