Anda di halaman 1dari 9

I.

Etika Pariwara Indonesia dan Sejarahnya


Etika pariwara merupakan sekumpulan nilai dan pola laku moralitas periklanan. Etika

pariwara ini memiliki arti penting bagi mereka yang bekerja dibidang periklanan dan pemasaran. Awal terciptanya Etika Pariwara Indonesia pada saat tata cara dalam beriklan sempat menjadi perbincangan di masa periklanan modern Indonesia pada tahun 1977 yaitu inisiatif untuk melahirkan tata krama periklanan indonesia. Tanggal 19 - 22 Januari 1977, atas kerjasama Departemen Penerangan, Departemen Perdagangan dan Koperasi, SPS dan PPPI diselenggaraan Seminar Periklanan Pers, bertempat di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta. Dari seminar ini lahirlah Badan Periklanan Medipers Nasional (BPMN/SPS). Tak berapa lama setelah itu, tanggal 19 - 20 Juni 1980 bertempat di Orchid Palace Hotel, Jakarta , diselenggarakan Seminar Kode Etik Periklanan Indonesia. Seminar diprakarsai dan didukung oleh ASPINDO (Asosiasi Pemrakarsa dan Penyantun Iklan Indonesia), BMN/SPS, PPPI dan PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia). Menjelang akhir 1980 sebagai kelanjutan dalam Seminar Kode Etik Periklanan Indonesia, diselenggarakan Konvensi Masyarakat Periklanan Indonesia untuk mencoba merumuskan sebuah rancangan tata krama periklanan indonesia yang dapat disepakati bersama. Setelah melalui persidangan sebanyak 68 kali dalam waktu 8 bulan, akhirnya lahirlah Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia (TKTCPI).1

II.

Pendiri EPI
Lembaga-lembaga yang mengusung Etika Pariwara Indonesia muncul di era pasca

kemerdekaan. Sebelum diresmikan oleh pemerintah, muncul lembaga-lembaga yang menjadi pemrakarsa dari munculnya Etika Pariwara Indonesia ini, berikut adalah lembagalembaga tersebut:
1

ASPINDO (Asosiasi Pemrakarsa dan Penyantun Iklan Indonesia) PPPI (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia) SPS (Serikat Penerbit Suratkabar) TVRI (Televisi Republik Indonesia) RRI (Radio Republik Indonesia) PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia) GPRSI YLKI

http://www.p3i-pusat.com diunduh pada Minggu 22 Desember 2013 pukul 18.58 WIB

III.

Penegak EPI

Setelah lahirnya Etika Pariwara Indonesia, muncul lembaga-lembaga yang menegakkannya. Tugas-tugas penting lembaga ini adalah, untuk menegakkan etika bisnis antara para praktisi periklanan, utamanya antara perusahaan periklanan dengan media cetak dan antara anggota - anggota asosiasi masing-masing. Selain itu, lembaga ini juga bertugas melakukan arbitrasi dalam hal terjadi konflik antara anggota dari asosiasi berbeda. Berikut adalah lembaga-lembaga yang hingga saat ini berperan dalam menegakkan Etika Pariwara Indonesia: AMLI (Asosiasi Perusahaan Media Luar-griya Indonesia) APPINA (Asosiasi Perusahaan Pengiklan Indonesia) ASPINDO (Asosiasi Pemrakarsa dan Penyantun Iklan Indonesia) ATVLI (Asosiasi Televisi Lokal Indonesia) ATVSI (Asosiasi Televisi Swasta Indonesia) GPBSI (Gabungan Perusahaan Bioskop Indonesia) PPPI (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia) PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia) SPS (Serikat Penerbit Suratkabar) Yayasan TVRI (Yayasan Televisi Republik Indonesia)

IV.

Etika Pariwara dan Ruang Publik yang Demokratis


Secara fisik, menurut kami sebenarnya Etika Pariwara sudah memiliki dasar yang

kuat untuk mendukung terwujudnya ruang publik yang Demokratis. Meskipun tidak secara langsung karena iklan adalah media yang bersifat searah- namun, Etika Periklanan setidaknya sudah memiliki pandangan ke arah ruang publik yang demokratis. Kemampuan Etika Pariwara untuk mendukung terbentuknya ruang publik yang demokratis diwujudkan dalam mukadimah etika pariwara, terutama poin ke.8 tentang lingkungan periklanan dan rumusan prinsip swakrama yang juga terdapat dalam EPI Mukadimah Etika Pariwara, poin ke.8 tentang Lingkungan Periklanan: Para pelaku periklanan amat mendambakan lingkungan berprofesi dan berusaha yang sarat dengan nilai-nilai moral. Karena itu, EPI amat mendorong dan meleluasakan setiap pesan dan praktik usaha periklanan yang memperkuat demokratisasi, supremasi hukum, dan transparansi. Sejalan dengan itu, periklanan pun amat peduli pada terciptanya

lingkungan hidup yang harmonis, dalam bingkai ekosistem yang menunjang dan berkelanjutan.2 Swakrama (self-regulation) atau pengaturan diri sendiri, adalah suatu prinsip atau paham yang dianut oleh mayarakat periklanan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Malahan bukan hanya pada kode etik periklanan prinsip ini diterapkan, namun juga dibanyak kode etik profesi maupun kode etik bisnis lainnya. Konsep Swakrama dalam Etika pariwara Indonesia, menurut kami sangat membentuk ruang publik yang sehat dan demokratis. Hal ini diwujudkan dalam rumusan prinsip swakrama. Rumusan Prinsip Swakarma: Rumusan tentang prinsip-prinsip swakrama berbeda antara suatu negara dengan negara lainnya. Meskipun demikian, terdapat beberapa prinsip yang diserap oleh kebanyakan kode etik periklanan di mancanegara. Prinsip-prinsip ini adalah: Jujur, bertanggungjawab, dan tidak bertentangan dengan hukum negara. Sejalan dengan nilai-nilai sosial-budaya masyarakat. Mendorong persaingan, namun dengan cara-cara yang adil dan sehat.3 Demokratis kerap dikaitkan dengan kebebasan yang beretika. Dalam Etika Pariwara Prinsip Swakrama memiliki beberapa alasan mengapa dianggap penting. Salah satunya adalah dari aspek hak asasi dan demokrasi, ia (Swakrama) juga merupakan wujud dari kebebasan berpendapat dari komunitas periklanan kepada pihak-pihak lain. V. Etika Pariwara dan Profesionalisme Etika pariwara mampu mewujudkan profesionalisme pekerja komunikasi, dilihat dari beberapa hal: Tujuan Etika Pariwara merupakan etika profesi. Adanya DPI sebagai penegak. Terjadinya kasus-kasus pelanggaran yang kemudian ditindak dengan EPI kode etik agar profesional memberikan jasa sebaik-baiknya kepada

pemakainya. Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak profesional. Profesionalisme akan muncul ketika para pekerja menaati kode etik yang ada. Etika Pariwara dikenal sebagai etika profesi. Dilihat dari isi, maupun penggagasnya yang

2 3

Etika Pariwara Indonesia Etika Pariwara Indonesia

merupakan berbagai asosiasi-aosiasi profesi yang berkaitan dengan periklanan. Maka dari itu sudah tentu etika periklanan dibentuk untuk menjunjung tinggi profeionalisme perkerja. Adalah harapan Dewan Periklanan Indonesia untuk suatu saat nanti dapat pula menampung asosiasi-asosiasi profesi dimaksud dan sekaligus menjadi lembaga penegak pula bagi suatu etika profesi yang sepenuhnya dari, oleh, dan untuk profesi periklanan sendiri. Dengan adanya DPI sebagai penegak Etika Pariwara, profesionalisme perkerja komunikasi akan menjadi sebuah standar yang harus dipenuhi oleh para pekerjanya. Dapat dilihat dari fungsi dan tugas DPI. VI. Fungsi dan Tugas DPI Untuk memenuhi fungsi, tugas dan kewajibannya DPI menyusun berbagai kebijakan pembinaan periklanan nasional. Kebijakan ini sekurang-kurangnya menyangkut tiga hal, yaitu: a. Pemantapan kondisi berusaha dan bersaing yang sehat bagi setiap komponen pendukungnya. b. Pengembangan profesionalisme yang setinggi-tingginya bagi para pelaku periklanan nasional. c. Pemantapan tanggungjawab etika yang berakar dari nilai-nilai budaya bangsa, bagi seluruh anggota masyarakat periklanan Indonesia. EPI menjunjung tinggi etika profesi dalam peraturanya, tidak hanya melulu tentang kewajiban namun juga hak para pelaku periklanan. EPI ini mengukuhkan adanya kepedulian yang setara pada industri periklanan, antara keharusan untuk melindungi konsumen atau masyarakat, dengan keharusan untuk dapat melindungi para pelaku periklanan agar dapat berprofesi dan berusaha dan memperoleh imbalan dari profesi atau usaha tersebut secara wajar. Kita telah mencoba melihat dari perspektif batang tubuh Etika Pariwara Indonesia yang sudah terbentuk. Namun tentu kita perlu melihat dari perspektif aplikasi dan

penerapan EPI dalam Dunia Periklanan yang sebenarnya. Maka dari itu kelompok kami membahas beberapa studi kasus di bagian lain dari makalah ini untuk melihat dan mendalami celah-celah yang ada di EPI. Sehingga diharapkan akan memunculkan diskusi tentang kasus tersebut untuk mengetahui apakah kasus tersebut muncul dari kesalahan praktisi pariwara, Etika Pariwara, atau bahkan masyarakat sebagai pemirsa pariwara sendiri.

VII.

Implementasi Kasus Etika Pariwara Etika Pariwara Indonesia, sudah berulang kali menjadi sorotan. Kode etik telah

termuat di dalamnya, tapi implementasinya boleh dibilang masih setengah hati. Sehingga bila kita baca secara teliti, lalu kita cocokkan dengan praktiknya di lapangan, masih banyak penyelewengan terhadap kode etik ini. Misalnya saja tiga iklan yang tayang di televisi yaitu iklan Shinyoku "Romy Rafael", iklan So Nice "So Good", dan Iklan Betadine Feminim Hygines "Fakta Bicara" oleh Badan Pengawasan Periklanan, Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) diputuskan melanggar Etika Pariwara Indonesia (EPI). Keputusan yang dikeluarkan oleh Badan Pengawasan Periklanan (BPP) PPPI telah disampaikan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat. Untuk iklan TV Shinyoku versi Romy Rafael pelanggaran EPI yang ditemukan adalah penayangan pernyataan superlatif di dalam iklan tersebut berupa pernyataan: "paling terang, paling hemat, dan paling kuat." Pernyataan superlatif di dalam iklan melanggar EPI BAB IIIA No. 1.2.2 yang menyatakan bahwa: "Iklan tidak boleh menggunakan kata-kata superlatif seperti "paling", "nomor satu", "top, atau kata-kata berawalan "ter" dan atau yang bermakna sama, tanpa secara khas menjelaskan keunggulan tersebut yang harus dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis dan otoritas terkait atau sumber yang otentik."4 Pada iklan TV So Nice "So Good", pelanggaran EPI terjadi pada pernyataan bahwa mereka yang mengkonsumsi produk yang diiklankan akan tumbuh lebih tinggi daripada yang tidak. Menurut EPI BAB IIIA No. 1.7 menyatakan bahwa: "Jika suatu iklan mencantumkan garansi atau jaminan atas mutu suatu produk, maka dasar-daasr jaminannya harus dapat dipertanggungjawabkan."5 Sedangkan untuk iklan TV Betadine Feminim Hygines "Fakta Bicara", berpotensi melanggar EPI karena ditayangkan di luar klasifkasi jam tayang dewasa. EPI yang dilanggar adalah BAB IIIA No. 4.3.1, yaitu "produk khusus orang dewasa hanya boleh disiarkan mulai pukul 21.30 hingga 05.00 waktu setempat", selain itu juga EPI BAB IIIA No. 2.8.2 yang menjelaskan bahwa: "produk-produk yang bersifat intim harus ditayangkan pada waktu penyiaran yang khusus untuk orang dewasa."6 Contoh kasus diatas menunjukkan maraknya pelanggaran Etika Pariwara Indonesia (EPI) yang telah diratifikasi oleh Dewan Periklanan Indonesia (DPI) sebagai standar etika dalam dunia periklanan Indonesia. Kesadaran moral untuk menaati nilai yang terkandung
4 5

Etika Pariwara Indonesia Etika pariwara Indonesia 6 Etika pariwarqa Indonesia

dalam EPI ini masih menjadi tantangan ke depan dunia periklanan Indonesia. Tanpa ada kesadaran moral, maka etika yang terkodifikasi dalam EPI hanya akan dilaksanakan semata-mata sebagai kewajiban. VIII. Etika Pariwara pada New Media Etika Pariwara sesungguhnya telah memuat tentang pariwara pada media baru, yang tertera dalam bab 4.5.1 dan 4.5.2 sebagai berikut: 4.5.1 Iklan pada Media Internet a. Tidak boleh ditampilkan sedemikian rupa sehingga mengganggu kebisaan atau keleluasaan khalayak untuk merambah (to browse) dan berinteraksi dengan situs terkait, kecuali telah diberi peringatan sebelumnya. b. Wajib mencantumkan secara jelas hal-hal berikut; alasan mengapa penerima pesan dikirimi iklan tersebut; petunjuk yang jelas dan mudah tentang cara untuk tidak lagi menerima kiriman iklan dari alamat dan atau pihak yang sama; alamat lengkap dari pengirim iklan; jaminan atas hak-hak dan kerahasiaan pribadi penerima pesan iklan tersebut c. Iklan daring (on-line) atau interaktif. Iklan yang menawarkan sesuatu produk melalui sesuatu media secara daring atau interaktif, wajib mematuhi hal-hal sebagai berikut: tidak mensyaratkan perlunya menyampaikan informasi tentang khalayak tersebut yang lebih dari kebutuhan bertransaksi atas produk terkait; tidak menggunakan informasi tentang khalayak tersebut untuk hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan suatu transaksi normal; menjamin, bahwa metode pembayaran yang diberlakukan kepada pihak pembeli adalah aman dari penyadapan atau penyalahgunaan oleh pihak manapun.

4.5.2

Layanan Pesan Ringkas (SMS - short message service) a. Iklan atau promosi melalui layanan pesan ringkas tidak boleh menggunakan data atau nomor ponsel ilegal, atau yang tidak dapat dihubungi kembali. b. Iklan atau promosi melalui layanan pesan ringkas hanya boleh dilakukan kepada mereka yang sudah menyetujui untuk menerimanya. Kecuali jika penerimaan pesan-pesan tersebut semata-mata merupakan bagian atau konsekuensi dari

keterikatan mereka kepada atau atas sesuatu, seperti keagenan, komunitas, keanggotaan, dsb. c. Iklan untuk berlangganan apa pun melalui SMS harus juga mencantumkan cara untuk berhenti berlangganan secara jelas, mudah dan cepat.7 Dua bab diatas menunjukkan bahwa etika pariwara telah memuat etika-etika iklan pada internet dan sms. Namun, etika pariwara belum sepenuhnya mampu mengakomodir iklan dalam media baru. Hal itu karena banyak jenis-jenis media baru lainnya yang pelum termuat dalam etika pariwara seperti film, game, social media, aplikasi smartphone, dll. Bahkan untuk internet dan sms yang telah termuat di media baru pun dalam pratiknya masih banyak iklan-iklan yang melanggar dan tidak sesuai dengan etika pariwara. Contohnya saja iklan di Youtube (www.youtube.com), kerap iklan-iklan pada web tersebut muncul tiba-tiba ketika pengguna akan menyaksikan sebuah video. Bahkan ada iklan yang tidak bisa diabaikan, sehingga pengguna terpaksa harus menyaksikan iklan tersebut. Iklan semacam itu jelas melanggar etika pariwara pada bab 4.5.1 poin a, karena iklan tersebut mengganggu kebisaan atau keleluasaan khalayak untuk merambah (to browse) dan berinteraksi dengan situs terkait, dan tidak ada peringatan sebelumnya. IX. Kesimpulan Dari contoh kasus diatas, dapat disimpulkan bahwa etika pariwara belum mampu mengakomodir iklan-iklan dalam new media meskipun etika pariwara telah memuat sedikit hal menganai etika iklan di media baru. Sehingga Dewan Periklanan Indonesia diharapkan dapat memperbaiki atau melakukan revisi mengenai etika pariwara, khususnya dalam hal media baru. Dengan adanya revisi tersebut diharapkan etika pariwara dapat mengakomodir periklanan di media baru, dengan begitu para praktisi iklan akan memperhatikan etika pariwara dalam setiap proses kreatifnya. Hal itu tentu akan membuat kemajuan periklanan di Indonesia. Hal ini semata-mata tidak dapat diwujudkan dengan peran satu pihak saja. Pada sisi lain para pelaku dan praktisi periklanan pun harus menyadari akan pentingnya etika dalam setiap karya iklan yang mereka hasilkan. Suatu kesadaran akan pentingnya menjunjung tinggi etika periklanan demi terciptanya demokratisasi, supremasi hukum, dan transparansi, serta demi terciptanya lingkungan masyarakat yang harmonis, dalam bingkai ekosistem yang menunjang dan berkelanjutan.

Etika pariwara Indonesia

Daftar Pustaka
Etika Pariwara Indonesia http://www.p3i-pusat.com diunduh pada Minggu 22 Desember 2013 pukul 18.58 WIB

Etika Pariwara Indonesia dan Penerapannya


Disusun untuk memenuhi Ujian Akhir Semester Etika Komunikasi

Disusun oleh :
Prima Herdianto Primananda Adi K Thufail Abdurrahim I Made Rendika Ardia Lustira Aditya Baharuddin Robbani Ilham Galih Setiaji Iduberga Gusti Arirang 11/317885/SP/24769 08/270518/SP/23100 11/317865/SP/24751 11/317924/SP/24807 11/317926/SP/24809 11/317957/SP/24839 11/320052/SP/24940 11/312603/SP/24584

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2013

Anda mungkin juga menyukai