Anda di halaman 1dari 2

Bahan Belajar Hypercontent

Simonson, Smaldino, Albright, dan Zvacek (2005) mengemukakan bahwa

pembelajaran berbasis TIK terutama yang basisnya adalah internet pada dasarnya merupakan

pembelajaran berbasis jaringan. Salah satu sebutan yang familiar dan dikemukakan oleh

mereka adalah hypercontent-designed instruction, yakni pembelajaran yang didesain secara

terstruktur dengan menggunakan pendekatan hypercontent (Simonson, dkk, 2005:137-138).

Secara sederhana hypercontent dapat dipahami sebagai konsep yang menjalinkan satu

materi dan materi lain secara simultan dalam satu program teknologi digital tertentu. Logikanya

tidak jauh dari hypertext, yakni satu teks memuat banyak teks lain yang saling terhubung satu

sama lain. Wujud riilnya adalah menu-menu tampilan di laman website, jika di-klik maka akan

membawa pengguna (user) pada materi satu dan lainnya. Dengan kata lain: sebuah teks

sebenarnya menampung dan menghubungkan dengan teks-teks lain (hyper).

Makna hypercontent diadopsi dari pola membaca digital yang bersifat nonlinear, yakni:

(1) makna lain hypercontent ini adalah linked (tautan) dan virtual world (dunia maya). (2) pola

non linear atau acak, membaca secara digital (Prawiradilaga & Chaeruman, 2018:2).

Sebenarnya hypercontent-designed instruction ini berkarakter menengah jika

dibandingkan dengan pendekatan lain dalam pengembangan perangkat pembelajaran terutama

modul berbasis internet. Sebut saja salah satunya adalah pendekatan learner-directed design

yang betul-betul menempatkan pengguna tidak hanya menggunakan desain pembelajaran saja,

melainkan juga menjadi desainer pembelajaran, termasuk menentukan tahapan belajar dan cara

belajarnya seperti apa. Pendekatan ini juga disebut model desain pembelajaran konstruktivis

yang betul-betul memposisikan pengguna/siswa sebagai subjek belajar (Simonson et al.

2005:138). Di sini, hypercontent-designed instruction peran dan posisi siswa belum sampai

sebagai bagian dari desainer pembelajaran. Namun cukup sebagai pengguna aktif dari desain

dan perangkat pembelajaran.


Walau begitu nuansa konstruktivis dan karakteristik dunia maya yang berjejaring acak

tetap muncul. Dalam hal ini jika dikaitkan langsung dengan modul sebagai bahan ajar, maka

modul tersebut didesain secara jelas bagian-bagiannya. Termasuk disajikan menggunakan

multimedia (teks, audi, grafis, gambar, video, audio). Namun cara belajarnya tidak memaksa

siswa/mahasiswa untuk belajar secara bertahap sesuai urutan yang sudah didesain sejak awal.

Siswa bebas untuk memilih mempelajari bagian materi tertentu yang ia anggap perlu

dipelajari secara acak dan tidak berurutan (non-sequential). Cara belajar dan penggunaan

modul yang acak dan tidak berurutan inilah yang dapat dikatakan sebagai wujud dari

hypercontent (Simonson et al, 2005:139).

Anda mungkin juga menyukai