Anda di halaman 1dari 25

KARAKTERISTIK PASIEN DAN POLA PENGOBATAN APENDISITIS DI RSUP DR.

SARDJITO,
YOGYAKARTA PERIODE
JANUARI 2010-DESEMBER 2014
NUR HIDAYAH, NORSALAN
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Apendisitis merupakan penyakit yang biasa dikenal oleh masyarakat awam

sebagai penyakit usus buntu. Apendisitis akut merupakan kasus bedah emergensi

yang paling sering ditemukan pada anak-anak dan remaja (Anonim, 2011).

Apendisitis akut merupakan masalah pembedahan yang paling sering dan

apendektomi merupakan salah satu operasi darurat yang sering dilakukan diseluruh

dunia (Paudel et al., 2010). Faktor potensialnya adalah diet rendah serat dan

konsumsi gula yang tinggi, riwayat keluarga serta infeksi (Mazziotti et al., 2008).

Kejadian apendisitis 1,4 kali lebih tinggi pada pria dibandingkan dengan wanita

(Craig, 2010). Insidensi apendisitis lebih tinggi pada anak kecil dan lansia (Smeltzer

et al, 2002).

Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2004, diketahui bahwa

apendisitis diderita oleh 418 juta jiwa di seluruh dunia, 259 juta jiwa darinya adalah

laki-laki dan selebihnya adalah perempuan, dan mencapai total 118 juta jiwa di

kawasan Asia Tenggara. Apendisitis merupakan peradangan pada usus buntu sehingga

penyakit ini dapat menyebabkan nyeri dan beberapa keluhan lain seperti mual,

muntah, konstipasi atau diare, demam yang berkelanjutan dan sakit perut sehingga

mengganggu aktivitas sehari-hari.

Di Amerika Syarikat, sekitar 80.000 anak pernah menderita apendisitis setiap

tahun, dimana terjadi 4 per 1000 anak di bawah usia 14 tahun (Hartman et al., 2000).
KARAKTERISTIK PASIEN DAN POLA PENGOBATAN APENDISITIS DI RSUP DR. SARDJITO,
YOGYAKARTA PERIODE
JANUARI 2010-DESEMBER 2014 2
NUR HIDAYAH, NORSALAN
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Apendisitis bisa terjadi pada semua golongan usia, namun sering terjadi di bawah

usia 40 tahun, terutama antara 10 dan 20 tahun. Kejadian apendisitis meningkat

dengan bertambahnya umur dan memuncak pada remaja. Apendisitis jarang terjadi

pada anak dengan umur kurang dari 10 tahun dan sangat jarang pada anak kurang dari

2 tahun (Philip, 2007).

Menurut Departmen Kesehatan RI pada tahun 2006, apendisitis merupakan

penyakit urutan keempat terbanyak di Indonesia pada tahun 2006. Jumlah pasien

rawat inap penyakit apendiks pada tahun tersebut mencapai 28.949 pasien, berada di

urutan keempat setelah dispepsia, duodenitis, dan penyakit cerna lainnya. Pada rawat

jalan, kasus penyakit apendiks menduduki urutan kelima (34.386 pasien rawat jalan),

setelah penyakit sistem pencernaan lain, dispepsia, gastritis dan duodenitis.

Sedangkan, menurut Departemen Kesehatan RI pada tahun 2009, apendisitis

masuk dalam daftar 10 penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit di

berbagai wilayah Indonesia dengan total kejadian 30,703 kasus dan 234 jiwa yang

meninggal akibat penyakit ini.

Antibiotik diberikan pada sebelum dan setelah operasi sesuai dengan

kebutuhan (Ajaz et al., 2009).


KARAKTERISTIK PASIEN DAN POLA PENGOBATAN APENDISITIS DI RSUP DR. SARDJITO,
YOGYAKARTA PERIODE
JANUARI 2010-DESEMBER 2014 3
NUR HIDAYAH, NORSALAN
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

B. Perumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Seperti apakah karakteristik pasien apendisitis dilihat dari usia, jenis kelamin,

tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, tempat tinggal, diet, lokasi nyeri, riwayat

penyakit dan komplikasi di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta berdasarkan data

pada periode Januari 2010 - Desember 2014?

2. Seperti apakah pola pengobatan apendisitis yang diberikan pada pasien

apendisitis? Adakah sesuai dengan ASHP Therapeutic Guideline (ASHP,

2013), WHO Guidelines for Safe Surgery (WHO, 2009), dan Antimicrobial

Prophylaxis in Surgery (Kanji et al., 2008) yang diacu?

3. Bagaimana outcome pengobatan setelah pasien mendapatkan terapi

apendisitis?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui karakteristik pasien dan melihat keterkaitan antara

terjadinya prevalensi apendisitis berdasarkan usia, jenis kelamin, tingkat

pendidikan, jenis pekerjaan, tempat tinggal, diet, lokasi nyeri, riwayat

penyakit dan komplikasi di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta pada periode

Januari 2010 - Desember 2014.

2. Untuk mengetahui pola pengobatan secara umum pada pasien apendisitis di

RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta pada periode Januari 2010 - Desember 2014

dengan kesesuaian berdasarkan ASHP Therapeutic Guideline (ASHP, 2013),


KARAKTERISTIK PASIEN DAN POLA PENGOBATAN APENDISITIS DI RSUP DR. SARDJITO,
YOGYAKARTA PERIODE
JANUARI 2010-DESEMBER 2014 4
NUR HIDAYAH, NORSALAN
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

WHO Guidelines for Safe Surgery (WHO, 2009), dan Antimicrobial

Prophylaxis in Surgery (Kanjiet al., 2008).

3. Untuk mengetahui outcome pengobatan setelah pasien diberikan pengobatan

pada penyakit apendisitis.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini secara teoritis mempunyai manfaat yang dapat digunakan

untuk:

1. Mendapatkan informasi mengenai data demografi pasien apendisitis di RSUP

Dr. Sardjito, Yogyakarta terutama dalam penatalaksanaan pengobatan pasien

dan efektifitas pengobatan.

2. Memberikan informasi tentang penyakit apendisitis dengan lebih mendalam,

sehingga diharapkan dapat bekerjasama dengan pemerintah atau pihak terkait

lainnya dalam menurunkan insidensi apendisitis.

3. Meningkatkan kualitas pelayanan farmasi di rumah sakit dengan

membandingkan pengetahuan farmakoterapi yang rasional.

E. Tinjauan Pustaka

1. Apendisitis

a. Definisi

Apendisitis adalah infeksi dan pembengkakan pada usus buntu yang

dapat menurunkan suplai darah ke dinding usus buntu. Hal ini menyebabkan

kematian jaringan dan usus buntu bisa pecah atau meledak sehingga
KARAKTERISTIK PASIEN DAN POLA PENGOBATAN APENDISITIS DI RSUP DR. SARDJITO,
YOGYAKARTA PERIODE
JANUARI 2010-DESEMBER 2014 5
NUR HIDAYAH, NORSALAN
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

mengakibatkan bakteri dan tinja masuk ke dalam perut. Kejadian ini disebut

usus buntu yang pecah. Sebuah usus buntu yang pecah bisa menyebabkan

peritonitis atau disebut infeksi perut. Apendisitis paling sering terjadi pada

usia 10 sampai 30 tahun yang merupakan alasan umum untuk operasi pada

anak-anak, dan merupakan bedah emergensi yang paling umum terjadi pada

kehamilan (Cheng et al., 2014).

Apendiks adalah salah satu bagian organ saluran pencernaan dan

terletak pada pangkal usus besar di daerah perut bagian kanan bawah (John et

al., 2008). Ukuran apendiks pada orang dewasa berkisar antara 6 sampai 7 cm

panjang dan fungsinya masih belum jelas (Robbins et al., 2005).

b. Patofisiologi

Secara klinis, apendisitis ini dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:

1) Apendisitis akut

Apendisitis yang terjadi dengan diawali oleh nyeri periumbilikal yang

diikuti dengan rasa mual dan muntah sehingga bisa menyebabkan anoreksia,

dan peningkatan nyeri lokal pada perut bagian kanan bawah. Lamanya rasa

nyeri ini berlangsung selama 24 sampai 36 jam. Penyebab apendisitis akut ini

adalah adanya obstruksi apendiks dan infeksi hematogen (Craig, 2005).

Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mengalami

sumbatan, sehingga semakin lama, mukus tersebut semakin banyak. Namun,


KARAKTERISTIK PASIEN DAN POLA PENGOBATAN APENDISITIS DI RSUP DR. SARDJITO,
YOGYAKARTA PERIODE
JANUARI 2010-DESEMBER 2014 6
NUR HIDAYAH, NORSALAN
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan di mana akan

menyebabkan peningkatan tekanan intralumen (Anonim, 2000).

2) Apendisitis Kronis

Apendisitis kronis terjadi apabila ada rasa nyeri di perut bagian kanan

bawah yang tidak berat, tetapi bisa menyebabkan aktivitas penderita

terganggu dan lebih dari dua minggu. Nyeri yang dirasakan dapat berlangsung

secara terus-menerus dan bisa bertambah berat parah kemudian mereda lagi

(Sjamsuhidajat et al., 2003).

c. Epidemiologi

Kejadian apendisitis banyak terjadi di negara maju dan di negara yang

sedang berkembang dimana diet dipengaruhi oleh gaya barat. Kejadian

apendisitis lebih rendah terjadi pada pola makan yang mengonsumsi serat

yang tinggi (Addis et al., 1990).

Secara keseluruhan, kadar kematian 0,2 - 0,8% diakibatkan oleh

komplikasi penyakit tersebut apabila tidak dilakukan intervensi pembedahan.

Kadar kematian meningkat sebanyak 20% pada pasien yang berusia lebih 70

tahun karena penundaan diagnostik dan terapetik. Kadar perforasi lebih tinggi

pada pasien yang berusia lebih muda dari 18 tahun dan pasien yang lebih tua

dari 50 tahun, berkemungkinan karena penundaan dalam diagnosa (Addis et

al., 1990).
KARAKTERISTIK PASIEN DAN POLA PENGOBATAN APENDISITIS DI RSUP DR. SARDJITO,
YOGYAKARTA PERIODE
JANUARI 2010-DESEMBER 2014 7
NUR HIDAYAH, NORSALAN
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Menurut penelitian, epidemiologi menunjukkan kebiasaan makan

makanan rendah serat akan mengakibatkan konstipasi yang dapat

menimbulkan apendisitis. Hal tersebut akan meningkatkan tekanan intra sekal,

sehingga timbul sumbatan fungsional apendiks dan meningkatkan

pertumbuhan kuman flora pada kolon (Treutner et al., 1997).

d. Etiologi

Etiologi dan patogenesis apendisitis masih belum jelas. Namun,

obstruksi lumen apendiks, oleh sebab apapun, dengan hasil penggelembungan

dan gangguan aliran darah, masih tetap diperkirakan faktor utama dalam

patogenesis apendisitis. Faktor lain yang berpengaruh termasuk makanan

yang rendah serat, bakteri dan infeksi kuman (Prem et al., 2009). Faktor yang

paling berperan dalam etiologi terjadinya apendisitis akut adalah obstruksi

lumen apendiks (Bernard, 2006). Keadaan obstruksi akan mengakibatkan

terjadinya proses inflamasi. Terdapat beberapa peningkatan tekanan dari

cairan intraluminal, kongesti dinding apendiks serta obstruksi vena dan arteri

yang nantinya akan menimbulkan keadaan hipoksia sehingga mengakibatkan

infeksi bakteri (Way, 2005).


KARAKTERISTIK PASIEN DAN POLA PENGOBATAN APENDISITIS DI RSUP DR. SARDJITO,
YOGYAKARTA PERIODE
JANUARI 2010-DESEMBER 2014 8
NUR HIDAYAH, NORSALAN
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Tabel I. Bakteria yang sering terisolasi pada apendisitis perforasi

Tipe Bakteria Pasien (%)


Anaerobik
Bacteroide fragilis 80
Bacteroides thetaoitaomicron 61
Bilophila wadworthia 55
Peptostreptococcus spp. 46
Anaerobik
Escheria coli 77
Streptococcus viridans 43
Group D streptococcus 27
Pseudomonas aeruginosa 18
(Bennion, 1995).

Flora pada apendiks normal mirip dengan usus besar yang mempunyai

berbagai jenis bakteri aerobik dan anaerobik. Escherichia coli, Streptococcus

viridans, dan Bacteriodes dan Pseudomonas spp. adalah diantara beberapa

jenis bakteri yang sering terisolasi dan akan terbiak pada organ dalam yang

lain (Gladman et al., 2004).

e. Patogenesis

Apendisitis diinisiasi oleh obstruksi lumen yang disebabkan oleh tinja

atau fekalith. Hal ini menjelaskan tentang epidemiologi yang mengatakan

apendisitis berasosiasi dengan asupan serat makanan yang rendah (Philip,

2007).

Penyebab ulkus masih tidak diketahui meskipun etiologi virus telah

dipostulatkan. Infeksi organisme Yersinia dapat menyebabkan penyakit,

karena merupakan komplemen tinggi titer antibodi fiksasi yang ditemukan

pada 30% kasus positif usus buntu. Reaksi inflamasi yang disertai dengan
KARAKTERISTIK PASIEN DAN POLA PENGOBATAN APENDISITIS DI RSUP DR. SARDJITO,
YOGYAKARTA PERIODE
JANUARI 2010-DESEMBER 2014 9
NUR HIDAYAH, NORSALAN
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

ulserasi cukup untuk menghalangi lumen usus buntu kecil bahkan kelihatan

tidak jelas. Obstruksi paling sering disebabkan oleh fekalith, yang dihasilkan

dari akumulasi dan penebalan logam tinja sekitar serat sayuran (Felson, 2008).

Kasus usus buntu dari obstruksi lumen apendiks menyebabkan infeksi

dan peradangan. Sebuah fekalith yang menghambat, sering terlihat setelah

dilakukan operasi. Awalnya, usus buntu menyebabkan nyeri peri-pusar, mual

dan muntah. Hal ini karena saraf visceral dari struktur pertengahan usus

menyebabkan nyeri ke daerah peri-pusar dan merangsang pusat muntah.

Ketika peradangan berkembang bisa mencapai luar usus buntu, dari serabut

saraf peritoneum parietal membawa informasi spasial yang tepat ke korteks

somatosensori dan nyeri terlokalisasi pada fosa iliak kanan, melapisi usus

buntu inflam. Setelah diobati, usus buntu dapat berkembang membentuk abses

apendiks atau pecah ke dalam rongga peritoneum, menyebabkan peritonitis

(Satish, 2004).

Nyeri dapat berbeda untuk setiap orang, karena usus buntu bisa terjadi

pada organ yang berbeda. Hal ini dapat membingungkan dan sulit untuk

mendiagnosa apendisitis. Paling sering sakit dimulai di sekitar pusar dan

kemudian pindah ke perut bagian bawah kanan. Nyeri yang dirasakan bisa

lebih terasa sakitnya apabila berjalan atau berbicara. Selama kehamilan letak

usus buntu lebih tinggi pada bagian perut, sehingga rasa sakit mungkin bisa

datang dari perut bagian atas. Pada orang tua, gejala sering tidak terlihat

karena ada sedikit pembengkakan (Stewart, 2014).


KARAKTERISTIK PASIEN DAN POLA PENGOBATAN APENDISITIS DI RSUP DR. SARDJITO,
YOGYAKARTA PERIODE
JANUARI 2010-DESEMBER 2014 10
NUR HIDAYAH, NORSALAN
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Bedah apendisitis sering disebut juga dengan apendektomi.

Apendektomi merupakan kedaruratan bedah paling sering di negara-negara

barat. Jarang terjadi pada usia di bawah 2 tahun dan banyak pada dekade

kedua (10 - 19 tahun) atau ketiga (20 - 29 tahun), akan tetapi dapat terjadi

pada semua usia (Grace et al., 2006).

f. Faktor risiko

Risiko terkena apendisitis juga dapat berubah dari waktu ke waktu

tergantung pada usia dan gaya hidup seseorang. Terdapat beberapa faktor

risiko yang dilihat pada pasien apendisitis secara umumnya seperti berikut

(Anonim, 2007):

1) Umur

Apendisitis dapat terjadi pada semua kelompok umur tetapi lebih umum pada

usia 10 hingga 30 tahun.

2) Jenis kelamin

Lelaki lebih dominan, dengan rasio laki-laki : perempuan (1,4:1) dan secara

menyeluruh, risiko seumur hidup untuk laki-laki adalah 8,6% dan perempuan

6,7%.

3) Diet

Individu yang kurang asupan makanan berserat dan kaya dalam asupan

karbohidrat berisiko tinggi untuk terkena apendisitis.


KARAKTERISTIK PASIEN DAN POLA PENGOBATAN APENDISITIS DI RSUP DR. SARDJITO,
YOGYAKARTA PERIODE
JANUARI 2010-DESEMBER 2014 11
NUR HIDAYAH, NORSALAN
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

4) Genetika

Posisi tertentu usus buntu yang merupakan predisposisi untuk infeksi, berjalan

dalam keluarga tertentu. Memiliki riwayat keluarga apendisitis dapat

meningkatkan risiko anak untuk mendapat penyakit.

5) Infeksi

Infeksi gastrointestinal seperti Amebiasis, Gastroenteritis Bakteria, Beguk,

Coxsackievirus B dan Adenovirus cenderung untuk individu tersebut terkena

apendisitis.

g. Tanda-tanda dan gejala klinis

Gejala klinis apendisitis yang dipresentasi oleh pasien tergantung pada

lokasi apendiks, pada tingkat patologi apendiks yang mengalami inflamasi

dan pada umur serta jenis kelamin pasien. Walaupun pada dasarnya apendiks

timbul dari dinding posteromedial usus besar, apendix juga terdapat pada

retrocecal, subcecal, retroileal, preileal, panggul dan bagian bawah panggul.

Sebagai akibat, lokasi yang bervariasi ini bisa mempengaruhi presentasi klinis

pada pasien dengan sangkaan apendisitis dan perbedaan diagnosis. Gejala

klinis apendisitis yang paling akurat adalah nyeri pada kuadran kanan bawah,

rigiditas dan periumbilical yang bermigrasi ke kuadran kanan bawah

(Birnbaum, 2000).
KARAKTERISTIK PASIEN DAN POLA PENGOBATAN APENDISITIS DI RSUP DR. SARDJITO,
YOGYAKARTA PERIODE
JANUARI 2010-DESEMBER 2014 12
NUR HIDAYAH, NORSALAN
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Berikut adalah keluhan yang dapat dijumpai pada pasien apendisitis:

1) Nyeri pada abdomen atau bagian perut

Keluhan ini merupakan keluhan utama pasien. Nyeri sering terasa pada

bagian tengah abdomen karena stimulasi aksi yang mendalam pada bagian

tengah kanal alimentari. Secara umum, nyeri terasa apabila terjadi obstruksi

atau penggelembungan, tetapi nyeri bisa menjadi lebih konstan pada kasus

yang non-obstruksi. Nyeri bertambah parah dan beralih ke arah kanan iliac

fossa apabila proses inflamatori berlanjutan dan melibatkan parietal

peritoneum (Courtney et al., 2008).

Rasa sakit yang sering dirasai adalah di sekitar epigastrum, daerah

periumbilikus, diseluruh abdomen atau kuadran kanan bawah dan setelah 4

jam biasanya rasa nyeri itu sedikit demi sedikit menghilang dan beralih ke

kuadran kanan bawah dan rasa sakitnya itu menetap dan bertambah berat dan

semakin dirasakan sakitnya apabila penderita bergerak (Theodore, 1993), dan

batuk (Courtney et al., 2008).

2) Mual dan Muntah

Mual dan muntah yang berlarutan, 1-3 kali sehari. Mual dan muntah ini

dikarenakan obstruksi usus kecil dan juga infeksi virus gastroenteritis (Silen,

2000). Keluhan apendisitis biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilikus

atau periumbilikus yang berhubungan dengan muntah (Philip, 2007).


KARAKTERISTIK PASIEN DAN POLA PENGOBATAN APENDISITIS DI RSUP DR. SARDJITO,
YOGYAKARTA PERIODE
JANUARI 2010-DESEMBER 2014 13
NUR HIDAYAH, NORSALAN
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

3) Demam

Demam yang tidak terlalu tinggi antara 37,5 dan 38,8⁰C (Philip, 2007),

yang disertai dengan kekakuan otot (Theodore, 1993).

4) Lain-lain

Pada beberapa kasus, juga muncul gejala seperti diare dan konstipasi

(Insecu, 2004). Pada bayi dan anak-anak, nyeri yang terjadi akan bersifat

menyeluruh, di semua bagian perut (Tucker, 2004). Pada pasien lanjut usia,

gejala-gejalanya tidak senyata pasien yang lebih muda. Pada wanita hamil,

rasa nyeri terasa lebih tinggi di daerah abdomen dibandingkan dengan

biasanya (Theodore, 1993).

Tabel di bawah ini menerangkan gejala klinis dan tanda-tanda yang

dirasakan pada anak, prasekolah dan remaja.

Tabel II. Gejala Klinis Apendisitis

Tanda-tanda yang
Golongan umur Gejala Klinis
ditemukan
Anak Muntah, diare, tidak Peningkatan temperatur,
nyaman sehinggakan nyeri perut
menangis terus, rasa
kurang selesa pada
panggul kanan
Prasekolah Nyeri perut, demam, Kuadran kanan bawah
muntah, “hamburger lebih sering nyeri
sign”, muntah yang
disertai nyeri
Usia sekolah dan remaja Nyeri periumbilikalis Nyeri bagian kuadran
yang melokalisasi ke kanan bawah, nyeri yang
kuadran kanan bawah, terasa dan kemudian
berhubungan dengan mereda lagi
mual, muntah, anoreksia
(Reynolds et al., 1992).
KARAKTERISTIK PASIEN DAN POLA PENGOBATAN APENDISITIS DI RSUP DR. SARDJITO,
YOGYAKARTA PERIODE
JANUARI 2010-DESEMBER 2014 14
NUR HIDAYAH, NORSALAN
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

h. Diagnosis

Diagnosis apendisitis dapat dilakukan mendasari pada gambaran klinis

dan temuan pada hasil radiografis. Antara diagnosis yang sering dilakukan

adalah seperti:

1) Gejala/keluhan utama

Rasa nyeri di sekitar epigastrum menjalar ke perut kanan bawah. Nyeri yang

dirasakan berlaku selama beberapa jam (Robbinset al., 2005). Keluhan yang

menyertai antara lain, mual dan muntah yang bisa menyebabkan anoreksia,

serta panas (Philip, 2007).

2) Pemeriksaan fisik

Rasa nyeri lepas tekan dilakukan dengan menekan perlahan pada bagian perut

menggunakan satu jari. Hal ini dilakukan untuk mendekteksi bagian mana

yang dirasakan nyeri. Apabila diminta supaya batuk, pasien bisa menyatakan

dengan jelas di mana rasa nyerinya, sehingga, itu merupakan tanda adanya

iritasi pada bagian peritoneal. Ketuk dengan perlahan juga bisa menimbulkan

rasa nyeri (Lawrence et al., 2001).

Pemeriksaan fisik yang dilakukan, meliputi:

a) Inspeksi

Penderita berjalan membungkuk sambil memegang perutnya, terutama bagian

kanan bawah. Perut kembung sering terlihat pada penderita dengan

komplikasi perforasi (Anonim, 2000a).


KARAKTERISTIK PASIEN DAN POLA PENGOBATAN APENDISITIS DI RSUP DR. SARDJITO,
YOGYAKARTA PERIODE
JANUARI 2010-DESEMBER 2014 15
NUR HIDAYAH, NORSALAN
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Apabila diminta supaya batuk, penderita bisa menyatakan dengan jelas di

mana rasa nyerinya, sehingga itu merupakan tanda adanya iritasi pada bagian

peritoneal (Lawrence et al., 2001).

b) Palpasi

Nyeri lepas tekan (rebound tenderness) adalah nyeri pada abdomen di kuadran

bagian kanan bawah, setelah nyeri tersebut dilepaskan (Hardin, 1999).

c) Perkusi

Rasa nyeri yang dialami apabila diketok dengan perlahan di bagian abdomen

(Lawrence et al., 2001).

3) Pemeriksaan laboratorium

Terdapat tiga cara untuk mendapatkan pemeriksaan laboratorium yaitu:

a) Hematologi

Moderat leukosit (10,000 – 20,000/µL) dengan neutrofilia adalah biasa.

Mikroskopik hematuria dan pyuria hadir pada satu per empat pasien

(Lawrence et al., 2001).

b) Urinalisis

Urinalisis adalah normal, walaupun pasien dengan retrocaecal atau apendisitis

pelvik berpotensi untuk punya leukosit atau sel darah merah dalam urin

(disebabkan iritasi kemih kencing atau ureter yang berdekatan dengan

inflamasi). Mikroskopi urin akan mengidentifikasi jalan perkencingan yang


KARAKTERISTIK PASIEN DAN POLA PENGOBATAN APENDISITIS DI RSUP DR. SARDJITO,
YOGYAKARTA PERIODE
JANUARI 2010-DESEMBER 2014 16
NUR HIDAYAH, NORSALAN
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

terinfeksi sekiranya terdapat tanda-tanda klinis yang tidak jelas (John et al.,

2008).

c) Tes kehamilan

Tes kehamilan adalah vital pada setiap wanita yang bisa mereproduksi supaya

tidak termasuk pada penyebab ginecologis (John et al., 2008).

4) Gambaran radiologi

Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk mendapatkan

gambaran radiologi, yaitu seperti berikut:

a) Computed tomography (CT) scanning

Metode ini dapat digunakan dalam mendiagnosis diameter apendiks, lokasi

apendiks (orthotopic, retrocecal, medoceliac atau pelvic), peningkatan dinding

apendiks, lemak yang terkumpul, dan keberadaan apendikolith (Martin et al.,

2014).

b) Magnetic resonance imaging (MRI)

Sembilan visual MRI telah pun di teliti: diameter apendiks >7 mm,

apendikolith, infiltrasi lemak peri-apendiks, cairan peri-apendiks, tidak

adanya gas di apendiks, kerusakan dinding apendiks, pembatasan difusi pada

dinding apendiks, lumen atau fokal pengumpulan cairan (Marjolein et al.,

2013).

c) Ultrasonography

Metode ini sangat membantu dalam untuk mendeteksi jaringan tubuh yang

bernanah atau yang berkumpul (abscess or mass), atau patologi non-apendiks,


KARAKTERISTIK PASIEN DAN POLA PENGOBATAN APENDISITIS DI RSUP DR. SARDJITO,
YOGYAKARTA PERIODE
JANUARI 2010-DESEMBER 2014 17
NUR HIDAYAH, NORSALAN
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

namun tidak bisa diandalkan untuk menunjukkan apendisitis yang rumit

(Philip, 2007).

d) X-rays (Foto sinar X)

Metode ini tidak perlu dilakukan pada pasien apendisitis, kecuali pada kondisi

tertentu seperti keterangan patologi abdomen yang membingungkan setelah

diobservasi. Metode ini dapat langsung memvisualisasikan sejumlah gas

bebas yang keluar dari apendiks yang bolong (apendisitis perforasi) (Philip,

2007) dan tidak tampak terjadi kelainan spesifik pada foto polos abdomen,

karena menggambarkan adanya fekalith pada apendiks (Santacrose et al.,

2006).

i. Prognosis

Tingkat kematian dari apendisitis yang kompleks adalah sangat rendah

sekali. Bahkan, tingkat kematian apendisitis perforasi dalam kebanyakan

kelompok hanya 0,2%, meskipun mendekati 15% pada awalnya (Lawrence et

al., 2001).

Morbiditas dan mortalitas apendisitis akut masih cukup tinggi. Hal ini

disebabkan oleh keterlambatan diagnosa dan penanganan pembedahan.

Pembedahan yang terlambat mungkin tetap berhubungan dengan perforasi.

Sebagian besar penderita dengan risiko apendisitis perforasi mempunyai skor

Alvarado yang tinggi (Imam, 2006).


KARAKTERISTIK PASIEN DAN POLA PENGOBATAN APENDISITIS DI RSUP DR. SARDJITO,
YOGYAKARTA PERIODE
JANUARI 2010-DESEMBER 2014 18
NUR HIDAYAH, NORSALAN
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Bermacam sistem skor digunakan untuk meningkatkan akurasi

diagnos klinis pada pasien apendisitis. Skor Alvarado merupakan sistem skor

yang paling dikenali namun hasilnya masih terlalu bervariasi (Philip, 2007).

Tabel III. Sistem skor untuk diagnosis apendisitis akut menggunakan

Skor
Nyeri bermigrasi dari bagian tengah perut ke kanan 1
ilia fosa
Anoreksia 1
Mual atau muntah 1

Nyeri pada bagian kanan ilia fosa 2


Nyeri lepas tekan 1

Peningkatan temperatur (≥ 37,5⁰C) 1

Peningkatan bilangan leukosit ≥ 10 x 10⁰/L 2

Neutrofilia ≥ 75% 1
Total 10

(Philip, 2007).

j. Tatalaksana terapi

Terapi apendisitis adalah apendektomi yaitu operasi bedah yang

dilakukan untuk memindahkan apendiks yang terinfeksi (Santacroce et al.,

2006). Penatalaksanaan apendisitis meliputi tiga tahap:

1) Persiapan sebelum operasi

Setelah timbulnnya keluhan, dilakukan observasi apendisitis dalam

waktu 8 hingga 12 jam, apabila tanda dan gejala apendisitis yang dialami

masih belum jelas (Anonim, 2000). Jika diagnosis masih belum pasti, maka
KARAKTERISTIK PASIEN DAN POLA PENGOBATAN APENDISITIS DI RSUP DR. SARDJITO,
YOGYAKARTA PERIODE
JANUARI 2010-DESEMBER 2014 19
NUR HIDAYAH, NORSALAN
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

pasien harus diamati dan diperiksa abdomen serta pelvis pada interval waktu

tertentu karena tidak ada gunanya memperpanjang waktu observasi dan tidak

ada yang boleh diberikan lewat mulut. Jika diperkirakan ada perforasi atau

plebilitis maka diberikan antibiotik intravena. Demam tinggi, terutama yang

terjadi pada anak-anak, harus diturunkan terlebih dahulu sebelum anak

tersebut diberi anestesi. Selang nasogastrik dimasukkan jika abdomen

kembung atau pasien mengalami keracunan (Theodore, 1993).

2) Apendektomi (Operasi Apendisitis)

Apendektomi merupakan satu-satunya pengobatan apendisitis sederhana

atau apendisitis perforasi yang disertai peritonis kalau tersedia fasilitas serta

personalitas yang adekuat. Kalau tidak sebagai gantinya diberikan antibiotik

intravena dosis tinggi. Abses pada apendiks diobati dengan antibiotik

intravena (Theodore, 1993).

Apendektomi terbagi kepada dua tipe (Santacroseet al., 2006):

a) Apendektomi terbuka (Open Appendectomy)

Satu sayatan akan dibuat (sekitar 5 cm) di bagian bawah kanan perut,

melewati kulit, dinding usus, dan peitonium. Setelah ditemukan, apendiks

dipisahkan dari organ-organ dengan hati-hati dan dikeluarkan. Sayatan akan

lebih besar, sebesar 7 sampai 8 cm (Sabiston, 2001) jika usus buntu telah

mengalami perforasi (Santacrose et al., 2006).


KARAKTERISTIK PASIEN DAN POLA PENGOBATAN APENDISITIS DI RSUP DR. SARDJITO,
YOGYAKARTA PERIODE
JANUARI 2010-DESEMBER 2014 20
NUR HIDAYAH, NORSALAN
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

b) Apendektomi Laparoskopi

Apendektomi laparoskopi telah menjadi prosedur standar yang secara

selektif digunakan untuk mengalihkan apendiks. Rongga peritonium akan

dipompa dengan gas karbon dioksida untuk menggelembungkan dinding perut

supaya kelihatan. Laparoskop dilewatkan melalui sayatan kecil pada dinding

perut anterolateral (misalkan, yang berdekatan dengan umbilikus) (John et al.,

2011).

3) Pasca Operasi

Observasi tanda-tanda vital dilakukan untuk mengetahui perdarahan di

dalam abdomen, syok, hipertemia atau gangguan pernafasan. Sekiranya setelah 12

jam tidak terjadi gangguan, maka pasien dikatakan baik dan selama waktu itu,

pasien dipuasakan. Selama 4 sampai dengan 5 jam, pasien diberikan minum mulai

15ml/jam, lalu baru dinaikkan menjadi 30ml/jam (Anonim, 2000a).

Apabila tidak terdapat komplikasi pada apendisitis, maka pemberian diet

harus segera disarankan untuk pasien setelah operasi dan pasien dapat keluar dari

rumah sakit setelah dietnya dapat ditoleransi (Santacrose et al., 2006).

k. Obat-obat apendisitis

Apendisitis yang sering digunakan pada pasien yang menderita

apendisitis adalah golongan penisilin, sefalosporin, aminoglikosida dan

metronidazol. Juga turut diberikan obat antiemetik.


KARAKTERISTIK PASIEN DAN POLA PENGOBATAN APENDISITIS DI RSUP DR. SARDJITO,
YOGYAKARTA PERIODE
JANUARI 2010-DESEMBER 2014 21
NUR HIDAYAH, NORSALAN
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Antibiotika adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan

bakteri, yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan

kuman (Tjay et al., 2002).

Klasifikasi antibiotika antara lain:

a) Penisilin

Penisilin bersifat bakterisid dan bekerja dengan cara menghambat sintesis

dinding sel. Obat ini berdifusi dengan baik di jaringan dan cairan tubuh, tapi

penetrasi ke dalam cairan otak kurang kecuali jika selaput otak mengalami

infeksi. Obat ini disekresi ke urin dalam kadar terapetik. Probenesid menghambat

ekskresi penisilin dalam tubulus ginjal sehingga kadar dalam darah lebih tinggi

dan masa kerjanya lebih panjang (Anonim, 2000).

b) Sefalosporin

Sefalosporin termasuk antibiotik betalaktam yang bekerja dengan cara

menghambat sintesis dinding sel mikroba. Sefalosporin aktif terhadap kuman

gram positif dan gram negatif tapi spektrum antimikroba masing-masing derivat

bervariasi. Farmakologi sefaloposrin mirip dengan penisilin, ekskresi terutama

melalui ginjal dan dapat dihambat oleh probenesid (Anonim, 2000).

Dari sifat farmakokinetik, sefalosporin dibedakan menjadi dua golongan.

Sefaleksin, sefradin, sefaklor dan sefadroksil dapat diberikan per oral karena

diabsorpsi melalui saluran cerna. Sefalosporin lainnya hanya dapat diberikan

parenteral. Sefalotin dan sefapirin umumnya diberikan secara i.v karena

menimbulkan iritasi pada pemberian i.m. Kebanyakan sefalosporin diekskresi


KARAKTERISTIK PASIEN DAN POLA PENGOBATAN APENDISITIS DI RSUP DR. SARDJITO,
YOGYAKARTA PERIODE
JANUARI 2010-DESEMBER 2014 22
NUR HIDAYAH, NORSALAN
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

dalam bentuk utuh ke urin, kecuali sefoperazon yang sebagian besar diekskresi

melalui empedu. Oleh karena itu, dosisnya harus disesuaikan pada pasien

gangguan fungsi ginjal (Anonim, 2000).

Generasi pertama bersifat sensitif terhadap enzim β-laktamase, dan

berspektrum sempit. Dalam hal ini, berspektrum sempit adalah relatif karena

sebenarnya aksinya atau spektrum sefalosporin generasi pertama sama dengan

penisilin spektrum luas. Contoh dari generasi pertama adalah sefazolin dan

sefaleksin. Generasi kedua mempunyai stabilitas yang lebih baik, dan aktivitasnya

terhadap bakteri gram bakteri negatif lebih tinggi. Contoh dari generasi kedua

adalah sefaklor, sefamandol dan sefoksitin. Generasi ketiga mempuyai spektrum

lebih luas dan lebih resisten terhadap enzim β-laktamase. Contoh dari generasi

ketiga adalah sefotaksim, seftazidim dan seftriakson (Burgess et al., 2000).

Generasi keempat mempunyai aktivitas baik terhadap bakteri gram positif

maupun gram negatif, dan mempunyai resistensi terhadap enzim β-laktamase

yang lebih baik. Contoh dari generasi keempat adalah sefepim dan sefpirom

(Kong et al., 2010).

Reaksi alergi merupakan efek samping yang paling sering terjadi. Reaksi

anafilaksis dengan spasme bronkus dan urtikaria dapat terjadi. Reaksi silang

biasanya terjadi pada pasien dengan alergi penisilin berat, sedangkan pada alergi

penisilin yang ringan dan sedang, kemungkinannya kecil. Sefalosporin

merupakan zat yang nefrotoksik, walaupun jauh kurang toksik dibandingkan


KARAKTERISTIK PASIEN DAN POLA PENGOBATAN APENDISITIS DI RSUP DR. SARDJITO,
YOGYAKARTA PERIODE
JANUARI 2010-DESEMBER 2014 23
NUR HIDAYAH, NORSALAN
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

dengan aminoglikosida dan polimiksin. Kombinasi sefalosporin dengan

aminoglikosida mempermudah terjadinya nefrotoksisitas (Anonim, 2000).

c) Aminoglikosida

Aminoglikosida bersifat bakterisidal dan aktif terhadap bakteria gram

positif dan gram negatif. Aminoglikosida tidak diserap melalui saluran cerna,

sehingga harus diberikan secara parenteral. Ekskresi terutam melalui ginjal. Pada

gangguan fungsi ginjal dapat terjadi akumulasi. Sebagian besar efek samping

tergantung dari besarnya dosis, oleh karena itu dosis perlu diperhatikan dengan

cermat dan pengobatan sebaiknya jangan melebihi 7 hari (Anonim, 2000).

Aminoglikosida dapat mengganggu transmisi saraf dan pemberiannya

harus dihindari dari pada miastenia gravis. Dosis besar yang diberikan dapat

menimbulkan sindrom miastenia, walaupun sebelumnya tidak ada gangguan

neurologis. Efek samping yang paling sering adalah ototoksisitas, nefrotoksisitas

yang biasanya terjadi pada orang tua atau pasien gangguan fungsi ginjal (Anonim,

2000).

d) Metronidazol

Metronidazol merupakan antimikroba dengan aktivitas yang sangat baik

terhadap bakteri anaerob dengan protozoa. Spektrum antiprotozoanya mencakup

Trikomonas vaginalis, vaginosis bakterialis (terutama Gardrenella vaginalis).

Aktivitas antibakteri anaerobnya sangat bermanfaat untuk sepsis pada kasus

bedah (Anonim, 2000). Antiemetik atau obat mual adalah obat yang digunakan

untuk mengatasi rasa mual dan muntah. Antiemetik secara khusus digunakan
KARAKTERISTIK PASIEN DAN POLA PENGOBATAN APENDISITIS DI RSUP DR. SARDJITO,
YOGYAKARTA PERIODE
JANUARI 2010-DESEMBER 2014 24
NUR HIDAYAH, NORSALAN
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

untuk mengatasi mabuk perjalanan dan efek sampai dari analgesik golongan

opiat, anestesi umum, dan kemoterapi yang digunakan untuk melawan kanker,

juga untuk mengatasi vertigo (pusing) atau migren (Mutschler et al., 1991).

Tujuan keseluruhan dari terapi anti-emetik adalah untuk mencegah atau

menghilangkan mual dan muntah, seharusnya tanpa menimbulkan efek samping.

Terapi antiemetik untuk pasien dengan gangguan elektrolit akibat sekunder dari

muntah, anoreksia berat, memburuknya status gizi atau kehilangan berat badan.
KARAKTERISTIK PASIEN DAN POLA PENGOBATAN APENDISITIS DI RSUP DR. SARDJITO,
YOGYAKARTA PERIODE
JANUARI 2010-DESEMBER 2014 25
NUR HIDAYAH, NORSALAN
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Di bawah ini disertakan juga algoritme pengobatan apendisitis (Courtney

et al., 2012):

Gambar 1: Algoritme Pengobatan Apendisitis

Anda mungkin juga menyukai