Anda di halaman 1dari 9

PENGERTIAN RIBA

Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Sementara secara linguistik riba juga berarti
tumbuh dan membesar. Riba adalah penetapan bunga atau melebihkan jumlah pinjaman saat
pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok yang dibebankan
kepada peminjam.

DASAR HUKUM RIBA

Dalam hukum islam, riba adalah sesuatu hal yang dilarang oleh Allah SWT karena menyebabkan
kerusakan yang berdampak pada kebinasaan. Riba dilarang karena termasuk dalam perampasan
harta kekayaan orang lain dan merugikan salah satu pihak. Selain itu sifat tamak yang ada dalam
diri manusia akan mendorong perbuatan yang merusak moral, karena dewasa ini banyak sekali
manusia yang bertengkar dengan sesamanya hanya karena masalah harta dan tentu hal ini akan
memicu kebencian antar sesama manusia, selain itu dengan adanya riba kesejahteraan umum
karena riba akan menimbulkan masalah kesenjangan social, padahal dalam perekonomian Islam,
yang ditarik kepentingan adalah untuk mencapai mashlahah tiap umat manusia. Dasar hukum riba
tertulis secara jelas dalam beberapa ayat dalam surah Al Qurán yang terbagi dalam beberapa
tahapan, antara lain;

Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar harta manusia bertambah,
maka tidak maka tidak bertambah pada pandangan Allah. Dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk memperoleh keridhaan Allah,
maka itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). (Q.S. Ar Rum: 39)

Dan karena mereka menjalankan riba, padahal sungguh mereka telah dilarang
darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan cara tidak sah (bathil).
Dan kami sediakan untuk orang-orang kafir diantara mereka azab yang pedih (Q.S.
An Nisa: 161)

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda, dan bertakwalah kamu kepada Allah agar kamu beruntung. (Q.S. Ali Imran:
130)

Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata
bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia
berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya
(terserah) kepada Allah. Barang siapa mengulangi, maka mereka itu penghuni
neraka, mereka kekal didalamnya. (Q.S. Al-Baqarah: 275).

Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Allah SWT tidak menyukai
setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa. ” (Q.S. Al-Baqarah:
276).

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (Q.S. Al-Baqarah :
278).
JENIS RIBA

1. Riba Hutang Piutang

“Tidak boleh ada piutang bersamaan dengan jual beli (mencari keuntungan)”. (HR.
Tirmidzi, Abu Daud dan An Nasaa’i. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini shahih. Syaikh
Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Riba hutang piutang terbagi menjadi 2 macam, yaitu:

1) Riba Qard
Manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang.

2) Riba Jahiliyah
Riba ini terdapat pada hutang yang dibayar melebihi dari pokoknya, hal ini dikarenakan si
peminjam tidak mampu untuk membayarnya pada waktu yang telah ditetapkan. Adapun
penambahan hutang yang dibayarkan akan semakin bertambah besar bersamaan dengan
semakin mundurnya waktu pelunasan hutang. Sistem ini dikenal juga dengan istilah riba
mudha'afah (melipatgandakan uang).

2. Riba Jual Beli

Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir
(sejenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan korma, dan garam dijual dengan
garam, takarannya sama rata dan dibayar dengan kontan. Siapapun yang menambah atau
meminta tambahan maka ia telah melakukan riba. (HR. Muslim)

Riba jual beli terbagi juga menjadi 2 macam, yaitu:

1) Riba Fadhl
Pertukaran antara barang-barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda dan
barang yang dipertukarkan termasuk dalam jenis “barang ribawi”.
2) Riba Nasi'ah
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan
barang ribawi lainnya. Riba ini muncul dikarenakan adanya perbedaan, perubahan, atau
tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.

JENIS BARANG RIBAWI

Para ahli fiqih islam telah membahas masaah riba dan jenis barang ribawi dengan panjang
dan lebar dalam kitab-kitab mereka. Barang ribawi sendiri adalah istilah yang digunakan untuk
barang-barang yang dapat mengakibatkan terjadinya akad riba bila terjadi kelebihan dalam salah
satu pertukarannya(Jual-Beli). Oleh karena itu, emas dan perak (nuqud) serta bahan makanan
dikenal sebagai barang ribawi. Jenis barang ribawi meliputi :

1. Nuqud adalah barang yang terdiri atas emas (dzahab) dan perak (fidlah). Kadang kala ia
dicetak dalam bentuk mata uang logam (fulûs), dan kadang pula dicetak dalam rupa
perhiasan (huliyyun) atau emas batangan (tibrun). Masing-masing rupa emas dan perak ini,
adalah sama-sama merupakan barang ribawi. Sifat ribawi mata uang logam (fulûs) ini
ditentukan oleh sifat fisiknya sebagai barang berharga (jauhariyatu al-atsmân). Untuk
mengetahui sifat fisik mata uang ini, kita bisa membuat sebuah perumpamaan bahwa suatu
ketika kita melebur kembali uang tersebut sehingga kembali ke bentuk dasarnya berupa
lantakan emas atau perak yang menghilangkan sifat alat tukarnya sebagai mata uang.
Hasilnya, meskipun uang tersebut telah kehilangan nilai tukar, namun ia tetap berharga
disebabkan ia merupakan barang berharga (atsman). Inilah mengapa kemudian fulus tetap
dimasukkan sebagai barang ribawi.
2. Selain emas dan perak, barang ribawi berikutnya adalah bahan pangan. Maksud dari bahan
pangan ini adalah Bahan yang sebagian besar dimaksudkan untuk tujuan pangan, meskipun
jarang dikonsumsi, contoh: sayur-sayuran dan buah-buahan. Adapun bahan pangan yang
termasuk ribawi ada tiga, yaitu
1) Gandum: baik gandum merah (burr) maupun gandum putih (sya’îr),
Bur dan sya’îr, keduanya dianggap mewakili fungsi sebagai sumber kekuatan pokok
(taqawwut). Dari keduanya kemudian muncul penyamaan hukum terhadap beberapa jenis
bahan makanan lain, seperti beras dan jagung dan kacang-kacangan (al-fûl).

2) Kurma (al-tamr).
Kurma ini mewakili kelompok lauk-pauk (taaddum), camilan (tafakkuh), dan manisan
(tahalla) karena ia bukan termasuk makanan pokok. Ia hanya berperan sebagai sumber
makanan sekunder. Dari kurma ini selanjutnya muncul penyamaan hukum terhadap
anggur (zabib) dan buah tiin dan tebu.

3) Garam (al-milhu).
Fungsi dari garam ini pada dasarnya untuk membaguskan (li al-ishlaahi). Dari peran
membaguskan ini, maka ditarik persamaan hukum untuk bahan-bahan yang berperan
sebagai obat-obatan (tadâwa), seperti za’farân dan jahe-jahean.

Apabila barang ribawi tersebut di atas diniatkan untuk diperjualbelikan dengan sesama
jenisnya, maka ada syarat yang harus dipenuhi, antara lain sebagai berikut:

1. Harus hulul, yaitu barang dan harganya harus diserahkan secara kontan serta tidak boleh diutang.
Bilamana terjadi penundaan dalam penyerahannya, maka ia bisa masuk kategori transaksi riba.

2. Taqabudl, yaitu barang dan harganya harus diserahterimakan di tempat transaksi. Di luar majelis
transaksi, maka ia juga bisa masuk kategori riba.

3. Tamatsul, yaitu barang harus sama jenis ukuran dan timbangannya. Bila barang diukur dengan
liter, maka keduanya harus sama-sama dengan liter. Bila barang ditimbang dengan kilogram, maka
keduanya juga harus ditimbang dengan kilogram. Perbedaan ukuran dan timbangan dapat menarik
kepada transaksi riba.

Adapun bila barang ribawi di atas, diniatkan untuk diperjualbelikan tidak dengan sesama jenisnya,
maka syarat yang harus dipenuhi, adalah harus kontan (hulul) dan harus saling menerima
(taqabud).

KONSEP RIBA DALAM PERSPEKTIF NONMUSLIM

Riba bukan hanya merupakan persoalan masyarakat Islam, tetapi berbagai kalangan di luar
Islam pun memandang serius persoalan ini. Karenanya, kajian terhadap masalah riba dapat diruntut
mundur hingga lebih dari dua ribu tahun silam. Masalah riba telah menjadi bahan bahasan
kalangan Yahudi,Yunani, demikian juga romawi. Kalangan Kristen dari masa ke masa juga
mempunyai pandangan tersendiri mengenai riba.
Karena itu sepantasnya bila kajian tentang riba pun melihat perspektif dari kalangan
nonmuslim tersebut. Ada beberapa alasan mengapa pandangan dari kalangan nonmuslim tersebut
perlu dikaji.
Pertama, Agama Islam mengimani dan menghormati Nabi Ibrahim, Ishak, Musa dan Isa.
Nabi-nabi tersebut diimani juga oleh orang Yahudi dan Nasrani. Islam juga mengakui kedua kaum
ini sebagai Ahli Kitab karena kaum yahudi di karuniai Allah SWT kitab Taurat, sedangkan kaum
Kristen dikaruniai Kitab Injiil.
Kedua, Pemikiran kaum Yahudi dan Kristen perlu dikaji karena sangat banyak tulisan
mengenai bunga yang dibuat param pemuka agama tersebut.
Ketiga, pendapat orang-orang Yunani dan Romawi juga perlu diperhatikan karena mereka
memberikan kontribusi yang besar pada peradaban manusia. Pendapat mereka juga banyak
mempengaruhi orang-orang Yahudi dan Kristen serta Islam dalam memberikan argumentasi
sehubungan dengan riba.
1. Konsep Bunga di Kalangan Yahudi
Orang-orang Yahudi dilarang mempraktikkan pengambilan bunga. Pelarangan ini
banyak terdapat dalam kitab suci mereka, baik dalam Old Testament (Perjanjian Lama)
maupun undang-undang Talmud.
 Kitab Exodus (Keluaran) pasal 22 ayat 25 menyatakan
“Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang dari Umat-Ku, orang yang
miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih utang
terhadap dia: janganlah engkau bebankan bunga uang terhadapnya.”
 Kitab Deuteronomy (Ulangan) Pasal 23 ayat 19 menyatakan.
“Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan
makanan, atau apa pun yang dapat dibungakan.”
 Kitab Levicitus (Imamat) pasal 25 ayat 36-37 menyatakan,
“Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau
harus takut akan Allahmu, supaya saudaramu bisa hidup di antara-mu. Janganlah
engkau memberi uangmu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu
janganlah kauberikan dengan meminta riba.”
2. Konsep Bunga di Kalangan Yunani dan Romawi
Untuk kalangan bangsa Yunani dan Romawi, terdapat dinamika terkait pelarangan
praktik pengambilan bunga. Namun demikian, tidak terdapat perbedaan pendapat tentang
riba yang merupakan suatu hal yang amat keji dan merugikan. Para ahli filsafat Yunani dan
Romawi terkemuka yaitu Plato, Aristoteles, Cato, dan Cicero mengutuk orang – orang
romawi yang mempratikkan pengambilan bunga.

Ada dua alasan yang diungkapkan Plato atas kecamannya terhadap sistem bunga yaitu
Pertama , bunga menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat.
Kedua, bunga menjadi alat golongan kaya dalam mengeksploitasi golongan miskin.
Aristoteles mencermati tentang berubahnya fungsi uang yang telah menjadi komoditas.
Aristotles memandang bahwa fungsi uang hanyalah sebagai alat tukar medium of exchange

Sedangkan ahli filsafat Romawi Cicero memberi nasihat pada anaknya agar menjauhi
dua pekerjaan yaitu memungut cukai dan memberi pinjaman dengan bunga. Sedangkan
Cato memberikan dua ilustrasi untuk menggambarkan perbedaan antara perniagaan dan
memberi pinjaman yakni:

1) Pertama, perniagaan adalah suatu pekerjaan yang mempunyai risiko, sedangkan


memberi pinjaman dengan bunga adalah sesuaru yang tidak pantas.
2) Kedua, dalam tradisi mereka terdapat perbandingan antara seorang pencuri dan
seorang pemakan bunga. Pencuri akan didenda dua kali lipat sedangkan pemakan
bunga akan didenda empat kali lipat yang berarti bahwa kejahatan bunga melalui
sistem riba lebih jahat dari tindak kriminal pencurian.
3. Konsep Bunga di Kalangan Kristen
Pada kalangan umat Kristen, terdapat pembahasan menarik terkait hukum
pengambilan bunga yang berlangsung panjang selama kurang lebih 16 abad. Meskipun
larangan pengambilan bunga (riba) tidak tertulis secara jelas di Kitab Perjanjian Baru,
namun sebagian kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat tersebut merupakan bentuk
larangan praktik riba untuk mereka.

“Dan, jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang karena kamu


berharap akan menerima sesuatu darinya, apakah jasamu? Orang – orang
berdosa pun meminjamkan kepada orang berdosa supaya mereka menerima
kembali sama banyak. Tetapi kamu, kasihanilah musuhmu dan berbuatlah
baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan,
maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak – anak Tuhan Yang
Mahatinggi sebab Ia baik terhadap orang – orang yang tidak tahu berterima
kasih dan terhadap orang – orang jahat (Lukas 6:34-35).”

Ayat tersebut dijadikan oleh sebagian kalangan Kristiani sebagai dasar hukum
larangan praktik pengambilan bunga atau riba. Ditinjau dari segi bahasa memang tidak
terdapat diksi yang jelas yang menyebutkan larangan riba seperti di dalam Al Quran diatas.
Hal inilah yang menjadi perdebatan panjang di kalangan umat Kristiani. Berbagai
pandangan di kalangan pemuka agama Kristen dapat dikelompokkan menjadi tiga periode
utama, yaitu pandangan para pendeta awal Kristen (abad I-XII) yang mengharamkan
bunga, pandangan para sarjana Kristen (abad XII-XVI) yang berkeinginan agar bunga
diperbolehkan, dan pandangan para reformis Kristen (abad VXI-tahun 1836) yang
menyebabkan agama Kristen menghalalkan bunga.

a. Pandangan para pendeta awal kristen. ( Abad I – VIII)

Pada masa ini, umumnya pengambilan bunga dilarang. Mereka merujuk masalah
pengambilan bunga kepada Kitab Perjanjian Lama yang juga diimani oleh orang
Kristen.
 St. Basilius (329 - 379) menganggap mereka yang memakan bunga sebagai
orang yang tidak berperi-kemanusiaan. Baginya, mengambil bunga adalah
mengambil keuntungan dari orang yang memerlukan. Demikian juga
mengumpulkan emas dan kekayaan dari air mata dan kesusahan orang
miskin.
 St. Gregorius dari Nyssa (335 - 395) mengutuk praktik bunga karena
menurutnya pertolongan melalui pinzaman adalah palsu. Pada awal kontrak
seperti membantu tetapi pada saat menagih dan meminta imbalan bunga
bertindak sangat kejam.
 St. Yohanes Krisostomus (344 - 407) berpendapat bahwa larangan yang
terdapat dalam Perjanjian Lama yang ditujukan bagi orang-orang Yahudi
juga berlaku bagi penganut Perjanjian Baru.
 St. Ambrosius mengecam pemakan bunga sebagai penipu dan pembelit
(rentenir).
 St. Augustinus berpendapat pemberlakuan bunga pada orang miskin lebih
kejam dibandingkan dengan perampok yang merampok orang kaya. Karena
dua-duanya sama-sama merampok, satu terhadap orang kaya dan lainnya
terhadap orang miskin.
 St. Anselmus dari Canterbury (1033 - 1109) menganggap bunga sama
dengan perampokan.
Larangan praktik bunga juga dikeluarkan oleh gereja dalam bentuk undang-undang
(hukum kanon): Konsili Elvira (Spanyol tahun 306) mengeluarkan Canon 20 yang
melarang para pekerja gereja mem-praktikkan pengambilan bunga. Barangsiapa yang
melanggar, maka pangkatnya akan diturunkan. Konsili Arles (tahun 314)
mengeluarkan Canon 44 yang juga melarang para pekerja gereja mempraktikkan
pengambilan bunga. Konsili Nicea I (tahun 325) mengeluarkan Canon 17 yang
mengancam akan memecat para pekerja gereja yang mempraktikkan bunga. Larangan
pemberlakuan bunga untuk umum baru dikeluarkan pada Council of Vienne (tahun
1311) yang menyatakan barangsiapa menganggap bahwa bunga itu adalah sesuatu
yang tidak berdosa maka ia telah keluar dari Kristen (murtad).
Kesimpulan dari Pandangan para pendeta Awal Kristen:
 Bunga adalah semua bentuk yang diminta sebagai imbalan yang melebihi
jumlah barang yang dipinjamkan.
 Mengambil bunga adalah suatu dosa yang dilarang, baik dalam Perjanjian
Lama maupun Perjanjian Baru.
 Keinginan atau niat untuk mendapat imbalan melebihi apa yang
dipinjamkan adalah suatu dosa.
 Bunga harus dikembalikan kepada pemiliknya.
 Harga barang yang ditinggikan untuk penjualan secara kredit juga
merupakan bunga yang terselubung.

b. Pandanga Para Sarjana Kristen (Abad XII-XVI)


Pada masa ini terjadi perkembangan yang sangat pesat di bidang perekonomian dan
perdagangan. Pada masa tersebut, uang dan kredit menjadi unsur yang penting dalam
masyarakat. Pinzaman untuk memberi modal kerja kepada para pedagang mulai
digulirkan pada awal Abad XII. Pasar uang perlahan-lahan mulai terbentuk. Proses
tersebut mendorong terwujudnya suku bunga pasar secara meluas. Para sarjana Kristen
pada masa ini tidak saja membahas permasalahan bunga dari segi moral semata yang
merujuk kepada ayat-ayat Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, mereka juga
mengaitkannya dengan aspek-aspek lain. Di antaranya, menyangkut jenis dan bentuk
undang-undang, hak seseorang terhadap harta, ciri-ciri dan makna keadilan, bentuk-
bentuk keuntungan, niat dan perbuatan manusia, serta per-bedaan antara dosa individu
dan kelompok.
Mereka dianggap telah melakukan terobosan baru sehubungan dengan
pendefinisian bunga. Dari hasil bahasan mereka untuk tujuan memperhalus dan
melegitimasi hukum, bunga dibedakan menjadi interest dan usury. Menurut mereka,
interest adalah bunga yang diperbolehkan, sedangkan usury adalah bunga yang
berlebihan. Para tokoh akademisi Kristen yang memberikan kontribusi pendapat yang
sangat besar sehubungan dengan bunga ini adalah Robert dari Courçon (1152-
1218), William dari Auxxerre (1160-1220), St. Raymundus dari Peñafort (1180-
1278), St. Bonaventura (1221-1274), dan St. Thomas Aquinas (1225-1274).
Kesimpulan hasil dari pandangan Para Sarjana Kristen yaitu :
 Niat atau perbuatan untuk mendapatkan keuntungan dengan memberikan
pinzaman adalah suatu dosa yang bertentangan dengan konsep keadilan.
 Mengambil bunga dari pinzaman diperbolehkan, namun haram atau
tidaknya tergantung dari niat si pemberi hutang.

c. Pandangan Para Reformis Kristen (Abad XVI- Tahun 1836)


Pendapat para reformis Protestan telah mengubah dan membentuk pandangan baru
mengenai bunga. Para reformis itu antara lain adalah John Calvin (1509-
1564), Charles du Moulin (1500 - 1566), Claude Saumaise (1588-1653), Martin
Luther (1483-1546), Melanchthon (1497-1560), dan Zwingli (1484-1531).
Beberapa pendapat Calvin sehubungan dengan bunga antara lain:
 Dosa apabila bunga memberatkan.
 Uang dapat membiak (kontra dengan Aristoteles).
 Tidak menjadikan pengambil bunga sebagai profesi.
 Jangan mengambil bunga dari orang miskin.
Du Moulin mendesak agar pengambilan bunga yang sederhana diperbolehkan
asalkan bunga tersebut digunakan untuk kepentingan produktif. Saumise, seorang
pengikut Calvin, membenarkan semua pengambilan bunga, meskipun ia berasal dari
orang miskin. Menurutnya, menjual uang dengan uang adalah seperti perdagangan
biasa, maka tidak ada alasan untuk melarang orang yang akan menggunakan uangnya
untuk membuat uang. Menurutnya pula, agama tidak perlu repot-repot mencampuri
urusan yang berhubungan dengan bunga.
SUMBER:
https://www.researchgate.net/publication/314487598_RIBA_DALAM_PERSPEKTIF_ISLAM_
DAN_SEJARAH
https://www.syariahbank.com/pengertian-riba-dalam-islam-dan-macam-macam-riba/
https://islam.nu.or.id/post/read/95074/mengenal-macam-macam-barang-ribawi-

Anda mungkin juga menyukai