BAB 10
Dosen Pengampu :
Elvin Syamsul Ma’arif, S.E., M.Si
Kelompok 1 :
SEMARANG
2018
Behavioral Implications of Airline Depreciation
Accounting Policy Choices
1. Pendahuluan
Pengukuran kinerja dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori. Dua dari kategori ini
meliputi ringkasan pengukuran keuangan dari kinerja, ditunjukkan baik di pasar (harga
saham) maupun di istilah keuangan, dan kategori ketiganya termasuk kombinasi
pengukuran. Ringkasan pengukuran merefleksikan kumpulan atau pengaruh bottom line dari
berbagai area kinerja. Kategori pertama dari ringkasan pengukuran berisi pengukuran pasar,
yang menggambarkan perubahan harga saham atau return pemegang saham. Kategori kedua
berisi pengukuran akuntansi, yang dapat didefinisikan baik dalam istilah residual (seperti
pendapatan bersih setelah pajak, laba operasi, laba residu, atau tambahan nilai ekonomis)
maupun rasio (seperti Return on Investment (ROI), Return on Equity (ROE), atau Return on
Net Operating Asset (RNOA)). Kategori ketiga merupakan kombinasi pengukuran yang
melibatkan pengukuran pasar dan pengukuran keuangan.
Pengukuran akuntansi dari kinerja merupakan hal yang umum dilakukan. Pengukuran
akuntansi dari kinerja memiliki beberapa keunggulan dibandingkan alternatif pengukuran
lainnya. Secara umum, biaya inkremental minimal untuk pengukuran akuntansi dan
menghasilkan ringkasan hasil yang bermanfaat dari berbagai tindakan dan keputusan yang
dibuat manajer. Akan tetapi, harus diketahui pula meskipun pengukuran akuntansi terbaik
tidak sempurna, pengukuran tersebut hanya mengganti atau berfungsi sebagai indikator
proksi perubahan pada nilai perusahaan.
2. Analisis Kasus
1. Sebuah pesawat terbang dapat mengudara tanpa batas dengan asumsi pesawat terbang
tersebut dipelihara dengan layak.
2. Biaya pemeliharaan pesawat terbang cenderung meningkat sepanjang waktu.
Tampilan 1 di atas menunjukkan suatu fungsi khusus terkait biaya yang dibutuhkan untuk
pemeliharaan badan pesawat jet komersial yang disebut “maturity factor” dan jumlah jam
terbang kumulatif pesawat “cumulative flight hours”.
3. Masa manfaat ekonomis dari pesawat terbang terbatas, tetapi sulit diestimasi. Beberapa
pesawat terbang DC-3 masih menerbangkan rute-rute muatan komersial meskipun mulai
beroperasi tahun 1935. Namun, pesawat terbang ini dan penerusnya (seperti Boeing 707
yang mengudara pertama kali pada tahun 1957), tidak lagi kompetitif untuk digunakan
dalam pasar penumpang.
4. Harga pesawat terbang baru cenderung meningkat sepanjang waktu. Nilai pasar wajar
untuk pesawat terbang yang dioperasikan menurun sepanjang waktu, kecuali pesawat
terbang tersebut menjadi usang akibat suatu terobosan teknologi baru, nilainya menurun
perlahan-lahan. Beberapa nilai pesawat terbang tetap terjaga pada 90% atau lebih dari
nilainya semula meskipun sudah digunakan dalam beberapa dekade. Nilai pesawat
terbang yang sudah dioperasikan berfluktuasi secara signifikan tergantung pada
permintaan dan penawaran pasar dalam industri perjalanan udara dan produksi pesawat
terbang, inovasi teknologi, dan perubahan dalam hukum (misalnya pengaturan polusi
suara atau pengurangan pajak yang diperbolehkan). Meskipun demikian, sangat jarang
nilai pasar pesawat terbang yang sudah dioperasikan turun di bawah 50% dari harga
perolehannya.
5. Di banyak negara, termasuk Amerika Serikat, peraturan tentang depresiasi yang diizinkan
demi keperluan pajak cukup berbeda dengan keperluan pelaporan keuangan. Peraturan
pajak mengizinkan akuntansi konservatif untuk menjamin perusahaan tidak perlu
membayar pajak sebelum memperoleh kas dari pelanggan. Perusahaan seharusnya dan
telah memanfaatkan peraturan tersebut serta mendepresiasikan pesawat terbang secepat
mungkin untuk menunda kewajiban pajak.
1. Perbedaan penggunaan metode keempat perusahaan didasarkan pada jenis armada dan
tujuan bisnis perusahaan.
2. Jenis armada – baru-baru ini ada banyak kemajuan teknologi dalam industri pesawat
terbang. Airbus dan Boeing telah memperkenalkan jenis pesawat baru yang mengklaim
bahwa pesawat terbarunya tersebut mempunyai periode waktu yang lebih tinggi
dibandingkan jenis pesawat sebelumnya. Jenis pesawat terbaru tersebut mampu
menambah armada untuk jenis pesawat terbang yang memberikan opsi untuk
menyusutkan armada tersebut dalam periode waktu yang lebih lama.
3. Penggunaan dan perbaikan – untuk perusahaan yang menggunakan pesawat terbang
dalam periode waktu yang lebih pendek dan perbaikan yang lebih tinggi, mungkin
perusahaan akan tertarik untuk meningkatkan rata-rata periode penggunaan dan juga
beban penyusutan yang lebih rendah.
4. Alasan lain adalah untuk meningkatkan laba perusahaan dengan adanya beban
penyusutan yang lebih kecil. Yang perlu ditekankan di sini bahwa ada lebih banyak
asumsi lain yang digunakan.
Pada contoh dalam kasus, tiga dari empat perusahaan mengadopsi perubahan
akuntansi depresiasi dengan memperpanjang masa manfaat pesawat terbangnya. Memang,
sebuah pesawat terbang dapat mengudara tanpa batas dengan asumsi pesawat terbang
tersebut dipelihara dengan layak. Hal yang perlu diperhatikan adalah biaya pemeliharaan
pesawat terbang cenderung meningkat sepanjang waktu. Apakah pengurangan biaya
depresiasi yang timbul akibat perubahan akuntansi depresiasi lebih besar dibandingkan
dengan penambahan biaya pemeliharaan yang akan dibebankan di masa mendatang? Tentu
pertimbangan ini menjadi penting mengingat perusahaan diharapkan menghasilkan
keuntungan secara berkesinambungan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Mengingat masa manfaat ekonomis dari suatu pesawat terbang terbatas tetapi sulit
diestimasi, perubahan masa manfaat dan nilai residual mungkin tidak sesuai karena beberapa
jenis pesawat terbang tidak lagi kompetitif untuk digunakan dalam pasar penumpang di masa
yang akan datang. Contoh dalam kasus adalah masih digunakannya pesawat yang pertama
kali beroperasi pada tahun 1957 atau bahkan sebelumnya, yakni tahun 1935 meskipun tidak
lagi kompetitif. Dapat dipahami bahwa pesawat terbang yang tidak lagi kompetitif akan
memiliki jam terbang yang lebih sedikit dibanding pesawat terbang baru yang dimiliki oleh
perusahaan tetapi keduanya memiliki beban penyusutan yang sama atau hampir sama. Hal
ini tentu saja tidak akan terlihat dalam jangka pendek kecuali terdapat terdapat terobosan
teknologi baru dan akan membuat laba jangka pendek perusahaan lebih tinggi dari pada laba
yang akan diperoleh di masa yang akan datang.
Pertimbangan lain yang tidak kalah penting adalah meskipun dibanyak negara
peraturan pajaknya mengizinkan akuntansi ultra-konservatif untuk menjamin perusahaan
tidak perlu membayar pajak sebelum memperoleh kas dari pelanggan, nyatanya dalam kasus
ini aturan tersebut tidak banyak digunakan oleh perusahaan. Perusahaan cenderung untuk
tidak mendepresiasikan pesawat terbang secepat mungkin untuk menunda kewajiban pajak
karena hal tersebut akan membuat laba menjadi lebih kecil. Penghematan atas beban
penyusutan terasa lebih menguntungkan bagi perusahaan dibanding penghematan atas pajak
karena dalam jangka pendek laba perusahaan menjadi lebih tinggi.
Contoh perubahan:
Perubahan kebijakan yang telah dilakukan oleh Singapore Airlines. Pada awalnya
perusahaan menganut kebijakan dengan melakukan depresiasi selama masa manfaat 8 tahun
sampai nilai sisa 10 persen dari biaya perolehan awal. Kemudian perusahaan melakukan
perubahan kebijakan yaitu mengestimasikan masa manfaat pesawat terbang selama 10 tahun
dengan nilai sisa 20 persen dari biaya perolehan awal.
Kinerja keuangan dari keempat perusahaan tersebut berbeda. Delta Airlines ingin
mengurangi beban penyusutan dari 6% per tahun menjadi 4,75% per tahun. Kebijakan baru
AMR Corporation yaitu mengubah tarif penyusutan dari 4,75% menjadi 3,60% per tahun.
Sedangkan untuk Singapore Airlines telah melakukan tiga kali perubahan kebijakan. Semula
perusahaan menggunakan tarif penyusutan 11,25% namun pada tahun 1989-2001 tarifnya
berubah menjadi 8,00%. Perubahan terakhir yaitu 6,00% per tahun dari awal tahun 2001.
Asumsi depresiasi Singapore Airlines sangat berbeda dari Delta’s maupun AMR
Corporation. Hal ini berhubungan dengan strategi perusahaan secara keseluruhan:
Apabila jumlah depresiasi suatu perusahaan tinggi, hal ini akan berpengaruh pada net
income yang rendah. Perusahaan akan membayar pajak berdasar net income yang rendah
sehingga penghematan pembayaran pajak dapat dirasakan oleh perusahaan dengan
perubahan asumsi depresiasi.
Perusahaan menargetkan penjualan aircraft pada fair market value dimana nilai aircraft
tersebut lebih tinggi 20% dari residual cost setelah 10 tahun.
3. Penutup
A. Simpulan
Dari uraian analisis kasus yang telah disampaikan di atas, dapat diambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1) Pengukuran kinerja yang sering dipakai adalah pengukuran pasar dan pengukuran
akuntansi.
2) Manajer perusahaan memiliki kecenderungan untuk berorientasi pada pencapaian laba
jangka pendek, yang sering dikenal dengan myopia perusahaan. Myopia adalah
tendensi untuk membuat manajer berfokus pada jangka pendek secara berlebihan
sehingga orientasi jangka panjang perusahaan sering terabaikan.
3) Salah satu cara yang dilakukan oleh manajer perusahaan untuk meningkatkan laba
perusahaan dalam jangka pendek adalah dengan mengubah kebijakan akuntansi terkait
depresiasi aset tetap. Cara yang biasa digunakan sebagaimana contoh di atas adalah
dengan memperpanjang estimasi masa manfaat aset tetap dan memperbesar nilai sisa.
Tujuannya adalah agar beban depresiasi aset tetap menjadi lebih kecil sehingga
pendapatan bersih perusahaan meningkat. Dengan pendapatan bersih yang tinggi,
manajer berharap akan mendapatkan insentif yang tinggi pula dari perusahaan.
B. Saran
Berdasarkan hasil analisis kasus sebagaimana telah diuraikan di atas, saran yang dapat
kami berikan dalam rangka mengatasi permasalahan myopic tersebut antara lain sebagai
berikut:
1) Mengurangi tekanan terhadap manajer untuk laba jangka pendek agar manajer tidak
hanya berorientasi pada laba jangka pendek, tetapi juga memikirkan laba atau investasi
jangka panjang.
2) Menggunakan kajian pratindakan sebelum melakukan pengambilan keputusan untuk
melakukan perubahan kebijakan akuntansi tentang depresiasi aset tetap.
3) Memperpanjang jangkauan kinerja yang diukur dan dihargai.
4) Mengubah apa yang diukur (proksi-proksi lain bagi penciptaan nilai bagi pemegang
saham selain laba akuntansi)
5) Mengganti atau melengkapi pengukuran akuntansi dengan nilai-nilai nonkeuangan
yang mendorong kinerja (menggunakan kombinasi sistem pengukuran misalnya)