Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori

1. Definisi Diabetes Melitus (DM)


Menurut American Diabetes Association (ADA), DM merupakan suatu
kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. DM juga disertai
dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang
disebabkan oleh kekurangan hormon insulin secara relatif maupun absolute.
Insulin adalah hormon yang dihasilkan pankreas yang berfungsi untuk mengubah
glukosa dari makanan, sehingga glukosa bisa masuk dalam sel dan dapat
digunakan sebagai energi bagi otot dan jaringan untuk melakukan fungsinya.
Sebagai akibatnya pasien dengan DM tidak mampu menyerap glukosa dengan
tepat sehingga glukosa tertumpuk dalam pembuluh darah dan menyebabkan
hiperglikemia (ADA, 2017).
DM merupakan sindrom metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia
karena defek pada sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Hiperglikemia
kronis pada DM dapat diasosiasikan dengan terjadinya kerusakan jangka
panjang, disfungsi serta kegagalan multi organ terutama otak, mata, ginjal, saraf,
jantung, dan pembuluh darah (International Diabetes Federation (IDF), 2011).

2. Klasifikasi
Setelah disepakati, klasifikasi DM diperkenalkan oleh ADA dan telah
disahkan oleh World Health Organization (WHO, 2017) dan telah dipakai di
seluruh dunia, yaitu :
a. Diabetes tipe 1 atau yang dulu dikenal dengan Insulin Dependent Diabetes
Melitus (IDDM)
DM tipe 1 merupakan diabetes tergantung insulin, terjadi karena kerusakan
sel beta pankreas (reaksi autoimun). Bila kerusakan sel beta telah mencapai
80-90 % maka gejala DM mulai muncul. Perusakan sel beta ini lebih cepat

6
7

terjadi pada anak-anak daripada dewasa. Sebagian besar penderita DM tipe I


mempunyai antibodi yang menunjukkan adanya proses autoimun, dan
sebagian kecil tidak terjadi proses autoimun. Kondisi ini digolongkan sebagai
type 1 idiophatic. Sebagian besar (75 %) kasus terjadi sebelum usia 30 tahun,
tetapi usia tidak termasuk kriteria untuk klasifikasi.
b. DM tipe II atau Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM).
DM ini merupakan 90 % dari kasus DM , pada tipe ini terjadi penurunan
kemampuan insulin bekerja di jaringan perifer (insulin resistance) dan
disfungsi sel beta. Akibatnya, pankreas tidak mampu memproduksi insulin
yang cukup untuk mengkompensasi insulin resistance (penurunan daya kerja
insulin tersebut). Kedua hal ini menyebabkan terjadinya defisiensi insulin
relatif. Gejala minimal yaitu poliuria, polidipsia, polifagia dan kegemukan
sering berhubungan dengan kondisi ini, yang umumnya terjadi pada usia > 45
tahun. Kadar insulin bisa normal, rendah, maupun tinggi, sehingga penderita
tidak tergantung pada pemberian insulin.
c. Gestasional Diabetes Melitus (GDM)
Gestasional Diabetes Melitus (GDM) adalah kehamilan yang disertai dengan
peningkatan insulin resistance (ibu hamil gagal mempertahankan
euglycemia). Faktor risiko GDM diantaranya riwayat keluarga DM,
kegemukan, dan glukosuria. GDM ini meningkatkan morbiditas neonatus,
misalnya hipoglikemia, ikterus, polisitemia, dan makrosomia. Hal ini terjadi
karena bayi dari ibu GDM mensekresi insulin lebih besar sehingga
merangsang pertumbuhan bayi dan makrosomia. Frekuensi GDM kira-kira 3-
5 % dan para ibu tersebut meningkat risikonya untuk menjadi DM di masa
mendatang.
d. Diabetes spesifik karena sebab yang lain
Diabetes spesifik karena sebab yang lain misalnya karena kelainan genetik
fungsi sel beta, kelainan genetik pada kerja insulin, penyakit eksokrin
pankreas seperti pada kistik fibrosis dan diabetes yang dicetuskan akibat obat
atau bahan kimia seperti pada terapi AIDS atau setelah transplantasi organ
8

3. Etiologi DM
a. DM tipe 1 atau Insulin Dependen Diabetes Mellitus (IDDM)
Diabetes tipe ini ditandai oleh penghancuran sel-sel beta pankreas. Kombinasi
faktor genetik, imunologi, dan lingkungan diperkirakan turut menimbulkan
destruksi sel beta, diabetes ini biasanya terjadi pada usia kurang dari 30
tahun.
1) Faktor Genetika
Penderita Diabetes Mellitus tidak mewarisi diabetes type I itu sendiri,
tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah
terjadinya diabetes type I. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada
individu yang memiliki tipe antigen HLA (Human Leucocyte Antigen)
tertentu. HLA merupakan kumpulan gen yang bertanggung jawab atas
antigen transplantasi dan proses imun lainnya.
2) Faktor Imunologi
Pada Diabetes type I terdapat bukti adanya suatu proses autoimun.
Respon ini merupakan respon abnormal dimana antibodi terarah pada
jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut
yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing. Autoantibodi
terhadap sel-sel pulau langerhans dan insulin endogen (interna) terdeteksi
pada saat diagnosis dibuat dan bahkan beberapa tahun sebelum timbulnya
tanda-tanda klinis diabetes type I.
3) Faktor Lingkungan
Infeksi virus misalnya Coxsackie B4, gondongan (mumps), rubella,
sitomegalovirus dan toksin tertentu misalnya golongan nitrosamin yang
terdapat pada daging yang diawetkan dapat memicu proses autoimun
yang menimbulkan destruksi sel beta pankreas.

b. DM tipe 2 atau Non Insulin Dependen Diabetes Mellitus (NIDDM)


DM tipe 2 adalah tipe DM yang paling umum dan biasanya terjadi pada orang
dewasa. Faktor herediter memainkan peran yang sangat besar. Menurut ADA
2017, selain itu terdapat faktor resiko tertentu yang berhubungan dengan
9

proses terjadinya DM Type II yaitu usia, obesitas, dan kelompok etnik


tertentu.
1) Usia
Resistensi insulin cenderung terjadi pada usia >45 tahun. Meningkatnya
usia merupakan faktor resiko yang menyebabkan fungsi pankreas
menjadi menurun sehingga produksi insulin oleh sel beta pankreas juga
ikut terganggu.
2) Obesitas
Riset melaporkan bahwa obesitas merupakan salah satu faktor
determinan yang menyebabkan terjadinya NIDDM, sekitar 80% klien
NIDDM adalah individu dengan masalah kegemukan atau obesitas (20%
diatas BB ideal) dan index massa tubuh (IMT) > 25 kg/m2 dan IMT >
23 kg/m2 untuk orang Asia Amerika karena obesitas berkaitan dengan
resistensi insulin sehingga akan timbul kegagalan toleransi
glukosa(Permenkes, 2013).
3) Riwayat Keluarga
Klien dengan riwayat keluarga menderita DM akan berisiko lebih besar.
Seseorang yang menderita DM diduga mempunyai gen diabetes dan
diduga bahwa sifat diabetes adalah gen resesif.
4) Kelompok Etnik
Misalnya penduduk di Amerika Serikat, dimana golongan Hispanik,
Amerika-India, Asia-Amerika serta penduduk asli Amerika tertentu
memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk terjadinya diabetes tipe II
dibandingkan dengan golongan Afro-Afrika.
5) Kurang aktivitas fisik
Gaya hidup kurang aktivitas fisik turut mempengaruhi patogenesis
kegagalan dalam toleransi glukosa dan merupakan faktor risiko
terjadinya DM tipe 2.
6) Pola makan yang salah
Pola konsumsi makanan yang manis, berlemak dan asin meningkatkan
risiko terjadi DM tipe 2 (Sumangkrut, Supit & Onibala, 2013).
10

4. Patofisiologi
Penderita DM tidak mewarisi diabetes type I itu sendiri, tetapi mewarisi suatu
predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya diabetes type I.
Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen
HLA (Human Leucocyte Antigen) tertentu. HLA merupakan kumpulan gen yang
bertanggung jawab atas antigen transplantasi dan proses imun lainnya.
Menurut PERKENI 2015 pada DM tipe 2 terdapat dua masalah utama yang
berhubungan dengan insulin itu sendiri, antara lain: resisten insulin dan gangguan
sekresi insulin. Normalnya insulin terikat pada reseptor khusus di permukaan sel.
Akibat dari terikatnya insulin tersebut maka, akan terjadi suatu rangkaian reaksi
dalam metabolisme glukosa dalam sel tersebut. Resistensi insulin pada DM tipe
II dapat disertai adanya penurunan reaksi intra sel atau dalam sel. Dengan hal –
hal tersebut insulin menjadi tidak efektif untuk pengambilan glukosa oleh jaringan
tersebut. Dalam mengatasi resistensi insulin atau untuk pencegahan terbentuknya
glukosa dalam darah, maka harus terdapat peningkatan jumlah insulin dalam sel
untuk disekresikan .
Defronzo pada tahun 2009 menyampaikan bahwa terdapat 8 organ penting
dalam gangguan toleransi glukosa, yaitu:
a. Kegagalan sel beta pankreas
Fungsi sel beta pankreas yang berkurang
b. Liver
Pada penderita DM tipe 2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver
meningkat.
c. Otot
Gangguan kinerja insulin yang multiple di intramioselular, akibat gangguan
fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan transpor glukosa dalam sel otot,
penurunan sintesi glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa.
d. Sel lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan
peningkatan proses lipolisis dan kadar asam lemak bebas dalam plasma
11

(FFA: Free Fatty Acid). FFA menggangu sekresi insulin dan merangsang
proses glukoneogenesis.
e. Usus
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau
diberikan intravena. Saluran pencernaan mempunyai peran menyerap
karbohidrat melalui kinerja enzim alfa glukosidase yang memecah
polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian diserap usus dan
meningkatkan glukosa darah meningkat setelah makan.
f. Sel alpha pankreas
Sel alpha berfungsi dalam sintesi glukagon yang dalam keadaan puasa
kadarnya di plasma akan meningkat.
g. Ginjal
Penderita DM tipe 2 terjadi peningkatan SGLT 2(sodium glukosa co-
transport) yang mampu menyerap 90% glukosa terfiltrasi dalam urine.
h. Otak
Insulin adalah penekan nafsu makan yang kuat. Pada pasien obesitas
didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan kompensasi resistensi insulin.
Pada golongan ini nafsu makan meningkat akibat resistensi insulin yang juga
terjadi di otak (Defronzo, n.d.2009)

5. Manifestasi klinis
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik
DM seperti tersebut di bawah ini (PERKENI, 2015):
a. Keluhan klasik Diabetes Melitus berupa : poliuri, polidipsi, polifagi,
dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
b. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur
dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
12

Tabel 2.1
Rekomendasi diagnosis
No Kriteria Nilai
1. Gejala klasik DM + GDS ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
2. Gejala klasik DM + GDP ≥ 126 mg/dL (7,0 mmol/L)
4. GD2PP pada TTGO ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
4. HbA1c ≥ 6,5%
(Sumber : WHO (2016)
Ket : GDS : Gula darah sewaktu, GDP : Gula darah puasa, GD2PP :
gula darah 2 jam post prandial (setelah makan), TTGO : tes
toleransi glukosa oral.

Untuk kelompok tanpa keluhan khas Diabetes Melitus, hasil pemeriksaan


glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk
menegakkan diagnosa DM. Diperlukan pemeriksaan lebih lanjut dengan
mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl
(puasa karbohidrat selama 8 jam), kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl pada
hari yang lain, atau hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar
glukosa darah setelah pembebanan ≥ 200 mg/dl (PERKENI, 2015).
Pada Juli 2009, The International Expert Committee merekomendasikan
kriteria diagnostik tambahan dari hasil HbA1C ≥ 6,5% untuk DM dengan faktor
yang mempengaruhinya adalah anemia berat, kehamilan, gagal ginjal dan
hemoglobinopati. Pemantauan dengan menggunakan HbA1C merupakan
“standar emas” pemeriksaan gula darah dibanyak sentral, tes ini memberikan
masukan yang penting untuk profesional perawatan kesehatan dan pasien (Nathan
et al., 2009) .

6. Komplikasi
IDF tahun 2015 menjelaskan komplikasi utama diabetes adalah:

a. Mata (retinopathy)
Pasien diabetes akan berkembang menjadi penyakit mata atau retinopathy
yang dapat menjadi tanda bahaya dan menyebabkan kebutaan. Gula darah
tinggi yang menetap bersamaan dengan tekanan darah tinggi dan kolesterol
tinggi menyebabkan retinophaty.
13

b. Kesehatan mulut
Diabetes dapat menyebabkan gangguan mulut seperti gingivitis atau radang
gusi karena kontrol gula darah yang kurang. Radang gusi menyebabkan
kehilangan gigi dan berisiko menyebabkan penyakit kardiovaskuler.
c. Jantung dan pembuluh darah koroner (coroner heart disease)
Jenis penyakit kardiovaskuler yang sering menyertai diabetes adalah angina,
infark miocardial, stroke, peripheral artery disease(PAD) dan gagal jantung.
Pasien dengan DM dan memiliki kolesterol tinggi, tekanan darah tinggi dan
gula darah tinggi memiliki risiko mengalami penyakit jantung dan pembuluh
darah.
d. Ginjal (nephropathy)
Nephropaty disebabkan oleh kerusakan pembuluh darah kecil yang
menyebabkan penurunan fungsi ginjal atau gagal ginjal. Gula darah dan
tekanan darah normal dapat mengurangi risiko nephropaty.
e. Sistem saraf perifer ( neuropathy)
Gula darah dan tekanan darah yang terlalu tinggi dapat merusak saraf pada
tubuh. Kerusakan saraf disebut neuropati dan dapat menyebabkan rasa nyeri,
perasaan geli atau kehilangan sensasi sentuh. Kehilangan rasa sentuh
menyebabkan luka tanpa disadari, luka infeksi, kaki diabetik dan amputasi.
f. Anggota badan bagian bawah (perineal vaskular disease)
Gula darah yang tinggi meneybabkan aliran darah ke perifer tidak lancar dan
menyebabkan risiko tinggi terjadi gangguan alirah darah perifer. Biasa terjadi
pada anggota gerak bagian bawah (IDF, 2011).
g. Luka diabetik
1) Pengertian Luka Diabetik
Luka diabetik adalah luka pada pasien diabetes yang disebabkan
gangguan aliran darah atau kerusakan saraf perifer (IDF, 2011). Pasien
diabetes berisiko mengalami luka pada kaki dan merupakan jenis luka
kronis yang sangat sulit penyembuhannya ( Litzelman,1993 dalam
Gitarja, 2008)
14

2) Etiologi
Penyebab luka diabetik pada kaki adalah kaki yang sulit bergerak
terutama pada pasien obesitas atau neuropathi sensorik sehingga tidak
sadar kakinya terluka atau iskhemik pada klien perokok berat, sehingga
proses penyembuhan luka terhambat akibat konstruksi pembuluh darah
(Gitarja, 2008).
3) Pengkajian luka diabetik
Pengkajian luka diabetik meliputi:
a) Lokasi dan letak luka
b) Stadium luka
Stadium Wagner untuk luka kaki diabetik (Gitarja, 2008):
(1) Superficial ulcers
Derajat 0 = Tidak ada lesi yang terbuka, terdapat tulang kaki
yang menonjol.
Derajat 1 = hilangnya lapisan kulit hingga dermis dan kadang
tampak tulang menonjol.
(2) Deep ulcer
Derajat 2 = luka dalam sampai menembus tendon atau tulang
Derajat 3 = luka dalam dengan abses, osteomielitis atau sepsis
persendian
(3) gangrene
Derajat 4 = Gangren sebagian, menyebar hingga ke sebagian
jari kaki, kulit sekitar selulitis, gangren lembab.
Derajat 5 = seluruh kaki dalam kondisi nekrotik dan gangren.
c) Luas luka
Dihitung dari luas, lebar dan kedalaman luka diabetik.
d) Status vaskuler
Pengkajian status vaskuler meliputi palpasi, capillari refill, edema,
dan temperatur kulit.
e) Status neurologik
f) Infeksi
15

Infeksi luka ditandai dengan erithema, edema, cairan berubah


purulent, nyeri sensitive, peningkatan temperatur tubuh, peningkatan
jumlah leukosit, timbul bau khas.
4) Risiko luka kaki diabetik
Saat ini telah dikembangkan alat skreening risiko luka kaki diabetik
yang mudah dan sederhana serta hanya membutuhkan waktu 60 detik
dalam melakukan pemeriksaan. Dengan terdeteksinya risiko kaki
diabetik sejak awal, maka penanganan bisa dilakukan lebih dini untuk
mencegah terjadinya komplikasi lanjutan. Alat deteksi ini dikembangkan
oleh Inlow tahun 2004 untuk mendeteksi penderita DM yang berisiko
tinggi mengalami luka kaki diabetes. Alat ini terdiri dari 12 item
penilaian yaitu :
a) Kulit :utuh, kering, terdapat kalus, ada luka terbuka atau riwayat
luka
b) Kuku : posisi baik, kasar atau tidak terawat, tebal atau rusak
c) Deformitas : ada kelainan bentuk atau tidak.
d) Penggunaan alas kaki : alas kaki sesuai atau tidak.
e) Temperatur dingin : kaki hangat atau dingin
f) Temperatur panas : kaki hangat atau dingin.
g) Rentang sendi : gerakan sendi bebas, terbatas, sulit bergerak
h) Sensasi dengan tes monofilamen
i) Sensasi dengan 4 pertanyaan : apakah merasa mati rasa, apakah
menggelelayar, rasa terbakar, terasa di lewati serangga.
j) Nadi dorsalis pedis/posterior tibia : teraba atau tidak
k) Bengkak kaki
l) Kemerahan atau eritema (Kale et al., 2015).

5) Edukasi perawatan kaki


Edukasi perawatan kaki menurut PERKENI (2015) diberikan secara rinci
pada semua orang dengan ulkus maupun neuropati perifer atau PAD:
a) Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki, termasuk di pasir dan air
16

b) Periksa kaki setiap hari dan laporkan dengan dokter bila ada luka
c) Periksa alas kaki dari benda asing sebelum dipakai
d) Selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih, kering dan mengoles
pelembab pada kulit kering
e) Potong kuku secara teratur
f) Keringkan kaki setelah dari kamar mandi
g) Gunakan kaos kaki dari bahan katun dan tidak menyebabkan lipatan
pada ujung jari kaki
h) Jika ada kalus atau mata ikan tipiskan secara teratur
i) Gunakan alas kaki khusus bila ada kelainan bentuk kaki
j) Sepatu tidak boleh longgar atau sempit, hindari hak tinggi
k) Hindari menggunakan bantal atau botol berisi air panas untuk
menghangatkan kaki.

7. Penatalaksanaan
Dalam Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia
Tahun 2015 (PERKENI):, terdapat empat pilar penatalaksanaan DM, yaitu:
a. Edukasi
Edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi dibutuhkan
untuk memberikan pengetahuan mengenai kondisi pasien dan untuk
mencapai perubahan perilaku. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa
darah mandiri, tanda, dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus
diberikan kepada pasien.
b. Terapi nutrisi medis
Terapi nutrisi medis merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara
total. Prinsip pengaturan makanan penyandang diabetes hampir sama dengan
anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan
sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada
pasien diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam
hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama pada pasien yang
menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin. Diet pasien DM yang
17

utama adalah pembatasan karbohidrat kompleks dan lemak serta peningkatan


asupan serat.
c. Latihan jasmani
Latihan jasmani berupa aktivitas fisik sehari-hari dan olahraga secara teratur
3-4 kali seminggu selama 30 menit. Latihan jasmani selain untuk menjaga
kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas
insulin. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan yang bersifat aerobik
seperti jalan kaki, bersepeda santai, joging, dan berenang. Latihan jasmani
disesuaikan dengan usia dan status kesehatan.
d. Terapi farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makanan dan
latihan jasmani. Terapi berupa suntikan insulin dan obat hipoglikemik
oral, diantaranya adalah metformin dan gibenklamid. Metformin adalah obat
golongan biguanid yang berfungsi meningkatkan sensitivitas reseptor insulin.
Selain itu, metformin juga mencegah terjadinya glukoneogenesis sehingga
menurunkan kadar glukosa dalam darah. Masa kerja metformin adalah 8 jam
sehingga pemberiannya 3 kali sehari atau per 8 jam. Metformin digunakan
untuk menjaga kadar glukosa sewaktu tetap terkontrol. Glibenklamid adalah
golongan sulfonilurea yang mempunyai efek utama meningkatkan sekresi
insulin oleh sel beta pankreas dan merupakan pilihan utama untuk pasien
dengan berat badan normal ataupun kurang. Penggunaan obat golongan
sulfonilurea lebih efektif untuk mengontrol kadar gula 2 jam setelah
makan.

8. Ankle Brachial Index (ABI)


a. Pengertian ABI
ABI adalah test non invasive untuk mengukur rasio tekanan darah sistolik
kaki (ankle) dengan tekanan darah sistolik lengan (brachial). Pada penelitian
yang dilakukan oleh Potier et al disimpulkan bahwa pengukuran ABI
dianggap sebagai metode noninvasif yang paling akurat dalam mengevaluasi
Peripheral Arterial Disease (PAD) dan direkomendasikan pada penderita
18

DM usia >50 tahun. PAD merupakan kondisi yang ditandai adanya


penyempitan arteri perifer akibat proses aterosklerosis dan umumnya terjadi
pada arteri di kaki (Potier et al., 2011).
b. Manfaat ABI pada pasien DM tipe 2
ABI adalah cara mudah untuk mendeteksi PAD dan mengevaluasi prognosa
gangguan kardiovaskuler pada umumnya. Gejala klasik dari PAD ini yaitu
klaudikasio intermiten atau nyeri ekstremitas bawah ,pasien umumnya
mengeluh nyeri saat beraktifitas, nyeri berkurang jika beristirahat, gangguan
saat berjalan, iskemik saat istirahat, nadi ekstremitas bawah abnormal, bruit
vaskuler, luka ekstremitas bawah sulit sembuh, gangren ekstremitas bawah,
dan tanda lain sepeti pucat saat ditinggikan atau bengkak saat kaki
tergantung. PAD umumnya tidak terdiagnosis dan kurang mendapat
perawatan optimal (Gerhard & Herman et al., 2017).
c. Cara mengukur ABI menurut Potier, et al tahun 2011
1) Letakkan pasien pada posisi supinasi kurang lebih selama 5 sampai 10
menit sebelum pemeriksaan dilaksanakan.
2) Ukur tekanan darah bagian ekstrimitas atas atau lengan atas sebelah
kanan dengan memasang manset tensimeter pada lengan pasien di area
brachial, lakukan hal yang sama pada lengan kiri.

Gambar 1
Lokasi Pemeriksaan ABI

Sumber : Potier,et.al(2011)
19

3) Catat hasil pengukuran tekanan sistol brachial tertinggi dari kedua


lengan.
4) Kemudian ukur tekanan sistol pada kaki (ankle) kanan dengan memasang
manset di kaki bagian bawah 2,5 cm di atas mata kaki (meleolus),
tekanan diukur pada arteri dorsalis pedis dan tibia posterior
menggunakan dopler vaskuler dan kemudian ukur tekanan sistol pada
kaki kiri dengan tehnik yang sama.
5) Catat hasil pengukuran tekanan sistol ankle tertinggi dari kedua kaki
6) Kalkulasi ABI sesuai rumus
P ankle
ABI =
P brachial

Keterangan:
P ankle = tekanan sistolik tertinggi pada ankle (arteri dorsalis pedis
atau arteri posterior tibial)
P brachial = tekanan sistolik tertinggi pada lengan (arteri brachialis)
d. Interpretasi ABI

Tabel 2.2
Interpretasi Nilai Ankle Brachial Index (ABI)
Interprestasi
Nilai ABI
ABI 0,91 – 1,3 Batas normal

ABI 0,7 – 0,9 Oklusi ringan

ABI 0,4 - 0,69 Oklusi sedang

ABI < 0,4 Oklusi berat

ABI > 1,3 Arteri tidak dapat terkompresi/kalsifikasi

(Sumber : Potier et al.(2011)


Keterangan: Kalsifikasi arteri adalah penumpukan kalsium
dalam arteri
20

B. Penelitian Terkait
1. Penelitian serupa pernah dilakukan oleh Pratomo tahun 2014 dengan judul
gambaran nilai ankle brachial index (ABI) penderita dm tipe 2 di Puskesmas
Kotabumi II, Kecamatan Kotabumi Selatan Kabupaten Lampung Utara.
Subyek penelitian diambil sebanyak 98 orang dengan tehnik total populasi.
Analisis data menggunakan analisis univariat dengan hasil didapatkan bahwa
76 responden (77,5 %) memiliki ABI normal dengan jumlah terbanyak pada
perempuan yaitu 49 orang (79,0 %), sebanyak 22,5 % penderita DM tipe 2 di
Puskesmas Kotabumi II memiliki interpretasi ABI borderline perfusion
(Pratomo, 2014)
2. Faktor-faktor yang berhubungan dengan ulkus kaki diabetik di poliklinik kaki
diabetik (Nurhanifah, 2017)
Risiko infeksi pada kaki pasien diabetes mellitus meliputi durasi diabetes
lebih dari 10 tahun, usia lebih dari 40 tahun, riwayat merokok, penurunan
denyut nadi perifer, penurunan sensasi, deformitas anatom atau area tekan
(misalnya bunion, callus, hammer toes). Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan durasi diabetes, ada
hubungan usia, tidak ada hubungan denyut nadi perifer, ada hubungan
sensasi, dan tidak ada hubungan deformitas anatomi dengan ulkus kaki
diabetik di Poliklinik Kaki Diabetik BLUD Rumah Sakit Ulin Banjarmasin.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor durasi diabetes > 10 tahun,
umur > 40 tahun, dan penurunan sensasi berhubungan dengan ulkus kaki
diabetik
3. Hubungan ABI dengan keparahan ulkus DM (Kristiani et al., 2016)
Proporsi penderita kaki diabetik berdasarkan klasifikasi Wagner yang
terbanyak ialah yang dengan ulkus derajat 4 (10 pasien - 26,3%), diikuti
grade 1 (9 pasien - 23,7%), grade 2 dan 3 masing- masing sebanyak 8
pasien (21,05%), dan terakhir grade 5 (3 pasien - 7,9%). Hasil Nilai ABI
normal didapatkan paling banyak yaitu pada 22 pasien (57,9%), diikuti
oleh obstruksi vaskular sedang (8 pasien - 21,1%), iskemi ringan (7 pasien
(18,4%), dan hanya 1 pasien (2,6%) dengan obstruksi vaskular berat. Pada
21

penelitian ini nilai ABI normal banyak didapatkan pada ulkus derajat 1 dan
3 (77,8% dan 75%), sedangkan obstruksi vaskular berat hanya didapatkan
pada ulkus derajat 5. Kesimpulannya terdapat hubungan bermakna antara
ABI dengan keparahan ulkus. Semakin rendah nilai ABI keparahan ulkus
semakin tinggi.

C. Kerangka Konseptual

1. Kerangka teori
Nilai ABI

ABI 0,91-1,3 = normal

ABI 0,7-0,9 = oklusi ringan

ABI 0,4 - 0,69 = oklusi sedang

ABI < 0,4 = oklusi berat

ABI > 1,3 =kalsifikasi


pembuluh darah

Peripheral Arterial
Disease (PAD)

Gejala PAD:

1. Klaudikasio intermiten
2. Nyeri ekstremitas saat Risiko Luka
istirahat Diabetik
3. Nadi dorsalis pedis atau
posterior tibialis tidak
teraba/lemah
4. Riwayat luka yang sulit
sembuh
5. Pucat

Sumber : (Kale et al., 2015) dan Gerhard-Herman et al., 2017)


22

2. Kerangka konsep

Variabel independen variabel dependen

Nilai ABI Risiko Luka diabetik jika ABI


ABI 0,91-1,3 = normal
< 0,9 atau ABI > 1,3 dan terdapat
satu dari gejala PAD
ABI 0,7-0,9 = oklusi ringan
Tidak berisiko terjadi luka
ABI 0,4 - 0,69 = oklusi sedang
diabetik jika ABI 0,91-1,3 dan
ABI < 0,4 = oklusi berat tidak ada gejala PAD
ABI > 1,3 =kalsifikasi pembuluh
darah

D. Hipotesis
1. Ho: Tidak terdapat hubungan antara nilai ankle brachial index (ABI)
dengan kejadian luka pada penderita DM tipe 2 di RS Santa Maria
Pekanbaru
2. Ha: Terdapat hubungan antara nilai ankle brachial index (ABI) dengan
kejadian luka pada penderita DM tipe 2 di RS Santa Maria Pekanbaru

oklusi ringan

ABI 0,4 - 0,69 = oklusi sedang

ABI < 0,4 = oklusi berat

ABI > 1,3 =kalsifikasi


pembuluh darah

Anda mungkin juga menyukai