Anda di halaman 1dari 106

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Meningkatnya jumlah penduduk Indonesia saat ini yang berbanding lurus

dengan jumlah permintaan akan kebutuhan terutama kebutuhan akan kosmetik.

Apalagi kebutuhan akan kosmetik dan menjadi cantik merupakan dua hal yang

sulit dipisahkan bagi kaum wanita sejak dahulu kala bahkan sekarang lelaki pun

sudah mulai menggunakan produk kosmetik. Penggunaan kosmetik pada saat ini

tidak menjadi sesuatu yang mewah lagi bahkan suatu hal yang wajib bagi umat

manusia terkhususnya bagi wanita agar terlihat cantik.

Kosmetik adalah bahan atau campuran bahan untuk digosokkan, dilekatkan,

dituangkan, dipercikkan atau disemprotkan pada, dimasukkan dalam,

dipergunakan pada badan atau bagian badan dengan maksud untuk

membersihkan, memelihara, menambah daya tarik atau mengubah rupa dan tidak

termasuk golongan obat. (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 1976: 2)


Kaum hawa ataupun adam yang menggunakan atau memakai produk

kosmetik ini disebut dengan Konsumen. Konsumen adalah setiap orang pemakai

atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga,

orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. (Ahmadi

Miru, 2004: 19)


Pembelian kosmetik inipun sudah mudah untuk dijumpai dimanapun dan

saat ini sudah diperjualbelikan secara online via internet. Kegiatan bisnis

perdagangan melalui internet yang dikenal dengan istilah Electronic Commerce

1
(e-commerce) merupakan suatu kegiatan yang banyak dilakukan saat ini, karena

transaksi jual beli secara elektronik dapat dilakukan secara cepat, efektif dan

efesien serta kini menjadi alternatif dalam melaksanakan transaksi jual beli

dengan setiap orang dimanapun dan kapanpun.


Sasaran utama dari penjualan kosmetik ini mulai dari masyarakat golongan

ekonomi rendah, menengah hingga atas. Tetapi yang menjadi sasarannya adalah

masyarakat golongan menengah yang ingin terlihat cantik seperti kalangan atas

yang tidak sanggup membeli merek terkenal dengan harga yang mahal hingga

membuat mereka mencari jalan alternatif dengan membeli produk yang

menyerupai produk terkenal walaupun tidak memenuhi persyaratan.


Produsen kosmetik ini melakukan berbagai cara untuk memasarkan produk

mereka seperti memasarkan produk kosmetik yang tidak memiliki nomor BPOM

membuat harga produk lebih murah bukan karena produk tersebut palsu. Tidak

memiliki register izin edar atau nomor izin edar dari Badan Pengawas Obat dan

Makan, tidak adanya label bahan baku kosmetik serta tanggal expired produk.

Banyak kerugian yang ditimbulkan karena beredarnya produk-produk kosmetik

pemutih wajah. Hal ini dikarenakan demi keinginan mendapatkan kulit wajah

yang putih, para wanita menggunakan cara-cara instan yaitu dengan pemakaian

produk pemutih berupa cream pemutih wajah. Banyak cream pemutih wajah

yang tidak aman dikonsumsi beredar dipasaran, produk cream pemutih ini rata-

rata tidak memiliki izin dari Balai Pengawasan Obat Dan Makanan (BPOM) dan

Dinas Kesehatan. (Sri Arlina, 2018: 318)


Efek yang ditimbulkan saat konsumen menggunakan kosmetik berbahaya

tanpa adanya izin BPOM seperti kosmetik mengandung merkuri pada krim

pemutih (yang mungkin tercantum pada label) bisa menimbulkan keracunan dan

2
berdampak buruk bagi tubuh jika penggunaannya dalam kurun jangka waktu

lama.
Pembangunan nasional Indonesia, bahwa semua bidang kehidupan termasuk

kebijakan pada bidang kesehatan menjadi salah satu rangkaian pembangunan yang

menyeluruh dan sistematis serta berkesinambungan berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar 1945. Maka aspek dari kesehatan tersebut yaitu

tercapainya upaya kesehatan yang salah satunya adalah pemeliharaan kesehatan

masyarakat ataupun individu. Oleh sebab itu, kegiatan yang sengaja memproduksi

atau mengedarkan sedian farmasi dan alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar

ini adalah bentuk suatu kejahatan. Kejahatan ini adalah suatu delik dolus , artinya

harus dilakukan dengan sengaja. (Nur Anisa, 2012: 22)


Kejahatan atau tindak kriminal merupakan salah satu bentuk dari perilaku

menyimpang yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat, salah satu

bentuk perkembangan kejahatan yang ada di masyarakat terkait dengan peredaran

kosmetik ilegal.
Dinamika kekuasaan negara haruslah diimbangi dengan prinsip keadilan,

nomokrasi, atau the rule of law (Jimly Asshiddiqie, 2005). Salah cara

mengimbanginya adalah melalui mekanisme judicial review, yaitu pengujian

peraturan perundang-undangan oleh lembaga peradilan. (Wira Atma Hajri dan

Rahdiansyah, 2018: 1)
Negara memandang semakin maraknya peredaran produk ilegal, maka

memperkuat peran BPOM secara kelembagaan yang akhirnya penetapan

pembuatan Lembaga Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) berdasarkan

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2013 tentang Kedudukan,

Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga

3
Pemerintah Non Departemen. Pada pasal 67 Peraturan Presiden Republik

Indonesia Nomor 3 Tahun 2013 menyebutkan bahwa, BPOM mempunyai tugas

melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Deputi Bidang

Penindakan BPOM RI juga diperkuat dengan adanya tiga lembaga yaitu BIN,

Kejaksaan dan Polri. Dengan adanya penambahan personel dari unsur Polri

sebagai bentuk kerjasama antar instansi untuk memperkuat kinerja lembaga yang

diharapkan dapat meningkatkan efektivitas pengawasan obat dan makanan.


Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sebagai pengawas yang

memiliki keahlian khusus sebelum diedar kemasyarakat yaitu pengawasan Obat

dan Makanan sebelum beredar sebagai tindakan pencegahan untuk menjamin

Obat dan Makanan yang beredar memenuhi standar dan persyaratan keamanan,

khasiat/manfaat, dan mutu produk yang ditetapkan (Peraturan Presiden Republik

Indonesia, 2017:3) yang melibatkan aparat penyidik.

Lembaga BPOM yang dibantu oleh aparat kepolisian sebagai deputi bidang

penindakan yang melakukan pengawasan, serta tidak melupakan fungsi aparat

pengadilan sebagai pemegang kekuasaan kehakiman. Tugas pokok kekuasaan

kehakiman ialah menerima, memeriksa, dan mengadili, serta menyelesaikan setiap

perkara yang diajukan. (Republik Indonesia, 2009)


Penyelenggaraan kekuasaan Kehakiman ini diserahkan kepada badan-badan

peradilan seperti Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan

PTUN. Oleh sebab itu, peranan fungsi aparat sebagai pelengkap dari

terlaksananya proses penegakan hukum yang baik sesuai dengan tujuan hukum

yang diatur dalam sebuah peraturan perundang-undangan.

4
Rumusan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, terdapat sejumlah pasal

yang secara umum mengatur peredaran kosmetik illegal secara konteks yang

spesifik diatur didalam pasal Pasal 386 ayat (1) dan (2) khusus dirumuskan untuk

memberi perlindungan terhadap konsumen bidang pangan langsung dengan sanksi

hukumannya. (Denny Lumbantobing dan Taufik Siregar, 2012: 93)

Pasal 386 KUHP menyatakan :

(1) Barang siapa menjual, menawarkan atau menyerahkan barang


makanan, minuman atau obat-obatan yang diketahui bahwa itu
dipalsu, dan menyembunyikan hal itu, diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun.

(2) Bahan makanan, minuman atau obat-obatan itu dipalsu, jika


nilainya atau faedah menjadi kurang karena dicampur dengan
sesuatu bahan lain.

Sedangkan lapangan pengaturan yang paling khusus dan luas terdapat pada

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan beserta sanksi yang

lebih berat daripada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Melihat pada salah satu putusan nomor 235/Pid.sus/2015/PN.Pbr, terdakwa

dijatuhi pidana yang memperhatikan pasal 197 jo pasal 106 ayat (1) Undang-

Undang Republik Indonesia No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dengan pidana

penjara selama 4 (empat ) bulan, denda sebesar Rp.800.000.000,- (delapan ratus

juta rupiah) dengan subsidair 2 (dua) bulan penjara.

Pasal 197 Undang-Undang No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan menyatakan :

“Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau


mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak
memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1)

5
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun
dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000.00 (satu miliar lima
ratus juta rupiah)”.
Pasal 106 ayat (1) Undang-Undang No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

menyatakan :

(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan


setelah mendapat izin edar.

Putusan pengadilan akan terdapat rumusan judul yang berbunyi, “Demi

Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Rumusan seperti ini berlaku

untuk semua pengadilan dalam semua lingkungan peradilan. Hal ini mengadung

arti bahwa proses peradilan di Indonesia dilakukan demi keadilan berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa. Konsekuensi tiada tercantumnya rumusan dalam

putusan pengadilan, dapat mengakibatkan putusan pengadilan yang bersangkutan

batal demi hukum. Artinya, eksistensi dari putusan pengadilan itu tidak diakui

keabsahannya. (Zul Akrial, 2013. http://zulakrial.blogspot.com/2013/02/demi-

keadilan-berdasarkan-ketuhanan.html, 3 Februari 2013)

Perhatikan ancaman pidana yang menjerat terdakwa, terjadi

ketidaksikronan antara isi Pasal 197 Undang - Undang Nomor 36 Tahun 2009

tentang kesehatan serta penjatuhan sanksi pidananya. Karna penjatuhan sanksi

pidana pada putusan tersebut tidak sesuai dengan ancaman maksimal yang ada

pada pasal 197 yakni dengan penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda

paling banyak Rp. 1.500.000.000.00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) . Serta

sebagai korban kejahatan baik orang-perorangan ataupun sekelompok orang

bersama-sama pada ancaman pidana yang dikenakan tidak sesuai dengan kerugian

6
serta imbas yang dirasakan [ CITATION Ren13 \p 83 \l 1033 ] mereka sebagai

konsumen dari efek buruk yang terdapat pada produk kosmetik berbahaya yang

mencantumkan nomor izin edar BPOM palsu.

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis tertarik untuk

melakukan penelitian lebih lanjut dengan judul : “Analisis Yuridis Terhadap

Tindak Pidana Mengedarkan Sediaan Farmasi Ilegal ( Studi Kasus di Pengadilan

Negeri Pekanbaru).”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan pada latar belakang diatas, dapat dirumuskan pokok

permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana analisis yuridis terhadap penerapan pasal 197 jo pasal 106

ayat (1) Undang-Undang no.36 tahun 2009 tentang kesehatan pada

perkara kasus nomor 235/Pid.Sus/2015/PN.Pbr ?


2. Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam menerapkan pasal pasal

197 jo pasal 106 ayat (1) Undang-Undang no.36 tahun 2009 tentang

kesehatan pada perkara kasus nomor 235/Pid.Sus/2015/PN.Pbr?


C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui penerapan pasal 197 jo pasal 106 ayat (1)

Undang-Undang no.36 tahun 2009 tentang kesehatan pada perkara

kasus nomor 235/Pid.Sus/2015/PN.Pbr.


b. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam menerapkan

pasal 197 jo pasal 106 ayat (1) Undang-Undang no.36 tahun 2009

7
tentang kesehatan pada perkara kasus nomor 235/ Pid.Sus/ 2015/

PN.Pbr.
2. Manfaat Penelitian
a. Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana untuk menambah ilmu

pengetahuan kita bagi perkembangan ilmu hukum terkhususnya bagi ilmu

hukum pidana. Dalam hal ini bertujuan untuk memberikan penjelasan

mengenai penerapan hukum pidana terhadap pelaku usaha kosmetik yang

mengandung bahan berbahaya di kota pekanbaru terkhususnya pada perkara

nomor 235/Pidsus/2015/PN.Pbr terutamanya pertimbangan hukum hakim

dalam menerapkan pasal tersebut kepada sipelaku usaha pada Undang-

Undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan. Serta dapat digunakan

sebagai literatur tambahan yang membahas tentang tindak pidana

mengedarkan atau memproduksi sediaan farmasi atau kesehatan yang tidak

memenuhi standar mutu keamanan.


b. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan agar dapat memberikan manfaat untuk

kepentingan penegakan hukum serta perlindungan hukum, sehingga dapat

dijadikan masukan kepada aparat pelaksana penegak hukum yang

melaksanakan tugas - tugas mulianya dan mewujudkan tujuan hukum yang

dicita-citakan. Begitu juga untuk menambah wawasan Penulis maupun

pembaca pada bagian kekhususan hukum pidana, serta merupakan salah satu

syarat dalam penyelesaian studi pada Fakultas Hukum Universitas Islam

Riau.
D. Tinjauan Pustaka
Bentuk penulisan pada skripsi ini menggunakan Teori tentang Hukuman dan

Teori Penegakan Hukum Pidana sebagai landasan penyusunan untuk mengkaji

8
permasalahan pada judul skripsi Penulis yang berjudul “Analisis Yuridis Terhadap

Tindak Pidana Mengedarkan Sediaan Farmasi Ilegal (Studi Kasus di Pengadilan

Negeri Pekanbaru).”
1. Teori Tentang Hukuman
Secara sepintas bahwa hukuman ditujukan terhadap pribadi orang yang

melakukan pelanggaran pidana. Hukuman atau sanksi yang dianut hukum

pidana membedakan hukum pidana dengan bagian hukum yang lain.

Hukuman dalam hukum pidana ditujukan untuk memelihara keamanan dan

pergaulan hidup yang teratur. Yang menjadi polemik para pakar adalah dasar

diadakannya hukuman tersebut, yang akhirnya melahirkan 3 (tiga) teori yaitu:

(Leden Marpaung, 2006:105-107)


a. Teori Imbalan (Absolute / vergeldingstheorie)
Teori ini menjadikan dasar hukuman harus dicari dari kejahatan itu

sendiri. Karena kejahatan itu telah menimbulkan penderitaan bagi orang

lain, sebagai imbalannya (vergelding) sipelaku juga harus diberi

penderitaan. Para pakar penganut teori ini antara lain :


1) Immanuel Kant
Imanuel kant selaku ahli filsafat berpendapat bahwa dasar hukum
pemidanaan harus dicari dari kejahatan itu sendiri, yang telah
menumbulkaan penderitaan pada orang lain, sedang hukuman itu
merupakan tuntutan yang mutlak (absolute) dari hukuman
kesusilaan. Disini hukuman itu merupakan suatu pembalasan yang
etis.
2) Hegel
Ahli filsafat ini mengajarkan bahwa hukum adalah suatu kenyataan
kemerdekaan. Oleh karena itu, kejahatan merupakan tantangan
terhadap hukum dan hak. Hukuman dipandang dari sisi imbalan
sehingga hukuman merupakan dialectische vergelding .
3) Hebart
Menurut pakar ini, kejahatan menimbulkan perasaan tidak enak
pada orang lain. Untuk melenyapkan perasaan tidak enak itu,

9
pelaku kejahatan harus diberi hukuman sehingga masyarakat
merasa puas.
4) Stahl
Pakar ini mengajarkan bahwa hukum adalah suatu yang diciptakan
oleh Tuhan. Karena kejahatan itu merupakan pelanggaran terhadap
peri keadilan Tuhan, untuk penindakannya Negara diberi kekuasaan
sehingga dapat melenyapkan atau memberi penderitaan bagi pelaku
kejahatan.
5) Jean Jacques Rousseau
Pokok pangkal pemikiran Rousseau adalah bahwa manusia
dilahirkan dengan memiliki hak dan kemerdekaan penuh. Akan
tetapi, manusia didalam hidupnya memerlukan pergaulan. Didalam
pergaulan itu jika setiap orang ingin mempergunakan hak dan
kemerdekaannya secara penuh, akan timbul kekacauan. Untuk
menghindari kekacauan itu, setiap orang dibarasi hak dan
kemerdekaannya. Artinya, setiap orang menyerahkan sebagian dari
hak dan kemerdekaannya kepada Negara. Dengan diperolehnya
hak-hak itu, Negara harus dapat mengancam setiap orang yang
melanggar peraturan. Jadi, setiap hukuman telah disetujui setiap
orang termasuk pelaku kejahatan.
b. Teori maksud atau tujuan ( relatieve/doeltheorie)
Berdasarkan teori ini, hukuman dijatuhkan untuk melaksanakan maksud

atau tujuan dari hukuman itu, yakni memperbaiki ketidakpuasan masyarakat

sebagai akibat kejahatan itu. Tujuan hukuman harus dipandang secara ideal.

Selain dari itu, tujuan hukuman adalah untuk mencegah (prevensi)

kejahatan. Namun terdapat perbedaan dalan prevensi, yakni :


1) Ada yang berpendapat agar prevensi ditujukan kepada umum yang
disebut prevensi umum (algemene preventie). Hal ini dapat
dilakukan dengan ancaman hukuman, penjatuhan hukuman dan
pelaksanaan (eksekusi) hukuman.
2) Ada yang berpendapat agar prevensi ditujukan kepada orang yang
melakukan kejahatan itu (special preventie).

10
Selain itu, timbul perbedaan pendapat mengenai cara mencegah

kejahatan diantaranya sebagai berikut :


a. Menakut-nakuti yang ditujukan terhadap umum.
b. Memperbaiki pribadi sipelaku atau penjahat agar menyadari
perbuatannnya sehingga tidak mengulangi perbuatannya.
c. Melenyapkan orang yang melakukan kejahatan dari pergaulan
hidup.

Muncullah teori lain yakni teori relatif modern yang antara lain

diutarakan oleh beberapa tokoh yakni Frans Von Liszt, Van Hamel dan D.

Simons. Mereka mengutarakan pemikiran bahwa untuk menjamin

ketertiban, negara menentukan berbagai peraturan yang mengandung

larangan dan keharusan. Peraturan dimaksud untuk mengatur hubungan

antar individu didalam masyarakat, membatasi hak perseorangan agar

mereka dapat hidup aman dan tenteram. Untuk itu, negara menjamin agar

peraturan-peraturan itu senantiasa dipatuhi masyarakat dengan memberikan

hukuman pada pelanggarnya.

c. Teori Gabungan (verenigingstheorie)


Dasar dari teori gabungan adalah gabungan dari kedua teori diatas.

Gabungan kedua teori diatas mengajarkan bahwa penjatuhan hukuman

adalah unutuk mempertahankan tata tertib hukum dalam masyarakat dan

memperbaiki pribadi sipenjahat. Dengan mengkaji teori-teori diatas, dapat

disimpulkan bahwa tujuan pemidanaan adalah :


1) Menjerat penjahat.
2) Membinasakan atau membuat tak berdaya lagi sipenjahat.
3) Memperbaiki pribadi sipenjahat.

Hakikatnya, ketiga hal ini menjadi dasar diadakannya sanksi pidana.

Akan tetapi, membinasakan penjahat masih menjadi masalah perdebatan

11
para pakar. Sebagian negara memang telah menghapuskan hukuman mati,

tetapi sebagian lagi masih dapat menerimanya.

2. Teori Penegakan Hukum Pidana

Hukum harus ditegakkan karena hukum mempunyai tujuan untuk

mengatur masyarakat agar teratur, damai dan adil dengan mengadakan

keseimbangan antara kepentingan yang dilindungi sehingga tiap-tiap anggota

masyarakat memperoleh sebanyak mungkin apa yang menjadi haknya.

Penegakan hukum merupakan suatu proses untuk mewujudkan keinginan-

keinginan dalam hukum agar menjadi kewajiban dan ditaati oleh masyarakat.

(RE Baringbing, 2001 : 55)

Hukum berfungsi untuk memberi perlindungan kepentingan manusia

agar manusia terlindungi dan hukum tersebut harus dilaksanakan. Pelaksaan

hukum ini dapat berjalan secara normal, damai dan tidak dapat dipungkiri

masih ada pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar

harus ditegakkan. Oleh sebab itu, bentuk nyata yang terlihat dari terciptanya

sebuah peraturan-peraturan hukum ini adalah terciptanya penegakan hukum.

Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan

yaitu : kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit)

dan keadilan (Gerechtigkeit). ( Sudikno Mertokusomo, 2002: 145)

Satjipto mengatakan bahwa penegakan hukum adalah suatu proses untuk

mewujudkan keinginan-keinginan hukum yaitu pikiran-pikiran badan

12
pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum

menjadi kenyataan. (Satjipto Rahardjo, 1983: 24)

Penegakan hukum secara umum dapat diartikan sebagai perbuatan guna

mengimplementasikan perangkat sarana hukum tertentu untuk memaksakan

sanksi hukum guna menjamin kepatuhan terhadap ketentuan yang ditetapkan

tersebut.

Gambaran dari pokok dan pengertian penegakan hukum terletak pada

tindakan penyesuaian hubungan nilai-nilai yang terjabarkan didalam kaidah-

kaidah yang bermanfaat serta terwujud dalam serangkaian nilai untuk

menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian dalam hidup

bermasyarakat. Keberhasilan penegakan hukum ini lebih lanjut mungkin

dipengaruhi oleh beberapa faktor yang mempunyai arti yang netral, sehingga

dampak negatif atau positifnya terletak pada isi-isi faktor yang mempunyai

hal yang saling berkaitan erat serta merupakan dasar serta tolak ukur dari

efektivitas penegakan hukum dan juga dapa menjadi faktor penghambat

berjalannya suatu penegakan hukum. Faktor-faktor tersebut adalah :

(Soerjono Soekanto, 2004: 5)

1. Hukum (Undang-Undang)
Praktek menyelenggarakan penegakan hukum di lapangan seringkali

terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini

dikarenakan konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat

abstrak sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah

ditentukan secara normatif. Oleh karena itu suatu tindakan atau

13
kebijakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum merupakan suatu

yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak

bertentangan dengan hukum.


2. Penegak hukum
Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah

mentalitas atau kepribadian dari penegakan hukumnya sendiri. Dalam

kerangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum

bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebejatan.

Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan.

Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegakan

hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, terasa, terlihat, dan

diaktulisasikan.
3. Sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum
Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang

berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang

memadai, keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang

memadai, penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan

penegakan hukum tidak mungkin menjalankan peranan semestinya.


4. Masyarakat
Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan

penegakan hukum, sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat

dan bertujuan untuk mencapai dalam masyarakat. Bagian yang

terpenting dalam menentukan penegakan hukum adalah kesadaran

hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka

akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik. Semakin

14
rendah tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin sukar

untuk melaksanakan penegakan hukum yang baik.


5. Faktor kebudayaan
Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat.

Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus mencerminkan

nilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat. Dalam penegakan hukum,

semakin banyak penyesuaian antara peraturan perundang-undangan

dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin mudahlah dalam

menegakannya. Apabila peraturan-peraturan perundang-undangan tidak

sesuai atau bertentangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan

semakin sukar untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan hukum.

(Dwi Esti Putriyana Devi, 2012:10)


Negara yang sedang melakukan pembangunan akan membuat fungsi

hukum tidak hanya sebagai alat kontrol sosial atau sarana untuk menjaga

keseimbangan semata, akan tetapi juga sebagai alat untuk melakukan

pembaharuan didalam suatu masyarakat, sebagaimana disebutkan oleh

Roscoe Pound (1870-1874) salah seorang tokoh Sosiological Jurisprudence,

politik hukum pidana (kebijakan hukum pidana) sebagai salah satu usaha

dalam menanggulangi kejahatan dalam penegakan hukum pidana yang

rasional. Penegakan Hukum Pidana yang rasional tersebut terdiri dari tiga

tahap, yaitu tahap formulasi, tahap aplikasi, dan tahap eksekusi yaitu :

(Muladi dan Barda Nawawi, 1999 : 173)


1. Tahap Formulasi, yaitu tahap penegakan hukum pidana in abstracto

oleh badan pembuat undang-undang. Dalam tahap ini pembuat undang-

undang melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan

15
keadaan dan situasi masa kini dan yang akan datang, kemudian

merumuskannya dalam bentuk perundang-undangan untuk mencapai

hasil perundang-undangan yang paling baik dalam arti memenuhi syarat

keadilan dan daya guna. Tahap ini disebut Tahap Kebijakan Legislatif.
2. Tahap Aplikasi, yaitu tahap penegakan hukum pidana (tahap penerapan

hukum pidana) oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari

Kepolisian hingga pada Pengadilan. Aparat penegak hukum bertugas

menegakan serta menerapkan perundang-undangan pidana yang telah

dibuat oleh pembuat undang-undang. Dalam melaksanakan tugas ini,

aparat penegak hukum harus berpegangan teguh pada nilai-nilai

keadilan dan daya guna tahap ini dapat disebut sebagai tahap yudikatif.
3. Tahap Eksekusi, yaitu tahap penegakan (pelaksanaan) hukum secara

konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat-

aparat pelaksana pidana bertugas menegakan peraturan perundang-

undangan pidana yang telah ditetapkan dalam putusan pengadilan.

Dalam melaksanakan pemidanaan yang telah ditetapkan dalam putusan

pengadilan, aparat-aparat pelaksana pidana itu dalam melaksanakan

tugasnya harus berpedoman kepada peraturan perundang-undangan

pidana yang dibuat oleh pembuat undang-undang dan nilai-nilai

keadilan suatu daya guna.


Ketiga tahap kebijakan penegakan hukum pidana tersebut terkandung

tiga kekuasaan atau kewenangan yaitu, kekuasaan legislatif pada tahap

formulasi, yaitu kekuasaan legislatif dalam menetapkan atau merumuskan

perbuatan apa yang dapat dipidana dan sanksi apa yang dapat apa yang dapat

dikenakan. Pada tahap ini kebijakan legislatif ditetapkan sistem pemidanaan,

16
pada hakekatnya merupakan sistem kewenangan atau kekuasaan menjatuhkan

pidana. Yang kedua adalah kekuasaan yudikatif pada tahap aplikasi dalam

menerapkan hukum pidana, dan kekuasaan eksekutif pada tahap eksekusi

dalam hal melaksanakan hukum pidana. (Barda Nawawi Arif, 2005: 30)
Kesimpulan penegakan hukum pidana ini merupakan suatu upaya yang

diterapkan guna mencapai tujuan dari hukum itu sendiri. Tujuan pembentukan

hukum tidak terlepas dari politik hukum pidana yang terdiri dari tiga tahap,

yaitu tahap formulasi, tahap aplikasi, dan tahap eksekusi. Tahap formulasi

mengandung arti pembuat undang-undang melakukan kegiatan memilih nilai-

nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan masa yang akan

datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk peraturan perundang-

undangan pidana untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang

paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Setelah

terbentuknya suatu perundang-undangan yang baik maka akan masuk ke

dalam tahap aplikasi, yaitu tahap penegakan hukum pidana (tahap penerapan

hukum pidana) oleh aparat Kepolisian sampai Pengadilan. Dalam tahap ini

aparat penegak hukum bertugas menegakan serta menerapkan peraturan

perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang.

Dalam melaksanakan tugas ini aparat penegak hukum harus berpegang teguh

pada nilai-nilai keadilan dan daya guna.


Tahap terakhirnya yaitu, tahap eksekusi artinya penegakan

(pelaksanaan) hukum pidana secara konkret oleh aparat pelaksana pidana.

Dalam tahap ini aparat pelaksana pidana bertugas menegakan peraturan

17
perundang-undangan pidana yang telah dibuat pembuat undang-undang

melalui penerapan pidana yang telah ditetapkan dalam putusan pengadilan.


Penegakan hukum yang dilakukan dengan nilai-nilai filosofis, pada

hakikatnya yang merupakan penegakan hukum yang menerapkan nilai-nilai

sebagai berikut : (Muhammad Erwin, 2011:133)


1. Nilai kesamaan, yang berarti bahwa kesamaan itu hanya sama dengan

sama.
2. Nilai kebenaran, yang berarti bahwa kebenaran itu benar dengan benar.
3. Nilai kemerdekaan, yang berarti bahwa sesuatu hal itu hanya merdeka

dengan merdeka.
Penegakan Hukum dapat menjamin kepastian hukum. Sebagai proses

kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat beradab. Sebagai

proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam

rangka pencapaian tujuan adalah keharusan untuk melihat penegakan hukum

pidana sebagai suatu sistem peradilan pidana. (Avis Sartika, 2017:11)


E. Konsep Operasional
Konsep Operasional adalah penggambaran antara konsep-konsep khusus

yang merupakan kumpulan dalam arti yang berkaitan, dengan istilah yang akan

diteliti dan/atau diuraikan dalam karya ilmiah. (Soerjono Soekanto, 1986:132)

Konsep operasional ini dapat berisi batasan-batasan tentang terminologi yang

terdapat dalam judul dan ruang lingkup penelitian. (Syafrinaldi, 2017: 12)
Kita ketahui bahwa disekitar kita banyak pelaku usaha yang mengedarkan

produk kosmetik illegal bahkan beberapa kasus yang dibawa ke Pengadilan untuk

diselesaikan secara hukum serta ada yang penyelesaiannya hanya dilakukan oleh

Badan Pengawas Obat dan Makanan melalui beberapa tahap peringatan secara

administrasi. Tetapi yang menarik perhatian penulis dari beberapa kasus peredaran

produk kosmetik illegal, penulis hanya mengangkat sebuah kasus yang ingin

18
didalami yakni perkara nomor 235/Pid.Sus/2015/PN.Pbr mengenai Penerapan

pasal 197 jo 106 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 tentang Kesehatan beserta

Pertimbangan Hukum Majelis Hakim pada putusan ini.


Berdasarkan defenisi tersebut, maka konsep operasional dalam penelitian ini

mendeskripsikan mengenai skripsi dengan judul “Analisis Yuridis Terhadap

Tindak Pidana Mengedarkan Sediaan Farmasi (Studi Kasus di Pengadilam Negeri

Pekanbaru) ” adalah sebagai berikut:


a. Penerapan pasal adalah Merumuskan suatu pasal tindak pidana dalam

proses penyidikan bertujuan untuk menentukan secara awal apakah suatu

perbuatan seseorang telah memenuhi unsur dari salah satu pasal dari suatu

tindak pidana (Delict). (Contoh punyaku, https://contohpunyaku.

wordpress. com/ 2011/ 01/ 13/ penerapan- pasalpidana dalam-penyidikan/

n.d, 13 Januari 2011 ).


Oleh sebab itu penulis ingin membahas penerapan pasal 197 jo. Pasal 106

ayat (1) Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 pada perkara nomor

235/Pid.Sus/2015/PN.Pbr .
b. Pertimbangan Hakim adalah Pertimbangan hukum diartikan suatu tahapan

di mana majelis hakim mempertimbangkan fakta yang terungkap selama

persidangan berlangsung, mulai dari dakwaan, tuntutan, eksepsi dari

terdakwa yang dihubungkan dengan alat bukti yang memenuhi syarat

formil dan syarat materil, yang disampaikan dalam pembuktian, pledoi.

Dalam pertimbangan hukum dicantumkan pula pasal-pasal dari peraturan

hukum yang dijadikan dasar dalam putusan tersebut. (Damang,

[ CITATION Dam19 \l 1033 ]


Dari pengertian ini, penulis akan menggambarkan keadaan yang menjadi

dasar pertimbangan Majelis hakim didalam perkara nomor

19
235/Pid.Sus/2015/PN.Pbr agar menjawab rumusan masalah yang pertama

dan membuka pengetahuan kita.


c. Sediaan Farmasi atau kesehatan adalah obat, bahan obat, obat tradisional,

dan kosmetika. (Republik Indonesia, 2009 : 40)


Sediaan farmasi yang dimaksud oleh penulis adalah produk Kosmetika

untuk kecantikan yang saat mengalami perkembangan.


d. Illegal adalah tidak sah menurut hukum, dalam hal ini melanggar hukum,

barang gelap, liar ataupun tidak ada izin dari pihak yang bersangkutan.

(Kamus Besar Bahasa Indonesia.com, 2018.http://kbbi.co.id/arti-

kata/kosmetik, 01 Agustus 2018)


Sedangkan Illegal yang dimaksud didalam skripsi ini adalah Produk

kosmetika yang merupakan barang gelap serta liar yang tidak memiliki

izin edar dari BPOM.


F. Metode Penelitian

Metode penelitian dikumpulkan dan digunakan untuk menganalis dan

konstruksi terhadap data yang telah diolah. Oleh karena itu, metode penelitian

yang diterapkan harus sesuai dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya.

Hal ini berarti metode penelitian yang digunakan berbagai disiplin ilmu

pengetahuan mempunyai identitas masing-masing sehingga antara satu disiplin

ilmu dengan disiplin ilmu lainnya mempunyai perbedaan metodologi penelitian.

(Ali Zainudin, 2014: 17)

Metode penelitian yang digunakan pada skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Jenis dan Sifat Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan dalam menjawab permasalahan dalam

pembahasan skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif yaitu mengacu kepada

20
norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan

putusan-putusan pengadilan serta norma-norma hukum yang ada dalam

masyarakat. (Ali Zainudin, 2014: 105)


Metode ini digunakan guna mendapatkan hasil penelitian terhadap norma-

norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan Kesehatan

yang berlaku, serta memperoleh data maupun keterangan yang terdapat dalam

berbagai referensi literatur di perpustakaan, jurnal hasil penelitian, koran, majalah,

situs internet dan sebagainya. (Sunaryati Hartono, 1994: 139)


Sifat penelitian pada skripsi ini adalah deskriptif, yang mengungkapkan

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang

menjadi objek penelitian. Demikian juga hukum dalam pelaksanaannya didalam

masyarakat yang berkenaan dengan objek penelitian. (Ali Zainudin, 2014: 139)
2. Bahan – Bahan Hukum
Penulisan skripsi ini akan menganalisis objek penelitian dengan

menggunakan data sekunder, yaitu data yang mencakup dokumen-dokumen

resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berupa laporan dan sebagainya.

(Lexy J. Maleong,1996: 22)


Data sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan :
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat mengenai bahan

hukum primer. Bahan hukum sekunder berupa semua terdiri dari peraturan

perundang-undangan yang terkait dengan objek penelitian. Dalam

penelitian ini, maka meliputi : Putusan Nomor

235/PIDSUS/2015/PN.PBR, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,

Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan serta Undang-

Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.


b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu buku-buku dan tulisan-tulisan ilmiah

hukum yang terkait dengan objek penelitian ini. Dapat berupa publikasi

21
tentang hukum yang bukan merupakan dokumen - dokumen resmi.

Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku yang terkait dengan masalah

yang dikaji, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, jurnal-

jurnal hukum.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder

berupa kamus hukum atau kamus ensiklopedia atau kamus bahasa

Indonesia untuk menjelaskan maksud atau pengertian istilah-istilah yang

sulit untuk diartikan tersebut.


3. Analisis Data dan Penarikan Kesimpulan
Sifat penelitian skripsi ini menggunakan metode penelitian bersifat

deskriptif yakni analisis data yang dipergunakan adalah pendekatan kualitatif

terhadap data bahan primer dan bahan sekunder. Analisis secara kualitatif

merupakan mendeskripsikan atau menggambarkan, kemudian membandingkan

antara data dengan ketentuan peraturan perundang-undangan atau pendapat para

ahli hukum. Tahapan analisis mulai dari pengumpulan data, pengelolahan data

dan terakhir penyajian data.

BAB II
TINJAUAN UMUM
A. Tinjauan Umum Tentang Mengedarkan Sediaan Farmasi
1. Pengertian Kosmetik
Kita dapat memperhatikan bahwa Sediaan Farmasi yang dibahas

didalam penelitian skripsi ini adalah Sediaan Farmasi pada Kosmetika

terutamanya kosmetika rambut. Agar tidak terjadi kekeliruan pada hubungan

22
yang terjadi antara sediaan farmasi dengan produk kosmetik, dapat kita lihat

pada pengertian Sediaan farmasi terlebih dahulu. Kosmetik berawal dari bahasa

Yunani yakni kata “kosmetikos” yang berarti keterampilan menghias, mengatur.

Jadi, Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika.

(Republik Indonesia, 2014)


Berikut ini beberapa pengertian mengenai Kosmetik :
a) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 445 / MenKes/

Permenkes /1998 adalah sebagai berikut :


“ Kosmetik adalah sediaan atau panduan bahan yang siap untuk digunakan
pada bagian luar badan (epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ kelamin
bagian luar), gigi dan rongga mulut untuk membersihkan, menambah daya
tarik, mengubah penampakan, melindungi supaya tetap dalam keadaan
baik, memiliki bau badan tetapi tidak dimaksudkan untuk mengobati atau
menyembuhkan suatu penyakit.”
b) Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik

Indonesia No.HK.00.05.4.1745 adalah :


“Bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar
tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ genital bagian
luar) atau gigi dan mukosa mulut terutama untuk membersihkan,
mewangikan, mengubah penampilan dan atau memperbaiki bau badan atau
melindungi dan memelihara tubuh pada kondisi baik.”
Defenisi 2 (dua) diatas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa kosmetik

merupakan bahan yang mengandung sesuatu zat yang memiliki banyak manfaat

bagi seluruh tubuh (rambut, kulit, kuku, dan anggota tubuh lainnya) guna untuk

merawat anggota tubuh yang mengalami masalah, misalnya pada muka yang

timbul jerawat agar meredakan nyeri serta tidak menimbulkan bekas jerawat

maupun melindungi tubuh, misalnya agar kulit tetap terjaga dari paparan sinar

matahari agar tidak mengalami kulit rusak ,oleh sebab itu ruang lingkupnya untuk

dapat terlihat baik serta menjaga penampilan pada setiap kesempatan.

23
Produk Kosmetika ini memiliki beberapa golongan yang diatur didalam

Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia

No.HK.00.05.4.1745 Tentang Kosmetik Pasal 3 yakni sebagai berikut :

Bersumber pada bahan dan pemakaiannya serta untuk maksud penilaian produk

kosmetik dibagi 2 (dua) golongan :

1. Kosmetik golongan I adalah :


a. Kosmetik yang digunakan untuk bayi.
b. Kosmetik yang digunakan disekitar mata, rongga mulut dan mukosa
lainnya.
c. Kosmetik yang mengandung bahan dengan persyaratan kadar dan
penandaan.
d. Kosmetik yang mengandung bahan dan fungsinya belum lazim serta
belum diketahui keamanan dan kemanfaatannya.
2. Kosmetik golongan II adalah kosmetik yang tidak termasuk golongan I

Pemerintah ingin mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya

bagi masyarakat dengan cara menyelenggarakan upaya kesehatan yang terpadu

dan menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan

masyarakat melalui pengawasan dan pencegahan agar terciptanya Kesehatan yang

baik dalam bernegara. Oleh sebab itu, pemerintah juga harus menciptakan

pelayanan kesehatan yang salah satunya adalah melakukan pengamanan terhadap

penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan.

Kemajuan teknologi yang sedang memiliki dampak positif dan negatif.

Dampak positifnya adalah cepatnya penyampaian informasi melalui teknologi

digital dan salah satu dampak negatifnya adalah dengan kemajuan teknologi

juga ada peningkatan masalah kejahatan dengan menggunakan modus operandi

yang semakin canggih. Hal tersebut merupakan tantangan bagi aparat penegak

24
hukum untuk menciptakan Penaggulangannya. (Shilvirichiyanti dan Alsar Andri ,

2018:1)

2. Proses Pengamanan Sediaan Farmasi

Negara Kesatuan Republik Indonesia membangun organisasi yang efektif

dan efisien maka budaya organisasi Badan POM dikembangkan dengan nilai-nilai

dasar profesionalisme dengan integritas, obyektivitas, ketekunan dan komitmen

yang tinggi. Badan Pengawasan Obat dan Makanan mengutamakan kerjasama tim

dalam sistem kerjanya dengan prinsip dasar sistem pengawasan obat dan makanan

(SISPOM) yaitu tindakan pengamanan cepat, tepat, akurat dan professional

dengan lingkup pengawasan bersifat menyeluruh, mencakup seluruh siklus proses

mulai dari produksi sampai dengan pemasarannya. (Restyan Hutabarat, 2014:31)

Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman, berkhasiat/bermanfaat,

bermutu dan terjangkau. Untuk itu pemerintah juga memproduksi obat generik

serta sediaan farmasi lainnya yang pada prinsipnya mempunyai khasiat dan mutu

yang baik. (Sri Siswati, 2015:76)

Dalam upaya perlindungan konsumen, yang menjadi perhatian utama

adalah kepentingan-kepentingan konsumen secara tidak langsung dalam berbagai

peraturan perundang-undangan kita menyebut keamanan dan keslamatan rakyat,

atas hak dan pekerjaan dan pengidupan layak, kemerdekaan berserikat dan

berkumpul, dan sebagainya (UUD 1945 Pasal 27 dan 28). Akan tetapi secara tegas

hak dan kepentingan konsumen telah diatur dalam UU Perlindungan Konsumen

No. 8 Tahun 1999. (Rahdiansyah, 2018:2)

25
Perdagangan bebas telah membuka jalur bagi banyak Negara untuk saling

berghubungan satu sama lainnyaa termasuk dalam hal hubungan dagang yang

menyebabkan masuknya berbagai komoditas produk dari Negara asing ke

Indonesia maupun sebaliknya, produk obat tradisional salah satu contoh produk

dagang yang banyak menimbulkan persoalan dalam hal keamanan penggunaannya

bagi konsumen indonesia, oleh karena itu berbagai Balai POM ada di Indonesia

sebagai perpanjangan tugas dari Badan Pengawas Obat dan Makan berusaha

melakukan pengawasan terhadap peredaran sediaan farmasi baik produk luar

negeri maupun dalam negeri. (Restyan Hutabarat, 2014:33)

Peranan Badan Pengawas Obat dan Makanan secara umum terdapat 3

(tiga) inti kegiatan atau pilar lembaga BPOM, yakni:

(1) Penapisan produk dalam rangka pengawasan obat dan Makanan Sebelum
beredar (pre-market) melalui:

a) Perkuatan regulasi, standar dan pedoman pengawasan Obat dan Makanan


serta dukungan regulatori kepada pelaku usaha untuk pemenuhan standar
dan ketentuan yang berlaku;

b) Peningkatan registrasi/penilaian Obat dan Makanan bat dan Makanan


yang diselesaikan tepat waktu;

c) Peningkatan inspeksi sarana produksi dan distribusi Obat dan Makanan


dalam rangka pemenuhan Standar Good Manufacturing Practices (GMP)
dan Good Distribution Practices (GDP) terkini;

d) Penguatan kapasitas laboratorium BPOM.

(2) Pengawasan Obat dan Makanan pasca beredar di masyarakat (post-market)


melalui:

a) Pengambilan sampel dan pengujian;

26
b) Peningkatan cakupan pengawasa sarana produksi dan distribusi Obat dan
Makanan diseluruh Indonesia oleh 33 Balai Besar (BB)/ Balai POM,
termasuk pasar aman dari bahan berbahaya;

c) Investigasi awal dan penyidikan kasus pelanggaran di bidang Obat dan

Makanan di pusat dan balai.

(3) Pemberdayaan masyarakat melalui Komunikasi Informasi dan Edukasi serta


penguatan kerjasama kemitraan dengan pemangku kepentingan dalam rangka
meningkatkan efektivitas pengawasan Obat dan Makanan di pusat dan balai
melalui:

a) Public warning;

b) Pemberian Informasi dan Penyuluhan/Komunikasi, Informasi dan


Edukasi kepada masyarakat dan pelaku usaha di bidang Obat dan
Makanan;

c) Peningkatan pengawasan terhadap Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS),


peningkatan kegiatan BPOM. Sahabat Ibu, dan advokasi serta kerjasama
dengan masyarakat dan berbagai pihak/lembaga lainnya.

Sediaan farmasi dan alat kesehatan ini didistribusikan kepada masyarakat

yang membutuhkannya,terlebih dahulu harus melewati beberapa tahapan melalui

Pengamatan yang dilaksanakan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan. Segala

sediaan farmasi yang ingin diedarkan kemasyarakat harus diperiksa dan diseleksi

oleh BPOM melalui berbagai Pengujian Kelayakan sesuai dengan Standarisasi

Operasi Nasional.

Aturan yang mengatur tentang persyaratan Izin edar Kosmetika ini menurut

Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia

No.HK.00.05.4.1745 Tentang Kosmetik yang terdapat pada Bab II Pasal 2 yakni

sebagai berikut :

27
Kosmetik yang diproduksi dan atau diedarkan harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut :

a. menggunakan bahan yang memenuhi standar dan persyaratan mutu serta


persyaratan lain yang ditetapkan.

b. diproduksi dengan menggunakan cara pembuatan kosmetik yang baik.

c. terdaftar pada dan mendapat izin edar dari Badan Pengawas Obat dan
Makanan.

Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia

Nomor 12 Tahun 2015 Tentang Pengawasan Pemasukan Obat dan Makanan ke

dalam Wilayah Indonesia Pasal 1 Angka (14), izin edar adalah bentuk persetujuan

pendaftaran obat dan makanan yang diberikan oleh Kepala Badan untuk dapat

diedarkan di wilayah Indonesia.

Sebuah peraturan perundang-undangan dapat dilihat berjalan atau tidak

dilihat dari penegakan hukum terlebih dahulu, penegakan hukum merupakan

ditegakkannya aturan oleh aparatur Negara, oleh masyarakat dan oleh undang-

undang atau hukum itu sendiri, penegakan hukum berlaku tanpa terkecuali atau

data disebut dengan equality before the law , hukum berisikan tentang tata tertib

dan aturan yang memuat sanksi, tujuannya adalah untuk mentertibkan masyarakat

agar terwujud keadaan yang damai sehingga penegakan hukuman harus terlaksana

demi terciptanya tujuan tersebut. (Febby Sumarni, 2018: 52)

Kemasan makanan, obat-obatan dan kosmetik ditemukan nomor izin edar

BPOM. BPOM adalah badan resmi yang dibentuk oleh pemerintah untuk

mengawasi peredaran produk obat dan makanan, termasuk kosmetik di wilayah

Indonesia. BPOM berwenang memberikan atau menarik izin produksi terhadap

28
suatu produk berdasarkan hasil survei, penelitian dan pengujian Badan Pengawas

Obat dan Makanan terhadap suatu produk. Di Indonesia, setiap produk obat,

makanan, dan kosmetik yang diproduksi dan diedarkan di masyarakat harus

memiliki izin produksi dan izin edar dari BPOM.

Pemberian Izin Edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan yang

membuat produsen kosmetik tidak dapat sesuka hati memproduksi, terutama

produk yang mengandung bahan berbahaya yang dapat berpengaruh terhadap

kesehatan tubuh. Serangkaian proses panjang yang biasanya disebut proses

registrasi produk harus dilalui untuk mendapatkan nomor izin edar BPOM. Proses

yang membutuhkan waktu tersebut karena untuk mempublikasikan nomor

registrasi diperlukan kelengkapan dokumen, validasi, formula, serta stabilitas

produk.

Bahan-bahan berbahaya atau dilarang yang sering disalahgunakan dan

dicampurkan dalam kosmetika diantaranya merkuri (Hg), hidrokinon (tidak boleh

untuk kulit dan rambut, hanya boleh untuk sediaan pengeras kuku), asam

retinoat/tretinoin/retinoic acid, bahan pewarna merah K.3 (CI 15585), merah K.10

(Rhodamin B) dan jingga K.1 (CI 12075) dan diethylene glycol (DEG) . Untuk

hal ini, Badan POM RI dengan 31 Balai Besar/Balai POM di seluruh Indonesia

melakukan pengawasan rutin untuk melindungi masyarakat, melalui kegiatan-

kegiatan:

1. Pemeriksaan sarana produksi kosmetika.

2. Pemeriksaan sarana distribusi kosmetika.

29
3. Sampling kosmetika yang beredar di masyarakat dan pengujian di
laboratorium untuk mengetahui apakah kosmetika yang beredar tersebut
aman dan bermutu.

Proses yang panjang ini juga ditambah dengan biaya administrasi yang

harus dikeluarkan pihak produsen dalam mengajukan pendaftaran nomor izin edar

Badan Pengawas Obat dan Makanan membuat beberapa produsen mencoba nakal

untuk mendapatkan nomor izin edar dari BPOM yang membuat produsen mencari

jalan lain guna memuluskan usahanya dengan mencantumkan nomor izin edar

BPOM yang palsu. Nomor izin edar BPOM yang palsu ini merupakan nomor izin

edar yang tidak dikeluarkan atau diterbitkan dari persetujuan pendaftaran oleh

Kepala BPOM .

Produsen nakal ini pada umumnya mencantumkan nomor izin edar BPOM

palsu yang memnuat nomor izin edar yang mereka buat sendiri dan dicantumkan

sendiri tanpa adanya pengujian, persetujuan dan pengawasan dari pihak

berwenang, yaitu BPOM. Nomor izin edar BPOM Palsu banyak dijumpai di

berbagai produk-produk makanan, minuman, obat, suplemen dan kosmetik.

Pencantuman nomor izin edar BPOM palsu ini dilakukan para produsen untuk

melancarkan bisnis mereka dalam menjual setiap produknya, produsen meyakini

dengan mencantumkan nomor izin edar BPOM palsu para calon konsumen akan

semakin yakin dan tertarik untuk membeli setiap produk mereka, karena

konsumen meyakini produk tersebut aman karena sudah ada nomor izin edar

BPOM, padahal nomor izin edar tersebut palsu.

30
Terhadap temuan yang ada maka dilakukan penanganan sesuai dengan

pelanggaran yaitu antara lain dengan penarikan dan pemusnahan produk serta

proses pengadilan untuk tindak pidana bagi pelanggar ketentuan pidana. Oleh

sebab itu, mengedarkan kosmetika tanpa izin edar baik dengan sengaja maupun

tidak dengan sengaja merupakan perbuatan melanggar hukum yang dapat

dipertanggungjawabkan oleh pelaku sesuai dengan Undang-Undang nomor 36

Tahun 2009 tentang kesehatan adalah merupakan tindak pidana.

Secara umum tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi yang dapat

membahayakan orang atau warga negara pada pasal 106 ayat (1) Undang-Undang

No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan :

“Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat
izin edar.”
Mengenai sanksi pidana terhadap pelaku peredaran sediaan farmasi dan alat

kesehatan tanpa izin edar Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 72

Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan yang

secara spesifik dapat dilihat pada pasal 197 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan menyatakan :

“ Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan


farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00
(satu miliar lima ratus juta rupiah). ”
Berdasarkan uraian di atas kejahatan pendistribusian sediaan farmasi tanpa

keahlian dan kewenangan adalah tindakan atau perbuatan yang melanggar hukum

yang telah dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja oleh seseorang karena

melakukan distribusi obat tanpa keahlian dan kewenangan dimana tindakan itu

31
dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya karena telah ditentukan oleh

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

3. Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia

a. Pengertian BPOM

Perkembangan kemajuan teknologi yang sudah diciptakan manusia

diberbagai bidang seperti penemuan-penemuan bahan pangan, kosmetik

maupun obat-obatan. Kemajuan ini dapat memberikan manfaat bagi

kesejahteraan manusia yang dapat mendorong kehidupan, namun dapat

menimbulkan efek yang buruk terhadap pesatnya teknologi pangan,

kosmetik maupun obat-obatan patut dijaga dan diawasi agar tidak

merugikan masyarakat. Konsumsi masyarakat terhadap produk-produk

tersebut cenderung terus meningkat, seiring dengan perubahan gaya hidup

masyarakat termasuk pola konsumsinya. Masyarakat yang memiliki

pengetahuan yang minim untuk dapat memilih dan memilah produk secara

tepat, benar dan aman untuk digunakannya.

Keputusan Presiden RI No. 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan,

Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga

Pemerintah Non Departemen yang telah diubah beberapa kali, terakhir

dengan Peraturan Presiden RI No. 64 Tahun 2005, maka dibentuklah

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang dalam pelaksanaan

tugasnya berkoordinasi dengan Menteri Kesehatan. Fungsi dan tugas

32
badan ini menyerupai fungsi dan tugas Food and Drugs Administration

(FDA) di Amerika Serikat dan Medicines Agency di Uni Eropa.

Balai Besar Pengawasan Obat Dan Makanan merupakan badan yang

ditunjuk oleh pemerintah untuk mengawasi peredaran obat dan makanan di

Indonesia. Dalam melakukan tindak pengawasannya, terdapat beberapa

Produk yang diawasi oleh Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan

(BBPOM) antara lain obat, produk biologi, narkotika dan psikotropika,

obat tradisional, makanan dan minuman, suplemen makanan, kosmetik, zat

aditif/rokok, serta bahan berbahaya. Sebagai badan yang ditunjuk oleh

pemerintah dalam melakukan pengawasan terhadap obat dan makanan,

masih banyak masalah yang dihadapi oleh BBPOM terutama masalah

dalam pengawasan dibidang kosmetik. (Wikipedia,

https://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Pengawas_Obat_dan_Makanan ,12

Februari 2019 )

Badan Pengawasan Obat dan Makanan adalah suatu lembaga dalam

melindungi masyarakat dari produk obat dan makanan yang

membahayakan kesehatan diruangkan dalam sistem pengawasan full

spectrum mulai dari pre-market hingga post-market control yang disertai

dengan upaya penegakan hukum dan pemberdayaan masyarakat. Lembaga

BPOM didirikan berdasarkan kebutuhan konsumen terhadap betapa

pentingnya pangan yang mereka konsumsi berbahaya atau tidak untuk

kesehatan. BPOM bersifat indipendent sebagai superguard wilayah

makanan, obat-obatan, dan kosmetik. BPOM mempunyai posisi yang

33
strategis berkaitan dengan tugas utama pemerintah dalam memberikan

perlindungan kepada masyarakat dibidang obat dan makanan.

b. Sejarah Badan Pengawasan Obat dan Makanan

1) Periode zaman penjajahan sampai perang kemerdekaan

Tonggak sejarah kefarmasian di Indonesia pada umumnya diawali

dengan pendidikan asisten apoteker semasa pemerintahan Hindia

Belanda. Pendidikan asisten apoteker semula dilakukan di tempat kerja

yaitu di apotek oleh apoteker yang mengelola dan memimpin sebuah

apotek. Setelah calon apoteker bekerja dalam jangka waktu tertentu di

apotek dan dianggap memenuhi syarat, maka diadakan ujian pengakuan

yang diselenggarakan oleh pemerintah Hindia Belanda. Dari buku

Verzameling Voorschriften tahun 1936 yang dikeluarkan oleh

Devanahalli Venkataramanaiah Gundappa (DVG) yang merupakan

seorang penulis dan jurnalis, dapat diketahui bahwa Sekolah Asisten

Apoteker didirikan dengan Surat Keputusan Pemerintah No. 38 tanggal 7

Oktober 1918, yang kemudian diubah dengan Surat Keputusan No. 15

(Stb No. 50) tanggal 28 Januari 1923 dan No. 45 (Stb. No. 392) tanggal

28 Juni 1934 dengan nama “Leergang voor de opleleiding van

apotheker-bedienden onder den naam van apothekers-assisten school".

Peraturan ujian asisten apoteker dan persyaratan ijin kerja diatur

dalam Surat Keputusan Kepala DVG No. 8512/ F tanggal 16 Maret 1933

yang kemudian diubah dengan Surat Keputusan No. 27817/ F tanggal 8

34
September 1936 dan No. 11161/ F tanggal 6 April 1939. Dalam peraturan

tersebut, antara lain dinyatakan bahwa persyaratan untuk menempuh

ujian apoteker harus berijasah MULO bagian B, memiliki Surat

Keterangan bahwa calon telah melakukan pekerjaan kefarmasian secara

terus menerus selama 20 bulan di bawah pengawasan seorang apoteker di

Indonesia yang memimpin sebuah apotek, atau telah mengikuti

pendidikan asisten apoteker di Jakarta.

Pada masa pendudukan Jepang mulai dirintis Pendidikan Tinggi

Farmasi di Indonesia dan diresmikan pada tanggal 1 April 1943 dengan

nama Yakugaku sebagai bagian dari Jakarta Ika Daigaku. Pada tahun

1944 Yakugaku diubah menjadi Yaku Daigaku.

2) Periode setelah perang kemerdekaan sampai dengan tahun 1958

Periode tahun 1950an jumlah tenaga farmasi, terutama tenaga asisten

apoteker mulai bertambah dalam jumlah yang relatif besar. Namun pada

tahun 1953 terdapat kekurangan tenaga apoteker sehingga pemerintah

mengeluarkan Undang- Undang Nomor 3 tentang Pembukuan Apotek.

Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang ini, untuk membuka sebuah

apotek boleh dilakukan dimana saja dan tidak memerlukan izin dari

pemerintah.

Lahirnya undang-undang ini membuat pemerintah dapat melarang

kota-kota tertentu untuk mendirikan apotek baru karena jumlahnya sudah

dianggap cukup memadai. Izin pembukaan apotek hanya diberikan untuk

35
daerahdaerah yang belum ada atau belum memadai jumlah apoteknya.

Undang-undang Nomor 3 ini kemudian diikuti dengan dikeluarkannya

Undang-undang Nomor 4 tahun 1953 tentang apotek darurat, yang

membenarkan seorang asisten apoteker untuk memimpin sebuah apotek.

Undang-undang tentang apotek darurat ini sebenarnya harus berakhir

pada tahun 1958 karena klausula yang termaktub dalam undang-undang

tersebut yang menyatakan bahwa undang- undang tersebut tidak berlaku

lagi 5 tahun setelah apoteker pertama dihasikan oleh Perguruan Tinggi

Farmasi di Indonesia. Akan tetapi, karena lulusan apoteker ternyata

sangat sedikit, undangundang ini diperpanjang sampai tahun 1963 dan

perpanjangan tersebut berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan

No. 770/ Ph/ 63/ b tanggal 29 Oktober 1983.

3) Periode tahun 1958 sampai dengan 1967

Periode ini meskipun usaha untuk memproduksi obat telah banyak

dirintis, dalam kenyataannya industri-industri farmasi menghadapi

hambatan dan kesulitan yang cukup berat, antara lain kekurangan devisa

dan terjadinya sistem penjatahan bahan baku obat sehingga industri yang

dapat bertahan hanyalah industri yang mendapat jatah atau mereka yang

mempunyai relasi dengan luar negeri. Oleh karena itu, penyediaan obat

menjadi sangat terbatas dan sebagian besar berasal dari import.

Sementara itu karena pengawasan belum dapat dilakukan dengan baik,

banyak terjadi kasus bahan baku maupun obat jadi yang tidak memenuhi

standar.

36
Hal penting yang patut dicatat dalam sejarah kefarmasian Indonesia,

yakni berakhirnya apotek-dokter dan apotek darurat. Dengan Surat

Keputusan Menteri Kesehatan No. 33148/ Kab/ 176 tanggal 8 Juni 1962,

antara lain:

a) Tidak dikeluarkannya lagi izin baru untuk pembukaan apotek-dokter.

b) Semua izin apotek-dokter dinyatakan tidak berlaku lagi sejak tanggal


1 Januari 1963.

Berakhirnya apotek darurat ditetapkan dengan Surat Keputusan

Menteri Kesehatan No. 770/ Ph/ 63/ b tanggal 29 Oktober 1963 yang

isinya antara lain:

a) Tidak lagi dikeluarkan izin baru untuk pembukaan apotek darurat.

b) Semua izin apotek darurat ibukota daerah Tingkat I dinyatakan tidak


berlaku lagi sejak tanggal 1 Februari 1964.

c) Semua izin apotek darurat di ibukota daerah Tingkat II dan kota-kota


lainnya dinyatakan tidak berlaku sejak tanggal 1 Mei 1964.

Tahun 1963, sebagai realisasi Undang-Undang Pokok Kesehatan

telah dibentuk Lembaga Farmasi Nasional (Surat Keputusan Menteri

Nomor 39521/ Kab/199 tanggal 11 Juni 1963). Dengan demikian pada

waktu itu ada dua instansi pemerintah di bidang kefarmasian yaitu

Direktorat Urusan Farmasi dan Lembaga Farmasi Nasional. Direktorat

Urusan Farmasi yang semula Ispektorat Farmasi pada tahun 1967

mengalami pemekaran organisasi menjadi Direktorat Jenderal Farmasi.

4) Periode Orde Baru

37
Pada masa orde baru stabilitas politik, ekonomi dan keamanan telah

semakin mantap sehingga pembangunan di segala bidang telah dapat

dilaksanakan dengan lebih terarah dan terencana. Pembangunan

kesehatan sebagai bagian integral Pembangunan Nasional, dilaksanakan

secara bertahap baik pemenuhan sarana pelayanan kesehatan maupun

mutu pelayanan yang semakin baik serta jangkauan yang semakin luas.

Hasil-hasil pembangunan kesehatan yang telah dicapai selama orde baru

ini dapat diukur dengan indikator-indikator penting, antara lain kematian,

umur harapan hidup dan tingkat kecerdasan yang semakin menunjukkan

perbaikan dan kemajuan yang sangat berarti.

Pada periode Orde Baru ini pula, pengaturan, pengendalian dan

pengawasan di bidang kefarmasian telah dapat ditata dan dilaksanakan

dengan baik. Sehingga pada tahun 1975, institusi pengawasan farmasi

dikembangkan dengan adanya perubahan Direktorat Jenderal Farmasi

menjadi Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Berbagai

peraturan perundangundangan telah dikeluarkan oleh Departemen

Kesehatan sebagai basis dan kerangka landasan untuk melanjutkan

pembangunan pada masa-masa mendatang. Terhadap distribusi obat telah

dilakukan penyempurnaan, terutama penataan kembali fungsi apotek

melalui Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1980.

5) Periode tahun 2000


Mengoptimalkan pengawasan terhadap obat dan makanan tersebut

maka pemerintah mengambil kebijakan dengan mengadakan perubahan

38
Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, yang mana dahulu

Direktorat Jenderal Obat dan Makanan bertanggung jawab kepada

Departemen Kesehatan namun sekarang setelah terjadinya perubahan

maka Badan Pengawasan Obat dan Makanan bertanggung jawab kepada

Presiden. Badan Pengawasan Obat dan Makanan sekarang

merupakan Lembaga Pemerintah Non Departemen. Berdasarkan

Keputusan Presiden No. 103 tahun 2000 dan telah mengalami perubahan

melalui Keputusan Presiden No. 166 tahun 2003. (Wikipedia,

https://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Pengawas_Obat_dan_Makanan, 12

Februari 2019)

c. Visi dan Misi Badan Pengawas Obat dan Makanan

Visi dari BPOM ialah Obat dan Makanan Aman Meningkatkan

Kesehatan Masyarakat dan Daya Saing Bangsa. Selain mengandung visi,

BPOM juga memiliki misi yang diemban, yaitu: (BPOM,

https://www.pom.go.id/new/ , 2017)

1) Meningkatkan sistem pengawasan Obat dan Makanan berbasis risiko

untuk melindungi masyarakat.

2) Mendorong kemandirian pelaku usaha dalam memberikan jaminan

keamanan Obat dan Makanan serta memperkuat kemitraan dengan

pemangku kepentingan.

3) Meningkatkan kapasitas kelembagaan BPOM.

39
d. Tugas Utama Badan Pengawas Obat dan Makanan serta Balai

Besar POM (Unit Pelaksana Teknis)

Tugas utama BPOM dapat kita lihat pada pasal 2 Peraturan Presiden

Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan:

(BPOM , https://www.pom.go.id/new/view/direct/job, 2017)

1) BPOM mempunyai tugas menyelenggarakan tugas pemerintahan di


bidang pengawasan Obat dan Makanan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

2) Obat dan Makanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, prekursor, zat adiktif, obat
tradisional, suplemen kesehatan, kosmetik, dan pangan olahan.

Berdasarkan Pasal 3 Peraturan BPOM Nomor 12 Tahun 2018, Unit

Pelaksana Teknis BPOM mempunyai tugas melaksanakan kebijakan teknis

operasional di bidang pengawasan Obat dan Makanan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

e. Fungsi Utama BPOM Dan Fungsi Balai Besar POM

Berdasarkan pasal 3 pada Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017

tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan, BPOM mempunyai fungsi:

Dalam melaksanakan tugas pengawasan Obat dan Makanan, BPOM

menyelenggarakan fungsi : (BPOM , https:// www. pom. go.id /new /view /

direct /function , 2017)

40
1) penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan Obat dan
Makanan.

2) pelaksanaan kebijakan nasional di bidang pengawasan Obat dan


Makanan.

3) penyusunan dan penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria di


bidang Pengawasan Sebelum Beredar dan Pengawasan Selama
Beredar.

4) pelaksanaan Pengawasan Sebelum Beredar dan Pengawasan Selama


Beredar.

5) koordinasi pelaksanaan pengawasan Obat dan Makanan dengan


instansi pemerintah pusat dan daerah.

6) pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang pengawasan Obat


dan Makanan.

7) pelaksanaan penindakan terhadap pelanggaran ketentuan peraturan


perundang-undangan di bidang pengawasan Obat dan Makanan.

8) koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan


administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan BPOM.

9) pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung


jawab BPOM.

10) pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan BPOM.

11) pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh unsur


organisasi di lingkungan BPOM.

Pengawasan Sebelum Beredar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

adalah pengawasan Obat dan Makanan sebelum beredar sebagai tindakan

pencegahan untuk menjamin Obat dan Makanan yang beredar memenuhi

41
standar dan persyaratan keamanan, khasiat/manfaat, dan mutu produk yang

ditetapkan.

Pengawasan Selama Beredar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

adalah pengawasan Obat dan Makanan selama beredar untuk memastikan

Obat dan Makanan yang beredar memenuhi standar dan persyaratan

keamanan, khasiat/ manfaat, dan mutu produk yang ditetapkan serta

tindakan penegakan hukum.

Fungsi Balai Besar/Balai POM (Unit Pelaksana Teknis) berdasarkan

Pasal 4 Peraturan BPOM Nomor 12 Tahun 2018, Unit Pelaksana Teknis

BPOM menyelenggarakan fungsi:

1) Penyusunan rencana dan program di bidang pengawasan Obat dan


Makanan.

2) Pelaksanaan pemeriksaan sarana/fasilitas produksi Obat dan


Makanan.

3) Pelaksanaan pemeriksaan sarana/fasilitas distribusi Obat dan


Makanan dan/atau sarana/fasilitas pelayanan kefarmasian.

4) Pelaksanaan sertifikasi produk dan sarana/fasilitas produksi dan/atau


distribusi Obat dan Makanan.

5) Pelaksanaan pengambilan contoh (sampling) Obat dan Makanan.

6) Pelaksanaan pengujian Obat dan Makanan.

7) Pelaksanaan intelijen dan penyidikan terhadap pelanggaran


ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengawasan
Obat dan Makanan.

8) Pengelolaan komunikasi, informasi, edukasi, dan pengaduan


masyarakat di bidang pengawasan Obat dan Makanan.

42
9) Pelaksanaan koordinasi dan kerja sama di bidang pengawasan Obat
dan Makanan.

10) Pelaksanaan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan di bidang


pengawasan Obat dan Makanan.

11) Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga.

12) Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Kepala Badan.

f. Kewenangan Badan Pengawas Obat dan Makanan

Kewenangan BPOM ini diatur langsung oleh Pemerintah pada pasal 4

pada Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas

Obat dan Makanan. Dalam melaksanakan tugas pengawasan Obat dan

Makanan, BPOM mempunyai kewenangan : (BPOM, https: // www. pom.

go .id/ new /view/direct/function , 2017)

1) menerbitkan izin edar produk dan sertifikat sesuai dengan standar dan
persyaratan keamanan, khasiat/manfaat dan mutu, serta pengujian obat
dan makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2) melakukan intelijen dan penyidikan di bidang pengawasan Obat dan


Makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3) pemberian sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan


perundang-undangan.

g. Budaya Organisasi BPOM

Budaya organisasi merupakan nilai-nilai luhur yang diyakini dan harus

dihayati dan diamalkan oleh seluruh anggota organisasi dalam

melaksanakan tugas. Nilai-nilai luhur yang hidup dan tumbuh kembang

dalam organisasi menjadi semangat bagi seluruh anggota organisasi dalam

berkarsa dan berkarya. Berikut ini budaya organisasi BPOM yaitu : (BPOM,

https://www.pom.go.id/new/view/direct/culture , 2017)

43
1) Profesional

Menegakkan profesionalisme dengan integritas, objektivitas,


ketekunan dan komitmen yang tinggi.

2) Integritas

Konsistensi dan keteguhan yang tak tergoyahkan dalam menjunjung


tinggi nilai-nilai luhur dan keyakinan.

3) Kredibilitas

Dapat dipercaya dan diakui oleh masyarakat luas, nasional dan


internasional.

4) Kerjasama Tim

Mengutamakan keterbukaan, saling percaya dan komunikasi yang


baik.

5) Inovatif

Mampu melakukan pembaruan sesuai ilmu pengetahuan dan teknologi


terkini.

6) Responsif/ Cepat Tanggap

Antisipatif dan responsif dalam mengatasi masalah.

4. Pengaturan Hukum Pidana Mengedarkan Sediaan Farmasi Secara

Umum

Beberapa payung hukum yang dapat digunakan oleh konsumen atas

Peredaran produk kosmetika untuk menjerat pelaku yakni :

a. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Menurut Pasal 386 KUHP menyatakan bahwa :

44
(1) Barang siapa menjual, menawarkan atau menyerahkan
barang makanan, minuman atau obat-obatan yang
diketahui bahwa itu dipalsu, dan menyembunyikan hal itu,
diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

(2) Bahan makanan, minuman atau obat-obatan itu dipalsu,


jika nilainya atau faedah menjadi kurang karena dicampur
dengan sesuatu bahan lain.

Mengenai keadaan yang ditegaskan pada pasal ini mengenai kasus

pidana dan termasuk pemalsuan barang apabila setelah dicampurnya barang

makanan, minuman, atau obat-obatan tersebut berkurang nilai atau

manfaatnya, atau bahkan nilai atau manfaat barang tersebut menjadi lenyap.

Oleh sebab itu, tidak menjadi kasus pidana apabila setelah dicampur tidak

berkurang atau lenyap nilai dan manfaatnya, maka tidak melanggar pasal

ini.

Unsur - unsur dari kejahatan ini adalah:

a) Unsur - unsur objektif:

1. Perbuatan : menjual, menawarkan, dan menyerahkan.

2. objeknya : benda makanan, benda minuman dan benda obat-


obatan.

3. Benda - benda itu dipalsu.

4. menyembunyikan tentang palsunya benda-benda itu.

b) Unsur-unsur subjektif:

45
Produsen yang meracik tersebut mengetahui bahwa benda-benda

itu adalah palsu. Dalam hal ini produsen tidak dijerat hukuman apabila

dia menyatakan produk tersebut diberitahukan dilakukan pemalsuan

terhadap pembeli dan pembeli membeli barang sesuai kemauannya.

b. Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan

Pasal 197 Undang-Undang No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

menyatakan :

“Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan


sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling
banyak Rp. 1.500.000.000.00 (satu miliar lima ratus juta rupiah)”.

Terdapat unsur- unsur yang terkandung didalam Pasal 197 Undang-

Undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan yakni :

1) Unsur-unsur objektif :

a) Perbuatan : memproduksi atau mengedarkan;

b) Objeknya : sediaan alat farmasi dan/atau alat kesehatan tanpa izin


edar sebagaimana maksud Pasal 106 ayat (1).

2) Unsur subjektif : dengan sengaja

Pasal 106 ayat (1) mewajibkan sebelum mengedarkan sediaan farmasi

dan/atau alat kesehatan untuk mendapatkan izin edar. Melanggar

kewajiban hukum ini dijadikan tindak pidana oleh Pasal 106 ayat (1)

46
diancam pidana. Oleh karena diancam pidana maka pelanggaran

administrasi yang artinya mengandung larangan administrasi menjadi sifat

melawan hukum pidana. Kesengajaan produsen ialah menghendaki

perbuatan memproduksi atau mengedarkan. Produsen mengetahui bahwa

yang diproduksi atau diedarkan adalah sediaan farmasi dan/atau alat

kesehatan. Produsen mengetahui bahwa perbuatan mengedarkan sediaan

farmasi dan/atau alat kesehatan tidak mempunyai izin edar. Berdasarkan

doktrin hukum pidana ( Moeljatno, 2018: 191), yang dimaksud dengan

sengaja adalah adanya kehendak atau sikap batin terdakwa untuk

melakukan suatu perbuatan, serta mengerti dan mengetahui perbuatan

tersebut. Ada tiga macam kesengajaan dalam teori hukum pidana, yaitu

kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan sebagai kepastian, dan

kesengajaan sebagai kemungkinan.

c. Undang - Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan


Konsumen (UUPK)

Dalam pasal 19 UUPK mengenai tanggung jawab pelaku usaha

terhadap konsumen yang dirugikan adalah sebagai berikut: (Republik

Indonesia, 1999:8 )

1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas


kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat
mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan.

2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat berupa


pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang
sejenis atau setaranilainnya, atau perawatan kesehatan dan/atau

47
pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh)


hari setelah tanggal transaksi.

4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) tidak menghapus kemungkinan adanya tuntutan pidana
berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur
kesalahan.

5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan
tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Yang dimaksud dengan pasal 19 UUPK ini adalah jika konsumen

menderita kerugian berupa terjadinya kerusakan, pencemaran, atau kerugian

finansial dan kesehatan karena mengonsumsi produk yang diperdagangkan,

produsen sebagai pelaku usaha wajib member penggantian kerugian, baik

dalam bentuk pengembalian uang, penggantian barang, perawatan, maupun

dengan memberi santunan.

B. Posisi Kasus Perkara Nomor 235/ Pid.sus/ 2015/ PN.Pbr

1. Identitas Terdakwa

Nama Lengkap : GIMAN HASLIM Bin KARDI


Tempat Lahir : Palembang
Umur/tgl.lahir : 57 Tahun/ 18 Februari 1958
Jenis Kelamin : Laki-laki
Kebangsaan : Indonesia
Tempat tinggal : Jl. Pemuda I No. 21 B RT/RW 001/002 Kel.
Tampan Kec. Payung Sekaki Kota Pekanbaru
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
Pendidikan : SD (Kelas 4)

48
2. Posisi Kasus

Terdakwa GIMAN HASLIM BIN KARDI, pada hari selasa tanggal 3

Februari 2015 sekira pukul 14.00 WIB, atau setidak-tidaknya pada suatu waktu

salam bulan Februari 2015, bertempat di Jl. Pemuda I No. 21 B RT 001 RW

002 Kelurahan Tampan Kecamatan Payung Sekaki Kota Pekanbaru, atau

setidak-tidaknya pada suatu tempat yang masih termasuk dalam daera hukum

Pengadilan Negeri Pekanbaru, yang dengan sengaja memproduksi atau

mengedarkan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar,

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1), perbuatan tersebut dilakukan

oleh terdakwa GIMAN HASLIM BIN KARDI, dengan cara sebagai berikut :
Pada hari Selasa tanggal 03 Februari 2015 sekira pukul 14.00 WIB, saksi
Herry Yusman, bersama team Dit Reskrimsus Polda Riau dengan berdasarkan
Surat Perintah Tugas yang ditandatangani oleh DIR RESKRIMSUS POLDA
RIAU Nomor : Sprin.Gas/31/II/2015 tanggal 03 Februari 2015, telah
melakukan pemeriksaan dan penggeledahan didalam Ruko Jl. Pemuda I No. 21
B RT 001 RW 002 Kelurahan Tampan Kecamatan Payung Sekaki Kota
Pekanbaru, milik terdakwa yang menjual / mengedarkan berupa produk
kosmetika untuk salon rambut berbagai jenis dan merk tidak memiliki izin
edar, yang diperolah terdakwa dari penjualnya Daniel (belum tertangkap) di
Komplek Penguin Top 100 Batam Center-Batam , lalu terdakwa jual/ edarkan
kepada konsumen keberbagai daerah dengan menggunakan internet melalui
website “Bukalapak.com”, pada saat dilakuka pemeriksaan dan penggeledahan
oleh saksi Herry Yusman bersama team, tepatnya didalam Ruko, ditemukan
barang bukti sebanyak 11 (sebelas) item/ macam produk kosmetika untuk
salom rambut berbagai jenis dan merk yang terdakwa jual/ edarkan kepada
masyarakat umum , tanpa memiliki izin edar dari Badan POM RI di Jakarta,

49
lalu saksi Herry Yusman bersama dengan team yang disaksikan oleh saksi Asep
Sudrajat (Ketua RT 001 tempat tinggal terdakwa) mengumpulkan dan mendata
produk kosmetika untuk salon rambut berbagai jenis dan merk, yang tidak
memiliki izin edar , berdasarkan nama produk, jumlah serta harganya,
sebagaimana tertera dalam tabel sebagai berikut :

No Nama Produk Jumlah Harga


1 H2O Kotak besar 127 pcs Rp. 89.000,-/pcs
2 H2O kotak sedang 88 pcs Rp. 60.000,-/pcs
3 H2O kotak kecil 2041 pcs Rp. 18.000,-/pcs
4 Entir botol besar 320 pcs Rp. 65.000,-/pcs
5 Entir botol kecil 2304 pcs Rp. 20.000,-/pcs
6 W Pro Rebounding 480 pcs Rp.68.000,-/pcs
7 Rebounding W 186 pcs Rp. 65.000,-/pcs
8 Hair Spa W Propesional 78 pcs Rp. 60.000,-/pcs
9 Cuenic 72 pcs Rp. 98.000,-/pcs
Dan paket siap kirim sebanyak 11 (sebelas) kardus, 39 (tiga puluh Sembilan)
lembar surat jalan pengirim barang, 1 (satu) buku data orderan barang serta 2
(dua) lembar Nomor BPOM NA untuk tempelan. Produk kosmetika untuk
salon rambut berbagai jenis dan merk, yang tidak memiliki izin edar, dibuatkan
Berita Acara Penyitaan Barang Bukti yang ditanda tangani oleh Penyidik Dit
Reskrimsus Polda Riau dan pemilik barang.

Terdakwa selaku pemilik/penanggung jawab produk di Kosmetika untuk


salon rambut berbagai jenis dan merk, mengaku mengetahui tidak boleh
menjual/mengedarkan produk Kosmetika untuk Salon rambut berbagai jenis
dan merk, yang tidak memiliki izin edar, karena selain terdakwa bukan
memiliki keahlian/Apoteker, juga usaha mengedarkan produk Kosmetika untuk
salon rambut berbagai jenis dan merk, hanya dapat menjual /mengedarkan
produk Kosmetika untuk salon rambut berbagai jenis dan merk yang memiliki
izin edar karena produk kosmetika untuk salon rambut berbagai jenis dan merk
yang tidak memiliki izin edar dapat merugikan konsumen apabila terjadi efek
samping maka pemerintah tidak bertanggungjawab dan juga merugikan
konsumen secara materil, akan tetapi terdakwa tetap juga telah

50
menjual/mengedarkan produk Kosmetika untuk salon rambut berbagai jenis
dan merk, yang tidak memiliki izin edar pada usaha didalam ruko nya itu,
selanjutnya saksi Herry Yusman bersama team membawa terdakwa beserta
barang bukti untuk diserahkan ke Kantor Dit Reskrimsus Polda Riau guna
pengusutan lebih lanjut.

3. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

Perbuatan terdakwa GIMAN HASLIM BIN KARDI, sebagaimana diatur

dan diancam Pidana melanggar pasal 197 Jo Pasal 106 ayat (1) Undang-

Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dakwaan pada kasus ini

bersifat dakwaan tunggal, pada dakwaan yang dilanggar oleh terdakwa yaitu

pasal 197 Jo Pasal 106 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan dengan unsur-unsur sebagai berikut :

1) Barang Siapa;

2) Yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi


dan alat kesehatan;

3) Yang tidak memiliki Izin edar sebagaimana dimaksud dalam pasal 106
ayat (1)

4. Tuntutan oleh Penuntut Umum

Tuntutan pidana yang diajukan oleh Penuntut Umum dibacakan didepan

Pengadilan Negeri Pekanbaru dengan memperhatikan fakta-fakta yang terjadi

dilapangan serta selama persidangan yang mendengarkan keterangan saksi-

saksi dan terdakwa serta memperhatikan barang bukti yang diajukan selama

persidangan. Maka penuntut umum pada pokoknya menurut supaya Majelis

51
Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru yang memeriksa dan mengadili perkara

ini memutuskan :

1. Menyatakan Terdakwa GIMAN HASLIM Bin KARDI bersalah


melakukan tindak pidana yang dengan sengaja memproduksi dan /atau
mengedarkan sediaan farmasi dari atau kesehatan yang tidak memiliki
izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1), sebagaimana
yang didakwakan dalam Dakwaan Kedua melanggar Pasal 197 Jo Pasal
106 ayat (1) UU RI No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan, sesuai
dakwaan Tunggal kami;

2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa GIMAN HASLIM Bin.


KARDI, dengn pidana penjara selama 6 (enam) bulan, pidana tersebut
dikurangkan seluruhnya sengan masa penangkapan dan selama
terdakwa berada dalam tahanan sementara, dan Denda sebesar Rp.
800.000.000 (delapan ratus juta rupiah), subsidair selama 4 (empat)
bulan kurungan, dengan perintah agar terdakwa tetap berada dalam
tahanan;

3. Menyatakan Barang Bukti berupa :

1) H2O Kotak besar sebanyak ± 127 (seratus dua puluh tujuh) pcs.

2) H2O kotak sedang sebanyak ± 88 (delapan puluh delapan) pcs.

3) H2O kotak kecil sebanyak ± 2041 (dua ribu empat puluh satu) pcs.

4) Entir botol besar sebanyak ± 320 (tiga ratus dua puluh) pcs.

5) Entir botol kecil sebanyak ± 2304 (dua ribu tiga ratus empat) pcs.

6) W Pro Rebounding sebanyak ± 480 (empat ratus delapan puluh)


pcs.

7) Hair Spa W Pro sebanyak ± 78 (tujuh puluh depalan) pcs.

52
8) Cuenic sebanyak ±72 (tujuh puluh dua) pcs.

9) Paket siap kirim sebanyak 11 (sebelas) kardus.

10) 39 (tiga puluh Sembilan) lembar surat jalan pengiriman barang.

11) 3 (tiga) lembar surat penerimaan barang.

12) 1 (satu) buku data orderan barang.

13) 2 (dua) lembar No. BPOM NA untuk tempelan.

Dirampas untuk dimusnahkan.

4. Menerapkan agar terpidana dibebani membayar biaya perkara sebesar


Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah).

5. Amar Putusan

Berikut ini yang menjadi amar putusan pada perkara putusan nomor 235/

Pid.Sus/ 2015/ PN.Pbr ini adalah sebagai berikut :

Majelis Hakim akan mempertimbangkan apakah berdasarkan fakta-fakta


hukum tersebut atas, Terdakwa dapat dinyatakan telah melakukan tindak
pidana yang didakwakan kepadanya. Bahwa terdakwa telah didakwakan oleh
Penuntut Umum dengan dakwaan tunggal melanggar Pasal 197 Jo Pasal 106
ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang
unsur-unsurnya sebagai berikut :

1. Barang Siapa;

2. Yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan


alat kesehatan;

3. Yang tidak memiliki Izin edar sebagaimana dimaksud dalam pasal 106
ayat (1)

53
Memperhatikan, bahwa seorang terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah
melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepadanya apabila
seluruh unsur-unsur dari pasal yang didakwakan dapat dibuktikan dalam
perbuatan terdakwa. Lalu mempertimbangkan Pasal 197 Jo 106 ayat (1)
Undang-Undang RI No. 31 tahun 2009 tentang kesehatan, Undang-Undang No.
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana serta peraturan perundang-
undangan lain yang bersangkutan .

Mengadili

1. Menyatakan terdakwa GIMAN HASLIN Bin KARDI telah terbukti


secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “dengan
sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dari atau
kesehatan yang tidak memiliki izin edar” sebagaimana dakwaan
tunggal.

2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana


penjara selama 4 (empat) bulan, denda sebesar Rp. 800.000.000,-
(delapan ratus juta rupiah), subsidair 2 (dua) bulan penjara.

3. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani oleh


terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.

4. Menetapkan terdakwa tetap ditahan.

5. Menyatakan barang bukti berupa :

1) H2O Kotak besar sebanyak ± 127 (seratus dua puluh tujuh) pcs.

2) H2O kotak sedang sebanyak ± 88 (delapan puluh delapan) pcs.

3) H2O kotak kecil sebanyak ± 2041 (dua ribu empat puluh satu) pcs.

4) Entir botol besar sebanyak ± 320 (tiga ratus dua puluh) pcs.

5) Entir botol kecil sebanyak ± 2304 (dua ribu tiga ratus empat) pcs.

6) W Pro Rebounding sebanyak ± 480 (empat ratus delapan puluh)


pcs.

7) Hair Spa W Pro sebanyak ± 78 (tujuh puluh depalan) pcs.

8) Cuenic sebanyak ±72 (tujuh puluh dua) pcs.

54
9) Paket siap kirim sebanyak 11 (sebelas) kardus.

10) 39 (tiga puluh Sembilan) lembar surat jalan pengiriman barang.

11) 3 (tiga) lembar surat penerimaan barang.

12) 1 (satu) buku data orderan barang.

13) 2 (dua) lembar No. BPOM NA untuk tempelan

Dirampas untuk dimusnahkan

6. Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp. 5.000 (lima


ribu rupiah).

Putusan ini diputuskan dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim


Pengadilan Negeri Pekanbaru, pada hari Senin, tanggal 13 April 2015 oleh kami
Martin Ginting, S.H.,M.H sebagai Hakim Ketua Majelis, Masrul, S.H.,M.H dan
Isnurul. S. Arif, S.H.,M.Hum masing-masing sebagai Hakim anggota, putusan
mana diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum pada hari dan
tanggal itu juga, oleh Hakim Ketua Majelis tersebut dengan damping Masrul,
S.H.,M.H dan Isnurul. S. Arif, S.H.,M.Hum Hakim-hakim anggota, dan dibantu
oleh Des Surya,S.H. Panitera Pengganti Pengadila Negeri Pekanbaru, dengan
dihadiri oleh Tio Minar Simatupang, S.H Jaksa pada kejaksaan Negeri Pekanbaru
dan Terdakwa.

55
BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Penerapan Pasal 197 Jo Pasal 106 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36

Tahun 2009 Tentang Kesehatan dalam Kasus Tindak Pidana

Mengedarkan Sediaan Farmasi Pada Perkara Putusan Nomor

235/Pid.sus/2015/Pn.Pbr.
Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu kasus merupakan
Kekuasaan bahi hakim yang harus tetap diawasi dan dihormati oleh semua pihak

tanpa pengecualian guna tidak satupun pihak yang dapat ikut campur tangan

dengan hakim dalam menjalankan tugasnya. Hakim harus mempertimbangkan

banyak hal dalam menjatuhkan putusan yang berkaitan dengan kasus yang sedang

diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pelaku, sampai

kepentingan pihak korban maupun keluarganya serta mempertimbangkan pula

rasa keadilan masyarakat.


Penerapan suatu pasal tindak pidana merupakan bentuk dari penegakan

hukum yang ditentukan dalam proses penyidikan yang bertujuan untuk

56
menentukan secara awal suatu perbuatan seseorang telah memenuhi unsur dari

salah satu pasal dari suatu tindak pidana terutama tindak pidana mengedarkan

sediaan farmasi illegal sehingga dapat dinyatakan bahwa sosok hakim sangat

menentukan disparitas pemidanaan.


Seperti yang kita ketahui bahwa setiap pelimpahan perkara dalam acara

pemeriksaan mengharuskan penuntut umum melengkapi pelimpahan berkas

dengan “surat dakwaan”, dan surat dakwaan sebagaimana yang diatur dalam

ketentuan Pasal 143 ayat (2) yang memuat :


1. Unsur subjektif : berupa identitas lengkap terdakwa tentang nama, tempat dan
tanggal lahir atau umur, jenis kelamin, tempat tinggal, agama dan pekerjaan.
2. Unsur objektif : berupa uraian cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak
pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak
pidana dilakukan.
Bantuan dari Jaksa Penuntut Umum yang dirumuskan dalam suatu suarat

dakwaan , seorang Hakim dalam memeriksa perkara pidana melakukan pencarian

dan pembuktian kebenaran materil yang berdasarkan fakta yang terungkap di

persidangan dan memiliki pendirian serta menjadi salah satu dasar pertimbangan

dalam hal penjatuhan pidana oleh hakim atas tindak pidana mengedarkan sediaan

farmasi tanpa izin edar yang dilakukan oleh terdakwa.


Surat dakwaan yang tidak memenuhi syarat unsur objektif, mengakui

“batal demi hukum”. Berarti disamping dakwaan menyebutkan tempat dan waktu

tindak pidana dilakukan, surat dakwaan harus menguraikan secara jelas dan

terperinci unsur-unsur konstitutif tindak pidana yang didakwakan, sesuai dengan

apa yang dirumuskan dalam pasal tindak pidana yang dilanggar.


Fungsi utama surat dakwaan dalam pemeriksaan perkara disidang

pengadilan, “menjadi titik tolak landasan pemeriksaan perkara”. Pemeriksaan

perkara di sidang pengadilan, mesti didasari dari isi surat dakwaan. Atas landasan

57
surat dakwaan inilah ketua sidang memimpin mengarahkan jalannya seluruh

pemeriksaan baik yang menyangkut pemeriksaan alat bukti maupun yang

berkenan dengan barang bukti. Jika penuntut umum, terdakwa, atau penasihat

hukum menyimpang dari surat dakwaan, ketua sidang berkewajiban dan

berwenang untuk meluruskan kembali kearah yang sesuai dengan surat dakwaan.
Akan tetapi, supaya ketua sendiri dapat menguasai jalan pemeriksaan yang

sesuai dengan surat dakwaan, harus lebih dahulu memahami secara tepat segala

sesuatu unsur-unsur konstitutif yang terkandung dalam pasal tindak pidana yang

didakwakan, serta terampil mengartikan dan menafsirkan pasal tindak pidana

yang bersangkutan.
Dalam praktik hukum, untuk dapatnya dinyatakan sebagai telah

terwujudnya suatu tindak pidana tertentu yang didakwakan dan dalam rangka

hakim menjatuhkan pidana, setiap unsur yang dicantumkan dalam rumusan tindak

pidana haruslah dimuat dalam surat dakwaan dan harus pula dapat dibuktikan

dalam persidangan termasuk unsur melawan hukum yang dicantumkan. Jika unsur

melawan hukum ini tidak disebutkan dalam rumusan delik pidana, maka tidak

perlu dimuat dalam dakwaan sehingga tidaklah perlu dibuktikan disidang

pengadilan. (Yuldianti, 2018: 26)


Apabila pemeriksaan sidang dinyatakan selesai seperti yang diatur dalam

pasal 182 ayat (1), tahap proses persidangan selanjutnya adalah penuntutan,

pembelaan dan jawaban. Dan apabila pada tahap proses penuntutan, pembelaan

dan jawaban telah berakhir, tibalah saatnya hakim ketua menyatakan

“pemeriksaan dinyatakan tertutup”. Pernyataan inilah yang mengantar

persidangan ketahap musyawarah hakim, guna menyiapkan putusan yang akan

dijatuhkan pengadilan.

58
Mempertegas tentang wewenang dari pengadilan begitu juga dengan Hakim

yang dapat kita lihat pada Pasal 193 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa:

“Jika Pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana


yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”.

Ketentuan ini membuat seseorang secara tidak langsung dapat didakwakan

terbukti melakukan kesalahan yang ada padanya maka dia harus menerima

hukuman yakni pemidanaan. Pada setiap pemeriksaan perkara pidana, Hakim

berusaha untuk mencari dan membuktikan kebenaran materiil berdasarkan fakta

yang terjadi dalam persidangan, serta berpegang teguh pada apa yang gambaran

rumusan surat dakwaan oleh penuntut umum. Oleh sebab itu Lilik Mulyadi

memberikan pandangan yakni bahwa apabila hakim menjatuhkan putusan

pemidanaan, maka hakim telah yakin berdasarkan alat-alat bukti yang sah serta

fakta-fakta di persidangan bahwa terdakwa melakukan perbuatan sebagaimana

dalam surat dakwaan. (Mulyadi, 2010:112)

Alat-alat bukti yang diatur dalam KUHAP berada dalam ketentuan Pasal

184 yang meliputi sebagai berikut:

1. Keterangan Saksi
2. Keterangan Ahli
3. Alat Bukti Tertulis
4. Pengakuan
5. Keterangan Terdakwa.
Ketentuan mengenai alat-alat bukti diatas menunjukan bahwa sesuai dengan

adanya ketentuan Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa sebagai berikut:

59
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan

sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa

suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah

melakukannya”.

Kita perhatikan menurut posisi kasus yang telah dipaparkan diatas, bila

memberi kesimpulan yang harus sesuai dengan ketentuan hukum pidan formil

maupun materil serta melihat syarat dapat dipidananya seseorang. Hal ini

dikarenakan landasan pada fakta saat pemeriksaan di persidangan saat alat bukti

diajukan oleh Jaksa Penuntut umum serta keterangan ahli yang diungkapkan,

adanya kecocokan dengan keterangan terdakwa yang mengaku jujur akan

perbuatan yang dilakukannya.

Menyimpulkan sebuah putusan pemidanaan yang akan dijatuhkan maka

hakim harus memperhatikan hal-hal yang harus dimuat dalam putusan disetiap

tingkat peradilan tersebut. Ketentuan ini dapat dilihat didalam Pasal 197 ayat (1)

KUHAP yang menyatakan bahwa sebagai berikut:

1. Kepala putusan yang dituliskan berbunyi: “DEMI KEADILAN


BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”
2. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa
3. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan
4. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta daan keadaan,
beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang
menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa
5. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan

60
6. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau
tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang
meringankan terdakwa
7. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara
diperiksa oleh hakim tunggal; Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan
telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan
kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan
8. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan
jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti
9. Keterangan bahwa seluruh, surat pernyataan palsu atau keterangan dimana
letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu
10. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau
dibebaskan
11. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang
memutus dan nama panitera.
Surat Terdakwa yakni GIMAN HASLIM Bin KARDI dikenakan pasal 197

jo. 106 ayat (1) Undang-Undang no.36 Tahun 2009 tentang kesehatan. Oleh

karena itu, Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru menyatakan bahwa unsur

perbuatan terdakwa telah bersesuaian dengan rumusan delik yang terdapat dalam

dakwaan tunggal yaitu Pasal 197 jo 106 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36

Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

Hakim berpendapat bahwa, alasan penuntut umum memakai dakwaan

tunggal dikarenakan adanya asas Lex Specialis derogat Lex Generalis. Karena

penggunaan sebuah undang-undang yang lebih spesialis seperti Undang-Undang

No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan lebih dianjurkan dengan alasan pengkajian

atas unsur-unsur dalam sebuah tindak kejahatan lebih spesifik daripada Undang-

Undang umum seperti KUHP yang umum serta pengkajian penafsiran pasalnya

tidak sesuai dengan perkembangan yang ada.

61
Adapun unsur - unsur tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi illegal

yang diatur dalam Pasal 197 Jo Pasal 106 ayat (1) Undang-Undang Republik

Indonesia No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang unsur-unsurnya sebagai

berikut :

1. Unsur Barang Siapa

Menimbang, bahwa apa yang dimaksud dengan unsur “barang siapa”

dalam hal ini adalah orang sebagai subjek hukum selaku pendukung hak dan

kewajiban yang dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya. Bahwa dalam

perkara ini orang sebagai subyek yang didakwa telah melakukan suatu perbuatan

pidana adalah GIMAN HASLIM Bin KARDI sesuai dengan identitas yang telah

dibacakan didepan persidangan dan keterangan saksi-saksi yang diberikan di

depan persidangan;

Menimbang, bahwa terdakwa GIMAN HASLIM Bin KARDI dalam

persidangan telah mengakui identitasnya dan menerangkan kejadian sebagaimana

tersebut dalam Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum;

Menimbang, bahwa dari uraian dan pertimbangan yang dijelaskan diatas,

maka penulis berkesimpulan bahwa unsur pertama barang siapa telah dapat

dibuktikan dan pemenuhan akan pertanggungjawaban perbuatan pidananya.

62
2. Unsur Yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan

farmasi dan alat kesehatan

Bahwa yang dimaksud dengan sengaja mengedarkan sediaan Farmasi

berarti seseorang dalam melakukan sesuatu pekerjaan bertentangan dengan

dirinya sendiri dan bertentangan dengan hukum.

Menimbang, berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dimuka persidangan


berupa keterangan saksi yaitu ALEX SANDER , S.FARM,APT dan terdakwa
bahwa benar pada saat dilakukan pemeriksaan pada hari selasa tanggal 03
Februari 2015 sekira pukul 14.00 WIB, saksi Herry Yusman, bersama team Dit
Reskrimsus Polda Riau, dengan berdasarkan Surat Perintah Tugas yang
ditandatangani oleh DIR RESKRIMSUS POLDA RIAU Nomor :
Sprin.Gas/31/II/2015 tanggal 03 Februari 2015, telah melakukan pemeriksaan dan
penggeledahan didalam Ruko Jl. Pemuda I No. 21 B RT 001 RW 002 Kelurahan
Tampan Kecamatan Payung Sekaki Kota Pekanbaru, milik terdakwa yang menjual
/ mengedarkan berupa produk kosmetika untuk salon rambut berbagai jenis dan
merk tidak memiliki izin edar, yang diperolah terdakwa dari penjualnya Daniel
(belum tertangkap) di Komplek Penguin Top 100 Batam Center-Batam , lalu
terdakwa jual/ edarkan kepada konsumen keberbagai daerah dengan
menggunakan internet melalui website “Bukalapak com”, pada saat dilakuka
pemeriksaan dan penggeledahan oleh saksi Herry Yusman bersama team, tepatnya
didalam Ruko, ditemukan barang bukti sebanyak 11 (sebelas) item/macam produk
kosmetika untuk salom rambut berbagai jenis dan merk yang terdakwa
jual/edarkan kepada masyarakat umum , tanpa memiliki izin edar dari Badan
POM RI di Jakarta, lalu saksi Herry Yusman bersama dengan team yang
disaksikan oleh saksi Asep Sudrajat (Ketua RT 001 tempat tinggal terdakwa)
mengumpulkan dan mendata produk kosmetika untuk salon rambut berbagai jenis
dan merk, yang tidak memiliki izin edar , berdasarkan nama produk, jumlah serta
harganya, sebagaimana tertera dalam tabel sebagai berikut :

63
No Nama Produk Jumlah Harga
1 H2O Kotak besar 127 pcs Rp. 89.000,-/pcs
2 H2O kotak sedang 88 pcs Rp. 60.000,-/pcs
2
3 H O kotak kecil 2041 pcs Rp. 18.000,-/pcs
4 Entir botol besar 320 pcs Rp. 65.000,-/pcs
5 Entir botol kecil 2304 pcs Rp. 20.000,-/pcs
6 W Pro Rebounding 480 pcs Rp.68.000,-/pcs
7 Rebounding W 186 pcs Rp. 65.000,-/pcs
8 Hair Spa W Propesional 78 pcs Rp. 60.000,-/pcs
9 Cuenic 72 pcs Rp. 98.000,-/pcs
Dan paket siap kirim sebanyak 11 (sebelas) kardus, 39 (tiga puluh
Sembilan) lembar surat jalan pengirim barang, 1 (satu) buku data orderan barang
serta 2 (dua) lembar Nomor BPOM NA untuk tempelan.

Menimbang, bahwa mendasari pada fakta dan pertimbangan tersebut

diatas, Majelis Hakim dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa unsur Yang

dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan alat

kesehatan telah dapat dibuktikan dalam perbuatan terdakwa;

3. Unsur Yang tidak Memiliki Izin Edar sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 106 ayat (1);

Menimbang, berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dimuka persidangan


berdasarkan keterangan saksi-saksi ALEX SANDER, S.FARM, APT, saksi dan
menerangkan para saksi melakukan pemeriksaan pada hari Selasa tanggal 03
Februari 2015 sekira pukul 14.00 Wib, saksi Herry Yusman, bersama team Dit
Reskrimsus Polda Riau, dengan berdasarkan Surat Perintah Tugas yang
ditandatangani oleh DIR RESKRIMSUS POLDA RIAU Nomor :
Sprin.Gas/31/II/2015 tanggal 03 Februari 2015, telah melakukan pemeriksaan dan
penggeledahan didalam Ruko Jl. Pemuda I No. 21 B RT 001 RW 002 Kelurahan
Tampan Kecamatan Payung Sekaki Kota Pekanbaru, milik terdakwa yang menjual
/ mengedarkan berupa produk kosmetika untuk salon rambut berbagai jenis dan

64
merk tidak memiliki izin edar, yang diperolah terdakwa dari penjualnya Daniel
(belum tertangkap) di Komplek Penguin Top 100 Batam Center-Batam , lalu
terdakwa jual/ edarkan kepada konsumen keberbagai daerah dengan
menggunakan internet melalui website “Bukalapak com”, pada saat dilakuka
pemeriksaan dan penggeledahan oleh saksi Herry Yusman bersama team, tepatnya
didalam Ruko, ditemukan barang bukti sebanyak 11 (sebelas) item/macam produk
kosmetika untuk salom rambut berbagai jenis dan merk yang terdakwa
jual/edarkan kepada masyarakat umum , tanpa memiliki izin edar dari Badan
POM RI di Jakarta, lalu saksi Herry Yusman bersama dengan team yang
disaksikan oleh saksi Asep Sudrajat (Ketua RT 001 tempat tinggal terdakwa)
mengumpulkan dan mendata produk kosmetika untuk salon rambut berbagai jenis
dan merk, yang tidak memiliki izin edar , berdasarkan nama produk, jumlah serta
harganya, sebagaimana tertera dalam tabel sebagai berikut :

No Nama Produk Jumlah Harga


1 H2O Kotak besar 127 pcs Rp. 89.000,-/pcs
2 H2O kotak sedang 88 pcs Rp. 60.000,-/pcs
3 H2O kotak kecil 2041 pcs Rp. 18.000,-/pcs
4 Entir botol besar 320 pcs Rp. 65.000,-/pcs
5 Entir botol kecil 2304 pcs Rp. 20.000,-/pcs
6 W Pro Rebounding 480 pcs Rp.68.000,-/pcs
7 Rebounding W 186 pcs Rp. 65.000,-/pcs
8 Hair Spa W Propesional 78 pcs Rp. 60.000,-/pcs
9 Cuenic 72 pcs Rp. 98.000,-/pcs
Dan paket siap kirim sebanyak 11 (sebelas) kardus, 39 (tiga puluh Sembilan)

lembar surat jalan pengirim barang, 1 (satu) buku data orderan barang serta 2

(dua) lembar Nomor BPOM NA untuk tempelan.

Menimbang, bahwa mendasari pada fakta dan pertimbangan tersebut

diatas, Majelis Hakim mengambil suatu kesimpulan bahwa unsur Yang tidak

Memiliki Izin Edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) telah

dapat dibuktikan dalam perbuatan terdakwa. Maka penulis beranggapan bahwa,

65
penerapan pasal dalam proses penjatuhan pidana untuk terdakwa dirasa sudah

tepat.

Dalam rangka ingin memperjelas putusan hakim, maka berdasarkan uraian

rangkaian masalah diatas penulis melakukan wawancara pada tanggal 14 Maret

2019 dengan salah seorang Hakim yang memutuskan perkara ini yang kebetulan

beliau menjadi Hakim Ketua perkara nomor 235/Pid.sus/2015/Pn.Pbr yang

dilakukan dengan bapak Martin Ginting, S.H., M.H. (wawancara Kamis tanggal

14 Maret 2019) yang menyatakan bahwa :

“Salah satu alasan menerapkan pasal 197 jo 106 ayat (1) pada putusan
nomor 235/Pid.sus/ 2015/ Pn.Pbr ini adalah karna Hakim menjadikan surat
dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai acuan karna hanya memberikan
dakwaan tunggal kepada si terdakwa. Oleh sebab itu, hakim tidak diperbolehkan
menggunakan pasal lain dan hal ini sudah diatur didalam ketentuan pidana pasal
182 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.”

Pernyataan Hakim yang bersangkutan mengutarakan pendapat dan uraian-


uraiannya dimulai dengan pengamatan dan penelitiannya tentang hal formil
barulah kemudian tentang hal materiil, yang kesemuanya didasarkan atas surat
dakwaan penuntut umum. (Leden Marpaung, 2011: 134)

Hak-hak formil, misalnya sebagai berikut :

1. Apakah Pengadilan Negeri dimana Majelis Hakim bersidang berwenang


memeriksa perkara tersebut;

2. Apakah surat dakwaan telah memenuhi syarat-syarat;

3. Apakah dakwaan dapat diterima atau tidak, hal ini berkenaan dengan ne
bis in idem dan verjaring.

66
Setelah hak formil itu dilanjut dengan materi perkara misalnya :

1. Perbuatan mana yang telah terbukti dipersidangan, unsur-unsur mana


yang terbukti dan apa alat bukti yang mendukungnya serta nama yang
tidak terbukti;

2. Apakah terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya


tersebut;

3. Apakah hukuman yang patut dan adil yang dijatuhkan kepada terdakwa.

Selanjutnya membahas mengenai kendala yang dialami Hakim pada saat

menjatuhkan putusan pada perkara nomor 235/pid.sus/2015/pn.pbr mengenai

mengedarkan sediaan farmasi illegal, jadi menurut bapak Martin Ginting, S.H.,

M.H. (wawancara Kamis tanggal 14 Maret 2019) yang menyatakan bahwa :

“Tidak ada kendala bahkan kekeliruan yang dirasakan pada saat


menjatuhkan putusan pada perkara ini, hanya saja Hakim berpikir bahwa
banyaknya jenis produk kosmetika lain yang beredar tetapi penegakan hukumnya
bila diperhatikan memang masih mengalami keminiman artinya, seolah-olah ada
tebang pilih dari aparat penegak dilapangan. Karena seperti yang kita ketahui
bahwa banyak sekali perbuatan mengedarkan sediaan farmasi oleh seseorang atau
agen yang memasarkanya yang terjadi dilapangan tetapi banyak yang tidak diadili
serta aparat terkesan setengah-setengah menindak kasus ini. Ditambah lagi kasus
seperti ini semakin beredar karena adanya media online yang semakin
memperluas peredarannya. Hal ini sebenarnya yang lebih berhak untuk
menjawabnya adalah team penyidik dilapangan karna Hakim hanya mengadili apa
yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Dan Hakim tidak bisa membuat
permintaan untuk mengadili sesuatu tanpa acuan dari JPU. ”

Begitu juga mengenai alasan penjatuhan sanksi kepada pelaku pengedar

sediaan farmasi tanpa izin edar pada putusan perkara nomor

67
235/pid.sus/2015/pn.pbr menurut bapak Martin Ginting, S.H., M.H. (wawancara

Kamis tanggal 14 Maret 2019) yang menyatakan bahwa :

“Menjatuhkan Pidana penjara selama 4 (empat) bulan serta denda sebesar


Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila pidana
denda tidak dibayar maka diganti dengan kurungan selama 2 (dua) bulan penjara,
hal ini bertujuan agar terdakwa jera dan dapat memperbaiki diri sehingga tidak
mengulangi perbuatannya serta sadar akan kerugian moriil ataupun materil yang
dapat dirasakan konsumen akan sediaan farmasi yang diperjualbelikannya dan
lebih mengutamakan kejujuran saat memasarkan produk daripada mencoba
dinginnya jeruji besi.”

Kemudian penulis bertanya mengenai alasan pada Surat Dakwaan tunggal

yang hanya menggunakan Undang-Undang Kesehatan dan tidak menggunakan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai dakwaan kedua atau alternative,

menurut bapak Martin Ginting S.H., M.H. (wawancara Kamis tanggal 14 Maret

2019) yang menyatakan bahwa :

“Karna pihak Jaksa penuntut Umum mengutamakan asas Hukum Lex


Specialis Derogat Lex Generalis artinya apabila sudah ada suatu undang-undang
khusus yang mengatur maka Undang-Undang Umum tidak dipakai lagi. Beda
permasalahannya apabila perbuatan ini tidak diatur didalam Undang-Undang
Kesehatan sehingga mewajibkan penggunaan KUHP. Jadi, itulah alasan Jaksa
Penuntut Umum yang lebih mengutamakan Undang-Undang noyang lebih
mengutamakan Undang-Undang no.36 tahun 2009 tentang Kesehatan daripda
KUHP.”

Adapun pandangan Hakim mengenai suatu ketentuan mengenai Undang-

Undang no. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan ini menurut bapak Martin Ginting

S.H., M.H. (wawancara Kamis tanggal 14 Maret 2019) yang menyatakan bahwa:

68
“ Hadirnya Undang-Undang Kesehatan ini sangat bagus dengan tujuannya
melindungi masyarakat, publik dan industri dari peredaran produk kosmetika yang
dapat merugikan masyarakat. Artinya semua ini terlebih dahulu harus dilakukan
pengujian guna disisi lain untuk kepentingan pengusaha karena pengusaha apabila
ingin berbisnis sediaan farmasi produk kosmetika terlebih dahulu harus memiliki
izin edar, biaya serta pajak sebagai sesuatu yang harus disetor kenegara. Karena
apabila pengusaha tidak memiliki izin edar maupun izin ingin mendirikan
perusahaan maka dia akan bebas dari pungutan sehingga nanti ada pihak-pihak
lain yang ikut-ikutan tidak mengurus izinnya dan hanya mengedarkan saja.
Sehingga apabila terjadi sesuatu pada penggunaan sediaan farmasi tersebut
mengalami sesuatu pada penggunanya, maka tidak diketahui pihak mana yang
akan diminta pertanggungjawabannya. Lain halnya apabila sebuah perusaha
mengurus segala perizinannya saat mengedarkan sediaan farmasi, selain Negara
mendapatkan pemasukan dan juga Negara tahu pihak-pihak yang dapat diminta
pertanggungjawabannya bila terjadi sesuatu hal yang merugikan masyarakat.”

Oleh sebab itu, proses pemidanaan ini merupakan suatu hasil dari

keputusan yang dijatuhkan oleh pihak majelis Hakim yang bertanggung jawab

untuk memeriksa dan memutuskan perkara dengan pertimbangan yang

bersesuaian dengan fakta yang terjadi pada saat dilakukan pemeriksaan dan

penggeledahan serta persidangan dengan keterangan para saksi ahli bahkan

keterangan sang terdakwa. Dengan harapan agar sanksi pidana yang dijatuhkan

kepada terdakwa dapat memberi rasa keadilan, kepastian hukum, kemanfaatan

bagi masyarakat umum yang merasa dampak atau efek buruk dan dirugikan serta

dapat menyelesaikan konflik atau pertentangan yang timbul dari sebuah perkara.

B. Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Menerapkan Pasal 197 Jo Pasal

106 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Pada Perkara Kasus Nomor 235/Pid.sus/2015/Pn.Pbr


Putusan Pengadilan merupakan output suatu proses peradilan di sidang

pengadilan yang meliputi proses pemeriksaan saksi, pemeriksaan terdakwa, dan

69
pemeriksaan barang bukti. Ketika proses pembuktian dinyatakan selesai oleh

hakim, tiba saatnya hakim mengambil keputusan. (Rusli Muhamad, 2018 : 34)
Rancangan Undang-Undang KUHP sudah merancang petunjuk yang wajib

dipertimbangkan hakim dalam menjatuhkan putusan yaitu : kesalahan pembuat

tindak pidana, motif dan tujuan melakukan tindak pidana, sikap batin pembuat

tindak pidana, apakah tindak pidana dilakukan secara berencana, cara melakukan

tindak pidana, sikap dan tindakan pelaku setelah melakukan tindak pidana,

riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku, pengaruh pidana terhadap masa

depan pelaku, pengaruh pidana terhadap masa depan korban atau keluarga korban,

maaf dari korban atau keluarga dan pandangan masyarakat terhadap tindak pidana

yang dilakukannya.
Mengenai putusan apa yang dijatuhkan pengadilan, tergantung hasil

mufakat musyawarah hakim berdasarkan penilaian yang mereka peroleh dari surat

dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan

disidang pengadilan. Ada beberapa jenis bentuk putusan yang dapat mereka

jatuhkan sesuai dengan hasil penilaian mereka mufakati. Oleh karena itu, dalam

pembahasan mengenai putusan pengadilan, pertama-tama akan menguraikan

tentang jenis-jenis putusan, dan dilanjutkan hal yang beruhubungan mengenai

ketentuan yang harus dipenuhi setiap putusan. (M Yahya Harahap, 2008: 346-347)

Dasar untuk menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusannya

adalah apakah unsur delik yang didakwakan kepada terdakwa terbukti atau tidak

berdasarkan alat bukti dan keyakinan hakim yang konsekuensi yuridisnya adalah

putusan pemidanaan, putusan bebas, atau putusan lepas.

70
Proses pengambilan keputusan ini merupakan sesuatu yang terkadang sulit

untuk diputuskan, karena seorang Hakim harus menggali banyak landasan

berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan oleh pihak penyidik dan penyelidik guna

membantu Jaksa Penuntut Umum untuk merumuskan surat dakwaan yang sesuai

dengan penemuan barang bukti oleh pihak penyidik serta penyelidik. Segala

runtutan proses yang sudah dilakukan oleh pihak yang berwajib diatas, yang

selanjutnya akan dilakukan pelimpahan berkas kepada Majelis Hakim yang sudah

ditunjuk untuk memeriksa serta memutuskan suatu perkara. Hakim dalam

memeriksa serta memutuskan suatu perkara yang menjadi tanggungjawabnya

harus teliti dalam menelaah setiap barang bukti atau keterangan setiap saksi

bahkan keterangan terdakwa guna menghasilkan suatu keputusan yang tidak

menimbulkan kerugian bagi terdakwa atau korban yang memiliki hubungan

terhadap kasus dan juga memberikan rasa keadilan yang sesuai dengan takaran

perbuatan yang dilakukan seorang terdakwa.

Keprofesian seorang hakim merupakan pekerjaan yang cukup berat karena

menentukan kehidupan seseorang untuk memperoleh kebebasan atau hukuman.

Terjadinya kesalahan dalam pengambilan keputusan maka akan berakibat fatal,

maka dari itu seorang hakim adalah seseorang yang terpilih untuk mengemban

amanah dari rakyat.

Selain terpenuhinya unsur -unsur tindak pidana oleh terdakwa, Hakim juga

mecermati serta memandang berbagai aspek seperti sosial, yuridis dan filosifis.

Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru yang melakukan proses penyelesaian

perkara ini memutuskan terdakwa yang oleh Jaksa Penuntut umum dan Dakwaan

71
Jaksa Penuntut Umum yaitu melanggar Pasal 197 jo 106 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 2009 tentang Kesehatan serta peraturan perundang-undangan

yang bersangkutan.

Salah satunya pada perkara putusan nomor 235/pid.sus/2015/pn.pbr yang

membahas mengenai tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi illegal. Maka

penulis membagi kedua jenis dasar pertimbangan hakim didalam putusan ini,

yakni sebagai berikut:

1. Pertimbangan Hakim Terhadap Dakwaan Penuntut Umum

Menurut ketentuan Penjelasan Pasal 197 ayat (1) huruf c KUHAP yang

menyatakan bahwa :

“dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan”

Dasar dakwaan diatas adalah penting adanya dalam sidang pengadilan, itulah

sebabnya ruang lingkup pemeriksaan terdakwa berorientasi pada surat dakwaan

saat didepan persidangan. (Mahkamah Agung Republik Indonesia,

www.Mahkamah Agung.go.id)

Berdasarkan hal diatas maka melihat kepada data yang penulis peroleh

bahwa Majelis Hakim terlebih dahulu mempertimbangkan dakwaan yang diajukan

oleh Jaksa Penuntut Umum yaitu melanggar Pasal 197 jo 106 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Kesehatan serta peraturan perundang-

undangan lain yang bersangkutan. Majelis Hakim berpendapat pada dakwaan

tunggal ini sesuai dengan fakta hukum yang ditemukan dalam persidangan,

dimana unsur dalam dakwaan ini adalah :

72
a. Unsur Barang Siapa

Maksud yang terkandung dari unsur “barang siapa” dalam hal ini adalah

orang sebagai subjek hukum selaku pendukung hak dan kewajiban yang dapat

mempertanggung jawabkan perbuatannya. Bahwa dalam perkara ini orang sebagai

subyek yang didakwa telah melakukan suatu perbuatan pidana adalah GIMAN

HASLIM Bin KARDI sesuai dengan identitas yang telah dibacakan didepan

persidangan dan keterangan saksi-saksi yang diberikan di depan persidangan serta

telah mengakui identitasnya dan menerangkan kejadian sebagaimana tersebut

dalam Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum dan tidak ada orang lain yang mirip

dengan Terdakwa sehingga tidak ada alasan error in persona dan menurut

Majelis Hakim sudah jelas bahwa yang dimaksud dengan barang siapa dalam

perkara ini adala ia Terdakwa bernama GIMAN HASLIM Bin KARDI.

Selama proses persidangan perkara ini berjalan, berdasarkan pengamatan


dari majelis hakim terhadap Terdakwa dinyatakan sehat rohani tetapi tidak sehat
pada jasmaninya karena terdakwa mengidap penyakit Hernia. Sehingga terdakwa
meminta agar hukuman yang diberikan kepadanya jangan terlalu berat. Tetapi
secara hukum terdakwa dipandang cakap dan mampu untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya, sehingga dengan demikian Majelis
Hakim berpendapat bahwa telah terpenuhinya unsure “barang siapa”.

b. Unsur Yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan

farmasi dan alat kesehatan

Maksud yang terkandung dari unsur yang dengan sengaja mengedarkan

sediaan Farmasi berarti seseorang dalam melakukan sesuatu pekerjaan

bertentangan dengan dirinya sendiri dan bertentangan dengan hukum serta

73
perbuatan tersebut disadari oleh pelaku begitu juga dengan perbuatannya

dikehendaki untuk dilakukan oleh si Pelaku. Unsur pasal ini dapat dilihat dari

fakta-fakta persidangan, baik dari keterangan saksi-saksi, barang bukti dan juga

keterangan terdakwa sebagai berikut dan pada tahun 2014 terdakwa melakukan

Pengedaran dan Penjualan Sediaan Farmasi berupa Kosmetik untuk Salon Rambut

tersebut di Jl. Pemuda I No. 21 B Kel. Tampan Kec. Payung Sekaki – kota

Pekanbaru tepatnya di Ruko lantai (tiga) yang terdakwa sewa dari Sdr. UCOK

GULTOM selaku pemilik Ruko tersebut. Terdakwa menyadari bahwa pengedaran

dan penjualan Sediaan Farmasi berupa Kosmetika untuk Salon rambut tersebut

tidak memiliki Izin dari pihak yang berwenang karena sedang melakukan

pengurusan izin usaha di Kantor BPT Kota Pekanbaru. Dalam melakukan

pengedaran maupun penjualan sediaan farmasi berupa Kosmetika untuk Salon

Rambut tersebut secara tersembunyi-bunyi tanpa ada dipasang papan reklame

tempat usaha dan penjualannya sebagian besar diluar kota Pekanbaru ini. Hal ini

dikarenakan sebagian besar produk-produk Kosmetika yang terdakwa jual

tersebut tidak ada izin edar dan juga tidak memiliki nomor BPOM RI. Beberapa

jenis maupun merk Sedian farmasi berupa Kosmetika untuk Salon Rambut yang

diedarkan tersebut adalah :

1) H2O Rebounding Step 1,2,3 berguna untuk pelurus rambut.

2) H2O Hair Mask berguna untuk masker rambut.

3) H2O Color berguna untuk car rambut.

4) H2O Styling Gel berguna untuk Gel rambut.

5) H2O Hydrogen Peroxide 100 ml berguna untuk pencampuran cat air.

74
6) Entir Rebounding Step 1,2, 3 berguna untuk pelurus rambut.

7) Entir Hair Color berguna untuk Cat Rambut.

8) Cuenic Step 1,2,3 berguna untuk Pengkeriting Rambut.

9) W Profesional Repair Serum 60 ml dan 125 ml berguna untuk Vitamin


Rambut.

10) W Profesional Nouristing Spray 60 ml dan 125 ml berguna untuk


Perawatan Rambut Kusut.

11) W Profesional Hair Spa berguna untuk Perawatan Rambut.

12) W Profesional Rebounding 1000 ml berguna untuk Obat Pelurus.

13) W Profesional Hair Mask berguna untuk masker rambut.

14) Z – ION Perm Solution berguna untuk Obat Pengkeriting

Barang-barang sediaan farmasi berupa Kosmetika untuk Salon Rambut ini

terdakwa peroleh dan beli dari Sdr. DANIEL (DPO) yang beralamat di Komplek

Penguin Top 100 Batam Center- Kota Batam. Barang-barang sediaan farmasi

berupa Kosmetika untuk Salon Rambut tersebut dikirim melalui Adminnya sdri.

SAFITRI dan dikirim melalui jalur Laut menggunakan Kapal Kayu dan kemudian

terdakwa jemput ke Pelabuhan Bambu Kuning Kota Pekanbaru untuk barang-

barang yang tidak memiliki izin edar dan sebagian ada juga yang dikirim melalui

jasa expedisi seperti JNE untuk barang-barang yang sudah memiliki izin edar.

Proses pembelian dan pemesanan terhadap sediaan farmasi berupa Kosmetika

untuk Salon Rambut ini dilakukan tersangka sendiri dengan cara pembelian secara

langsung berhubungan dengan Sdr. DANIEL (DPO) melalui Handphone di nomor

: 081256206381. Tetapi terdakwa tidak mengetahui darimana Sedian farmasi

75
berupa Kosmetika untuk Salon Rambut tersebut diperoleh Sdr. DANIEL (DPO)

dan tersangka juga tidak mengetahui apakah Sdr. DANIEL (DPO) ada memiliki

Izin untuk melakukan pengedaran maupun penjualan Sediaan farmasi berupa

Kosmetika untuk Salon Rambut tersebut, namun dari label yang ada di produk

tersebut sebagian berasal dari Luar Negeri, dan untuk kota Pekanbaru sendiri

sepengetahuan terdakwa tidak ada pabriknya. Terdakwa juga tidak selaku

distributor maupun agen terhadap barang-barang Kosmetika untuk Salon Rambut

tersebut, tersangka hanya membelinya dari Sdr. DANIEL (DPO) dibatam dan

kemudian memperdagangkannya. Oleh sebab itu, unsur ini terbukti dan terpenuhi.

c. Unsur Yang tidak Memiliki Izin Edar sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 106 ayat (1);

Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dimuka persidangan berdasarkan

salah satu keterangan saksi ahli ALEX SANDER, S.FARM, APT, saksi dan

menerangkan para saksi melakukan pemeriksaan pada hari Selasa tanggal 03

Februari 2015 sekira pukul 14.00 Wib, saksi Herry Yusman, bersama team Dit

Reskrimsus Polda Riau, dengan berdasarkan Surat Perintah Tugas yang

ditandatangani oleh DIR RESKRIMSUS POLDA RIAU Nomor :

Sprin.Gas/31/II/2015 tanggal 03 Februari 2015, telah melakukan pemeriksaan dan

penggeledahan didalam Ruko Jl. Pemuda I No. 21 B RT 001 RW 002 Kelurahan

Tampan Kecamatan Payung Sekaki Kota Pekanbaru, milik terdakwa yang menjual

/ mengedarkan berupa produk kosmetika untuk salon rambut berbagai jenis dan

merk tidak memiliki izin edar, yang diperolah terdakwa dari penjualnya Daniel

(belum tertangkap) di Komplek Penguin Top 100 Batam Center-Batam , lalu

76
terdakwa jual/ edarkan kepada konsumen keberbagai daerah dengan

menggunakan internet melalui website “Bukalapak com”, pada saat dilakukan

pemeriksaan dan penggeledahan oleh saksi Herry Yusman bersama team, tepatnya

didalam Ruko, ditemukan barang bukti sebanyak 11 (sebelas) item/macam produk

kosmetika untuk salom rambut berbagai jenis dan merk yang terdakwa

jual/edarkan kepada masyarakat umum , tanpa memiliki izin edar dari Badan

POM RI di Jakarta, lalu saksi Herry Yusman bersama dengan team yang

disaksikan oleh saksi Asep Sudrajat (Ketua RT 001 tempat tinggal terdakwa)

mengumpulkan dan mendata produk kosmetika untuk salon rambut berbagai jenis

dan merk, yang tidak memiliki izin edar , berdasarkan nama produk, jumlah serta

harganya, sebagaimana tertera dalam tabel sebagai berikut :

No Nama Produk Jumlah Harga


1 H2O Kotak besar 127 pcs Rp. 89.000,-/pcs
2 H2O kotak sedang 88 pcs Rp. 60.000,-/pcs
3 H2O kotak kecil 2041 pcs Rp. 18.000,-/pcs
4 Entir botol besar 320 pcs Rp. 65.000,-/pcs
5 Entir botol kecil 2304 pcs Rp. 20.000,-/pcs
6 W Pro Rebounding 480 pcs Rp.68.000,-/pcs
7 Rebounding W 186 pcs Rp. 65.000,-/pcs
8 Hair Spa W Propesional 78 pcs Rp. 60.000,-/pcs
9 Cuenic 72 pcs Rp. 98.000,-/pcs
Dan paket siap kirim sebanyak 11 (sebelas) kardus, 39 (tiga puluh Sembilan)

lembar surat jalan pengirim barang, 1 (satu) buku data orderan barang serta 2

(dua) lembar Nomor BPOM NA untuk tempelan dan dengan demikian unsur ini

telah terbukti dan terpenuhi.

77
Pengadilan adalah tempat yang terpenting bagi pencari keadilan termasuk

terdakwa untuk melakukana pembelaan dan meminta keadilan yang seadil-adilnya

demi tegaknya sebuah hukum dan pencari kepastian hukum. Maka dalam perkara

nomor 235/Pid.Sus/2015/PN.Pbr tentang tindak ppidana mengedarkan sediaan

farmasi illegal, majelis hakim berwenang memeriksa dan mengadili perkara

tersebut sebelum sampai pada putusannya terlebih dahulu harus melihat alat

pembuktian yang sah dan mempertimbangkan hal-hal yang dapat meringankan

dan membebankan terdakwa dalam pertimbangan hukum yang adil dan sehat yang

sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana yang berlaku.

2. Pertimbangan Hakim Terhadap Alat Bukti Saksi

Pertimbangan selanjutnya adalah mengenai keterangan saksi, dimana saksi

yang diajukan ada 4 (empat) orang saksi dan 1 (satu) orang saksi ahli

dipersidangan, masing-masing bernama : Herry Yusman, Asri, Ali Imran, Asep

Sudrajat serta Alex Sander, S.Farm.APT.

Para saksi memberikan kesaksiannya berdasarkan pendengaran sendiri,

penglihatan sendiri dan yang dialaminya sendiri dengan menyebutkan alasan dari

pengetahuan, perkara ini selaras dengan pasal 227 Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana. Yang mana pada pokoknya saksi-saksi tersebut diatas menerangkan

bahwa telah terjadi perbuatan pidana mengedarkan sediaan farmasi dan GIMAN

HASLIN Bin KARDI tersangkanya.

Keterangan para saksi telah didengarkan dipersidangan, dengan itu

keterangan saksi-saksi ini mempunyai nilai-nilai pembuktiaan sebagai alat bukti

78
yang sah. Hakim dalam menilai kebenaran-kebenaran keterangan saksi harus

memperhatikan hal-hal yang terdapat didalam Pasal 185 ayat (6) KUHAP yaitu :

a. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain.

b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain.

c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan

keterangan tertentu.

d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada

umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

Proses persidangan saat saksi ingin memberikan keterangan dimuka

persidangan, maka saksi disumpah terlebih dahulu menurut agama dan

kepercayaannya “sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah

atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan

asing-masing. Hal ini sesuai dengan pasal 160 ayat (3) KUHP yang berbunyi

keterangan yang sebenar-benarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya.”

Alat bukti harus memiliki kekuatan pembuktian yang kuat dan sah

menurut Undang-Undang harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :

a) Harus mengucapkan sumpah atau janji

Kita dapat mellihatnya didalam pasal 160 ayat (3) KUHP, yang berbunyi

“sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji

menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan asing-

79
masing. Hal ini sesuai dengan pasal 160 ayat (3) KUHP yang berbunyi keterangan

yang sebenar-benarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya.”

b) Mendengar, melihat dan mengalaminya

Memperhatikan pasal 1 angka 27 KUHP yang menjelaskan bahwa

kesaksian atau keterangan saksi yang dapat dimanfaatkan dalam persidangan

adalah keterangan saksi yang di lihat sendiri, mendengar sendiri, dan alami sendiri

serta menyebutkan alasan dari pengetahuan itu. Karena hal ini sangat berkaitan

dengan saksi de auditu, yaitu keterangan yang diperoleh dari orang lain, bukanlah

merupakan alat bukti yang sah karena keterangan saksi yang hanya mendengar

dari orang lain tidak menjamin kebenarannya. Hal ini tercantum dalam pasal 185

ayat 5 KUHP.

c) Tidak Cukup Keterangan Seorang Saksi Sebagai Alat Bukti

Keterangan seorang saksi saja tidak cukup sebagai alat bukti karena

pengaturan ini diatur didalam pasal 185 ayat (2) KUHP yang menyatakan bahwa

“Keterangan seorang saksi tidak cukup untuk membutikan bahwa terdakwa

bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.” Oleh sebab itu supaya

Majelis Hakim dapat mendengarkan dan mempertimbangkan keterang maka

upaya pembuktian yang dilakukan JPU harus mendapatkan lebih dari satu

keterangan saksi untuk dinilai kesesuaian antara yang satu dengan yang lain. Hal

ini dikarenakan pasal 185 ayat (4) sendiri dalam persidangan, tanpa adanya

hubungan antara yang satu dengan yang lain serta dapat mewujudkan suatu

kebenaran akan adanya kejadian atau keadaan tertentu sangatlah tidak berguna.

80
3. Pertimbangan Hakim Terhadap Keterangan Terdakwa

Setelah masing-masing Hakim Anggota Majelis mengutarakan pendapat/

pertimbangan-pertimbangan dan keyakinannya atas perkara tersebut maka

dilakukan musyawarah untuk mufakat. Ketua Majelis berusaha agar diperoleh

permufakatan bulat (pasal 182 ayat (2) KUHAP). Akan tetapi, jika mufakat bulat

tidak diperoleh maka putusan diambil dengan suara terbanyak. Adakalanya para

Hakim masing-masing berbeda pendapat/pertimbangan, sehingga suara terbanyak

pun tidak dapat diperoleh. Jika hal tersebut terjadi maka putusan yang dipilih

adalah pendapat Hakim yang paling menguntungkan terdakwa yang dapat kita

lihat pada pasal 182 ayat (6) KUHAP yakni :

“Pada asasnya putusan dalam musyawarah majelis merupakan hasil pemufakatan


bulat kecuali jika hal itu setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat
dicapai, maka berlaku ketentuan sebagai berikut :

a. Putusan diambil dengan suara terbanyak

b. Jika ketentuan tersebut huruf a tidak juga dapat diperoleh, putusan yang
dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa.”

Pelaksanaan (proses) pengambilan putusan tersebut dicatat dalam buku Himpunan

Putusan yang disediakan secara khusus untuk itu yang sifatnya rahasia.

Pertimbangan berkutnya adalah mengenai keterangan terdakwa. Didalam

persidangan terdakwa disumpah memberikan keterangan dalam keadaan bebas

dan tanpa adanya tekanan yang memberikan keterangan sebagai berikut : “ Bahwa

benar terdakwa melakukan Pengedaran dan Penjualan Sediaan Farmasi berupa

Kosmetik untuk Salon Rambut tersebut di Jl. Pemuda I No. 21 B Kel. Tampan

Kec. Payung Sekaki – kota Pekanbaru tepatnya di Ruko lantai (tiga) yang

81
terdakwa sewa dari Sdr. UCOK GULTOM selaku pemilik Ruko. Pengedaran dan

Penjualan produk kosmetika ini tidak memiliki Izin dari pihak yang berwenang,

karena saat ini terdakwa sedang melakukan pengurusan izin usaha di Kantor BPT

Kota Pekanbaru serta dilakukan secara tersembunyi-bunyi tanpa ada dipasang

papan reklame tempat usaha dan penjualannya sebagian besar diluar kota

Pekanbaru ini dikarenakan sebagian besar produk-produk Kosmetika yang

terdakwa jual tersebut tidak ada izin edar dan juga tidak memiliki nomor BPOM

RI. Beberapa jenis maupun merk Sedian farmasi berupa Kosmetika untuk Salon

Rambut yang diedarkan tersebut adalah :

1) H2O Rebounding Step 1,2,3 berguna untuk pelurus rambut.

2) H2O Hair Mask berguna untuk masker rambut.

3) H2O Color berguna untuk car rambut.

4) H2O Styling Gel berguna untuk Gel rambut.

5) H2O Hydrogen Peroxide 100 ml berguna untuk pencampuran cat air.

6) Entir Rebounding Step 1,2, 3 berguna untuk pelurus rambut.

7) Entir Hair Color berguna untuk Cat Rambut.

8) Cuenic Step 1,2,3 berguna untuk Pengkeriting Rambut.

9) W Profesional Repair Serum 60 ml dan 125 ml berguna untuk Vitamin


Rambut.

10) W Profesional Nouristing Spray 60 ml dan 125 ml berguna untuk


Perawatan Rambut Kusut.

11) W Profesional Hair Spa berguna untuk Perawatan Rambut.

82
12) W Profesional Rebounding 1000 ml berguna untuk Obat Pelurus.

13) W Profesional Hair Mask berguna untuk masker rambut.

14) Z – ION Perm Solution berguna untuk Obat Pengkeriting

Sediaan farmasi berupa Kosmetika untuk Salon Rambut ini diperoleh dan

beli dari Sdr. DANIEL (DPO) yang beralamat di Komplek Penguin Top 100

Batam Center- Kota Batam. Barang-barang sediaan farmasi berupa Kosmetika

untuk Salon Rambut tersebut dikirim melalui Adminnya sdri. SAFITRI dan

dikirim melalui jalur Laut menggunakan Kapal Kayu dan kemudian terdakwa

jemput ke Pelabuhan Bambu Kuning Kota Pekanbaru untuk barang-barang yang

tidak memiliki izin edar dan sebagian ada juga yang dikirim melalui jasa expedisi

seperti JNE untuk barang-barang yang sudah memiliki izin edar. Oleh sebab itu

terdakwa tidak mengetahui darimana Sedian farmasi berupa Kosmetika untuk

Salon Rambuttersebut diperoleh Sdr. DANIEL (DPO) dan tersangka juga tidak

mengetahui apakah Sdr. DANIEL (DPO) ada memiliki Izin untuk melakukan

pengedaran maupun penjualan Sediaan farmasi berupa Kosmetika untuk Salon

Rambut tersebut, namun dari label yang ada di produk tersebut sebagian berasal

dari Luar Negeri, dan untuk kota Pekanbaru sendiri sepengetahuan terdakwa tidak

ada pabriknya. Terdakwa tidak selaku distributor maupun agen terhadap barang-

barang Kosmetika untuk Salon Rambut tersebut, tersangka hanya membelinya

dari Sdr. DANIEL (DPO) dibatam dan kemudian memperdagangkannya.

Menurut Pasal 189 ayat (1) KUHAP keterangan terdakwa adalah apa yang

terdakwa nyatakan disidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia

ketahui sendiri atau dialaminya. Adanya keterangan terdakwa ini diberikan dalam

83
keadaan bebas dan tanpa adanya tekanan, maka hal ini telah terpenuhinya unsure

pemeriksaan terdakwa sevaimana yang diharapkan oleh hukum acara pidana.

Keterangan terdakwa ini akan dijadikan pertimbangan hukum oleh majelis hakim

dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa.

Pengaturan yang ada dalam pasal 1 angka (28) KUHAP yang menyatakan:

“Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki

keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membantu kejelasan suatu

perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Hal ini dikarenakan laporan atau

surat keterangan dari keterangan ahli adalah serupa nilainya dengan sebuah

pembuktian. Hal ini sama sekaligus menyentuh sisi alat bukti yang sah neburut

Undang-Undang yang dapat dikategorikan dan dipergunakan sebagai alat bukti

surat. Karena ini tergantung pada hakim untuk menggunakan nama alat bukti apa

yang diberikannya. Hakim dapat menilai dan menyebutkan keterangan ahli atau

dapat pula menyebutkannya sebagai alat bukti surat.”

4. Pertimbangan Hakim Terhadap Barang Bukti

Selanjutnya adalah mengenai barang bukti yang diajukan oleh JPU dimuka

persidangan berupa :

No Nama Produk Jumlah Harga


1 H2O Kotak besar 127 pcs Rp. 89.000,-/pcs
2 H2O kotak sedang 88 pcs Rp. 60.000,-/pcs
3 H2O kotak kecil 2041 pcs Rp. 18.000,-/pcs
4 Entir botol besar 320 pcs Rp. 65.000,-/pcs
5 Entir botol kecil 2304 pcs Rp. 20.000,-/pcs
6 W Pro Rebounding 480 pcs Rp.68.000,-/pcs

84
7 Rebounding W 186 pcs Rp. 65.000,-/pcs
8 Hair Spa W Propesional 78 pcs Rp. 60.000,-/pcs
9 Cuenic 72 pcs Rp. 98.000,-/pcs
Dan paket siap kirim sebanyak 11 (sebelas) kardus, 39 (tiga puluh

Sembilan) lembar surat jalan pengirim barang, 1 (satu) buku data orderan barang

serta 2 (dua) lembar Nomor BPOM NA untuk tempelan.

Berdasarkan pasal 181 KUHAP tampak dalam proses pidana, kehdiran

barang bukti dalam persidangan sangat penting bagi hakim untuk mencari dan

menemukan kebenaran materil atas perkara yang ditangani. Barang bukti

diperoleh penyidik sebagai instansi pertama dalam proses peradilan. Barang bukti

dapat diperoleh penyidik melalui hal-hal sebagai berikut:

a. Pemeriksaan Tempat Kejadian Perkara

b. Penggeledahan

c. Diserahkan langsung oleh saksi pelapor atau tersangka

d. Diambil dari pihak ketiga

e. Barang temuan.

Hemat penulis didalam proses persidangan di Pengadilan, barang bukti ini

dapat memberi penerangan untuk memberi jalan dalam menyelesaikan suatu

perkara selain dari keterangan-keterangan saksi, ahli, terdakwa maupun

pertimbangan hakim lainnya. Dan juga barang bukti ini memiliki kekuatan hukum

yang kuat yang berkaitan dengan suatu perkara pada saat proses pemeriksaan di

Pengadilan untuk mendorong dan memperkuat dakwaan JPU.

85
Dasar putusan hakim pada huku materil yaitu aturan pidana yang dilanggar

terdakwa yaitu pasal 197 jo pasal 106 ayat (1) Undang-undang nomor 36 tahun

2009 tentang Kesehatan, dimana unsure-unsur yang dikehendaki dari padal ini

telah terpenuhi serta telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak

pidana dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi illegal.

Salah satunya pada perkara putusan nomor 235/pid.sus/2015/pn.pbr yang

membahas mengenai tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi illegal. Maka

penulis membagi kedua jenis dasar pertimbangan hakim didalam putusan ini,

yakni sebagai berikut:

a. Pertimbangan Yuridis

Pertimbangan Hakim atau Ratio Decidendi adalah argument atau alasan

yang dipakai oleh hakim sebagai pertimbangan hukum yang menjadi dasar

sebelum memutus perkara. Dalam praktik sebelum pertimbangan yuridis ini

dibuktikan, maka hakim terlebih dahulu akan menarik fakta-fakta yang terungkap

pada saat dipersidangan berdasarkan keterangan saksi beserta barang bukti yang

ditemukan waktu pemeriksaan dan penggeledahan yang menjadi dasar

pertimbangan hakim ini berdasarkan fakta-fakta hukum yang sudah dijelaskan

diatas, Majelis Hakim mencari hal-hal yang menjadi bahan pertimbangan tentang

kelayakan seorang terdakwa dikatakan terbukti melakukan tindak pidana yang

didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum kepada terdakwa. Prinsip pada

pertimbangan yuridis Hakim terletak pada pembuktian unsur-unsur dari suatu

delik yang memperhatikan perbuatan terdakwa meemenuhi dan sesuai dengan

86
delik yang didakwakan oleh Penuntut Umum (dictum putusan hakim). Jadi

keseluruhan unsur-unsur pasal yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut umum

kepada terdakwa harus dapat dibuktikan dan terpenuhinya seluruh unsur-unsur

tindak pidana tersebut.

Semua unsur Pasal 197 jo. 106 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 tahun

2009 tentang Kesehatan yang didakwakan kepada terdakwa telah terpenuhi dan

terbukti seluruhnya pada fakta-fakta yang terungkap pada persidangan. Maka

kesimpulan majelis hakim yang menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah

dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang tersebut

dalam dakwaan tunggal Jaksa Penuntut Umum menurut Penulis sudah tepat.

Walaupun Jaksa Penuntut Umum hanya merumuskan dakwaan tunggal saja

kepada terdakwa, tetapi penggunaan pasal tersebut sudah tepat dan tidak ada

keraguan pada saat merumuskannya.

Pertimbangan Hakim dapat dibagi menjadi 2 (dua) kategori, yakni:

“Pertimbangan yuridis dan pertimbangan non-yuridis. Pertimbangan yuridis

adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang

terungkap dalam persidangan dan oleh Undang-Undang ditetapkan sebagai hal

yang harus dimuat di dalam putusan misalnya Dakwaan jaksa penuntut umum,

keterangan terdakwa, keterangan saksi, barang-barang bukti, dan pasal-pasal

dalam peraturan hukum pidana. Sedangkan pertimbangan non-yuridis dapat

dilihat dari latar belakang, akibat perbuatan terdakwa, kondisi diri terdakwa , dan

agama terdakwa.”

87
Majelis hakim yang memutuskan perkara nomor 235/Pid.Sus/2015/PN.Pbr

sudah mempertimbangkan unsur-unsur yang terkandung pada pertimbangan

yuridis guna terpenuhinya Hukum Beracara pada Hukum Pidana serta agar

Majelis hakim tidak salah pertimbangan dalam member putusan akhir pada

terdakwa.

Petunjuk yang dihadirkan saat persidangan memberi arahan dari lokasi,

waktu kejadian serta modus operandi tentang cara melakukan tindak pidana

tersebut. Selain itu bila diperhatikan akibat langsung atau tidak langsung yang

timbul dari perbuatan terdakwa, jenis-jenis barang bukti yang digunakan, serta

kelayakan terdakwa mendapatkan pertanggungjawaban dari perbuatannya.

Fakta-fakta yang telah terungkap dipersidangan akan Hakim jadikan sebagai

bahan untuk mempertimbangkan unsur-unsur delik yang didakwakan oleh

penuntut umum. Pertimbangan Yuridis dari delik yang didakwakan harus

menyangkut mengenai aspek teoritik, pandangan doktrin, yurisprudensi dan posisi

kasus yang ditangani barula secara limitative ditetapkan pendiriannya.

b. Pertimbangan Sosiologis

Pertimbangan sosiologis adalah pertimbangan hakim yang menggunakan

pendekatan-pendekatan terhadap latar belakang, kondisi sosial ekonomi dan nilai-

nilai yang ada dalam masyarakat dalam menjatuhkan putusannya. Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat (1)

yang menyatakan bahwa Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-

nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Ketentuan ini

88
dimaksudkan agar terciptanya putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa

keadilan masyarakat. Jadi, hakim merupakan perumus dan penggali nilai-nilai

hukum yang hidup di kalangan rakyat.

Hakim diwajibkan untuk turun ketengah-tengah masyarakat untuk mengenai,

merasakan dan mampu mendalami perasaan hukum dan rasa keadilan yang

tumbuh dalam masyarakat, dikalangan praktisi hukum serta mengarahkan untuk

senantiasa melihat tradisi peradilan hanya sekedar tradisi hukum belaka yang

penuh dengan unsure normative serta dibarengi dengan sejumlah asas-asas

peradilan yang sifatnya sangat ideal dan normative. Tetapi dalam kenyataannya

justru berbeda sama sekali dengan penggunaan kajian moral dan kajian ilmu

hukum (nomatif), apabila terjadi keadaan benturan bunyi hukum antara yang

dirasakan masyarakat dengan sesuatu yang disebut kepastian hukum tidak

diperbolehkan kehendak kepastian hukum dipaksa dan mengorbankan rasa

keadilan masyarakat. Berikut ini faktor yang dipertimbangkan secara sosiologis

oleh hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap suatu perkara yakni sebagai

berikut :

a) Memperhatikan sumber hukum tak tertulis dan nilai-nilai yang hidup


dalam masyarakat.

b) Memperhatikan sifat baik dan buruk dari terdakwa serta nilai-nilai yang
meringankan maupun hal-hal yang memberatkan terdakwa.

c) Memperhatikan ada atau tidaknya perdamaian, kesalahan, peranan korban.

d) Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau


diterapkan.

89
e) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup.

Selain harus memperhatikan sistem pembuktian yang dipakai di Indonesia,

cara hakim dalam menentukan suatu hukuman kepada si terdakwa, yaitu “sebagai

hakim ia harus berusaha untuk menetapkan hukuman, yang dirasakan oleh

masyarakat dan oleh si terdakwa sebagai suatu hukuman yang setimpal dan adil.”

Untuk mencapai usaha ini, maka hakim harus memperhatikan:

a) Sifat pelanggaran pidana (apakah itu suatu pelanggaran pidana yang berat
atau ringan).

b) Ancaman hukuman terhadap pelanggaran pidana itu.

c) Keadaan dan suasana waktu melakukan pelanggaran pidana itu (yang


memberatkan dan meringankan).

d) Pribadi terdakwa apakah ia seorang penjahat yang telah berulang-ulang


dihukum (recidivist) atau seorang penjahat untuk satu kali ini saja, atau
apakah ia seorang yang masih muda ataupun muda ataupun seorang yang
telah berusia tinggi.

e) Sebab-sebab untuk melakukan pelanggaran pidana.

f) Sikap terdakwa dalam pemeriksaan perkara itu.

Selain melihat pertimbangan yuridis dan sosiologis hakim dalam

menjatuhkan putusannya juga mempertimbangkan dan mengkaitkan dengan

fungsi putusan hakim sebagai a tool of social engineering yaitu:

- Fungsi social engineering (rekayasa sosial) dari hakim maupun putusan


hakim pada setiap masyarakat (kecuali masyarakat totaliter), ditentukan
dan dibatasi oleh kebutuhan untuk menyeimbangkan antara stabilitas

90
hukum dan kepastian terhadap perkembangan hukum sebagai alat evolusi
sosial.

- Kebebasan pengadilan yang merupakan hal esensial dalam masyarakat


demokratis. Pembatasan lebih lanjut diadakan jika pengadilan menjadi
penerjemah yang tertinggi dari konstitusi. Kecenderungan yang mencolok
di tahun-tahun akhir ini tidak dapat dicampuri dengan kebijakan modern
Badan Legislatif melalui penafsiran konstitusi yang kakuh dan tidak
terlalu objektif. Kata-kata yang bermakna luas dari teks-teks konsitusi
sering melahirkan rintangan-rintangan yang tak teratasi.

- Dalam sistem-sistem hukum, ditangan organ politiklah terletak


pengawasan yang tertinggi terhadap kebijakan badan legislative sehingga
fungsi hakim menjadi relative lebih mudah. Fungsi tambahan dari badan
pengadilan itu sebagai penafsiran peraturan-peraturan politik dan sebagai
wasit terhadap tindakan-tindakan yang administrative sifatnya.

- Dalam penafsiran presiden dan undang-undang, fungsi pengadilan harus


lebih positif dan konstruktif. Penafsiran undang-undang harus dilakukan
dengan penafsiran dengan sangat baik dan sangat pembantu kebijakan
hukum.

- Dengan semakin banyaknya penggunaan hukum sebagai alat pengendali


sosial serta kebijakan dalam masyarakat modern, maka secara bertahap
akan mengurangi bidang “hukumnya pakar hukum”. Dengan demikian,
fungsi kreatif dari hakimlah yang akan berkembang dalam sistem-sistem
hukum kebijaksanaan. (Ahmad Ali, 2015: 40-44)

Pada Pasal 5 ayat (1) Rancangan KUHP Nasional Tahun 1999-2000,

menentukan bahwa dalam pemidanaan, hakim mempertimbangkan:

1) Kesalahan terdakwa
2) Motif dan tujuan melakukan tindak pidana

91
3) Cara melakukan tindak pidana
4) Sikap batin membuat tindak pidana
5) Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku
6) Sikap dan tindakan pembuat setelah melakukan tindak pidana
7) Pengaruh tindak pidana terhadap masa depan pelaku
8) Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana, terhadap korban atau
keluarga.
Sebelum menjatuhkan hukuman kepada para terdakwa, majelis hakim

terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan

terdakwa seperti yang tertera dalam surat putusan yaitu sebagai berikut:

1. Keadaan yang memberatkan :

Tidak ada;

2. Keadaan yang meringankan :

- Bahwa terdakwa mengaku belum pernah dihukum.

- Bahwa terdakwa bersikap sopan selama persidangan

- Bahwa terdakwa dalam keadaan sakit.

Hal-hal yang memberatkan dan meringankan tersebut diatas, dihubungkan

dengan sifat perbuatan para terdakwa, keadaan-keadaan ketika dilakukan dan

memperhatikan sistem pemidanaan di Indonesia, maka pidana yang akan

dijatuhkan terhadap para terdakwa sudah sesuai dengan kesalahan para terdakwa.

Hakim setelah mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas kemudian

menjatuhkan sanksi pidana kepada terdakwa GIMAN HASLIN Bin KARDI

dengan pidana penjara selama 4 (empat) bulan, denda sebesar Rp. 800.000.000,-

(delapan ratus juta rupiah), subsidair 2 (dua) bulan penjara.

92
Berkaitan dengan masalah di atas penulis melakukan wawancara untuk

memperjelas dasar petimbangan hukum yang diputuskan oleh bapak Martin

Ginting,S.H.,M.H (wawancara Kamis tanggal 14 Maret 2019) yakni sebagai

berikut :

“Hakim mempertimbangkannya karena terdakwa terbukti secara sah


mengedarkan sediaan farmasi berupa produk kosmetika yang tidak memiliki izin
edar. Oleh sebab itu, tidak memiliki izin edar berarti peredarannya di Indonesia
belum mendapat izin resmi dari Pemerintah melalui BPOM”.

Kemudian penulis bertanya mengenai perbandingan terhadap putusan

perkara nomor 729/pid.sus/2014/PT-MDN yang dakwaannya sama dengan

putusan perkara nomor 235/Pid.Sus/2015/PN.Pbr tetapi memiliki perbedaan

mengenai barang bukti yang berbeda, lama pelaku memasarkan produk serta

penjatuhan hukuman yang berbeda, maka hakim menyatakan sebagai berikut :

“Perbedaan terhadap penjatuhan hukuman ini sebelumnya sudah diuraikan


oleh JPU melalui surat dakwaan berdasarkan barang bukti yang ditemukan pada
saat dilakukan penggeledahan dan pemeriksaan. Jadi hal ini dapat kita lihat secara
jelas pada pertimbangan hukum hakim karena mungkin pada putusan nomor
729/pid.sus/2014/PT-MDN ini mungkin mengedarkan sediaan farmasi yang lebih
berbahaya lalu mengedarkan atau memperoleh produk tersebut dengan cara yang
tidak baik. Dan didalam pertimbangan hakim ini sangat mengutamakan ilmu
social juga, tidak seperti ilmu matematika yang menggunakan rumus untuk
menghitung dalam menemukan jawabannya. Oleh sebab itu tidak mengharuskan
adanya persamaan pada penjatuhan hukuman pidana pada setiap kasus yang sama
juga. Hakim mempertimbangkan hukum mengenai hal berat atau ringannya
kesalahan pada hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku. Pada kasus nomor
235/pid.sus/2015/pn.pbr yang ditangani oleh hakim ini , pemilik utama sediaan

93
farmasi berupa produk kosmetika untuk rambut ini berada di Batam dan si
terdakwa hanya sekedar menjual produk. Artinya, penanggung jawab utamanya
adalah sipemilik utama yaitu Pemilik barang. Makanya hal ini bersifat kasustis
dan tidak bisa ditentukan adanya kesamaan pada setiap kasus pada penjatuhan
hukumannya serta kita tidak bisa membanding-bandingkannya karna Hakim
terlebih dahulu memperhatikan hal yang memberatkan atau meringankankannya
melalui kacamata Hakim. Dan juga alasan penjatuhan hukuman ini karena Pelaku
juga memiliki pengetahuan yang minim terhadap produk yang dipasarkannya dan
juga pendidikan terdakwa hanya kelas 4 (empat) sd. Pertimbangan hakim akan
memberatkan apabila pelau ada kaum yang berintelektual.”

Disparitas Putusan adalah penerapan putusan yang tidak sama terhadap

tindak pidana yang sama. Jadi yang terjadi dari perbedaan penerapan putusan

yang terjadi dikarenakan adanya disparitas putusan sehingga memunculkan

disparitas pidana yaitu penerapan pemidanaan yang berbeda terhadap tindak

pidana yang sama. Salah satu penyebab dari timbulnya disparitas pidana adalah

sebagaimana diuraikan oleh Sudarto, “KUHP kita tidak memuat pedoman

pemberian pidana (straftoemetingsleiddraad) yang umum, ialah suatu pedoman

yang dibuat oleh pembentuk Undang-Undang yang memuat asas-asas yang perlu

diperhatikan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana, yang ada hanya aturan

pemberian pidana”. (Sudarto, 1983:57)

Berdasarkan sesi wawancara pada tanggal 14 Maret 2019 terhadap Hakim

ketua yang memutuskan perkara nomor 235/Pid.Sus/2015/PN.Pbr yakni bapak

Martin Ginting, S.H.,M.H., membuat rumusan masalah dari pertanyaan yang

terkandung didalam penulisan skripsi semakin jelas. Majelis hakim tidak hanya

berpatok pada pertimbangan yuridis yang hanya memperhatikan secara formalitas

94
penggunaan sebuah pasal tetapi juga mempertimbangankan kajian sosiologis

secara luas.

Apalagi mengenai terpenuhi atau tidaknya sebuah keputusan yang

dijatuhkan oleh Majelis Hakim yang disesuaikan serta perlu memperhatikan

pertimbangan lain berupa keterangan saksi-saksi, terdakwa dan alat bukti yang

dapat berpengaruh terhadap proses membuat putusan akhir agar terciptanya rasa

keadilan bagi masyarakat.

Dengan memperhatikan putusan nomor 235/Pid.Sus/2015/PN.Pbr yang

menyatakan bahwa terdakwa atas nama GIMAN HASLIN Bin KARDI telah

dinyatakan secara terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak

pidana “ dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dari

atau kesehatan yang tidak memiliki izin edar ” dengan menjatuhkan pidana

kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 4 (empat) bulan, denda sebesar

Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah), subsidair 2 (dua) bulan penjara.

Terhadap perbuatan pidana yang dilakukan terdakwa merupakan suatu

perbuatan yang melawan hukum. Menurut hukum bahwa terdakwa juga adalah

orang yang mampu untuk mempertanggungjawabkan dan terdakwa melakukan

perbuatannya dengan sengaja walaupun terdakwa sudah mengetahui bahwa

produk yang dipasarkannya tersebut adalah produk illegal yang tidak memiliki

izin edar dari BPOM. Dengan demikian putusan hakim yang menjatuhkan sanksi

pemidanaan tersebut diatas sudah tepat dengan mempertimbangkan keadaan fisik

terdakwa dan juga status pendidikan terakhir si terdakwa. Sanksi tersebut di

95
berikan untuk memberikan efek jera, agar terdakwa menyesali perbuatannya,

tidak mengulangi perbuatannya dikemudian hari dan sebagai contoh untuk

memberi rasa takut terhadap penjual yang memasarkan produk illegal seperti

terdakwa.

Majelis Hakim menjatuhkan sanksi kepada terdakwa dengan hukuman

penjara 4 (empat) bulan, denda sebesar Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta

rupiah), subsidair 2 (dua) bulan penjara , karena dalam 197 Jo 106 ayat (1)

Undang-Undang RI No. 31 tahun 2009 tentang kesehatan yang hanya mengatur

maksimal penjatuhan penjara 15 (lima belas) tahun dan tidak mengatur minimal

penjatuhan pidana, sehingga membuat Majelis Hakim dengan yakin menjatuhkan

sanksi pidana penjara selama 4 (empat) bulan dari dakwaan jaksa penuntut umum

dengan sanksi pidana penjara 6 (enam) bulan beserta denda sebesar Rp.

800.000.000 (delapan ratus juta rupiah), subsidair selama 4 (empat) bulan

kurungan. Beberapa pertimbangan Majelis Hakim dalam menjatuhkan sanksi

pidana tersebut karena si terdakwa memiliki latar belakang pendidikan yang

hanya duduk dibangku kelas 4 (empat) sekolah dasar, kondisi kesehatan terdakwa

yang tidak baik karena terdakwa menderita Hernia, lalu terdakwa baru

memasarkan produknya selama ± 1 (satu) tahun serta terdakwa hanya pihak kedua

yang menjadi perantara dalam memasarkan produk, hal ini dikarenakan terdakwa

mendapatkan pasokan produk tersebut dari seseorang yang bernama sdr. DANIEL

dari Batam saat ini menjadi Daftar Pencarian Orang (DPO).

Dalam mempertimbangkan keputusannya terhadap perkara putusan nomor

235/pid.sus/2015/pn.pbr, Majelis Hakim sangat berhati-hati dalam

96
mempertimbangkannya. Seorang hakim dalam memutuskan perkara tidak hanya

memakai pertimbangan yang berpatok pada undang-undang belaka saja tetapi

hakim juga harus mampu mempertimbangkannya dari keselarasan antara

sosiologis dengan hati nurani beserta pemikirannya yang berguna untuk

menciptakan keadilan yang seadil-adilnya. Agar hakim yang mempunyai

wewenang.

Oleh karena itu, sebelum dilakukannya penjatuhan pidana bagi siterdakwa,

Majelis Hakim memerlukan bahan pendukung untuk mengkaji dan menggali

fakta-fakta yang ada didalam sebuah perkara. Terutama Hakim yang menangani

perkara pidana yang lebih aktif saat dipersidangan guna mencari sebuah

kebenaran serta Hakim tidak hanya berfokus dari surat dakwaan yang dirangkai

oleh Jaksa Penuntut Umum karena ketika Majelis Hukum mendengarkan

keterangan secara langsung mengenai barang bukti yang disediakan Jaksa

Penuntut Umum lebih meyakinkan. Apalagi Majelis Hakim hanya mencoba

menyesuaikan antara keterangan dari para saksi dengan surat dakwaan tersebut.

Bahwa Majelis Hakim harus memiliki pemikiran yang luas dalam

menetapkan putusan akhir dengan mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan

dan memperingankan sanksi pidana bagi terdakwa.

97
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penilitian “Analisis Yuridis Terhadap Tindak Pidana

Mengedarkan Sediaan Farmasi Ilegal (Studi Kasus Pengadilan Negeri

Pekanbaru)” , maka penulis dapat menarik kesimpulan yakni sebagai berikut:


1. Penerapan pasal 197 jo 106 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 tentang

Kesehatan pada Putusan Nomor 235/pid.sus/2015/pn.pbr oleh Majelis

Hukum telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak

pidana “dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi

dari atau kesehatan yang tidak memiliki izin edar” yang diatur dalam Pasal

197 Jo 106 ayat (1) Undang-Undang RI No. 31 tahun 2009 tentang

98
kesehatan serta terpenuhinya unsur - unsur materil dan formil. Hal ini juga

didasarkan pada dakwaan tunggal Jaksa Penuntut Umum berdasarkan

temuan yang ditemukan pada saat dilakukan pemeriksaan dan

penggeledahan. Begitu juga Majelis Hakim yakin serta telah sesuai dengan

dasar yang ada pada fakta-fakta dipersidangan seperti alat bukti yang sah

berupa keterangan saksi, keterangan ahli, barang bukti yang berkesesuaian

dengan keterangan terdakwa, dimana antara perbuatan dan unsur-unsur

pasal saling mencocoki rumusan delik, sehingga terdakwa dinyatakan

mampu bertanggungjawab dan harus mendapatkan sanksi yang setimpal

atas perbuatannya. Maka terdakwa harus mempertanggungjawabkan

perbuatannya dengan menjalani pidana penjara selama 4 (empat) bulan,

denda sebesar Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) dengan

subsidair 2 (dua) bulan penjara.

2. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap

terdakwa memperhatikan pertimbangan hukum seperti pertimbangan yuridis

yang meliputi fakta-fakta yang terungkap dalam proses persidangan yang

merupakan keterangan terdakwa, keterangan saksi serta keterangan saksi

ahli dan alat bukti yang didapat selama dilakukan penggeledahan dan

pemeriksaan. Sedangkan pertimbangan Sosiologis meliputi hal-hal yang

dapat meringankan terdakwa, antara lain terdakwa mengaku belum pernah

dihukum, terdakwa bersikap sopan selama persidangan, terdakwa mengakui

terus terang perbuatannya dan terdakwa dalam keadaan sakit serta status

pendidikan terdakwa hanya kelas 4 SD tetapi apabila terdakwa memiliki

99
jenjang pendidikan yang tinggi, maka kemungkinan pertimbangan hukum

majelis Hakim akan memberatkan terdakwa. Serta Majelis Hakim

mempertimbangkana hal-hal yang memberatkan hukuman terdakwa adalah

perbuatan terdakwa berpotensi membahayakan kesehatan orang lain dan

juga tidak lupa memperhatikan undang-undang yang berkaitan sehingga

memperkuat keyakinan Majelis Hakim dalam menjatuhkan Putusan.

B. SARAN
1. Bagi BPOM diharapkan agar lebih memperkuat kinerjanya dibidang

pengawasan terhadap penjualan produk kosmetika yang saat ini sudah

luas peredarannya yang sampai saat ini sudah menjajaki dunia

pemasaran online atau yang biasanya disebut dengan Online shop.

Dengan membuat team guna melakukan peninjauan terhadap penjualan

produk kosmetika yang ada disekitar masyarakat, baik itu pada pusat

perbelanjaan seperti pasar, mall, apotik, maupun online shop. Karena

apabila masyarakat kita sudah banya yang memakai produk kosmetik

illegal maka kesehatan serta kesejahteraan masyarakat dan kehidupan

bernegar pun menjadi terganggu karna dikelilingi oleh produk kosmetik

yang berbahaya bagi mereka. Otomatis akan membuat kerugian pada

Negara dari efek meningkatnya peyakit karena pemakaian produk

kosmetik illegal tersebut.


2. Bagi Majelis Hakim diharapkan agar menjatuhkan sebuah keputusan

tidak hanya menciptakan pertimbangan hukum yang memperhatikan

kepentingan terdakwa saja, tetapi juga memperhatikan kepentingan

korban yang sudah merasakan efek buruk dari produk yang sudah

100
dipasarkan oleh terdakwa. Majelis Hakim yang mendapatkan perkara

seperti ini seharusnya jangan hanya mempertimbangkan apa yang

meringankan terdakwa tetapi harus mempertimbang efek terhadap sang

Korban apabila merugikannya saat menggunakan produk yang dijual

terdakwa walaupun belum ada laporan atas penggunaan produk

kosmetik yang dijual terdakwa.

DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku

Adami Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1. Raja Grafindo Persada,


Jakarta, 2008.

Ahmadi Miru. Hukum Perlindungan Konsumen. PT. Rajawali Pers , Jakarta,


2004.

Barda Nawawi Arief. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan


Pengembangan Hukum Pidana. PT. Citra Adtya Bakti , Bandung,
2005.

E Fernando M Manulang. Menggapai Hukum Berkeadilan. Buku Kompas,


Jakarta, 2007.

Hamzah Ahmad & Ananda Santoso. Kamus Pintar Bahasa Indonesia. Fajar
Mulya, Surabaya,1996.

Moeljatno. Asas-asas Hukum Pidana. Rineka Cipta, Jakarta, 2008.

Muhammad Erwin. Filsafat Hukum, Refleksi Kritis Terhadap Hukum. PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2011.

Muladi & Barda Nawawi. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1999.

101
M Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP:Pemeriksaan sidang pengadilan, Banding, Kasasi dan
Peninjauan Kembali Edisi Kedua. Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

Leden Marpaung. Proses Penanganan Perkara Pidana (Di Kejaksaan &


Pengadilan Negeri Upaya Hukum & Eksekusi) Edisi Kedua. Sinar
Grafika, Jakarta , 2011.

_______________ . Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana Cetakan 3 . Sinar Grafika,


Jakarta, 2006.

Lexy J Malaeng. Metode Penelitian Kualitatif . PT. Remaja Rosadakarya,


Bandung, 1996.

Lilik Mulyadi. Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perspektif Teoritis Dan Paktik
Peradilan. CV. Mandar Maju, Bandung, 2010.

P.A.F. Lamintang & Fransiscus Theojunior Lamintang. Dasar-Dasar Hukum


Pidana Di Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta,2014.

RE Baringbing. Simpul Mewujudkan Supremasi Hukum. Pusat Kegiatan


Reformasi, Jakarta, 2001.

Satjipto Rahardjo. Masalah Penegakan Hukum. Sinar Baru, Bandung, 1983.

Soerjono Soekanto. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. PT.


Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

Sudarto. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian Terhadap


Pembaharuan Hukum Pidana. Bandung, Sinar Baru, 1983.

Sudikno Mertokusumo. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar . Liberty,


Yogyakarta, 2002.

Sri Siswanti. Etika dan Hukum Kesehatan . Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2015.

Zainuddin Ali. Metode Penelitian Hukum. Sinar Grafika, Jakarta, 2014.

B. Karya Ilmiah

Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum In PENERAPAN PASAL 81 AYAT (1)


UNDANG - UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG
PERLINDUNGAN ANAK, by DOSMA PANDAPOTAN, Fakultas
Hukum Universitas Hasanudin, Makassar, 2015.

102
Avis Sartika, Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Usaha Kosmetik Yang
Mengandung Bahan Berbahaya Di Provinsi Lampung , Universitas
Lampung, Bandar Lampung, 2017.

Denny Lumbantobing & Taufik Siregar , Perlindungan Hukum Pidana Terhadap


Konsumen Bidang Pangan, Pematang Siantar : Mercatoria Vol. 5 No.
2, 2012.

Dwi Esti Putriyana Devi, Analisis Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku


Penjualan Farmasi Tanpa Izin Edar (Studi Kasus Putusan
NO.881/PID/SUS/2010/PN.TK), Universitas Lampung , Bandar
Lampung, 2012.

Febby Sumarni, Tinjauan Terhadap Pelaksanaan Pasal 280 Undang-Undang


Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu Lintas dan Angkutan Jalan di
Wilayah Hukum Polresta Pekanbaru, Fakultas Hukum Universitas
Islam Riau, Pekanbaru, 2018.

Ilyas Indra, Akibat Hukum Terhadap Produk Kosmetik Kecantikan Yang Tidak
Didaftarkan Menurut Ketentuan Badan Pengawas Obat Dan Makanan
(BPOM), http://lppm.stih-painan.ac.id (accessed Juli 21, 2018).

Muhamad Rusli, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, In Analisis Yuridis


Penerapan Pasal 385 Jo.Pasal 55 Ayat (1) KUHP Dalam Perkara
Nomor 635/Pid.B/2015/PN.PBR , by Yuldianty, Fakultas Hukum
Universitas Islam Riau, Pekanbaru, 2018.

Nur Anisa, Tinjauan Penerapan Pasal 187 ayat ke -1 KUHP dalam perkara pidana
nomor : 46/pid.sus/2010/pn.bjb, Fakultas Hukum Universitas Islam
Riau , Pekanbaru, 2012.

Restyan Hutabarat, Peranan BPOM Dalam Permohonan Pendaftaran Obat


Tradisional Berdasarkan Peraturan Kepala BPOM No. 39 Tahun 2013
Tentang Standar Pelayanan Publik Di Lingkungan BPOM RI Di Kota
Pekanbaru, Fakultas Hukum Universitas Islam Riau , Pekanbaru ,
2014.

Rahdiansyah, Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen, UIR Law Review ,


2018.

Sri Arlina, Perlindungan Konsumen Dalam Transaksi Jual Beli Online Produk
Kosmetik (Pemutih Wajah) Yang Mengandung Zat Berbahaya
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, UIR Law
Review, 2018.

103
Shilvirichiyanti, & Alsar Andri, PERANAN PENYIDIK DALAM
PENANGANAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA DI WILAYAH
HUKUM POLISI RESORT KUANTAN SINGINGI, UIR Law
Review, April 2018. http://
journal.uir.ac.id/index.php/uirlawreview/article/view/970/922( accesse
d April 22, 2019 ).

Wira Atma Hajri & Rahdiansyah, PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-


UNDANGAN, UIR Law Review, 2018.

Yuldianti, Analisis Yuridis Penerapan Pasal 385 Jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP dalam
Perkara Nomor 635/Pid.B.2015/ PN.PBR, Fakultas Hukum
Universitas Islam Riau, Pekanbaru, 2018.

Zul Akrial & Heni Susanti, ANALISIS TERHADAP KORPORASI SEBAGAI


SUBYEK HUKUM DIDALAM UNDANG-UNDANG NO. 32
TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN
PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP, UIR Law Review, 2018.

C. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang No.36 tahun 2009 tentang kesehatan.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 220/Menkes/Per/IX/76


1976.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Pelayanan


Kefarmasian di Apotek.

Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan
Makanan .

D. Internet

Badan Pengawas Obat dan Makanan. Profil Badan Pengawasan Obat dan
Makanan. 2017. https://www.pom.go.id/new/view/direct/background
(accessed April 5, 2019).

_______________________________. Budaya Organisasi. 2017.https: //www.


pom .go .id /new /view/direct/culture (accessed April 8, 2019).

104
________________________________. Fungsi Utama BPOM. 2017. https:
//www .pom .go.id/new/view/direct/function (accessed April 8, 2019).

________________________________. Kewenangan BPOM. 2017. https ://


www. pom.go.id/new/view/direct/role (accessed April 8, 2019).

________________________________. Tugas Utama BPOM dan Tugas Balai


Besar / Balai POM (Unit Pelaksana Teknis). 2017.
https://www.pom.go.id/new/view/direct/job (accessed April 8, 2019).

________________________________. Visi dan Misi BPOM . 2017. https://


www. pom.go.id/new/ (accessed April 8, 2019).

Damang . Definisi Pertimbangan Hukum. http://www.damang.web.id (accessed


Mey 13, 2019).

Mahkamah Agung Republik Indonesia . www.Mahkamah Agung.go.id, (accessed


Mey 13, 2019).

Kamus Besar Bahasa Indonesia.com . http://kbbi.co.id/arti-kata/kosmetik


(accessed Agustus 01 , 2018).

Wikipedia. Badan Pengawas Obat dan Makanan. 12 Februari 2019.


https://id.wikipedia. org/ wiki /Badan _Pengawas _Obat _dan _ Makanan (
accessed April 8, 2019).

Zul Akrial. “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA


ESA”. 03 Februari 2013. http://zulakrial.blogspot.com/2013/02/demi-
keadilan-berdasarkan-ketuhanan.html (accessed April 18, 2019).

https://contohpunyaku.wordpress.com/2011/01/13/penerapan-pasal-pidana dalam
-penyidikan/.(accessed Mey 13, 2019).

105
106

Anda mungkin juga menyukai