Anda di halaman 1dari 9

BENEFIT Jurnal Manajemen dan Bisnis

Volume 12, Nomor 2, Desember 2008, hlm.172-180

BUDAYA DAN PEMASARAN


Tinjauan Pengaruh Budaya terhadap Perilaku Konsumen

Kussudyarsana
Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surakarta
Jalan A. Yani Tromol Pos I Pabelan Surakarta 57102 Telp: (0271) 717417 ext 229
E-mail: uud_ums@yahoo.com

Diterima 23 Juli 2008 /Disetujui 15 Oktober 2008

Abstract: This paper tried to describe the role of culture in management marketing, especially
in the consumer behavior field. Some aspects of culture be investigated and analyzed by
combined of theorytical background in the real context. This paper also explored the level of
culture, the existence of culture value, and discussing their impact to consumer behavior.
Finally, in the end of the paper, author explained the existence of ritual and their implication
to marketing strategies.
Keywords: role of culture, culture value, ritual, level of culture

Abstrak: Tulisan ini menjelaskan peran budaya dalam manajemen pemasaran, khususnya di
bidang perilaku konsumen. Beberapa aspek budaya diselidiki dan dianalisis dengan kombinasi
latar belakang teoritis dalam konteks nyata. Makalah ini juga mengeksplorasi tingkat budaya,
keberadaan nilai-nilai budaya, dan mendiskusikan dampaknya terhadap perilaku konsumen.
Di akhir tulisan penulis menjelaskan ritual dan implikasinya bagi strategi pemasaran.
Kata kunci: peran budaya, nilai budaya, ritual, tingkat budaya

PENDAHULUAN pada sisi konsumen saja, namun juga dapat


berpengaruh pada kebijakan perusahaan atau
pemasar. Perusahaan ketika menentukan suatu
Manusia bersikap dan berperilaku tidak
kebijakan berdasarkan pemahaman mereka atas
terlepas dari nilai-nilai yang mereka anut, baik
budaya masyarakat dan budaya perusahaan.
itu nilai spiritual (keagamaan) maupun nilai-
Namun demikian, pada pembahasan ini lebih
nilai sosial dan budaya. Nilai-nilai sosial dan
ditekankan pada pengaruh budaya pada peri-
budaya tersebut merupakan hasil interaksi an-
laku konsumen, yang artinya dari sudut pan-
tara individu dengan anggota masyarakat lain-
dang perilaku konsumen saja.
nya, yang kemudian mewujud dalam berbagai
Dalam contoh nyata kita mungkin mene-
bentuk budaya seperti artefak, seni, upacara-
mukan bagaimana masyarakat Indonesia mene-
upacara, bahasa, ataupun values. Nilai-nilai
rima budaya lain, mengadopsinya dalam ben-
yang diyakini tersebut akan menentukan apa
tuk konsumsi atas ide, konsep, dan pemilikan
yang dianggap baik dan buruk oleh seseorang,
benda-benda. Kita bisa melihat seberapa ba-
dan masyarakat di sekitarnya, sehingga menja-
nyak masyarakat Indonesia yang menggunakan
di referensi dalam bersikap, dan bertingkah
celana jin, rok mini, mengkonsumsi fast food
laku.
seperti Hamburger, KFC, ataupun Pizza Hut
Dalam konteks pemasaran, budaya dapat
yang identik dengan budaya barat khususnya
dilihat sebagai suatu aspek makro yang berpe-
budaya Amerika. Demikian juga masyarakat
ngaruh pada pengambilan keputusan indivi-
Indonesia mulai banyak menggunakan atraksi
dual konsumen. Sesungguhnya dampak buda-
kesenian Barongsai, dalam setiap kegiatan
ya terhadap pemasaran bukan hanya berlaku
karnaval yang diadakan di berbagai kota di budi dan karyanya. Lebih lanjut, budaya memi-
Indonesia. liki tiga wujud. Pertama, budaya itu sebagai
Gambaran bagaimana budaya bisa mempe- suatu komplek ide, gagasan, nilai, norma dan
ngaruhi perilaku sesungguhnya sesuatu yang peraturan. Kedua, budaya sebagai suatu kom-
sulit untuk diamati, karena budaya adalah sua- pleks aktivitas kelakuan berpola manusia da-
tu yang bersifat dinamis dan intangible. Dalam lam masyarakat dan ketiga, budaya sebagai
kondisi yang dinamis, menjadi lebih sulit untuk benda-benda hasil karya manusia.
melihat siapa mempengaruhi apa dan bagai- Hofstede (1980,1981), menyatakan bahwa
mana mereka mempengaruhinya.Hal ini bisa budaya adalah ”keseluruhan interaksi dari ka-
terjadi karena dalam budaya aspek orisinalitas rakteristik umum yang mempengaruhi respon
sulit ditemukan. Misalkan kita ingin melihat kelompok terhadap lingkungannya”. Dalam
bagaimana pengaruh budaya Bali dalam peri- pandangan ilmuwan lain, budaya adalah se-
laku Belanja. Kontek budaya menjadi sulit un- suatu yang biasa diketahui oleh anggota ke-
tuk tentukan karena Budaya Bali juga dipenga- lompok atau klaster dan mereka mengerti me-
ruhi oleh Budaya Jawa, dan Budaya Jawa pun ngenai batasnya (Hall, 1966), yang bisa mem-
juga dipengaruhi oleh budaya yang lain. Yang bedakan anggota kelompok satu dengan ang-
kedua, budaya tidak selalu tampak, dan sulit gota kelompok yang lain (Hofstede, 1991).
untuk diukur. Nilai-nilai budaya, dan asumsi Assael (1999) mendefinisikan Budaya didefini-
dasar adalah variabel yang susah untuk di- sikan sebagai value, tradisi, norma, kebiasaan,
amati. Pandangan ini sejalan dengan pendapat seni, sejarah dan pranata dari sekelompok
dari Yeniyurt dan Townsend (2003), bahwa orang.
budaya tetaplah suatu yang sulit dipahami, Memahami budaya membantu kita dalam
berwajah banyak (multifaceted), sehingga cen- memahami bagaimana orang lain menginter-
derung sulit untuk dipahami dan digunakan pretasikan lingkungan mereka. Budaya, dapat
secara penuh. Juga sulit untuk memastikan membentuk orang dalam melihat dunianya dan
bahwa konsumen ketika melakukan proses bagaimana hal tersebut dapat berfungsi dalam
pengkonsumsian produk, juga selalu disertai dunia tersebut. Budaya dapat membentuk per-
dengan pertimbangan budaya, atau karena sonal values, group values serta sikap termasuk
alasan-alasan lain yang lebih teknis. Namun dalam hal ini apa yang dapat berjalan dengan
dengan mencoba memaparkan beberapa gam- baik, ataupun tidak berjalan dengan baik, apa
baran dan kejadian yang terjadi dan mencoba yang dapat membantu dan tidak membantu
mengkombinasikan antara teori dan realitas dan apa memberi arti dan mana yang tidak
yang terjadi dalam pengamatan penulis, dicoba memberikan arti. Budaya, memberikan pan-
dipaparkan peranan budaya dalam pemasaran. duan umum untuk berperilaku dan bertindak
dalam situasi tertentu yang diterima oleh ma-
syarakat. Budaya mempengaruhi bagaimana
PEMBAHASAN
kita berinteraksi dan bersosialisasi dengan ang-
gota yang lain dalam suatu masyarakat (Rokeach,
Definisi Budaya. Kata budaya berasal dari 1973). Budaya merupakan alat yang ampuh
kata kerja latin colere (Inggris: culture) yang ber- untuk membangun motivasi, gaya hidup, dan
arti mengerjakan tanah, mengolah dan meme- pilihan produk (Tse, et al., 1989).
lihara ladang. Tetapi dalam perkembangannya Tingkatan Budaya. Budaya dapat dipan-
kata ini mengalami perluasan arti sehingga dang dari beberapa tingkatan. Mengacu pada
mencakup juga aktivitas rohani manusia. Se- Mokoginta (2001), budaya terdiri dari tiga ting-
hingga budaya, tidak hanya terkait dengan katan yaitu asumsi dasar (basic assumption),
aspek jasmani namun juga rohani. nilai-nilai (values) dan benda-benda budaya
Koentjaraningrat (1978) mengartikan ke- (artifact). Asumsi dasar, menempat level paling
budayaan sebagai keseluruhan gagasan dan bawah, dan benda-benda budaya (artifact) me-
karya manusia yang harus dibiasakannya de- nempati tingkatan paling atas. Semakin ke
ngan belajar, beserta keseluruhan dari hasil bawah dari level budaya semakin sulit diamati,

Volume 12, Nomor 2, Desember 2008: 171-180 Budaya dan Pemasaran 173
dan semakin ke atas dari level budaya semakin Demikian halnya dengan masyarakat Irian
mudah untuk diamati. yang dahulu mengkonsumsi sagu, mulai ber-
alih ke makan nasi.
Di sisi lain, terdapat juga nilai-nilai budaya
yang sampai kini relatif tetap ataupun berubah
secara perlahan. Sebagai contoh keyakinan
masyarakat terhadap nilai-nilai keluarga, perni-
kahan, masa depan, dan kematian cenderung
mengalami perubahan yang lebih lambat. Da-
lam masyarakat Jawa misalnya, masih banyak
yang mempunyai keyakinan tentang berapa
lama orang meninggal akan tetap berada di
lingkungan sekitar rumah sebelum pergi ke
alam baka. Keyakinan ini tergambar dalam
Sumber:Mokoginta, 2001 ritual 7 hari, 40 hari, dan 100 hari. Demikian
Gambar 1. Tingkatan dalam Budaya juga dengan konsep tentang kapan roh akan
diitiupkan ke dalam calon bayi yang ada di-
kandungan, melahirkan ritual 7 bulanan, sam-
Sebagian aspek dari budaya dapat diamati, pai dengan saat ini masih orang Jawa mem-
dan sebagian yang lain sulit untuk diamati, dan percayainya. Masyarakat China masih percaya
tidak disadari. Asumsi dasar cenderung sulit dengan hari keberuntungan, posisi letak rumah
untuk diamati, dan terkadang tidak disadari, terkait dengan rejeki (Fengshui), ataupun keter-
sedangkan artefak mudah untuk dilihat dan kaitan hari kelahiran dengan rezeki.
keberadaannya disadari oleh orang. Kita de- Nilai Budaya (Culture Value). Ketika kita
ngan mudah melihat pakaian, lukisan, patung, berbicara tentang keterkaitan pemasaran dan
brosur dan lain sebagainya sebagai benda bu- budaya, maka kita dapat menelusur dari per-
daya. Namun kita lebih sulit untuk mengamati bedaan pemahaman mengenai konsep kebu-
nilai-nilai budaya, dan asumsi dasar, dengan tuhan dan keinginan. Kebutuhan adalah segala
hanya pengamatan sehari dua hari. sesuatu yang dirasakan kurang oleh manusia,
Artefak adalah manifestasi dari nilai-nilai sehingga mendorong manusia untuk melaku-
budaya, dan nilai budaya dipengaruhi oleh kan pemenuhan terhadapnya. Tiap orang mem-
asumsi dasar suatu budaya. Masyarakat barat punyai kebutuhan yang sama di semua tempat
(Eropa dan Amerika) sangat menghargai hak tanpa terkecuali. Mereka membutuhkan ma-
indvidu dan kebebasan. Nilai budaya tersebut kanan, minuman, tempat tinggal, pakaian dan
dapat tercermin misalnya dalam cara ber- rasa aman. Keinginan berbeda dengan kebu-
pakaian, yang lebih bebas dan bahkan lebih tuhan. Keinginan dipengaruhi oleh budaya dan
terbuka dibandingkan masyarakat Timur adat kebiasaan. Sebagai contoh, Kotler membe-
(Asia). rikan gambaran bahwa orang sama-sama mem-
Dikaitkan dengan perubahan budaya, maka butuhkan pakaian. Namun pakaian yang dipa-
aspek budaya pada level bawah pada suatu kai orang Irian berbeda dengan orang Amerika
budaya (deepest culture), cenderung lebih mene- dan orang Jepang. Demikian juga dengan apa
tap dibandingkan dengan level atas. Sedangkan yang dimakan. Orang Jawa suka makan nasi
aspek budaya dilevel atas cenderung mudah sebagai makanan pokok, sementara orang
berubah. Dari waktu ke waktu trend pakaian, Amerika makan roti atau segala sesuatu yang
makanan kesukaan, cara berpakaian, mobil, terbuat dari gandum.
trend musik, ataupun produk lain berganti di Dalam pemasaran, menurut Assael (1998)
sesuaikan dengan selera pasar yang berubah. nilai budaya sangat mungkin mempengaruhi
Dalam contoh lain, masyarakat Indonesia di anggota masyarakat dalam pola pembelian dan
perkotaan mulai mengkonsumsi cereal ataupun pola konsumsi. Seorang konsumen mungkin
makan roti di pagi hari sebagai pengganti nasi. akan memberikan nilai yang tinggi pada pen-

174 Kussudyarsana BENEFIT Jurnal Manajemen dan Bisnis


capaian dan akan memperlihatkan kesuksesan dari nilai budaya.
dengan kemewahan dan prestise. Konsumen Penulis lain yang mendasarkan teorinya
yang lain, akan menyampaikannya lewat kesan pada rantai alat dan tujuan (the means and end
awet muda dan aktif. chain) adalah Rosenberg. Dia mengemukakan
Budaya tidak hanya mempengaruhi peri- suatu teori yang dinamakan Roserberg’s expect-
laku konsumen, budaya merefleksikan perila- ancy-value theory. Rosernberg menyatakan bah-
ku. Klub fitness, diet, skin care lotion, dan wa konsumen akan mengevaluasi produk ber-
produk rendah lemak, memperlihatkan men- dasarkan pada tingkat dimana produk tersebut
cerminkan budaya Amerika yang memberikan membantu dalam mencapai nilai budaya (cul-
perhatian pada gaya muda dan perhatian tural value). Konsumen akan mengevaluasi kon-
terhadap kebugaran. Lebih dari itu, Budaya sekuensi yang mereka perkirakan dan akan
menjadi cermin baik itu nilai dan kepemilikan membeli produk yang mereka nilai mampu
benda-benda oleh anggotanya. memenuhi hasil yang diinginkan. Sebagai con-
Rokeach (1973) mendefinisikan nilai buda- toh ketika konsumen menilai keindahan dunia
ya (cultural value) sebagai kepercayaan tentang (world of beauty) sebagai terminal value, akan
eksistensi yang darinya secara personal dan cenderung membeli produk yang dapat didaur
sosial yang mereka usahakan. Sistem nilai ulang untuk membantu pelestarian lingkungan.
merupakan bagian yang sangat penting dari Berpijak dari pendapat tersebut, dapat dipola-
aspek budaya. Sebagai contoh, budaya Asia kan sebagai berikut: Atribut produk yaitu ting-
banyak yang menekankan pada aspek harmoni, kat daur ulang produk (Biodegradebility), Dam-
sebaliknya budaya barat menekankan pada pak konsumsi yaitu membantu pelestarian ling-
kesempurnaan individu. kungan, Budaya (terminal value) yaitu kein-
Rokeach (1973) membagi nilai budaya da- dahan dunia
lam dua bentuk yaitu: terminal value (nilai Reynold dan Johnson (2002) mengaplikasi-
akhir), dan nilai instrumental (instrumental kan model rantai alat tujuan (the means-end
value). Nilai akhir adalah tujuan akhir yang chain) untuk digunakan dalam mengembang-
ingin dicapai, atau ingin dikembangkan. Instru- kan strategi pemasaran yang mereka sebut
mental value merupakan alat yang digunakan sebagai laddering. Laddering melibatkan serang-
untuk mencapai tujuan. Nilai-nilai yang ter- kaian wawancara konsumen untuk menentu-
masuk instrumental value adalah ambisi, keman- kan hubungan antara atribut, tujuan peng-
dirian, persahabatan. konsumsian, dan nilai budaya. Konsumen akan
Apabila konsep ini diterapkan dalam peri- memulai dari atribut produk, kemudian ber-
laku pembelian terminal value adalah tujuan lanjut pada hal yang abstrak yaitu tujuan
akhir dalam suatu pembelian, dan instrumental mengkonsumsi, dan berlanjut lagi pada aspek
value adalah seperangkat panduan pengkon- yang lebih abstrak yaitu nilai budaya.
sumsian, ataupun manfaat dan atribut produk
untuk mencapai tujuan. Berdasarkan definisi ini
Rokeach membagi tiga hal yaitu (1) atribut
produk sebagai alat untuk mengimplemen-
tasikan (2) instrumental value sebagai mesi peng-
gerak guna mencapai (3) cultural terminal value,
sebagai tujuan akhir dari pengkonsumsian sua-
tu produk.
Gutman, (1982) menjabarkan nilai budaya
dalam rantai alat dan tujuan (means end chain) Gambar 2. Budaya dan Perilaku Konsumen
dimana atribut produk adalah mesin yang
digunakan untuk mencapai tujuan nilai budaya Budaya dan Perilaku Konsumen. Dampak
(cultural value-end) dengan tujuan konsumsi se- budaya, sangatlah natural dan otomatis penga-
bagai perantara antara alat dan tujuan. Dalam ruhnya terhadap perilaku manusia seakan se-
hal ini atribut produk adalah sebagai refleksi perti terjadi dengan sendirinya. Di Indonesia
ketika seorang anak menggunakan tangan kiri

Volume 12, Nomor 2, Desember 2008: 171-180 Budaya dan Pemasaran 175
untuk makan, atau menerima pemberian orang hingga standar budaya menjadi lebih sejalan
lain maka si anak ibu tersebut akan menegur dengan kebutuhan pada saat ini. Sehingga bu-
anak. Ibu tersebut akan meminta pada anak daya secara perlahan namun secara terus-me-
agar menggunakan tangan kanan. Ketika ibu nerus meresap dengan kebutuhan masyarakat.
itu ditanya mengapa mereka harus seperti itu Dalam konteks budaya, produk perusahaan
mereka seringkali akan menjawab dengan dan jasa dapat dipandang secara tepat membe-
“Bahwa hal ini benar yang harus dilakukan”. rikan solusi bagi individu atau masyarakat.
Namun ketika kita menanyakan pertanyaan Apabila produk tidak lagi dapat diterima
yang sama kepada orang dengan budaya yang karena nilai dan dan kebiasaan yang terkait
berbeda, barangkali kita akan menemukan dengan produk tersebut kurang relevan dengan
jawaban yang berbeda. Demikian juga dengan kebutuhan manusia dalam masyarakat, maka
kebiasaan minum susu sebelum tidur, mandi, pemasar harus melakukan revisi produk yang
ataupun mencuci sebelum tidur adalah kebia- ditawarkan.
saan yang terbentuk dalam masyarakat yang Perubahan nilai budaya dimungkinan dan
kita akan menemukan jawaban yang mungkin ditampakkan dalam pola perilaku konsumsi
berbeda. dan bagaimana konsumsi berlangsung. Di ma-
Schiftman, et al (1995) menyatakan bahwa syarakat Jawa, dimana resepsi pernikahan ada-
budaya ada untuk memuaskan kebutuhan lah bagian yang kental dengan nuansa budaya,
manusia. Budaya menawarkan perintah, petun- terlihat terdapat perubahan dalam cara penya-
juk, dan arahan dalam semua fase pemecahan jian makanan. Di kota besar seperti Jakarta,
persoalan manusia dalam memuaskan kebu- Surabaya, Bandung, dan Jogjakarta, dan banyak
tuhan fisiologi, personal dan kebutuhan sosial. kota lainnya, resepsi dengan model standing
Sebagai contoh budaya menyediakan aturan party sudah banyak dilakukan. Pada masa lalu,
mengenai kapan akan makan, di mana akan model resepsi seperti ini susah untuk diterima
makan, dan apa yang tepat untuk dimakan karena makan dengan cara berdiri dianggap
pada saat pagi, siang dan malam, dan apa yang tidak sopan. Namun sekarang dengan perkem-
harus disiapkan untuk pesta ulang, piknik, bangan zaman, dimana masyarakatnya sema-
ataupun pesta pernikahan. Kebiasaan ini tentu kin menghargai waktu, dan makan sambil ber-
saja akan berimplikasi pada produk apa yang diri tidak diangap sebagai keanehan sehingga
laku dan dapat ditawarkan pada ke pasar. model standing party dianggap paling praktis
Sebagai contoh masyakarat Indonesia sangat dan cukup menghemat waktu. Hal ini bisa
suka dengan kopi di pagi hari, minum teh terjadi karena masyarakat cukup menerima
sepanjang hari ataupun meminum air putih dan nilai-nilai kepraktisan yang semakin mengge-
teh setelah makan. Sebaliknya akan terasa aneh jala di masyarakat sejalan dengan modernisasi
bagi masyarakat meminum minuman bersoda yang semakin membudaya.
di pagi hari. Juga dengan kebiasaan makan Levi-strauss (1980), menerangkan bahwa
bubur atau nasi di pagi hari, yang juga belum manusia memiliki kesanggupan untuk mencip-
tergantikan dengan makanan cereal di pagi hari. takan simbol, mengorganisasikan segala penga-
Perusahaan teh Sosro, adalah pemasar yang lamannya, serta mengatur serta menyusunnya
baik karena mampu membaca kebiasaan ma- dalam sistem tanda-tanda. Pemasar mengguna-
syarakat Indonesia yang peminum teh, dengan kan simbol sebagai alat untuk menyampaikan
menawarkan teh yang bisa dibawa kemana- citra produk (image product) dan karakteristik
mana dengan teh botolnya ataupun teh kotak- produk. Mereka akan mengkomunikasikan
nya. simbol melalui cara verbal dan non verbal.
Kepercayaan, nilai-nilai, dan kebiasaan Verbal termasuk dalam hal ini adalah iklan atau
akan diikuti selama mereka memberikan ke- informasi melalui televisi, internet dan majalah.
puasan kepada anggota masyarakat (Schiftman, Komunikasi Non verbal adalah penggunaan
et al. 1995). Ketika standar atau aturan tertentu simbol seperti gambar, warna, bentuk, tekstur
tidak lagi memuaskan anggota masyarakat, hal yang memberikan makna tambahan bagi suatu
itu dapat dimodifikasi ataupun digantikan se- produk.

176 Kussudyarsana BENEFIT Jurnal Manajemen dan Bisnis


Assael (1998) memberi gambaran bagai- perbedaan pola perilaku dari masyarakat de-
mana nilai-nilai budaya pada masyarakat Ame- ngan budaya yang berbeda. Masyarakat AS
rika memberikan pengaruh pada perilaku adalah masyarakat individualitik, sementara itu
konsumen. Masyarakat Amerika Serikat adalah masyarakat Indonesia, adalah masyarakat yang
masyarakat yang mempunyai karakteristik kolektif.
materialistik, individualistik, semangat muda, Bagi masyarakat muslim daging babi,
dan menjunjung kebebasan, kemajuan dan akti- binatang buas, dan darah, serta segala sesuatu
vitas. Materialisme adalah refleksi dari pemi- yang memabukan adalah haram, sehingga
likan benda dan kemakmuran. Seorang yang mereka menghindari. Demikian juga dengan
menjunjung nilai materialistik akan berpikir aktivitas bisnis yang mengandung judi, pros-
bahwa ketika mereka memiliki benda-benda titusi (pornografi) karena bertentangan dengan
akan memudahkan mereka mencapai tujuan aspek religiusitas sedapat mungkin dihindari.
mereka. Richin mengatakan bahwa konsumen Bagi masyarakat materialis, selama kegiatan
yang memegang teguh nilai materialisme me- bisnis tersebut tidak berlawanan dengan hu-
nempatkan pemilikan benda-benda sebagai pu- kum positif, maka proses konsumsi dan memi-
sat dari kehidupan mereka dan mengganggap liki produk-produk tidak dipermasalahkan.
mereka sebagai sumber perolehan kebahagiaan. Sebagai konsekuensi dari pemikiran bahwa
Masyarakat materialistik berbeda dengan masyarakat religius berbeda dengan masyara-
masyarakat yang religius. Berdasarkan pemikir- kat materialis, maka sebagian masyarakat di
an bahwa suatu produk merupakan suatu re- Indonesia memandang bahwa budaya barat
presentasi budaya tertentu maka produk adalah dan produk Amerika Serikat mewakili karak-
juga alat ekspresi suatu keyakinan atau nilai teristik masyarakat materialis. Mereka akan
kultural tertentu. Melalui pandangan ini, kita menghindari segala yang berbau dengan gaya
bisa mengartikan bahwa masyarakat yang cen- hidup Amerika dan turunannya. Termasuk da-
derung bercirikan materialistik akan berbeda lam hal ini berbelanja di shopping mall, memakai
dengan masyarakat yang religius. Masyarakat celana jin, menonton fim barat, mengkonsumsi
religius memberikan ruang bagi aspek di luar Burger dan lain-lain. Namun demikian karena
materi sebagai dasar bagi pengambilan kepu- masyarakat muslim terdiri dari banyak model,
tusan dan dasar pertimbangan. Dalam masya- mulai dari Islam fundamental, moderat dan
rakat yang religius seperti Indonesia, dimana liberal, tampaknya pola perilaku mereka akan
mayoritas beragama Islam, pada umumnya berbeda. Sebaliknya mereka menggunakan sim-
mendasarkan perilakunya pada aspek halal dan bol yang menjadi identitas budaya yang ber-
haram. Mereka mempertimbangkan apakah beda, dengan masyarakat atau kelompok yang
benda-benda yang mereka konsumsi dan pro- lain. Fenomena pemakaian jilbab dan pakaian
ses konsumsi bertentangan dengan aturan muslim (baju koko), baju gamis, ataupun bu-
agama atau tidak. sana muslim wanita tidak lepas dari keyakinan
Dalam kaitannya dengan pemilikan benda- tersebut
benda, maka masyarakat individualistik cende- Proses pengkonsumsian makanan seperti
rung menekankan status kepemilikan dan burger, pizza, spagheti, kebab, dan lain-lain
penggunaan berdasarkan basis individu. Seba- adalah peristiwa budaya. Masyarakat tidak
gai contoh dalam masyarakat Amerika (AS) begitu saja melakukan tindakan konsumsi, atau
mobil adalah alat transportasi individu. Se- membeli produk tersebut tanpa lebih dahulu
dangkan di Indonesia, mobil lebih sebagai alat mempunyai respek terhadap budaya yang me-
transportasi keluarga. Mobil yang laku keras di nyertainya. Terdapat suatu fase dimana masya-
Indonesia kebanyakan mempunyai daya tam- rakat belajar dan mengadopsinya. Dalam kaca-
pung lebih dari 5 orang. Di Indonesia, mobil mata budaya, produk Burger, Pizza adalah
merk Colt, Suzuki Carry, Toyota Kijang, dan simbol atau representasi budaya tertentu dalam
terakhir mobil merek Avansa adalah merek- hal ini adalah budaya barat. Sementara produk
merek mobil dengan pangsa pasar tertinggi di dari barat adalah representasi dari kemajuan
zamannya. Contoh ini memperlihatkan adanya dan modernisme Melalui proses komunikasi

Volume 12, Nomor 2, Desember 2008: 171-180 Budaya dan Pemasaran 177
pemasaran, pemasar menyampaikan pesan sumen. Produk seperti perhiasan emas, berlian,
dalam bentuk simbol verbal maupun non ver- jam, parfum, furnitur, dan kerajinan adalah
bal. Pemasar juga menetapkan asosiasi terha- produk yang menekankan aspek hedonisme.
dap produk budaya tersebut. Melalui komuni- Merek-merek tertentu dari pakaian seperti
kasi bahasa dan budaya yang mereka terima, Channel, Pierre Cardin, Gucci menekankan
individu atau masyarakat mulai belajar menge- kemewahan pemiliknya.
nal apa arti dari suatu citra, dan gambar se- (5) Produk adalah alat untuk mengenang. Produk
hingga orang melakukan asosiasi tanpa berpikir dapat mengingatkan konsumen pada penga-
lebih jauh tentangnya. Selanjutnya berkat ke- laman masa lalu. Asesoris, merchandise, photo
mampuan yang dimiliknya konsumen sanggup album dan CD adalah produk yang dapat digu-
mentransformasikan pengalaman dan pengeta- nakan untuk menjadi alat kenang-kenangan.
huannya dalam dimensi kultural ruang dan Bagi wisatawan, keberadaan merchandise sangat
waktu. penting untuk mengingat kesan wisatawan
Tharp dan Scott mengidentifikasi lima terhadap tempat yang dikunjungi. Demikian
peran simbolik dari produk yang menggambar- juga dengan even/kejadian tertentu seperti olim-
kan nilai-nilai budaya: piade, PON, Asian games, selalu diwarnai de-
(1) Produk adalah alat untuk mengkomunikasikan ngan penjualan memoribilia sebagai alat untuk
status sosial. Melalui pemilikan produk tertentu kenang-kenangan.
seseorang berharap status sosial mereka akan Ritual dan Perilaku Konsumen. Ritual
terlihat oleh masyarakat dan pada akhirnya adalah aktivitas simbolik yang terdiri dari se-
terdapat pengakuan akan status tersebut. Bagi rangkaian aktivitas (multiple behaviors) yang
masyarakat tertentu di Indonesia, memiliki terus berulang dari waktu ke waktu. Dalam
mobil dengan merek tertentu akan meningkat- praktek ritual dilakukan terhadap untuk me-
kan status sosial mereka. Demikian juga dengan maknai berbagai kejadian dari manusia lahir
pemilikan burung, bunga tertentu, ataupun sampai dengan kematian. Ritual pada umum-
pemilikan vila di pegunungan. nya dilakukan terbuka untuk umum, terkait
(2) Produk adalah alat ekspresi. Produk mereflek- dengan aspek spiritual atau kepercayaan terten-
sikan nilai yang paling penting bagi konsumen. tu, atau upacara-upacara tertentu. Perilaku
Pemasar menciptakan simbol dan asosiasi ter- biasanya dilakukan secara formal, dan tertulis.
tentu yang agar produk yang mereka ciptakan McCraken (1986) menggambarkan suatu
mampu mewakili ekspresi jiwa tertentu dari proses pengemasan nilai-nilai budaya melalui
konsumennya. Beberapa produk ataupun me- iklan dan fashion system oleh pemasar, terhadap
rek mempunyai personalitas seperti yang dicari suatu produk kepada konsumen. McCraken,
oleh konsumen seperti citra kesuksesan, penca- mencermati bahwa terdapat desain budaya
paian, kebebasan, individual, dan pengembang- konsumen atas benda-benda yang konsumen
an diri. Rokok Djarum, mencitrakan jiwa pe- miliki mulai dari proses pemilikan (possesion
tualangan atau pemberani, sedangkan rokok ritual), ritual pertukaran (exchange ritual), ritual
Wismilak mewakili citra rasa sukses. pemeliharaan (Grooming ritual), dan ritual
(3) Produk adalah alat untuk berbagi pengalaman. divestasi (divestment ritual), lihat Gambar 3.
Seringkali keberadaan suatu produk dapat Menurut Assael (1999), tiap perilaku ritual
digunakan untuk berbagi pengalaman. Melalui terhadap tiga yang umum. Pertama, mereka
makanan dan minuman, pada saat tertentu, melibatkan benda-benda budaya (ritual artifact).
bunga dan hadiah adalah alat untuk berbagi Kedua, ritual melibatkan dokumen yang menje-
pada even-event tertentu. Pada perayaan imlek laskan kapan produk, bagaimana, dan oleh
orang berbagi kue ranjang, atau pada saat hari siapa produk akan digunakan. Ketiga ritual,
valentine orang berbagi hadiah. membutuhkan keterlibatan peran pelaku ritual.
(4) Produk adalah sesuatu yang hedonis. Seringkali Dalam masyarakat Indonesia, dan dimana
suatu produk merefleksikan nilai-nilai konsu- masyarakatnya tergolong religius dan high
men, seperti estetika, atau kualitas sensualitas context, ritual merupakan bagian yang terpi-
yang dapat mengakomodasi kesenangan kon- sahkan dari kehidupan masyarakatnya. Masya-

178 Kussudyarsana BENEFIT Jurnal Manajemen dan Bisnis


rakat high context, adalah masyarakat yang Dalam pemasaran, ritual banyak terkait
sangat menghargai cara pengemasan suatu dengan kegiatan pemasaran dan dimanfaatkan
kegiatan bukan hanya isi dari suatu kegiatan. pemasar untuk meningkatkan penjualan. Dari
sebagian besar ritual baik itu yang terkait
dengan peristiwa keagamaan ataupun bukan,
selalu terkait dengan penggunaan artefak atau
produk budaya. Di samping itu, ritual adalah
momen yang dianggap penting oleh masya-
rakat atau konsumen yang tidak ingin mereka
lewatkan. Karena dianggap penting, dan dilihat
orang banyak maka masyarakat ingin tampil
sempurna, untuk itupun konsumen rela untuk
berbelanja dengan dana lebih. Tidak heran se-
tiap terdapat acara keagamaan, menjadikan
pemasar berlomba-lomba memanfaatkan even
ini untuk menawarkan produk, promosi, dan
kegiatan pemasaran lainnya.

Sumber: Grant McCraken, Culture and Consumption: A SIMPULAN


Theoritical Account of The Structure and Movement of
Cultural Meaning of Consumer Good, Journal of
Consumer Research, 1986. Kehidupan manusia tidak terlepas dari kegiat-
an budaya. Kegiatan pemasaran tidak terlepas
Gambar 3. Budaya dan Ritual Konsumsi
dari bagian budaya manusia. Pemasar meng-
gunakan budaya sebagai dasar analisis kon-
Dalam masyarakat high context biasanya sumen, dan keputusan strategi perusahaan,
setiap aspek kegiatan manusia, sangat terkait karena budaya menjadi landasan manusia,
dengan simbol. Dalam masyarakat Indosnesia, dalam bertindak, bersikap dan bertingkah laku
kegiatan ritual sangat terkait dengan siklus dalam masyarakat. Budaya agar dipertimbang-
kehidupan manusia, mulai dari kehidupan ma- kan oleh masyarakatnya mempunyai karakter-
nusia, anak-anak, dewasa (pertengahan kehi- istik budaya, keyakinan (belief), nilai-nilai buda-
dupan) sampai kematian manusia. Dalam fase ya (value), atau prakteknya harus bisa disampai-
kelahiran misalnya dikenal 7 bulanan, dan kan dan diterima oleh sejumlah kelompok yang
sepasaran. Dalam fase anak-anak terdapat ri- signifikan. Sehingga budaya dipandang menja-
tual sunatan, dalam masa kedewasaaan ter- di kebiasaan kelompok yang terkait langsung
dapat kegiatan pernikahan dimana aspek ritual dengan anggota masyarakat yang lain.
sangat kental. Juga ritual tekait dengan kegiat-
an kemasyarakatan yang dianggap penting
seperti mulai bercocok tanam, ataupun mema-
DAFTAR PUSTAKA
nen. Ritual juga terkait dengan kegiatan keaga-
maan. Dalam agama Islam, dalam bulan Rama- Assael Henry. 1999. Consumer Behavior and Mar-
dhan, dan Idul Fitri terdapat ritual membagi- keting Action, New York: South Western
kan zakat sebelum hari raya, takbiran dan College Publishing.
sungkeman setelah Sholat Id. Dalam agama
Grant McCraken. 1986. Culture and Consump-
Kristen, terdapat Sinterklas, pohon natal. Di
tion: A Theoritical Account of the Struc-
Hindu Bali, terdapat ritual ogoh-ogoh, pati
geni, dan sesaji. Demikian juga dengan Kong ture and Movement of Cultural Meaning
Hu Cu, setiap pergantian tahun terdapat ritual of Consumer Good, Journal of Consumer
membakar dupa, Barongsai dan membagikan Research.
Angpao. Gutman, Jonathan. 1982. A Means-End Chain

Volume 12, Nomor 2, Desember 2008: 171-180 Budaya dan Pemasaran 179
Model Based on Consumer Categoriza- sumer Behavior, Atlanta, USA: Prentice
tion Processes, Journal of Marketing. Hall International.
Hofstede, G. 1984. Culture's Consequences: Inter- Tse, D.K., Lee, K-H., Vertinsky, I. and Wehrung,
national Difference in Work-related Values. D.A. 1988. Does Culture Matter? A Cross-
London: Sage Publications. cultural Study of Executives' Choice, De-
Mokoginta, A. Urip. 2001. Corporate Culture: A cisiveness and Risk Adjustment in Inter-
discussion or Freeport Indonesia Manage- national Marketing, Journal of Marketing,
ment, Bagian Psikologi, Jakarta: Univer- Vol. 52, October, pp. 81-95.
sitas Indonesia. Yalcinkaya, Goksel. 2008. A Culture-Based Ap-
Reynolds, T. J., & Johnson. 2002. Means-end proach to Understanding the Adoption
based Advertising Research: Copy Test- and Diffusion of New Products Across
ing is not Strategy Assessment. Journal of Countries, International Marketing Review,
Business Research, 22, 131-142. Vol. 25 No. 2.
Rogers, E. M. 1983. Diffusion of Innovations, New Yeniyurt, Sengun and Townsend Janell D. 2003.
York: Free Press. Does Culture Explain Acceptance of New
Products in a Country? An Empirical Investi-
Rokeach, M. 1973. The Nature of Human Values.
gation.
New York: Free Press.
Schiffman G Leon, Kanuk, L.Liesly, 2003. Con-

180 Kussudyarsana BENEFIT Jurnal Manajemen dan Bisnis

Anda mungkin juga menyukai