Anda di halaman 1dari 2

IKLAN DAN SISTEM REGULASI

Sebebas apapun paham sebuah Negara, sendi-sendi kehidupan masyarakat di dalamnya pasti
ada batas-batas atau aturannya. Begitu juga di Indonesia, yang meski dikatakan sebagai Negara yang
demokratis, yang menjamin kebebasan setiap orang untuk berpendapat, tentu tak membiarkan begitu
saja, kehidupan bermasyarakatnya berjalan tanpa aturan. Tak terkecuali di dunia periklanan.
Bagaimanapun, iklan adalah salah satu bentuk gagasan yang disampaikan oleh sebagian kecil
kelompok masyarakat, yang disampaikan kepada anggota masyarakat lain (dalam lingkup yang lebih
luas) dengan tujuan untuk mempengaruhi, agar bertindak sesuai yang diharapkan oleh pembuat iklan.
Jika informasi yang disebarkan tidak disampaikan dengan benar, mengandung hal-hal yang
menyesatkan, bisa menggiring orang lain menuju kepada hal yang salah, bahkan dapat merugikan
orang lain. Hal inilah yang mejadi dasar perlunya aturan.

Kontrol dari pihak pembuat iklan.


Di Indonesia sendiri, kontrol terhadap dunia periklanan dilakukan oleh beberapa lembaga. Salah
satunya bernama Komisi Periklanan Indonesia. Lembaga yang berdiri pada 1981 ini beranggotakan
delapan komponen dalam industri periklanan, ialah: Asosiasi Perusahaan Media Luar Ruang Indonesia
(AMLI), Asosiasi Pemrakarsa dan Penyantun Iklan Indonesia (ASPINDO), Asosiasi Televisi Siaran
Indonesia (ATVSI), Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI), Persatuan Perusahaan
PeriklananIndonesia (PPPI), Persatuan Radio Siaran Swasta NasionalIndonesia (PRSSNI), Serikat
Penerbit Surat kabar Indonesia(SPS), dan Yayasan Televisi Republik Indonesia (Yayasan TVRI).
(Budimanto, 2009)
Jadi, lembaga ini bisa diartikan sebagai lembaga kontrol dari gabungan pembuat iklan itu sendiri.
Dalam tiga kali konvensinya pada 1981, 1996, dan 2009 – KPI terus membahas Tata Krama dan Tata
Cara Periklanan Indonesia. Dalam website resmi Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI),
juga disebutkan sebuah nama lembaga pengawas iklan, yaitu Dewan Periklanan Indonesia (DPI) yang
beranggotakan: PPPI, Asosiasi Media Luar Ruang Indonesia (AMLI), Assosiasi Perusahaan Pengiklan
Indonesia (APPINA), Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI), Serikat Pekerja Surat
Kabar (SPS), ATVLI (Asosiasi Televisi Lokal Indonesia), ATVSI (Asosiasi Televisi Swasta Indonesia),
Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) dan Televisi Republik Indonesia (TVRI).
Lembaga ini menyepakati sebutan tatanan etika periklanan Indonesia baru, yaitu: Etika Pariwara
Indonesia (EPI). “Kepedulian utama EPI adalah menjaga hal etika profesi dan etika usahanya demi
kepentingan masyarakat luas dan mengantisipasi dampak buruk”, jelas Ridwan Handoyo, Ketua Badan
Pengawas Periklanan tahun 2005 – 2008. (pppi.or.id)
Hal senada diungkapkan oleh Mueller dan Frith dalam bukunya yang berjudul Advertising and
Societies: Global Issues, bahwa tujuan utama pemerintah menetapkan regulasi/peraturan adalah untuk
melindungi kepentingan masyarakat dari perilaku bisnis yang tidak benar. “Beberapa perusahaan, jika
dibiarkan tanpa aturan, akan memalsukan produk mereka (atau mencampurnya dengan bahan lain),
membohongi masyarakat dalam iklannya atau dengan informasi yang disampaikan di kemasannya, juga
merugikan masyarakat dengan harga produk mereka,” kata Kotler (dalam Mueller dan Frith).
Hery Margono Ketua Hukum dan Perundang-undangan Pengurus Pusat PPPI 2005 – 2008
menjelaskan, beberapa hal yang diatur dalam Etika Pariwara Indonesia adalah yang berkaitan dengan
iklan testimoni, perbandingan, Iklan rumah sakit, Dana amal, penampilan anak dalam iklan, promosi
penjualan, sanksi dan sebagainya. EPI juga mengatur tentang anjuran dalam iklan, penghimpunan
modal, penggunaan kata “satu-satunya” maupun “yang pertama”, penampilan hewan, penampilan uang,
penampilan pangan, Iklan kebijakan publik, penampilan penyandang cacat, transplatasi organ tubuh,
alat kontrasepsi, dan sebagainya. (pppi.or.id)

Kontrol dari pihak pemerintah


Tentu saja, tak hanya pihak swasta (pembuat iklan) yang seharusnya bertindak sebagai
pengawas periklanan di Indonesia. Pemerintah, sebagai penyelenggara Negara, adalah pihak yang
paling bertanggung jawab untuk membuat regulasi tentang periklanan.
Menurut Frith dan Mueller, perhatian utama di banyak Negara adalah bahwa iklan yang dibuat
haruslah mendorong perasaan kesatuan identitas bangsa, dan juga menonjolkan budaya nasional.
Karena itu, peraturan tentang periklanan biasanya didasarkan oleh budaya bangsa dan juga faktor-faktor
sosial. Untuk Indonesia, kontrol terhadap iklan, khususnya untuk produk obat dan makanan, diawasi
secara langsung oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Bahkan, dalam sebuah berita di
situs online, Kasubdit Pengawasan Penandaan dan Promosi Produk Kesehatan BPOM, Tuning Nina,
mengatakan bahwa BPOM bisa mencabut ijin edar obat jika dipromosikan dengan iklan yang melanggar
aturan. (kontan.co.id)
Tuning mengungkapkan beberapa kriteria untuk iklan produk obat dan makanan, antara lain:
harus objektif, lengkap, dan tidak menyesatkan, tidak boleh menjanjikan hadiah langsung berupa barang
atau jasa, juga tidak boleh mengeksploitasi rasa takut terhadap penyakit tertentu. Menurut Tuning,

1
bentuk penyimpangan yang paling sering dilakukan oleh para produsen obat adalah mengubah skrip
yang sebelumnya telah diajukan kepada BPOM, tidak melaporkan iklan yang akan ditayangkan, atau
menayangkan iklan produk yang belum mengantongi ijin edar (kontan.co.id).
Bagi pelanggar ini pun, ada sangsingya, yang dilakukan berdasarkan Undang-Undang (UU)
Nomor 23/1992 tentang kesehatan, UU Nomor 8/1999 tentang perlindungan konsumen dan peraturan
pemerintah Nomor 72/1998 tentang pengamanan sediaan farmasi. Menurut Peraturan Pemerintah
Nomor 72/1998, pelaku pelanggaran promosi obat keras kepada masyarakat umum diancam pidana
denda Rp10 juta. Ada juga sanksi administratifnya berupa pembatalan nomor ijin edar atau penghentian
iklan sementara sampai ada perbaikan yang disetujui oleh BPOM. (health.kompas.com).
Peraturan yang juga pernah ditetapkan oleh BPOM adalam tentang produk susu formula.
Maraknya iklan susu formula, yang masing-masing menawarkan formula paling ampuh untuk membuat
anak cerdas, anak tinggi, anak aktif, dan sebagainya, direspons oleh BPOM dengan Peraturan Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia pada tahun 2008, yang antara lain mengatur
jumlah zat-zat non gizi yang ditambahkan ke dalam produk susu, seperti ARA (arachidonic acid) dan
DHA (docosahexaenoic acid), juga mewajibkan pencantumannya di informasi nilai gizi, serta pelarangan
pencantuman klaim gizi dan kesehatan tentang ARA, DHA, juga Lutein, Sphingomyelin dan Gangliosida.
(aimi-asi.org)
Tentu saja, regulasi semacam ini sangat diperlukan, mengingat informasi yang disampaikan oleh
pihak pengiklan biasanya member pengaruh besar kepada masyarakat, apalagi yang terpapar dalam
jangka waktu lama. Jika informasi yang disampaikan tentang khasiat obat, atau kandungan nutrisi dalam
makanan tidak tepat, cenderung dilebih-lebihkan, dengan dampak positif yang (juga) dilebih-lebihkan,
tentu akan merugikan masyarakat. Bahkan juga bisa membahayakan, jika tidak disertai keterangan
mengenai cara pemakaian/konsumsi yang tepat, atau jika ada kandungan bahan berbahaya di
dalamnya, yang cenderung “disembunyikan”.

Kontrol dari masyarakat penikmat iklan


Bagaimanapun, masyarakat sebagai pihak langsung yang menikmati iklan di media massa,
meski tak secara resmi punya hak untuk mengeluarkan regulasi, tentulah juga merupakan pihak yang
perannya penting untuk mengontrol iklan yang beredar di masyarakat. Apakah penayangan iklan rokok
dan produk dewasa lain yang ditayangkan di jam-jam yang kurang tepat, karena dimungkinkan anak-
anak masih menonton televisi, misalnya, adalah beberapa hal yang harus juga “disuarakan” oleh
masyarakat. Beberapa lembaga, misalnya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) adala pihak
yang kompeten untuk menerima suara-suara masyarakat ini dan kemudian meneruskannya kepada
pemerintah dan pihak-pihak lain yang berwenang.
Kontrol lain yang bisa dilakukan oleh masyarakat adalah dengan menjadi “penikmat iklan yang
cerdas”. Yang tak begitu saja mudah terkena bujuk rayu, tapi dengan bijaksana mencari informasi dari
sumber-sumber lain yang lebih sahih, mencari second opinion dari orang-orang yang lebih ahli di
bidangnya, sebelum memutuskan untuk memakai, mengosumsi, atau membeli produk-produk yang
diiklankan, khususnya jika dimungkinkan terjadi efek samping yang berakibat fatal.

REFERENSI :
 Frith, Mueller, Digital Format Vol.14, “Advertising and Societies: Global Issues” New York:
Peterlang.
 http://www.pppi.or.id/Etika-Pariwara-Indonesia-Penyempurnaan-Tata-Krama-dan-Tata-Cara-
Periklanan-Indonesia.html
 http://industri.kontan.co.id/v2/read/1248948240/18796/Iklan-Tak-Sesuai-Aturan-BPOM-Ancam-
Cabut-Izin-Edar-Obat
 http://kesehatan.kompas.com/read/2009/07/30/15202428/20.persen.iklan.obat.salahi.aturan
aimi-asi.org/wp/wp-content/files/bpom/bpom-regulation-on-nutrition-claims-jul08.pdf

Anda mungkin juga menyukai