Anda di halaman 1dari 65

BAB I

PENDAHULUAN

Cedera kepala merupakan suatu permasalahan kesehatan global yang menyebabkan


mortalitas dan morbiditas, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Pada tahun
2013, terjadi kurang lebih 2,8 juta kasus cedera kepala di Amerika Serikat dan sekitar
56.000 kematian berhubungan dengan cedera kepala. Laporan penelitian dari 29 negara
menunjukkan bahwa angka kematian akibat cedera kepala berkisar antara 5,2 di Perancis
sampai 80,73 di Afrika Selatan per 100.000 penduduk/tahun. Di Indonesia, proporsi angka
rata-rata nasional kejadian cedera kepala adalah 0,4% dan terus meningkat sesuai
kelompok umur.1
Autopsi merupakan suatu tindakan medis yang bertujuan untuk menentukan
penyebab kematian dan bila memungkinkan cara kematian. Kasus kematian dimana diduga
terdapat tindak kekerasan pada daerah kepala dan/atau bagian tubuh lainnya merupakan
indikasi dilakukan tindakan autopsi. Namun pada kenyataannya sering terjadi penolakan
dari pihak keluarga, dengan alasan utama faktor agama, biaya maupun budaya. Di
Indonesia, autopsi masih merupakan standar baku emas dalam menentukan penyebab
kematian. Jika tindakan autopsi tidak dapat dilakukan, maka proses investigasi kematian
dapat dilakukan melalui metode studi eksperimental, model matematika dan studi literatur.
Metode biomekanika trauma merupakan salah satu metode yang dapat digunakan, namun
perlu diingat bahwa hasil akhir analisis akan lebih mengacu kepada mekanisme terjadinya
perlukaan dan probabilitas sebab kematian. Metode ini telah berkembang secara pesat
dalam beberapa dekade terakhir dan telah diterima oleh sebagian besar ahli forensik, baik
untuk kepentingan peradilan maupun non peradilan.1
Jurnal ini membahas investigasi kasus kematian yang diduga akibat cedera kepala
dimana tindakan autopsi sudah tidak dapat dilakukan, namun tidak menutup kemungkinan
adanya permintaan investigasi forensik dengan kasus dimana autopsi sudah tidak dapat
dilakukan.1

BAB II
JOURNAL READING

Investigasi Forensik pada Cedera Kepala Akibat Trauma Gaya Tumpul:


Praktek Terbaru

2.1. Abstrak
Trauma gaya tumpul adalah salah satu cedera yang paling umum ditemukan
oleh ahli patologi forensik dalam berbagai skenario. Contohnya pada kasus
kecelakaan lalu lintas, kecelakaan jatuh dari ketinggian, kasus ledakan, dan
serangan benda keras. Cedera tumpul pada tengkorak sering dikaitkan dengan
penyebab kematian yang menjadikan pemeriksaan sangat penting dalam investigasi
kematian secara medikolegal. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji pengetahuan
yang ada tentang mekanisme cedera tumpul kranial dan pola fraktur yang terkait
untuk memfasilitasi interpretasi cedera dalam kerangka atau tubuh yang di mana
jaringan lunak tidak lagi tersedia. Perkembangan terkini tentang teori dan praktik
juga dibahas dalam jurnal ini. Meskipun kemajuan yang dibuktikan telah dibuat
dalam beberapa dekade terakhir, analisa trauma dalam pengaturan medikolegal
tetap menjadi tugas yang sangat menantang, terutama dengan tidak adanya jaringan
lunak. Oleh karena itu penting untuk ditinjau pengembangan metode yang dapat
diulang dan diterima secara ilmiah dengan tingkat kesalahan yang diketahui
sehingga dapat memenuhi tuntutan sistem peradilan dengan bukti yang dapat
diterima dan kesaksian saksi ahli.
Kata kunci: trauma kranial, trauma gaya tumpul, antropologi forensik, fraktur
kranial, cedera

2.2. Pendahuluan

Antropologi forensik adalah suatu ilmu disiplin pelengkap untuk patologi


forensik untuk pemeriksaan pada sisa kerangka. Bagian dari tugas seorang

2

3

antropolog forensik adalah melakukan pemeriksaan dan deskripsi trauma kerangka


serta kemungkinan hubungannya dengan penyebab kematian. Cedera kerangka
dapat dibagi menjadi kategori kranial dan postkranial, sesuai dengan lokasinya.
Sistem klasifikasi yang berbeda dikaitkan dengan sifat cedera (gaya tumpul, gaya
tajam, dan trauma balistik). Cedera kranial dapat dikategorikan menjadi depresi,
penetrasi, penghancuran, tebasan, pemotongan, dan irisan.2 Peninjauan ini berfokus
pada analisa trauma benda tumpul kranial (BFT), tidak termasuk trauma balistik,
berdasarkan pengetahuan yang ada akan membahas saran untuk praktik terbaik
dalam analisis BFT forensik di masa mendatang.2

Trauma BFT, sebagaimana dijelaskan dalam pedoman analisa trauma yang


dihasilkan oleh Kelompok Kerja Ilmiah untuk Antropologi Forensik (SWGANTH)
pada tahun 2011, “dihasilkan oleh dampak kecepatan rendah dari benda tumpul
atau dampak kecepatan rendah dari benda dengan permukaan tumpul”.2
Passalacqua dan Fenton2 memberikan deskripsi terperinci tentang sejarah BFT,
menyoroti bahwa sekitar tahun 1980-an ketika analisis trauma mulai dianggap
sebagai bagian dari tugas antropolog forensik. Perlu ditekankan bahwa pemeriksaan
forensik pada jenazah biasanya dilakukan oleh ahli patologi forensik/pemeriksa
medis, tetapi antropolog forensik dapat terlibat dalam kondisi tertentu dan selain
membantu dengan profil biologis, analisis trauma kini juga menjadi tugas rutin
untuk mereka di berbagai negara. Saat ini, analisis trauma mencakup penilaian
cedera ante, peri, atau postmortem, identifikasi pola trauma dan kemungkinan
asosiasi trauma dengan objek tertentu, dan umumnya deskripsi dan interpretasi
peristiwa traumatis.2

2.3. Waktu Terjadinya Cedera

Pertanyaan pertama yang muncul dalam kasus kerusakan tulang adalah


waktu terjadinya cedera dan apakah mereka bertepatan dengan waktu kematian.
Literatur forensik telah menggunakan istilah antemortem (sebelum kematian),
perimortem (pada atau sekitar waktu kematian), dan postmortem (setelah kematian)
untuk menggambarkan waktu cedera.2 Namun, kata "perimortem" memiliki makna
berbeda dalam disiplin ilmu yang berbeda. Dalam literatur medisolegal,
"perimortem" berarti bahwa cedera itu diprovokasi sekitar waktu kematian dan

mungkin terkait dengan penyebab kematian, sedangkan antropolog forensik dan


ahli osteoarkeologi menganggap cedera "perimortem" yang terjadi saat tulang
masih memiliki sifat viskoelastik dan sebelum memasuki kondisi "kering".2 Namun,
seperti dicatat oleh Berryman dan Symes2 dan cendekiawan lain, 5 bagian berbeda
dari tubuh yang sama mencapai keadaan kering pada interval postmortem yang
berbeda, yang membuat definisi ini lebih bermasalah. Dalam makalah ini, kami
akan mengikuti definisi antropologis tentang trauma "perimortem".

Trauma antemortem diindikasikan ketika bukti penyembuhan, seperti tanda-


tanda renovasi, osteofit dan / atau pembentukan kalus atau jembatan tulang, hadir.
Tanda-tanda ini menunjukkan bahwa tulang sedang dalam proses penyembuhan
ketika kematian terjadi. Meskipun proses penyembuhan dimulai segera setelah
mengalami cedera, dibutuhkan setidaknya 1-3 minggu sampai tanda-tanda tersebut
menjadi jelas. Kalsifikasi kalus (di mana kalsium berasal dari margin fraktur)
dimulai setelah minggu ke-3. Barbian dan Sledzik2 memeriksa 127 tengkorak
korban Perang Amerika untuk bukti penyembuhan fraktur dalam bentuk respon
osteoblastik dan osteoklastik dan garis demarkasi, dan menemukan respons
osteoklastik pada permukaan ektocranial sekitar 5 hari setelah cedera. Aktivitas
osteoblastik dan osteoklastik dilaporkan dalam semua kasus 6 minggu setelah
cedera. Sauer mengutip studi Sledzik dan Kelly pada 257 tengkorak dari korban
Perang Sipil Amerika di mana perubahan bentuk tulang terbukti 7 hari setelah
cedera.2 Harus ditekankan bahwa tulang panjang cenderung mengembangkan
pembentukan kalus sebagai bagian dari proses penyembuhan, tengkorak biasanya
sembuh dengan perkembangan jembatan tulang antara dua fragmen.

Gambar 1. Fraktur tulang parietal kiri setelah kecelakaan mobil 25 tahun yang lalu.
Catatan: Jembatan bertulang (panah) pada permukaan ectocranial (A dan B) dan endocranial (C dan
D). (D) menggambarkan permukaan endokranial dalam rekonstruksi 3D dari data CT scan.
Sumber: Departemen Ilmu Forensik, Universitas Kreta.

Gambar 1 menunjukkan contoh penyembuhan permukaan endokranial


tulang temporal kiri setelah insiden BFT 25 tahun yang lalu. Tidak adanya tanda-
tanda tersebut menunjukkan cedera peri-mortem atau kerusakan postmortem.
Membedakan dua jenis kerusakan terakhir sangat tergantung pada pola fraktur yang
ada.

Kerusakan postmortem adalah hasil dari perubahan taphonomic dan


kumpulan sisa-sisa kerangka. Fraktur postmortem biasanya menghasilkan pola
fraktur kuadrat, tepi tajam pada sudut kanan permukaan tulang, dan cenderung
menyebabkan fragmentasi masif tulang kering. Kerusakan postmortem
menunjukkan tekstur preponderant kasar atau bergelombang dengan tepi tumpul
dan outline preponderant tidak teratur, berbeda dengan cedera perimortem yang
menghadirkan tekstur preponderant halus dan outline preponderant reguler.2
Kerusakan postmortem biasanya menunjukkan margin fraktur sudut kanan,
sedangkan cedera peri-mortem menunjukkan sudut tumpul atau fraktur akut.
Karakteristik ini juga telah dikonfirmasi dalam studi pemindaian computed
tomography (CT).2 Perlu dicatat bahwa sudut kanan juga telah diamati pada tulang
segar.2 Dalam penelitian terbaru oleh penulis pada pemeriksaan 88 fraktur ( 52
perimortem dari arsip pasien yang didokumentasikan dan 36 postmortem dari bahan
arkeologis yang didokumentasikan) melalui CT scan, 88,68% dari fraktur

perimortem disajikan sudut miring atau fraktur akut dan 73,68% dari fraktur
postmortem menunjukkan sudut diskontinuitas yang tepat. Chi-square dihitung
menjadi 36,8 yang signifikan secara statistik pada tingkat P, 0,001.

Cedera perimortem diindikasikan oleh deformasi plastis yang terlokalisasi


pada area cedera, dan oleh adanya fragmen yang pecah yang masih melekat pada
tengkorak.2 Sebelum tulang mencapai keadaan kering, ia cenderung pecah ketika
retak dan kecil. fragmen tetap terhubung satu sama lain,2 sering disebut "serpihan
tulang" .2 Ini menunjukkan bahwa periosteum dan jaringan lunak lainnya masih ada
pada saat fraktur, sehingga mengarah ke trauma perimortem.2 Selain itu, ketika
tulang segar ditekuk, divisi dibuat antara diploe dan tabel, yang biasanya
menghasilkan patah tulang miring pada meja bagian dalam (beveling) dan
detasemen meja luar (delaminasi).2 Cedera tersebut juga menunjukkan
kecenderungan garis fraktur untuk bermigrasi ke daerah yang secara struktural lebih
lemah dari tengkorak, seperti di mana pembuluh darah multipel bergabung dan
lokasi lubang alami, foramina. Tidak adanya penyembuhan di sepanjang garis
fraktur menunjukkan bahwa mereka mungkin terkait dengan kematian individu.
Ketika suatu area tulang didorong ke dalam, itu tidak sepenuhnya terpisah dari
korpus utama dari tulang "basah". Ini tidak terjadi pada tulang kering, karena
kurangnya elastisitas dan fakta bahwa fragmen tulang kering lebih mudah daripada
tulang segar. Sifat bahan arkeologi dan kemampuan tulang untuk mempertahankan
beberapa karakteristik kehidupannya untuk periode singkat setelah kematian,
bagaimanapun, sering mengaburkan interpretasi.2 Tabel 1 merangkum kriteria yang
diusulkan untuk membedakan trauma kranial perimortem dari kerusakan
postmortem dari literatur saat ini.

2.4. Klasifikasi BFT Tengkorak

BFT kranial dapat dikaitkan dengan pembunuhan (misalnya, dampak


dengan benda tumpul), bunuh diri (misalnya, jatuh dari ketinggian), dan kecelakaan
(misalnya, dampak dari pengemudi atau penumpang dalam kecelakaan kendaraan
bermotor).

BFT kranial dapat diklasifikasikan dalam beberapa cara tergantung pada


disiplin, dan terminologi kadang-kadang bervariasi secara signifikan. Dalam ulasan
ini, sistem klasifikasi sederhana akan diikuti. Cedera kranial dapat dibagi menjadi
lin-ear, depresi dan tidak teratur atau lainnya (yang mencakup semua jenis lainnya).
Fraktur linier termasuk fraktur garis rambut atau fraktur, yang terutama muncul
pada vault, fraktur basilar, yang melibatkan basis kranial, dan fraktur diastatik,
yang pada dasarnya merupakan pemisahan dari jahitan yang sudah ada
sebelumnya.2 Fraktur engsel didefinisikan sebagai cedera yang menghancurkan,
seperti kompresi kepala antara tanah dan benda berat (yaitu, ban mobil).2 Fraktur
engsel melintang meluas melintasi selae dorsum tengkorak, dan dapat
memisahkannya menjadi dua.

Table 1 Criteria to differentiate perimortem trauma from postmortem damage


Feature Description Antemortem Perimortem Postmortem References

Signs of plastic Permanent deformation of Presence or absence Present Absent 8,9,17–21


response the bone after exceeding depending on the fracture
the elastic response limit location and nature
Bone flakes Small bone fragments NA Present Absent 8,9,19

attached to the impact site


edge morphology The relative sharpness of Smooth Sharp, incomplete Squared edges at right angles 12,15,16,19
the fracture margin or bend-edges to the bone surface–no bending
Fracture angle Angle between the NA Acute or obtuse Right 12,15,16,19
cortical table and the
direction of the fracture
Fracture texture or Morphology of the broken Smooth Smooth Rough 12,15,16,19
tactile roughness bone surface
Preponderant outline NA Regular Irregular 12,15,16
Cortical delamination Cleavage between the NA Present Absent 9,19
or beveling diploe and the inner/outer
table
Cranial bone Bony bridges between the Present Absent Absent 16
remodeling Fragments
Abbreviation: NA, not applicable.

Fraktur yang tertekan biasanya dikaitkan dengan pemuatan yang lambat di


area kecil tengkorak, menghasilkan beberapa garis fraktur (comminuted) pada
permukaan, sementara fragmen tertekan atau meluas ke rongga otak. Fraktur
Stellate adalah hasil dari dampak pada kubah yang menghasilkan penimbunan

fragmen tulang pada situs dampak dan outbending dari pinggiran kubah. Ini pada
gilirannya menghasilkan pola karakteristik fraktur konsentris yang dilintasi oleh
fraktur linier. Mekanisme cedera yang tepat akan dibahas kemudian dalam makalah
ini. Fraktur pond adalah fraktur depresi dangkal yang dapat merupakan hasil
kompresi atau kelanjutan dari fraktur linier.

Fraktur cincin adalah patah tulang melingkar di sekitar foramen magnum,


diproduksi sebagai akibat dari kekuatan yang mendorong kepala terhadap tulang
belakang. Cedera seperti itu biasa terjadi pada ketinggian dari ketinggian ketika
orang tersebut mendarat di atas kaki atau pantat mereka,2 dan dalam kecelakaan
tabrakan ketika bagian atas kepala pengemudi bertumbukan pertama, memaksa
tengkorak terhadap tulang belakang.2

Moritz dan Spitz et al2 menggambarkan kasus-kasus patah tulang yang


mempengaruhi tabel bagian dalam, sementara meninggalkan tabel luarnya utuh
(Plug fracture). Mekanisme cedera ini menurut penulis pertama terkait dengan
dukungan vertikal "kokoh" dari diploe, sedangkan menurut penulis kedua itu "mirip
dengan pemecahan langit-langit plester ketika lantai di atas dipukul dengan ujung
sebuah sapu terbang ”. Ini dapat diartikan sebagai dampak kecepatan sedang pada
area kecil yang terlokalisasi yang menghasilkan fragmen tulang endokranial yang
longgar yang dapat tertanam dalam otak.2

Rene Le Fort2 menggambarkan tiga pola klasik fraktur wajah dalam karya
eksperimental awalnya. Eksperimen Le Fort (N= 35) terdiri dari menjatuhkan
tengkorak mayat di permukaan yang datar, menendangnya, atau memukulnya
dengan tongkat kayu atau batang logam. Dia menemukan tiga pola fraktur yang
berbeda, yang disebutnya sebagai "garis lemah hebat" dan mereka mewakili fraktur
Le Fort I, II dan III.2 Secara sederhana, setelah dampak pada wajah langit-langit
mulut dapat dipisahkan dari rahang atas (Le Fort SAYA); maksila dapat dipisahkan
dari wajah (Le Fort II); atau rahang atas dan bagian kondilus mandibula dapat
terfragmentasi (Le Fort III). Le Fort juga mencatat bahwa meskipun dalam
beberapa kesempatan fraktur wajah dan tengkorak keduanya diamati dalam
eksperimennya, fraktur tengkorak tidak menjalar ke wajah.2 Fraktur ledakan adalah
fraktur dinding orbital yang biasanya terjadi ketika suatu pukulan tiba-tiba ke mata

mendorong bola dunia utuh kembali ke orbit.2 Peningkatan tekanan intraorbital


yang tiba-tiba dalam kombinasi dengan perpindahan posterior bola mata dapat
menyebabkan fraktur lantai dinding medial orbit ke sinus udara ethmoidal. . Fraktur
wajah lainnya termasuk fraktur sagital dan dentoalveolar seperti yang dijelaskan
oleh Di Maio.2

Moritz mencatat bahwa hasil destruktif dari dampak pada tempurung kepala
mungkin cukup jauh dari lokasi benturan (patah tulang jarak jauh). Lebih khusus
lagi, jatuh pada bagian belakang kepala atau dampak pada bagian atas kepala dapat
menyebabkan fraktur independen dari atap orbital karena pergerakan "kontra-
kudeta" dari lobus orbital / frontal terhadap area tipis. tengkorak.2 Fraktur semacam
itu dikenal dalam literatur forensik sebagai fraktur contrecoup.2 Demikian pula,
fraktur yang terletak di lokasi dampak sering disebut "fraktur kudeta".2 Tabel 2
merangkum semua jenis BFT tengkorak seperti yang dijelaskan oleh beberapa
penulis.

2.5. Etiologi BFT


Cedera kepala telah lama dianggap sebagai penyebab kematian mekanik
yang paling umum.2 Ini adalah penyebab paling umum kematian dalam
kecelakaan lalu lintas jalan raya dan jatuh atau bunuh diri melompat dari tempat
yang tinggi.2 Pola cedera yang serupa mungkin disebabkan oleh mekanisme yang
berbeda , sementara mekanisme yang sama dapat menyebabkan pola cedera yang
berbeda.2 Trauma tengkorak kranial dapat menjadi akibat dari kekerasan
antarpribadi (mis. penyerangan), kecelakaan (misalnya, dampak kecelakaan lalu
lintas), atau cedera yang diakibatkan oleh diri sendiri ( bunuh diri dengan cara
melompat dari tempat tinggi), sedangkan trauma gaya tajam sebagian besar terkait
dengan kekerasan antarpribadi. Para ahli sepakat bahwa cedera tengkorak lebih
mungkin terjadi akibat kekerasan antarpribadi, dibandingkan dengan fraktur
postkranial.2


10

Table 2 Terminology of blunt force injuries on the skull

Type Definition Etiology References

Linear Fracture in a straight line that does not Low velocity caused by forces 23
cause bone displacement with large mass
Hairline/fissure Straight discontinuity of bone on 23

the cranial vault


Basilar Linear fractures on the cranial base 1,18
Diastatic Occur along the sutures 1,17,18
Depressed inward displacement of bony fragments High velocity caused by forces 1,8,9,17,18
with low mass
Comminuted Multiple fracture lines (fragmentation) as a Low velocity/high impact 17,23
result of crushing injuries
Pond Shallow depressed fractures Continuation of linear fractures or 23,26
Compression
Stellate Star-shaped injuries 8,9,23
Hinge fractures Longitudinal or transverse crushing injuries Compression 1,18
“Plug” The outer table of the bone is intact while a Low velocity impact–small surface 1,10,17
plug of the inner table is detached (broken out)
Ring fracture Circular fracture around the foramen magnum Compression of lumbar spine after fall 1,17,18
with landing on feet/buttocks
Le Fort i Alveolar process of the maxilla on either side impact on the face 1,18,24,25
of the face
Le Fort ii (“pyramidal” fracture) Maxilla may be separated from the face – impact on the face 1,18,24,25
fracture extends into the orbits through the
interorbital region
Le Fort iii High transverse maxillar fracture through the impact on the face 1,18,24,25
nasofrontal suture, through the medial orbital
wall and fronto-zygomatic suture, across the
arch and through the sphenoid
Blowout fracture Fracture of the floor of medial wall of the orbit Sudden blow (eg, fist, ball, collision 27
into the ethmoidal air sinuses with an intact accident) to the eye pushes the intact
orbital rim globe back into the orbit
Sagittal fractures in sagittal plan through the maxilla 1,18
Dentoalveolar fractures Separation of mandibular fragment that may Direct force applied anteriorly or laterally 1,18
contain teeth
Coup fractures Fractures on the impact site Direct force applied 1,17,18
Contrecoup or remote fractures Fractures in an area away from the impact site Result of crushing injuries. indirect force 1,17,18

transmitted through the moving brain


Open/compound fracture The skin is broken and the bone in contact 1,17
with external environment
Closed/simple fracture The skin is not broken or cut – no exposure to 1,17

the external environment

Fraktur linier adalah jenis fraktur kranial yang paling umum, terdiri dari
70% -80% cedera kranial,2 dan dianggap berhubungan dengan kecelakaan seperti


11

jatuh, sedangkan fraktur yang tertekan menunjukkan korelasi yang lebih tinggi
dengan kekerasan interpersonal. Data klinis menunjukkan bahwa sebagian besar
lesi kranial yang ditimbulkan oleh kelelawar bisbol mengakibatkan fraktur kranial
dan fraktur linear dasar.2 Moritz mencatat bahwa jika kepala bebas bergerak
dengan dampak, fraktur cenderung linier atau tidak tertekan sempurna, sedangkan
jika head diimobilisasi (yaitu, terhadap permukaan padat) pukulan berat akan
menghasilkan fraktur kominutif dengan perpindahan ke dalam.
Untuk perbedaan antara serangan kekerasan (misalnya, pukulan ke kepala
dengan benda tumpul) dan kecelakaan (misalnya, jatuh), aturan hat brim line
(HBL) diusulkan dalam banyak buku pegangan patologi forensik sebagai kriteria
tunggal.2 HBL berhubungan dengan lingkar maksimal kubah, dan lesi di atasnya
lebih sering terjadi pukulan daripada cedera jatuh. Kremer et al telah
mendefinisikan aturan HBL (lihat Gambar 2), diuji, dan menantang nilainya.
Sebaliknya, mereka menyarankan bahwa itu harus digunakan bersama dengan
kriteria yang diuji lainnya, seperti lateralisasi sisi dan jumlah laserasi dan panjang
laserasi.
Temuan mereka didasarkan pada studi retrospektif dari 113 kasus forensik
(29 kasus jatuh dari ketinggian sendiri, 21 kasus jatuh di lantai bawah, dan 63
kasus pukulan pembunuhan), tidak termasuk kasus-kasus di mana seorang korban
dipukul ketika berbaring di tanah. Mereka mengamati bahwa fraktur linear pada
sisi kanan lebih dominan pada jatuh dan telah menafsirkan pengamatan ini
berdasarkan pada dominasi kidal populasi umum, menyoroti bahwa “perlindungan
pertama mereka ketika jatuh adalah mencoba untuk meletakkan tangan kanan
mereka dan oleh karena itu, sisi kanan kepala lebih rentan terhadap tanah ”. Karya
ini mengklaim bahwa fraktur kranial sisi kiri lebih sering dikaitkan dengan
pukulan yang berasal dari pelaku yang tidak kidal. Namun, pola pukulan ini
konsisten dengan pelaku yang menghadapi korban. Jika pelaku berdiri di belakang
korban, pukulan dengan tangan kanan lebih mungkin mengenai sisi kanan kepala.
Posisi fraktur depresi pada sisi kanan belakang tengkorak adalah konsisten dengan
pola yang paling sering terlihat pada trauma kekerasan, dengan asumsi agresor
tangan kanan.


12

Guyomarc et al mempelajari sampel yang sama seperti Kremer et al,


menambahkan kriteria tambahan seperti panjang laserasi kulit kepala; tipe fraktur
calvaria; jumlah lecet wajah, kontusio, dan laserasi (termasuk lesi mulut); adanya
laserasi pada telinga; adanya fraktur wajah; pola trauma osseus dan visceral
postkranial. Para penulis mengkonfirmasi bahwa HBL tidak dapat digunakan
sebagai kriteria tunggal untuk membedakan jatuh yang tidak disengaja dari
pukulan ke kepala dan mengusulkan pohon keputusan yang mencakup beberapa
kriteria tambahan. Mereka melaporkan nilai prediksi positif 87% dan nilai
prediksi negatif 91% untuk metode yang diusulkan.

Fracasso et al menantang temuan dari tiga studi yang disebutkan


sebelumnya2 dengan surat mereka di Journal of Forensic Sciences pada 2011.
Dalam surat ini, mereka menyoroti bahwa benda tumpul cedera kranial akibat
jatuh tidak terletak di atas HBL, jika semua kondisi berikut dipenuhi:a)berdiri
posisi tubuh sebelum jatuh, b) jatuh dari ketinggian c) lantai rata, dan d) tidak
adanya hambatan perantara. Mereka juga menyebutkan bahwa menurut Kratter
(1921) "pukulan mungkin terjadi di setiap daerah kepala dengan pengecualian
pangkal tengkorak".2

Gambar 2 HBL adalah area yang terletak di antara dua garis sejajar dengan garis yang diilhami oleh bidang
horizontal Frankfort (bidang horizontal yang melewati titik porion kanan dan kiri dan orbitale kanan dan
kiri), margin superior yang melewati glabella (G-line ), dan margin inferior melewati pusat meatus auditorius
eksternal (eAM-line).

Karya Ta'ala et al2 juga bertentangan dengan aturan HBL. Para penulis
mempelajari 85 tengkorak korban Khmer Merah yang dimakamkan di kuburan


13

massal di luar Phnom Penh, Kamboja, antara tahun 1975 dan 1979. Penilaian awal
sepuluh tengkorak dengan BFT di wilayah oksipital mengklasifikasikan fraktur
sebagai fraktur cincin atau basilar; Namun, evaluasi kedua memberikan hasil yang
berbeda. Penelitian ini mengungkapkan bahwa trauma tengkorak lebih mungkin
disebabkan oleh eksekusi dengan berbagai senjata tumpul diterapkan pada bagian
belakang kepala / leher oleh tentara Khmer Merah, seperti yang dijelaskan dalam
sumber sejarah dan oleh saksi mata. Ini juga bertentangan dengan aturan Kratter
yang disebutkan sebelumnya.2 Namun demikian, seseorang tidak dapat
mengecualikan tindakan tambahan yang terjadi selama eksekusi seperti korban
ditendang dan / atau memukul kepalanya dengan tanah atau benda keras lainnya;
dengan demikian, interpretasi harus dilakukan dengan hati-hati. Harus diakui
bahwa informasi kontekstual selalu penting dalam interpretasi trauma dan aturan
umum tidak selalu berlaku.

Casali et al secara khusus mempelajari keadaan jatuh bunuh diri pada 307
kasus dari Milan, Italia. Menurut temuan mereka, 40% dari korban menunjukkan
fraktur kranial dan 30% menunjukkan fraktur wajah, dengan yang terakhir lebih
sering terjadi pada jatuh dari ketinggian lebih dari 12 m. Penelitian sebelumnya
melaporkan frekuensi variabel trauma kepala mulai dari 25% hingga 91%. Dalam
sebagian besar studi, bagaimanapun, jatuh ke tanah berkorelasi dengan insiden
fraktur kranial yang lebih tinggi, sedangkan jatuh bunuh diri dalam air dikaitkan
dengan yang lebih tinggi. kejadian cedera perut.2 Data radiografi2 tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan secara statistik pada frekuensi cedera di
tengkorak antara faller dan jumper, sedangkan fraktur wajah secara signifikan
lebih tinggi pada korban bunuh diri (P, 0,001). Ini bertentangan dengan penelitian
sebelumnya yang melaporkan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam kejadian
cedera.2

Lefevre et al2 menyelidiki perbedaan cedera yang disebabkan oleh jatuh


dari ketinggian kurang dari 2,5 m (jatuh dan kecelakaan karena kematian
mendadak) dan pembunuhan dan melaporkan tidak ada nilai diagnostik HBL
dalam penelitian mereka. Insiden fraktur kranial pada kasus pembunuhan dan
jatuh yang tidak disengaja adalah serupa (masing-masing 70% dan 71%),


14

sedangkan kelompok kematian mendadak menunjukkan insidensi trauma kranial


yang lebih rendah (18%). Fraktur kranial yang tertekan pada kasus pembunuhan
mencapai 37%, sedangkan tidak ada fraktur yang tertekan yang diamati pada
kelompok jatuh atau kecelakaan yang tiba-tiba. Para penulis menyarankan bahwa
kehadiran setidaknya satu laserasi tumpul, satu luka memar yang dalam dan bukti
trauma intrakranial sangat mengindikasikan pembunuhan (area di bawah kurva
.90.9391). Terlepas dari kenyataan bahwa trauma intrakranial ditemukan menjadi
faktor yang paling diskriminatif untuk diferensiasi pembunuhan versus jatuh,
tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik yang ditemukan antara kedua
kelompok berdasarkan jenis cedera (hematoma subdural atau ekstradural, memar
otak, subarachnoid perdarahan, dan cedera aksonal difus).

Banyak cedera kranial lebih sering dikaitkan dengan kejadian kekerasan


daripada cedera kranial tunggal. Estimasi jumlah cedera dan urutan waktu di mana
mereka terjadi mengikuti kriteria standar yang dikenal juga sebagai aturan Puppe:
trek fraktur dari pukulan kedua tidak akan melewati fraktur sebelumnya.2

2.6. Biomekanik dan Trauma Tumpul Wajah


Dari sudut pandang biomekanik, fraktur kranial dapat disebabkan oleh
kekuatan yang berbeda yang mempengaruhi keadaan gerak tubuh (kepala) dan
mempengaruhi jaringan yang paling keras (tulang). Tulang adalah bahan
anisotropik penopang berat badan yang memberikan sokongan untuk seluruh tubuh
dan memungkinkan stabilisasi otot melalui banyak insersi di titik yang berbeda.
Tulang terdiri dari serat kolagen, yang memberikan elastisitas, fleksibilitas, dan
kekuatan dalam ketegangan, dan komponen anorganik seperti kristal hidroksiapatit,
yang memberikan kekakuan, kekerasan, kekuatan, dan kemampuan untuk rapuh
dalam keadaan terkompresi.2 Mineral kalsium dan fosfat, bersama dengan kolagen,
merupakan unsur organik tulang, yang mengisi sekitar 60% -70% dari jaringan
tulang. Air membentuk kira-kira 25% –30% dari berat jaringan tulang. Istilah
anisotropik mengacu pada bagian dari tulang yang bereaksi secara berbeda pada
beban yang berbeda, tergantung pada letak dan arah beban. Tabel 3 menampilkan


15

tabel ringkasan terminologi biomekanik dasar tulang berdasarkan beberapa naskah


yang pernah diterbitkan.2
Tulang adalah bahan yang sangat adaptif: peka terhadap salah-penggunaan,
baik imobilisasi atau saat melakukan aktivitas berat dan tekanan yang tinggi.
Jaringan tulang mengadopsi sifat yang berbeda sesuai dengan tuntutan mekanika
yang diperlukan. Wolff memperkenalkan hukum Wolff dimana dinyatakan “Setiap
perubahan bentuk dan fungsi tulang atau hanya fungsinya akan diikuti oleh
perubahan definitif tertentu dalam arsitektur internal, dan perubahan sekunder
dalam arsitektur eksternal, sesuai dengan hukum matematika”.
Sifat tulang dalam kondisi beban yang berbeda - seperti halnya bahan
lainnya - ditentukan oleh kekuatannya dan tingkat kekerasan bebannya. Pada
dasarnya, kekuatan dan kekerasan ini menentukan reaksi internal tulang terhadap
kekuatan eksternal yang diberikan. Karena sifatnya yang elastis, tulang pertama-
tama akan menyerap energi, setelah memuat hingga batas tertentu (batas elastis),
serat eksternal jaringan tulang akan mulai menunjukkan retakan mikro dan
pemutusan sambungan materi di dalam tulang (titik deformasi).2 Ini merupakan
fase deformasi plastis pada beban kurva deformasi (Gambar 3).
Respons tulang terhadap beban (regangan) bergantung pada kecepatan
(kecepatan) dan besarnya gaya yang diberikan. Termasuk beban rendah, tetapi tidak
termasuk kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh dari ketinggian, kecelakaan
pesawat, dan serangan kerusuhan. Setelah beban yang diberikan secara perlahan
pada tulang, tulang dapat a) kembali ke bentuk semula setelah gaya dihilangkan
(deformasi elastis), b) berubah bentuk secara permanen (deformasi plastis), atau c)
fraktur.2 Muatan cepat, seperti cedera karena keluarnya senjata api, amunisi, atau
bahan peledak, dikaitkan dapat menynebabkan cedera balistik menyebabkan tulang,
emkado lebih kaku dan memiliki toleransi lebih besar sebelum terjadinya fraktur.
Alasannya adalah karena kekuatan yang bermuatan lambat menyebabkan
tulang tertekan untuk waktu yang lama, melelahkan tulang secara fisik, dan
menjadikannya sebelum terjadi kegagalan. Pada muatan berkecepatan tinggi tulang
dapat menahan hingga titik tertentu sampai kemudian hancur, dengan sedikit atau
tanpa deformasi plastik.2 Perlu dicatat bahwa tulang karena sifat materialnya dapat


16

penyerap gelombang kejut dan muatan cepat dapat pecah lebih mudah dari jaringan
lainnya.

Tabel 3 Tabel ringkasan terminologi biomekanik tulang dasar

Hasil akhir setelah pengaplikasian kekuatan pada tulang, merupakan


kombinasi dari banyak faktor intrinsik (misalnya, morfologi tulang, ketebalan
tulang, overlay ketebalan jaringan lunak, kepadatan kortikal, posisi tubuh, dll) dan
faktor ekstrinsik (misalnya, kecepatan dan durasi dampak, bentuk objek, berat,
dll).2
Secara umum, tipe beban tertentu akan menghasilkan pola fraktur yang
khas. Menurut Stewart (52) cedera dengan kecepatan rendah yang melibatkan area
yang luas biasanya menghasilkan fraktur linear, sedangkan trauma berkecepatan
tinggi menghasilkan fraktur depresi yang lebih kecil. Blunt Face Trauma (tidak
termasuk trauma balistik) dianggap sebagai cedera dengan kecepatan rendah.
Ketika suatu gaya diberikan pada permukaan yang lebar, maka akan
memungkinkan energi kinetik untuk diserap sehingga menghasilkan cedera yang
lebih kecil, sementara aplikasi beban yang terlokalisir menghasilkan destruksi yang
lebih masif. Daerah melengkung dari tengkorak, meskipun lebih kuat karena
bentuknya, membatasi area permukaan kontak sehingga dapat mengakibatkan
cedera parah, meskipun bergantung pada energi kinetik yang didapatkan. Bentuk
dan ukuran objek yang digunakan untuk memberikan beban sangat berpengaruh
terhadap fraktur yang dihasilkan.


17

Ketika kepala dipukul/menabrak benda yang memiliki luas permukaan rata,


tengkorak pada titik tabrakan akan mendatar sesuai bentuk permukaan yang
menabrak.2 Gambar 4A menunjukkan hasil dari jatuh dari ketinggian dengan orang
yang jatuh dan mendarat dengan kepala. Gambar 4B menggambarkan fraktur
tertekan setelah terjatuh secara tidak sengaja dari lantai pertama sebuah bangunan
(denga tinggi sekitar 7 m), dengan orang yang mendarat dengan kepala. Gambar 4C
adalah gambaran hasil dari terjatuh yang tidak disengaja di tanah setelah terbentur
rintangan. Gambar 4D adalah hasil dari jatuh mendarat dengan bagian punggung
dari ketinggian 1,70 m hingga 2 m dimana orang itu tergantung di pintu besi yang
mana akhirnya jatuh mendarat dengan tubuh bagian atas dan kepala.

Gambar 3 Kurva deformasi beban umum.

Berryman dan Symes2 menggambarkan fraktur depresi khas setelah


melakukan pukulan stik bisbol dalam empat tahap: a) kecepatan rendah benturan
pada tengkorak menyebabkan pembentukan fraktur pada titik benturan karena awal
dari kubah tengkorak dengan periferal; perpindahan ke dalam fragmen tulang
karena deformasi plastis; fragmen kecil di tempat pukulan, menunjukkan bahwa
saat terjadi terdapat jaringan lunak; b) fraktur radiasi di area yang dimulai pada satu
atau lebih titik jauh dari titik tekanan, maju menuju titik tekanan dan di arah yang
berlawanan; c) fraktur radiasi berhenti ketika mereka sampai ke bagian sutura; d)
pembentukan fraktur konsentris berbanding lurus dengan fraktur radiasi. Telah
didokumentasikan bahwa morfologi penampang fraktur radiasi berbeda dari fraktur
konsentris.2


18

Teori tentang inisiasi fraktur di pinggiran dan kemudian menyebar ke


lokasi tekanan telah diusulkan oleh banyak ahli patologi forensik,2 dan telah
didukung oleh data eksperimental awal,2 serta dengan pekerjaan yang lebih baru
pada model hewan.2 Karya eksperimental terbaru oleh Kroman et al,2 memberikan
hasil yang bertentangan.2 Para penulis menggunakan kepala mayat manusia dewasa
dan menemukan fraktur yang memulai di titik tekanan (pusat parietal) dan fraktur
terbentuk menjauh dari daerah ini.2 Hasil tersebut sejauh ini belum dilaporkan oleh
kelompok riset lain.

Gambar 4 Contoh trauma benda tumpul kranial. Catatan: (A) Jatuh dari pendaratan tinggi di lemari besi. (B)
Jatuh dari lantai pertama (ketinggian sekitar 7 m) mendarat di tepi anak tangga. (C) Jatuh setelah menabrak
rintangan. (D) Fraktur jatuh dan kompresi antara benda logam dan tanah. (B – D).

Gambar 5 menggambarkan fraktur kranial setelah tendangan dari kuda yang


sangat cocok dengan deskripsi fraktur depresi akibat pukulan. Kesan retakan yang
dihasilkan melingkar sesuai bentuk tapal kuda. Berdasarkan arah hantaman, yang
paling dalam dipindahkan fragmen berlawanan dengan arah objek yang mengenai.


19

Gambar 5. Fraktur kranial setelah tendangan dari kuda.


Catatan: Kesan melingkar sesuai dengan sepatu kuda.

Moritz mencatat bahwa garis-garis fraktur biasanya lebih panjang di sisi


tulang yang berlawanan dengan permukaan benturan. Selain itu, fraktur konsentris
akibat BFT berbentuk miring internal, sebagai lawan dari fraktur konsentris yang
diakubatkan luka tembak yang cenderung miring eksternal.2
Moritz membedakan pola fraktur tengkorak pukulan pada kepala yang
bergerak bebas dan pada kepala yang bersandar pada permukaan padat (misalnya,
orang yang berbaring di tanah). Menurut penulis pukulan pada kepala yang
bergerak bebas kemungkinan besar mengakibatkan patah tulang linear atau tidak
lengkap tertekan, sementara pukulan berat ke kepala yang bersandar permukaan
padat lebih memungkinkan untuk menyebabkan fraktur terputus dan fragmen
tulang ke dalam. Temuan ini konsisten dengan beberapa kasus jatuh dengan
pendaratan di permukaan padat (Gambar 4A dan B). Jika pukulan mendarat pada
sudut di kepala, fraktur linear lebih umum terjadi, tergantung pada permukaan dan
hantamannya. Serangkaian eksperimen dilakukan dengan pukulan berbagai jenis
benda tumpul, pada bidang tulang buatan (SYNBONE)2 (rongga bola berisi gelatin2
babi untuk mensimulasikan tengkorak manusia) menghasilkan pola yang menarik.
Satu pukulan ke kepala (bola) terhadap permukaan padat menyebabkan fraktur
linier, terlepas dari sudut (vertikal atau diagonal) dan jenis objek yang digunakan
(tongkat baseball, rolling pin, dan tiang pembuka jendela).2 sebaliknya, pukulan
arah vertikal dengan stik bisbol pada gerakan kepala bebas menghasilkan fraktur
depresi khas seperti yang terlihat pada Gambar 6.


20

Secara alamiah, pengamatan awal ini perlu dikukuhkan dengan serangkaian


eksperimen yang lebih lengkap. Beberapa penulis2 menyatakan bahwa fraktur linier
tunggal menunjukkan kekuatan cedera yang lebih kecil daripada fraktur yang lebih
rumit, sedangkan penulis lain2 menyatakan bahwa jumlah gaya yang sama
diperlukan untuk membentuk suatu fraktur linier dan fraktur terkompresi yang
disertai beberapa garis fraktur. Saukko dan Knight meninjau kekuatan yang
diperlukan untuk menyebabkan fraktur pada tengkorak, dan mencatat bahwa berat
kepala dewasa rata-rata seberat 4,5 kg. Fraktur sederhana dapat terjadi dengan
benturan ke objek diam dengan gaya 73 N, sementara dalam kondisi jatuh dari
ketinggian 1 meter dengan benturan frontal dengan gaya sebesar 510 N juga dapat
mengakibatkan patah tulang linear atau mosaik. Pada pencatatan kekuatan
tumbukan sebesar 1,314 N tidak ditemukan fraktur. Temuan awal dari percobaan
yang sama pada bola SYNBONE menunjukkan tidak menghasilkan fraktur, di
mana kekuatan berkisar antara 381 hingga 608 N, sementara dengan gaya ebih dari
622 N mengakibatkan fraktur mosaik dan luas.2 Perlu diingat bahwa tengkorak
yang berbeda memiliki toleransi yang berbeda. Untuk menghasilkan fraktur perlu
ditinjau dari ketebalan tengkorak, usia individu yang mempengaruhi sifat material
tulang, dan berbagai faktor ekstrinsik. Data eksperimental berguna untuk memiliki
pemahaman tentang kemungkinan dampak yang dapat terjadi, namun tidak dapat
memberikan "diagnosis" langsung karena tidak ada simulasi yang dapat
memberikan hasil identik dengan peristiwa nyata.

Gambar 6 Fraktur pada bola SYNBONE yang berisi gelatin babi setelah dihantam
menggunakan tongkat bisbol. Foto oleh Yi-Hua Tang.


21

2.7. Praktik Terbaru


Cedera kerangka sering dijumpai saat autopsi pada berbagai kejadian
(kecelakaan tabrakan, jatuh karena kecelakaan atau bunuh diri, dan pembunuhan).
Spitz et al melaporkan bahwa BFT adalah jenis cedera yang paling umum
ditemukan pada autopsi dan kepala adalah lokasi paling umum untuk BFT,
terutama pada kasus pembunuhan. Oleh karena itu sangat penting untuk dilakukan
analisis secara menyeluruh pada kulit dan jaringan lunak (jika ada), serta pada
jaringan keras. Serangkaian teknik yang beragam dapat dilakukan oleh ahi
patologi forensik untuk meneliti trauma kepala. Antara lain pemeriksaan
radiografi tubuh, pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis kulit dan jaringan
lunak termasuk otak, serta pembedahan dan pemeriksaan tengkorak. Jika
memungkinkan, analisis pencitraan melalui CT scan dapat memberikan pencitraan
permukaan endokranial tanpa melakukan diseksi. Sediaan dengan jaringan lunak
dapat mempersulit pemeriksaan.Sisa jaringan lunak perlu dihilangkan untuk
mengobservasi permukaan ektokranial, tepi fragmen dan sudut garis fraktur
dengan lebih jelas. Dalamkasus fraktur dengan sejumlah fragmen pada tengkorak,
perlu disatukan dengan bantuan lem atau selotip, kemudian difoto dan dibuat
sketsa sehingga garis fraktur dari pandangan yang berbeda dapat terlihat agar
dapat menghasilkan deskripsi morfologis yang komprehensif dan karakteristik
luka.2 Direkomendasikan untuk melakukan pengukuran panjang fraktur dan
penggunaan deskripsi anatomi dengan satuan dan bahasa yang universal.2
Analisis mikroskopis dapat bermanfaat dalam beberapa hal seperti
memungkinkan pengamatan karakteristik fraktur tulang, rambut, dan sisa-sisa
bahan lain seperti logam atau kayu. Pembesaran rendah (daya × 3-40) dengan
stereoskop direkomendasikan oleh Symes et al2 terutama untuk beberapa pukulan
(situs dampak berbeda, jumlah minimum / urutan pukulan) atau alat contoh. Jika
terdapat alat pengganti, tidak perlu ada upaya yang dilakukan agar sesuai dengan
senjata apa pun, karena ini dapat mengubah karakteristik pada tulang. Sebaliknya,
perbandingan gips positif dari alat yang dicurigai dan tanda alat telah diusulkan
sebagai praktik terbaik.2 Begitu pula seorang ahli harus mengomentari apakah
senjata / objek akan konsisten dengan pola tertentu, daripada memberikan yang
positif identifikasi senjata.


22

Penggunaan teknologi pencitraan medis juga meningkat dalam penyelidikan


sisa-sisa manusia dengan beberapa yang baru publikasi tentang metode virtual.2
Kesimpulannya, trauma analisis kewalahan oleh sejumlah besar metodologi baru
yang tampaknya meningkatkan kemungkinan untuk menyeluruh analisis dan
interpretasi.
Christensen dan Crowder2 membahas kekurangan metode yang diterapkan
oleh antropolog forensik dan meragukan metode ini, khususnya tentang tingkat
kesalahan. Analisis trauma secara tradisional dianggap berdasarkan pengalaman
dan beberapa penulis di masa lalu berpendapat bahwa tidak ada ruang untuk data
yang dapat diukur.2 Kebutuhan yang muncul untuk teknik-teknik yang andal dan
andal dalam analisis trauma yang memenuhi kriteria Daubert, bagaimanapun,
telah memberlakukan perubahan dalam metode tradisional dari cedera tulang yang
terutama didorong oleh pengalaman analis. Saat ini, metode baru mengandalkan
set data yang lebih besar dan analisis statistik2 dan buku-buku dengan kasus
trauma yang diketahui muncul lebih sering.2 SWGANTH telah menghasilkan
rancangan dokumen praktik terbaik untuk analisis trauma sehubungan dengan
kriteria penerimaan di ruang sidang AS.2 A kompilasi rekomendasi ini juga
didukung oleh ulasan baru-baru ini dari komunitas ilmiah forensik.2
Era baru untuk antropologi forensik menentukan pengembangan metode
yang andal, dapat diulang, dan diterima secara ilmiah dengan tingkat kesalahan
yang diketahui untuk memenuhi kriteria penerimaan dari sistem peradilan.
Penelitian tentang analisis trauma kerangka harus fokus pada pengembangan
metodologi baru dan akurat yang dapat memenuhi tuntutan ini. Seperti
Passalacqua dan Fenton catat dengan benar, kita membutuhkan "perubahan
paradigma dalam cara kita mendekati analisis trauma kerangka" yang akan
melibatkan pendekatan multidisiplin dalam pengujian hipotesis dan validasi
sistematis dari metodologi yang dikembangkan.

2.8. Penutup
Tidak ada konflik kepentingan pada penulis dalam penelitian ini.

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Traumatologi
Traumatologi berasal dari kata trauma dan logos. Trauma berarti kekerasan
atas jaringan tubuh yang masih hidup, sedang logos berarti ilmu. Jadi traumatologi
merupakan ilmu yang mempelajari semua aspek yang berkaitan dengan kekerasan
terhadap jaringan tubuh manusia yang masih hidup.3

3.2. Jenis Penyebab Trauma


Kekerasan yang mengenai tubuh seseorang dapat menimbulkan efek pada
fisik maupun psikisnya. Efek fisik berupa luka- luka yang kalau di periksa dengan
teliti akan dapat di ketahui jenis penyebabnya yaitu:3

1. Mekanik :
a) Kekerasan tajam
1) Luka iris / sayat (incised wound)
2) Luka tusuk (stab wound)
3) Luka bacok (chop wound)
b) Kekerasan tumpul
1) Luka robek, koyak, retak (laseration)
2) Luka memar (contussion)
3) Luka lecet (abrasi) : tekan, geser dan regang
c) Senjata api
d) Bahan peledak
2. Fisik
a) Suhu (thermal burn) : trauma dingin dan panas
b) Petir (eliksem/lighting)
c) Listrik (electrical burn)
3. Kimia
a) Asam
b) Basa

23

24

3.3. Anatomi Kepala


Kepala adalah bagian superior dari tubuh yang melekat di batang leher.
Kepala adalah rumah dari otak, oleh karena itu, ini adalah situs kesadaran kita: ide,
kreativitas, imajinasi, tanggapan, pengambilan keputusan, dan ingatan. Kepala
termasuk penerima sensorik khusus (mata, telinga, mulut, dan hidung), perangkat
siaran untuk suara dan ekspresi, dan portal untuk asupan bahan bakar (makanan),
air, dan oksigen dan pembuangan karbon dioksida.4

3.3.1. Kulit Kepala


Kulit kepala menutupi cranium dan meluas dari linea nuchalis
superior pada os occipitale sampai margo supraorbitalis ossis frontalis. Ke
arah lateral kulit kepala meluas lewat fascia temporalis ke arcus
zygomaticus. Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu;
skin, connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea
aponeurotika, loose conective tissue dan pericranium. Kulit kepala memiliki
banyak pembuluh darah sehingga perdarahan akibat laserasi kulit kepala
akan menyebabkan banyak kehilangan darah, terutama pada bayi dan anak-
anak.

Gambar 8 SCALP pada tengkorak


25

A. Skin atau kulit


Lapisan yang tipis, kecuali di daerah oksipital, mengandung banyak
keringat dan kelenjar sebaceous dan folikel rambut. Ini memiliki
banyak pasokan arteri dan drainase vena dan arteri.
B. Connective Tissue
Merupakan jaringan kat lemak yang memiliki septa-septa, kaya akan
pembuluh darah terutama di atas Galea. Pembuluh darah tersebut
merupakan anastommistis antara arteri karotis interna dan eksterna,
tetapi lebih dominan arteri karotis eksterna.
C. Aponeurosis galea
Lapisan ini merupakan lapisan terkuat, berupa fascia yang melekat pada
tiga otot yaitu : ke anterior – m. Frontalis; ke posterior – m. Occipitslis;
ke lateral – m. Temporoparietalis. Ketiga otot ini dipersarafi oleh
nervus fasialis (N. VII)
D. Loose areolar tissue atau jaringan ikat longgar
Merupakan lapisan seperti spons termasuk potensial ruang yang
mungkin menggelembung sebagai akibat dari cedera atau infeksi.
Lapisan ini memungkinkan pergerakan bebas kulit kepala.
E. Perikranium
Merupakan lapisan padat jaringan ikat yang terbentuk periosteum
eksternal neurocranium. Benar terpasang tetapi dapat dilepas dengan
cukup mudah dari crania orang hidup, kecuali di mana perikranium
kontinu dengan serat jaringan dalam sutura tengkorak.4

3.3.2. Kranium (Tengkorak)


Tengkorak (tengkorak) adalah kerangka kepala. Serangkaian tulang
membentuk dua bagiannya, yaitu neurokranium dan viscerokranium.
Neurokranium adalah tulang otak dan penutup selaputnya, meninges
kranial. Ini juga berisi bagian proksimal saraf kranial dan pembuluh darah
otak. Neurokranium pada orang dewasa dibentuk oleh serangkaian delapan
tulang: empat tunggal tulang berpusat di garis tengah (frontal, etmoidal,


26

sfenoidal, dan oksipital),dan dua set tulang terjadi cincin sebagai pasangan
bilateral (temporal dan parietal).
Viscerokranium (kerangka wajah) terdiri dari tulang wajah yang
terutama berkembang di mesenkim lengkungan faring embrionik.
Viscerokranium membentuk bagian anterior kranium dan terdiri tulang yang
mengelilingi mulut (atas dan bawah) mulut), hidung / rongga hidung, dan
sebagian besar orbitnya (rongga mata atau rongga orbital).4

Gambar 9 Neurokranium dan viserokranium

A. Aspek Anterior
Pada aspek anterior tengkorak dapat dikenali os frontale, os
zygomaticum, orbita, nasal, maxilla dan mandibula.

Gambar 10 Aspek anterior tulang tengkorak


27

B. Aspek Lateral
Aspek lateral tengkorak terdiri dari os kranium dan os wajah. Os
kranium tersebut adalah fossa temporalis, linea temporalis superior,
linea temporalis inferior os parietal, arcus zygomaticus, titik pterion,
processus mastoideus ossis temporalis, meatus acusticus externus dan
processus styloideus ossis temporalis. Os wajah yakni mandibula
terletak dua bagian: bagian horisontal, yakni corpus mandibulae dan
bagian vertikal, yakni ramus mandibulae.4

Gambar 11 Aspek lateral tulang tengkorak

C. Aspek Posterior
Aspek posterior tengkorak (occiput) dibentuk oleh os occipitale, os
parietale dan os temporale. Protuberentia occipitalis externa adalah
benjolan yang mudah diraba di bidang median. Linea nuchalis superior
yang merupakan batas atas tengkuk, meluas ke lateral dari protuberentia
occipitalis externa tersebut; linea nuchalis inferior tidak begitu jelas.

Gambar 12 Aspek posterior tulang tengkorak


28

D. Aspek Superior
Aspek superior dibentuk oleh os frontale di sebelah anterior, kedua os
parietale dextra dan sinistra dan os occipitale di sebelah posterior.
Sutura coronalis memisahkan os frontale dari os parietale; sutura
sagitalis memisahkan kedua tulang ubun-ubun satu dari yang lain; dan
sutura lamboidea memisahkan os parietale dan os temporale dari os
occipitale. Titik bregma adalah titik temu antara sutura sagitalis dan
sutura coronalis. Titik vertex merupakan titik teratas pada tengkorak
yang terletak pada sutura sagitalis di dekat titik tengahnya.

Gambar 13 Aspek superior tulang tengkorak

E. Aspek Inferior dan Aspek Dalam Dasar Tengkorak


Aspek inferior tengkorak setelah mandibula diangkat memperlihatkan
processus palatinus maxilla dan os palatinum, os sphenoidale, vomer,
os temporale dan os occipitale. Permukaan dalam dasar tengkorak
memperlihatkan tiga cekungan yakni fossa cranii anterior, fossa cranii
media dan fossa cranii posterior yang membentuk dasar cavitas cranii.
Fossa cranii anterior dibentuk oleh os frontale di sebelah anterior, os
ethmoidale di tengah dan corpus ossis sphenoidalis serta ala minor ossis
sphneoidalis di sebelah posterior. Fossa cranii media dibentuk oleh
kedua ala major ossis sphneoidalis, squama temporalis di sebelah lateral
dan bagian-bagian pars petrosa kedua os temporale di sebelah posterior.


29

Gambar 14 Aspek inferior tulang tengkorak

3.3.3. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3
lapisan yaitu :
A. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan
endosteal dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang
keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada
permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput
arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang
subdural) yang terletak antara dura mater dan arachnoid, dimana sering
dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh
vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis
superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami
robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior
mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus.
Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.
Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan dalam
dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat
menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan
perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri
meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).4


30

Gambar 15 Lapisan meningens

B. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan tipis, tembus pandang yang
terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar
yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang
potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium
subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub
arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
C. Pia Mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater
adarah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak,
meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana
ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-
arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater.

3.3.4. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang
dewasa sekitar 1,4 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; Proensefalon
(otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak
tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula
oblongata dan serebellum. Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus.
Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat
ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan
orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus


31

oksipital bertanggungjawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan


pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam
kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat
kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi
dan keseimbangan.4

Gambar 16 Bagian-bagian otak

Gambar 17 Bagian-bagian otak dari medial

3.4. Cedera Kepala


Cedera kepala memiliki beberapa sinonim antara lain trauma kapitis = cedera
kepala = head injury = trauma kranioserebral = Traumatic Brain Injury.Centers for
Disease Control and Prevention (CDC) mendefinisikan cedera kepala sebagai
gangguan pada fungsi normal otak yang dapat disebabkan oleh benjolan, pukulan,
atau sentakan pada kepala, atau penetrasi cedera kepala. Setiap orang berisiko
mengalami cedera kepala, terutama anak-anak dan orang dewasa yang lebih tua.5


32

Definisi lainnya menurut Centers for Disease Control and Prevention, trauma
kepala adalah suatu trauma kranioserebral secara spesifik terjadinya cedera pada
kepala (akibat trauma tumpul atau tajam akibat daya akselerasi atau deselerasi)
yang terkait dengan gejala akibat cedera tersebut seperti penurunan kesadaran,
amnesia, abnormalitas neurologi atau neuropsikologi lainnya, fraktur tengkorak,
lesi intrakranial atau kematian.5
Menurut Brain Injury Association Of America, trauma kapitis adalah cedera
yang ditimbulkan akibat hentakan ke daerah kepala yang menyebabkan luka
terbuka atau luka tertutup dan dapat mengganggu fungsi otak.6 Cedera yang terjadi
dapat berupa cedera ringan, sedang, dan berat. Trauma kapitis juga dapat memberi
gejala dalam jangka waktu panjang. Sedangkan definisi lainnya, trauma kapitis
adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak
langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik,
kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen.7

3.4.1. Klasifikasi Cedera Kepala


Berdasarkan Advanced Traumatic Life Support (ATLS, 2014)
cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis
dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan; mekanisme, beratnya
cedera, dan morfologi.8
A. Mekanisme Cedera Kepala
Cedera kepala secara luas diklasifikasikan sebagai trauma tumpul dan
trauma tembus. Sebetulnya kedua cedera tersebut tidak benar-benar
dapat dipisahkan, namun pada beberapa kasus misalnya fraktur
tengkorak terdepres dapat dimasukkan kesalah satu golongan tersebut,
tergantung kedalaman dan parahnya cedera tulang. Istilah cedera
kepala tumpul biasanya dihubungkan dengan kecelakaan kendaraan,
jatuh dan pukulan, dan cedera kepala tembus lebih sering dikaitkan
dengan luka tembak dan luka tusuk. 8
B. Morfologi Cedera Kepala
Luka pada kulit dan tulang dapat menunjukkan lokasi atau area
terjadinya trauma. Cedera yang tampak pada kepala bagian luar


33

terdiri dari dua, yaitu secara garis besar adalah trauma kepala tertutup
dan terbuka. Trauma kepala tertutup merupakan fragmen-fragmen
tengkorak yang masih intak atau utuh pada kepala setelah luka. The
Brain and Spinal Cord Organization 2009, mengatakan trauma
kepala tertutup adalah apabila suatu pukulan yang kuat pada kepala
secara tiba-tiba sehingga menyebabkan jaringan otak menekan
tengkorak. Trauma kepala terbuka adalah yaitu luka tampak luka telah
menembus sampai kepada dura mater.9 Secara morfologi cedera kepala
data dibagi atas:10
i) Laserasi Kulit Kepala
Luka laserasi adalah luka robek yang disebabkan oleh benda
tumpul atau runcing. Dengan kata lain, pada luka yang disebabkan
oleh benda tajam lukanya akan tampak rata dan teratur. Luka robek
adalah apabila terjadi kerusakan seluruh tebal kulit dan jaringan
bawah kulit. Laserasi kulit kepala sering di dapatkan pada pasien
cedera kepala. Kulit kepala terdiri dari lima lapisan yang
disingkat dengan akronim SCALP yaitu skin, connective tissue,
apponeurosis galea, loose connective tissue dan percranium.
Diantara galea aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat
longgar yang memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada
fraktur tulang kepala sering terjadi robekan pada lapisan ini.11
ii) Fraktur Tulang Kepala
Fraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis fraktur dibagi
menjadi:11
a) Fraktur Linier
Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal
atau stellata pada tulang tengkorak yang mengenai
seluruh ketebalan tulang kepala.
b) Fraktur Diastasis
Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada
sutura tulang tengkorak yang menyebabkan pelebaran sutura-


34

sutura tulang kepala. Jenis fraktur ini terjadi pada bayi dan
balita karena sutura-sutura belum menyatu dengan erat.
c) Fraktur Kominutif
Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang
memiliki lebih dari satu fragmen dalam satu area fraktur.
d) Fraktur Impresi
Fraktur impresi tulang pepala terjadi akibat benturan dengan
tenaga besar yang langsung mengenai tulang kepala. Fraktur
impresi pada tulang kepala dapat menyebabkan penekanan
atau laserasi pada duramater dan jaringan otak, fraktur impresi
dianggap bermakna terjadi jika tabula eksterna segmen tulang
yang impresi masuk hingga berada di bawah tabula interna
segmen tulang yang sehat.
e) Fraktur Basis Cranii
Fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada
dasar tulang tengkorak. Fraktur ini seringkali disertai dengan
robekan pada duramater yang melekat erat pada dasar tengkorak.
pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya rhinorrhea dan
racon eyes sign pada fraktur basis cranii fossa anterior,
atau ottorhea dan battle’s sign pada fraktur basis cranii fossa
media. subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri karena banyak
ujung-ujung saraf yang rusak.
iii) Luka memar (kontusio)
Luka memar pada kulit terjadi apabila kerusakan jaringan subkutan
dimana pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke
jaringan sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan
berwarna merah kebiruan. Luka memar pada otak terjadi
apabila otak menekan pembuluh darah kapiler pecah. Biasanya
terjadi pada tepi otak seperti pada frontal, temporal dan oksipital.
Kontusio yang besar dapat terlihat di CT-Scan atau MRI (Magnetic
Resonance Imaging). Pada kontusio dapat terlihat suatu daerah
yang mengalami pembengkakan yang disebut edema. Jika


35

pembengkakan cukup besar dapat menimbulkan penekanan hingga


dapat mengubah tingkat kesadaran.11
iv) Abrasi
Luka abrasi yaitu luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial.
Luka ini bisa mengenai sebagian atau seluruh kulit. Luka ini tidak
sampai pada jaringan subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri
karena banyak ujungujung saraf yang rusak.11
v) Avulsi
Luka avulsi yaitu apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas,
tetapi sebagian masih berhubungan dengan tulang kranial. Dengan
kata lain intak kulit pada kranial terlepas setelah cedera.11

3.4.2. Patofisiologi
Cedera kepala pada proses patofisiologi didasarkan pada asumsi
bahwa kerusakan otak pada awalnya disebabkan oleh kekuatan fisik
yang lalu diikuti proses patologis yang terjadi segera dan sebagian besar
bersifat permanen. Dari tahapan itu, dikelompokkan cedera kepala menjadi:
8,12

A. Cedera Otak Primer


Cedera otak primer adalah akibat cedera langsung dari kekuatan
mekanik yang merusak jaringan otak saat trauma terjadi (hancur, robek,
memar, dan perdarahan). Cedera ini dapat berasal dari berbagai bentuk
kekuatan/tekanan seperti akselerasi rotasi, kompresi, dan distensi akibat
dari akselerasi atau deselerasi. Tekanan itu mengenai tulang
tengkorak, yang dapat memberi efek pada neuron, glia, dan
pembuluh darah, dan dapat mengakibatkan kerusakan lokal,
multifokal ataupun difus.12 Cedera otak dapat mengenai parenkim otak
dan atau pembuluh darah. Cedera parenkim berupa kontusio, laserasi
atau Diffuse Axonal Injury (DAI), sedangkan cedera pembuluh darah
berupa perdarahan epidural, subdural, subarakhnoid dan intraserebral,
yang dapat dilihat pada CT-scan. Cedera difus meliputi kontusio
serebri, perdarahan subarakhnoid traumatik dan DAI. Sebagai


36

tambahan sering terdapat perfusi iskemik baik fokal maupun global.


Iskhemik otak dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti hipotensi,
hipoksia, tekanan intrakranial atau Intracranial Pressure (ICP) yang
meninggi, edema, kompresi jaringan fokal, kerusakan mikrovaskular
pada fase lanjut (late phase), terjadi vasospasme.8

B. Cedera Otak Fokal


Cedera otak fokal secara tipikal menimbulkan kontusio serebri
dan traumatik intrakranial hematoma.12
i) Kontusio Serebri (Memar Otak)
Kontusio serebri merupakan cedera fokal berupa perdarahan dan
bengkak pada subpial, merupakan cedera yang paling sering terjadi.
Dilaporkan bahwa 89% mayat yang diperiksa post mortem
mengalami kontusio serebri. Kontusio serebri adalah memar
pada jaringan otak yang disebabkan oleh trauma tumpul
maupun cedera akibat akselerasi dan deselerasi yang dapat
menyebabkan kerusakan parenkim otak dan perdarahan mikro di
sekitar kapiler pembuluh darah otak. Pada kontusio serebri terjadi
perdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringan
yang kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan
atau terputus. Pada beberapa kasus kontusio serebri dapat
berkembang menjadi perdarahan serebral. Namun pada cedera
berat, kontusio serebri sering disertai dengan perdarahan subdural,
perdaraham epidural, perdarahan serebral ataupun perdarahan
subarakhnoid.8

Gambar 18 Mekanisme Terjadinya Kontusio Serebri


37

Penyebab penting terjadinya lesi kontusio adalah akselerasi


kepala yang juga menimbulkan pergeseran otak dengan tulang
tengkorak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif.
Akselerasi yang kuat akan menyebabkan hiperekstensi kepala.
Oleh karena itu, otak membentang batang otak terlalu kuat,
sehingga menimbulkan blokade reversibel terhadap lintasan
asendens retikularis difus. Akibat hambatan itu, otak tidak
mendapat input aferen sehingga kesadaran hilang selama
blokade reversibel berlangsung. Penyebab penting terjadinya
lesi kontusio adalah akselerasi kepala yang juga menimbulkan
pergeseran otak dengan tulang tengkorak serta pengembangan
gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi yang kuat akan
menyebabkan hiperekstensi kepala. Oleh karena itu, otak
membentang batang otak terlalu kuat, sehingga
menimbulkan blokade reversibel terhadap lintasan asendens
retikularis difus. Akibat hambatan itu, otak tidak mendapat
input aferen sehingga kesadaran hilang selama blokade
reversibel berlangsung.13

ii) Traumatik Intrakranial Hematom

Intrakranial hematom tampak sebagai suatu massa yang


merupakan target terapi yang potensial dari intervensi bedah
(sebagai lawan paling memar). Lebih sering terjadi pada pasien
dengan tengkorak fraktur. Tiga jenis utama dari hematoma
intrakranial dibedakan oleh lokasi relatif terhadap meningens:
epidural, subdural, dan intracerebral.8,12
a) Epidural Hematoma (EDH)
EDH adalah adanya darah di ruang epidural yaitu ruang
potensial antara tabula interna tulang tengkorak dan
duramater. EDH dapat menimbulkan penurunan
kesadaran, adanya lusid interval selama beberapa jam


38

dan kemudian terjadi defisit neurologis berupa


hemiparesis kontralateral dan dilatasi pupil ipsilateral. Gejala
lain yang ditimbulkan antara lain sakit kepala, muntah,
kejang dan hemiparesis.
b) Subdural Hematoma (SDH)
Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi 2-14 hari
setelah cedera dan dihubungkan dengan kontusio serebri
yang agak berat. Tekanan serebral yang terus-menerus
menyebabkan penurunan tingkat kesadaran.
c) Perdarahan Subdural Kronis
Terjadi karena luka ringan. Mulanya perdarahan kecil
memasuki ruang subdural. Beberapa minggu kemudian
menumpuk di sekitar membran vaskuler dan secara pelan-
pelan ia meluas, bisanya terjadi lebih dari 14 hari.
Gejala mungkin tidak terjadi dalam beberapa minggu atau
beberapa bulan. Pada proses yang lama akan terjadi
penurunan reaksi pupil dan motorik.
d) Intracerebral Hematoma (ICH)
Intracerebral Hematoma adalah area perdarahan yang
homogen dan konfluen yang terdapat di dalam parenkim
otak. ICH bukan disebabkan oleh benturan antara
parenkim otak dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan
oleh gaya akselerasi dan deselerasi akibat trauma yang
menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang terletak lebih
dalam, yaitu di parenkim otak atau pembuluh darah kortikal
dan subkortikal.
e) Subarahnoid Hematoma (SAH) Traumatik
Perdarahan subarahnoid diakibatkan oleh pecahnya
pembuluh darah kortikal baik arteri maupun vena dalam
jumlah tertentu akibat trauma dapat memasuki ruang
subarakhnoid.


39

C. Cedera Otak Difus


Cedera otak difus merupakan efek yang paling sering dari cedera
kepala dan merupakan kelanjutan klinis cedera kepala, mulai dari
gegar otak ringan sampai koma menetap pasca cedera.8 Terjadinya
cedera kepala difus disebabkan karena gaya akselerasi dan deselerasi
gaya rotasi dan translasi yang menyebabkan bergesernya parenkim
otak dari permukaan terhadap parenkim yang sebelah dalam.
Vasospasme luas pembuluh darah dikarenakan adanya perdarahan
subarahnoid traumatika yang menyebabkan terhentinya sirkulasi di
parenkim otak dengan manifestasi iskemia yang luas, edema otak
disebabkan karena hipoksia akibat renjatan sistemik,
bermanifestasi sebagai cedera kepala difus. Dari gambaran
morfologi pencitraan, cedera kepala difus dikelompokkan menjadi:12

i) Benturan (concussion) Serebri


Benturan adalah bentuk paling ringan dari cedera difus dan
dianggap karena gaya rotasional akselerasi kepala dengan tidak
adanya kontak mekanik yang signifikan. Dalam bentuk klasik,
penderita benturan mengalami kehilangan kesadaran sementara
dan cepat kembali ke keadaan normal kewaspadaan. Meskipun,
gegar otak ini tidak berbahaya seperti yang diduga sebelumnya,
tetapi benturan berulang sering mengakibatkan gangguan
neurologis permanen. Patofisiologi benturan kurang dipahami
dan mungkin karena gangguan kesadaran dari lesi batang otak
dan diencephalon. Penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan
benturan otak sering memiliki keterlibatan cedera otak difus, dan
lesi batang otak jauh lebih jarang. Cedera otak difus
menggambarkan keadaan odema sitotoksik meskipun gambaran
CT-scan normal dan GCS 15. 11


40

ii) Cedera Akson Difus (Difuse axonal injury)


Difus Axonal Injury (DAI) adalah keadaan dimana serabut
subkortikal yang menghubungkan inti permukaan otak dengan inti
profunda otak (serabut proyeksi), maupun serabut yang
menghubungkan inti-inti dalam satu hemisfer (asosiasi) dan
serabut yang menghubungkan inti-inti permukaan kedua hemisfer
(komisura) mengalami kerusakan. Terdapat dua fase dari cedera
aksonal pada DAI yaitu fase pada cedera primer dan cedera
sekunder atau fase lambat. Pada cedera primer robekan akson
terjadi akibat regangan saat kejadian. Sedangkan pada fase lambat
terjadi perubahan biokimia yang mengakibatkan pembengkakan
dan putusnya akson-akson. Perubahan biokimia yang terjadi yaitu
peningkatan influks natrium yang juga memicu influks kalsium.
Peningkatan kadar kalsium ini akan menyebabkan aktifnya
calsium-mediated proteolysis. Kerusakan akson menyebabkan
kerusakan dari pengangkutan sehingga terjadi penumpukan di
dalam akson yang membengkak. Kerusakan akson yang luas akan
menyebabkan atrofi otak dengan ventrikulomegali yang dapat
menyebabkan kejang, spastisitas, penurunan fungsi intelektual
dan yang paling berat adalah vegetative state.13,14

D. Cedera Otak Sekunder


Cedera otak sekunder merupakan lanjutan dari cedera otak
primer yang dapat terjadi karena adanya reaksi inflamasi, biokimia,
pengaruh neurotransmitter, gangguan autoregulasi, neuro-
apoptosis dan inokulasi bakteri. Melalui mekanisme
eksitotoksisitas, kadar kalsium intraselular meningkat, terjadi
generasi radikal bebas dan peroksidasi lipid. Perburukan mekanis
awal sebagai akibat cedera kepala berefek pada perubahan jaringan
yang mencederai neuron, glia, axon dan pembuluh darah. Cedera
ini akan di ikuti oleh fase lanjut, yang di mediasi jalur biologis


41

intraselular dan ekstraseluler yang dapat muncul dalam menit, jam,


maupun hari, bahkan minggu setelah cedera kepala primer.
Selama fase ini, banyak pasien mengalami cedera kepala sekunder
yang dipengaruhi hipoksia, hipotensi, edema serebri, dan akibat
peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Faktor sekunder inilah yang
akan memperberat cedera kepala primer dan berpengaruh pada
outcome pasien.15 Cedera otak sekunder (COS) yaitu cedera otak
yang terjadi akibat proses metabolisme dan homeostatis ion
sel otak, hemodinamika intrakranial dan kompartement CSS
yang dimulai segera setelah trauma tetapi tidak tampak secara
klinis segera setelah trauma. Cedera otak sekunder ini
disebabkan oleh banyak faktor antara lain kerusakan sawar darah
otak, gangguan aliran darah otak (ADO), gangguan metabolisme dan
homeostatis ion sel otak, gangguan hormonal, pengeluaran
neurotransmitter dan reactive oxygen species (ROS), infeksi dan
asidosis. Kelainan utama ini meliputi perdarahan intrakranial, edema
otak, peningkatan tekanan intrakranial dan kerusakan otak. Cedera
kepala menyebabkan sebagian sel yang terkena benturan mati atau
rusak irreversible, proses ini disebut proses primer dan sel otak
disekelilingnya akan mengalami gangguan fungsional tetapi belum
mati dan bila keadaan menguntungkan sel akan sembuh dalam
beberapa menit, jam atau hari. Proses selanjutnya disebut proses
patologi sekunder. Proses biokimiawi dan struktur massa yang rusak
akan menyebabkan kerusakan seluler yang luas pada sel yang cedera
maupun sel yang tidak cedera.15,16


42

3.4.3. Klasifikasi Cedera Kepala Dalam Kedokteran Forensik


Dalam kedokteran forensik, klasifikasi yang berbeda digunakan sesuai
dengan mekanisme dan temuan morfologisnya17 yang dapat dibagi menjadi
terbuka atau tertutup (bergantung pada lesi di duramater), dan primer atau
sekunder, dimana cedera primer adalah suatu cedera yang diinduksi oleh
kekuatan mekanik dan terjadi pada saat cedera (kontak, akselerasi-
deselerasi), dan cedera sekunder adalah cedera yang tidak diinduksi secara
mekanis (edema, herniasi otak). Selain itu, cedera kepala dalam lingkup
forensik juga dapat dilihat dari bagian kepala yang terluka, yakni dibagi
menjadi fokal (kulit kepala, tengkorak) dan difus (diffuse axonal injury,
cedera vaskular).
Mekanisme cedera kepala dalam kedokteran forensik dapat terjadi
melalui beberapa mekanisme. Pada kontusio, cedera terjadi akibat transfer
energi kinetik akibat benturan dengan benda atau suatu permukaan. Adapun
mekanisme cedera tanpa melalui proses kinetik, atau disebut dengan
acceleration-deceleration injury tanpa benturan yang dapat terjadi melalui
trauma penetrasi, luka tembak, asfiksia dan intoksikasi.

3.4.4. Pemeriksaan Luar

A. Pemeriksaan Kulit Kepala

Cedera kulit kepala seringkali terjadi, meskipun bukan berarti


tanpa variasi, kerusakan pada trauma juga dapat menyebabkan cedera
dari tengkorak dan otak. Abrasi, luka memar dan laserasi bisa terjadi.
Ketika cedera pada daerah yang terlihat (terbuka) di dahi, bagian
belakang leher, dan pelipis bawah atau di daerah tak berambut,
pemeriksaan yang dilakukan tidak berbeda dari bagian lain dalam
tubuh. Pada daerah tertutup rambut, pemeriksaan dilakukan dengan
meraba kulit kepala dimana kemungkinan terjadi cedera, abrasi,
pembengkakan, memar, dan bahkan laserasi mungkin tidak ditemukan.
Ketika sebuah lesi ditemukan atau dicurigai ada, rambut harus dicukur
secara hati-hati untuk memperlihatkan kulit kepala untuk pemeriksaan
lebih lanjut dan pengambilan foto. Serangan parah dari objek berbentuk
seperti palu atau alat berat bisa menghasilkan profil senjata total atau
sebagian. Palu berujung bulat bisa memukul lingkaran kulit kepala,


43

tetapi biasanya hanya bentuk lingkaran yang terlihat. Dalam kasus


demikian, posisi ujung senjata yang masuk bisa mengindikasikan sudut
atau arah dari pukulan. Mungkin dapat menyebabkan tekanan fraktur
yang melatarbelakangi bentuk dan ukuran yang sama, meskipun
interposisi kulit kepala yang tebal bisa menyebabkan defek tulang
tengkorak lebih besar sedikit dibanding senjata.12

Masalah utama dalam cedera kepala adalah membedakan antara


tanda insisi benda tajam dan laserasi akibat serangan benda tumpul.
Kulit kepala merupakan contoh terbaik dari jaringan permukaan yang
berada di atas bagian keras dari pendukung tulang. Tekanan bisa
memecahkan kulit kepala dan juga tulang tengkorak, sehingga luka dari
senjata seperti tongkat bisa merobek tulang dan jaringan lainnya
tampak seperti terpotong, yang muncul tampak seperti potongan alat
tajam.12
Penting bagi seorang ahli patologi forensik untuk memperkirakan
apakah korban jatuh ke atas permukaan yang datar, atau pukulan dari
objek lebar dan datar seperti papan atau ubin, dimana terkadang tidak
menunjukkan tanda eksternal di eksterior kepala, tetapi biasanya cedera
demikian menyebabkan robekan compang camping yang bisa jadi
tampak linear, terpisah-pisah atau tidak merata. Cedera demikian di
bagian belakang kepala biasanya muncul karena jatuh, khususnya pada
korban yang mabuk. Jatuh ke belakang dan mengenai suatu objek
menonjol, seperti dinding atau trotoar pinggir jalan, bisa menyebabkan
laserasi transversal, dan terlepasnya sebagian dari tulang di bawahnya
sehingga penutup kulit kepala longgar dari tengkorak. Jatuh biasanya
mencederai occipital protuberance, dahi atau daerah parietotemporal.
Cedera di vertex harus selalu dicurigai adanya penyerangan, karena
jatuh dan biasanya tidak mengenai atas kepala, meskipun dari
ketinggian tertentu. Biasanya, jatuh ke belakang hanya terjadi dengan
mengenai permukaan vertikal seperti dinding, atau bagian perabotan
rumah, bisa menyebabkan kerusakan ke bagian atas kepala. 12


44

B. Pemeriksaan Pada Wajah


Cedera pada wajah merupakan hal yang umum, meskipun sering
menimbulkan kerusakan parah, dengan kerusakan tulang tengkorak,
Namun pada keadaan tertentu dapat menyebabkan pendarahan ke dalam
saluran napas. Biasanya dapat muncul sebagai kerusakan tambahan
hingga ke kranial, atau bisa menjadi trauma parah mencapai otak. 12

Gambar 19 Cedera pada wajah akibat tendangan.

Durasi cedera bisa muncul secara eksternal, tetapi semua


kerusakan yang ada juga bisa muncul dalam tengkorak wajah. Karena
bentuk wajah yang kompleks, bentuk dagu, hidung, tulang pipi, alis,
telinga dan bibir bisa menunjukkan pengaruh, dengan kerusakan
karakteristik tertentu. Alis biasanya rentan, terpengaruh saat jatuh dan
ada serangan. Serangan senjata tajam ke alis bisa membelah kulit dan
bisa menyebabkan fraktur frontal yang bisa meliputi daerah orbital.12
Fraktur os frontal disebabkan oleh pukulan yang keras pada bagian
dahi, mencakup tabula anterior dan tabula posterior sinus frontalis.
Apabila tabula posterior mengalami fraktur, diperkirakan akan
menyebabkan luka pada duramater (meninges). Selain itu sering juga
terjadi kerusakan duktus naso frontal. gangguan atau adanya krepitasi
pada margo supraorbita, emfisema subkutan dan parestesia nervus
supraorbita dan nervus supratrokhlear. Pada pasien yang sadar, nyeri
wajah merupakan gejala yang lazim. Laserasi, kontusio atau hematoma


45

pada dahi merupakan tanda cedera sinus frontal. Depresi yang tampak
pada dahi merupakan tanda yang penting, namun dapat dengan mudah
tidak teramati pada presentasi akut karena berkaitan dengan edema
jaringan lunak.12
Fraktur dinding bawah / lantai orbita: cedera pada lantai orbita
dapat terjadi sebagai fraktur yang sendiri, namun dapat juga
menyebabkan fraktur dinding medial. Adanya fraktur tersebut
menyebabkan adanya peningkatan tekanan pada intraorbita yang dapat
merusak aspek terlemah dari dinding orbit, yaitu dinding medial dan
lantai. Akibatnya herniasi dari struktur yang terdapat didalam orbita ke
dalam sinus maxillary dapat terjadi dan insidensi yang tinggi pada
cedera mata, namun bulbus oculi jarang sampai ruptur. Presentasi
edema periorbita, krepitasi, ekimosis, enophtalmos dan cedera okular.
Nervus infraorbita sering juga mengalami kerusakan nervus infraorbita
dapat menyebabkan paresthesia atau anesthesia pada sisi lateral hidung,
bibir bagian atas dan ginggiva maxilla pada sisi yang terkena. Adanya
disfungsi pergerakan bola mata ke atas dan ke arah lateral akibat
terjebaknya m. rectus inferior. Apabila entrapment nervus terjadi,
intervensi surgical emergency harus segera dilakukan, untuk mencegah
atrofi m. rectus inferior. 12
Maksila dan mandibular bisa jadi mengalami fraktur akibat
serangan langsung dan juga disebabkan pendarahan intraoral dari
kerusakan jaringan halus. Serangan atau tendangan berat ke satu sisi
dagu bisa menyebabkan ipsilateral, bilateral, atau bahkan fraktur
kontralateral. Cedera kasar ke wajah, seperti saat tertendang dan
kecelakaan lain, mungkin bisa melepaskan tengkorak wajah dari dasar
tengkorak. Bagian bawah dari maksila, membawa palate dan gigi atas,
bisa terpisah secara total dari tengkorak. Saat autopsii, sisi terbaik untuk
melihat tengkorak tulang bisa diperoleh dengan membedah keseluruhan
kulit wajah dimulai dari insisi leher dan melingkar, jika dibutuhkan.12


46

C. Pemeriksaan Pada Mata


i) Hematoma Periorbital

Gambar 20 Produksi black eye: (1) Pukulan langsung ke orbitnya. (2) Cedera pada
bagian depan kulit kepala, terkuras punggungan supraorbital. (3) Fraktur pangkal
tengkorak (langsung atau contrecoup) memungkinkan pendarahan meningeal untuk
lolos atap orbital.

Hematoma periorbital atau " black eye”, biasanya disebabkan oleh


pukulan atau tendangan langsung ke lubang mata, tetapi ahli
kedokteran forensik harus selalu mempertimbangkan beberapa
penjelasan alternatif. Mata hitam mungkin merupakan hasil dari12
kekerasan langsung, yang mungkin atau bukan berhubungan dengan
abrasi atau laserasi di pipi bagian atas, alis, hidung atau bagian lain
dari wajah. Hematoma juga bisa dihasilkan rembesan gravitasi darah
dibawah kulit kepala dari memar atau laserasi di atas alis. Setidaknya
sebagian postur kepala normal harus bisa dijaga selama beberapa
waktu untuk mencegah komplikasi, biasanya lebih panjang antara
waktu cedera dan kematian. Terlokalisirnya darah ke orbit fraktur
dari fossa anterior tengkorak. Kondisi ini terkadang muncul dari
cedera tertentu yang muncul akibat jatuh dengan sisi kepala belakang
terkena benturannya, menyebabkan fraktur sekunder dari tulang yang
setipis kertas dari atap orbital ini sangat berhubungan dengan contuse
contrecoup dari lobus frontal otak.


47

Gambar 21 Hematoma periorbital


ii) Raccoon Eyes
Raccoon eyes atau ekimosis periorbital adalah tanda fraktur basis
cranii atau hematoma subgaleal, kraniotomi yang merusak meninges,
atau (jarang) kanker. Perdarahan bilateral terjadi ketika kerusakan
pada saat fraktur wajah merobek meninges dan menyebabkan sinus
vena berdarah ke vili arachnoid dan sinus kranial. Dalam istilah
awam, darah dari fraktur tengkorak merembes ke jaringan lunak di
sekitar mata. Racoon eyes dapat disertai dengan battle sign, sebuah
ekimosis di belakang telinga. Racoon eyes bisa bilateral atau
unilateral. Jika bilateral, sangat diduga fraktur tengkorak basilar,
dengan nilai prediksi positif 85%. Mereka paling sering dikaitkan
dengan fraktur fossa kranial anterior. Racoon eyes juga bisa menjadi
tanda neuroblastoma diseminata atau amiloidosis (multiple myeloma).

D. Pemeriksaan Pada Telinga


i) Battle Sign

Gambar 22 Battle Sign


48

Battle sign adalah memar yang menunjukkan fraktur basis cranii. Pada
awalnya, itu bisa terlihat seperti memar khas yang bisa sembuh
dengan sendirinya. Namun, Battle sign adalah kondisi yang jauh lebih
serius. Battle sign muncul sebagai memar besar yang memanjang di
seluruh bagian belakang telinga Anda, dan itu juga dapat meluas ke
bagian atas leher Anda. Kadang-kadang Battle sign juga dapat disertai
dengan Racoon eyes yang menandakan terjadinya suatu fraktur basis
cranii. 13
ii) Otorrhea
Terjadi bila tulang petrosa mengalami fraktura, duramater
dibawahnya serta arakhnoid robek, serta membran timpanik perforasi.
Fraktura tulang petrosa diklasifi- kasikan menjadi longitudinal dan
transversal, berdasar hubungannya terhadap aksis memanjang dari
piramid petrosa; namun kebanyakan fraktura adalah campuran. Pasien
dengan fraktura longitudinal tampil dengan kehilangan pendengaran
konduktif, otorrhea, dan perdarahan dari telinga luar. Pasien dengan
fraktura transversal umumnya memiliki membran timpanik normal
dan memperlihatkan kehilangan pendengaran sensorineural akibat
kerusakan labirin, kokhlea, atau saraf kedelapan didalam kanal
auditori. Paresis fasial tampil hingga pada 50 persen pasien. Fraktura
longitudinal empat hingga enam kali lebih sering dibanding yang
transversal, namun kurang umum menyebabkan cedera saraf fasial.
Otorrhea CSS berhenti spontan pada kebanyakan pasien dalam
seminggu. Insidens meningitis pasien dengan otorrhea mungkin
sekitar 4 persen, dibanding 17 persen pada rinore CSS. Pada kejadian
jarang, dimana ia tidak berhenti, diperlukan pengaliran lumbar dan
bahkan operasi. 13
E. Pemeriksaan Hidung
Pada fraktur basis cranii dapat terjadi rhinorrhea. Rinnorea terjadi
pada sekitar 25 persen pasien dengan fraktura basis anterior. CSS
mungkin bocor melalui sinus frontal (melalui pelat kribrosa atau pelat
orbital dari tulang frontal), melalui sinus sfenoid, dan agak jarang
melalui klivus. Kadang-kadang pada fraktura bagian petrosa tulang
temporal, CSS mungkin memasuki tuba Eustachian dan bila membran


49

timpani intak, mengalir dari hidung. Pengaliran dimulai dalam 48 jam


sejak cedera pada hampir 80 persen kasus.

3.4.5. Pemeriksaan Dalam

A. Teknik Autopsi Kepala


Pada pemeriksaan dalam perlu diperhatikan peralatan dan
kelengkapan-nya. Pada prinspnya di Rumah Sakit tersedia autopsii set,
terutama pada Rumah Sakit pendidikan. Tetapi secara sederhana dapat
digunakan minor set ditambah fasilitas air yang cukup, gergaji serta
elevator untuk membuka tulang atap kepala.15
i) Pengirisan Kulit Kepala
Pengirisan dimulai dari atas telinga melewati puncak kepala sampai
di atas telinga sisi yang lain, sedemikian rupa hingga mencapai
tulang. Lalu kulit kepala dilipat ke depan hingga kira-kira 1 cm di
atas alis dan ke belakang hingga kira-kira setinggi protuberantia
oksipitalis eksterna. Periksa adanya hematoma dan fraktur
tengkorak.15
ii) Pemotongan Tulang Atap Tengkorak
Tulang atap tengkorak digergaji melingkar, kemudian pada bekas
gergajian dicongkel dengan betel (elevator) kecil agar atap kepala
dapat terlepas. Maka lepaslah atap tengkorak. Periksa adanya
perdarahan di atas selaput otak (epidural), lokasi perdarahan serta
luas perdarahan. Jika berupa jendalan darah, maka timbang berapa
15
beratnya. Periksa juga apakah ada kelainan selaput otak.
Kemudian selaput otak dibuka, caranya: Selaput otak (duramater)
diangkat dengan pinset anatomis di atas krista galli lalu digunting
mendatar ke samping kanan dan kiri sesuai arah bekas gergajian.
Lalu lepaskan perlekatannya pada sutura sagitalis dan selaput otak
disingkapkan ke belakang. Maka terbukalah selaput otak. Periksa
adanya perdarahan di bawah selaput otak (subdural), darah yang
tampak di atas otak diusap, jika hilang maka perdarahan tersebut
subdural, tetapi bila tidak hilang dengan pengusapan berarti
perdarahan subaraknoid. Catat lokasi perdarahan tersebut, ukur


50

luasnya dan jika jendalan usahakan untuk ditimbang. Adakah


bagian-bagian otak yang rusak. 15
iii) Pengangkatan dan Pemeriksaan Otak
Jari-jari tangan kiri menekan bagian frontal otak kemudian ditarik
ke arah belakang, potong vasa-vasa darah dan saraf olfaktorius
serta saraf okulomotorius. Dilanjutkan dengan memotong chiasma
optikum. Tarikan diperbesar dan otak disiangi dari fiksasinya
hingga tampak jelas basis cranii- nya, foramen oksipitale magnum
serta cerebellum-nya. Lepaskan dan balik pegangan tangan kiri
pada otak, kemudian otak sedikit ditarik ke arah atas belakang
sehingga tampak medulla oblongata dan bagian atas medulla
spinalis. Lalu dengan pisau yang panjang, medulla spinalis
dipotong sejauh mungkin. Maka lepaslah otak. Periksa dan
timbang. Berat otak dewasa. rata-rata 1250 gr-1500 gr, ukuran otak
besar rata-rata 20 cm x 18 cm x 6 cm, otak kecil rata-rata 11 cm x 6
cm x 2,5 cm. Perhatikan gyri dan sulci- nya serta gambaran
pembuluh darahnya. Pada kasus asfiksia akibat penggantungan atau
pencekikan maka pembuluh darah akan tampak melebar dan ada
gambaran seperti perdarahan namun bila ditekan gambaran
perdarahan tersebut akan hilang. Sedangkan pada perdarahan yang
sesungguhnya sifatnya difus dan tidak hilang pada penekanan.15
Kemudian dilakukan pengirisan otak besar, caranya: irisan dimulai
dari fisura longitudinale cerebri sekitar 1 cm di atas comissura
cerebri dengan posisi pisau miring 45 derajat dan dilakukan dengan
satu kali irisan. Jika irisan benar, maka ventrikel lateralis akan
terpotong. Lakukan hal serupa pada hemisferium cerebri
sebelahnya. Periksa adanya jendalan darah. Perdarahan di daerah
ini biasanya terjadi secara spontan akibat tekanan darah yang
15
terlampau tinggi (pada apoplexia cerebri). Pengirisan otak kecil
dilakukan secara radier berlapis-lapis, periksa tiap bagian irisan,
adakah perdarahan pada substantia otaknya.15


51

iv) Pengangkatan Selaput Otak dari Dasar Tengkorak


Selaput otak yang sudah dibuka seperti tersebut di atas harus
dilepaskan dari perlekatannya dengan dasar tengkorak, caranya:
jepit selaput otak tersebut dengan klem kemudian putar klem terus-
menerus sehingga selaput otak tergulung. Lalu lakukan tarikan
hingga perlekatan selaput otak tinggal pada foramen oksipitale
magnum dan potong di sini. Maka lepaslah selaput otak. Periksa
dasar tengkorak, adakah retak tulang, jika ada catat lokasinya. Perlu
diketahui dasar tengkorak yang paling rapuh bila mendapat trauma
adalah: di sekitar foramen magnum, di sekitar krista galli, pars
pyramidalis serta atap orbita. 15

3.4.6. Fraktur Basis Cranii


Fraktur adalah rusaknya kontinuitas dari struktur tulang, tulang rawan
dan lempeng pertumbuhan yang disebabkan oleh trauma dan non trauma.
Tidak hanya keretakan atau terpisahnya korteks, kejadian fraktur lebih sering
mengakibatkan kerusakan yang komplit dan fragmen tulang terpisah.18
Fraktur basis cranii merupakan suatu fraktur akibat benturan pada
daerah dasar tulang tengkorak. Fraktur basis cranii terbentuk darifraktur
linear yang terjadi pada dasar tulang tengkorak. Fraktur ini seringkali disertai
dengan kerobekan duramater.

A. Klasifikasi Fraktur Basis Cranii


Berdasarkan lokasinya, fraktur basis kranii dapat diklasifikasikan
menjadi18:
i) Fraktur temporal
Salah satu fraktur basis cranii yang umum terjadi pada os temporal
adalah fraktur longitudinal. Fraktur longitudinal pada os temporal
umumnya meliputi external auditory canal sampai ke foramen ovale.
Jenis fraktur ini dapat menyebabkan otorrea cairan serebrospinal dan
darah, hemotympanum dan dapat ditemukan Battle's Sign.
ii) Fraktur anterior
Fraktur ini meliputi fraktur pada dinding posterior sinus frontal,
ethmoid dan tulang orbital. Pada pemeriksaan pada pasien dengan


52

fraktur di bagian anterior dapat tampak perdarahan pada rongga


periorbital yang ditandai dengan Raccoon's eyes. Fraktur yang
meliputi bagian sinus dan ethmoid juga dapat menyebabkan
rhinorrea cairan serebrospinal dan darah.
iii) Fraktur sphenoid
Fraktur pada sphenoid meliputi sinus sphenoid, sella tucica dan
clivus. Pada fraktur yang luas dapat meliputi tulang orbital, basal
dan temporal. Pada fraktur sphenoid dapat timbul gejala klinis
berupa rhinorrea cairan serebrospinal dan gangguan penglihatan.
iv) Fraktur clivus
Fraktur pada clivus merupakan fraktur yang jarang ditemukan pada
kasus fraktur basis cranii. Umumnya ditemukan pada kasus
kecelakaan lalu lintas atau kecelakaan yang melibatkan tumbukan
hebat pada kepala. Fraktur longitudinal diketahui dapat mematikan
karena dapat mengganggu kerja batang otak.
v) Fraktur oksipital
Fraktur pada oksipital jarang terjadi. Fraktur pada oksipital dapat
diakibatkan trauma tumpul berat pada kepala, terutama jika
mengenai bagian oksipital secara langsung.

B. Etiologi Fraktur Basis Cranii


Etiologi fraktur basis cranii dapat meliputi19:
i) Kecelakaan kendaraan atau transportasi.
ii) Kecelakaan terjatuh.
iii) Kejahatan dan tindak kekerasan.

C. Manisfestasi Klinis Fraktur Basis Cranii


Tanda dan Gejala fraktur basis cranii berdasarkan klasifikasi sebagai
berikut19:
i) Raccoon's eyes
ii) Battle sign
iii) Rhinorrhea dan otorrhea
iv) Hemotympanum


53

Gambar 22. (Kiri-kanan) Raccoon's eyes; Battle's Sign; LCS leakage; Hemotympani

3.4.7. Fraktur Maksilofasial


Fraktur adalah hilangnya atau putusnya kontinuitas jaringan keras
tubuh. Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang
wajah yaitu tulang nasoorbitoetmoid, tulang zigomatikomaksila, tulang nasal,
tulang maksila, dan juga tulang mandibula.20 Fraktur tulang wajah
memerlukan sejumlah besar kekuatan. Dokter harus memperhitungkan
mekanisme cedera serta temuan pemeriksaan fisik ketika menilai pasien.
Pada fraktur sinur Frontal baik dinding anterior dan posterior
mungkin rusak karena dinding posterior berdekatan dengan duramater,
kerusakan di wilayah ini dapat mengakibatkan komplikasi sistem saraf pusat
(SSP) seperti kebocoran cairan serebrospinal (CSF) atau meningitis.21
Tulang orbita terdiri dari 7 tulang dari berbagai ketebalan. Tulang
frontal membentuk rim supraorbital dan atap orbital. Permukaan medial
terdiri dari ethmoid, sedangkan dinding yang lebih besar dari sphenoid dan
zygoma yang membuat margin lateral. Di inferior, dasar dan rima infraorbital
dibentuk oleh zygoma dan maksila. Bagian ini sangat tipis, Oleh karena itu,
itu adalah tempat yang paling sering dari fraktur dalam orbit. Fraktur dasar
orbita, juga dikenal sebagai fraktur blow-out, dapat mengakibatkan jeratan
dari otot rektus inferior, sehingga membatasi pandangan ke atas. Patah tulang
yang paling umum untuk rima orbital melibatkan daerah orbita zygomatic,
fraktur ini yang biasanya hasil dari pukulan impaksi tinggi ke orbita lateral,
sering menyebabkan fraktur ke dasar orbital juga. 21
Hidung adalah bagian yang paling menonjol dari struktur wajah dan
adalah yang paling sering retak dari semua tulang wajah. Sepertiga atas


54

hidung didukung oleh sepasang tulang hidung dan tonjolan frontal dari
rahang atas, sedangkan dua pertiga bawah dari hidung disusun oleh struktur
bertulang rawan. Sebuah cedera yang lebih serius, patah tulang
nasoorbitoethmoid, terjadi dengan trauma ke septum dari hidung. Cedera ini
melibatkan ekstensi kedalam tulang frontal dan maksila dan dapat
mengakibatkan terganggunya cribriform plate bersamaan dengan CSF
rhinorrhea. 21
Seperti tulang hidung, zygoma adalah tulang wajah yang menonjol
dan, karena itu, rawan cedera. Umumnya, sebuah kerusakan di daerah ini
melibatkan depresi sentral dengan patah tulang pada kedua ujungnya.
Fragmen sentral dapat menimpa pada otot temporalis, mengakibatkan
trismus. Karena ketebalannya, fraktur terisolasi dari zygoma yang jarang
terjadi, sering melibatkan ekstensi ke dalam tulang lebih tipis dari orbit atau
maksila, atau dikenal sebagai zygomaticomaxillary (yaitu, patah tulang
tetrapod atau tripod). 21
Rene Le Fort pertama kali menjelaskan fraktur daerah rahang atas di
tahun 1900-an . Klasifikasi patah tulang rahang atas didasarkan pada tingkat
yang paling unggul dari situs fraktur. Klasifikasinya merupakan yang paling
sering digunakan secara luas untuk fraktur daerah maksila. Fraktur mandibula
dapat melibatkan daerah simfisis, tubuh/body, sudut/ angulus, ramus,
kondilus, dan subcondyle. Fraktur body mandibula, kondilus, dan angulus
terjadi dengan frekuensi yang hampir sama, diikuti oleh fraktur ramus dan
prosesus koronoid. Secara umum, kecelakaan kendaraan bermotor
mengakibatkan fraktur condylar dan simfisis daerah karena gaya diarahkan
terhadap dagu, sedangkan luka dari tinju lebih cenderung berada di sudut
mandibula, sebagai hasil dari pukulan tangan kanan . Lebih dari 50% dari
patah tulang rahang bersifat multipel; adanya fraktur satu mandibula
memerlukan evaluasi fraktur tambahan, mungkin ada sisi kontralateral ke
yang terkena. 21
A. Klasifikasi Fraktur Maksilofasial
i) Fraktur Nasoorbitoetmoid (NOE)
Anatomi kompleks yang berliku-liku mengakibatkan fraktur
NOE merupakan fraktur yang paling sulit untuk direkonstruksi.
Kompleks NOE terdiri dari sinus frontalis, sinus ethmoid, anterior


55

cranial fossa, orbita, tulang temporal, dan tulang nasal. Medial


canthal tendon (MCT) berpisah sebelum masuk ke dalam frontal
process dari maksila. Kedua tungkai dari tendon ini mengelilingi fossa
lakrimal. Komponen utama dari NOE ini dikelilingi oleh tulang
lakrimal di posterior, tulang nasal dan pyriform aperture di anterior,
tulang frontal di kranial, maksila di inferior, rongga udara etmoid di
tengah, dan orbita di lateral.22
Klasifikasi yang digunakan pada fraktur NOE adalah klasifikasi
Markowitz- Manson yang terdiri dari tiga tipe: 22
a) Tipe I: MCT menempel pada sebuah fragmen sentral yangbesar.
b) Tipe II: MCT menempel pada fragmen sentral yang telah pecah
namun dapat diatasi atau MCT menempel pada fragmen yang cukup
besar untuk memungkinkan osteosynthesis.
c) Tipe III: MCT menempel pada sentral fragmen yang pecah dan
tidak dapat diatasi atau fragmen terlalu kecil untuk memungkinkan
terjadinya osteosynthesis atau telah terlepas total.
Fraktur NOE meliputi 5% dari keseluruhan fraktur
maksilofasial pada orang dewasa. Kebanyakan fraktur NOE
merupakan fraktur tipe I. Fraktur tipe III merupakan fraktur yang
paling jarang dan terjadi pada 1-5% dari seluruh kasus fraktur NOE.22

Gambar 23 Klasifikasi Markowitz-Manson.23

Gambar 24 Klasifikasi Markowitz-Manson 22


56

ii) Fraktur Zigomatikomaksila


Zygomaticomaxillarycomplex (ZMC) mempunyai peran
penting pada struktur, fungsi, dan estetika penampilan dari wajah.
ZMC memberikankontur pipi normal dan memisahkan isi orbita dari
fossa temporal dan sinus maksilaris. Zigom merupakan tempat
melekat dari otot maseter, oleh karena itu kerusakannya akan
berpengaruh terhadap proses mengunyah.22
Fraktur ZMC menunjukkan kerusakan tulang pada empat
dinding penopang Yaitu zygomaticomaxillary, frontozygomatic,
zygomaticosphenoid, dan zygomaticotemporal. Fraktur ZMC
merupakan fraktur kedua tersering pada fraktur maksilofasial setelah
fraktur nasal.24
Klasifikasi pada fraktur ZMC yang sering digunakan adalah
klasifikasi Knight dan North. Klasifikasi ini turut mencakup tentang
penanganan terhadap fraktur ZMC. Klasifikasi tersebut dibagi menjadi
enam yaitu: 24
1. Kelompok 1: Fraktur tanpa pergeseran signifikan yang dibuktikan
secara klinis dan radiologi
2. Kelompok 2: Fraktur yang hanya melibatkan arkus yang
disebabkan oleh gaya langsung yang menekuk malar eminence
kedalam
3. Kelompok 3: Fraktur yang tidak berotasi
4. Kelompok 4: Fraktur yang berotasi kemedial
5. Kelompok 5: Fraktur yang berotasi kelateral
6. Kelompok 6: Fraktur kompleks yaitu adanya garis fraktur
tambahan sepanjang fragmen utama
Berdasarkan klasifikasi Knight dan North, fraktur kelompok 2
dan 3 hanya membutuhkan reduksi tertutup tanpa fiksasi, sementara
fraktur kelompok 4, 5, dan 6 membutuhkan fiksasi untuk reduksi yang
adekuat. 24
iii) Fraktur Nasal
Tulang nasal merupakan tulang yang kecil dan tipis dan
merupakan lokasi fraktur tulang wajah yang paling sering. Fraktur


57

tulang nasal telah meningkat baik dalam prevalensi maupun


keparahan akibat peningkatan trauma dan kecelakaan lalu lintas.
Fraktur tulang nasal mencakup 51,3% dari seluruh fraktur
maksilofasial.25
Klasifikasi fraktur tulang nasal terbagi menjadi lima yaitu: 26
a) Tipe I: Fraktur unilateral ataupun bilateral tanpa adanya deviasi
garis tengah
b) Tipe II: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi
garistengah
c) Tipe III: Pecahnya tulang nasal bilateral dan septum yang bengkok
dengan penopang septal yang utuh
d) Tipe IV: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi berat atau
rusaknya garis tengah hidung, sekunder terhadap fraktur septum
berat atau dislokasi septum
e) Tipe V: Cedera berat meliputi laserasi dan trauma dari jaringan
lunak, saddling dari hidung, cedera terbuka, dan robeknya
jaringan

Gambar 25 Klasifikasi Fraktur Nasal.27

iv) Fraktur Maksila dan LeFort


Maksila mewakili jembatan antara basal kranial di superior dan
lempeng oklusal gigi di inferior. Hubungan yang erat dengan rongga
mulut, rongga hidung, dan orbita dan sejumlah struktur yang
terkandung di dalamnya dan melekat dengan maksila merupakan
struktur yang penting baik secara fungsional maupun kosmetik. Fraktur


58

pada tulang-tulang ini memiliki potensi yang mengancam nyawa.27


Klasifikasi fraktur maksila yang paling utama dilakukan oleh
Rene Le Fort pada tahun 1901 di Perancis. Klasifikasi Le Fort terbagi
menjadi tiga yaitu:23
1) Le Fort I
Garis fraktur horizontal memisahkan bagian bawah dari maksila,
lempeng horizontal dari tulang palatum, dan sepertiga inferior dari
sphenoid pterygoid processes dari dua pertiga superior dari wajah.
Seluruh arkus dental maksila dapat bergerak atau teriris. Hematoma
pada vestibulum atas (Guerin’s sign) dan epistaksis dapat timbul.
2) Le Fort II
Fraktur dimulai inferior ke sutura nasofrontal dan memanjang
melalui tulang nasal dan sepanjang maksila menuju sutura
zygomaticomaxillary, termasuk sepertiga inferomedial dari orbita.
Fraktur kemudian berlanjut sepanjang sutura zygomaticomaxillary
melalui lempeng pterygoid.
3) Le Fort III
Pada fraktur Le Fort III, wajah terpisah sepanjang basal tengkorak
akibat gaya yang langsung pada level orbita. Garis fraktur berjalan
dari regio nasofrontal sepanjang orbita medial melalui fissura orbita
superior dan inferior, dinding lateral orbita, melalui sutura
frontozygomatic. Garis fraktur kemudian memanjang melalui sutura
zygomaticotemporal dan ke inferior melalui sutura sphenoid
danpterygomaxillary.

59

Gambar 26 Klasifikasi Le Fort.22


Ada dua tipe fraktur maksila non Le Fort lain relatif umum.
Yang pertama adalah fraktur karena trauma tumpul yang terbatas
dan sangat terfokus yang menghasilkan segmen fraktur yang kecil


dan terisolasi. Sering kali, sebuah palu atau instrumen lain sebagai
senjata penyebab. Alveolar ridge, dinding anterior sinus maksila
dan nasomaxillary junction merupakan lokasi yang umum pada
cedera ini. Yang kedua adalah fraktur karena gaya dari submental
yang diarahkan langsung ke superior dapat mengakibatkan
beberapa fraktur vertikal melalui beberapa tulang pendukung
horizontal seperti alveolar ridge, infraorbital rim, dan zygomatic
arches.27
v) Fraktur Mandibula
Mandibula mengelilingi lidah dan merupakan satu-satunya tulang
kranial yang bergerak. Pada mandibula, terdapat gigi-geligi bagian
bawah dan pembuluh darah, otot, serta persarafan. Mandibula merupakan
dua buah tulang yang menyatu menjadi satu pada simfisis.25 Mandibula
terhubung dengan kranium pada persendian temporomandibular joint
(TMJ). Fungsi yang baik dari mandibula menentukan gerakan menutup
dari gigi. Fraktur mandibula dapat mengakibatkan berbagai variasi dari
gangguan jangka pendek maupun panjang yaitu nyeri TMJ, gangguan
mengatupkan gigi, ketidakmampuan mengunyah, gangguan salivasi, dan
nyeri kronis. Fraktur mandibula diklasifikasikan sesuai dengan lokasinya
dan terdiri dari simfisis, badan, angulus, ramus, kondilar, dan
subkondilar. 27

Gambar 27 Lokasi fraktur mandibula 27


BAB IV
KESIMPULAN

Berdasarkan jurnal di atas, dapat penulis simpulkan bahwa trauma tumpul


merupakan salah satu cedera paling umum yang ditemui oleh ahli patologi forensik
dalam berbagai skenario seperti kecelakaan transportasi, melompat atau terjatuh dari
ketinggian, cedera akibat ledakan, dan penganiayaan. Trauma tumpul di tempurung
kepala sering dikaitkan dengan penyebab kematian yang membuat pemeriksaan
menjadi sangat penting dalam penyelidikan kematian. Trauma tumpul di kerangka
dapat dibagi menjadi kategori kranial dan postkranial, sesuai dengan lokasinya. Sistem
klasifikasi yang berbeda dikaitkan dengan sifat cedera (gaya tumpul, gaya tajam, dan
trauma balistik). Cedera tengkorak dikategorikan sebagai depresi, penetrasi,
penghancuran, tebasan, pemotongan, dan irisan.2,3 Dalam jurnal ini akan fokus pada
analisis trauma benda tumpul kranial (BFT), tidak termasuk trauma balistik,
berdasarkan pengetahuan yang ada dan baru dan akan membahas saran untuk praktik
terbaik dalam analisis BFT forensik.

Pada jurnal ini digunakan istilah antemortem (sebelum kematian), perimortem


(pada atau sekitar waktu kematian), dan postmortem (setelah kematian) untuk
menggambarkan waktu cedera. Klasifikasi cedera kranial dibagi menjadi linear,
depresi dan tidak teratur atau lainnya (yang mencakup semua jenis lainnya). Trauma
tumpul kranial dapat diakibatkan kekerasan (mis. penyerangan), kecelakaan (misalnya,
kecelakaan lalu lintas), atau cedera yang diakibatkan oleh diri sendiri ( bunuh diri
dengan cara melompat dari tempat tinggi).

Respons tulang terhadap beban (regangan) bergantung pada kecepatan


(kecepatan) dan besarnya gaya yang diberikan. Setelah beban yang diberikan secara
perlahan pada tulang, tulang dapat a) kembali ke bentuk semula setelah gaya
dihilangkan (deformasi elastis), b) berubah bentuk secara permanen (deformasi
plastis), atau c) fraktur.9
Cidera kerangka sering dijumpai saat autopsi pada berbagai kejadian
(kecelakaan tabrakan, jatuh karena kecelakaan atau bunuh diri, dan pembunuhan).
Spitz et al 21 melaporkan bahwa BFT adalah jenis cedera yang paling umum ditemukan
pada autopsi dan kepala adalah lokasi paling umum untuk BFT, terutama pada kasus

60

61

pembunuhan. Oleh karena itu sangat penting untuk dilakukan analisis secara
menyeluruh pada kulit dan jaringan lunak (jika ada), serta pada jaringan keras.
Serangkaian teknik yang beragam dapat dilakukan oleh ahi patologi forensik untuk
meneliti trauma kepala.


Lampiran

Jurnal Pembanding 1

Investigasi Forensik pada Kasus Kematian Dugaan Akibat Cedera Kepala


1 2
Dedi Afandi , Herkutanto

Abstrak
Autopsi diperlukan dalam upaya menentukan penyebab kematian dan cara kematian.
Autopsi seringkali tidak dapat dilakukan karena penolakan oleh keluarga. Laporan kasus
ini menyajikan investigasi forensik pada kasus kematian yang diduga akibat cedera kepala
pada korban yang telah dikremasi. Investigasi pada tempat kejadian meninggal,
perhitungan indikator efek trauma pada kepala dan studi literatur dilakukan untuk
membuktikan probabilitas kematian akibat cedera kepala dan probabilitas kemungkinan
penyebab kematian pada korban. Dari metode tersebut didapatkan probabilitas terjadinya
cedera otak traumatik ringan adalah 8,33% dan probalitas kematian jantung mendadak
80,95%. Kasus ini menunjukkan pentingnya memahami aspek medikolegal trauma,
memahami biomekanika trauma dan melakukan investigasi forensik.

Kelebihan
Dalam keadaan tertentu ketika autopsi tidak mungkin dilakukan, masih dapat dilakukan
penyimpulan sebab kematian dengan derajat akurasi dibawah tindakan autopsi. Derajat
akurasi ini menggunakan teknik eksperimental dengan cara menggunakan Finite Element
Model ditambah dengan aplikasi perangkat lunak Mathematic Dynamic Model
(MADYMO®). Dapat memahami aspek medikolegal trauma, memahami biomekanika
trauma dan dapat melakukan investigasi forensik dengan baik sehingga dapat
menyimpulkan penyebab kematian. Dimana penyebab kematian karena serangan jantung
bukan karena cedera kepala.

Kekurangan
Meskipun demikian, untuk melakukan metode eksperimen tersebut membutuhkan alat-alat
yang canggih, aplikasi perangkat lunak MADYMO® yang relatif sangat mahal dan
membutuhkan waktu untuk menyelesaikan investigasi kematian pada kasus ini sekitar 3
bulan.

62

Jurnal Pembanding 2

Prediktor Mortalitas Penderita Cedera Kepala Berat Di Instalasi Gawat Darurat


RSU Tugurejo Semarang
Mugi Hartoyo, Sarkum Setyo Raharjo, Budiyati

Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif korelasional dengan desain cross sectional
untuk mencari faktor yang mempengaruhi mortalitas pada pasien cedera kepala berat. Data
penelitian dikumpulkan dari rekam medis pasien yang menderita cedera kepala parah yang
dirawat di IGD Rumah Sakit Umum Tugurejo Semarang selama November 2010 hingga
Oktober 2011. Dari 57 responden, 19 orang meninggal saat mendapatkan perawatan di
IGD. Ada tiga faktor yang berhubungan dengan kematian pasien cedera kepala parah, yaitu
tekanan darah pada saat masuk gawat darurat (ED) (p = 0,000), GCS saat masuk (p =
0,000), dan Injury Severity Score (ISS) (p = 0,000). Biner regresi logistik menghasilkan
bahwa tidak ada faktor dominan yang berhubungan dengan kematian pasien cedera kepala
parah (p> 0,05). Rasio ganjil dari tekanan darah adalah (0,688) dibandingkan dengan
variabel lain seperti GCS (OR = 0,281) dan ISS (0,594).

Kelebihan
Pada jurnal telah dibahas analisis bivariat dari penyebab mortalitas pada pasien cedera
kepala berat.

Kekurangan
Pada jurnal tidak diteliti penyakit predisposisi yang dapat mempengaruhi angka mortalitas.

63

Daftar Pustaka

1. Afandi Dedi, Herkutanto. Investigasi forensic pada kasus kematian dugaan akibat
cedera kepala. Surabaya : Jurnal Kedokteran Brawijaya Vol.30. 2017.h.1-2
2. Kranioti FE, Forensic investigation of cranial injuries due to blunt force trauma:
current best practice. Research and Reports in Forensic Medical Science 2015:5
25–37.
3. Dahlan S. Ilmu kedokteran forensik: Pedoman bagi dokter dan penegak hukum.
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 2000. h. 67-91
4. Moore LK., Dalley FA., Agur AM. Moore Clinically Oriented Anatomy. 7th
Edition. 2014. p: 852-908
5. Taylor CA, Bell JM, Breiding MJ, Xu L. Traumatic Brain Injury–Related
Emergency Department Visits, Hospitalizations, and Deaths — United States, 2007
and 2013. MMWR Surveill Summ 2017 ; 66 (No. SS-9) : 1–16. DOI:
http://dx.doi.org/10.15585/mmwr.ss6609a1
6. Brain Injury Association Of America. 2006. Types of Brain Injury.
qhttp://www.biausa.org/pages/type of brain injury. html. [Accessed 30 Mei 2019].
7. Perdossi. 2006. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma
Spinal. Jakarta : Perdossi.
8. American College of Surgeon Committee on Trauma. 2004. Cedera Kepala dalam
Advanced Trauma Life Support for Doctors. Ikatan Ahli Bedah
Indonesia. Komisi trauma IKABI
9. Brain Injury Association of Michigan, 2005. Traumatic Brain Injury Provider
Training Manual. Michigan Department Of Community Health.
10. Pascual, J.L., LeRoux, P.D., Gracias, V.H. 2008. Injury to the brain.
11. Anderson, T., Heitger, M., & Macleod, A.D. (2006). Concussion and mild head
injury. Practical Neurology,6, 342–357.
12. Knight B. 2004. Forensic Pathology third edition. Hodder Headline Group.
London.
13. Nadeau K. Neurologic injury(chapter 29) in Jones and barlett learning.com. 2004
14. Singh, Vishram. 2014. Textbook of Anatomy Head, Neck, and Brain, Volume III,
2nd edition. Reed Elsevier India Private Limited
15. Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, 2016. Panduan Belajar Ilmu
Kedokteran Forensik dan Medikolegal. Jogjakarta: FK UGM.


16. D. Fleming-Farrell, et al., Virtual assessment of perimortem and postmortem blunt
force cranial trauma, Forensic Sci. Int. (2013),
http://dx.doi.org/10.1016/j.forsciint.2013.03.032
17. Kranioti FE, Forensic investigation of cranial injuries due to blunt force trauma:
current best practice. Research and Reports in Forensic Medical Science 2015:5
25–37
18. Wani A., Ramzan A., et al. 2013. Skull base fractures: An institutional experience
with review of literature. India. Elsevier.
http://medind.nic.in/icf/t13/i2/icft13i2p120.pdf (diunduh tanggal 18 Mei 2019)
19. Simon LV., Newton EJ. 2019. Basilar Skill Fracture. Florida. StatPearls Publishing.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470175/?report=reader#article-18164.r1
(diunduh tanggal 18 Mei 2019)
20. Japardi, I. 2004. Trauma maksilofasial. In: Cedera Kepala: Memahami Aspek-
Aspek Penting dalam Pengelolaan Penderita Cedera Kepala. Jakarta: PT. Bhuana
Ilmu Populer.
21. Rupp, T.J; Young, C.C. 2016. Facial fracture. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/84613-overview [accessed on 16 May 2019]
22. Nguyen, M; J.C. Koshy, dan L.H. Hollier. 2010. Pearls of nasoorbitoethmoid
trauma management. Seminar in Plastic Surgery 24: 383-88.
23. Aktop, S; Gonul, O; Satilmis, T; Garip, H; Goker, K. 2013. Management of
Midfacial Fractures. A Textbook of Advanced Oral and Maxillofacial Surgery
24. Meslemani, D; dan R.M; Kellman. 2012. Zygomaticomaxillary complex fractures.
Archives of Facial Plastic Surgery 14: 62-66.
25. Haraldson, S.J. 2018. Nasal fracture. Available From:
http://emedicine.medscape.com/article/84829-overview [accessed on 16 May 2019]
26. Ondik MP, Lipinski I, Dezfoli S dkk. 2009. The treatment of nasal fractures:a
changing paradigm. Arch Facial Plast Surg 11:296-302.
27. Moe KS. Maxillary and le fort fractures. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/1283568-overview. [accessed on 16 May
2019]

Anda mungkin juga menyukai

  • Kegawatdaruratan Ortopedi
    Kegawatdaruratan Ortopedi
    Dokumen23 halaman
    Kegawatdaruratan Ortopedi
    Surya Nirmala Dewi
    Belum ada peringkat
  • EXEX 1 MEI Ralat Jawaban
    EXEX 1 MEI Ralat Jawaban
    Dokumen29 halaman
    EXEX 1 MEI Ralat Jawaban
    prilia pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Lapkas Peb Revisi
    Lapkas Peb Revisi
    Dokumen29 halaman
    Lapkas Peb Revisi
    prilia pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Lapkas Peb Revisi
    Lapkas Peb Revisi
    Dokumen29 halaman
    Lapkas Peb Revisi
    prilia pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Forensik Ukmppd - Agustus 2021
    Forensik Ukmppd - Agustus 2021
    Dokumen13 halaman
    Forensik Ukmppd - Agustus 2021
    prilia pratiwi
    Belum ada peringkat
  • EXEX 1 MEI Ralat Jawaban
    EXEX 1 MEI Ralat Jawaban
    Dokumen29 halaman
    EXEX 1 MEI Ralat Jawaban
    prilia pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Status
    Status
    Dokumen8 halaman
    Status
    prilia pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Forensik 2
    Forensik 2
    Dokumen12 halaman
    Forensik 2
    prilia pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Exex 2 Mei
    Exex 2 Mei
    Dokumen28 halaman
    Exex 2 Mei
    prilia pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Cover Ujian
    Cover Ujian
    Dokumen1 halaman
    Cover Ujian
    prilia pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Exex 1 Mei
    Exex 1 Mei
    Dokumen61 halaman
    Exex 1 Mei
    prilia pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Soal PKN
    Soal PKN
    Dokumen4 halaman
    Soal PKN
    prilia pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Referat Hidrosefalus FIX
    Referat Hidrosefalus FIX
    Dokumen30 halaman
    Referat Hidrosefalus FIX
    prilia pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Soal PKN
    Soal PKN
    Dokumen4 halaman
    Soal PKN
    prilia pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Poster
    Poster
    Dokumen1 halaman
    Poster
    prilia pratiwi
    Belum ada peringkat
  • PP Hidrosefalus
    PP Hidrosefalus
    Dokumen19 halaman
    PP Hidrosefalus
    prilia pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Teras
    Teras
    Dokumen1 halaman
    Teras
    prilia pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Cover Ujian
    Cover Ujian
    Dokumen1 halaman
    Cover Ujian
    prilia pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Referat Hidrosefalus FIX
    Referat Hidrosefalus FIX
    Dokumen30 halaman
    Referat Hidrosefalus FIX
    prilia pratiwi
    Belum ada peringkat
  • LAPKAS GANGRENE Prilia
    LAPKAS GANGRENE Prilia
    Dokumen25 halaman
    LAPKAS GANGRENE Prilia
    prilia pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Status IPD
    Status IPD
    Dokumen12 halaman
    Status IPD
    prilia pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Blok 22
    Blok 22
    Dokumen36 halaman
    Blok 22
    prilia pratiwi
    Belum ada peringkat
  • LAPKAS Gangren Fix.2
    LAPKAS Gangren Fix.2
    Dokumen19 halaman
    LAPKAS Gangren Fix.2
    prilia pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus CTS Fix
    Laporan Kasus CTS Fix
    Dokumen27 halaman
    Laporan Kasus CTS Fix
    prilia pratiwi
    Belum ada peringkat
  • NEUROPATI DIABETIK
    NEUROPATI DIABETIK
    Dokumen7 halaman
    NEUROPATI DIABETIK
    prilia pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Kolitis
    Kolitis
    Dokumen35 halaman
    Kolitis
    prilia pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus Hepatitis A
    Laporan Kasus Hepatitis A
    Dokumen36 halaman
    Laporan Kasus Hepatitis A
    prilia pratiwi
    Belum ada peringkat
  • Case Depresi
    Case Depresi
    Dokumen12 halaman
    Case Depresi
    prilia pratiwi
    Belum ada peringkat
  • PBL BLOK 9 PPT Sken 1
    PBL BLOK 9 PPT Sken 1
    Dokumen18 halaman
    PBL BLOK 9 PPT Sken 1
    prilia pratiwi
    Belum ada peringkat