PENDAHULUAN
BAB II
JOURNAL READING
2.1. Abstrak
Trauma gaya tumpul adalah salah satu cedera yang paling umum ditemukan
oleh ahli patologi forensik dalam berbagai skenario. Contohnya pada kasus
kecelakaan lalu lintas, kecelakaan jatuh dari ketinggian, kasus ledakan, dan
serangan benda keras. Cedera tumpul pada tengkorak sering dikaitkan dengan
penyebab kematian yang menjadikan pemeriksaan sangat penting dalam investigasi
kematian secara medikolegal. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji pengetahuan
yang ada tentang mekanisme cedera tumpul kranial dan pola fraktur yang terkait
untuk memfasilitasi interpretasi cedera dalam kerangka atau tubuh yang di mana
jaringan lunak tidak lagi tersedia. Perkembangan terkini tentang teori dan praktik
juga dibahas dalam jurnal ini. Meskipun kemajuan yang dibuktikan telah dibuat
dalam beberapa dekade terakhir, analisa trauma dalam pengaturan medikolegal
tetap menjadi tugas yang sangat menantang, terutama dengan tidak adanya jaringan
lunak. Oleh karena itu penting untuk ditinjau pengembangan metode yang dapat
diulang dan diterima secara ilmiah dengan tingkat kesalahan yang diketahui
sehingga dapat memenuhi tuntutan sistem peradilan dengan bukti yang dapat
diterima dan kesaksian saksi ahli.
Kata kunci: trauma kranial, trauma gaya tumpul, antropologi forensik, fraktur
kranial, cedera
2.2. Pendahuluan
2
3
Gambar 1. Fraktur tulang parietal kiri setelah kecelakaan mobil 25 tahun yang lalu.
Catatan: Jembatan bertulang (panah) pada permukaan ectocranial (A dan B) dan endocranial (C dan
D). (D) menggambarkan permukaan endokranial dalam rekonstruksi 3D dari data CT scan.
Sumber: Departemen Ilmu Forensik, Universitas Kreta.
perimortem disajikan sudut miring atau fraktur akut dan 73,68% dari fraktur
postmortem menunjukkan sudut diskontinuitas yang tepat. Chi-square dihitung
menjadi 36,8 yang signifikan secara statistik pada tingkat P, 0,001.
fragmen tulang pada situs dampak dan outbending dari pinggiran kubah. Ini pada
gilirannya menghasilkan pola karakteristik fraktur konsentris yang dilintasi oleh
fraktur linier. Mekanisme cedera yang tepat akan dibahas kemudian dalam makalah
ini. Fraktur pond adalah fraktur depresi dangkal yang dapat merupakan hasil
kompresi atau kelanjutan dari fraktur linier.
Rene Le Fort2 menggambarkan tiga pola klasik fraktur wajah dalam karya
eksperimental awalnya. Eksperimen Le Fort (N= 35) terdiri dari menjatuhkan
tengkorak mayat di permukaan yang datar, menendangnya, atau memukulnya
dengan tongkat kayu atau batang logam. Dia menemukan tiga pola fraktur yang
berbeda, yang disebutnya sebagai "garis lemah hebat" dan mereka mewakili fraktur
Le Fort I, II dan III.2 Secara sederhana, setelah dampak pada wajah langit-langit
mulut dapat dipisahkan dari rahang atas (Le Fort SAYA); maksila dapat dipisahkan
dari wajah (Le Fort II); atau rahang atas dan bagian kondilus mandibula dapat
terfragmentasi (Le Fort III). Le Fort juga mencatat bahwa meskipun dalam
beberapa kesempatan fraktur wajah dan tengkorak keduanya diamati dalam
eksperimennya, fraktur tengkorak tidak menjalar ke wajah.2 Fraktur ledakan adalah
fraktur dinding orbital yang biasanya terjadi ketika suatu pukulan tiba-tiba ke mata
Moritz mencatat bahwa hasil destruktif dari dampak pada tempurung kepala
mungkin cukup jauh dari lokasi benturan (patah tulang jarak jauh). Lebih khusus
lagi, jatuh pada bagian belakang kepala atau dampak pada bagian atas kepala dapat
menyebabkan fraktur independen dari atap orbital karena pergerakan "kontra-
kudeta" dari lobus orbital / frontal terhadap area tipis. tengkorak.2 Fraktur semacam
itu dikenal dalam literatur forensik sebagai fraktur contrecoup.2 Demikian pula,
fraktur yang terletak di lokasi dampak sering disebut "fraktur kudeta".2 Tabel 2
merangkum semua jenis BFT tengkorak seperti yang dijelaskan oleh beberapa
penulis.
10
Linear Fracture in a straight line that does not Low velocity caused by forces 23
cause bone displacement with large mass
Hairline/fissure Straight discontinuity of bone on 23
Fraktur linier adalah jenis fraktur kranial yang paling umum, terdiri dari
70% -80% cedera kranial,2 dan dianggap berhubungan dengan kecelakaan seperti
11
jatuh, sedangkan fraktur yang tertekan menunjukkan korelasi yang lebih tinggi
dengan kekerasan interpersonal. Data klinis menunjukkan bahwa sebagian besar
lesi kranial yang ditimbulkan oleh kelelawar bisbol mengakibatkan fraktur kranial
dan fraktur linear dasar.2 Moritz mencatat bahwa jika kepala bebas bergerak
dengan dampak, fraktur cenderung linier atau tidak tertekan sempurna, sedangkan
jika head diimobilisasi (yaitu, terhadap permukaan padat) pukulan berat akan
menghasilkan fraktur kominutif dengan perpindahan ke dalam.
Untuk perbedaan antara serangan kekerasan (misalnya, pukulan ke kepala
dengan benda tumpul) dan kecelakaan (misalnya, jatuh), aturan hat brim line
(HBL) diusulkan dalam banyak buku pegangan patologi forensik sebagai kriteria
tunggal.2 HBL berhubungan dengan lingkar maksimal kubah, dan lesi di atasnya
lebih sering terjadi pukulan daripada cedera jatuh. Kremer et al telah
mendefinisikan aturan HBL (lihat Gambar 2), diuji, dan menantang nilainya.
Sebaliknya, mereka menyarankan bahwa itu harus digunakan bersama dengan
kriteria yang diuji lainnya, seperti lateralisasi sisi dan jumlah laserasi dan panjang
laserasi.
Temuan mereka didasarkan pada studi retrospektif dari 113 kasus forensik
(29 kasus jatuh dari ketinggian sendiri, 21 kasus jatuh di lantai bawah, dan 63
kasus pukulan pembunuhan), tidak termasuk kasus-kasus di mana seorang korban
dipukul ketika berbaring di tanah. Mereka mengamati bahwa fraktur linear pada
sisi kanan lebih dominan pada jatuh dan telah menafsirkan pengamatan ini
berdasarkan pada dominasi kidal populasi umum, menyoroti bahwa “perlindungan
pertama mereka ketika jatuh adalah mencoba untuk meletakkan tangan kanan
mereka dan oleh karena itu, sisi kanan kepala lebih rentan terhadap tanah ”. Karya
ini mengklaim bahwa fraktur kranial sisi kiri lebih sering dikaitkan dengan
pukulan yang berasal dari pelaku yang tidak kidal. Namun, pola pukulan ini
konsisten dengan pelaku yang menghadapi korban. Jika pelaku berdiri di belakang
korban, pukulan dengan tangan kanan lebih mungkin mengenai sisi kanan kepala.
Posisi fraktur depresi pada sisi kanan belakang tengkorak adalah konsisten dengan
pola yang paling sering terlihat pada trauma kekerasan, dengan asumsi agresor
tangan kanan.
12
Gambar 2 HBL adalah area yang terletak di antara dua garis sejajar dengan garis yang diilhami oleh bidang
horizontal Frankfort (bidang horizontal yang melewati titik porion kanan dan kiri dan orbitale kanan dan
kiri), margin superior yang melewati glabella (G-line ), dan margin inferior melewati pusat meatus auditorius
eksternal (eAM-line).
Karya Ta'ala et al2 juga bertentangan dengan aturan HBL. Para penulis
mempelajari 85 tengkorak korban Khmer Merah yang dimakamkan di kuburan
13
massal di luar Phnom Penh, Kamboja, antara tahun 1975 dan 1979. Penilaian awal
sepuluh tengkorak dengan BFT di wilayah oksipital mengklasifikasikan fraktur
sebagai fraktur cincin atau basilar; Namun, evaluasi kedua memberikan hasil yang
berbeda. Penelitian ini mengungkapkan bahwa trauma tengkorak lebih mungkin
disebabkan oleh eksekusi dengan berbagai senjata tumpul diterapkan pada bagian
belakang kepala / leher oleh tentara Khmer Merah, seperti yang dijelaskan dalam
sumber sejarah dan oleh saksi mata. Ini juga bertentangan dengan aturan Kratter
yang disebutkan sebelumnya.2 Namun demikian, seseorang tidak dapat
mengecualikan tindakan tambahan yang terjadi selama eksekusi seperti korban
ditendang dan / atau memukul kepalanya dengan tanah atau benda keras lainnya;
dengan demikian, interpretasi harus dilakukan dengan hati-hati. Harus diakui
bahwa informasi kontekstual selalu penting dalam interpretasi trauma dan aturan
umum tidak selalu berlaku.
Casali et al secara khusus mempelajari keadaan jatuh bunuh diri pada 307
kasus dari Milan, Italia. Menurut temuan mereka, 40% dari korban menunjukkan
fraktur kranial dan 30% menunjukkan fraktur wajah, dengan yang terakhir lebih
sering terjadi pada jatuh dari ketinggian lebih dari 12 m. Penelitian sebelumnya
melaporkan frekuensi variabel trauma kepala mulai dari 25% hingga 91%. Dalam
sebagian besar studi, bagaimanapun, jatuh ke tanah berkorelasi dengan insiden
fraktur kranial yang lebih tinggi, sedangkan jatuh bunuh diri dalam air dikaitkan
dengan yang lebih tinggi. kejadian cedera perut.2 Data radiografi2 tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan secara statistik pada frekuensi cedera di
tengkorak antara faller dan jumper, sedangkan fraktur wajah secara signifikan
lebih tinggi pada korban bunuh diri (P, 0,001). Ini bertentangan dengan penelitian
sebelumnya yang melaporkan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam kejadian
cedera.2
14
15
16
penyerap gelombang kejut dan muatan cepat dapat pecah lebih mudah dari jaringan
lainnya.
17
18
Gambar 4 Contoh trauma benda tumpul kranial. Catatan: (A) Jatuh dari pendaratan tinggi di lemari besi. (B)
Jatuh dari lantai pertama (ketinggian sekitar 7 m) mendarat di tepi anak tangga. (C) Jatuh setelah menabrak
rintangan. (D) Fraktur jatuh dan kompresi antara benda logam dan tanah. (B – D).
19
20
Gambar 6 Fraktur pada bola SYNBONE yang berisi gelatin babi setelah dihantam
menggunakan tongkat bisbol. Foto oleh Yi-Hua Tang.
21
22
2.8. Penutup
Tidak ada konflik kepentingan pada penulis dalam penelitian ini.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Traumatologi
Traumatologi berasal dari kata trauma dan logos. Trauma berarti kekerasan
atas jaringan tubuh yang masih hidup, sedang logos berarti ilmu. Jadi traumatologi
merupakan ilmu yang mempelajari semua aspek yang berkaitan dengan kekerasan
terhadap jaringan tubuh manusia yang masih hidup.3
1. Mekanik :
a) Kekerasan tajam
1) Luka iris / sayat (incised wound)
2) Luka tusuk (stab wound)
3) Luka bacok (chop wound)
b) Kekerasan tumpul
1) Luka robek, koyak, retak (laseration)
2) Luka memar (contussion)
3) Luka lecet (abrasi) : tekan, geser dan regang
c) Senjata api
d) Bahan peledak
2. Fisik
a) Suhu (thermal burn) : trauma dingin dan panas
b) Petir (eliksem/lighting)
c) Listrik (electrical burn)
3. Kimia
a) Asam
b) Basa
23
24
25
26
sfenoidal, dan oksipital),dan dua set tulang terjadi cincin sebagai pasangan
bilateral (temporal dan parietal).
Viscerokranium (kerangka wajah) terdiri dari tulang wajah yang
terutama berkembang di mesenkim lengkungan faring embrionik.
Viscerokranium membentuk bagian anterior kranium dan terdiri tulang yang
mengelilingi mulut (atas dan bawah) mulut), hidung / rongga hidung, dan
sebagian besar orbitnya (rongga mata atau rongga orbital).4
A. Aspek Anterior
Pada aspek anterior tengkorak dapat dikenali os frontale, os
zygomaticum, orbita, nasal, maxilla dan mandibula.
27
B. Aspek Lateral
Aspek lateral tengkorak terdiri dari os kranium dan os wajah. Os
kranium tersebut adalah fossa temporalis, linea temporalis superior,
linea temporalis inferior os parietal, arcus zygomaticus, titik pterion,
processus mastoideus ossis temporalis, meatus acusticus externus dan
processus styloideus ossis temporalis. Os wajah yakni mandibula
terletak dua bagian: bagian horisontal, yakni corpus mandibulae dan
bagian vertikal, yakni ramus mandibulae.4
C. Aspek Posterior
Aspek posterior tengkorak (occiput) dibentuk oleh os occipitale, os
parietale dan os temporale. Protuberentia occipitalis externa adalah
benjolan yang mudah diraba di bidang median. Linea nuchalis superior
yang merupakan batas atas tengkuk, meluas ke lateral dari protuberentia
occipitalis externa tersebut; linea nuchalis inferior tidak begitu jelas.
28
D. Aspek Superior
Aspek superior dibentuk oleh os frontale di sebelah anterior, kedua os
parietale dextra dan sinistra dan os occipitale di sebelah posterior.
Sutura coronalis memisahkan os frontale dari os parietale; sutura
sagitalis memisahkan kedua tulang ubun-ubun satu dari yang lain; dan
sutura lamboidea memisahkan os parietale dan os temporale dari os
occipitale. Titik bregma adalah titik temu antara sutura sagitalis dan
sutura coronalis. Titik vertex merupakan titik teratas pada tengkorak
yang terletak pada sutura sagitalis di dekat titik tengahnya.
29
3.3.3. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3
lapisan yaitu :
A. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan
endosteal dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang
keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada
permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput
arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang
subdural) yang terletak antara dura mater dan arachnoid, dimana sering
dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh
vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis
superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami
robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior
mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus.
Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.
Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan dalam
dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat
menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan
perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri
meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).4
30
B. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan tipis, tembus pandang yang
terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar
yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang
potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium
subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub
arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
C. Pia Mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater
adarah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak,
meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana
ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-
arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater.
3.3.4. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang
dewasa sekitar 1,4 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; Proensefalon
(otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak
tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula
oblongata dan serebellum. Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus.
Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat
ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan
orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus
31
32
Definisi lainnya menurut Centers for Disease Control and Prevention, trauma
kepala adalah suatu trauma kranioserebral secara spesifik terjadinya cedera pada
kepala (akibat trauma tumpul atau tajam akibat daya akselerasi atau deselerasi)
yang terkait dengan gejala akibat cedera tersebut seperti penurunan kesadaran,
amnesia, abnormalitas neurologi atau neuropsikologi lainnya, fraktur tengkorak,
lesi intrakranial atau kematian.5
Menurut Brain Injury Association Of America, trauma kapitis adalah cedera
yang ditimbulkan akibat hentakan ke daerah kepala yang menyebabkan luka
terbuka atau luka tertutup dan dapat mengganggu fungsi otak.6 Cedera yang terjadi
dapat berupa cedera ringan, sedang, dan berat. Trauma kapitis juga dapat memberi
gejala dalam jangka waktu panjang. Sedangkan definisi lainnya, trauma kapitis
adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak
langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik,
kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen.7
33
terdiri dari dua, yaitu secara garis besar adalah trauma kepala tertutup
dan terbuka. Trauma kepala tertutup merupakan fragmen-fragmen
tengkorak yang masih intak atau utuh pada kepala setelah luka. The
Brain and Spinal Cord Organization 2009, mengatakan trauma
kepala tertutup adalah apabila suatu pukulan yang kuat pada kepala
secara tiba-tiba sehingga menyebabkan jaringan otak menekan
tengkorak. Trauma kepala terbuka adalah yaitu luka tampak luka telah
menembus sampai kepada dura mater.9 Secara morfologi cedera kepala
data dibagi atas:10
i) Laserasi Kulit Kepala
Luka laserasi adalah luka robek yang disebabkan oleh benda
tumpul atau runcing. Dengan kata lain, pada luka yang disebabkan
oleh benda tajam lukanya akan tampak rata dan teratur. Luka robek
adalah apabila terjadi kerusakan seluruh tebal kulit dan jaringan
bawah kulit. Laserasi kulit kepala sering di dapatkan pada pasien
cedera kepala. Kulit kepala terdiri dari lima lapisan yang
disingkat dengan akronim SCALP yaitu skin, connective tissue,
apponeurosis galea, loose connective tissue dan percranium.
Diantara galea aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat
longgar yang memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada
fraktur tulang kepala sering terjadi robekan pada lapisan ini.11
ii) Fraktur Tulang Kepala
Fraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis fraktur dibagi
menjadi:11
a) Fraktur Linier
Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal
atau stellata pada tulang tengkorak yang mengenai
seluruh ketebalan tulang kepala.
b) Fraktur Diastasis
Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada
sutura tulang tengkorak yang menyebabkan pelebaran sutura-
34
sutura tulang kepala. Jenis fraktur ini terjadi pada bayi dan
balita karena sutura-sutura belum menyatu dengan erat.
c) Fraktur Kominutif
Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang
memiliki lebih dari satu fragmen dalam satu area fraktur.
d) Fraktur Impresi
Fraktur impresi tulang pepala terjadi akibat benturan dengan
tenaga besar yang langsung mengenai tulang kepala. Fraktur
impresi pada tulang kepala dapat menyebabkan penekanan
atau laserasi pada duramater dan jaringan otak, fraktur impresi
dianggap bermakna terjadi jika tabula eksterna segmen tulang
yang impresi masuk hingga berada di bawah tabula interna
segmen tulang yang sehat.
e) Fraktur Basis Cranii
Fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada
dasar tulang tengkorak. Fraktur ini seringkali disertai dengan
robekan pada duramater yang melekat erat pada dasar tengkorak.
pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya rhinorrhea dan
racon eyes sign pada fraktur basis cranii fossa anterior,
atau ottorhea dan battle’s sign pada fraktur basis cranii fossa
media. subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri karena banyak
ujung-ujung saraf yang rusak.
iii) Luka memar (kontusio)
Luka memar pada kulit terjadi apabila kerusakan jaringan subkutan
dimana pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke
jaringan sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan
berwarna merah kebiruan. Luka memar pada otak terjadi
apabila otak menekan pembuluh darah kapiler pecah. Biasanya
terjadi pada tepi otak seperti pada frontal, temporal dan oksipital.
Kontusio yang besar dapat terlihat di CT-Scan atau MRI (Magnetic
Resonance Imaging). Pada kontusio dapat terlihat suatu daerah
yang mengalami pembengkakan yang disebut edema. Jika
35
3.4.2. Patofisiologi
Cedera kepala pada proses patofisiologi didasarkan pada asumsi
bahwa kerusakan otak pada awalnya disebabkan oleh kekuatan fisik
yang lalu diikuti proses patologis yang terjadi segera dan sebagian besar
bersifat permanen. Dari tahapan itu, dikelompokkan cedera kepala menjadi:
8,12
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
pada dahi merupakan tanda cedera sinus frontal. Depresi yang tampak
pada dahi merupakan tanda yang penting, namun dapat dengan mudah
tidak teramati pada presentasi akut karena berkaitan dengan edema
jaringan lunak.12
Fraktur dinding bawah / lantai orbita: cedera pada lantai orbita
dapat terjadi sebagai fraktur yang sendiri, namun dapat juga
menyebabkan fraktur dinding medial. Adanya fraktur tersebut
menyebabkan adanya peningkatan tekanan pada intraorbita yang dapat
merusak aspek terlemah dari dinding orbit, yaitu dinding medial dan
lantai. Akibatnya herniasi dari struktur yang terdapat didalam orbita ke
dalam sinus maxillary dapat terjadi dan insidensi yang tinggi pada
cedera mata, namun bulbus oculi jarang sampai ruptur. Presentasi
edema periorbita, krepitasi, ekimosis, enophtalmos dan cedera okular.
Nervus infraorbita sering juga mengalami kerusakan nervus infraorbita
dapat menyebabkan paresthesia atau anesthesia pada sisi lateral hidung,
bibir bagian atas dan ginggiva maxilla pada sisi yang terkena. Adanya
disfungsi pergerakan bola mata ke atas dan ke arah lateral akibat
terjebaknya m. rectus inferior. Apabila entrapment nervus terjadi,
intervensi surgical emergency harus segera dilakukan, untuk mencegah
atrofi m. rectus inferior. 12
Maksila dan mandibular bisa jadi mengalami fraktur akibat
serangan langsung dan juga disebabkan pendarahan intraoral dari
kerusakan jaringan halus. Serangan atau tendangan berat ke satu sisi
dagu bisa menyebabkan ipsilateral, bilateral, atau bahkan fraktur
kontralateral. Cedera kasar ke wajah, seperti saat tertendang dan
kecelakaan lain, mungkin bisa melepaskan tengkorak wajah dari dasar
tengkorak. Bagian bawah dari maksila, membawa palate dan gigi atas,
bisa terpisah secara total dari tengkorak. Saat autopsii, sisi terbaik untuk
melihat tengkorak tulang bisa diperoleh dengan membedah keseluruhan
kulit wajah dimulai dari insisi leher dan melingkar, jika dibutuhkan.12
46
Gambar 20 Produksi black eye: (1) Pukulan langsung ke orbitnya. (2) Cedera pada
bagian depan kulit kepala, terkuras punggungan supraorbital. (3) Fraktur pangkal
tengkorak (langsung atau contrecoup) memungkinkan pendarahan meningeal untuk
lolos atap orbital.
47
48
Battle sign adalah memar yang menunjukkan fraktur basis cranii. Pada
awalnya, itu bisa terlihat seperti memar khas yang bisa sembuh
dengan sendirinya. Namun, Battle sign adalah kondisi yang jauh lebih
serius. Battle sign muncul sebagai memar besar yang memanjang di
seluruh bagian belakang telinga Anda, dan itu juga dapat meluas ke
bagian atas leher Anda. Kadang-kadang Battle sign juga dapat disertai
dengan Racoon eyes yang menandakan terjadinya suatu fraktur basis
cranii. 13
ii) Otorrhea
Terjadi bila tulang petrosa mengalami fraktura, duramater
dibawahnya serta arakhnoid robek, serta membran timpanik perforasi.
Fraktura tulang petrosa diklasifi- kasikan menjadi longitudinal dan
transversal, berdasar hubungannya terhadap aksis memanjang dari
piramid petrosa; namun kebanyakan fraktura adalah campuran. Pasien
dengan fraktura longitudinal tampil dengan kehilangan pendengaran
konduktif, otorrhea, dan perdarahan dari telinga luar. Pasien dengan
fraktura transversal umumnya memiliki membran timpanik normal
dan memperlihatkan kehilangan pendengaran sensorineural akibat
kerusakan labirin, kokhlea, atau saraf kedelapan didalam kanal
auditori. Paresis fasial tampil hingga pada 50 persen pasien. Fraktura
longitudinal empat hingga enam kali lebih sering dibanding yang
transversal, namun kurang umum menyebabkan cedera saraf fasial.
Otorrhea CSS berhenti spontan pada kebanyakan pasien dalam
seminggu. Insidens meningitis pasien dengan otorrhea mungkin
sekitar 4 persen, dibanding 17 persen pada rinore CSS. Pada kejadian
jarang, dimana ia tidak berhenti, diperlukan pengaliran lumbar dan
bahkan operasi. 13
E. Pemeriksaan Hidung
Pada fraktur basis cranii dapat terjadi rhinorrhea. Rinnorea terjadi
pada sekitar 25 persen pasien dengan fraktura basis anterior. CSS
mungkin bocor melalui sinus frontal (melalui pelat kribrosa atau pelat
orbital dari tulang frontal), melalui sinus sfenoid, dan agak jarang
melalui klivus. Kadang-kadang pada fraktura bagian petrosa tulang
temporal, CSS mungkin memasuki tuba Eustachian dan bila membran
49
50
51
52
53
Gambar 22. (Kiri-kanan) Raccoon's eyes; Battle's Sign; LCS leakage; Hemotympani
54
hidung didukung oleh sepasang tulang hidung dan tonjolan frontal dari
rahang atas, sedangkan dua pertiga bawah dari hidung disusun oleh struktur
bertulang rawan. Sebuah cedera yang lebih serius, patah tulang
nasoorbitoethmoid, terjadi dengan trauma ke septum dari hidung. Cedera ini
melibatkan ekstensi kedalam tulang frontal dan maksila dan dapat
mengakibatkan terganggunya cribriform plate bersamaan dengan CSF
rhinorrhea. 21
Seperti tulang hidung, zygoma adalah tulang wajah yang menonjol
dan, karena itu, rawan cedera. Umumnya, sebuah kerusakan di daerah ini
melibatkan depresi sentral dengan patah tulang pada kedua ujungnya.
Fragmen sentral dapat menimpa pada otot temporalis, mengakibatkan
trismus. Karena ketebalannya, fraktur terisolasi dari zygoma yang jarang
terjadi, sering melibatkan ekstensi ke dalam tulang lebih tipis dari orbit atau
maksila, atau dikenal sebagai zygomaticomaxillary (yaitu, patah tulang
tetrapod atau tripod). 21
Rene Le Fort pertama kali menjelaskan fraktur daerah rahang atas di
tahun 1900-an . Klasifikasi patah tulang rahang atas didasarkan pada tingkat
yang paling unggul dari situs fraktur. Klasifikasinya merupakan yang paling
sering digunakan secara luas untuk fraktur daerah maksila. Fraktur mandibula
dapat melibatkan daerah simfisis, tubuh/body, sudut/ angulus, ramus,
kondilus, dan subcondyle. Fraktur body mandibula, kondilus, dan angulus
terjadi dengan frekuensi yang hampir sama, diikuti oleh fraktur ramus dan
prosesus koronoid. Secara umum, kecelakaan kendaraan bermotor
mengakibatkan fraktur condylar dan simfisis daerah karena gaya diarahkan
terhadap dagu, sedangkan luka dari tinju lebih cenderung berada di sudut
mandibula, sebagai hasil dari pukulan tangan kanan . Lebih dari 50% dari
patah tulang rahang bersifat multipel; adanya fraktur satu mandibula
memerlukan evaluasi fraktur tambahan, mungkin ada sisi kontralateral ke
yang terkena. 21
A. Klasifikasi Fraktur Maksilofasial
i) Fraktur Nasoorbitoetmoid (NOE)
Anatomi kompleks yang berliku-liku mengakibatkan fraktur
NOE merupakan fraktur yang paling sulit untuk direkonstruksi.
Kompleks NOE terdiri dari sinus frontalis, sinus ethmoid, anterior
55
56
57
58
59
dan terisolasi. Sering kali, sebuah palu atau instrumen lain sebagai
senjata penyebab. Alveolar ridge, dinding anterior sinus maksila
dan nasomaxillary junction merupakan lokasi yang umum pada
cedera ini. Yang kedua adalah fraktur karena gaya dari submental
yang diarahkan langsung ke superior dapat mengakibatkan
beberapa fraktur vertikal melalui beberapa tulang pendukung
horizontal seperti alveolar ridge, infraorbital rim, dan zygomatic
arches.27
v) Fraktur Mandibula
Mandibula mengelilingi lidah dan merupakan satu-satunya tulang
kranial yang bergerak. Pada mandibula, terdapat gigi-geligi bagian
bawah dan pembuluh darah, otot, serta persarafan. Mandibula merupakan
dua buah tulang yang menyatu menjadi satu pada simfisis.25 Mandibula
terhubung dengan kranium pada persendian temporomandibular joint
(TMJ). Fungsi yang baik dari mandibula menentukan gerakan menutup
dari gigi. Fraktur mandibula dapat mengakibatkan berbagai variasi dari
gangguan jangka pendek maupun panjang yaitu nyeri TMJ, gangguan
mengatupkan gigi, ketidakmampuan mengunyah, gangguan salivasi, dan
nyeri kronis. Fraktur mandibula diklasifikasikan sesuai dengan lokasinya
dan terdiri dari simfisis, badan, angulus, ramus, kondilar, dan
subkondilar. 27
BAB IV
KESIMPULAN
60
61
pembunuhan. Oleh karena itu sangat penting untuk dilakukan analisis secara
menyeluruh pada kulit dan jaringan lunak (jika ada), serta pada jaringan keras.
Serangkaian teknik yang beragam dapat dilakukan oleh ahi patologi forensik untuk
meneliti trauma kepala.
Lampiran
Jurnal Pembanding 1
Abstrak
Autopsi diperlukan dalam upaya menentukan penyebab kematian dan cara kematian.
Autopsi seringkali tidak dapat dilakukan karena penolakan oleh keluarga. Laporan kasus
ini menyajikan investigasi forensik pada kasus kematian yang diduga akibat cedera kepala
pada korban yang telah dikremasi. Investigasi pada tempat kejadian meninggal,
perhitungan indikator efek trauma pada kepala dan studi literatur dilakukan untuk
membuktikan probabilitas kematian akibat cedera kepala dan probabilitas kemungkinan
penyebab kematian pada korban. Dari metode tersebut didapatkan probabilitas terjadinya
cedera otak traumatik ringan adalah 8,33% dan probalitas kematian jantung mendadak
80,95%. Kasus ini menunjukkan pentingnya memahami aspek medikolegal trauma,
memahami biomekanika trauma dan melakukan investigasi forensik.
Kelebihan
Dalam keadaan tertentu ketika autopsi tidak mungkin dilakukan, masih dapat dilakukan
penyimpulan sebab kematian dengan derajat akurasi dibawah tindakan autopsi. Derajat
akurasi ini menggunakan teknik eksperimental dengan cara menggunakan Finite Element
Model ditambah dengan aplikasi perangkat lunak Mathematic Dynamic Model
(MADYMO®). Dapat memahami aspek medikolegal trauma, memahami biomekanika
trauma dan dapat melakukan investigasi forensik dengan baik sehingga dapat
menyimpulkan penyebab kematian. Dimana penyebab kematian karena serangan jantung
bukan karena cedera kepala.
Kekurangan
Meskipun demikian, untuk melakukan metode eksperimen tersebut membutuhkan alat-alat
yang canggih, aplikasi perangkat lunak MADYMO® yang relatif sangat mahal dan
membutuhkan waktu untuk menyelesaikan investigasi kematian pada kasus ini sekitar 3
bulan.
62
Jurnal Pembanding 2
Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif korelasional dengan desain cross sectional
untuk mencari faktor yang mempengaruhi mortalitas pada pasien cedera kepala berat. Data
penelitian dikumpulkan dari rekam medis pasien yang menderita cedera kepala parah yang
dirawat di IGD Rumah Sakit Umum Tugurejo Semarang selama November 2010 hingga
Oktober 2011. Dari 57 responden, 19 orang meninggal saat mendapatkan perawatan di
IGD. Ada tiga faktor yang berhubungan dengan kematian pasien cedera kepala parah, yaitu
tekanan darah pada saat masuk gawat darurat (ED) (p = 0,000), GCS saat masuk (p =
0,000), dan Injury Severity Score (ISS) (p = 0,000). Biner regresi logistik menghasilkan
bahwa tidak ada faktor dominan yang berhubungan dengan kematian pasien cedera kepala
parah (p> 0,05). Rasio ganjil dari tekanan darah adalah (0,688) dibandingkan dengan
variabel lain seperti GCS (OR = 0,281) dan ISS (0,594).
Kelebihan
Pada jurnal telah dibahas analisis bivariat dari penyebab mortalitas pada pasien cedera
kepala berat.
Kekurangan
Pada jurnal tidak diteliti penyakit predisposisi yang dapat mempengaruhi angka mortalitas.
63
Daftar Pustaka
1. Afandi Dedi, Herkutanto. Investigasi forensic pada kasus kematian dugaan akibat
cedera kepala. Surabaya : Jurnal Kedokteran Brawijaya Vol.30. 2017.h.1-2
2. Kranioti FE, Forensic investigation of cranial injuries due to blunt force trauma:
current best practice. Research and Reports in Forensic Medical Science 2015:5
25–37.
3. Dahlan S. Ilmu kedokteran forensik: Pedoman bagi dokter dan penegak hukum.
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 2000. h. 67-91
4. Moore LK., Dalley FA., Agur AM. Moore Clinically Oriented Anatomy. 7th
Edition. 2014. p: 852-908
5. Taylor CA, Bell JM, Breiding MJ, Xu L. Traumatic Brain Injury–Related
Emergency Department Visits, Hospitalizations, and Deaths — United States, 2007
and 2013. MMWR Surveill Summ 2017 ; 66 (No. SS-9) : 1–16. DOI:
http://dx.doi.org/10.15585/mmwr.ss6609a1
6. Brain Injury Association Of America. 2006. Types of Brain Injury.
qhttp://www.biausa.org/pages/type of brain injury. html. [Accessed 30 Mei 2019].
7. Perdossi. 2006. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma
Spinal. Jakarta : Perdossi.
8. American College of Surgeon Committee on Trauma. 2004. Cedera Kepala dalam
Advanced Trauma Life Support for Doctors. Ikatan Ahli Bedah
Indonesia. Komisi trauma IKABI
9. Brain Injury Association of Michigan, 2005. Traumatic Brain Injury Provider
Training Manual. Michigan Department Of Community Health.
10. Pascual, J.L., LeRoux, P.D., Gracias, V.H. 2008. Injury to the brain.
11. Anderson, T., Heitger, M., & Macleod, A.D. (2006). Concussion and mild head
injury. Practical Neurology,6, 342–357.
12. Knight B. 2004. Forensic Pathology third edition. Hodder Headline Group.
London.
13. Nadeau K. Neurologic injury(chapter 29) in Jones and barlett learning.com. 2004
14. Singh, Vishram. 2014. Textbook of Anatomy Head, Neck, and Brain, Volume III,
2nd edition. Reed Elsevier India Private Limited
15. Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, 2016. Panduan Belajar Ilmu
Kedokteran Forensik dan Medikolegal. Jogjakarta: FK UGM.
16. D. Fleming-Farrell, et al., Virtual assessment of perimortem and postmortem blunt
force cranial trauma, Forensic Sci. Int. (2013),
http://dx.doi.org/10.1016/j.forsciint.2013.03.032
17. Kranioti FE, Forensic investigation of cranial injuries due to blunt force trauma:
current best practice. Research and Reports in Forensic Medical Science 2015:5
25–37
18. Wani A., Ramzan A., et al. 2013. Skull base fractures: An institutional experience
with review of literature. India. Elsevier.
http://medind.nic.in/icf/t13/i2/icft13i2p120.pdf (diunduh tanggal 18 Mei 2019)
19. Simon LV., Newton EJ. 2019. Basilar Skill Fracture. Florida. StatPearls Publishing.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470175/?report=reader#article-18164.r1
(diunduh tanggal 18 Mei 2019)
20. Japardi, I. 2004. Trauma maksilofasial. In: Cedera Kepala: Memahami Aspek-
Aspek Penting dalam Pengelolaan Penderita Cedera Kepala. Jakarta: PT. Bhuana
Ilmu Populer.
21. Rupp, T.J; Young, C.C. 2016. Facial fracture. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/84613-overview [accessed on 16 May 2019]
22. Nguyen, M; J.C. Koshy, dan L.H. Hollier. 2010. Pearls of nasoorbitoethmoid
trauma management. Seminar in Plastic Surgery 24: 383-88.
23. Aktop, S; Gonul, O; Satilmis, T; Garip, H; Goker, K. 2013. Management of
Midfacial Fractures. A Textbook of Advanced Oral and Maxillofacial Surgery
24. Meslemani, D; dan R.M; Kellman. 2012. Zygomaticomaxillary complex fractures.
Archives of Facial Plastic Surgery 14: 62-66.
25. Haraldson, S.J. 2018. Nasal fracture. Available From:
http://emedicine.medscape.com/article/84829-overview [accessed on 16 May 2019]
26. Ondik MP, Lipinski I, Dezfoli S dkk. 2009. The treatment of nasal fractures:a
changing paradigm. Arch Facial Plast Surg 11:296-302.
27. Moe KS. Maxillary and le fort fractures. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/1283568-overview. [accessed on 16 May
2019]