Anda di halaman 1dari 7

Analisis Kasus

“Behavioral Implications of
Airline Depreciation Accounting
Policy Choices”

DISUSUN OLEH:

ADHIKA UTAMA (01)


AYU EKA PEBSIANA (06)
DINARTIKA HUKAMAWATI (11)
HARIS JUNAIDI (18)
HAZAMI (19)
REPYSSA ADISETIAWAN (28)

PROGRAM DIPLOMA IV SPESIALISASI AKUNTANSI


SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA
2015
Behavioral Implications of Airline Depreciation
Accounting Policy Choices

1. Pendahuluan

Tujuan utama organisasi berorientasi laba adalah memaksimalkan nilai pemegang saham
(pemilik) atau nilai perusahaan dalam jangka pendek. Pengendalian hasil yang ideal akan
memberikan imbalan bagi karyawan terhadap kontribusi mereka pada nilai perusahaan. Oleh karena
pengukuran langsung dari kontribusi karyawan terhadap penciptaan nilai jarang terjadi, perusahaan
harus mencari pengukuran yang mewakili tujuan akhir dan mengambil jalan alternatif pengendalian
hasil.

Pengukuran kinerja dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori. Dua dari kategori ini meliputi
ringkasan pengukuran keuangan dari kinerja, ditunjukkan baik di pasar (harga saham) maupun di
istilah keuangan, dan kategori ketiganya termasuk kombinasi pengukuran. Ringkasan pengukuran
merefleksikan kumpulan atau pengaruh bottom line dari berbagai area kinerja. Kategori pertama
dari ringkasan pengukuran berisi pengukuran pasar, yang menggambarkan perubahan harga saham
atau return pemegang saham. Kategori kedua berisi pengukuran akuntansi, yang dapat didefinisikan
baik dalam istilah residual (seperti pendapatan bersih setelah pajak, laba operasi, laba residu, atau
tambahan nilai ekonomis) maupun rasio (seperti Return on Investment (ROI), Return on Equity (ROE),
atau Return on Net Operating Asset (RNOA)). Kategori ketiga merupakan kombinasi pengukuran
yang melibatkan pengukuran pasar dan pengukuran keuangan.

Pengukuran akuntansi dari kinerja merupakan hal yang umum dilakukan. Pengukuran
akuntansi dari kinerja memiliki beberapa keunggulan dibandingkan alternatif pengukuran lainnya.
Secara umum, biaya inkremental minimal untuk pengukuran akuntansi dan menghasilkan ringkasan
hasil yang bermanfaat dari berbagai tindakan dan keputusan yang dibuat manajer. Akan tetapi,
harus diketahui pula meskipun pengukuran akuntansi terbaik tidak sempurna, pengukuran tersebut
hanya mengganti atau berfungsi sebagai indikator proksi perubahan pada nilai perusahaan.

2. Analisis Kasus

Kasus Behavioral Implications of Airline Depreciation Accounting Policy Choices memaparkan


tentang pemilihan kebijakan akuntansi yang dilakukan oleh manajer. Para manajer dari beberapa
perusahaan memilih serangkaian kebijakan yang relatif “konservatif”, sementara yang lain memilih
yang relatif “liberal”. Konservatisme menyebabkan tertundanya pengakuan penerimaan atau
keuntungan tertentu dan/atau percepatan pengakuan beban atau kerugian tertentu. Efek dari
konservatisme yakni bahwa laba akan dilaporkan di kemudian hari dan lebih lama dibandingkan
dengan penggunaan kebijakan akuntansi yang lebih liberal.

Untuk menentukan apakah perusahaan penerbangan cenderung konservatif atau liberal


dalam pemilihan kebijakan akuntansi, salah satu area yang dapat ditinjau adalah area akuntansi aset
tetap (Property, Plant, and Equipment – PP&E). Aset tetap umumnya mencakup lebih dari 50% dari
total aset suatu perusahaan penerbangan. Menariknya, kebijakan akuntansi aset tetap perusahaan
penerbangan sangat bervariasi.

Kasus Behavioral Implications of Airline Depreciation Accounting Policy Choices memberikan


contoh praktik depresiasi pesawat terbang yang digunakan di empat perusahaan penerbangan
utama. Berikut ini rincian kebijakan depresiasi dari empat perusahaan penerbangan utama:
Delta Airlines AMR Corporation
< th 1986 Th 1986-1993 > th 1993 < th 1999 ≥ Th 1999
Estimated Useful Life (year) 10 15 20 20 25
Residual Value (% of cost) 10% 10% 5% 5% 10%
Depreciation Expense per year (%
9,00% 6,00% 4,75% 4,75% 3,60%
Cost)
Annual Depreciation Expense for
$100 gross value of Aircraft (in $9,00 $6,00 $4,75 $4,75 $3,60
Dollars)

Singapore Airlines
Lufthansa
< th 1989 Th 1989-2001 > 2001
Estimated Useful Life (year) 8 10 15 12
Residual Value (% of cost) 10% 20% 10% 15%
Depreciation Expense per year (% Cost) 11,25% 8,00% 6,00% 7,08%
Annual Depreciation Expense for $100
$11,25 $8,00 $6,00 $7,08
gross value of Aircraft (in Dollars)

Fakta-fakta pendukung yang digunakan dalam kasus ini adalah:

1. Sebuah pesawat terbang dapat mengudara tanpa batas dengan asumsi pesawat terbang tersebut
dipelihara dengan layak.
2. Biaya pemeliharaan pesawat terbang cenderung meningkat sepanjang waktu.

Tampilan 1 di atas menunjukkan suatu fungsi khusus terkait biaya yang dibutuhkan untuk
pemeliharaan badan pesawat jet komersial yang disebut “maturity factor” dan jumlah jam
terbang kumulatif pesawat “cumulative flight hours”.
3. Masa manfaat ekonomis dari pesawat terbang terbatas, tetapi sulit diestimasi. Beberapa pesawat
terbang DC-3 masih menerbangkan rute-rute muatan komersial meskipun mulai beroperasi
tahun 1935. Namun, pesawat terbang ini dan penerusnya (seperti Boeing 707 yang mengudara
pertama kali pada tahun 1957), tidak lagi kompetitif untuk digunakan dalam pasar penumpang.
4. Harga pesawat terbang baru cenderung meningkat sepanjang waktu. Nilai pasar wajar untuk
pesawat terbang yang dioperasikan menurun sepanjang waktu, kecuali pesawat terbang tersebut
menjadi usang akibat suatu terobosan teknologi baru, nilainya menurun perlahan-lahan.
Beberapa nilai pesawat terbang tetap terjaga pada 90% atau lebih dari nilainya semula meskipun
sudah digunakan dalam beberapa dekade. Nilai pesawat terbang yang sudah dioperasikan
berfluktuasi secara signifikan tergantung pada permintaan dan penawaran pasar dalam industri
perjalanan udara dan produksi pesawat terbang, inovasi teknologi, dan perubahan dalam hukum
(misalnya pengaturan polusi suara atau pengurangan pajak yang diperbolehkan). Meskipun
demikian, sangat jarang nilai pasar pesawat terbang yang sudah dioperasikan turun di bawah 50%
dari harga perolehannya.
5. Di banyak negara, termasuk Amerika Serikat, peraturan tentang depresiasi yang diizinkan demi
keperluan pajak cukup berbeda dengan keperluan pelaporan keuangan. Peraturan pajak
mengizinkan akuntansi konservatif untuk menjamin perusahaan tidak perlu membayar pajak
sebelum memperoleh kas dari pelanggan. Perusahaan seharusnya dan telah memanfaatkan
peraturan tersebut serta mendepresiasikan pesawat terbang secepat mungkin untuk menunda
kewajiban pajak.

Perubahan kebijakan akuntansi depresiasi yang dilakukan di empat perusahaan penerbangan


utama tersebut memberikan dampak terhadap jumlah laba yang diperoleh perusahaan. Hubungan
perubahan kebijakan akuntansi dengan jumlah laba yang diperoleh perusahaan dapat digambarkan
dalam bagan berikut:

Dari bagan tersebut dapat kita lihat pengaruh perubahan kebijakan akuntansi depresiasi.
Perubahan beban depresiasi (Administrative Expense) mempengaruhi Cost of Sales dan Fixed
Investment. Perubahan Cost of Sales dan Fixed Investment berdampak secara sistemik terhadap
Profit dan Asset Turnover. Yang pada akhirnya akan mempengaruhi Return on Investment.

Analisis terhadap kasus Behavioral Implications of Airline Depreciation Accounting Policy


Choices dimulai dengan menganalisis perbedaan yang signifikan dari keempat perusahaan
penerbangan tersebut dalam menghitung beban penyusutan. Keempat perusahaan penerbangan
tersebut menggunakan metode penyusutan garis lurus. Nilai sisa (Salvage Value) dan masa manfaat
pesawat terbang dari keempat perusahaan tersebut berbeda karena adanya perbedaan waktu.

Keempat perusahaan tersebut menyusutkan pesawat terbang menggunakan masa manfaat


dan nilai sisa yang berbeda. Alasan yang mendukung perbedaan tersebut:
1. Perbedaan penggunaan metode keempat perusahaan didasarkan pada jenis armada dan tujuan
bisnis perusahaan.
2. Jenis armada – baru-baru ini ada banyak kemajuan teknologi dalam industri pesawat terbang.
Airbus dan Boeing telah memperkenalkan jenis pesawat baru yang mengklaim bahwa pesawat
terbarunya tersebut mempunyai periode waktu yang lebih tinggi dibandingkan jenis pesawat
sebelumnya. Jenis pesawat terbaru tersebut mampu menambah armada untuk jenis pesawat
terbang yang memberikan opsi untuk menyusutkan armada tersebut dalam periode waktu yang
lebih lama.
3. Penggunaan dan perbaikan – untuk perusahaan yang menggunakan pesawat terbang dalam
periode waktu yang lebih pendek dan perbaikan yang lebih tinggi, mungkin perusahaan akan
tertarik untuk meningkatkan rata-rata periode penggunaan dan juga beban penyusutan yang
lebih rendah.
4. Alasan lain adalah untuk meningkatkan laba perusahaan dengan adanya beban penyusutan yang
lebih kecil. Yang perlu ditekankan di sini bahwa ada lebih banyak asumsi lain yang digunakan.

Berdasarkan tujuan perusahaan, perbedaan perlakuan yang dilakukan oleh perusahaan


tersebut telah sesuai. Setiap perusahaan mempunyai alasan tersendiri untuk menghitung
penyusutan berdasarkan pemikiran dan rasionalisasi dari manajemen perusahaan.

Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa pilihan metode pengukuran merupakan salah
satu alasan mengapa pengukuran laba akuntansi gagal untuk merefleksikan pendapatan ekonomi
secara sempurna. Seperti dalam contoh ini, pilihan atau perubahan jangka waktu penyusutan aset
dan nilai residual akan berpengaruh terhadap pencatatan laba akuntansi selama tahun tersebut.
Contoh dalam kasus adalah bagaimana AMR Corporation mampu mengurangi beban depresiasi
sekitar $158 juta setelah melakukan perubahan masa manfaat dan nilai residual dari aset tetapnya
sehingga laba akuntansi perusahaan menjadi lebih tinggi. Padahal, peningkatan laba akuntansi
tersebut belum tentu diikuti dengan peningkatan pendapatan ekonomi yang sebenarnya. Meskipun
setiap perusahaan mempunyai alasan tersendiri untuk menghitung penyusutan berdasarkan
pemikiran dan rasionalisasi dari manajemen perusahaan, pilihan atau perubahan akuntansi
depresiasi perlu dicermati dengan melihat beberapa alasan yang telah dikemukakan di atas.

Perubahan tersebut juga mempengaruhi Return on Investment sebagaimana telah dijelaskan


sebelumnya. Masalah yang umum terjadi terkait dengan ukuran kinerja Return on Investment adalah
mendorong manajer untuk mempertahankan aset lebih lama dari umur ekonomis yang sebenarnya
dan tidak berinvestasi pada aset baru yang akan menaikkan penyebut dari perhitungan Return on
Investment. Namun pembuktian hal ini membutuhkan analisis yang lebih mendalam terkait
kemampuan keuangan perusahaan mengingat harga pesawat terbang baru cenderung meningkat
sepanjang waktu.

Pada contoh dalam kasus, tiga dari empat perusahaan mengadopsi perubahan akuntansi
depresiasi dengan memperpanjang masa manfaat pesawat terbangnya. Memang, sebuah pesawat
terbang dapat mengudara tanpa batas dengan asumsi pesawat terbang tersebut dipelihara dengan
layak. Hal yang perlu diperhatikan adalah biaya pemeliharaan pesawat terbang cenderung
meningkat sepanjang waktu. Apakah pengurangan biaya depresiasi yang timbul akibat perubahan
akuntansi depresiasi lebih besar dibandingkan dengan penambahan biaya pemeliharaan yang akan
dibebankan di masa mendatang? Tentu pertimbangan ini menjadi penting mengingat perusahaan
diharapkan menghasilkan keuntungan secara berkesinambungan, baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang.
Mengingat masa manfaat ekonomis dari suatu pesawat terbang terbatas tetapi sulit
diestimasi, perubahan masa manfaat dan nilai residual mungkin tidak sesuai karena beberapa jenis
pesawat terbang tidak lagi kompetitif untuk digunakan dalam pasar penumpang di masa yang akan
datang. Contoh dalam kasus adalah masih digunakannya pesawat yang pertama kali beroperasi pada
tahun 1957 atau bahkan sebelumnya, yakni tahun 1935 meskipun tidak lagi kompetitif. Dapat
dipahami bahwa pesawat terbang yang tidak lagi kompetitif akan memiliki jam terbang yang lebih
sedikit dibanding pesawat terbang baru yang dimiliki oleh perusahaan tetapi keduanya memiliki
beban penyusutan yang sama atau hampir sama. Hal ini tentu saja tidak akan terlihat dalam jangka
pendek kecuali terdapat terdapat terobosan teknologi baru dan akan membuat laba jangka pendek
perusahaan lebih tinggi dari pada laba yang akan diperoleh di masa yang akan datang.

Pertimbangan lain yang tidak kalah penting adalah meskipun dibanyak negara peraturan
pajaknya mengizinkan akuntansi ultra-konservatif untuk menjamin perusahaan tidak perlu
membayar pajak sebelum memperoleh kas dari pelanggan, nyatanya dalam kasus ini aturan tersebut
tidak banyak digunakan oleh perusahaan. Perusahaan cenderung untuk tidak mendepresiasikan
pesawat terbang secepat mungkin untuk menunda kewajiban pajak karena hal tersebut akan
membuat laba menjadi lebih kecil. Penghematan atas beban penyusutan terasa lebih
menguntungkan bagi perusahaan dibanding penghematan atas pajak karena dalam jangka pendek
laba perusahaan menjadi lebih tinggi.

Jika dilihat dari alasan-alasan manajemen melakukan perubahan kebijakan penyusutan, dapat
disimpulkan bahwa manajer cenderung berorientasi pada pencapaian laba jangka pendek, yang
sering dikenal dengan myopia perusahaan. Myopia adalah tendensi untuk membuat manajer
berfokus pada jangka pendek secara berlebihan atau myopic. Adanya myopia inilah yang
menyebabkan kemungkinan potensial yang paling merusak. Hal inilah yang mendorong manajer
untuk lebih mengkhawatirkan kenaikan atau laba jangka pendek baik laba bulanan, kuartalan
maupun tahunan sedangkan orientasi jangka panjang perusahaan sering terabaikan.

Contoh perubahan:

Perubahan kebijakan yang telah dilakukan oleh Singapore Airlines. Pada awalnya perusahaan
menganut kebijakan dengan melakukan depresiasi selama masa manfaat 8 tahun sampai nilai sisa 10
persen dari biaya perolehan awal. Kemudian perusahaan melakukan perubahan kebijakan yaitu
mengestimasikan masa manfaat pesawat terbang selama 10 tahun dengan nilai sisa 20 persen dari
biaya perolehan awal.

Contoh yang tidak mengalami perubahan kebijakan:

Lufthansa Airlines secara konsisten melakukan kebijakan penyusutan menggunakan metode garis
lurus dengan estimasi masa manfaat pesawat terbang selama 12 tahun dan nilai residual 15 persen
dari biaya perolehan aset.

Pertimbangan keuangan dalam perubahan kebijakan akuntansi depresiasi

Kinerja keuangan dari keempat perusahaan tersebut berbeda. Delta Airlines ingin mengurangi
beban penyusutan dari 6% per tahun menjadi 4,75% per tahun. Kebijakan baru AMR Corporation
yaitu mengubah tarif penyusutan dari 4,75% menjadi 3,60% per tahun. Sedangkan untuk Singapore
Airlines telah melakukan tiga kali perubahan kebijakan. Semula perusahaan menggunakan tarif
penyusutan 11,25% namun pada tahun 1989-2001 tarifnya berubah menjadi 8,00%. Perubahan
terakhir yaitu 6,00% per tahun dari awal tahun 2001.
Asumsi depresiasi Singapore Airlines sangat berbeda dari Delta’s maupun AMR Corporation.
Hal ini berhubungan dengan strategi perusahaan secara keseluruhan:

 Apabila jumlah depresiasi suatu perusahaan tinggi, hal ini akan berpengaruh pada net income
yang rendah. Perusahaan akan membayar pajak berdasar net income yang rendah sehingga
penghematan pembayaran pajak dapat dirasakan oleh perusahaan dengan perubahan asumsi
depresiasi.
 Perusahaan menargetkan penjualan aircraft pada fair market value dimana nilai aircraft tersebut
lebih tinggi 20% dari residual cost setelah 10 tahun.

3. Penutup

A. Simpulan
Dari uraian analisis kasus yang telah disampaikan di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan
sebagai berikut:

1) Pengukuran kinerja yang sering dipakai adalah pengukuran pasar dan pengukuran akuntansi.
2) Manajer perusahaan memiliki kecenderungan untuk berorientasi pada pencapaian laba jangka
pendek, yang sering dikenal dengan myopia perusahaan. Myopia adalah tendensi untuk
membuat manajer berfokus pada jangka pendek secara berlebihan sehingga orientasi jangka
panjang perusahaan sering terabaikan.
3) Salah satu cara yang dilakukan oleh manajer perusahaan untuk meningkatkan laba
perusahaan dalam jangka pendek adalah dengan mengubah kebijakan akuntansi terkait
depresiasi aset tetap. Cara yang biasa digunakan sebagaimana contoh di atas adalah dengan
memperpanjang estimasi masa manfaat aset tetap dan memperbesar nilai sisa. Tujuannya
adalah agar beban depresiasi aset tetap menjadi lebih kecil sehingga pendapatan bersih
perusahaan meningkat. Dengan pendapatan bersih yang tinggi, manajer berharap akan
mendapatkan insentif yang tinggi pula dari perusahaan.

B. Saran

Berdasarkan hasil analisis kasus sebagaimana telah diuraikan di atas, saran yang dapat kami
berikan dalam rangka mengatasi permasalahan myopic tersebut antara lain sebagai berikut:

1) Mengurangi tekanan terhadap manajer untuk laba jangka pendek agar manajer tidak hanya
berorientasi pada laba jangka pendek, tetapi juga memikirkan laba atau investasi jangka
panjang.
2) Menggunakan kajian pratindakan sebelum melakukan pengambilan keputusan untuk
melakukan perubahan kebijakan akuntansi tentang depresiasi aset tetap.
3) Memperpanjang jangkauan kinerja yang diukur dan dihargai.
4) Mengubah apa yang diukur (proksi-proksi lain bagi penciptaan nilai bagi pemegang saham
selain laba akuntansi)
5) Mengganti atau melengkapi pengukuran akuntansi dengan nilai-nilai nonkeuangan yang
mendorong kinerja (menggunakan kombinasi sistem pengukuran misalnya)

Anda mungkin juga menyukai