Anda di halaman 1dari 48

PERCOBAAN II

HUKUM KIRCHOFF, RANGKAIAN TIGA FASA


DAN HUBUNGAN Y (BINTANG) DAN DELTA (∆)

2.1 Tujuan
1. Mempelajari tentang hukum kirchoff
2. Mempelajari hubungan arus dan tegangan pada hubungan bintang (Y)
dan hubungan delta (∆) pada rangkaian tiga fasa.

2.2 Alat dan Bahan


1. Papan (mount) BR-3
2. Papan NO-11 (3-fase sambungan transformator)
3. Multimeter digital
4. 3-fase kabel sambungan koneksi masukan
5. Papan NO - 09 (Hukum Kirchhoff )
6. Dua output DC power supply
7. Multimeter digital (DMM)
8. Kabel koneksi

2.3 Dasar Teori


2.3.1 Hukum Kirchoff
Hukum Kirchhoff merupakan salah satu hukum dalam ilmu elektronika
yang berfungsi untuk menganalisis arus dan tegangan dalam rangkaian. Hukum
Kirchhoff terdiri dari 2 bagian yaitu hukum kirchhoff 1 dan hukum kirchhoft 2
(Khon Dickson).
Hukum Kirchhoff 1 merupakan hukum kirchhoff yang berkaitan dengan
dengan arah arus dalam menghadapi titik percabangan. Hukum Kirchhoff 1 ini
sering disebut juga dengan hukum arus kirchhoff atau kirchhoff’s current law
(KCL). Bunyi hukum kirchhoff 1 adalah sebagai berikut : “Arus total yang masuk
melalui suatu titik percabangan dalam suatu rangkaian listrik sama dengan arus
total yang keluar dari titik percabangan tersebut.”
Gambar 2.1 Hukum Arus Kirchhof (KCL)
Berdasarkan gambar 2.1 diatas dapat dibuat persamaan bahwa :
Σ Imasuk = Σ Ikeluar ............................................... (2.1)
I1 + I2 + I3 = I4 + I5 + I6 .......................................... (2.2)
Hukum kirchhoff 2 merupakan hukum kirchhoff yang digunakan untuk
menganalisis tegangan (beda potensial) komponen-komponen elektronika pada
suatu rangkaian tertutup. Hukum kirchhoff 2 ini juga dikenal dengan sebutan
hukum tegangan kirchhoff atau Kirchhoff’s Voltage Law (KVL). Bunyi hukum
kirchhoff 2 adalah sebagai berikut : “Total tegangan (beda potensial) pada suatu
rangkaian tertutup adalah nol”. Versi lain hukum 2 kirchoff yaitu pada rangkaian
tertutup jumlah aljabar gaya gerak listrik (GGL) (ε) dan jumlah penurunan
potensial (IR) sama dengan nol.

Gambar 2.2 Hukum Tegangan Kirchhoff (KVL)


Berdasarkan gambar 2.2 dapat dibuat persamaan bahwa :
Vab + Vbc + Vcd + Vda = 0 ....................................... (2.3)
Σɛ + ΣIR = 0 .............................................. (2.4)
Keterangan :
Σɛ : Jumlah gaya gerak listrik (GGL) arus (Volt)
ΣIR : Jumlah penurunan tegangan (Volt)
I : Arus listrik (Amper)
R : Hambatan (Ohm = Ω)
Terdapat perjanjian tanda untuk tegangan gaya gerak listrik (GGL) (ε):
1. Jika arah kuat arus listrik searah dengan arah loop dan kuat arus listrik
bertemu dengan kutub (+) potensial tegangan terlebih dulu, maka tanda
tegangan gerak gaya listrik adalah (+)

ε (+) ➔
Gambar 2.3 Arah Tanda Tegangan Gaya Gerak Listrik Positif
2. Jika arah kuat arus listrik searah dengan arah loop dan kuat arus listrik
bertemu dengan kutub (-) potensial tegangan terlebih dulu, maka tanda
tegangan gerak gaya listrik adalah (-).

ε (-) ➔
Gambar 2.4 Arah Tanda Tegangan Gaya Gerak Listrik Negatif
Terdapat perjanjian tanda untuk arah kuat arus listrik (I) pada penurunan potensial
tegangan (I.R):
1. Jika arah kuat arus listrik searah dengan arah loop, maka tanda kuat arus
listrik adalah (+).

I (+) ➔
Gambar 2.5 Arah Tanda Aruh Positif
2. Jika arah kuat arus listrik berlawanan arah dengan arah loop, maka tanda kuat
arus listrik adalah (-).

I(-) ➔
Gambar 2.6 Arah Tanda Aruh Negatif
Agar dapat memahami hukum tegangan kirchhoff (KVL) dan hukum arus
kirchhoff (KCL) dibawah ini sudah tersedia soal.
1. Perhatikanlah susunan kuat arus pada rangkaian listrik di bawah ini!

Gambar 2.7 Rangkaian Hukum Arus Kirchhoff (KCL)


Jika besarnya kuat arus yang mengalir pada I1 = 15 A, I2 = 4 A, I3 = 5A, I4 = 3 A,
maka berapa besar kuat arus pada I5 pada rangkaian tersebut?
Pembahasan:
Diketahui : I1 = 15 A, I2 = 4 A, I3 = 5A, I4 = 3 A
Ditanyakan: I5 =… ?
Untuk menyelesaikan soal seperti di atas, maka gunakanlah Hukum Kirchoff 1
Σ I masuk + Σ I keluar ........................................... (2.5)
I1 = I2 + I3 + I4 + I5
15 = 4+5+3+ I5
I5 = 15 – 12
I5 = 3 A
2. Hitunglah dissipasi data pada resistor resistor 20 ohm dan drop tegangan
pada semua resistor

Gambar 2.8 Rangkain Hukum Tegangan Kirchhoff (KVL)


Pembahasan :
karena ada sumber dependen, tentukan dulu nilai sumber ini
Vy = -(i) (25) = -25i
Gunakan KVL pada Loop i
ΣV = 0
Ikuti arah I (berlawanan arah jarum jam) dan perhatikan polaritas masing-masing
komponen
i (20 + 25 + 10) – 5 -2,5Vy + 20 = 0
55i + 15 – 2,5(-25i) = 0
55i + 15 + 62,5i =0
117,5i = -15
−15
I= = -0,13 A
117,5

Karena rangkaian seri, maka arus yang mengaliri semua komponen adalah sama.
Maka dissipasi daya pada resistor 20 ohm
P20Ω = i2(20) = (0,13)2 (20) = 0,338 W = 338mW
V20 Ω = (-0,13A) (20Ω) = -2,6 V
V25 Ω = (-0,13A) (25Ω) = -3,25 V
V10 Ω = (-0,13A) (10Ω) = -1,3 V
Maka rangkaiannya seperti dibawah ini (perhatikan polaritas tegangan tiap
komponen dan arah arus)

Gambar 2.9 Rangkaian Hasil Dari Perhitungan KVL

2.3.2 Rangkaian Tiga Fasa


Pada sistem tenaga listrik 3 fase, idealnya daya listrik yang dibangkitkan,
disalurkan dan diserap oleh beban semuanya seimbang, P pembangkitan = P
pemakain, dan juga pada tegangan yang seimbang. Pada tegangan yang seimbang
terdiri dari tegangan 1 fase yang mempunyai magnitude dan frekuensi yang sama
tetapi antara 1 fase dengan yang lainnya mempunyai beda fase sebesar 120°listrik,
sedangkan secara fisik mempunyai perbedaan sebesar 60°, dan dapat dihubungkan
secara bintang (Y, wye) atau segitiga (delta, Δ, D).
Jika sebuah coil diputar pada kecepatan tetap dalam sebuah medan
magnetic akan menghasilkan tegangan bolak-balik. Tegangan merupakan fungsi
waktu, kecepatan putaran dan sebuah nilai maksimum. Persamaan matematika
tegangan dapat ditulis seperti dibawah ini
V(t) = Vm sin (𝜔𝑡) ............................................... (2.6)
Keterangan :
Vm : Tegangan maksimum atau amplitude dalam volt
𝜔 : Frekuensi dalam radian perdetik
F : Frekuensi dalam jumlah siklus perdetik atau hertz per detik
Jika gulungan kawat (coil) saluran a,b dan c, masing-masing bekerja 1200, diputar
pada kecepatan yang sama serta medan magnetic yang sama, akan menghasilkan
tegangan yang sama kecuali sudut pergeseran masing-masing sebesar 1200. Secara
matematika dapat dilambangkan sebagai :
Va(t) = Vm sin (𝜔𝑡) ............................................. (2.7)
Vb(t) = Vm sin (𝜔𝑡 − 120) ................................. (2.8)
Vc(t) = Vm sin (𝜔𝑡 − 240) ................................. (2.9)

Gambar 2.10 Fasor Diagram Dari Tegangan Fasa


Tegangan RMS sinyal sinusoidal diberikan persamaan :
𝑉𝑚
V= ....................................... (2.10)
√2

Dengan menggunakan fasa sebagai sebuah acuan, system tiga fasa dapat
digambarkan dengan persamaan :
Va = V∠00, Vb = V∠-1200, Vc = V∠-2400 ................. (2.11)
2.3.3 Hubungan Bintang (Y)
Pada bagian akhir system 3 fasa dihubungkan secara bersamaan dengan
netral. Seperti pada gambar dibawah ini

Gambar 2.11 Hubungan Bintang (Y) Sistem 3 fasa


Menentukan hubungan antara tegangan saluran dan tegangan fasa dengan
persamaan.
Vab = Va – Vb
Vab = V∠00 - V∠ - V∠-1200
= V (1-1∠-120)
= V(1 – cos(120) – j sin(120))
1 √3 3 √3
= (1 − (− 2) + 𝑗 ( 2 )) = V(2 + 𝑗 ( 2 ))

Konversi kedalam bentuk polar dan pengaturan kembali bagian persamaan.


Vab = Va * √3∠300 ................................... (2.12)
Vline = √3 Vfasa = 1,73 Vfasa ............................. (2.13)
Hasil ini menyatakan bahwa : tegangan antar saluran dihubungkan pada
tegngan fasa dengan sebuah factor √3 dan masing-masing sudut fasa yang
mendahului sebesar 300. Serta arus pada saluran sama dengan arus yang mengalir
melalui fasa. Dinyatakan sebagai saluran selalu sama dengan arus fasa.
Iline = Ifasa ............................................... (2.14)
2.3.4 Hubungan Delta (∆)
Dengan tidak adanya titik netral, maka besarnya tegangan saluran
dihitung antar fase, karena tegangan saluran dan tegangan fasa mempunyai besar
magnitude yang sama, maka:
Vline = Vfase......................................... (2.15)
Tetapi arus saluran dan arus fasa tidak sama dan hubungan antara kedua arus
tersebut dapat diperoleh dengan menggunakan hukum kirchoff, sehingga:
Iline = √3 Ifase = 1,73Ifase .............................. (2.16)

Gambar 2.12 Hubungan Delta (∆) Sistem 3 Fasa


2.4 Cara Kerja
2.4.1 Hukum Kirchoff
A. Hukum Kirchoff Arus
1. Pasang papan NO – 09 pada papan rangkaian
2. Menyusun ulang instrument seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.13.
Mengatur power supply sampai DC 30V ke dan multimeter ke kisaran
DC 2A.

Gambar 2.13 Rangkaian Percobaan Hukum Kirchoff Arus


3. Menggunakan nilai yang terukur IR1 dan IR2 , tulis persamaan yang
menunjukkan hubungan antara, IR1 dan IR2 . Hitung kembali perhitungan
tersebut dengan nilai yang terukur.
Catatan:
B. Hukum Kirchoff Tegangan
1. Pasang papan NO – 09 pada papan rangkaian.
2. Atur power supply DC ke 30V. Seperti yang ditunjukkan pada gambar
2.13 dan 2.14, hubungkan output power supply untuk EB ( + , - ) terminal
pada sudut kiri atas. Atur DMM ke-2A DC dan hubungkan ke terminal
"a" dan "b".

Gambar 2.14 Rangkaian Percobaan Hukum Kirchoff Tegangan


3. Dengan menggunakan multimeter lain, ukur tegangan dari R1 dan R2.
Tulis persamaan dari EB mengingat polaritas masing-masing tegangan EB
, ER1 dan ER2.
Catatan:

4. Dari arus yang diukur, dievaluasi ke keakuratannya dari ER1 dan ER2
diperoleh pada langkah ke 3.
C. Percobaan dari Mesh Dengan Sumber Lebih dari Satu Sumber
Tegangan
1. Atur output power supply ke 12V dan 8V dan hubungkan output pada E1
dan E2 seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.15. Berhati- hatilah
dengan kutub output DC . Ukur dan catat nilai-nilai ER1, ER2 dan ER3.

Gambar 2.15 Hubungan dari Dua Pengukuran Sumber Tegangan


2. Gunakan multimeter digital, untuk mengukur arus melalui a-b ( IR1), c-d (
IR2) dan e-f ( IR3). Ketika mengukur arus dari setiap jalur, lepaskan
sementara kabel jumper.
3. Periksa kembali antara kutub 1 dan 2. Perhatikan bahwa IR1 dan IR2 pada
gambar 2.15 sama dengan I1 dan I2 pada masing-masing kutub.

2.4.2 Rangkaian Tiga Fasa


1. Pasang papan No-11 ke papan (mount). Pastikan saklar daya di bagian
kiri bawah papan dalam kondisi mati (lihat pada Gambar 2.16).
2. Konfigurasikan saklar primer dan sekunder ke “delta”.
3. Pastikan pemutus sirkuit utama dalam kondisi mati. Hubungkan jalur
input ke terminal input R, S, T pada papan NO-11.
4. Hidupkan saklar daya dan ukur tegangan fase sekunder dan isi tabel 2.1.
Atur voltmeter ke kisaran paling sedikit 300V.
Tabel 2.1 Pengukuran Tegangan Fase
Input/output konfigurasi Tegangan fase
Primer Sekunder U-V V-W W-U
Delta Delta
Delta Y
Y Y
Y Delta

Gambar 2.16 Papan Percobaan Rangkaian Tiga Fasa


5. Matikan saklar daya. Konfigurasi ulang sekunder ke “Y”. Hidupkan
saklar daya. Ukur tegangan fase dan isi Tabel 2.1.
6. Lanjutkan eksperimen untuk sisa kombinasi konfigurasi primer dan
sekunder. Selalu ingat untuk matikan saklar daya sebelum membuat
perubahan.
7. Bandingkan hasilnya dengan nilai yang diberikan pada tabel 7-1.
8. Konfigurasi kedua primer dan sekunder ke “Y” dan ukur tegangan antara
U, V, dan W ke N (netral). Jelaskan mengapa tegangan dari fase ke
netral bukanlah satu setengah dari fase ke fase tegangan.
2.5 Data Hasil Percobaan
2.5.1 Pengukuran Hukum Kirchoff Current Law’s
Tabel 2.2 Hasil Pengukuran Hukum Kirchoff Current Law’s

2.5.2 Pengukuran Hukum Kirchoff Voltage Law’s


Tabel 2.3 Hasil Pengukuran Kirchoff Voltage Law’s

2.5.3 Pengukuran Hukum Kirchoff Dengan 2 Sumber


Tabel 2.4 Hasil Pengukuran Hukum Kirchoff Dengan 2 Sumber
2.5.4 Pengukuran Tegangan Fase Pada Sisi Primer
Tabel 2.5 Hasil Pengukuran Tegangan Fase Pada Sisi Primer

2.5.5 Pengukuran Tegangan Fase Pada Sisi Sekunder


Tabel 2.6 Hasil Pengukuran Tegangan Fase Pada Sisi Sekunder

2.5.6 Pengukuran Trafo 3 Fase Sisi Sekunder


Tabel 2.7 Hasil Pengukuran Trafo 3 Fase Pada Sisi Sekunder
2.6 Analisa Hasil Percobaan
2.6.1 Hukum Kirchoff Current Law’s (KCL)
1. Perhitungan KCL Dengan Teori
Hukum Kirchhoff Arus (KCL) menyatakan bahwa jumlah arus yang
memasuki rangkaian adalah sama dengan jumlah arus yang meninggalkan
rangkaian.

Untuk memperoleh nilai 𝐼𝑅1 , dan 𝐼𝑅2 dengan nilai parameter yang telah
ditentukan dapat dihitung sebagai berikut:
1 1 1
= 𝑅 + 𝑅 ............................................................. (2.17)
𝑅𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 1 2

Itotal-IR1-IR2 = 0 .................................................... (2.18)


Itotal = IR1+IR2 ........................................................ (2.19)
E E
Itotal = RB + RB ....................................................... (2.20)
1 2

𝑇𝑒𝑜𝑟𝑖 −𝑃𝑒𝑛𝑔𝑢𝑘𝑢𝑟𝑎𝑛
% Kesalahan = | × 100%| ................ (2.21)
𝑇𝑒𝑜𝑟𝑖

Diketahui bahwa nilai 𝑅1 = 50 Ωdan 𝑅2 = 100 Ω, maka R total adalah


1 1 1 1 1 3
= + = + =
𝑅.𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑅1 𝑅2 50 100 100

𝑅𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 = 33.33 Ω
a. Untuk EB = 15 V, R1 = 50Ω dan R2 = 100Ω
EB EB EB
= R1 + R2
R total
15 15 15
= 50 + 100
33,33

0,45 = 0,3 + 0,15


Sehingga I.total = 0,45 A, IR1 = 0,3 A dan IR2 = 0,15 A
b. Untuk EB = 13 V, R1 = 50Ω dan R2 = 100Ω
EB EB EB
= + R2
R total R1
13 13 13
= 50 + 100
33,33

0,39 = 0,26 + 0,13


Sehingga I.total = 0,39 A, IR1 = 0,26 A dan IR2 = 0,13 A
c. Untuk EB = 11 V, R1 = 50Ω dan R2 = 100Ω
EB EB EB
= R1 + R2
R total
11 11 11
= 50 + 100
33,33

0,33 = 0,22 + 0,11


Sehingga I.total = 0,33 A, IR1 = 0,22 A dan IR2 = 0,11 A
d. Untuk EB = 9 V, R1 = 50Ω dan R2 = 100Ω
EB EB EB
= + R2
R total R1
9 9 9
= 50 + 100
33,33

0,27 = 0,18 + 0,09


Sehingga I.total = 0,27 A, IR1 = 0,18 A dan IR2 = 0,09 A
e. Untuk EB = 7 V, R1 = 50Ω dan R2 = 100Ω
EB EB EB
= R1 + R2
R total
7 7 7
= 50 + 100
33,33

0,21 = 0,14 + 0,07


Sehingga I.total = 0,21 A, IR1 = 0,14 A dan IR2 = 0,07 A
Dari perhitungan KCL secara teori maka dapat dibuat tabel perhitungan
sebagai berikut:
Tabel 2.8 Hasil Perhitungan KCL
Perhitungan
EB (V)
IR1 (A) IR2 (A) I.Total (A)
15 0,3 0,15 0,45
13 0,26 0,13 0,39
11 0,22 0,11 0,33
9 0,18 0,09 0,27
7 0,14 0,07 0,21
Dapat disimpulkan dari tabel 2.8 hasil perhitungan KCL semakin tinggi
Eb maka IR1, IR2 dan I.total akan semakin meningkat.

2. Tabel Perbandingan Perhitungan Dengan Pengukuran


Perbandingan hasil pengukuran dan perhitungan KCL dapat dilihat pada
tabel dibawah ini :
Tabel 2.9 Perbandingan Hasil Pengukuran dan Perhitungan KCL
EB Pengukuran Perhitungan
(V) IR1 (A) IR2 (A) IR1 (A) IR2 (A)
15 0,3 0,148 0,3 0,15
13 0,259 0,128 0,26 0,13
11 0,22 0,108 0,22 0,11
9 0,18 0,089 0,18 0,09
7 0,139 0,069 0,14 0,07

3. Persentase Kesalahan
Dari tabel 2.9 dapat dicari persentase kesalahan (|%E|) dengan
menggunakan persamaan 2.21
a. Untuk EB = 15 V, R1 = 50Ω dan R2 = 100Ω
0,3−0,3
% Kesalahan IR1 = | 𝑥100%| = 0 %
0,3
0,15−0,148
% Kesalahan IR2 = | 𝑥100%| = 1,33 %
0,15

b. Untuk EB = 13 V, R1 = 50Ω dan R2 = 100Ω


0,26−0,259
% Kesalahan IR1 = | x100%| = 0,38 %
0,26
0,13−0,128
% Kesalahan IR2 = | x100%| = 1,53 %
0,13

c. Untuk EB = 11 V, R1 = 50Ω dan R2 = 100Ω


0,22−0,22
% Kesalahan IR1 = | x100%| = 0 %
0,22
0,11−0,108
% Kesalahan IR2 = | x100%| = 1,81 %
0,11

d. Untuk EB = 9 V, R1 = 50Ω dan R2 = 100Ω


0,18−0,18
% Kesalahan IR1 = | 𝑥100%| = 0 %
0,18
0,09−0,089
% Kesalahan IR2 = | 𝑥100%| = 1,11 %
0,09

e. Untuk EB = 7 V, R1 = 50Ω dan R2 = 100Ω


0,14−0,139
% Kesalahan IR1 = | 𝑥100%| = 0,71 %
0,14
0,07−0,069
% Kesalahan IR2 = | 𝑥100%| = 1,42 %
0,07

4. Tabel Persentase Kesalahan


Dari perhitungan persentase kesalahan KCL maka dapat dibuat tabel
persentase kesalahan sebagai berikut:
Tabel 2.10 Persentase Kesalahan KCL
Pengukuran Perhitungan % Kesalahan
EB (V)
IR1 (A) IR2 (A) IR1 (A) IR2 (A) IR1 (%) IR2 (%)
15 0,3 0,14 0,3 0,15 0 1,33
13 0,259 0,13 0,26 0,13 0,38 1,53
11 0,22 0,11 0,22 0,11 0 1,81
9 0,18 0,09 0,18 0,09 0 1,11
7 0,139 0,06 0,14 0,07 0,71 1,42
Berdasarkan tabel 2.10 presentase kesalahan KCL dapat dilihat bahwa
persentase kesalahan terbesar ada pada IR1 yakni 0,00 % ,dan IR2 yakni 0,1 %,
sedangkan persentase kesalahan terkecil untuk IR1 yakni 0 %, dan IR2 yakni 0,00%.

5. Analisa Grafik
Berdasarkan table 2.10 perbandingan nilai hukum Kirchhoff tegangan
berdasarkan pengukuran dengan nilai perhitungan secara teori dapat dibuat grafik sebagai
berikut:

(a) (b)
Gambar 2.15 Grafik (a) IR1 terhadap Eb (b) IR2 terhadap Eb
Pada grafik 2.15 terlihat bahwa besarnya IR1 dan IR2, hasil pengukuran
dan IR1, dan IR2, teori sudah hampir mendekati kesamaan. Dimana garis pada setiap
grafik tersebut sama – sama meningkat apabila tegangan EB dinaikan. Pada grafik
diatas terlihat perbedaan antara data hasil percobaan dengan data secara teori, hal
ini dikarenakan adanya kesalahan oleh praktikan pada saat pengamatan
menggunakan alat ukur maupun kesalahan pada alat ukurnya karena kurang
kalibrasi atau faktor umur dari alat ukur yang digunakan.

2.6.2 Hukum Kirchoff Voltage Law’s (KVL)


1. Perhitungan KVL Dengan Teori
Hukum Kirchhof Tegangan (KVL) menyatakan bahwa tegangan yang
diberikan ke rangkaian tertutup sama dengan jumlah tegangan dalam rangkaian
itu dan jumlah aljabar dari semua tegangan sekitar rangkaian tertutup sama
dengan nol.
Berdasarkan konsep tersebut maka dapat dapat dicari nilai I, ER1 dan ER2
rangkaian diatas dengan perhitungan sebagai berikut.
EB - ER1 - ER2 =0 (2.22)

ER1 = I.R1 (2.23)

ER2 = I.R2 (2.24)

Untuk EB = 15 V, R1 = 10Ω dan R2 = 20Ω


a. Mencari Nilai I
EB - I.R1 - I.R2 =0
15 - I.10 - I.20 =0
-30I = -15
I = 0,5 A
b. Mencari Nilai ER1
ER1 = I.R1
ER1 = 0,5 . 10 =5V
c. Mencari Nilai ER2
ER2 = I.R2
ER2 = 0,5 . 20 = 10 V

Untuk EB = 13 V, R1 = 10Ω dan R2 = 20Ω


a. Mencari Nilai I
EB - I.R1 - I.R2 =0
15 - I.10 - I.20 =0
-30I = -13
I = 0,43 A
b. Mencari Nilai ER1
ER1 = I.R1
ER1 = 0,43 . 10 = 4,3 V
c. Mencari Nilai ER2
ER2 = I.R2
ER2 = 0,43.20 = 8,6 V

Untuk EB = 11 V, R1 = 10Ω dan R2 = 20Ω


a. Mencari Nilai I
EB - I.R1 - I.R2 =0
11 - I.10 - I.20 =0
-30I = -11
I = 0,367 A
b. Mencari Nilai ER1
ER1 = I.R1
ER1 = 0,367 . 10 = 3,67 V
c. Mencari Nilai ER2
ER2 = I.R2
ER2 = 0,367.20 = 7,34 V

Untuk EB = 9 V, R1 = 10Ω dan R2 = 20Ω


a. Mencari Nilai I
EB - I.R1 - I.R2 =0
9 - I.10 - I.20 =0
-30I = -9
I = 0,3 A
b. Mencari Nilai ER1
ER1 = I.R1
ER1 = 0,3 . 10 =3V
c. Mencari Nilai ER2
ER2 = I.R2
ER2 = 0,3.20 =6V

Untuk EB = 7 V, R1 = 10Ω dan R2 = 20Ω


a. Mencari Nilai I
EB - I.R1 - I.R2 =0
7 - I.10 - I.20 =0
-30I = -7
I = 0,23 A
b. Mencari Nilai ER1
ER1 = I.R1
ER1 = 0,23 . 10 = 2,3 V
c. Mencari Nilai ER2
ER2 = I.R2
ER2 = 0,23. 20 = 4,6 V

Dari perhitungan Eb secara teori dengan R1 = 10 dan R2 = 20 maka


didapatkan tabel sebagai berikut
Tabel 2.11 Hasil Perhitungan KVL
EB Perhitungan
(V) ER1 (V) ER2 (V) I (A)
15 5 10 0,5
13 4,3 8,6 0,43
11 3,67 7,34 0,367
9 3 6 0,3
7 2,3 4,6 0,23
Dapat disimpulkan dari tabel 2.11 hasil perhitungan KVL, semakin tinggi
EB (V) maka ER1, ER2 Serta I akan semakin meningkat.
2. Tabel Perbandingan Perhitungan Dengan Pengukuran
Perbandingan hasil pengukuran dan perhitungan KVL dapat dilihat pada
tabel dibawah ini :
Tabel 2.12 Perbandingan Hasil Pengukuran dan Perhitungan KVL
Pengukuran Perhitungan Teori
EB (V)
ER1 (V) ER2 (V) I (A) ER1 (V) ER2 (V) I (A)
15 5,07 9,94 0,5 5 10 0,5
13 4,3 8,58 0,43 4,3 8,6 0,43
11 3,71 7,30 0,36 3,67 7,34 0,367
9 3 5,93 0,29 3 6 0,3
7 2.3 4,6 0,23 2,3 4,6 0,23

3. Persentase Kesalahan
Dapat dicari persentase kesalahan (|%E|) dengan menggunakan
persamaan 2.21.
Untuk EB = 15 V, R1 = 10Ω dan R2 = 20Ω
0,5−0,5
% Kesalahan I =| 𝑥100%|= 0 %
0,5
5−5,07
% Kesalahan ER1 =| 𝑥100%| = 1,4 %
5
10−9,94
% Kesalahan ER2 =| 𝑥100%| = 0,6 %
10

Untuk EB = 13 V, R1 = 10Ω dan R2 = 20Ω


0,43−0,43
% Kesalahan I =| 𝑥100%| = 0 %
0,43
4,3−4,3
% Kesalahan ER1 =| 𝑥100%| = 0 %
4,3
8,6−8,58
% Kesalahan ER2 =| 𝑥100%| = 0,2 %
8,6

Untuk EB = 11 V, R1 = 10Ω dan R2 = 20Ω


0,367−0,36
% Kesalahan I =| 0,367
𝑥100%| = 1,9 %
3,67−3,671
% Kesalahan ER1 =| 𝑥100%| = 0,02 %
3,67
7,34−7,30
% Kesalahan ER2 =| 𝑥100%| = 0,5 %
7,34

Untuk EB = 9 V, R1 = 10Ω dan R2 = 20Ω


0,3−0,29
% Kesalahan I =| 𝑥100%| = 3,3 %
0,3
3−3
% Kesalahan ER1 =| 𝑥100%| = 0 %
3
6−5,93
% Kesalahan ER2 =| 𝑥100%| = 1,1 %
6

Untuk EB = 7 V, R1 = 10Ω dan R2 = 20Ω


0,23−0,23
% Kesalahan I =| 𝑥100%| = 0 %
0,23
2,3−2,3
% Kesalahan ER1 =| 𝑥100%| = 0 %
2,3
4,6−4,6
% Kesalahan ER2 =| 𝑥100%| = 0 %
4,6

4. Tabel Persentase Kesalahan


Dari perhitungan persentase kesalahan tersebut diatas maka dapat dibuat
tabel sebagai berikut:
Tabel 2.13 Persentase Kesalahan KVL
Pengukuran Perhitungan % Kesalahan
EB ER1 ER2 I ER1 ER2 I ER1 ER2 I
(V) (V) (V) (A) (V) (V) (A) (V) (V) (A)
15 5,07 9,94 0,5 5 10 0,5 1,4 0,6 0
13 4,3 8,58 0,43 4,3 8,6 0,43 0 0,2 0
11 3,71 7,30 0,36 3,67 7,34 0,367 0,02 0,5 1,9
9 3 5,93 0,29 3 6 0,3 0 1,1 3,3
7 2.3 4,6 0,23 2,3 4,6 0,23 0 0 0
Dari tabel 2.13 dapat dilihat bahwa adanya perbedaan antara ER1, ER2,
dan I teori dengan dari hasil percobaan. Dapat dilihat bahwa persentase kesalahan
terbesar ada pada ER1 yakni 1,4%, ER2 yakni 1,1 % dan I yakni 3,3 %. Sedangkan
untuk persentase kesalahan terkecil ada pada ER1 adalah 0 %, ER2 adalah 0%, dan I
yakni 0%.
5. Analisa Grafik
Berdasarkan tabel perbandingan nilai hukum Kirchhoff tegangan
berdasarkan pengukuran dengan nilai perhitungan secara teori dapat dibuat grafik
sebagai berikut:

a) b)

c)
Gambar 2.16 Grafik a) ER1 Terhadap Eb (b) ER2 Terhadap Eb (c) I Terhadap Eb
Pada grafik 2.16 terlihat bahwa besarnya ER1, ER2, dan I hasil pengukuran
dan ER1, ER2, dan I teori sudah hampir mendekati kesamaan. Dimana garis pada
setiap grafik tersebut sama – sama meningkat apabila tegangan EB dinaikan. Pada
grafik diatas terlihat perbedaan antara data hasil percobaan dengan data secara
teori, hal ini dikarenakan adanya kesalahan oleh praktikan pada saat pengamatan
menggunakan alat ukur maupun kesalahan pada alat ukurnya karena kurang
kalibrasi atau faktor umur dari alat ukur yang digunakan.
2.6.3 Hukum Kirchoff Dengan Dua Sumber Tegangan Berbeda
1. Perhitungan Dua Sumber Tegangan Dengan Teori
Pada hukum Kirchhoff dengan dua sumber berbeda rangkaian III konsep
dasar yang sama dengan rangkaian I (Gambar 2.13) tapi menggunakan 2 loop
seperti gambar berikut.

Gambar 2.17 Ilustrasi Hukum Kirchhoff dengan Dua Sumber Tegangan Berbeda
Nilai IR1, IR2, IR3, ER1, ER2, ER3 rangkaian diatas dapat dicari dengan
perhitungan sebagai berikut :
E1 - R1.I1 - R3.(I1+I2) = 0 .................................................................................. (2.25)
E2 - R2 . I2 - R3.(I1 + I2) = 0 ............................................................................... (2.26)
Untuk E1 = 12 V, E2 = 8 V, R1 = 12Ω, R2 = 4Ω dan R3 = 6Ω
a. Mencari Nilai IR1 dan IR2
E1 - R1.I1 - R3.(I1 + I2) = 0
12 – 12 I1 – 6 (I1 + I2) = 0
-18I1 - 6I2 = -12 …..(1)
E2 - R2.I2 - R3(I1 + I2) =0
8 – 4 I2 - 6(I1 + I2) =0
-6I1 - 10I2 = -8 ……(2)
Eliminasi persamaan 1 dan persamaan 2 didapat IR2 :
-18I1 - 6I2 = -12 x1 -18I1 - 6I2 = -12
-6I1 - 10I2 = -8 x3 -18I1 - 30I2 = -24_
24I2 = 12
IR2 = 0,5 A
Substitusi nilai IR2 ke persamaan 1 didapat IR1
-18I1 - 6I2 = -12
-18I1 - 6(0,5) = -12
-18I1 - 3 = -12
-18I1 = -9
IR1 = 0,5 A
b. Mencari Nilai ER1, ER2 dan ER3
ER1 = I1.R1 = 0,5.12 =6V
ER2 = I2.R2 = 0,5.4 =2V
ER3 = R3(I1 + I2) = 6(0,5 + 0,5) = 6 V
c. Mencari Nilai IR3
ER3 = I3.R3 = 6 = I3.6
IR3 =1A

Untuk E1 = 10 V, E2 = 6 V, R1 = 12Ω, R2 = 4Ω dan R3 = 6Ω


a. Mencari Nilai IR1 dan IR2
E1 - R1.I1 - R3.(I1 + I2) = 0
10 - 12I1 - 6(I1 + I2) =0
-18I1 - 6I2 = -10 ….(1)
E2 - R2.I2 - R3(I1 + I2) =0
6 - 4I2 - 6(I1 + I2) =0
-6I1 - 10I2 = -6 ….(2)
Eliminasi persamaan 1 ke persamaan 2 didapat IR2
-18I1 - 6I2 = -10 x1 -18I1 - 6I2 = -10
-6I1 - 10I2 = -6 x3 -18I1 - 30I2 = -18
24I2 =8
IR2 = 0,33 A
Substitusi nilai IR2 ke persamaan 1 didapat IR1
-18I1 - 6I2 = -10
-18I1 - 6(0,33) = -10
-18I1 - 1,98 = -10
-18I1 = - 8,02
IR1 = 0,45 A
b. Mencari Nilai ER1, ER2 dan ER3
ER1 = I1.R1 = 0,45.12 = 5,4 V
ER2 = I2.R2 = 0,33.4 = 1,32 V
ER3 = R3(I1 + I2) = 6 (0,33 + 0,45) = 4,08V
c. Mencari Nilai IR3
ER3 = I3.R3 = 4,08 = I3.6
IR3 = 0,78 A

Untuk E1 = 8 V, E2 = 4 V, R1 = 12Ω, R2 = 4Ω dan R3 = 6Ω


a. Mencari Nilai IR1 dan IR2
E1 - R1.I1 - R3(I1+I2) =0
8 - 12.I1 - 6(I1 + I2) =0
-18.I1 - 6.I2 = -8 …..(1)
E2 - R2.I2 - R3(I1 + I2) =0
4 - 4I2 - 6(I1 + I2) =0
-6I1 - 10I2 = -4 …..(2)
Eliminasi persamaan 1 ke persamaan 2 didapat IR2
-18I1 - 6I2 = -8 x1 -18I1 - 6I2 = -8
-6I1 - 10I2 = -4 x3 -18I1 - 30I2 = -12_
24I2 =4
IR2 = 0,17 A
Substitusi nilai IR2 ke persamaan 1 didapat IR1
-18I1 - 6I2 = -8
-18I1 - 6(0,17) = -8
-18I1 - 0,96 = -8
-18I1 = - 7,04
IR1 = 0,38 A
b. Mencari Nilai ER1, ER2 dan ER3
ER1 = I1.R1 = 0,38.12 = 4,56 V
ER2 = I2.R2 = 0,17.4 = 0,86 V
ER3 = R3.(I1 + I2) = 6 (0,38+0,17) = 3,3V
c. Mencari Nilai IR3
ER3 = I3.R3 = 3,3 = I3.6
IR3 = 0,55 A
Dari perhitungan percobaan hukum Kirchhoff dengan dua sumber berbeda
di atas maka dapat di buat tabel perhitungan dengan nilai sebagai berikut:
Tabel 2.14 Hasil Perhitungan Hukum Kirchhoff dengan Dua Sumber Tegangan Berbeda
Hasil Perhitungan
E1 / E2
ER1 ER2 ER3 IR1 IR2 IR3
E1 = 12V
6V 2V 6V 0,5 A 0,5 A 1A
E2 = 8V
E1 = 10V
5,4V 1,32V 4,08V 0,45A 0,33 A 0,78 A
E2 = 6V
E1 = 8V
4,56V 0,86 V 3,3V 0,38 A 0,17A 0,55 A
E2 = 4V
Dapat disimpulkan dari tabel 2.14 hasil perhitungan percobaan hukum
Kirchhoff dengan dua sumber tegangan berbeda, semakin tinggi E1 dan E2 maka
ER1, ER2 dan ER3 serta IR1, IR2 dan IR3 akan semakin meningkat.

2. Tabel Perbandingan Perhitungan Dengan Pengukuran


Perbandingan hasil pengukuran dan perhitungan percobaan hukum
Kirchhoff dengan dua sumber tegangan berbeda dapat dilihat pada tabel dibawah
ini :
Tabel 2.15 Perbandingan Hasil Pengukuran dan Perhitungan
Hasil Pengukuran Hasil Perhitungan
E1/E2
ER1 ER2 ER3 IR1 IR2 IR3 ER1 ER2 ER3 IR1 IR2 IR3
E1 = 12V
6,08 V 2,00 V 5,99 V 0,506A 0,501A 0,998 A 6V 2V 6V 0,5A 0,5A 1A
E2 = 8V
E1 = 10V
5,45 V1,323 V 4,6 V 0,454 A0,330 A 0,766 A 5,4V 1,32V 4,08V 0,45A 0,33A 0,78A
E2 = 6V
E1 = 8V
4,72 V0,692 V 3,38 V 0,394 A0,173 A 0,563 A 4,56V 0,86V 3,3V 0,38A 0,17A 0,55A
E2 = 4V
3. Persentase Kesalahan
Dari tabel 2.15 dapat dicari persentase kesalahan (|%E|) dengan
menggunakan persamaan 2.21
Untuk E1 = 12 V, E1 = 8 V, R1 = 12Ω, R2 = 4Ω dan R3 = 6Ω
6−6,08
% Kesalahan ER1 = | x100%| = 1,3 %
6
2−2,00
% Kesalahan ER2 = | x100%| = 0 %
2
6−5,99
% Kesalahan ER3 = | x100%|= 0,1 %
6
0,5−0,5
% Kesalahan IR1 = | x100%| = 0 %
0,5
0,5−0,5
% Kesalahan IR2 = | x100%| = 0 %
0,5
1−0,96
% Kesalahan IR3 = | x100%| = 4 %
1

Untuk E1 = 10 V, E1 = 6 V, R1 = 12Ω, R2 = 4Ω dan R3 = 6Ω


5,4−5,45
% Kesalahan ER1 = | x100%| = 0,9 %
5,4
1,32−1,37
% Kesalahan ER2 = | x100%| = 3,7 %
1,32
4,08−4,6
% Kesalahan ER3 = | x100%|= 12,7 %
4,08
0,45−0,45
% Kesalahan IR1 = | x100%| = 0 %
0,45
0,33−0,33
% Kesalahan IR2 = | x100%| = 0 %
0,33
0,78−0,76
% Kesalahan IR3 = | x100%| = 2,5 %
0,78

Untuk E1 = 8 V, E1 = 4 V, R1 = 12Ω, R2 = 4Ω dan R3 = 6Ω


4,56−4,72
% Kesalahan ER1 = | 𝑥100%| = 3,5 %
4,56
0,86−0,69
% Kesalahan ER2 = | 𝑥100%| = 19,7 %
0,86
3,3−3,38
% Kesalahan ER3 = | 𝑥100%|= 2,4 %
3,3
0,38−0,39
% Kesalahan IR1 = | 𝑥100%| = 2,6 %
0,38
0,17−0,17
% Kesalahan IR2 = | 𝑥100%| = 0 %
0,17
0,55−0,56
% Kesalahan IR3 = | 𝑥100%| = 1,8 %
0,55

4. Tabel Persentase Kesalahan


Dari perhitungan persentase kesalahan maka dapat dibuat tabel
persentase kesalahan sebagai berikut:
Tabel 2.16 Persentase Kesalahan
Persentase Kesalahan
E1, E2
ER1 ER2 ER3 IR1 IR2 IR3
E1=12V 1,3% 0% 0,1 % 0% 0% 4%
E2=8V
E1=10V 0,9 % 3,7 % 12,7% 0% 0% 2,5%
E2=6V
E1=8V 3,5 % 19,7 % 2,4 % 2,6 % 0% 1,8 %
E2=4V
Berdasarkan tabel 2.16 presentase kesalahan percobaan hukum Kirchhoff
Dapat dilihat bahwa persentase kesalahan terbesar ada pada ER1 yakni 3,5 % , ER2
yakni 19,7 % , dan ER3 yakni 12,7 % sedangkan untuk IR1 yakni 2,6 %, IR2 yakni 0
% , dan IR3 yakni 4%

5. Analisa Grafik

(a) (b)
(c)
Gambar 2.18 Grafik (a) ER1 Terhadap E1 (b) ER2 Terhadap E1 (c) ER3 Terhadap E1
Pada gambar 2.18 dapat dilihat grafik ER1, ER2 dan ER3 terhadap E1 dimana E1
menyesuaikan pada data hasil percobaan. Pada grafik diatas terlihat bahwa besarnya ER1,
ER2 dan ER3 hasil pengukuran dan ER1, ER2 dan ER3 data secara teori terlihat memiliki
perbedaan dimana ditunjukkan dengan posisi ketiga garis yang tidak berhimpit sama
persis. Ketiga garis pada setiap grafik tersebut sama – sama meningkat untuk kenaikan
tegangan E1. Perbedaan antara data hasil percobaan dengan data secara teori dikarenakan
adanya kesalahan praktikan dalam membaca skala hasil pengukuran dank arena kurang
presisinya alat ukur yang digunakan.

(a) (b)

(c)
Gambar 2.19 Grafik (a) IR1 Terhadap E2 (b) IR2 Terhadap E2 (c) IR3 Terhadap E2
Pada gambar 2.19 dapat dilihat grafik ER1, ER2 dan ER3 terhadap E2 dimana E2
menyesuaikan pada data hasil percobaan. Pada grafik diatas terlihat bahwa besarnya ER1,
ER2 dan ER3 hasil pengukuran dan ER1, ER2 dan ER3 data secara teori terlihat memiliki
perbedaan dimana ditunjukkan dengan posisi ketiga garis yang tidak berhimpit sama
persis. Ketiga garis pada setiap grafik tersebut sama – sama meningkat untuk kenaikan
tegangan E2. Perbedaan antara data hasil percobaan dengan data secara teori dikarenakan
adanya kesalahan praktikan dalam membaca skala hasil pengukuran dan karena kurang
presisinya alat yang digunakan.

2.6.4 Tegangan Antar Fase Transformator Primer


1. Perhitungan Secara Teori
Pada percobaan telah ditentukan bahwa besarnya tegangan pada
transformator primer adalah sebesar 380 V. Sehingga pada besarnya tegangan
primer pada hubungan R-S-T baik secara bintang atau delta memiliki besar Vp
secara teori yang sama yaitu 380V.
Berdasarkan hasil perhitungan secara teori, maka akan didapatkan tabel
hasil perhitungan tegangan primer secara teori sebagai berikut:
Tabel 2.17 Hasil Perhitungan Tegangan Primer Teori
Konfigurasi input/output Tegangan Primer Teori (V)
Primer Sekunder R-S S-T T-R
∆ ∆ 380 380 380
∆ Y 380 380 380
Y Y 380 380 380
Y ∆ 380 380 380

2. Tabel Perbandingan Dengan Percobaan


Perbandingan antara perhitungan tegangan fase transformator
primersecara teori dengan hasil pengukuran dapat dilihat pada tabel sebagai
berikut:
Tabel 2.18 Perbandingan Tegangan Fase Transformator Secara Teori dan Pengukuran
Konfigurasi Tegangan Primer Tegangan Primer
input/output Teori (V) Pengukuran (V)
Primer Sekunder R-S S-T T-R R-S S-T T-R
∆ ∆ 380 380 380 369,2 375,1 383,6
∆ Y 380 380 380 369,7 376,4 383,5
Y Y 380 380 380 368,8 376,1 383,6
Y ∆ 380 380 380 368,2 376,3 383,8

3. Perhitungan Persentase Kesalahan


Dari tabel 2.20 didapatkan perbedaan data hasil teori dengan pengukuran
sehingga dapat dicari persentase kesalahan relatifnya dengan menggunakan
persamaan 2.21 :
A. Untuk Tegangan Antar Fase R-S
1) Untuk ∆ dan ∆
380−369,2
% Kesalahan = | 380
| × 100 % = 2,84 %

2) Untuk ∆ dan Y
380 − 369,7
% Kesalahan = | | × 100 % = 2,71 %
380
3) Untuk Y dan Y
380 − 368,8
% Kesalahan = | | × 100 % = 2,94 %
380
4) Untuk Y dan ∆
380 − 368,2
% Kesalahan = | | × 100 % = 3,10 %
380

B. Untuk Tegangan Antar Fase S-T


1) Untuk ∆ dan ∆
380 − 375,1
% Kesalahan = | | × 100 % = 1,28 %
380
2) Untuk ∆ dan Y
380 − 376,4
% Kesalahan = | | × 100 % = 0,94 %
380
3) Untuk Y dan Y
380 − 376,3
% Kesalahan = | | × 100 % = 0,97 %
380
4) Untuk Y dan ∆
380 − 376,4
% Kesalahan = | | × 100 % = 0,94%
380

C. Untuk Tegangan Antar Fase T-R


1) Untuk ∆ dan ∆
380 − 383,6
% Kesalahan = | | × 100 % = 0,94 %
380
2) Untuk ∆ dan Y
380 − 383,5
% Kesalahan = | | × 100 % = 0,92 %
380
3) Untuk Y dan Y
380 − 383,6
% Kesalahan = | | × 100 % = 0,94 %
380
4) Untuk Y dan ∆
380 − 383,8
% Kesalahan = | | × 100 % = 1%
380

5. Tabel Persentase Kesalahan


Berdasarkan perhitungan persentase kesalahan relatif terhadap hasil
pengukuran dengan hasil perhitungan secara teori, maka didapatkan tabel
persentase kesalahan relatifnya sebagai berikut:
Tabel 2.19 Persentase Kesalahan Relatif Tegangan Antar FaseTransformator Primer
Konfigurasi Tegangan Primer Tegangan Primer Kesalahan Relatif
Input/Output Teori (V) Pengukuran (V) (%)

Primer Sekunder R-S S-T T-R R-S S-T T-R R-S S-T T-R
∆ ∆ 380 380 380 372.1 376.7 382.1 2,84 1,28 0,94
∆ Y 380 380 380 371.4 376.1 381.8 2,71 0,94 0,92
Y Y 380 380 380 371.5 376.1 382.6 2,94 0,97 0,94
Y ∆ 380 380 380 371.4 376.4 382.7 3,10 0,94 1
Berdasarkan tabel 2.19 dapat dilihat bahwa pada konfigurasi input/output
(∆-∆) besarnya persentase kesalahan pada tegangan primer dengan hubungan R-S
adalah 2,84%, pada hubungan S-T adalah 1,28 % dan pada hubungan T-R adalah
0,94 %. Pada konfigurasi input/output (∆-Y) besarnya persentase kesalahan pada
tegangan primer dengan hubungan R-S adalah 2,71 %, pada hubungan S-T adalah
0,94 % dan pada hubungan T-R adalah 0,92 %. Pada konfigurasi input/output (Y-
Y) besarnya persentase kesalahan pada tegangan primer dengan hubungan R-S
adalah 2,94%, pada hubungan S-T adalah 0,97 % dan pada hubungan T-R adalah
0,94 %. Pada konfigurasi input/output (Y-∆) besarnya persentase kesalahan pada
tegangan primer dengan hubungan R-S adalah 3,10 %, pada hubungan S-T adalah
0,94 % dan pada hubungan T-R adalah 1 %. Persentase kesalahan terbesar
terdapat pada hubungan R-S pada konfigurasi input/output (Y-∆) dengan besar
persentasenya adalah 2,78 %.

6. Analisa Grafik
Berdasarkan tabel 2.19 dapat dibuat grafik perbandingan antara
perhitungan tegangan sekunder secara teori dengan hasil pengukuran sebagai
berikut :

(a) (b)
(c)
Gambar 2.20 Grafik Perbandingan Teori dan Percobaan (a) Fase R-S (b) Fase S-T
(c) Fase T-R
Pada grafik 2.20 dapat dilihat bahwa garis yang berwarna merah
menunjukkan besarnya tegangan primerhasil pengukuran sedangkan garis yang
berwarna biru menunjukkan besarnya tegangan primer hasil perhitungan secara
teori. Berdasarkan grafik 2.20 besarnya tegangan primer berdasarkan hasil
pengukuran dengan perhitungan secara teori sudah hampir mendekati kesamaan,
dimana kedua garis pada setiap grafik tersebut sama – sama meningkat
berdasarkan nilai konfigurasi input/outputnya. Terdapat perbedaan antara data
hasil percobaan dengan data secara teori yang tidak terlalu signifikan dimana
perbedaan data hasilini dikarenakan kurangnya ketelitian praktikan pada saat
pengamatan menggunakan alat ukur dan disebabkan karena umur alat yang sudah
tua.

2.6.5 Tegangan Antar Fase Transformator Sekunder


1. Perhitungan Secara Teori
Hubungan Delta atau Y dapat diterapkan pada transformator tiga fase
yang memiliki tiga lilitan baik untuk primer atau sekunder, dimana akan
menghasilkan empat kombinasi yang memungkinkan, sehingga akan dibuat
hubungan tegangan primer dan sekunder antar fase seperti tabel 2.22.
Tabel 2.20 Hubungan Tegangan Pimer dan Sekunder Rangkaian 3 Fase (Np/Ns = 1)
Primer Sekunder Tegangan Sekunder (Vs)
Delta Delta VS=VP
2
Delta Y VS = √3 ×VP
Y Y VS = VP
Vp
Y Delta VS = 2
√3

Berdasarkan tabel 2.20, dapat dihitung besarnya tegangan yang terdapat


pada trasnformator primer dan sekunder pada rangkaian 3 fasa sebagai berikut.
A. Tegangan Antar Fase R-S
1) Hubungan ∆ dan ∆
VS = VP, sehingga VS = 380 V
2) Hubungan ∆ dan Y
2 2
VS = √3 × Vp = √3 × 380V = 658,17 V
3) Hubungan Y dan Y
VS = VP, sehingga VS = 380 V
4) Hubungan Y dan ∆
Vp 380
VS = 2 = 2 = 219,39 V
√3 √3

B. Tegangan Antar Fase S-T


1) Hubungan ∆ dan ∆
VS = VP, sehingga VS = 380 V
2) Hubungan ∆ dan Y
2 2
VS = √3 × Vp = √3 × 380 = 658,17 V
3) Hubungan Y dan Y
VS = VP, sehingga VS = 380V
4) Hubungan Y dan ∆
Vp 380
VS = 2 = 2 = 219,39 V
√3 √3
C. Tegangan Antar Fase T-R
1) Hubungan ∆ dan ∆
VS = VP, sehingga VS = 380 V
2) Hubungan ∆ dan Y
2 2
VS = √3 × VP = √3 × 380 = 658,17 V
3) Hubungan Y dan Y
VS = VP, sehingga VS = 380 V
4) Hubungan Y dan ∆
Vp 388,6
VS = 2 = 2 = 219,39 V
√3 √3

2. Tabel Perhitungan
Dari perhitungan diatas, maka akan didapatkan tabel hasil perhitungan
tegangan sekunder secara teori sebagai berikut:
Tabel 2.21 Hasil Perhitungan Tegangan Sekunder Teori
Konfigurasi input/output Tegangan Sekunder Teori (V)
Primer Sekunder R-S S–T T–R
∆ ∆ 380 380 380
∆ Y 658,17 658,17 658,17
Y Y 380 380,0 380
Y ∆ 219,39 219,39 219,39

3. Tabel Perbandingan dengan Percobaan


Perbandingan Tegangan Fasa Transformator Secara Teori dan Pengukuran
Tabel 2.22 Perbandingan Tegangan Fasa Transformator Secara Teori dan Pengukuran
Konfigurasi Tegangan Sekunder Tegangan Sekunder
input/output Teori (V) Pengukuran (V)
Primer Sekunder R–S S–T T–R R–S S-T T–R
∆ ∆ 380 380 380 359,3 363.4 356,2
∆ Y 658,17 658,17 658,17 642 622 621
Y Y 380 380,0 380 365,7 368,9 377.9
Y ∆ 219,39 219,39 219,39 214.5 210.4 216.4
4. Perhitungan Persentase Kesalahan
Berdasarkan perbedaan hasil data teori dengan percobaan pada tabel 2.22
dapat dicari persentase kesalahan relatif dengan menggunakan persamaan 2.21
sebagai berikut:
A. Untuk Tegangan Antar Fasa R-S
1) Untuk ∆ dan ∆
380 − 359,3
% Kesalahan = | | × 100 % = 5,44 %
380
2) Untuk ∆ dan Y
658,17 − 642
% Kesalahan = | | × 100 % = 2,45%
658,17
3) Untuk Y dan Y
380 − 365,7
% Kesalahan = | | × 100 % = 3,76 %
380
4) Untuk Y dan ∆
219,39 − 214,5
% Kesalahan = | | × 100 % = 2,22 %
219,39

B. Untuk Tegangan Antar Fasa S-T


1) Untuk ∆ dan ∆
380 − 363,4
% Kesalahan = | | × 100 % = 4,36 %
380
2) Untuk ∆ dan Y
658,17 − 622
% Kesalahan = | | × 100 % = 5,49 %
658,17
3) Untuk Y dan Y
380 − 368,9
% Kesalahan = | | × 100 % = 2,92 %
380
4) Untuk Y dan ∆
219,39 − 210,4
% Kesalahan = | | × 100 % = 4,09 %
219,39
C. Untuk Tegangan T-R
1) Untuk ∆ dan ∆
380 − 356,2
% Kesalahan = | | × 100 % = 6,26 %
380
2) Untuk ∆ dan Y
658,17 − 621
% Kesalahan = | | × 100 % = 5,64 %
658,17
3) Untuk Y dan Y
380 − 377,9
% Kesalahan = | | × 100 % = 0,55 %
380
4) Untuk Y dan ∆
219,39 − 216,4
% Kesalahan = | | × 100 % = 1,36 %
219,39

5. Tabel Persentase Kesalahan


Berdasarkan perhitungan persentase kesalahan relatif diatas, maka
didapatkan tabel persentase kesalahan relatifnya sebagai berikut:
Tabel 2.23 Persentase Kesalahan Relatif Tegangan Antar FaseTransformator Sekunder
Konfigurasi Tegangan Sekunder Tegangan Sekunder Kesalahan Relatif
Input/Output Teori (V) Pengukuran (V) (%)
Primer Sekunder R-S S–T T–R R–S S-T T–R R–S S–T T–R

367.
∆ ∆ 380 380 380 360.1 358 5,44 4,36 6,26
4
658,1 658,1 658,1
∆ Y 643 625 625 2,45 5,49 5,64
7 7 7
Y Y 380 380 380 368 370 378.9 3,76 2,92 0,55
219,3 219,3 219,3 213.
Y ∆ 215.7 216.4 2,22 4,09 1,36
9 9 9 4

Berdasarkan tabel 2.23 dapat dilihat bahwa pada konfigurasi input/output


(∆-∆) besarnya persentase kesalahan pada tegangan sekunder dengan hubungan R-
S adalah 5,44 %, pada hubungan S-T adalah 4,36 % dan pada hubungan T-R
adalah 6,26 %. Pada konfigurasi input/output (∆-Y) besarnya persentase
kesalahan pada tegangan sekunder dengan hubungan R-S adalah 2,45 %, pada
hubungan S-T adalah 5,49 % dan pada hubungan T-R adalah 5,64 %. Pada
konfigurasi input/output (Y-Y) besarnya persentase kesalahan pada tegangan
sekunder dengan hubungan R-S adalah 3,76 %, pada hubungan S-T adalah 2,92 %
dan pada hubungan T-R adalah 0,55 %. Pada konfigurasi input/output (Y-∆)
besarnya persentase kesalahan pada tegangan sekunder dengan hubungan R-S
adalah 2,22 %, pada hubungan S-T adalah 4,09 % dan pada hubungan T-R adalah
1,36 %.

6. Analisa Grafik
Berdasarkan tabel 2.23 dapat dibuat grafik perbandingan antara
perhitungan tegangan sekunder secara teori dengan hasil pengukuran sebagai
berikut :

(a) (b)

(c)
Gambar 2.21 Grafik Perbandingan Teori dan Percobaan (a) Fase R-S (b) Fase S-T
(c) Fase T-R
Pada grafik 2.21 dapat dilihat bahwa garis yang berwarna merah
menunjukkan besarnya tegangan sekunderhasil pengukuran sedangkan garis yang
berwarna biru menunjukkan besarnya tegangan sekunder hasil perhitungan secara
teori. Berdasarkan grafik 2.21 besarnya tegangan sekunder berdasarkan hasil
pengukuran dengan perhitungan secara teori sudah hampir mendekati kesamaan,
dimana kedua garis pada setiap grafik tersebut sama – sama meningkat
berdasarkan nilai konfigurasi input/outputnya. Terdapat perbedaan antara data
hasil percobaan dengan data secara teori yang tidak terlalu signifikan dimana
perbedaan data hasil ini dikarenakan kurangnya ketelitian praktikan pada saat
pengamatan menggunakan alat ukur dan disebabkan karena umur alat yang sudah
tua.

2.6.6 Analisa Tegangan Fase ke Netral pada Hubungan Y dan Y


1. Perhitungan Secara Teori
1
Nilai tegangan fase ke netral (VLN) bukan kali tegangan antar fase
√3

(VLL) karena adanya perbedaan sudut sebesar −30° antara tegangan fase ke netral
dengan tegangan antar fase yang dapat dirumuskan sebagai berikut.
VLL
VLN = ∠ − 30° ................................................... (2.16)
√3

Berdasarkan persamaan 2.16 maka nilai tegangan fase ke netral


transformator sekunder pada hubungan Y-Y dapat dihitung sebagai berikut.
A. Fase U-N
VLL 372
VLN = = = 214,8 V
√3 √3

B. Fase V-N
VLL 376
VLN = = = 217,1 V
√3 √3

C. Fase W-N
VLL 379,1
VLN = = = 218,9 V
√3 √3

2. Tabel Perhitungan
Berdasarkan hasil perhitungan secara teori, maka akan didapatkan tabel
hasil perhitungan tegangan fase ke netral transformator sekunder pada hubungan
Y-Y secara teori sebagai berikut.
Tabel 2.24 Hasil Perhitungan Tegangan Fase ke Netral Transformator Sekunder (Y-Y)
Konfigurasi Perhitungan
Input/Output Tegangan Fase (V)
Primer Sekunder R-S S-T T-R
Y Y 213,9 217,6 218,5

3. Tabel Perbandingan Perhitungan dengan Percobaan


Perbandingan antara perhitungan teganganfase netral transformator
sekunder pada hubungan Y-Y secara teori dengan hasil pengukuran dapat dilihat
pada tabel berikut.
Tabel 2.25 Perbandingan Hasil Perhitungan dan Percobaan Tegangan Fase ke Netral
Transformator Sekunder (Y-Y)
Konfigurasi Perhitungan Percobaan
Input/Output Tegangan Fase (V) Tegangan Fase (V)
Primer Sekunder R-S S-T T-R R-S S-T T-R
Y Y 214,8 217,1 218,9 213.9 217,6 218,5

4. Perhitungan Persentase Kesalahan


Besar persentase kesalahan (%Kesalahan) pengukuran dengan
perhitungan secara teori dapat dicari dengan menggunakan persamaan 2.21.
A. Untuk Tegangan Fase R-S
214,8−215,9
% Kesalahan = | 𝑥100%| = -0,51 %
214,8

B. Untuk Tegangan Fase S-T


217,1−211,6
% Kesalahan = | 217,1
𝑥100%| = 2,53 %

C. Untuk Tegangan Fase T-R


218,9−218,5
% Kesalahan = | 218,9
𝑥100%| = 0,18 %

5. Tabel Persentase Kesalahan


Perbandingan besar persentase kesalahan teganganfase ke netral pada
transformator sekunder hubungan Y-Y berdasarkan hasil pengukuran dengan hasil
perhitungan secara teori dapat dilihat pada tabel 2.25 berikut.
Tabel 2.26 Persentase Kesalahan pada Percobaan TeganganFase ke Netral
TransformatorSekunder (Y-Y)
Konfigurasi Perhitungan Percobaan % Kesalahan
Input/Output Tegangan Fase (V) Tegangan Fase (V) Tegangan Fase
P S R-S S-T T-R R-S S-T T-R R-S S-T T-R
214, 217, 215, 211, 218, -0,51 2,53
Y Y 218,9 0,18 %
8 1 9 6 5 % %
Keterangan:
P= Primer S= Sekunder

6 Analisis Grafik
Berdasarkan tabel 2.25 dapat dibuat grafik sebagai berikut :

Gambar 2.22 Grafik Perbandingan Tegangan Fase Netral Teori dan Percobaan
Berdasarkan grafik 2.22 terlihat garis berwarna biru yang merupakan
nilai dari tegangan transformator sekunder fase netral berdasarkan hasil
perhitungan sedangkan garis warna merah menunjukkan nilai dari tegangan
transformator sekunder fase netral berdasarkan hasil percobaan dimana nilai data
hasil pengukuran sudah mendekati nilai data hasil perhitungan secara teori.
2.7 Simpulan
1. Pada Hukum Kirchhoff Tegangan, arus yang mengalir melalui rangkaian
hambatan yang disusun secara seri adalah sama, tetapi tegangan pada setiap
hambatan adalah berbeda. Besarnya tegangan pada hambatan tergantung
pada besarnya nilai hambatan yang digunakan. Semakin besar hambatan dan
arus yang mengalir pada rangkaian maka akan semakin besar tegangan yang
mengalir pada rangkaian tersebut.
2. Pada Hukum Kirchhoff Arus, tegangan pada rangkain hambatan yang
disusun secara paralel adalah sama, tetapi arus yang mengalir pada setiap
hambatan tidaklah sama. Besarnya arus yang mengalir pada hambatan
tergantung pada kecilnya hambatan yang digunakan dibandingkan dengan
hambatan tetangganya. Semakin kecil hambatan yang digunakan dan
semakin besar selisih antara hambatan yang digunakan dengan hambatan
tetangganya, maka semakin besar arus yang mengalir ke hambatan tersebut
3. Pada analisa node salah satu node dipilih sebagai node referensi yang
tegangan diasumsikan nol dan tegangan node lainnya dinyatakan
sehubungan dengan simpul node referensi. Pada percobaan Hukum
Kirchhoff dengan dua sumber berbeda dapat diselesaikan dengan metode
analisa mesh dan dengan metode analisa node dimana pada percobaan
dengan menggunakan metode analisa mesh, semakin besar jumlah tegangan
dalam suatu rangkaian maka akan semakin besar arus yang dihasilkan pada
rangkaian tersebut.
4. Terdapat perbedaan data hasil pengukuran dengan data hasil perhitungan
secara teori, dimana perbedaan data hasil ini disebabkan karena kurangnya
ketelitian praktikan dalam pengamatan selama percobaan serta kesalahan
pada alat ukur yang disebabkan karena perubahan nilai tahanan dalam alat
ukur akibat adanya faktor usia dari alat ukur tersebut.
5. Nilai hasil pengukuran pada saat praktikum dan nilai hasil perhitungan
secara teori sudah hampir hal tersebut dapat dibuktikan dengan perhitungan
secara teori.
6. Pada percobaan tegangan antar fase pada transformator sisi primer dapat
diketahui bahwa tegangan dari hasil pengukuran nilainya mendekati nilai
perhitungan secara teori yaitu 380 V pada semua konfigurasi sehingga
memiliki persentase kesalahan yang kecil pada fase R-S, S-T dan T-R.
7. Pada percobaan tegangan antar fase pada transformator sisi sekunder dapat
diketahui bahwa tegangan dari hasil pengukuran nilainya mendekati nilai
perhitungan secara teori. Pada saat konfigurasi ∆-Y fase sekunder, secara
teori tegangannya bernilai 658,17 V sehingga dapat dikatakan bahwa
hubungan ∆-Y merupakan transformator jenis step up. Sedangkan pada saat
konfigurasi Y-∆ dengan perhitungan secara teori tegangannya bernilai
219,39 V sehingga hubungan Y-∆ masuk ke dalam jenis transformator step
down.
8. Pada percobaan tegangan fase ke netral transformator sekunder pada
hubungan Y-Y dapat disimpulkan bahwa tegangan hasil dari pengukuran
nilainya mendekati 219 V. Hal ini sesuai dengan persamaan 2.2.6, dimana
besarnya tegangan antar fase pada transformator sisi sekunder dibagi dengan
√3 atau 1,732. Karena nilai hasil pengukuran mendekati nilai teori maka
nilai persentase kesalahan pada fase R-S, S-T, T-R yang dimiliki kecil.
DAFTAR PUSTAKA

Animo (2015). Hukum Kirchoff. https://www.ahlipengertian.com/hukum-


kirchoff/. Diakses pada tanggal 21 Oktober 2018
Aulia Al, (2015). Rangkaian 3 Fasa.
https://www.academia.edu/7307565/1._Rangkaian_3_fasa. Diakses pada
tanggal 22 Oktober 2018.
Aninom,(2015). Penjelasan Hukum 1 dan 2 Kirchoff.
https://blog.ruangguru.com/penjelasan-hukum-i-dan-ii-kirchoff. Diakses pada
tanggal 20 Oktober 2018.
Dickhon,cho (2015). Pengertian Bunyi Hukum Kirchoff 1 dan 2.
https://teknikelektronika.com/pengertian-bunyi-hukum-kirchhoff-1-2/.
Diakses pada tanggal 19 Oktober 2018
Tiana (2013). Rahasia 3 Fasa Ilmu Dasar 3 Fasa.
http://tianaberbagi.blogspot.com/2013/07/rahasia-3-fasa-ilmu-dasar-3-
fasa.html. Diakses pada tanggal 21 Oktober 2018.

Anda mungkin juga menyukai