N. Azizah13-7277 PDF
N. Azizah13-7277 PDF
PENGARUH
LAMA
FERMENTASI
TERHADAP
KADAR
ALKOHOL,
pH,
DAN
PRODUKSI
GAS
PADA
PROSES
FERMENTASI
BIOETANOL
DARI
WHEY
DENGAN
SUBSTITUSI
KULIT
NANAS
N.
Azizah,
A.
N.
Al-‐Baarri,
S.
Mulyani
ABSTRAK:
Penelitian
dengan
tujuan
untuk
mengetahui
pengaruh
lama
fermentasi
terhadap
kadar
alkohol,
pH,
dan
produksi
gas
pada
proses
fermentasi
bioetanol
dari
whey
dengan
substitusi
kulit
nanas
telah
dilakukan.
Penelitian
menggunakan
rancangan
acak
lengkap
dengan
5
perlakuan
yaitu
T1,
T2,
T3,
T4,
dan
T5,
yang
masing-‐
masing
adalah
lama
fermentasi
12,
24,
36,
48,
dan
60
jam.
Ulangan
dilakukan
sebanyak
4
kali
untuk
masing-‐
masing
perlakuan.
Data
diolah
dengan
menggunakan
ANOVA,
apabila
ada
pengaruh
dilanjutkan
dengan
Uji
Wilayah
Ganda
Duncan.
Hasil
Penelitian
menunjukkan
lama
fermentasi
berpengaruh
nyata
(P<0,05)
terhadap
pH
tetapi
tidak
menunjukkan
pengaruh
(P>0,05)
terhadap
kadar
alkohol
dan
produksi
gas.
Kesimpulan,
lama
fermentasi
berpengaruh
menurunkan
nilai
pH,
tetapi
tidak
berpengaruh
meningkatkan
kadar
alkohol
dan
produksi
gas.
Kata
kunci:
whey,
bioetanol,
kadar
alkohol,
pH,
produksi
gas.
PENDAHULUAN
BBM
yang
ramah
lingkungan
karena
hasil
pembakarannya
Kebutuhan
dan
konsumsi
masyarakat
akan
Bahan
hanya
menghasilkan
H2O
dan
CO2.
Bakar
Minyak
(BBM)
yang
semakin
meningkat
dari
tahun
ke
Bioetanol
dapat
dibuat
dari
bahan
yang
tahun
berbanding
terbalik
dengan
ketersediaannya.
Di
Jawa
mengandung
gula
sederhana,
pati,
maupun
bahan
berserat
Tengah
misalnya,
suplai
BBM
dari
tahun
ke
tahun
menurun
melalui
proses
fermentasi.
Masing-‐masing
bahan
berbeda
meskipun
angkanya
relatif
tetap.
Menurut
Badan
Pusat
cara
pengolahannya
untuk
bisa
dijadikan
bioetanol.
Menurut
Statistik
Jawa
Tengah
jumlah
total
penyaluran
BBM
pada
Retno
dan
Nuri
(2011),
produksi
bioetanol
dengan
tahun
2006
adalah
4.202.246
kL
kemudian
pada
tahun
2008
menggunakan
bahan
berpati
harus
diawali
dengan
proses
mengalami
penurunan
yang
tidak
signifikan
menjadi
pemecahan
pati
menjadi
gula
sederhana
atau
glukosa
4.204.353
kL
dan
pada
tahun
2010
juga
mengalami
melalui
metode
hidrolisis
asam
atau
enzimatis.
Whey
penurunan
menjadi
4.010.695
kL.
Menurunnya
total
suplai
merupakan
hasil
samping
dari
proses
pengolahan
keju.
Di
bahan
bakar
minyak
tersebut
salah
satunya
dikarenakan
Indonesia
whey
umumnya
tidak
dimanfaatkan
sehingga
sumber
penghasil
BBM
yaitu
fosil
semakin
lama
semakin
menjadi
limbah
yang
dapat
merusak
lingkungan.
Padahal,
berkurang.
whey
masih
mengandung
komponen-‐komponen
yang
Salah
satu
upaya
untuk
mengurangi
konsumsi
penting
diantaranya
adalah
laktosa.
Laktosa
merupakan
gula
masyarakat
terhadap
BBM
adalah
dengan
memanfaatkan
sederhana
sehingga
dalam
proses
produksi
bioetanol
dari
energi
alternatif
terbarukan
seperti
yang
tertuang
dalam
whey
tidak
membutuhkan
proses
hidrolisis.
Untuk
Peraturan
Presiden
(Perpres)
Republik
Indonesia
Nomor
5
mengkonversi
laktosa
whey
menjadi
bioetanol
dibutuhkan
Tahun
2006
tentang
Kebijakan
Energi
Nasional,
adalah
mikroorganisme.
Mikroorganisme
yang
umumnya
digunakan
melalui
pengembangan
energi
terbarukan
berbasis
nabati
dalam
proses
produksi
bioetanol
adalah
Saccharomyces
atau
sering
disebut
Bahan
Bakar
Nabati
(BBN).
Tidak
hanya
cerevisiae.
Saccharomyces
cerevisiae
memiliki
beberapa
mengeluarkan
Perpres
no.
5
tahun
2006,
tetapi
pemerintah
kelebihan
dibandingkan
dengan
mikroorganisme
lain
yang
juga
menargetkan
pada
tahun
2016
pemanfaatan
BBN
bisa
dapat
memproduksi
bioetanol.
Kelebihan
tersebut
antara
mencapai
angka
5%.
Salah
satu
contoh
bahan
bakar
berbasis
lain
lebih
mudah
beradaptasi
dengan
lingkungan,
lebih
tahan
nabati
adalah
bioetanol.
Saat
ini
sudah
banyak
ditemukan
terhadap
kadar
alkohol
tinggi,
dan
lebih
mudah
didapat.
pemanfaatan
bioetanol
sebagai
bahan
campuran
(aditif)
dari
Whey
dapat
dikonversi
menjadi
bioetanol,
tetapi
bensin
yang
sering
disebut
dengan
gasohol
E-‐10.
Gasohol
E-‐ kadar
etanol
yang
dihasilkan
rendah.
Ini
disebabkan
karena
10
merupakan
campuran
antara
bensin
dengan
10%
kandungan
laktosa
di
dalam
whey
hanya
sekitar
4
-‐
5%.
Oleh
bioetanol
murni.
Gasohol
E-‐10
memiliki
angka
oktan
92
yang
karena
itu
perlu
adanya
bahan
substitusi
whey
agar
hampir
setara
dengan
pertamax
yang
memiliki
nilai
oktan
kandungan
gula
dalam
substrat
cukup
untuk
dapat
92-‐95.
Oleh
karena
itu
sangatlah
mungkin
jika
bioetanol
dikonversi
menjadi
bioetanol.
Kulit
nanas
yang
merupakan
dapat
dijadikan
sebagai
salah
satu
alternatif
pensubstitusi
limbah
buah
nanas
ataupun
limbah
industry
nanas
berpotensi
untuk
dijadikan
bahan
substitusi
whey
karena
Dikirim
30/6/2012,
diterima
29/8/2012.
Penulis
N.
Azizah
adalah
kandungan
gula
didalamnya
cukup
tinggi
yaitu
sekitar
12%.
dari
Magister
Ilmu
Ternak,
Fakultas
Peternakan
dan
Pertanian,
Lama
fermentasi
pada
proses
produksi
bioetanol
Universitas
Diponegoro.
Penulis
A.
N.
Al-‐Baarri
dan
S.
Mulyani
sangat
mempengaruhi
kadar
bioetanol
yang
dihasilkan.
adalah
dari
Program
Studi
Teknologi
Pangan,
Fakultas
Peternakan
dan
Pertanian,
Universitas
Diponegoro.
Kontak
langsung
pada
Semakin
lama
waktu
fermentasi
maka
semakin
tinggi
kadar
penulis:
N.
Azizah
(zizay@student.undip.ac.id)
72
Vol.
1
No.
2,
2012
–
Jurnal
Aplikasi
Teknologi
Pangan
Pengaruh
Lama
Fermentasi
terhadap
Kadar
Alkohol
…
bioetanol
yang
dihasilkan.
Jika
bioetanol
yang
terkandung
di
substrat
yang
digunakan
dalam
penelitian
utama
adalah
dalam
substrat
tinggi
maka
hal
ini
justru
akan
berpengaruh
whey
yang
disubstitusi
dengan
kulit
nanas
dengan
buruk
terhadap
pertumbuhan
Saccharomyces
cerevisiae.
perbandingan
1:1.
Substrat
yang
terdiri
dari
500
ml
whey
Karena
pada
kadar
alkohol
2,5%
pertumbuhan
dan
500
gram
kulit
nanas
disiapkan
di
dalam
filtering
flask
Saccharomyces
cerevisiae
akan
terhambat.
Hanya
1500
ml.
Sebelum
dimasukkan
dalam
filtering
flask,
substrat
0
Saccharomyces
cerevisiae
strain
tertentu
saja
yang
dapat
dipasteurisasi
pada
suhu
70 C
selama
30
menit.
Setelah
itu,
bertahan
pada
kadar
alkohol
2,5-‐5%.
Oleh
karena
itu
whey
dan
kulit
nanas
dicampur
sampai
homogen
(Tipteerasri
dibutuhkan
lama
fermentasi
yang
tepat
untuk
proses
et
al.,
2009
termodifikasi).
fermentasi
bioetanol
agar
didapatkan
kadar
etanol
dalam
jumlah
yang
tinggi,
nlai
pH
rendah,
dan
produksi
gas
yang
Penyiapan
starter.
Starter
yang
digunakan
adalah
ragi
roti
tinggi
tetapi
tidak
mengganggu
pertumbuhan
dengan
merk
Fermipan
yang
ditumbuhkan
dalam
substrat
Saccharomyces
cerevisiae.
pertumbuhan.
substrat
pertumbuhan
terdiri
dari
1000
ml
Tujuan
dari
penelitian
ini
adalah
untuk
mengetahui
aquades
yang
ditambahkan
dengan
100
gram
gula
pasir
pengaruh
lama
fermentasi
terhadap
kadar
alkohol,
pH
dan
(konsentrasi
gula
10%)
yang
disiapkan
di
dalam
gelas
beker
produksi
gas
selama
proses
fermentasi
bioetanol
dengan
(Elevri
dan
Putra
2006
termodifikasi).
Setelah
semua
bahan
substrat
whey
yang
disubstitusi
dengan
kulit
nanas.
Manfaat
dimasukkan,
kemudian
dihomogenkan
terlebih
dahulu
yang
didapatkan
dari
penelitian
ini
adalah
dapat
diperoleh
dengan
magnetic
stirrer
kemudian
disterilisasi
dengan
0
lama
fermentasi
yang
paling
optimal
dalam
fermentasi
menggunakan
autoclave
pada
suhu
121 C
selama
15
menit.
bioetanol
dengan
substrat
whey
yang
disubstitusi
dengan
Substrat
ditunggu
hingga
dingin.
Setelah
dingin,
sampai
kira-‐
0
kulit
nanas.
kira
mencapai
suhu
30-‐33 C,
50
gram
Fermipan
dimasukkan
0
ke
dalam
substrat,
selanjutnya
diinkubasi
pada
suhu
30 C
MATERI
DAN
METODE
selama
8
jam
(Tipteerasri
et
al.,
2009
termodifikasi).
Penelitian
ini
telah
dilaksanakan
pada
bulan
November-‐Desember
2011
di
Laboratorium
Teknologi
Hasil
Inokulasi
starter.
Setelah
starter
diinkubasi
selama
8
jam,
Terrnak
Fakultas
Peternakan
dan
Pertanian
Universitas
maka
starter
tersebut
siap
untuk
diinokulasikan
di
dalam
Diponegoro
Semarang.
substrat
fermentasi.
Inokulasi
starter
baik
dilakukan
setelah
starter
diinkubasi
selama
8
jam.
Hal
ini
didasarkan
pada
Materi
asumsi
bahwa
setelah
8
jam,
Saccharomyces
cerevisiae
telah
Materi
yang
digunakan
dalam
penelitian
ini
adalah
mengakhiri
fase
logaritmik.
Akhir
fase
logaritmik
ditandai
whey
jenis
acid
whey
yang
didapat
dari
perusahaan
keju
dengan
adanya
perlambatan
pertumbuhan
dan
peningkatan
“Baros”
cabang
Salatiga,
kulit
nanas,
ragi
roti
komersil
kemampuan
metabolisme
(Held,
2010).
Starter
dimasukkan
dengan
merk
Fermipan,
gula,
aquades,
aluminium
foil,
dalam
medium
fermentasi
pada
kondisi
yang
aseptis.
Jumlah
alkohol
70%.
Peralatan
yang
digunakan
adalah
filtering
flask
starter
yang
dimasukkan
adalah
sebanyak
10%
(Tipteerasri
1500
ml,
gelas
ukur,
beker
gelas,
klip,
magnetic
stirrer,
et
al.,
2009).
inkubator,
autoclave,
timbangan
analitik,
piknometer,
pH
meter,
dan
bunsen.
Proses
fermentasi.
Setelah
sejumlah
10%
starter
diinokulasikan
ke
dalam
substrat
fermentasi
dalam
keadaan
Metode
yang
aseptis
maka
proses
selanjutnya
adalah
melakukan
Penelitian
yang
telah
dilaksanakan
menggunakan
fermentasi
substrat
yang
telah
diinokulasi
dengan
starter.
perlakuan
monofaktor
yaitu
lama
fermentasi
dengan
Proses
fermentasi
dilakukan
di
dalam
ruangan
khusus
yang
lingkungan
Rancangan
Acak
Lengkap
(RAL)
dan
respon
yang
suhunya
diatur
agar
tetap
memenuhi
persyaratan
optimal
diamati
adalah
kadar
alkohol,
pH,
dan
produksi
gas.
pertumbuhan
dari
Saccharomyces
cerevisiae.
Proses
Perlakuan
yang
diberikan
dibagi
dalam
5
taraf
dengan
fermentasi
dilaksanakan
selama
60
jam
dan
setiap
12
jam
ulangan
sebanyak
4
kali.
Data
yang
diperoleh
dianalisis
sekali
dilakukan
pengujian
terhadap
kadar
alkohol,
pH
dan
dengan
ANOVA
dan
jika
terdapat
perbedaan
maka
dilakukan
produksi
gas
(Richana,
2011
termodifikasi).
Pengujian
kadar
dengan
Uji
Wilayah
Ganda
Duncan.
Adapun
taraf
perlakuan
alkohol
diawali
dengan
proses
destilasi.
yang
digunakan
adalah
sebagai
berikut:
T1
=
lama
fermentasi
12
jam
Variabel
penelitian.
Variabel
yang
diamati
dalam
penelitian
T2
=
lama
fermentasi
24
jam
adalah
kadar
alkohol,
pH,
dan
produksi
gas.
Prosedur
T3
=
lama
fermentasi
36
jam
penetapan
variabel-‐variabel
tersebut
dijelaskan
lebih
lanjut
T4
=
lama
fermentasi
48
jam
seperti
di
bawah
ini.
T5
=
lama
fermentasi
60
jam
Prosedur
pengujian
kadar
alkohol.
Prosedur
pengujian
Persiapan
substrat.
Substrat
adalah
media
pertumbuhan
kadar
alkohol
dilakukan
dengan
metode
piknometer
sesuai
Saccharomyces
cerevisiae,
berbentuk
cair
yang
di
dalamnya
dengan
petunjuk
Putri
dan
Sukandar
(2008),
pertama-‐tama
mengandung
nutrisi
untuk
pertumbuhan
Saccharomyces
sampel
sebanyak
100
ml
dimasukkan
ke
dalam
labu
destilasi
cerevisiae.
Berdasarkan
hasil
penelitian
pendahuluan,
maka
Kjeldahl
kemudian
ditambahkan
dengan
aquades
sebanyak
73
Vol.
1
No.
2,
2012
–
Jurnal
Aplikasi
Teknologi
Pangan
Pengaruh
Lama
Fermentasi
terhadap
Kadar
Alkohol
…
0
100
ml.
Selanjutnya
didestilasi
pada
suhu
80 C.
Destilat
tidak
berpengaruh
nyata
terhadap
kadar
alkohol
whey
ditampung
di
dalam
erlenmeyer
hingga
volume
50
ml.
dengan
substitusi
kulit
nanas.
Data
rerata
Kadar
Alkohol
dari
Destilat
tersebut
kemudian
dimasukkan
ke
dalam
bioetanol
whey
dengan
substitusi
kulit
nanas
pada
setiap
piknometer
yang
telah
ditimbang
sebelumnya.
Destilat
perlakuan
disajikan
pada
Tabel
1.
dimasukkan
hingga
memenuhi
piknometer.
Kelebihan
Pada
penelitian
ini,
didapatkan
hasil
bahwa
lama
destilat
pada
puncak
pipa
kapiler
dibersihkan.
Piknometer
fermentasi
tidak
berpengaruh
nyata
terhadap
kadar
alkohol.
yang
berisi
destilat
ditimbang
dan
beratnya
dicatat.
Prosedur
Fermentasi
selama
60
jam
menghasilkan
kadar
alkohol
yang
yang
sama
dilakukan
pada
aquades
sebagai
pembanding.
berkisar
antara
1,21-‐2,25%.
Penelitian
mengenai
bioetanol
Berat
jenis
alkohol
dihitung
dari
(berat
piknometer
+
telah
banyak
dilakukan
sebelumnya
dan
menunjukkan
hasil
destilat)
dikurangi
berat
piknometer
kosong
kemudian
yang
berbeda-‐beda.
Sebagai
contoh
penelitian
yang
dibagi
(berat
piknometer
+
aquades)
dikurangi
berat
dilakukan
oleh
Kumalasari
(2011),
dengan
menggunakan
piknometer
kosong.
Hasil
penghitungan
berat
jenis
alkohol
substrat
kulit
nanas
kemudian
difermentasi
dengan
ragi
roti
kemudian
dikonversikan
dengan
menggunakan
tabel
(Saccharomyces
cerevisiae)
selama
4
hari
pada
suhu
24-‐33°C
konversi
BJ
alkohol.
menghasilkan
kadar
alkohol
yang
berkisar
antara
4,18-‐
5,49%.
Hal
ini
menunjukkan
bahwa,
lama
fermentasi
pada
Prosedur
pengujian
pH.
Prosedur
pengujian
pH
dilakukan
penelitian
ini,
belum
mencapai
waktu
yang
optimal.
Di
sisi
dengan
mengukur
suhu
sampel
terlebih
dahulu
kemudian
lain
Sari
et
al.
(2008),
menyatakan
bahwa
lama
fermentasi
mengatur
suhu
pH
meter
pada
suhu
terukur.
pH
meter
yang
paling
optimal
untuk
proses
pembuatan
bioetanol
dihidupkan
dan
dibiarkan
agar
stabil
selama
15-‐30
menit.
adalah
3
hari.
Jika
fermentasi
dilakukan
lebih
dari
3
hari,
Elektroda
dibilas
dengan
aquades
dan
dikeringkan
dengan
justru
kadar
alkoholnya
dapat
berkurang.
Berkurangnya
tissu.
Kemudian
elektroda
dicelupkan
pada
sampel
sampai
kadar
alkohol
disebabkan
karena
alkohol
telah
dikonversi
diperoleh
pembacaan
skala
yang
stabil
(Richana,
2011).
menjadi
senyawa
lain,
misalnya
ester.
Lama
fermentasi
dipengaruhi
oleh
faktor-‐faktor
Prosedur
pengukuran
produksi
gas.
Prosedur
pengukuran
yang
secara
langsung
maupun
tidak
langsung
berpengaruh
produksi
gas
dilakukan
dengan
cara
menghitung
penurunan
terhadap
proses
fermentasi.
Menurut
Kunaepah
(2008),
ada
air
yang
ada
di
dalam
gelas
ukur
250
ml.
Alat
untuk
banyak
faktor
yang
mempengaruhi
fermentasi
antara
lain
mengukur
volume
gas
yang
keluar
selama
proses
substrat,
suhu,
pH,
oksigen,
dan
mikroba
yang
digunakan.
pembuatan
bioetanol
ini
adalah
suatu
rangkaian
yang
terdiri
Substrat
merupakan
bahan
baku
fermentasi
yang
dari
filtering
flask
1500
ml
yang
dihubungkan
dengan
gelas
mengandung
nutrient-‐nutrien
yang
dibutuhkan
oleh
ukur
500
ml
yang
posisinya
terbalik
melalui
selang.
gelas
mikroba
untuk
tumbuh
maupun
menghasilkan
produk
ukur
terlebih
dahulu
dilubangi
sesuai
besar
selang.
Gelas
fermentasi.
Nutrient
yang
paling
dibutuhkan
oleh
mikroba
ukur
tersebut
diisi
dengan
air
(volume
awal).
Kemudian
baik
untuk
tumbuh
maupun
untuk
menghasilkan
produk
karena
adanya
produksi
gas
maka
air
yang
ada
di
dalam
fermentasi
adalah
karbohidrat.
Karbohidrat
merupakan
gelas
ukur
akan
mengalami
penurunan.
Volume
air
pada
sumber
karbon
yang
berfungsi
sebagai
penghasil
energi
bagi
saat
pengukuran
produksi
gas
merupakan
volume
akhir.
mikroba,
sedangkan
nutrient
lain
seperti
protein
dibutuhkan
Besarnya
produksi
gas
dapat
diukur
dengan
menghitung
dalam
jumlah
lebih
sedikit
daripada
karbohidrat.
Substrat
selisih
volume
awal
dan
volume
akhir.
Produksi
gas
yang
digunakan
dalam
penelitian
ini
adalah
whey
yang
dinyatakan
dalam
satuan
ml
(Datar
et
al.,
2004
disubstitusi
dengan
kulit
nanas.
Whey
mengandung
termodifikasi).
karbohidrat
dari
jenis
laktosa,
sedangkan
kulit
nanas
mengandung
karbohidrat
jenis
fruktosa,
dan
sukrosa.
Dari
HASIL
DAN
PEMBAHASAN
hasil
uji
total
gula,
kandungan
gula
pada
whey
dan
kulit
Berdasarkan
hasil
penelitian,
data
rerata
nilai
Kadar
nanas
masing-‐masing
adalah
4,21%
dan
12,13%.
Gula-‐gula
Alkohol,
pH,
dan
Produksi
Gas
setiap
perlakuan
disajikan
tersebut
kemudian
akan
dikonversi
menjadi
bioetanol
pada
Tabel
1.
dengan
bantuan
Saccharomyces
cerevisiae.
Saccharomyces
cerevisiae
dapat
mengkonversi
gula
menjadi
etanol
karena
Tabel
1.
Rerata
Nilai
Kadar
Alkohol,
pH,
dan
Produksi
Gas
Perlakuan
Kadar
Alkohol
pH
Produksi
Gas
adanya
enzim
invertase
dan
zimase.
Dengan
adanya
enzim-‐
(%)
ns
(L)
ns
enzim
ini
Saccharomyces
cerevisiae
memiliki
kemampuan
T1
1,25
3,70
b
0,16
untuk
mengkonversi
baik
gula
dari
kelompok
monosakarida
T2
2,04
3,72
b
0,26
maupun
dari
kelompok
disakarida.
Jika
gula
yang
tersedia
a
T3
2,25
3,86 0,29
dalam
substrat
merupakan
gula
disakarida
maka
enzim
b
T4
1,71
3,60 0,44
invertase
akan
bekerja
menghidrolisis
disakarida
menjadi
c
T5
1,21
3,50 0,51
monosakarida.
Setelah
itu,
enzim
zymase
akan
mengubah
Keterangan:
ns=
tidak
signifikan;
Superskrip
huruf
yang
berbeda
monosakarida
tersebut
menjadi
alkohol
dan
CO2.
Hal
ini
pada
kolom
menunjukkan
adanya
perbedaan
(P<0,05).
sesuai
dengan
pernyataan
Judoamidjojo
et
al.
(1992),
yang
Pengaruh
Lama
Fermentasi
terhadap
Kadar
Alkohol
menyatakaan
bahwa
Saccharomyces
cerevisiae
dapat
Berdasarkan
perhitungan
sidik
ragam
diketahui
menghasilkan
etanol
yang
berasal
dari
fermentasi
gula.
Gula
bahwa
perlakuan
lama
fermentasi
(12,
24,
36,
48,
60
jam)
akan
diubah
menjadi
bentuk
yang
paling
sederhana
oleh
74
Vol.
1
No.
2,
2012
–
Jurnal
Aplikasi
Teknologi
Pangan
Pengaruh
Lama
Fermentasi
terhadap
Kadar
Alkohol
…
enzim
invertase
baru
kemudian
gula
sederhana
tersebut
alkohol
maka
dibutuhkan
kondisi
anaerob,
tetapi
untuk
akan
dikonversi
menjadi
etanol
dengan
adanya
enzim
pembuatan
starter
(biakan
awal)
diperlukan
kondisi
aerob.
zymase.
Kedua
enzim
tersebut
dihasilkan
oleh
Mikroba
sebagai
pelaku
fermentasi
tentu
sangat
Saccharomyces
cerevisiae.
Meskipun
Saccharomyces
berpengaruh
terhadap
lama
fermentasi.
Dalam
fermentasi
cerevisiae
dapat
mengubah
gula
sederhana
menjadi
etanol,
alkohol
umumnya
digunakan
khamir
karena
khamir
dapat
Namun
sejumlah
penelitian
menyebutkan
bahwa
mengkonversi
gula
menjadi
alkohol
dengan
adanya
enzim
Saccharomyces
cerevisiae
tidak
mampu
mengkonversi
zimase.
Dalam
penelitian
ini,
mikroba
yang
digunakan
adalah
galaktosa
menjadi
etanol.
Sehingga
dalam
proses
fermentasi
Saccharomyces
cerevisiae.
Menurut
O’leary
et
al.
(2004),
bioetanol
dari
sumber
laktosa,
hanya
glukosa
saja
yang
Saccharomyces
cerevisiae
adalah
khamir
yang
biasa
diubah
menjadi
etanol.
Hal
ini
diungkapkan
oleh
O’leary
et
digunakan
dalam
fermentasi
alkohol.
Saccharomyces
al.
(2004),
yang
menyatakan
bahwa
Saccharomyces
cerevisiae
memiliki
beberapa
kelebihan
dibandingkan
cerevisiae
menghidrolisis
laktosa
whey
menjadi
glukosa
dan
mikroba
lain
yang
juga
dapat
membentuk
alkohol.
galaktosa.
Kemudian
glukosa
akan
dikonversi
menjadi
etanol
Kluyveromyces
fragilis
juga
merupakan
khamir
yang
dapat
sedangkan
galaktosa
tidak
mampu
diubah
menjadi
etanol.
memproduksi
alkohol.
tetapi,
Saccharomyces
cerevisiae
Hal
yang
sama
juga
diungkapkan
oleh
Rubio
dan
Texeira
dapat
mengkonversi
gula
lebih
cepat
daripada
(2005),
yang
menyatakan
bahwa
Saccharomyces
cerevisiae
Kluyveromyces
fragilis.
Dalam
72
jam
Saccharomyces
lebih
mampu
beradaptasi
dalam
substrat
yang
mengandung
cerevisiae
dapat
menghasilkan
alkohol
hingga
2%
sedangkan
glukosa
daripada
galaktosa.
Kluyveromyces
fragilis
membutuhkan
waktu
hingga
1
Suhu
fermentasi
mempengaruhi
lama
fermentasi
minggu
untuk
dapat
memproduksi
etanol
hingga
2%.
karena
pertumbuhan
mikroba
dipengaruhi
suhu
lingkungan
Namun,
Saccharomyces
cerevisiae
tidak
dapat
fermentasi.
Mikroba
memiliki
kriteria
pertumbuhan
yang
memanfaatkan
galaktosa.
Hal
tersebut
juga
diungkapkan
berbeda-‐beda.
Menurut
Fardiaz
(1992),
Saccharomyces
oleh
Rubio
dan
Texeira
(2005),
Saccharomyces
cerevisiae
cerevisiae
memliki
kisaran
suhu
pertumbuhan
antara
20-‐ akan
menggunakan
glukosa
sebagai
sumber
karbonnya
30°C.
Tetapi
Kumalasari
(2011),
menyatakan
bahwa
daripada
galaktosa.
Saccharomyces
cerevisiae
akan
tumbuh
optimal
dalam
Lama
fermentasi
juga
berkaitan
dengan
kisaran
suhu
30-‐35°C
dan
puncak
produksi
alkohol
dicapai
pertumbuhan
dari
Saccharomyces
cerevisiae.
Seperti
pada
suhu
33°C.
Jika
suhu
terlalu
rendah,
maka
fermentasi
mikroorganisme
yang
lain,
pertumbuhan
dari
Saccharomyces
akan
berlangsung
secara
lambat
dan
sebaliknya
jika
suhu
cerevisiae
dapat
digambarkan
dengan
kurva
pertumbuhan
terlalu
tinggi
maka
Saccharomyces
cerevisiae
akan
mati
yang
menunjukkan
masing-‐masing
fase
pertumbuhan.
Ada
4
sehingga
proses
fermentasi
tidak
akan
berlangsung.
fase
pertumbuhan
yang
meliputi
fase
adaptasi,
fase
tumbuh
Derajat
keasaman
(pH)
merupakan
salah
satu
faktor
cepat,
fase
stasioner,
dan
fase
kematian.
Fase
adaptasi
penting
yang
perlu
untuk
diperhatikan
pada
saat
proses
digambarkan
dengan
garis
kurva
dari
keadaan
nol
kemudian
fermentasi.
pH
mempengaruhi
pertumbuhan
Saccharomyces
sedikit
ada
kenaikan.
Di
dalam
fase
ini
Saccharomyces
cerevisiae.
Oleh
karena
itu,
pada
awal
pelaksanaan
cerevisiae
mengalami
masa
adaptasi
dengan
lingkungan
dan
penelitian,
substrat
yang
akan
dipakai
terlebih
dahulu
diuji
belum
ada
pertumbuhan.
Fase
tumbuh
cepat
yang
pH
nya.
Berdasarkan
hasil
uji
pH,
pH
whey
dan
kulit
nanas
digambarkan
dengan
garis
kurva
yang
mulai
menunjukkan
masing-‐masing
adalah
4,50
dan
4,20.
Hal
ini
sesuai
dengan
adanya
peningkatan
yang
tajam.
Pada
fase
ini
pendapat
Roukas
(1994),
bahwa
kisaran
pertumbuhan
Saccharomyces
cerevisiae
mengalami
pertumbuhan
yang
Saccharomyces
cerevisiae
adalah
pada
pH
3,5-‐6,5.
Pada
sangat
cepat.
Di
dalam
fase
ini
terjadi
pemecahan
gula
kondisi
basa,
Saccharomyces
cerevisiae
tidak
dapat
tumbuh.
secara
besar-‐besaran
guna
memenuhi
kebutuhan
Ditambahkan
oleh
Elevri
dan
Putra
(2006),
bahwa
produksi
pertumbuhan
Saccharomyces
cerevisiae.
Hasil
pemecahan
etanol
oleh
Saccharomyces
cerevisiae
paling
maksimal
gula
oleh
Saccharomyces
cerevisiae
dalam
keadaan
anaerob
dapat
dicapai
pada
pH
4,5.
menghasilkan
alkohol.
Kemungkinan
dihasilkan
alkohol
Oksigen
secara
tidak
langsung
mempengaruhi
lama
paling
tinggi
pada
fase
ini.
Fase
stasioner
digambarkan
fermentasi
yang
dilakukan
oleh
Saccharomyces
cerevisiae.
dengan
garis
kurva
mendatar
yang
menunjukkan
jumlah
Saccharomyces
cerevisiae
dapat
tumbuh
dengan
baik
pada
Saccharomyces
cerevisiae
yang
hidup
sebanding
dengan
kondisi
aerob,
tetapi
untuk
melakukan
proses
fermentasi
jumlah
yang
mati.
Fase
kematian
digambarkan
dengan
alkohol,
dibutuhkan
kondisi
anaerob.
Proses
fermentasi
penurunan
garis
kurva.
Pada
fase
ini
jumlah
Saccharomyces
dilakukan
di
dalam
filering
flask
1000
ml
yang
ditutup
rapat.
cerevisiae
yang
mati
jumlahnya
lebih
banyak
sampai
Sehingga
hal
ini
memberikan
kondisi
anaerob.
Menurut
akhirnya
semua
Saccharomyces
cerevisiae
mati.
Kunaepah
(2008),
Saccharomyces
cerevisiae
tumbuh
dengan
baik
pada
kondisi
aerob.
Pada
kondisi
aerob
Saccharomyces
Pengaruh
Lama
Fermentasi
terhadap
pH
Bioetanol
cerevisiae
menghidrolisis
gula
menjadi
air
dan
CO2,
tetapi
Berdasarkan
perhitungan
sidik
ragam
diketahui
dalam
keadaan
anaerob
gula
akan
diubah
oleh
bahwa
perlakuan
lama
fermentasi
(12,
24,
36,
48,
60
jam)
Saccharomyces
cerevisiae
menjadi
alkohol
dan
CO2.
berpengaruh
nyata
terhadap
nilai
pH
bioetanol
whey
Ditambahkan
oleh
Richana
(2011),
jika
tujuan
penggunaan
dengan
substitusi
kulit
nanas.
Perlakuan
lama
fermentasi
36
Saccharomyces
cerevisiae
adalah
untuk
menghasilkan
75
Vol.
1
No.
2,
2012
–
Jurnal
Aplikasi
Teknologi
Pangan
Pengaruh
Lama
Fermentasi
terhadap
Kadar
Alkohol
…
jam
mempunyai
nilai
pH
paling
rendah.
Data
rerata
pH
alkoholnya
menurun.
Semakin
lama
proses
fermentasi
maka
bioetanol
pada
setiap
perlakuan
disajikan
pada
Tabel
1.
gas
CO2
yang
terbentuk
juga
akan
semakin
banyak.
Kondisi
Nilai
pH
dipengaruhi
oleh
produk
yang
dihasilkan
ini
tidak
baik
untuk
pertumbuhan
Saccharomyces
cerevisiae
selama
proses
fermentasi.
Dalam
penelitian
ini,
produk
dan
juga
untuk
proses
fermentasi
bioetanol.
Menurut
Datar
fermentasi
yang
dihasilkan
adalah
alkohol.
Saccharomyces
et
al.
(2004),
dengan
adanya
produksi
gas
selama
proses
cerevisiae
bersifat
homofermentatif,
sehingga
produk
fermentasi
maka
pertumbuhan
Saccharomyces
cerevisiae
fermentasi
yang
dihasilkan
hanya
alkohol.
Alkohol
bersifat
akan
berhenti
meskipun
Saccharomyces
cerevisiae
masih
asam.
Sehingga
ketika
waktu
fermentasi
ditambah
maka
dalam
keadaan
hidup.
Kemudian
akan
mulai
menghasilkan
akan
semakin
banyak
alkohol
yang
terbentuk.
Kondisi
ini
alkohol
kembali
jika
gas
CO2
dihilangkan.
menyebabkan
pH
substrat
semakin
rendah.
Substrat
yang
Starter
yang
digunakan
dalam
penelitian
ini
terdiri
dari
whey
yang
disubstitusi
dengan
kulit
nanas
merupakan
ragi
roti
komersil
dengan
merk
Fermipan.
Ragi
masing-‐masing
memiliki
pH
4,50
dan
4,20.
Menurut
Irfandi
roti
merupakan
khamir
jenis
Saccharomyces
cerevisiae
tipe
(2005),
pH
awal
substrat
perlu
diketahui
agar
fermentasi
tertentu
yang
umumnya
cepat
tumbuh
di
dalam
adonan
roti.
dapat
berlangsung
secara
optimal.
Elevri
dan
Putra
(2006),
Di
dalam
adonan
roti
Saccharomyces
cerevisiae
menambahkan
bahwa
Saccharomyces
cerevisiae
dapat
memetabolisme
sumber
gula
dan
salah
satu
hasil
melakukan
fermentasi
secara
optimal
pada
pH
4,5.
metabolismenya
adalah
gas
CO2
yang
dapat
Proses
fermentasi
bioetanol
tidak
hanya
mengembangkan
adonan
roti.
Proses
ini
terjadi
pada
kondisi
menghasilkan
etanol
tetapi
juga
hasil
samping
(by
product)
aerob.
Di
dalam
kondisi
anaerob
ragi
roti
tetap
yang
berupa
gas
CO2.
Seiring
meningkatnya
lama
fermentasi,
menghasilkan
gas
CO2,
meskipun
tidak
secepat
dalam
produksi
gas
CO2
juga
semakin
bertambah
meskipun
kondisi
aerob.
Hal
ini
sesuai
dengan
pendapat
Pelczar
dan
hasilnya
tidak
signifikan.
Peningkatan
produksi
gas
ternyata
Chan
(1988),
yang
menyatakan
bahwa
ragi
roti
merupakan
juga
diikuti
dengan
penurunan
nilai
pH.
Hal
ini
dapat
dilihat
khamir
jenis
Saccharomyces
cerevisiae
yang
telah
diseleksi
pada
akhir
fermentasi
yaitu
pada
jam
ke-‐60,
nilai
pH
nya
sebelumnya
untuk
tujuan
komersil.
Saccharomyces
paling
rendah.
Ini
membuktikan
bahwa
produksi
gas
juga
cerevisiae
yang
dipilih
adalah
Saccharomyces
cerevisiae
yang
berkontribusi
terhadap
nilai
pH.
Sesuai
dengan
pendapat
memiliki
kemampuan
memfermentasi
gula
dengan
baik
di
Kartohardjono
et
al.
(2007),
bahwa
gas
CO2
sering
disebut
dalam
adonan
dan
dapat
tumbuh
dengan
cepat.
gas
asam
(acid
whey)
karena
gas
CO2
memiliki
sifat
asam.
Karbondioksida
yang
dihasilkan
dari
proses
fermentasi
inilah
Oleh
karena
itu
gas
CO2
juga
berkontribusi
terhadap
nilai
pH.
yang
membuat
adonan
roti
mengembang.
Oleh
karena
itu,
ragi
roti
umumnya
terdiri
dari
Saccharomyces
cerevisiae
Pengaruh
Lama
Fermentasi
terhadap
Produksi
Gas
terpilih
yang
cepat
dalam
menghasilkan
karbondioksida
Berdasarkan
perhitungan
sidik
ragam
diketahui
untuk
tujuan
pengembangan
roti.
bahwa
perlakuan
lama
fermentasi
(12,
24,
36,
48,
60
jam)
tidak
berpengaruh
nyata
terhadap
total
gas
whey
dengan
KESIMPULAN
substitusi
kulit
nanas.
Data
rerata
Produksi
gas
bioetanol
Berdasarkan
hasil
penelitian
dapat
disimpulkan
whey
dengan
substitusi
kulit
nanas
pada
setiap
perlakuan
bahwa
lama
fermentasi
60
jam
pada
proses
fermentasi
disajikan
pada
Tabel
1.
bioetanol
dari
whey
dengan
substitusi
kulit
nanas
dengan
Berdasarkan
hasil
penelitian
diketahui
bahwa
penambahan
Saccharomyces
cerevisiae
berpengaruh
dalam
produksi
gas
sedikit
mengalami
peningkatan
seiring
dengan
menurunkan
nilai
pH,
tetapi
tidak
menunjukkan
adanya
bertambahnya
lama
fermentasi
meskipun
pertambahannya
pengaruh
dalam
meningkatkan
kadar
alkohol
dan
produksi
tidak
signifikan.
Hal
ini
menunjukkan
adanya
adanya
gas.
kestabilan
produk
gas
dari
awal
hingga
akhir
fermentasi.
Fermentasi
alkohol
pada
prinsipnya
menghasilkan
alkohol
DAFTAR
PUSTAKA
dan
gas
CO2.
Menurut
Hambali
et
al
(2008),
1
molekul
Datar,
R.
P.,
R.
M.
Shenkman,
B.
G.
Cateni,
R.
L.
Huhnke,
R.
S.
glukosa
tersedia
maka
akan
dipecah
oleh
Saccharomyces
Lewis.
2004.
Fermentation
of
biomass-‐generated
cerevisiae
menjadi
2
molekul
alkohol
dan
2
molekul
gas
CO2.
producer
gas
to
ethanol.
Biotechnology
and
Gas
CO2
yang
dihasilkan
memiliki
perbandingan
stoikiometri
Bioengineering.
86
(5):587–594.
yang
sama
dengan
etanol
yang
dihasilkan
yaitu
1
:
1.
Elevri,
P.
A.
dan
S.
R.
Putra.
2006.
Produksi
etanol
Ditambahkan
oleh
Richana
(2011),
meskipun
secara
teori
menggunakan
Saccharomyces
cerevisiae
yang
perbandingan
antara
produksi
gas
dan
produksi
alkohol
diamobilisasi
dengan
agar
batang.
Akta
Kamindo
1
adalah
1:1,
namun
pada
kenyataannya
hanya
70-‐80%
gas
(2):
105-‐114.
yang
dapat
diukur.
Fardiaz,
S.
1992.
Mikrobiologi
Pangan
1.
Gramedia
Pustaka
Peningkatan
produksi
gas
CO2
seiring
dengan
Utama,
Jakarta.
bertambahnya
waktu
fermentasi
menunjukkan
hasil
yang
Hambali,
E.,
S.
Mujdalipah,
A.
H.
Tambunan,
A.
W.
Pattiwiri
berbanding
terbalik
dengan
kadar
alkohol.
Gas
yang
dan
R.
Hendroko,
2008.
Teknologi
Bioenergi.
Agro
dihasilkan
pada
proses
fermentasi
alkohol
oleh
Media,
Jakarta.
Saccharomyces
cerevisiae
dapat
menghambat
aktivitas
dari
Saccharomyces
cerevisiae
itu
sendiri
sehingga
kadar
76
Vol.
1
No.
2,
2012
–
Jurnal
Aplikasi
Teknologi
Pangan
Pengaruh
Lama
Fermentasi
terhadap
Kadar
Alkohol
…
Irfandi.
2005.
Karakteristik
Morfologi
Lima
Populasi
Nanas
Retno,
D.T
dan
Nuri,
W.
2011.
Pembuatan
Bioetanol
Dari
(Ananas
comosus
(L.)
Merr.).
Skripsi.
Fakultas
Kulit
Pisang.
Jurusan
Teknik
Kimia
FTI
UPN
Veteran.
Pertanian.
Institut
Pertanian
Bogor,
Bogor.
Yogyakarta.
Judoamidjojo,
M.,
A.
A.
Darwis,
dan
E.
G.
Sa’id.
1992.
Richana,
N.
2011.
Bioetanol:
Bahan
Baku,
Teknologi,
Teknologi
Fermentasi.
Edisi
1.
Rajawali
Press,
Jakarta.
Produksi
dan
Pengendalian
Mutu.
Penerbit
Nuansa,
Kartohardjono,
S.,
Anggara,
Subihi,
dan
Yuliusman.
2007.
Bandung.
Absorbsi
CO2
dari
campurannya
dengan
CH4
atau
N2
Roukas
T.
(1994),
Continuous
ethanol
productions
from
melalui
kontaktor
membran
serat
berongga
carob
pod
extract
by
immobilized
Saccharomyces
menggunakan
pelarut
air.
Jurnal
Teknologi
11
(2):
cerevisiae
in
a
packed
bed
reactor.
J
Chem
Technol
97-‐102.
Biotecnhol.,
59:
387-‐393.
Kumalasari,
I.
J.
2011.
Pengaruh
Variasi
Suhu
Inkubasi
Rubio
dan
M.
A.
Texeira.
2005.
Comparative
analiysis
of
the
terhadap
Kadar
Etanol
Hasil
Fermentasi
Kulit
dan
gal
genetic
switch
between
Not-‐So-‐Distant
Cousins:
Bonggol
Nanas
(Ananas
sativus).
Skripsi.
Universitas
Saccharomyces
cerevisiae
versus
Kluyveromyces
Muhammadiyah
Semarang,
Semarang.
lactis.
FEMS
Yeast
Res.
5:
1115-‐1128.
Kunaepah,
U.
2008.
Pengaruh
Lama
Fermentasi
dan
Samson,
J.
A.
1980.
Tropical
Fruits,
Tropical
Agriculture
Konsentrasi
Glukosa
terhadap
Aktivitas
Antibakteri,
Series.
Longmarch,
London.
Polifenol
Total
dan
Mutu
Kimia
Kefir
Susu
Kacang
Sari,
I.
M.,
Noverita
dan
Yulneriwarni.
2008.
Pemanfaatan
Merah.
Tesis.
Universitas
Diponegoro,
Semarang.
jerami
padi
dan
alang-‐alang
dalam
fermentasi
etanol
O'Leary
V.
S.,
R.
Green,
B.
C.
Sullivan,
V.
H.
Holsinger.
2004.
menggunakan
kapang
Trichoderma
viride
dan
khamir
Alcohol
production
by
selected
yeast
strains
in
Saccharomycess
cerevisiae.
Vis
Vitalis.
5
(2):
55-‐62.
lactase-‐hydrolyzed
acid
whey.
Biotechnol
Bioeng
19
Tipteerasri,
T.,
W.
Hanmoungjai
dan
P.
Hanmoungjai.
2009.
(10):
19–35.
Ethanol
Production
from
Crude
Whey
by
Pelczar,
M.
dan
Chan.
1988.
Dasar-‐
Dasar
Mikrobiologi.
Kluyveromyces
marxianus
TISTR
5695.
Chiang
Mai
Universitas
Indonesia
Press,
Jakarta.
University,
Thailand.
77
Vol.
1
No.
2,
2012
–
Jurnal
Aplikasi
Teknologi
Pangan