etika dan tata krama perikalanan Indonesia, maka konsumen terutama bisa dilindungi. Praktisi periklanan harus mengatur sendiri tata krama dan etika periklanan yang berlaku, kalau tidak mengatur sendiri di khawatirkan nantinya di atur pemerintah. Sebagai contoh, Masli menyebut soal Undang-undang Penyiaran yang menjadi bahan perdebatan sampai saat ini. Masli mengatakan bahwa Undang-undang tersebut diatur oleh mereka yang tidak terkait langsung dengan industri penyiaran. Kita harus mengatur tata krama sendiri. Kita tidak mau pemerintah ikut campur tangan soal tata cara dan tata krama kita, kata Masli, juga Ketua Komisi Periklanan Indonesia di saat berlangsungnya Diskusi Besar Etika Periklanan. Sementara itu Christian Tooy, Ketua Panitia diskusi ini menjelaskan acara ini melibatkan 22 pembicara dari berbagai latar belakang. Aktivis perempuan Gadis Arivia dan Nursyahbani Kartjasungkana misalnya menjadi pembicara utama pada topik Aspek-aspek kesetaraan jender dan komunikasi kemasyarakatan, sedangkan DR Seto Mulyadi berbicara tentang Pengaruh Komersialisasi pada perkembangan anak. DR Adnan Buyung Nasution dan Nico Kansil menjadi pembicara utama tentang hak cipta. Masalah iklan partai politik juga dibicarakan di acara ini. Artinya, apakah iklan parpol boleh atau tidak, kalau boleh ya nanti harus dimasukan ke dalam tata cara, kata Christian Tooy. Paling tidak, menurut Tooy ada 36 pasal yang meliputi masalah-masalah jender, internet, obat-obatan, makanan dan minuman, akan dibicarakan dalam Diskusi Besar Etika Periklanan ini. (SH/audrey tangkudung)