Sebebas apapun paham sebuah Negara, sendi-sendi kehidupan masyarakat di dalamnya pasti
ada batas-batas atau aturannya. Begitu juga di Indonesia, yang meski dikatakan sebagai Negara yang
demokratis, yang menjamin kebebasan setiap orang untuk berpendapat, tentu tak membiarkan begitu
saja, kehidupan bermasyarakatnya berjalan tanpa aturan. Tak terkecuali di dunia periklanan.
Bagaimanapun, iklan adalah salah satu bentuk gagasan yang disampaikan oleh sebagian kecil
kelompok masyarakat, yang disampaikan kepada anggota masyarakat lain (dalam lingkup yang lebih
luas) dengan tujuan untuk mempengaruhi, agar bertindak sesuai yang diharapkan oleh pembuat iklan.
Jika informasi yang disebarkan tidak disampaikan dengan benar, mengandung hal-hal yang
menyesatkan, bisa menggiring orang lain menuju kepada hal yang salah, bahkan dapat merugikan
orang lain. Hal inilah yang mejadi dasar perlunya aturan.
1
bentuk penyimpangan yang paling sering dilakukan oleh para produsen obat adalah mengubah skrip
yang sebelumnya telah diajukan kepada BPOM, tidak melaporkan iklan yang akan ditayangkan, atau
menayangkan iklan produk yang belum mengantongi ijin edar (kontan.co.id).
Bagi pelanggar ini pun, ada sangsingya, yang dilakukan berdasarkan Undang-Undang (UU)
Nomor 23/1992 tentang kesehatan, UU Nomor 8/1999 tentang perlindungan konsumen dan peraturan
pemerintah Nomor 72/1998 tentang pengamanan sediaan farmasi. Menurut Peraturan Pemerintah
Nomor 72/1998, pelaku pelanggaran promosi obat keras kepada masyarakat umum diancam pidana
denda Rp10 juta. Ada juga sanksi administratifnya berupa pembatalan nomor ijin edar atau penghentian
iklan sementara sampai ada perbaikan yang disetujui oleh BPOM. (health.kompas.com).
Peraturan yang juga pernah ditetapkan oleh BPOM adalam tentang produk susu formula.
Maraknya iklan susu formula, yang masing-masing menawarkan formula paling ampuh untuk membuat
anak cerdas, anak tinggi, anak aktif, dan sebagainya, direspons oleh BPOM dengan Peraturan Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia pada tahun 2008, yang antara lain mengatur
jumlah zat-zat non gizi yang ditambahkan ke dalam produk susu, seperti ARA (arachidonic acid) dan
DHA (docosahexaenoic acid), juga mewajibkan pencantumannya di informasi nilai gizi, serta pelarangan
pencantuman klaim gizi dan kesehatan tentang ARA, DHA, juga Lutein, Sphingomyelin dan Gangliosida.
(aimi-asi.org)
Tentu saja, regulasi semacam ini sangat diperlukan, mengingat informasi yang disampaikan oleh
pihak pengiklan biasanya member pengaruh besar kepada masyarakat, apalagi yang terpapar dalam
jangka waktu lama. Jika informasi yang disampaikan tentang khasiat obat, atau kandungan nutrisi dalam
makanan tidak tepat, cenderung dilebih-lebihkan, dengan dampak positif yang (juga) dilebih-lebihkan,
tentu akan merugikan masyarakat. Bahkan juga bisa membahayakan, jika tidak disertai keterangan
mengenai cara pemakaian/konsumsi yang tepat, atau jika ada kandungan bahan berbahaya di
dalamnya, yang cenderung “disembunyikan”.
REFERENSI :
Frith, Mueller, Digital Format Vol.14, “Advertising and Societies: Global Issues” New York:
Peterlang.
http://www.pppi.or.id/Etika-Pariwara-Indonesia-Penyempurnaan-Tata-Krama-dan-Tata-Cara-
Periklanan-Indonesia.html
http://industri.kontan.co.id/v2/read/1248948240/18796/Iklan-Tak-Sesuai-Aturan-BPOM-Ancam-
Cabut-Izin-Edar-Obat
http://kesehatan.kompas.com/read/2009/07/30/15202428/20.persen.iklan.obat.salahi.aturan
aimi-asi.org/wp/wp-content/files/bpom/bpom-regulation-on-nutrition-claims-jul08.pdf