Anda di halaman 1dari 17

PENDEKATAN RAWAN PANGAN DAN GIZI:

BESARAN, KARAKTERISTIK, DAN PENYEBABNYA

Food and Nutrition Insecurity Approach: Volumes, Characteristics and Causes

Tri Bastuti Purwantini

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian


Jl. A. Yani No. 70, Bogor 16161
E-mail: tribastuti_p@yahoo.co.id

Naskah diterima: 17 Januari 2014; direvisi: 27 Maret 2014; disetujui terbit: 7 April 2014

ABSTRACT

Human Development Index (HDI) on development trend during 1980-2012 in Indonesia improved, but food
insecurity is still frequently found and prone to chronic malnutrition. The paper aims to analyze the magnitude and
characteristics of food insecurity and nutrition vulnerability as well as to identify their causes. Thus, it is expected
that the incident case management can be handled earlier. Periodically performing and updating food and
nutrition insecurity mapping are very relevant. The level of food insecurity and malnutrition in Indonesia is almost
high. In relation to the MDG target, conditions are still far from the targeted magnitude. It requires a breakthrough
in reducing the prevalence of malnutrition among infants and energy deficit population. In addition, it needs
sustainable food supply by increasing food production through food self-sufficiency. Thus, food and nutrition
security approach is alternative to implement for handling food insecurity and malnutrition by increasing cross-
sector synergy.

Keywords: food insecurity, nutrition insecurity, characteristics

ABSTRAK

Selama 1990-2012 trend perkembangan Human Development Index (HDI) di Indonesia membaik, namun masih
banyak kejadian rawan pangan maupun rawan gizi kronis. Tulisan ini bertujuan menganalisis besaran, identifikasi
dan karakteristik rawan pangan dan rawan gizi serta penyebabnya. Dengan demikian diharapkan akan lebih dini
dalam penanganan kasus kejadian tersebut. Pemutakhiran pemetaan kerawanan/kerentanan pangan dan gizi
secara berkala sangat relevan dilakukan. Data empirik menunjukkan bahwa tingkat kerawanan pangan dan gizi di
Indonesia tergolong mendekati tinggi. Dikaitkan dengan target sasaran dari MDGs, kondisi tersebut masih jauh
dari besaran yang ditargetkan. Untuk itu perlu terobosan dalam menurunkan prevalensi rawan pangan dan gizi
kronis, yakni menurunkan prevalensi gizi kurang pada balita dan penduduk yang defisit energi. Selain itu, perlu
adanya penyediaan pangan yang berkelanjutan dengan meningkatkan produksi pangan melalui kemandirian
pangan. Mengingat pentingnya perwujudan ketahanan pangan dan gizi, maka ke depan diharapkan pendekatan
ketahanan pangan harus dipadukan dengan pendekatan penanganan masalah gizi. Dengan demikian
pendekatan ketahanan pangan dan gizi menjadi alternatif untuk diimplementasikan dalam penanganan masalah
rawan pangan dan gizi dengan meningkatkan sinergi lintas sektor.

Kata kunci: rawan pangan, rawan gizi, karakteristik

PENDAHULUAN kelaparan dan kekurangan gizi di Afrika dan


Asia yang masih marak mendorong lembaga
itu membentuk inisiatif untuk secepatnya mem-
Salah satu tujuan dalam kesepakatan global bantu negara-negara miskin mengakhiri terja-
yang dituangkan dalam Millenium dinya kelaparan dan kurang gizi pada anak,
Development Goals (MDG) adalah menurun- atau Ending Child Hunger and Under Nutrition
kan angka kemiskinan atau kelaparan sete- Initiative (ECHUI) (Soekirman, 2007). Fenome-
ngahnya antara tahun 1990-2015. Masalah na itu makin mendorong lembaga gizi PBB

PENDEKATAN RAWAN PANGAN DAN GIZI: BESARAN, KARAKTERISTIK, DAN PENYEBABNYA Tri Bastuti Purwantini

1
mencari terobosan-terobosan baru dalam prevalensi gizi kurang pada balita di Indonesia
mengatasi masalah gizi. Salah satu caranya, mencapai 19,6 persen (Badan Litbangkes,
adalah menganjurkan negara-negara berkem- 2013), dibanding kondisi pada tahun 2010
bang lebih konsepsional dan menggunakan (17,9%) prevalensi gizi kurang pada balita me-
data ilmiah dalam menyusun kebijakan dan ningkat 1,7 persen. Kondisi tersebut bervariasi
program gizi. antar provinsi, dimana dua provinsi yang
prevalensinya sangat tinggi (>30%) adalah
Di Indonesia, upaya memantapkan ke- NTT dan Papua Barat. Ini berarti masalah gizi
tahanan pangan merupakan prioritas utama kurang di Indonesia termasuk kategori mende-
pembangunan. Sebagai salah satu negara kati prevalensi tinggi. Kondisi demikian benar-
yang memiliki komitmen untuk menurunkan benar memprihatinkan karena dalam pertum-
kemiskinan, Indonesia telah melakukan berba- buhannya, otak anak-anak tidak akan berkem-
gai upaya untuk mendukung tercapainya kese- bang, cacat, dan tak akan pernah bisa dipulih-
pakatan tersebut. Di sisi lain, kerawanan pa- kan, sehingga lost generation menghantui
ngan dan gizi sangat terkait dengan kualitas masa depan bangsa ini. Bila hal ini dibiarkan
sumber daya manusia. Dengan demikian, me- terjadi maka akan dapat mengganggu kelang-
ngabaikan masalah kerawanan pangan dan sungan berbagai kepentingan bangsa dan
gizi berarti mengabaikan kualitas sumber daya negara (Bappenas, 2011).
manusia Indonesia. Trend perkembangan
Human Development Index (HDI) dari tahun Kejadian rawan pangan menjadi ma-
1980-2012 meningkat sebesar 49 persen atau salah yang sangat sensitif dalam dinamika
rata-rata 1,5 persen per tahun dari 0,422 naik kehidupan sosial politik. Menurut Hardinsyah
menjadi 0,629. Meningkatnya kualitas sumber- et al. (1999), kejadian rawan pangan dan gizi
daya manusia (SDM) akan meningkatkan pro- buruk mempunyai makna politis yang negatif
duktivitas dan sekaligus meningkatkan daya bagi penguasa, bahkan di beberapa negara
saing SDM yang pada akhirnya diharapkan berkembang krisis pangan dapat menjatuhkan
dapat memperbaiki status sosial ekonomi pemerintah yang sedang berkuasa. Belajar
masyarakat (Kemenkes, 2012) dari pengalaman tersebut adalah penting untuk
Kebijakan peningkatan ketahanan pa- menganalisis wilayah rawan pangan dan ra-
ngan yang ditetapkan dalam kerangka pemba- wan gizi kronis serta penyebabnya. Oleh
ngunan nasional berimplikasi bahwa pengkaji- karena itu, perlu adanya informasi mengenai
an ketahanan pangan sebagai tolok ukur besaran, karakteristik rawan pangan dan ra-
keberhasilan pembangunan menjadi penting wan gizi, serta penyebabnya. Tulisan ini ber-
(Soetrisno, 1997). Membahas ketahanan pa- tujuan mereview dan menganalisis besaran,
ngan dan juga kerawanan pangan pada dasar- identifikasi dan karakteristik rawan pangan dan
nya juga membahas hal-hal yang menyebab- rawan gizi, serta faktor penyebab dan pena-
kan orang tidak tercukupi kebutuhan pangan- nganannya.
nya. Tidak tercukupinya kebutuhan pangan di-
pengaruhi oleh ketersediaan pangan, distribu-
si, dan akses terhadap pangan. KONSEP DAN DEFINISI
RAWAN PANGAN DAN GIZI
Persediaan pangan yang cukup se-
cara nasional maupun regional tidak menjamin
adanya ketahanan pangan rumah tangga/ Badan Ketahanan Pangan (BKP, 2013)
individu. Studi Saliem et al. (2001) menun- mendefinisikan bahwa kerawanan pangan
jukkan bahwa walaupun rata-rata ketahanan adalah suatu kondisi ketidakcukupan pangan
pangan di tingkat regional (provinsi) tergolong yang dialami daerah, masyarakat atau rumah
tahan pangan terjamin, namun di provinsi yang tangga, pada waktu tertentu untuk me-menuhi
bersangkutan masih ditemukan rumah tangga standar kebutuhan fisiologis bagi per-
yang tergolong rawan pangan dengan proporsi tumbuhan dan kesehatan masyarakat. Semen-
relatif tinggi. tara itu, menurut Sumarmi (2014) bahwa istilah
Selama 2010-2012 diprediksi terdapat rawan pangan (food insecurity) merupakan
870 juta orang atau sekitar 12,5 persen dari kondisi kebalikan dari “ketahanan pangan”
populasi di dunia tergolong rawan gizi kronis (food security). Istilah ini sering diperhalus
(FAO, 2013). Sebagian besar (98%) tinggal di dengan istilah terjadi penurunan ketahanan
negara-negara berkembang. Hasil Riset Kese- pangan, meskipun pada dasarnya pengertian-
hatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan nya sama.

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Volume 32 No. 1, Juli 2014: 1 – 17

2
Terdapat dua jenis kondisi rawan mengancam anak-anak balita yang merupakan
pangan, yaitu yang bersifat kronis (chronical kelompok rawan (vulnerable group) (Khomsan,
food insecurity) dan yang bersifat sementara 2008)
(transitory food insecurity). Rawan pangan Di Indonesia, rawan pangan dan gizi
kronis adalah ketidakmampuan rumah tangga sesungguhnya bukan merupakan isu baru.
untuk memenuhi standar minimum kebutuhan Kasus rawan pangan telah dikenal sejak
pangan anggotanya pada periode yang lama dekade 60-an, bahkan pada masa penjajahan
karena keterbatasan kepemilikan lahan, asset Jepang insiden rawan pangan sudah terjadi
produktif, dan kekurangan pendapatan (BKP, dan dikenal dengan istilah hunger oedeem
2013). Sementara itu, rawan pangan transien (HO) atau busung lapar. Busung lapar dapat
(sementara) adalah suatu keadaan rawan pa- terjadi karena kondisi kekurangan pangan
ngan yang bersifat mendadak dan sementara. yang kronis dan umumnya dipicu oleh faktor
Kerawanan pangan sementara yang terjadi kemiskinan atau bencana alam. Proses bu-
secara terus menerus dapat menyebabkan sung lapar membutuhkan waktu antara 2 hing-
menurunnya kualitas penghidupan rumah ga 6 bulan (Martianto, 2005). Dijelaskan lebih
tangga, menurunnya daya tahan, dan bahkan lanjut bahwa pada masa kekurangan pangan
bisa berubah menjadi kerawanan pangan tingkat konsumsi energi biasanya hanya men-
kronis. Sementara itu, kerentanan terhadap ke- capai 50-60 persen dari yang dibutuhkan se-
rawanan pangan mengacu pada suatu kondisi hingga cadangan energi tubuh makin banyak
yang membuat suatu masyarakat yang beri- terkuras dan berdampak pada berat badan
siko rawan pangan menjadi rawan pangan semakin berkurang. Pada gilirannya kemam-
(DKP dan WFP, 2009). puan dan produktivitas kerja menjadi semakin
Istilah rawan gizi (nutrition insecurity) rendah.
merupakan kondisi kebalikan dari ketahanan Meskipun sering disamakan artinya,
gizi (nutrition security). DKP dan WFP (2009) rawan gizi atau gizi kurang sebenarnya
mendefinisikan ketahanan gizi sebagai akses memiliki cakupan masalah yang lebih kom-
fisik, ekonomi, lingkungan, dan sosial terhadap pleks dibandingkan rawan pangan. Derajat
makanan seimbang, air layak minum, terendah dari gizi kurang tingkat berat sering
kesehatan lingkungan, pelayanan kesehatan disebut sebagai gizi buruk. Dengan kata lain
dasar, dan pendidikan dasar. Rawan gizi men- gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses
cakup kombinasi dari komponen pangan dan terjadinya kekurangan gizi menahun (Depkes,
nonpangan. Dengan demikian, rawan gizi 2005). Anak balita sehat atau kurang gizi
cakupannya lebih luas dibanding rawan secara sederhana dapat diketahui dengan
pangan. membandingkan antara berat badan menurut
Khomsan (2008) mengungkapkan bah- umurnya dengan rujukan (standar) yang telah
wa rawan pangan akan memunculkan rawan ditetapkan. Apabila berat badan menurut umur
gizi. Oleh karena itu, di manapun terjadi kera- sesuai dengan standar, anak disebut gizi baik.
wanan pangan, maka akan berisiko kekurang- Kalau sedikit di bawah standar disebut gizi
an gizi. Ketahanan gizi adalah cermin asupan kurang. Apabila jauh di bawah standar dikata-
gizi dan status gizi masyarakat yang menjadi kan gizi buruk. Gizi buruk yang disertai dengan
input bagi terbentuknya individu yang sehat. tanda-tanda klinis disebut marasmus atau
Ketahanan gizi yang ditunjukkan oleh status kwashiorkor. Gizi kurang tidak semata-mata
gizi merupakan tujuan akhir dari ketahanan terjadi karena faktor kelaparan dan kemiskin-
pangan, kesehatan, dan pola pengasuhan an, tetapi juga dapat dipengaruhi oleh masalah
tingkat individu (DKP dan WFP, 2009). lain seperti pola asuh, sanitasi, krisis sosial,
Indikator status gizi yang sering digunakan politik, dan ekonomi. Analisis gizi kurang atau
adalah status gizi Balita, karena pada lebih sering fokus pada kasus untuk anak
kelompok usia tersebut rentan terhadap balita karena mereka lebih sensitif terhadap
masalah gizi. Munculnya masalah gizi yang kekurangan zat gizi dibandingkan orang
dialami negara-negara berkembang adalah dewasa.
indikasi lemahnya ketahanan pangan dikalang- Sementara itu, pengertian di masya-
an penduduknya. Pendapatan yang rendah rakat tentang busung lapar adalah tidak tepat.
mengakibatkan masyarakat tidak dapat meng- Sebutan busung lapar yang sebenarnya menu-
akses makanan yang dapat memenuhi ke- rut Depkes (2005) adalah keadaan yang terjadi
butuhan gizi. Dampaknya, kekurangan gizi akibat kekurangan pangan dalam kurun waktu

PENDEKATAN RAWAN PANGAN DAN GIZI: BESARAN, KARAKTERISTIK, DAN PENYEBABNYA Tri Bastuti Purwantini

3
tertentu pada satu wilayah. Kondisi demikian kinan, di samping faktor determinan lain (FAO,
mengakibatkan kurangnya asupan zat gizi 2013), sehingga dapat dikatakan bahwa rawan
yang diperlukan, yang pada akhirnya berdam- pangan dalam hal ini adalah sebagai kondisi
pak pada kondisi status gizi menjadi kurang rawan daya beli.
atau buruk dan keadaan ini terjadi pada semua Besaran rawan pangan merupakan
golongan umur. Tanda-tanda klinis pada bu- gambaran situasi tingkat aksesibilitas pangan
sung lapar pada umumnya sama dengan masyarakat yang dicerminkan dari tingkat ke-
tanda-tanda pada marasmus dan kwashiorkor. cukupan gizi masyarakat yang diukur dari Ang-
ka Kecukupan Gizi (AKG) (BKP, 2013). AKG
BESARAN RAWAN PANGAN merupakan tingkat konsumsi zat-zat gizi esen-
DAN GIZI KRONIS sial yang dinilai cukup untuk memenuhi kebu-
tuhan gizi hampir semua orang sehat di suatu
negara. Tingkat kedalaman kerawanan pangan
Dua dari lima indikator sebagai penjabaran ditunjukkan dengan indikator kecukupan kon-
tujuan pertama MDGs adalah menurunnya sumsi kalori perkapita per hari dengan nilai
prevalensi gizi kurang pada anak balita AKG 2.000 kkal (WNPG, 2004). Jika konsumsi
(indikator keempat) dan menurunnya jumlah perkapita kurang atau lebih kecil dari 70 per-
penduduk defisit energi atau kelaparan (indi- sen dari AKG (konsumsi energi < 1.400 kkal)
kator kelima). Kedua indikator tersebut men- dikategorikan sangat rawan pangan; sekitar 70
cerminkan tingginya keterkaitan antara kondisi hingga 89,9 persen dari AKG dikategorikan
ketahanan pangan dengan status gizi masya- rawan pangan ringan sampai sedang; dan
rakat. Menggabungkan upaya untuk mewujud- lebih dari 90 persen dari AKG termasuk dalam
kan kedua indikator tersebut secara sinergis kategori tahan pangan. Analisis data Susenas
merupakan langkah strategis yang dapat me- 2008-2011 berdasarkan kriteria tersebut
ningkatkan efisiensi dan efektivitas pencapaian menunjukkan besaran rawan pangan seperti
sasaran (DKP, 2009). pada Tabel 1 (BKP, 2013).
Persoalan rawan pangan di Indonesia Hasil analisis data Susenas 2008-2012
bukanlah karena masalah rendahnya produksi menunjukkan bahwa persentase jumlah
pangan, tetapi lebih kepada bagaimana pola penduduk rawan pangan meningkat, terutama
distribusi pangan itu sendiri. Rawan pangan untuk kondisi rawan pangan berat (<70%
dan gizi pada dasarnya merupakan refleksi AKG), di mana selama kurun waktu tersebut
dari situasi kecukupan pangan dan gizi individu meningkat rata-rata 17,17 persen per tahun,
pada komunitas atau kelompok masyarakat di demikian juga secara relatif juga meningkat
suatu wilayah sebagai dampak ketidaklancar- rata-rata 15,50 persen per tahun (Tabel 1).
an akses terhadap pangan, baik secara fisik, Sebaliknya, masyarakat dengan kondisi tahan
sosial maupun ekonomi. Kasus rawan pangan pangan justru menurun. Kondisi ini mengindi-
dan gizi banyak dipengaruhi oleh faktor kemis- kasikan semakin memburuknya kondisi gizi

Tabel 1. Jumlah dan Persentase Penduduk Rawan Pangan di Indonesia, 2008-2012

Rawan pangan Tahan pangan


Berat (<70% AKG) Ringan (70-89,9% AKG) Total Rawan Pangan (>90% AKG)
Tahun Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah
penduduk % penduduk % penduduk % penduduk %
(x1 juta) (x1 juta) (x1 juta) (x1 juta)
2008 25,11 11,07 62,38 27,50 87,49 38,57 139,34 61,43
2009 33,29 14,47 72,72 31,62 106,01 46,08 123,96 53,90
2010 35,71 15,34 72,44 31,12 108,15 46,46 124,61 53,53
2011 42,08 17,41 78,48 32,48 120,56 49,88 121,01 50,10
2012 47,64 19,46 80,57 32,91 128,21 52,37 116,61 47,63
Trend (%/thn) 17,72 15,50 6,80 4,77 4,77 4,77 -4,26 -6,07
Sumber: BKP (2013), diolah

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Volume 32 No. 1, Juli 2014: 1 – 17

4
penduduk di Indonesia. Penduduk rawan pangan di Indonesia, dari hanya sekitar 5
pangan masih cukup tinggi. Pada tahun 2012 persen pada tahun 1996 menjadi sekitar 16
terdapat 80,57 juta penduduk (32,91%) persen pada tahun 1999, atau meningkat lebih
mengalami kondisi rawan pangan ringan sam- dari 200 persen. Hal tersebut menunjukkan
pai sedang, dan selama kurun waktu 2008- bahwa dampak krisis ekonomi sangat buruk
2012 cenderung meningkat. Jumlah penduduk bagi masyarakat Indonesia. Seiring dengan
sangat rawan pangan pada 2012 mencapai berlalunya waktu, dalam proses pemulihan
47,64 juta jiwa (19,46%), dan bila kondisi ini dampak dari krisis ekonomi sehingga pada
dibiarkan akan menjadi kategori rawan pangan tahun 2002 proporsi rumah tangga rawan
akut (kronis) yang menyebabkan kelaparan pangan menurun (9,95%), namun data 2005
(BKP, 2013). menunjukkan kondisi yang relatif tetap. Seiring
Hasil analisis (BPS, 2012) menunjuk- dengan analisis tingkat kerawanan pangan
kan bahwa masih ada disparitas kondisi rawan dengan indikator tunggal kecukupan energi
pangan yang tinggi antarwilayah provinsi. Data pada bahasan sebelumnya (Tabel 1), maka
tahun 2011 memperlihatkan beberapa provinsi diprediksi akan konsisten dengan mengguna-
yang menduduki proporsi penduduk yang kan indikator derajat ketahanan pangan yang
rawan pangan adalah Papua Barat (45,98%), menunjukkan proporsi rumah tangga rawan
Maluku Utara (29,57%), Maluku (25,74%), pangan meningkat. Kondisi ini menjadikan
Papua (24,08%), Sulawesi Tengah (19,37%), pentingnya melakukan pemantauan terhadap
dan Nusa Tenggara Timur (18,95%), kondisi pangan dan gizi secara berkala,
sedangkan Provinsi Bali dan DKI Jakarta men- sehingga antisipasi ke depan akan lebih cepat
duduki urutan terbaik, yakni masing-masing tertangani.
4,17 persen dan 5,36 persen jauh lebih tinggi
daripada rata-rata Indonesia (17,41%). Kondisi Tabel 2. Proporsi Rumah Tangga Rawan Pa-
ini menunjukkan bahwa secara spasial wilayah ngan di Indonesia, 1996-2005 (%)
Kawasan Timur Indonesia (KTI) relatif terting-
gal. Oleh karena itu, percepatan pembangunan Uraian 1996 1999 2002 2005
di wilayah tersebut sangat penting untuk sege- Nasional 5,16 16,08 9,95 10,49
ra dilakukan.
Wilayah
Selain menggunakan ukuran variabel - Jawa 5,98 16,05 9,00 9,16
tunggal kecukupan gizi/energi, mengidentifika-
- Luar Jawa 4,49 16,10 10,94 11,73
si rumah tangga rawan pangan dapat diguna-
kan indikator derajat ketahanan pangan, yakni Daerah
menggunakan indikator silang gabungan anta- - Kota 4,58 14,02 7,31 7,32
ra pangsa pengeluaran rumah tangga (proksi - Desa 5,54 17,53 12,13 12,70
ekonomi) dengan konsumsi energi (proksi Sumber: BPS, Susenas 1996, 1999, 2002 dan 2005
gizi), seperti dilakukan oleh Saliem et al. (diolah) dikutip dari Ariningsih dan Rachman
(2001) serta Ariningsih dan Rachman (2008). (2008)
Dalam hal ini, rumah tangga rawan pangan di-
definisikan sebagai rumah tangga dengan Proporsi rumah tangga rawan pangan
konsumsi energi (ekuivalen orang dewasa) < di perdesaan lebih tinggi daripada di perko-
80 persen dari angka kecukupan energi diga- taan. Selama periode 1996-2005 kesenjangan
bungkan dengan pangsa pengeluaran pangan proporsi rumah tangga rawan pangan di kedua
> 60 persen dari total pengeluaran rumah wilayah tersebut semakin melebar (Tabel 2).
tangga. Kelompok rawan pangan dilihat dari Indikasi ini menunjukkan terjadi kesenjangan
sisi ekonomi (diproksi dari pangsa pengeluaran pembangunan antara perkotaan dan perdesa-
pangan) termasuk kelompok yang kurang se- an terutama dalam pengembangan infrastruk-
jahtera, sementara dilihat dari aspek gizi pun tur (fisik dan kelembagaan).
(diproksi dari konsumsi energi) kurang dari Hasil Riskesdas tentang Balita keku-
syarat kecukupan. rangan gizi yang dilakukan oleh Badan Litbang-
Hasil studi Ariningsih dan Rachman kes menunjukkan perkembangan kondisi Balita
(2008) menggunakan data Susenas empat titik kekurangan gizi di Indonesia seperti disajikan
waktu seperti pada Tabel 2. Tampak bahwa pada Tabel 3. Tampak bahwa selama tahun
krisis ekonomi yang terjadi telah menyebabkan 2005-2010 jumlah balita yang kekurangan gizi
meningkatnya jumlah rumah tangga rawan menurun dari 28,04 persen (2005) menjadi

PENDEKATAN RAWAN PANGAN DAN GIZI: BESARAN, KARAKTERISTIK, DAN PENYEBABNYA Tri Bastuti Purwantini

5
17,9 persen (2010), di mana 4,9 persen di kategori rawan pangan. Mengidentifikasi
antaranya adalah kondizi gizi buruk (under- wilayah/rumah tangga rawan pangan dan
weight). Namun demikian, hasil Riskesdas rawan gizi kronis dapat dikatakan identik
2013 (Badan Litbangkes, 2013) menunjukkan dengan mengidentifikasi wilayah/rumah tangga
bahwa balita yang kekurangan gizi meningkat miskin. Kedua aspek tersebut saling mem-
lagi pada tahun 2013 menjadi 19,6 persen. pengaruhi walaupun per definisi belum tentu
sama.
Tabel 3. Kondisi Balita Kekurangan Gizi dan Kelaparan yang disebabkan oleh ra-
Perkembangannya di Indonesia Se- wan pangan kronis dapat diartikan sebagai
lama Tahun 2007-2013 kondisi dimana masyarakat mengkonsumsi
energi kurang 60 persen dari kebutuhan ener-
Tahun Prevalensi Prevalensi Total balita gi. Sementara itu, kemiskinan dapat diartikan
balita gizi balita gizi kekurangan sebagai kondisi dimana masyarakat memper-
buruk (%) kurang (%) gizi (%) oleh pendapatan yang rendah sehingga tidak
2005 8,80 19,24 28,04 mampu memenuhi kebutuhan dasar minimum
baik makanan maupun nonmakanan (Swastika,
2007 5,40 13,00 18,40 2011). Selain itu, masalah kerawanan pangan
2010 4,90 13,00 17,90 kronis berhubungan erat dengan kemiskinan
dan mengakibatkan rendahnya konsumsi
2013 5,70 13,90 19,60
pangan dan gizi secara berkelanjutan
Sumber: Riset Kesehatan Dasar (berbagai tahun), Badan (Radhakrishna dan Reddy, 2002). Kajian-
Litbangkes (diolah) kajian yang terkait dengan hal tersebut telah
banyak dilakukan oleh para pakar dengan
Demikian halnya masalah stunting sudut pandang yang berbeda-beda.
pada balita masih cukup serius. Istilah stunting
ini merupakan kondisi status gizi dari indikator
Identifikasi Wilayah Rawan Pangan dan
tinggi badan (TB) menurut umur, yakni kategori
Rawan Gizi Kronis
gabungan sangat pendek dan pendek. Data
pada tahun 2013 menunjukkan bahwa stunting Kementerian Kesehatan telah lama mem-
pada balita agregat nasional sebesar 37,2 punyai program untuk mengidentifikasi dan
persen. Kondisi ini tidak berubah dibandingkan memetakan wilayah rawan pangan dan rawan
dengan kondisi selama periode 2003-2008, gizi yang dipilah menurut provinsi, kabupaten,
yang rata-rata sebesar 37 persen. Pada kurun dan kecamatan melalui kegiatan Sistem
waktu 2003-2008 kondisi stunting dibanding- Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG). Indi-
kan dengan Negara ASEAN, posisi Indonesia kator yang digunakan ada tiga, yaitu jumlah
lebih baik daripada Kamboja (42%) dan penduduk miskin, jumlah anak balita kurang
Myanmar (41%), namun lebih buruk dibanding energi dan protein (KEP), serta proporsi lahan
Vietnam (36%), dan Philipina (34%), serta puso tanaman padi. Kegiatan ini dilakukan se-
tiap tahun dan sekarang telah dilakukan revi-
Thailand (16%). Seperti halnya rawan pangan,
talisasi SKPG. Revitalisasi bukan pada jenis
masih terdapat kesenjangan kondisi stunting
indikator yang dipakai, tetapi lebih intensif un-
antarprovinsi di Indonesia yakni terendah di
tuk memfungsikan sistem isyarat dini dan inter-
Kepulauan Riau, DI Yogyakarta, DKI Jakarta,
vensi, serta pencegahan kejadian luar biasa
dan Kalimantan Timur (<30%) sampai yang
(KLB) melalui sistem pelaporan, diseminasi
tertinggi (>50%) di Nusa Tenggara Timur. informasi, dan penyediaan data gizi secara
reguler seperti pemantauan status gizi untuk
IDENTIFIKASI WILAYAH/RUMAH TANGGA semua kelompok umur, pemantauan konsumsi
RAWAN PANGAN DAN RAWAN GIZI gizi dan analisis data Susenas (Departemen
KRONIS Kesehatan, 2005).
BKP (2013) juga mempunyai kegiatan
yang terkait dengan penentuan dan pemetaan
Identifikasi wilayah/rumah tangga rawan pngan wilayah rawan pangan melalui kegiatan SKPG
dan gizi kronis sangat penting dilakukan untuk sektor pertanian. SKPG diatur dalam Per-
mendapatkan indikator yang dapat digunakan aturan Menteri Pertanian/Ketua Harian Dewan
dalam melakukan tindakan intervensi untuk Ketahanan Pangan Nomor 43 Tahun 2010 ten-
mengatasi wilayah atau rumah tangga dengan tang Pedoman SKPG. Kegiatan SKPG terdiri

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Volume 32 No. 1, Juli 2014: 1 – 17

6
dari analisis data situasi pangan dan gizi bulan- pangan tingkat kabupaten dan kecamatan di
an dan tahunan serta penyebaran informasi. Provinsi D.I.Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur,
Data bulanan dan tahunan tersebut mengin- dan Lampung berbeda antarwilayah disesuai-
formasikan tentang tiga aspek utama yaitu kan dengan potensi wilayah dan ketersediaan
ketersediaan, akses, dan pemanfaatan pangan data. Jenis indikator yang digunakan antara
yang menjadi dasar untuk menganalisis situasi lain luas areal puso, penurunan produktivitas
pangan dan gizi di suatu daerah. padi lima tahun terakhir, KEP balita, KK miskin,
Dari kegiatan ini diharapkan tersedia PDRB/kapita, ketersediaan padi dan palawija
peta perimbangan konsumsi pangan dan peta terhadap kebutuhan penduduk, ketersediaan
rawan pangan dan gizi; tersusun indikasi geja- pangan sumber protein nabati terhadap
la terjadinya kerawanan pangan dan rumusan kebutuhannya, ketersediaan populasi ternak
saran kebijakan pembangunan bidang pangan. per kapita, dan ketersediaan produk per-
Indikator yang digunakan adalah: 1) indikator kebunan setara beras.
sektor pertanian, 2) indikator kesehatan dan Dewan Ketahanan Pangan (DKP) dan
sosial ekonomi, serta 3) indikator yang bersifat World Food Programme/WFP (2005) membuat
lokal spesifik. Indikator sektor pertanian dibe- peta kerawanan pangan kronis Indonesia atau
dakan untuk daerah potensi produksi padi dan Food Insecurity Atlas (FIA) untuk tingkat kabu-
bukan padi. Jenis indikator untuk wilayah paten. Pemetaan tersebut kemudian dilakukan
potensi padi yaitu: a) luas tanam dengan luas pemuktakhiran dari FIA tahun 2005 menjadi
sasaran tanam (%), b) penerapan teknologi Food Security and Vulnarability Atlas (FSVA)
(%), c) luas areal kerusakan/areal puso (%), d)
Indonesia tahun 2009.
luas panen (%), dan e) penurunan produk-
tivitas (%). Indikator kesehatan berupa pre- Peta kerawanan pangan merupakan
valensi KEP (%), sedangkan indikator sosial peta tematik yang menggambarkan sebaran
ekonomi berupa jumlah keluarga miskin (%). wilayah menurut tingkat kerawanan pangan di
Indikator spesifik lokasi berupa indikator kua- Indonesia. Jumlah yang digunakan pada FIA
litatif yang memperkuat situasi rawan pangan 2005 adalah 14 indikator. Sementara, penen-
dengan gejala antara lain: meningkatnya keja- tuan status ketahanan dan kerentanan suatu
hatan (pencurian), beralihnya pola konsumsi wilayah dalam FSVA 2009 didasarkan pada 13
pangan dari pangan pokok ke pangan alter- indikator yang dikelompokkan dalam 4 kata-
natif, banyaknya lahan pertanian yang dibera- gori. Satu indikator yang dikeluarkan dari FIA
kan karena keterbatasan biaya produksi, ba- 2005 dan tidak digunakan pada FSVA adalah
nyaknya pengiriman tenaga kerja di daerah angka kematian bayi (IMR), karena data me-
lahan marjinal, dan meningkatnya persentase ngenai IMR tidak tersedia. Ketiga belas
penjualan tabungan ternak. indikator tersebut adalah: Pertama, ketersedia-
Revitalisasi SKPG yang dilaksanakan an pangan. Indikator yang dianalisis adalah 1)
sejak 1998 bertujuan untuk meningkatkan konsumsi normatif per kapita terhadap rasio
peran dan fungsi SKPG di dalam pengelolaan ketersedia-an bersih padi + jagung + ubi kayu
program pangan dan gizi di kabupaten/kota, + ubi jalar. Kedua, akses terhadap Pangan.
walaupun pelaksanaan di daerah belum ber- Indikatornya: 2) persentase penduduk dibawah
jalan baik. Dengan telah direvitalisasinya garis kemiskinan; 3) persentase desa yang
SKPG, berarti sistem isyarat dini dan lembaga tidak memiliki akses penghubung yang mema-
yang menanganinya lebih difungsikan lagi dan dai, dan 4) persentase penduduk tanpa akses
lebih dioptimalkan, sehingga sinergi antar- listrik. Ketiga, pemanfaatan pangan (konsumsi
lintas sektor dalam pembangunan ketahanan pangan, kesehatan dan gizi). Indikatornya
pangan dan gizi perlu diperkuat dan diber- adalah: 5) angka harapan hidup pada saat
dayakan secara optimal. Oleh karena itu, lahir, 6) berat badan balita dibawah standar, 7)
keberadaan SKPG diharapkan dapat mem- perempuan buta huruf, 8) rumah tangga tanpa
berikan informasi pangan dan gizi secara tepat akses air bersih; dan 9) persentase penduduk
dan cepat, lebih lanjut memungkinkan adanya yang tinggal lebih dari 5 km dari fasilitas
tindakan penanggulangan secara cepat dan kesehatan. Keempat, kerentanan terhadap
tepat pula. Dengan demikian dampak negatif Kerawanan pangan transien, indikatornya: 10)
masalah pangan dan gizi terhadap kualitas bencana alam, 11) penyimpangan curah hujan,
sumber daya manusia dapat dicegah/dihindari. 12) persentase daerah puso (% daerah
Indikator yang digunakan oleh Saliem ditanami padi yang rusak akibat kekeringan,
et al. (2002) untuk pemetaan wilayah rawan banjir dan organisme pengganggu tanaman

PENDEKATAN RAWAN PANGAN DAN GIZI: BESARAN, KARAKTERISTIK, DAN PENYEBABNYA Tri Bastuti Purwantini

7
(OPT), dan 13) deforestasi hutan (perubahan bandingan antara indikator dalam FIA tahun
kondisi penutupan lahan dari hutan menjadi 2005 dan FSVA tahun 2009 menunjukkan
nonhutan). adanya perbaikan untuk seluruh indikator (9
Berdasarkan indikator di atas, maka indikator). Kabupaten-kabupaten di prioritas 1-
dapat dikelompokkan menjadi indikator kera- 3 mempunyai tingkat perbaikan yang lebih
wanan pangan kronis (aspek satu sampai tinggi dibandingkan dengan kabupaten
dengan tiga yang terdiri 9 indikator) dan 4 indi- prioritas 4-6. Peta ini terbukti menjadi sarana
kator kerawanan pangan sementara/transien yang penting dalam penentuan target
(indikator 10 sd 13). Peta komposit kerawanan intervensi yang berhubungan dengan masalah
pangan dihasilkan dari kombinasi semua indi- ketahanan pangan dan gizi secara geografis
kator kerawanan pangan kronis dengan meng- pada kabupaten yang rentan (DKP dan WFP,
gunakan pembobotan berdasarkan Compo- 2009).
nent Analysis. Dalam pemetaan ini tidak meng- Hasil identifikasi wilayah rawan pa-
ikutsertakan daerah perkotaan (urban) karena ngan dan rawan gizi yang dilakukan oleh
ketahanan pangan masyarakat perkotaan Bappenas (2011) disajikan pada Tabel 4.
membutuhkan analisis secara terpisah. Peta Dalam mengindentifikasi wilayah menurut
ini menunjukkan situasi ketahanan pangan di provinsi ini digunakan indikator asupan energi
346 kabupaten yang umumnya daerah per- (kkal) dan prevalensi pendek anak balita. Hasil
desaan (rural) di 32 provinsi di Indonesia. identifikasi menunjukkan urutan strata dari
Melalui penggunaan peta ketahanan yang terbaik (strata 1) sampai yang terburuk
dan kerentanan pangan ini dapat diketahui lo- (strata 4). Provinsi Jawa Tengah dan Jawa
kasi keberadaan kantong-kantong rawan pa- Timur termasuk kategori strata 4, berarti perlu
ngan di tingkat kabupaten. Dari 346 kabupaten intervensi lebih intensif untuk memperbaiki
yang dianalisis DKP terdapat 100 kabupaten kondisi tersebut; demikian halnya provinsi lain
yang memiliki tingkat risiko kerentanan pa- dalam kategori 4 yang sebagian besar berada
ngan yang tinggi dan memerlukan skala prio- di wilayah Timur Indonesia.
ritas penanganan. Di antara 100 kabupaten Selain pemetaan rawan pangan kro-
berperingkat terbawah yang disebut dalam nis, DKP dan WFP (2005) juga membuat peta
peta ketahanan dan kerentanan pangan 2009 kerawanan pangan transien dengan indikator
tersebut dibagi lagi menjadi tiga wilayah prio- yang terkait dengan aspek lingkungan alam
ritas, yakni: prioritas 1, prioritas 2 dan prioritas dan iklim. Indikator tersebut adalah: (1)
3. Prioritas 1, terdapat 30 kabupaten yang ter- persentase area tak berhutan, (2) persentase
masuk untuk mendapatkan penanganan, seba- area yang terkena puso, (3) persentase daerah
gian besar kabupaten tersebar di Indonesia yang rawan terhadap bencana banjir dan
bagian Timur, yakni: di Papua (11 kabupaten), tanah longsor, dan (4) fluktuasi curah hujan.
NTT (6 kabupaten) dan Papua Barat (5 kabu- Pada atlas tahun 2009 yang disusun oleh DKP
paten). Total jumlah penduduknya mencapai dan WFP (2009) dilakukan hal yang sama.
5.282.571 jiwa. Prioritas 2, terdapat 30 kabu- Selain indikator di atas juga dilengkapi dengan
paten yakni sebagian besar terdapat di indikator riwayat bencana alam dan perubahan
Kalimantan Barat (7 kabupaten), NTT (5 kabu- iklim.
paten), NAD (4 kabupaten), dan Papua (3 Sementara itu, indikator yang diguna-
kabupaten). Total jumlah penduduknya menca- kan oleh FAO (2013) untuk menganalisis
pai 7.671.614 jiwa. Prioritas 3, terdapat 40 ketahanan/kerawanan pangan adalah indikator
kabupaten yang sebagian besar terdapat di outcome antara lain: 1) persentase populasi
Kalimantan Tengah (6 kabupaten), Sulawesi yang defisit energi, 2) rata-rata ketersediaan
Tengah (5 kabupaten) dan NTB (4 kabupaten). energi untuk dikonsumsi per kapita, 3) peranan
Total jumlah penduduk di wilayah prioritas 3 ini padi-padian dan umbi-umbian terhadap produk
11.785.667 jiwa. total energi yang tersedia untuk dikonsumsi, 4)
Peta ini menunjukkan bahwa meski- umur harapan hidup pada saat lahir, 5) angka
pun Indonesia telah mencapai kemajuan di kematian bayi/anak balita, 6) prevalensi ke-
sektor ekonomi dan ketahanan pangan di cukupan energi protein (KEP) anak balita, dan
tahun-tahun terakhir, menciptakan ketahanan 7) prevalensi KEP orang dewasa (BMI < 18,5).
pangan bagi seluruh rakyat tetap menjadi Mengingat banyaknya indikator yang diguna-
tantangan bersama. Hasilnya adalah ditetap- kan untuk menganalisis wilayah/rumah tangga
kannya intervensi secara multisektoral. Per- rawan pangan, maka dalam implementasinya

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Volume 32 No. 1, Juli 2014: 1 – 17

8
Tabel 4. Pengelompokan Provinsi Menurut Strata Berdasarkan Tingkat Prevalensi Anak Balita
Pendek dan Proporsi Penduduk Sangat Rawan Pangan di Indonesia, 2009/2010

Proporsi penduduk sangat Proporsi penduduk sangat


Status
rawan pangan < 14,47 persen rawan pangan > 14,47 persen
Persentase Strata 1 Strata 2
pendek pada 1. Kepulauan Riau 1. Bangka Belitung
anak balita 2. Bengkulu 2. Jambi
≤ 32 persen 3. Bali 3. Kalimantan Timur
4. DI Yogyakarta
5. DKI Jakarta
6. Sulawesi Utara
7. Maluku Utara
8. Papua.
Persentase Strata 3 Strata 4
pendek pada 1. Aceh 1. Sumatera Utara
anak balita 2. Sumatera Barat 2. Sumatera Selatan
> 32 persen 3. Riau 3. Lampung
4. Kalimantan Tengah 4. Kalimantan Barat
5. Kalimantan Selatan 5. Jawa Tengah
6. Banten 6. Jawa Timur
7. Jawa Barat 7. Gorontalo
8. Sulawesi Selatan 8. Sulawesi Tengah
9. Sulawesi Barat 9. Sulawesi Tenggara
10. Nusa Tenggara Barat 10. Nusa Tenggara Timur
11. Maluku
12. Papua Barat
- Data anak balita yang pendek berasal dari Riskesdas 2010
- Data proporsi penduduk sangat rawan pangan berasal dari Susenas 2009
Catatan: Kondisi sangat rawan pangan adalah tingkat konsumsi energi rata-rata <1.400 kkal/hari
Sumber: Bappenas (2011)

disesuaikan dengan ketersediaan data di silkan klasifikasi provinsi menurut skala prio-
wilayah masing-masing yang bisa diper- ritas pembangunan dalam kerangka mewujud-
bandingkan. kan tujuan pertama MDGs yaitu prioritas ren-
Untuk mengukur capaian tingkat ke- dah (9 provinsi), prioritas sedang (13 provinsi),
miskinan dan kelaparan di Indonesia dapat dan prioritas tinggi (11 provinsi). Kajian spasial
menggunakan indeks komposit (Faharuddin, wilayah juga dilakukan oleh Fuada et al. (2012)
2012) yang disebut PHI (Poverty and Hunger di Jawa Barat. Indikator yang digunakan antara
Index). PHI merupakan kombinasi dari 5 indi- lain adalah status gizi balita, jumlah KK miskin,
kator pada tujuan 1 MDGs, yang dikombinasi- dan prevalensi penyakit. Lebih lanjut dikemu-
kan menggunakan cara yang mirip dengan kakan bahwa masalah gizi cenderung merupa-
pembuatan indeks komposit IPM. Hasil peng- kan masalah epidemiologi. Dari uraian di atas
hitungan indeks PHI menempatkan provinsi- dapat dikemukakan bahwa capaian target tuju-
provinsi dalam 3 kategori yaitu tinggi (2 provin- an I MDGs bervariasi antarprovinsi. Dengan
si yaitu Bali dan DKI Jakarta), menengah (30 demikian, penanganan rawan pangan harus
provinsi) dan rendah (1 provinsi yaitu Papua dimulai dan prioritas pada wilayah lebih parah.
Barat). Untuk melihat progres pencapaian tu-
juan pertama MDGs per provinsi dilihat dengan Identifikasi Rumah Tangga Rawan Pangan
indeks PHI-P (PHI-Progress) dalam 3 kelom- dan Rawan Gizi Kronis
pok, progres cepat (11 provinsi), progres lam-
bat (13 provinsi) dan progres mundur (9 Kajian ketahanan atau kerawanan pangan di
provinsi). Kombinasi PHI dan PHI-P mengha- Indonesia telah banyak dilakukan. Sebagai

PENDEKATAN RAWAN PANGAN DAN GIZI: BESARAN, KARAKTERISTIK, DAN PENYEBABNYA Tri Bastuti Purwantini

9
contoh, pada tahun 1990 Pusat Studi masing. Studi etnografi (FANTA, 2004) tentang
Ketahanan Pangan dan Gizi (PSKPG), Lem- kerawanan pangan di enam negara yang ber-
baga Penelitian IPB bekerjasama dengan De- beda termasuk USA menggunakan indikator:
partemen Kesehatan melakukan penelitian 1) ketidakcukupan asupan makanan secara
analisis data ketahanan pangan secara intensif individu, 2) efek fisik akibat kelaparan, 3)
di Provinsi Jatim, NTB, dan NTT dengan unit rendahnya ketersediaan pangan rumah tangga,
analisis rumah tangga. Kriteria ketahanan 4) rendahnya tingkat kecukupan zat gizi, 5)
pangan adalah tingkat kecukupan energi rata- ketidakpastian tambahan pangan mendatang,
rata per hari per unit konsumen selama satu 6) menurunnya pilihan dan kontrol terhadap
tahun. Selanjutnya definisi rumah tangga pangan, dan 7) menurunnya kesepakatan/
rawan pangan adalah rumah tangga yang penerimaan sosial.
konsumsi energi selama setahun ≤ 70 persen Di mata dunia internasional, Indonesia
dan tidak terdapat bulan-bulan yang konsumsi dinilai berhasil menurunkan tingkat kemiskinan
energinya ≥ 70 persen (kerawanan pangan dan kelaparan, walaupun belum sepenuhnya
kronis) atau rumah tangga yang konsumsi memenuhi capaian yang ditargetkan dalam
energinya ≤ 70 persen dan terdapat bulan- MDGs, yakni penurunan tingkat kemiskinan
bulan yang konsumsi energinya ≥ 70 persen dan kelaparan 50 persen selama tahun 1990-
(rawan pangan transien). BKP juga melakukan 2015. Capain MDGs menurut indikator propor-
analisis kerawanan pangan dengan menggu- si penduduk yang menderita kelaparan di
nakan indikator tersebut (BKP, 2013). Indonesia dalam kurun waktu 1990-2015 di-
Hasil kajian Baldi et al. (2013) di sajikan pada Tabel 5 (Bappenas, 2012).
empat kabupaten/kota (Timor Tengah Selatan, Untuk indikator kekurangan gizi (berat
Sam-pang, Surabaya dan Brebes) dengan badan rendah), data tahun 2010 mencapai
menggunakan metode Cost of Diet (CoD), 17,9 persen, sedangkan kondisi tahun 2013
yakni suatu alat analisis untuk menilai ketahan-
justru makin buruk (19,6%), sehingga untuk
an pangan dan gizi di suatu wilayah, antara
mencapai 15,5 persen harus menurunkan 4,1
lain dapat mengkombinasikan indikator penge-
persen. Berdasarkan data tahun 2010 kondisi
luaran dengan informasi tentang apa yang
ini diprediksi akan tercapai (Bappenas, 2012),
dikonsumsi dan berapa banyak pengeluaran
namun bila mengacu dari data 2013 maka
yang dihabiskan untuk belanja makanan, serta
akan lebih berat untuk mencapai penurunan
status gizi balita. Analisis CoD merupakan
tersebut. Oleh karena itu, kesehatan anak
entry point yang berguna untuk melihat
harus mulai diperhatikan sejak 1.000 hari
kendala dan permasalahan dalam pencapaian
pertama sehingga percepatan perbaikan gizi
ketahanan gizi yang berbeda antar daerah
pada periode 1000 hari pertama kehidupan
serta solusinya. Sebagai contoh, Timor Tengah
perlu menjadi prioritas pembangunan kesehat-
Selatan, dengan hanya 20 persen rumah
an (Kemenkes, 2012). Kondisi gizi kurang dan
tangga mampu LACON (Locally Adapted Cost
gizi buruk bervariasi antarwilayah di Indonesia.
Optimized Nutritious Diet) dan prevalensi
Di antara 33 provinsi, terdapat 3 provinsi ter-
stunting sangat tinggi, akan membutuhkan
masuk kategori prevalensi sangat tinggi, yaitu
tidak hanya intervensi perubahan perilaku
Sulawesi Barat, Papua Barat, dan Nusa
komunikasi, tetapi juga beberapa jenis transfer
Tenggara Timur.
makanan khusus, terutama ditargetkan pada
kelompok rentan (misalnya, 1.000 hari per- Indikator proporsi penduduk dengan
tama, ibu hamil dan menyusui, dan anak-anak asupan kalori di bawah tingkat gizi minimum
usia di bawah 2 tahun). Dengan demikian, masih jauh dari target yang ingin dicapai. Ber-
menggabungkan intervensi tersebut dengan dasarkan analisis data Susenas Bappenas
uang tunai atau voucher transfer ke rumah (2012) menunjukkan bahwa pada tahun 2011
tangga juga dapat menjadi solusi. Sebaliknya jumlah penduduk yang mengkonsumsi energi
di daerah dengan tingkat keterjangkauan lebih kurang dari 1.400 kkal (sangat rawan pangan)
baik, seperti perkotaan Surabaya (80% rumah mencapai 14,65 persen, sangat berat untuk
tangga mampu LACON), penekanan intervensi dapat menurunkan 6,15 persen. Hal yang
sesuai target untuk 20 persen termiskin dari sama untuk penduduk yang mengkonsumsi
rumah tangga di wilayah tersebut, akan <2.000 kkal. Untuk itu, diperlukan perhatian
menjadi solusi yang lebih cocok. Analisis ini khusus dalam meningkatkan ketahanan
menyimpulkan bahwa solusi penanganan pangan rumah tangga. Sementara itu, Tanziha
masalah gizi akan berbeda antarwilayah et al. (2010) menganalisis faktor determinan
sesuai dengan kondisi di wilayah masing- kerawanan pangan dan hubungannya dengan

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Volume 32 No. 1, Juli 2014: 1 – 17

10
Tabel 5. Capaian MDGs Berdasarkan Indikator Proporsi Penduduk yang Menderita Kelaparan, 1990-
2015

Indikator Acuan dasar Saat ini Target MDGs Status


Prevalensi balita dengan berat 31,00% (1989)* 17,90% (2010)** 15,5% Akan tercapai
badan rendah/kekurangan gizi 19,6% (2013)**
Prevalensi balita gizi buruk 7,20% (1989)* 4,90% (2010)** 3,6% Akan tercapai
5,7% (2013)**
Prevalensi balita gizi kurang 23,80% (1989)* 13,0% (2010)** 11,9% Akan tercapai
13,9% (2013)**
Proporsi penduduk dengan asupan Perlu perhatian
kalori di bawah tingkat gizi minimum khusus
- 1.400 kkal/kapita/hari 17,00% (1990) * 14,65% (2011) * 8,50%
- 2.000 kkal/kapita/hari 64,21% (1990) * 60,03% (2011) * 35,32%
*
Keterangan : BPS, Susenas
**
Kemenkes, Riskesdas
Sumber : Bappenas (2012), diolah

tingkat kecukupan energi. Hasil analisis me- diktif, bila kemiskinan semakin menurun mesti-
nunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh nya kejadian rawan pangan juga menurun.
nyata terhadap tingkat konsumsi energi (TKE) Dari sisi indikator kemiskinan BPS
rumah tangga adalah pengeluaran per kapita, (BPS, 2013) mendefinisikan garis kemiskinan
intensitas kerawanan pangan, dan jumlah ang- sebagai nilai rupiah yang harus dikeluarkan
gota rumah tangga (JART). Tingkat intensitas
seseorang dalam sebulan agar dapat meme-
kerawanan pangan merupakan tingkat ke-
nuhi kebutuhan dasar asupan kalori sebesar
seringan rumah tangga mengalami kerawanan
2.100 kkal/hari per kapita (garis kemiskinan
pangan. Dengan demikian, semakin sering
makanan) ditambah kebutuhan minimum non-
mengalami rawan pangan maka TKE semakin
makanan yang merupakan kebutuhan dasar
rendah. Demikian halnya dengan faktor JART,
seseorang, yaitu papan, sandang, sekolah,
semakin banyak JART maka TKE cenderung
semakin rendah. Oleh karena itu, program transportasi, serta kebutuhan individu dan
keluarga berencana (KB) masih sangat relevan rumah tangga dasar lainnya (garis kemiskinan
dalam mengantisipasi masalah tersebut. non makanan). Sementara itu, rawan pangan
seperti telah dijelaskan di muka bahwa kerawan-
an pangan adalah suatu kondisi ketidakcukup-
KARAKTERISTIK WILAYAH/RUMAH an pangan yang dialami daerah, masyarakat
TANGGA RAWAN PANGAN atau rumah tangga pada waktu tertentu untuk
DAN RAWAN GIZI KRONIS memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi
pertumbuhan dan kesehatan masyarakat. Dari
Kemiskinan berhubungan sangat erat dengan kedua indikator tersebut dapat disimpulkan
kerawanan pangan dalam dua dimensi (BKP, bahwa walaupun nilai rupiah yang dikeluarkan
2010) yaitu dari (1) kedalamannya, dibedakan sudah setara kebutuhan minimal (2100 kkal)
dengan kategori ringan, sedang, dan berat; rupanya tidak selalu menjamin ketahanan
serta (2) jangka waktu/periode kejadian, pangan rumah tangga yang bersangkutan. Hal
dengan katagori kronis untuk jangka panjang ini bisa dimungkinkan bila nilai rupiah tersebut
dan transien untuk jangka pendek/fluktuasi. tidak dibelanjakan pangan yang berkualitas,
Data empiris menunjukkan bahwa menurunnya sehingga secara riil asupan energi (kkal) yang
jumlah penduduk miskin di Indonesia (periode dikonsumsi rumah tangga belum memenuhi
2005-2010) memberikan indikasi menurunnya kebutuhan minimum asupan energi. Kajian
jumlah penduduk yang rentan terhadap rawan Saliem et al. (2001) menunjukkan bahwa kon-
pangan. Namun demikian, data periode 2008- disi tersebut bisa terjadi, di mana pengeluaran
2011 menunjukkan hal yang berbeda bahwa pangan rumah tangga <60 persen (tergolong
penduduk rawan pangan semakin banyak. Fe- tidak miskin) tetapi konsumsi energinya kurang
nomena ini menunjukkan kondisi yang kontra- 80 persen dari kecukupan (dari sisi asupan

PENDEKATAN RAWAN PANGAN DAN GIZI: BESARAN, KARAKTERISTIK, DAN PENYEBABNYA Tri Bastuti Purwantini

11
konsumsi energi termasuk rawan pangan). an) masih rendah; c) proporsi penduduk mis-
Lebih lanjut dijelaskan bahwa rumah tangga kin masih tinggi; d) sebagian besar penduduk
tersebut dikategorikan kurang pangan. Kondisi bergantung pada sektor pertanian; e) sarana
ini mengindikasikan ketidakpahaman rumah dan prasarana pendidikan, kesehatan, trans-
tangga tentang pola pengeluaran pangan dan portasi dan akses terhadap permodalan ter-
pengetahuan gizi, sehingga perlu sosialisasi batas. Karakteristik seperti di atas juga menjadi
dan penyuluhan tentang pentingnya asupan akar penyebab utama terjadinya rawan pa-
pangan seimbang. ngan dan gizi kronis di Kabupaten Jayawijaya
(Papua).
Tampak bahwa karakteristik wilayah
Karakteristik Wilayah Rawan Pangan dan
rawan pangan bervariasi antarwilayah, kondisi
Rawan Gizi Kronis
ini juga sangat dipengaruhi dengan kondisi
Badan Penelitian dan Pengembangan Per- wilayah, kebiasaan, dan budaya adat setem-
tanian telah melakukan identifikasi wilayah pat, sehingga bagaimana masyarakat dapat
miskin di 27 provinsi di Indonesia pada tahun mengelola sumber daya alam dan lingkungan
1991-1993 dengan menelaah secara kompre- dengan kapasitas sumber daya manusia yang
hensif berbagai karakteristik wilayah yang di- tinggal di wilayah tersebut agar bisa hidup
duga sebagai penyebab terjadinya wilayah layak. Kondisi tersebut dapat dikatakan bahwa
miskin (P/SE, 1991/1992; P/SE, 1992/1993). secara kultural masyarakat terbelenggu de-
Hasil temuan tersebut menunjukkan bahwa ka- ngan keadaan, sehingga sulit keluar dari ke-
rakteristik wilayah miskin yang identik dengan miskinan atau rawan pangan. Namun demikian,
wilayah rawan pangan adalah: a) sumber daya kondisi ini bisa dihilangkan atau dikurangi
alam: lahan kurang subur, dominan lahan ke- dengan mengabaikan faktor-faktor yang meng-
ring, pendayagunaan lahan tidak optimal dan halanginya untuk melakukan perubahan ke
adanya degradasi lahan, sumber daya air arah tingkat kehidupan yang lebih baik.
untuk kebutuhan pertanian relatif terbatas, b)
teknologi: adopsi teknologi rendah, ketesedia-
an sarana produksi terbatas, adanya serangan Karakteristik Rumah Tangga Rawan
hama/penyakit, c) sumber daya manusia: Pangan dan Rawan Gizi Kronis
tingkat pendidikan rendah, produktivitas tenaga Menurut WHO (2010), masalah kesehatan
kerja rendah, tingkat kesehatan masyarakat masyarakat dianggap serius bila prevalensi
rendah, lapangan pekerjaan terbatas, adanya gizi buruk-kurang antara 20,0-29,0 persen, dan
tradisi atau adat istiadat yang menghambat, prevalensi sangat tinggi bila ≥30 persen. Data
dan d) sarana/prasarana dan kelembagaan: empiris (Badan Litbangkes, 2013) menunjuk-
daerah terisolir, modal terbatas, kelembagaan kan bahwa di Indonesia terdapat 18 provinsi
sarana produksi pertanian tidak berfungsi dalam kondisi gizi buruk-kurang 20,0-29,0
maksimal, pemilikan/penguasaan lahan sem- persen, sementara masih terdapat 3 provinsi
pit, sistem bagi hasil tidak adil dan tingkat upah dengan prevalensi sangat tinggi (>30%),
yang rendah; terbatasnya sarana jalan, trans- sehingga secara agregat prevalensi gizi buruk-
portasi, pendidikan, kesehatan dan sarana un- kurang di Indonesia tergolong tinggi.
tuk pemasaran hasil produksi pertanian. De-
Karakteristik kelompok masyarakat
ngan memahami karakteristik tersebut yang di-
rawan pangan adalah sebagian besar petani/
tandai dengan berbagai keterbatasan dari ber-
buruh tani, bertempat tinggal di perdesaan
bagai sisi, ini menunjukkan bahwa lingkungan
yang menggantungkan hidupnya dari sektor
yang kurang mendukung merupakan akar pe-
pertanian dan ekonomi perdesaan serta belum
nyebab kerawanan pangan atau kemiskinan.
memiliki posisi tawar yang menguntungkan
Hasil penelitian Ariani et al. (2008), di (Sekretariat DKP, 2002). Sementara itu, menu-
Jawa Timur, Kalimantan Barat, dan Papua rut Rimbawan dan Baliwati (2002), kelompok
menunjukkan hal yang searah, di mana karak- masyarakat rawan terhadap pangan dan gizi
teristik wilayah rawan pangan dan gizi kronis dapat dibedakan seperti berikut: 1) lokasi/
antara lain dicirikan dengan: a) topografi beru- tempat tinggalnya di masyarakat disebut rawan
pa perbukitan/gunung-gunung, dengan iklim ekologis, misalnya daerah terpencil, 2) kedu-
yang tidak menentu (kasus di Papua) dan dukan/posisinya di masyarakat disebut rawan
dataran rendah dengan curah hujan yang sosio-ekonomis, misalnya kelompok miskin,
sedikit (kasus di Jatim dan Kalbar); b) kualitas dan 3) umur dan jenis kelamin disebut rawan
sumber daya manusia (pendidikan, keterampil- biologis, misalnya bayi dan anak sekolah,

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Volume 32 No. 1, Juli 2014: 1 – 17

12
wanita hamil dan menyusui, penderita penyakit adalah: 1) alih fungsi lahan; 2) fragmentasi
dan orang yang sedang dalam penyembuhan, lahan karena sistem warisan; 3) degradasi
penderita cacat, mereka yang diasingkan, dan sumber daya alam; 4) tekanan jumlah pendu-
para jompo. Selanjutnya golongan rawan bio- duk; 5) tekanan ekonomi; dan 6) kebijakan
logis umumnya dijumpai pada kelompok miskin yang belum sepenuhnya berpihak kepada
dan tidak memiliki lahan. petani. Dengan demikian, untuk penanganan
Hasil penelitian yang dilakukan oleh rawan pangan hal tersebut harus ditanggulangi
Saliem et al. (2002) menunjukkan karakteristik dengan melibatkan lintas sektor.
rumah tangga rawan pangan dicirikan dengan: Sementara itu, BKP (2013) mengemu-
a) umur kepala keluarga dan isteri berusia pro- kakan bahwa kerawanan pangan dapat dise-
duktif, berpendidikan rendah, terdapat anak babkan oleh banyak faktor, antara lain: (a)
yang putus sekolah, b) penguasaan lahan tidak adanya akses secara ekonomi bagi indi-
pertanian dan ternak terbatas, c) tidak semua vidu/rumah tangga untuk memperoleh pangan
rumah tangga menyimpan pangan pokok dan yang cukup; (b) tidak adanya akses secara
kalaupun menyimpan dalam jumlah yang kecil, fisik bagi individu rumah tangga untuk mem-
d) rata-rata pendapatan di bawah garis kemis- peroleh pangan yang cukup; (c) tidak tercu-
kinan dan sebagian besar pendapatan berasal kupinya pangan untuk kehidupan yang produk-
dari sektor pertanian, dan e) pangsa penge- tif individu/rumah tangga; dan (d) tidak terpe-
luaran pangan sangat dominan dan proporsi nuhinya pangan secara cukup dalam jumlah,
terbesar untuk kelompok padi-padian. Dengan mutu, ragam, keamanan, serta keterjangkauan
mengenali indikator dan karakteristik di atas harga. Lebih lanjut dikatakan bahwa kerawan-
maka dapat sebagai acuan target sasaran an pangan dapat dipengaruhi oleh daya beli
intervensi penanganan masalah rawan pangan masyarakat yang ditentukan oleh tingkat pen-
dan gizi. dapatannya. Rendahnya tingkat pendapatan
masyarakat dan menurunnya daya beli pangan
akan memperburuk konsumsi energi dan
FAKTOR PENYEBAB DAN STRATEGI protein masyarakat.
PENANGANAN RAWAN PANGAN DAN
RAWAN GIZI KRONIS Status gizi (nutritional status) merupa-
kan outcome ketahanan pangan yang merupa-
kan cerminan dari kualitas hidup seseorang.
Kemiskinan diartikan sebagai ketidakmampuan Banyaknya balita yang mengalami kurang gizi
rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan dan gizi buruk merupakan indikator rawan gizi,
pokok minimum untuk bisa hidup dan bekerja sedangkan gizi buruk dipengaruhi oleh banyak
secara normal (Swastika, 2011). Sehingga faktor yang saling terkait. Penyebab hal ter-
dapat dikatakan bahwa kemiskinan identik sebut adalah konsumsi makanan yang tidak
dengan rawan pangan. Oleh karena itu, maka seimbang dan penyakit infeksi (akut) sebagai
penyebab kemiskinan pada dasarnya juga akibat tidak cukup persediaan pangan dan
merupakan faktor penyebab terjadinya rawan pola asuh anak tidak memadai, serta sanitasi/
pangan. Menurut Sudaryanto (2010), pe- air bersih, dan pelayanan kesehatan dasar
nyebab utama terjadinya kemiskinan di tidak memadai (Kemenkes, 2013). Adanya
perdesaan adalah: (a) kebijakan pembangu- krisis ekonomi dan kemiskinan, ketidakstabilan
nan ekonomi yang belum memberikan prioritas harga dan kerawanan sosial menyebabkan
pada wilayah miskin; (b) kualitas sumber daya adanya wilayah-wilayah yang mengalami ke-
alam yang rendah dan rentan terhadap gang- laparan dan rendahnya kualitas makanan yang
guan eksternal; (c) rendahnya kualitas infra- dikonsumsi oleh penduduk (Martianto dan
struktur; (d) terbatasnya akses terhadap aset Ariani, 2001).
produktif, khususnya lahan pertanian; (e) ter- Sementara itu, menurut Rimbawan dan
batasnya akses terhadap kegiatan ekonomi Baliwati (2002), penyebab terjadinya rawan
produktif dan kegiatan sosial-kemasyarakatan; produksi dan cadangan pangan adalah ben-
(f) rendahnya kualitas SDM; (g) tersisihkan cana alam (banjir, longsor, kekeringan); gang-
karena aspek gender, etnis, dan cacat; dan (h) guan hama/penyakit; pencemaran lingkungan;
terjadinya gangguan sosial-politik yang ber- terbatasnya sarana dan prasarana, teknologi
kepanjangan. Sebagian besar penduduk di dan perangsang produksi; pertambahan pen-
perdesaan adalah petani. Swastika (2011) duduk; lahan marginal, dan konversi lahan. Se-
mengungkapkan bahwa faktor-faktor pemben- lanjutnya, juga dikatakan penyebab terjadinya
tuk perangkap kemiskinan petani antara lain rawan konsumsi pangan adalah kemiskinan,

PENDEKATAN RAWAN PANGAN DAN GIZI: BESARAN, KARAKTERISTIK, DAN PENYEBABNYA Tri Bastuti Purwantini

13
rendahnya pendidikan, adat, dan kepercayaan butuhan dasar nonpangan seperti pakaian dan
yang terkait dengan tabu makanan. Dalam perumahan. Di Indonesia, untuk membeli ke-
wujud nyata di masyarakat tercermin dari ke- butuhan pangan minimum sebesar Rp190.747
tersediaan dan konsumsi pangan yang tidak per bulan, sedangkan untuk kebutuhan dasar
memadai, harga-harga pangan yang tidak ter- non pangan sebesar Rp68.773, sehingga batas
jangkau, gizi kurang, dan pada tingkat yang garis kemiskinan sebesar Rp248.707 per bulan
parah berupa kelaparan dan kematian. per kapita. Dengan demikian, jumlah penduduk
Menurut FAO (2013) penyebab kera- miskin sangat dipengaruhi oleh batasan garis
wanan pangan adalah tidak tersedianya pa- kemiskinan. Biasanya seseorang yang berada
ngan, daya beli rendah, tidak cukup pangan di bawah garis kemiskinan termasuk rawan
pada tingkat rumah tangga, dan distribusi pangan (BPS, 2013). Hasil studi Derresa et al.
makanan antar anggota rumah tangga tidak (2009) di Ethiopia yang mengukur kerentanan
tepat. Faktor utama penyebab terjadinya status petani terhadap iklim ekstrim seperti
gizi kurang pada anak balita adalah rawan kekeringan, banjir, dan hail-storms (badai
pangan, kondisi kesehatan dan sanitasi buruk, disertai hujan es) menunjukkan bahwa
pola asuh, dan pemberian makanan tambahan kerentanan petani sangat sensitif ter-hadap
yang salah. standar kebutuhan minimum (garis ke-
miskinan). Ketika pendapatan minimum harian
Menurut Depkes (2005) di samping tetap pada USD0,3 per hari, hanya 12,4 per-
dampak langsung terhadap kesakitan dan sen petani yang rentan, sedangkan bila meng-
kematian, gizi kurang juga berdampak terha- gunakan indikator garis kemiskinan USD2 per
dap pertumbuhan, perkembangan intelektual, hari, maka petani yang rentan mencapai 99
dan produktivitas. Anak yang kekurangan gizi persen. Dengan demikian, kemiskinan merupa-
pada usia balita akan tumbuh pendek dan kan penyebab pokok atau akar masalah gizi
mengalami gangguan pertumbuhan serta per- buruk. Proporsi anak yang gizi kurang dan gizi
kembangan otak yang berpengaruh pada buruk berbanding terbalik dengan pendapatan.
rendahnya tingkat kecerdasan karena tumbuh Makin kecil pendapatan penduduk, makin
kembang otak 80 persen terjadi pada masa tinggi persentasi anak yang kekurangan gizi;
dalam kandungan sampai usia 2 tahun. Diper- makin tinggi pendapatan, makin kecil persen-
kirakan bahwa Indonesia kehilangan 220 juta tasinya. Berlaku sebaliknya bahwa kurang gizi
IQ poin akibat kekurangan gizi. Dampak lain berpotensi sebagai penyebab kemiskinan me-
dari gizi kurang adalah menurunkan produk- lalui rendahnya pendidikan dan produktivitas.
tivitas antara 20-30 persen.
Kemiskinan merupakan penghambat
Sementara itu, menurut FAO (2010) keluarga untuk memperoleh akses terhadap
penyebab terjadinya rawan pangan pada ketiga faktor penyebab kekurangan gizi di atas,
rumah tangga adalah sangat kompleks seperti tetapi untuk mencegah gizi buruk tidak harus
situasi sosial politik pertanian dan petaninya, menunggu berhasilnya pembangunan ekonomi
rendahnya luas lahan pertanian produktif per sampai masalah kemiskinan dituntaskan. Pem-
kapita, rendahnya produktivitas dan kesuburan bangunan ekonomi rakyat dan menanggulangi
lahan, anomali iklim, rendahnya teknik per- kemiskinan memakan waktu lama. Pengala-
tanian modern yang berdampak pada rendah- man selama ini menunjukkan bahwa diperlu-
nya produksi pangan, dan rendahnya daya beli kan waktu lebih dari 20 tahun untuk mengu-
rumah tangga sebagai akibat terbatasnya rangi penduduk miskin dari 40 persen (1976)
pendapatan dari off farm. AusAID (2004) menjadi 11 persen (1996). Data empirik me-
menyatakan derajat kerawanan pangan dapat nunjukkan bahwa program perbaikan gizi da-
bervariasi menurut umur, status, jenis kelamin, pat dilakukan tanpa harus menunggu rakyat
pendapatan, lokasi, dan etnis, namun penye- menjadi makmur, tetapi menjadi bagian yang
bab utamanya adalah kemiskinan. Sisi lain eksplisit dari program pembangunan untuk me-
degradasi lahan juga menjadi salah satu makmurkan rakyat (Soekirman, dalam Depkes,
permasalahan di Indonesia yang berdampak 2005)
pada kemiskinan (Siregar, 2010).
Kerawanan pangan menyangkut ba-
Orang yang mengalami rawan pangan nyak aspek, tidak terbatas pada masalah
adalah setiap orang yang berada di bawah produksi saja. Kerawanan pangan kronis terus
garis kemiskinan. Seseorang dikatakan miskin terjadi sebagai akibat kombinasi dari praktek
apabila tidak mampu mengkonsumsi energi budidaya tanaman nonpadi yang kurang baik,
sebesar 2.100 kkal per kapita dan membeli ke- buruknya infrastruktur pendukung produksi,

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Volume 32 No. 1, Juli 2014: 1 – 17

14
dan pemasaran serta pengangguran. Kerawan- terkait dengan kesempatan kerja, pasar, input,
an pangan terselubung diakibatkan oleh dan output pertanian, serta mengenai teknik-
perilaku makan atau menu yang kurang teknik pertanian terbaru. Pendidikan meme-
beragam (DKP dan FAO, 2005). gang peranan sangat penting dalam pening-
Masalah rawan pangan atau lebih luas katan kesejahteraan petani dan pencegahan
dapat diartikan dengan masalah gizi harus kerawanan pangan rumah tangga. Penelitian
ditangani secara komprehensif. Menurut dan pengembangan sangat diperlukan baik
Soekirman (2007), masalah gizi tidak dapat di- yang dilakukan oleh peneliti secara mandiri
tangani dengan kebijakan dan program sepo- maupun yang melibatkan petani. Keempat pilar
tong-sepotong dan jangka pendek, serta sekto- ini perlu diimplementasikan secara kompre-
ral, apalagi hanya ditinjau dari aspek pangan. hensif dalam peningkatan sumber daya manu-
Dari pengalaman negara berkembang yang sia petani dengan memanfaatkan sumber daya
berhasil mengatasai masalah gizi secara tun- alam terutama sektor pertanian. Selain itu, ke-
tas dan lestari seperti Thailand, Tiongkok, dan tahanan pangan difokuskan kepada pember-
Malaysia diperlukan peta jalan kebijakan jang- dayaan rumah tangga dan masyarakat agar
ka pendek dan jangka panjang. Masing- mampu menolong dirinya sendiri dalam mewu-
masing diarahkan memenuhi persediaan pela- judkan ketahanan pangan dan mengatasi ma-
yanan dan menumbuhkan kebutuhan atau salah-masalah pangan yang dihadapi. Pem-
permintaan akan pelayanan. Terkait dengan berdayaan ketahanan pangan masyarakat
hal di atas maka diperlukan kebijakan pemba- antara lain diimplementasikan melalui program
ngunan di bidang ekonomi, pangan, kesehatan Desa Mandiri Pangan (Demapan) yang dimulai
dan pendidikan, serta keluarga berencana pada tahun 2005 (Purwaningsih, 2008)
yang saling terkait dan mendukung, serta ter-
integrasi yang ditujukan untuk mengatasi ma- PENUTUP
salah gizi (kurang dan lebih) dengan mening-
katkan status gizi masyarakat.
Penanganan rawan pangan dan rawan Untuk mengidentifikasi rumah tangga rawan
gizi tidak hanya menjadi tanggung jawab pangan dapat menggunakan indikator tunggal
pemerintah pusat, akan tetapi juga pemerintah kecukupan gizi/energi dan dapat pula
daerah, seperti yang diamanahkan dalam UU menggunakan indikator silang antara pangsa
No. 18 tahun 2012 tentang Pangan. Pasal 58 pengeluaran rumah tangga dan konsumsi
ayat 1 dalam UU tersebut tertulis bahwa Pe- energi (derajat ketahanan pangan) disesuaikan
merintah dan Pemda bertanggung jawab dengan kebutuhan analisis. Informasi tersebut
dalam penyediaan dan penyaluran pangan dapat sebagai masukan dalam implementasi
pokok dan/atau pangan lainnya sesuai kebijakan terkait penanganan wilayah/rumah
kebutuhan, baik bagi masyarakat miskin, tangga rawan pangan.
rawan pangan dan gizi, maupun dalam Pengentasan kemiskinan merupakan
keadaan darurat. Hal ini jelas bahwa Pemda salah satu solusi pengurangan prevalensi ra-
bertanggung jawab atas ketahanan pangan wan pangan, mengingat faktor ini sebagai pe-
wilayah maupun masyarakatnya. nyebab utama kerawanan pangan. Kerawanan
Dari sektor pertanian menurut Priyono pangan dan gizi sangat erat kaitannya dengan
(2014), setidaknya ada empat pilar yang perlu kualitas SDM. Oleh karena itu, meningkatkan
dibangun guna mewujudkan ketahanan pa- kapasitas SDM terutama pada masyarakat
ngan. Keempat pilar tersebut, yaitu: (1) pem- miskin akan sangat membantu menurunkan
bangunan infrastruktur pertanian; (2) penyedia- rawan pangan, sehingga program yang selama
ini pro masyarakat miskin dapat diteruskan.
an informasi dan iptek berbasis kearifan lokal;
(3) perluasan akses pendidikan; dan (4) budaya Pemetaan wilayah rawan pangan dan
penelitian dan pengembangan pertanian. Infra- rawan gizi sangat membantu dalam pena-
struktur pertanian merupakan faktor kunci yang nganan target sasaran pembangunan, infor-
mendukung program pengentasan kemiskinan, masi kantong-kantong rawan pangan, dan ra-
dalam hal ini petani di perdesaan. Ketersedia- wan gizi. Pemutakhiran pemetaan secara
an informasi yang mumpuni dalam hal teknis, berkala perlu terus dilanjutkan, sehingga data
ekonomis, maupun sosial petani sangat diper- terbaru terkait akan dapat membantu program
lukan guna memberikan akses informasi yang penanganan rawan pangan dan rawan gizi.
dibutuhkan petani. Akses informasi terutama Secara paralel kegiatan Sistem Kewaspadaan

PENDEKATAN RAWAN PANGAN DAN GIZI: BESARAN, KARAKTERISTIK, DAN PENYEBABNYA Tri Bastuti Purwantini

15
Pangan dan Gizi (SKPG) yang telah berlang- Badan Litbangkes. 2013. Riset Kesehatan Da-sar:
sung perlu dilanjutkan agar antisipasi dini da- Riskesdas 2013. Badan Litbangkes, Kemen-
lam penanganan rawan pangan dan gizi se- terian Kesehatan. Jakarta.
hingga tidak memperburuk keadaan. Untuk itu, Badan Pusat Statistik. 2012. Laporan Bulanan Data
perlu kajian penentuan dan pengembangan Sosial Ekonomi BPS, Edisi 27, Agustus
indikator-indikator sensitif lainnya dalam 2012. BPS. Jakarta.
pelaksanaan SKPG Badan Pusat Statistik. 2013. Penghitungan dan Ana-
Selain kesehatan, masalah gizi sangat lisis Kemiskinan Makro Indonesia Tahun 2012.
BPS. Jakarta.
erat kaitannya dengan masalah pangan, se-
hingga ada keterkaitan antara rawan pangan Baldi, G; E. Martini; M. Catharina; S. Muslimatu; U.
dan rawan gizi. Untuk mengatasi kekurangan Fahmida; A. B. Jahari; Hardinsyah; R.
gizi memerlukan tindakan terpadu di berbagai Frega,; P. Geniez; N. Grede; Minarto; M.W.
Bloem, danS. de Pee. 2013. Cost of the Diet
sektor. Strategi penanganan rawan pangan
(CoD) tool: First Results From Indonesia and
dan rawan gizi terkait dengan pilar-pilar ke- applications for Policy Discussion on food
tahanan pangan dan gizi, yakni mencakup and Nutrition Security. Food and Nutrition
produksi dan ketersediaan pangan, distribusi Bulletin 34(2): 35-42. http:// www.wfp.org/
dan akses pangan, konsumsi dan keamanan content/cost-diet-cod-tool-first-results-
pangan, serta status gizi masyarakat. indonesia. Diakses Tanggal 4 Januari 2014
Perwujudan ketahanan pangan dan gizi Bappenas. 2011. Rencana Aksi Nasional Pangan
nasional sangat penting sebagai salah satu dan Gizi 2011-2015. Bappenas. Jakarta.
pilar ketahanan nasional dan wilayah, maka Bappenas. 2012. Laporan Pencapaian Tujuan Pem-
perspektif ke depan dimungkinkan perubahan bangunan Milenium di Indonesia 2011.
pendekatan atau paradigma pembangunan pa- Bappenas. Jakarta.
ngan dari ketahanan pangan (Food Security) Departemen Kesehatan. 2005. Rencana Aksi Nasi-
menjadi ketahanan pangan dan gizi (Food onal Pencegahan dan Penanggulangan Gizi
Security and Nutrition). Dengan demikian, Buruk 2005-2009. Depkes. Jakarta.
diharapkan penanganan rawan pangan dan Deressa, T.T., R.M.Hassa dan C Ringler. 2009.
rawan gizi akan lebih komprehensif. Assessing Household Vulnerability To Clima-
te Change The Case Of Farmers In The Nile
Basin Of Ethiopia. IFPRI Discussion Paper
DAFTAR PUSTAKA 00935, November 2009.
Dewan Ketahanan Pangan dan FAO. 2005. Pro-
Ariani, M., H.P.S. Rachman, G.S. Hardono dan T.B. gram Pendukung Desentralisasi Ketahanan
Purwantini. 2008. Analisis Wilayah Rawan Pangan Nasional (PSDKP) Tahap I: 2006-
Pangan dan Gizi Kronis Serta Alternatif Pe- 2015. Ringkasan Eksekutif. Jakarta.
nanggulangannya. Pengembangan Inovasi Dewan Ketahanan Pangan dan WFP. 2005. Peta
Pertanian 1(1): 66-73. Kerawanan Pangan Indonesia (Atlas of Food
Ariningsih, E. dan H.P.S. Rachman. 2008. Strategi Insecurity in Indonesia). Departemen Pertani-
Peningkatan Ketahanan Pangan Rumah- an. Jakarta.
tangga Rawan Pangan. Jurnal Analisis Dewan Ketahanan Pangan dan WFP. 2009. Peta
Kebijakan Pertanian 6(3): 239-255. Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia
AusAID. 2004. Food Security Strategy. http://www. (A Food Security and Vulnerability Atlas of
ausaid.gov.an/publications/pdf/food_security Indonesia). Jakarta.
_strategy04pdg. Diakses Tanggal 27 De- Dewan Ketahanan Pangan. 2009. Indonesia Tahan
sember 2005. Pangan dan Gizi. Dewan Ketahanan Pangan
Badan Ketahanan Pangan. 2010. Rencana Strate- (DKP). Jakarta.
gis Badan Ketahanan Pangan Tahun 2010- Dewan Ketahanan Pangan. 2010. Kebijakan Umum
2014. Badan Ketahanan Pangan, Kementeri- Ketahanan Pangan 2010 – 2014. Dewan
an Pertanian. Jakarta. Ketahanan Pangan (DKP). Jakarta.
Badan Ketahanan Pangan. 2013. Petunjuk Pelak- Faharuddin. 2012. Mengukur Pencapaian Penang-
sanaan Sistem Kewaspadaan Pangan dan gulangan Kemiskinan dan Kelaparan di
Gizi. Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Indonesia Menggunakan Indeks Komposit.
Pertanian. Jakarta. Makalah dipresentasikan pada Widyakarya
Badan Litbangkes. 2010. Riset Kesehatan Dasar: Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X, di
Riskesdas 2010. Badan Litbangkes, Kemen- Auditorium LIPI Jakarta, 22 Nopember 2012
terian Kesehatan. Jakarta.

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Volume 32 No. 1, Juli 2014: 1 – 17

16
FANTA. 2004. Measuring Household Food insecu- Rimbawan dan Y.Baliwati. 2002. Masalah Pa-ngan
rity Workhsop Report. http://www.fantapro dan Gizi. Dalam Y.F. Baliwati, A.Khomsan
ject.org/downloads/pdfs/MHFI_workshop04.p dan C.M.Dwiriani (Eds). buku Pengantar
df. Diakses Tanggal 27 Desember 2005. Pangan dan Gizi. Penebar Swadaya.
FAO. 2010. The State of Food Insecurity in the Jakarta.
World: Addressing Food Insecurity in Protrac- Saliem, H.P., E.M. Lokollo, M. Ariani, T.B. Purwantini,
ted Crises. http://www.fao.org/docrep/013/ dan Y. Marisa. 2001. Analisis Ketahanan
i1683e/i1683e.pdf. Diakses Tanggal 12 Juni Pangan Tingkat Rumahtangga dan Regio-
2013. nal. Laporan Penelitian Pusat Penelitian dan
FAO. 2013. Sustainable Food Systems for Food Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.
Security and Nutrition. http://www.fao.org/get Bogor.
involved/worldfoodday/en/. Diakses Tanggal Saliem, H.P; M. Ariani; Y.Marisa dan T. B.
23 Desember 2013. Purwantini. 2002. Analisis Kerawanan Pa-
Fuada, N., S. Muljati, T. .S Hidayat. 2012. Penentu- ngan Wilayah dalam Perspektif Desentra-
an Daerah Rawan Gizi Berdasarkan Analisis lisasi Pembangunan. Laporan Penelitian.
Spatial. Media Litbang Kesehatan 22 (1): 18- Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial
29. Ekonomi Pertanian. Bogor.
Hardinsyah, Hartoyo, D. Briawan, C.M. Daviriani Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan 2002. Hasil
dan B. Setiawan. 1999. Membangun Sistem Konperensi Dewan Ketahanan Pangan 2002.
Ketahanan Pangan dan Gizi Yang Tangguh Jakarta.
dalam Thaha, R. et al (eds) Pembangunan
Siregar, P. 2010. Degradasi Lahan dan Dampaknya
Gizi dan Pangan dalam Perspektif Keman-
terhadap Kemiskinan. http://uwityangyoyo.
dirian Lokal PERGIZI PANGAN Indonesia
wordpress.com/2010/09/06/degradasi-lahan-
dan Center for Regional Resource Develop-
ment and Community Empowerment. Bogor. dan-dampaknya-terhadap-kemiskinan/#
more-178. Diakses Tanggal 29 April 2014.
Kemenkes, 2012. Kerangka kebijakan Gerakan
Sadar Gizi dalam Rangka Seribu Hari Soekirman. 2007. Perlu Paradigma Baru untuk
Pertama Kehidupan (1.000 HPK). Menanggulangi Masalah Gizi Makro di
Indonesia. http://www.gizi.net/cgibin/berita/
Khomsan, A. 2008. Rawan Pangan, Rawan Gizi. fullnews.cgi?newsid1005192491,63113.
Kompas, 16 Januari 2008. http://ctinemu.blog Diakses Tanggal 15 April 2007.
spot.com/2008/01/rawan-pangan-rawan-
gizi.html. Diakses Tanggal 24 Oktober 2013. Sudaryanto, T. 2010. Akselerasi Pengentasan Ke-
miskinan di Perdesaan: Revitalisasi Peran
Martianto, D. 2005. Pemahaman dan Persepsi Sektor Pertanian. Pengembangan Inovasi
Masyarakat tentang Rawan Pangan dan Gizi Pertanian 3(1): 1-17.
Buruk. Makalah disampaikan dalam
Lokakarya Nasional II Penganekaragaman Swastika, D.K.S. 2011. Membangun Kemandirian
Pangan: Rekonstruksi Kelembagaan So-sial dan Kedaulatan Pangan untuk Mengentas-
Penanganan dan Pencegahan Rawan kan Petani dari Kemiskinan. Pengembang-an
Pangan dan Gizi Buruk. Jakarta. Inovasi Pertanian 4(2): 103-117.
Martianto, D. dan M. Ariani. 2001. Analisis Ketahanan Tanziha, I. Hardinsyah dan M. Ariani. 2010. Deter-
Pangan di Indonesia. Jurusan Gizi Masya- minan Intensitas Kerawanan Pangan serta
rakat dan Sumber Daya Keluarga, Fakultas Hubungannya dengan Food Coping Strate-
Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. gies dan Tingkat Kecukupan Energi di Ke-
Purwaningsih, Y. 2008. Ketahanan Pangan: Situasi, camatan Rawan dan Tahan Pangan. Jurnal
Permasalahan, Kebijakan, dan Pemberda- Gizi dan Pangan 5(1): 39-48.
yaan Masyarakat. Jurnal Ekonomi Pem- WHO. 2010. World Health Satistice 2010. Part I He-
bangunan 9 (1): 1-27. alth-related Millennium Development Goals.
Radhakrisha,R. and K.V.Reddy. Food Security and http://www.who.int/whosis/whostat/ 2010/en/.
Nutrition: Vision 2020. Diakses Tanggal 23 Desember 2013.

PENDEKATAN RAWAN PANGAN DAN GIZI: BESARAN, KARAKTERISTIK, DAN PENYEBABNYA Tri Bastuti Purwantini

17

Anda mungkin juga menyukai