PROPOSAL PENELITIAN
MURGIYATI
163120016
PROPOSAL PENELITIAN
Diajukan sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana
Keperawatan
MURGIYATI
163120016
ii
iii
MURGIYATI
163120016
Pembimbing
Mengetahui
Ketua Program Studi S1 Keperawatan
STIKes Payung Negeri Pekanbaru
iii
iv
MURGIYATI
163120016
Ns. Sri Yanti,M.Kep, Sp.KMB Ns. Rizka Febtrina, M.Kep, Sp.KMB Ns. Angga Arfina, M.Kep
NIDN : 1001058102
Mengesahkan,
Sekolah Tinggi Ilmu Keperawatan Payung Negeri Pekanbaru
Ketua,
iv
v
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa proposal penelitian yang saya tulis ini
benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan
atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri.
Apabila dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa proposal penelitian ini adalah
hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan saya tersebut.
MURGIYATI
NIM: 16312001
v
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasih-Nya
sehingga penyusunan proposal penelitian yang berjudul “Hubungan Ankle
Brachial Index(ABI) dengan Risiko Luka pada Pasien DM Tipe 2 Di RS Santa
Maria Pekanbaru “ ini dapat terselesaikan. Proposal penelitian ini disusun penulis
untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan di
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Payung Negeri Pekanbaru Program S1
Ilmu Keperawatan Tahun 2018.
Dalam penyusunan proposal penelitian ini penulis banyak mendapatkan
bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak, untuk itu perkenankan penulis
mengucapkan terimakasih kepada :
1. Ibu Ns. Hj Deswinda, S.Kep M.Kes, selaku ketua STIKes Payung Negeri
Pekanbaru yang telah memberikan izin untuk terlaksananya penyusunan
penelitian ini.
2. Ibu Ns. Sri Yanti, S.Kep, M.Kep, Sp.KMB, selaku ketua Program Studi S1
Keperawatan STIKes Payung Negeri Pekanbaru dan selaku dosen
pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan dalam
menyelesaikan penelitian ini.
3. Ibu Ns. Rizka Febtrina, M.Kep, Sp.KMB selaku penguji I
4. Ibu Ns. Angga Arfina, M.Kep selaku dosen penguji II.
5. Seluruh staf dosen beserta karyawan dan karyawati STIKes Payung Negeri
Pekanbaru yang telah banyak memberi pengetahuan dan bimbingan kepada
peneliti selama mengikuti pendidikan di STIKes Payung Negeri Pekanbaru.
6. Dr Arifin selaku direktur RS Santa Maria Pekanbaru yang telah mengizinkan
dan memberikan data serta informasi untuk penelitian ini.
7. Teristimewa kepada suami, anak-anak saya, kedua orang tua dan mertua yang
sangat saya cintai, karena selalu mendoakan dan memberikan dukungan
moril maupun materil, terima kasih juga untuk seluruh keluarga yang
vi
vii
Penulis
vii
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PERSETUJUAN ..................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iii
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ...................................... iv
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... x
DAFTAR SKEMA ......................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Rumusan masalah................................................................................. 5
C. Tujuan Penelitian ................................................................................. 5
D. Manfaat Penelitian ............................................................................... 6
viii
ix
ix
x
DAFTAR TABEL
x
xi
DAFTAR SKEMA
xi
xii
DAFTAR GAMBAR
xii
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diabetes Melitus (DM) adalah suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
penurunan kerja insulin, atau akibat dari keduanya (American Diabetes
Association (ADA), 2017). Berdasarkan ADA tahun 2017, DM diklasifikan
menjadi empat tipe yaitu DM tipe 1 yaitu DM yang tergantung insulin, DM
tiep 2 yaitu DM yang tidak tergantung insulin, DM gestasional dan DM tipe
lain. Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO) tahun 2016,
DM tipe 2 merupakan tipe DM yang paling sering ditemukan dibandingkan
dengan DM tipe lainnya yaitu mencapai 85% sampai 95% dari seluruh
penderita DM dan sering terjadi pada usia 40-59 tahun ( WHO 2017).
Penderita DM tipe 2 memiliki risiko komplikasi yang tidak jauh
berbeda dengan DM tipe 1, komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita
DM sangat komplek karena dapat menyerang organ-organ vital tubuh.
Komplikasi DM secara umum di bagi menjadi dua, yaitu komplikasi akut
yaitu hipoglikemi, hiperglikemia ketoasidosis dan hiperglikemia
hyperosmolar nonketotik dan komplikasi kronis yaitu penyakit jantung
koroner (PJK), penyakit serebrovaskular, hipertensi, infeksi, penyakit vaskular
parifer, penyakit arteri parifer, neuropati, retinopati, dan ulkus kaki diabetik.
Komplikasi terjadi dalam kurun waktu 5-10 tahun setelah diagnosis di
tegakkan ( Black & Hawks, 2009).
Pasien DM sangat berisiko terhadap kejadian luka kaki dan merupakan
jenis luka kronis yang sangat sulit penyembuhannya. Sebuah studi di United
State menggabarkan bahwa 75% pasien diabetes memiliki masalah pada kaki
dan hampir 44% pasien harus menjalani perawatan (Resenquist 1984 dalam
Gitarja, 2008). DM adalah penyakit kronik yang dapat mempercepat
aterosklerosis dan menurut sejumlah penelitian, ini adalah penyebab utama
2
total pasien 1426 pasien. Terdapat kenaikan sebanyak 459 pasien rawat jalan
atau 244 % dari tahun 2015 sampai tahun 2016. Sedangkan, jumlah pasien
rawat inap tahun 2015 sampai 2016 meningkat 164 pasien atau 26,7% (Rekam
Medis,2016 ). Berdasarkan data dari bagian rekam medis RS Santa Maria
jumlah pasien rawat inap bulan Januari 2018 dengan diagnosa DM sebanyak
19 pasien dan pasien DM dengan luka diabetik sebanyak 2 pasien atau 10,5%
dan pada bulan Februari 2018 pasien DM yang dirawat mengalami
peningkatan yang cukup tinggi sebanyak 28 pasien dengan jumlah pasien DM
dengan luka diabetik mencapai 5 pasien atau 17,8%.
RS Santa Maria adalah RS swasta dengan pasien DM yang cukup tinggi
dan meningkat setiap tahun. Berdasar wawancara dengan manager
keperawatan, saat ini RS Santa Maria mempunyai 7 dokter spesialis penyakit
dalam dan belum ada dokter khusus endokrin. Dokter penyakit dalam yang
ada saat ini belum ada yang menganjurkan untuk dilakukan pemeriksaan ABI
pada pasien DM tipe 2 guna mendeteksi komplikasi PAD. Sedangkan
pemeriksaan ABI sangat berguna untuk mendeteksi risiko PAD pada pasien
DM guna mendeteksi salah satu faktor risiko terjadinya luka diabetik. Pasien
dengan luka diabetik membutuhkan perawatan dan pengobatan yang lama dan
biaya mahal, sehingga penting bagi perawat untuk mampu membantu pasien
terhindar dari risiko luka diabetik (Gitarja, 2008).
Berdasar wawancara dari pihak managemen keperawatan RS Santa
Maria, sampai saat ini belum ada prosedur tetap pemeriksaan ABI pasien
DM dan secara umum perawat di RS Santa Maria belum mengetahui cara
melakukan pemeriksaan ABI. Sedangkan dengan jumlah pasien DM yang
cukup tinggi seharusnya perawat mengetahui cara memeriksa ABI untuk
mendeteksi dini PAD sebagai salah satu faktor risiko terjadinya luka diabetik
pada pasien DM. Berdasar hal-hal tersebut, maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian tentang hubungan Ankle Brachial Index(ABI) dengan
risiko luka pada Pasien DM Tipe 2 Di RS Santa Maria Pekanbaru.
5
B. Rumusan Masalah
Diabetes melitus dikenal memiliki banyak komplikasi, salah satunya
adalah PAD, biasanya komplikasi akan muncul pada kurang lebih 10 tahun.
Akibat dari lama menderita panyakit diabetes melitus dapat mengakibatkan
penebalan pembuluh darah sehingga dapat menyebabkan aliran darah mudah
tersumbat hingga mengakibatkan mudah terjadinya luka terutama pada
ekstremitas pada pasien DM. PAD dapat dideteksi dengan melakukan
pemeriksaan nilai ABI. Berdasarkan latar belakang diatas, didapatkan
rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu “Adakah hubungan Ankle
Brachial Index (ABI) dengan risiko luka pada Pasien DM Tipe 2 Di RS Santa
Maria Pekanbaru?”.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan Ankle
Brachial Index(ABI) dengan risiko luka pada Pasien DM Tipe 2 Di RS
Santa Maria Pekanbaru.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui nilai ABI pasien DM tipe 2 di RS Santa Maria
b. Mengetahui risiko luka diabetik pada pasien DM tipe 2 di RS
Santa Maria
c. Mengetahui hubungan Ankle Brachial Index(ABI) dengan risiko
luka pada Pasien DM Tipe 2 di RS Santa Maria Pekanbaru.
D. Manfaat Penelitian
1. Institusi tempat penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan untuk pelayanan
kesehatan dalam upaya pencegahan komplikasi, seperti PAD, CAD, ulkus
dan penyakit kardiovaskular lainnya pada penderita DM tipe 2 secara dini
dengan melakukan pemeriksaan ABI
6
A. Tinjauan Teori
2. Klasifikasi
Setelah disepakati, klasifikasi DM diperkenalkan oleh ADA dan telah
disahkan oleh World Health Organization (WHO, 2017) dan telah
dipakai di seluruh dunia, yaitu :
a. Diabetes tipe 1 atau yang dulu dikenal dengan Insulin Dependent
Diabetes Melitus (IDDM)
DM tipe 1 merupakan diabetes tergantung insulin, terjadi karena
kerusakan sel beta pankreas (reaksi autoimun). Bila kerusakan sel
beta telah mencapai 80-90 % maka gejala DM mulai muncul.
Perusakan sel beta ini lebih cepat terjadi pada anak-anak daripada
dewasa. Sebagian besar penderita DM tipe I mempunyai antibodi
yang menunjukkan adanya proses autoimun, dan sebagian kecil tidak
terjadi proses autoimun. Kondisi ini digolongkan sebagai type 1
idiophatic. Sebagian besar (75 %) kasus terjadi sebelum usia 30
tahun, tetapi usia tidak termasuk kriteria untuk klasifikasi.
b. DM tipe II atau Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM).
DM ini merupakan 90 % dari kasus DM , pada tipe ini terjadi
penurunan kemampuan insulin bekerja di jaringan perifer (insulin
resistance) dan disfungsi sel beta. Akibatnya, pankreas tidak mampu
memproduksi insulin yang cukup untuk mengkompensasi insulin
resistance (penurunan daya kerja insulin tersebut). Kedua hal ini
menyebabkan terjadinya defisiensi insulin relatif. Gejala minimal
yaitu poliuria, polidipsia, polifagia dan kegemukan sering
berhubungan dengan kondisi ini, yang umumnya terjadi pada usia
> 45 tahun. Kadar insulin bisa normal, rendah, maupun tinggi,
sehingga penderita tidak tergantung pada pemberian insulin.
c. Gestasional Diabetes Melitus (GDM) adalah kehamilan yang disertai
dengan peningkatan insulin resistance (ibu hamil gagal
mempertahankan euglycemia). Faktor risiko GDM diantaranya
riwayat keluarga DM, kegemukan, dan glukosuria. GDM ini
meningkatkan morbiditas neonatus, misalnya hipoglikemia, ikterus,
polisitemia, dan makrosomia. Hal ini terjadi karena bayi dari ibu
GDM mensekresi insulin lebih besar sehingga merangsang
pertumbuhan bayi dan makrosomia. Frekuensi GDM kira-kira 3-5 %
dan para ibu tersebut meningkat risikonya untuk menjadi DM di
masa mendatang.
d. Diabetes spesifik karena sebab yang lain misalnya karena kelainan
genetik fungsi sel beta, kelainan genetik pada kerja insulin, penyakit
eksokrin pankreas seperti pada kistik fibrosis dan diabetes yang
dicetuskan akibat obat atau bahan kimia seperti pada terapi AIDS
atau setelah transplantasi organ
3. Etiologi DM
a. DM tipe 1 atau Insulin Dependen Diabetes Mellitus (IDDM)
Diabetes tipe ini ditandai oleh penghancuran sel-sel beta pankreas.
Kombinasi faktor genetik, imunologi, dan lingkungan diperkirakan
turut menimbulkan destruksi sel beta, diabetes ini biasanya terjadi
pada usia kurang dari 30 tahun.
1) Faktor Genetika
Penderita Diabetes Mellitus tidak mewarisi diabetes type I itu
sendiri, tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan
genetik ke arah terjadinya diabetes type I. Kecenderungan
genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen
HLA (Human Leucocyte Antigen) tertentu. HLA merupakan
kumpulan gen yang bertanggung jawab atas antigen
transplantasi dan proses imun lainnya.
2) Faktor Imunologi
Pada Diabetes type I terdapat bukti adanya suatu proses
autoimun. Respon ini merupakan respon abnormal dimana
antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara
bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-
olah sebagai jaringan asing. Autoantibodi terhadap sel-sel pulau
langerhans dan insulin endogen (interna) terdeteksi pada saat
diagnosis dibuat dan bahkan beberapa tahun sebelum timbulnya
tanda-tanda klinis diabetes type I.
3) Faktor Lingkungan
Infeksi virus misalnya Coxsackie B4, gondongan (mumps),
rubella, sitomegalovirus dan toksin tertentu misalnya golongan
nitrosamin yang terdapat pada daging yang diawetkan dapat
memicu proses autoimun yang menimbulkan destruksi sel beta
pankreas.
b. DM tipe 2 atau Non Insulin Dependen Diabetes Mellitus (NIDDM)
DM tipe 2 adalah tipe DM yang paling umum dan biasanya terjadi
pada orang dewasa. Faktor herediter memainkan peran yang sangat
besar. Menurut ADA 2017, selain itu terdapat faktor resiko tertentu
yang berhubungan dengan proses terjadinya DM Type II yaitu usia,
obesitas, dan kelompok etnik tertentu.
1) Usia
Resistensi insulin cenderung terjadi pada usia >45 tahun.
Meningkatnya usia merupakan faktor resiko yang menyebabkan
fungsi pankreas menjadi menurun sehingga produksi insulin
oleh sel beta pankreas juga ikut terganggu.
2) Obesitas
Riset melaporkan bahwa obesitas merupakan salah satu faktor
determinan yang menyebabkan terjadinya NIDDM, sekitar 80%
klien NIDDM adalah individu dengan masalah kegemukan atau
obesitas (20% diatas BB ideal) dan index massa tubuh (IMT)
> 25 kg/m2 dan IMT > 23 kg/m2 untuk orang Asia Amerika
karena obesitas berkaitan dengan resistensi insulin sehingga
akan timbul kegagalan toleransi glukosa(Permenkes, 2013).
3) Riwayat Keluarga
Klien dengan riwayat keluarga menderita DM akan berisiko
lebih besar. Seseorang yang menderita DM diduga mempunyai
gen diabetes dan diduga bahwa sifat diabetes adalah gen resesif.
4) Kelompok Etnik
Misalnya penduduk di Amerika Serikat, dimana golongan
Hispanik, Amerika-India, Asia-Amerika serta penduduk asli
Amerika tertentu memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk
terjadinya diabetes tipe II dibandingkan dengan golongan Afro-
Afrika.
5) Kurang aktivitas fisik
Gaya hidup kurang aktivitas fisik turut mempengaruhi
patogenesis kegagalan dalam toleransi glukosa dan merupakan
faktor risiko terjadinya DM tipe 2.
6) Pola makan yang salah
Pola konsumsi makanan yang manis, berlemak dan asin
meningkatkan risiko terjadi DM tipe 2(Sumangkrut, Supit, &
Onibala, 2013).
4. Patofisiologi
Penderita DM tidak mewarisi diabetes type I itu sendiri, tetapi
mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah
terjadinya diabetes type I. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada
individu yang memiliki tipe antigen HLA (Human Leucocyte Antigen)
tertentu. HLA merupakan kumpulan gen yang bertanggung jawab atas
antigen transplantasi dan proses imun lainnya.
Menurut PERKENI 2015 pada DM tipe 2 terdapat dua masalah
utama yang berhubungan dengan insulin itu sendiri, antara lain: resisten
insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin terikat pada
reseptor khusus di permukaan sel. Akibat dari terikatnya insulin tersebut
maka, akan terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa
dalam sel tersebut. Resistensi insulin pada DM tipe II dapat disertai
adanya penurunan reaksi intra sel atau dalam sel. Dengan hal – hal
tersebut insulin menjadi tidak efektif untuk pengambilan glukosa oleh
jaringan tersebut. Dalam mengatasi resistensi insulin atau untuk
pencegahan terbentuknya glukosa dalam darah, maka harus terdapat
peningkatan jumlah insulin dalam sel untuk disekresikan .
Defronzo pada tahun 2009 menyampaikan bahwa terdapat 8 organ
penting dalam gangguan toleransi glukosa, yaitu:
a. Kegagalan sel beta pankreas
Fungsi sel beta pankreas yang berkurang
b. Liver
Pada penderita DM tipe 2 terjadi resistensi insulin yang berat dan
memicu gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan
basal oleh liver meningkat.
c. Otot
Gangguan kinerja insulin yang multiple di intramioselular, akibat
gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan transpor
glukosa dalam sel otot, penurunan sintesi glikogen, dan penurunan
oksidasi glukosa.
d. Sel lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,
menyebabkan peningkatan proses lipolisis dan kadar asam lemak
bebas dalam plasma (FFA: Free Fatty Acid). FFA menggangu
sekresi insulin dan merangsang proses glukoneogenesis.
e. Usus
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar
dibanding kalau diberikan intravena. Saluran pencernaan
mempunyai peran menyerap karbohidrat melalui kinerja enzim alfa
glukosidase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida
yang kemudian diserap usus dan meningkatkan glukosa darah
meningkat setelah makan.
f. Sel alpha pankreas
Sel alpha berfungsi dalam sintesi glukagon yang dalam keadaan
puasa kadarnya di plasma akan meningkat.
g. Ginjal
Penderita DM tipe 2 terjadi peningkatan SGLT 2(sodium glukosa
co-transport) yang mampu menyerap 90% glukosa terfiltrasi dalam
urine.
h. Otak
Insulin adalah penekan nafsu makan yang kuat. Pada pasien obesitas
didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan kompensasi resistensi
insulin. Pada golongan ini nafsu makan meningkat akibat resistensi
insulin yang juga terjadi di otak (Defronzo, n.d.2009)
5. Manifestasi klinis
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan
klasik DM seperti tersebut di bawah ini (PERKENI, 2015):
a. Keluhan klasik Diabetes Melitus berupa : poliuri, polidipsi,
polifagi, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
sebabnya.
b. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal,
mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae
pada wanita.
Tabel 2.1
Rekomendasi diagnosis
No Kriteria Nilai
1. Gejala klasik DM + GDS ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
2. Gejala klasik DM + GDP ≥ 126 mg/dL (7,0 mmol/L)
3. GD2PP pada TTGO ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
4. HbA1c ≥ 6,5%
(Sumber : WHO (2016)
Ket : GDS : Gula darah sewaktu, GDP : Gula darah puasa, GD2PP :
gula darah 2 jam post prandial (setelah makan), TTGO : tes
toleransi glukosa oral.
Untuk kelompok tanpa keluhan khas Diabetes Melitus, hasil
pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum
cukup kuat untuk menegakkan diagnosa DM. Diperlukan
pemeriksaan lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka
abnormal, baik kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl (puasa
karbohidrat selama 8 jam), kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl
pada hari yang lain, atau hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO)
didapatkan kadar glukosa darah setelah pembebanan ≥ 200 mg/dl
(PERKENI, 2015).
Pada Juli 2009, The International Expert Committee
merekomendasikan kriteria diagnostik tambahan dari hasil HbA1C ≥
6,5% untuk DM dengan faktor yang mempengaruhinya adalah
anemia berat, kehamilan, gagal ginjal dan hemoglobinopati.
Pemantauan dengan menggunakan HbA1C merupakan “standar
emas” pemeriksaan gula darah dibanyak sentral, tes ini memberikan
masukan yang penting untuk profesional perawatan kesehatan dan
pasien(Nathan et al., 2009) .
6. Komplikasi
IDF tahun 2015 menjelaskan komplikasi utama diabetes adalah:
a. Mata (retinopathy)
Pasien diabetes akan berkembang menjadi penyakit mata atau
retinopathy yang dapat menjadi tanda bahaya dan menyebabkan
kebutaan. Gula darah tinggi yang menetap bersamaan dengan tekanan
darah tinggi dan kolesterol tinggi menyebabkan retinophaty.
b. Kesehatan mulut
Diabetes dapat menyebabkan gangguan mulut seperti gingivitis atau
radang gusi karena kontrol gula darah yang kurang. Radang gusi
menyebabkan kehilangan gigi dan berisiko menyebabkan penyakit
kardiovaskuler.
c. Jantung dan pembuluh darah koroner (coroner heart disease)
Jenis penyakit kardiovaskuler yang sering menyertai diabetes adalah
angina, infark miocardial, stroke, peripheral artery disease(PAD) dan
gagal jantung. Pasien dengan DM dan memiliki kolesterol tinggi,
tekanan darah tinggi dan gula darah tinggi memiliki risiko mengalami
penyakit jantung dan pembuluh darah.
d. Ginjal (nephropathy)
Nephropaty disebabkan oleh kerusakan pembuluh darah kecil yang
menyebabkan penurunan fungsi ginjal atau gagal ginjal. Gula darah
dan tekanan darah normal dapat mengurangi risiko nephropaty.
e. Sistem saraf perifer ( neuropathy)
Gula darah dan tekanan darah yang terlalu tinggi dapat merusak saraf
pada tubuh. Kerusakan saraf disebut neuropati dan dapat
menyebabkan rasa nyeri, perasaan geli atau kehilangan sensasi
sentuh. Kehilangan rasa sentuh menyebabkan luka tanpa disadari,
luka infeksi, kaki diabetik dan amputasi.
f. Anggota badan bagian bawah (perineal vaskular disease)
Gula darah yang tinggi meneybabkan aliran darah ke perifer tidak
lancar dan menyebabkan risiko tinggi terjadi gangguan alirah darah
perifer. Biasa terjadi pada anggota gerak bagian bawah(IDF, 2011).
g. Luka diabetik
1) Pengertian Luka Diabetik
Luka diabetik adalah luka pada pasien diabetes yang disebabkan
gangguan aliran darah atau kerusakan saraf perifer (IDF, 2011).
Pasein diabetes berisiko mengalami luka pada kaki dan
merupakan jenis luka kronis yang sangat sulit penyembuhannya
( Litzelman,1993 dalam Gitarja, 2008)
2) Etiologi
Penyebab luka diabetik pada kaki adalah kaki yang sulit bergerak
terutama pada pasien obesitas atau neuropathi sensorik sehingga
tidak sadar kakinya terluka atau iskhemik pada klien perokok
berat, sehingga proses penyembuhan luka terhambat akibat
konstruksi pembuluh darah(Gitarja, 2008).
3) Pengkajian luka diabetik
Pengkajian luka diabetik meliputi:
a) Lokasi dan letak luka
b) Stadium luka
Stadium Wagner untuk luka kaki diabetik(Gitarja, 2008):
(1) Superficial ulcers
Derajat 0 = Tidak ada lesi yang terbuka, terdapat
tulang kaki yang menonjol.
Derajat 1 = hilangnya lapisan kulit hingga dermis dan
kadang tampak tulang menonjol.
(2) Deep ulcer
Derajat 2 = luka dalam sampai menembus tendon atau
tulang
Derajat 3 = luka dalam dengan abses, osteomielitis atau
sepsis persendian
(3) gangrene
Derajat 4 = Gangren sebagian, menyebar hingga ke
sebagian jari kaki, kulit sekitar selulitis,
gangren lembab.
Derajat 5 = seluruh kaki dalam kondisi nekrotik dan
gangren.
c) Luas luka
d) Status vaskuler
Pengkajian status vaskuler meliputi palpasi, capillari refill,
edema, dan temperatur kulit.
e) Status neurologik
f) Infeksi
Infeksi luka ditandai dengan erithema, edema, cairan berubah
purulent, nyeri sensitive, peningkatan temperatur tubuh,
peningkatan jumlah leukosit, timbul bau khas.
4) Risiko luka kaki diabetik
Saat ini telah dikembangkan alat skreening risiko luka kaki
diabetik yang mudah dan sederhana serta hanya membutuhkan
waktu 60 detik dalam melakukan pemeriksaan. Dengan
terdeteksinya risiko kaki diabetik sejak awal, maka penanganan
bisa dilakukan lebih dini untuk mencegah terjadinya
komplikasi lanjutan. Alat deteksi ini dikembangkan oleh Inlow
tahun 2004 untuk mendeteksi penderita DM yang berisiko tinggi
mengalami luka kaki diabetes. Alat ini terdiri dari 12 item
penilaian yaitu :
a) Kulit :utuh, kering, terdapat kalus, ada luka terbuka atau
riwayat luka
b) Kuku : posisi baik, kasar atau tidak terawat, tebal atau rusak
c) Deformitas : ada kelainan bentuk atau tidak.
d) Penggunaan alas kaki : alas kaki sesuai atau tidak.
e) Temperatur dingin : kaki hangat atau dingin
f) Temperatur panas : kaki hangat atau dingin.
g) Rentang sendi : gerakan sendi bebas, terbatas, sulit bergerak
h) Sensasi dengan tes monofilamen
i) Sensasi dengan 4 pertanyaan : apakah merasa mati rasa,
apakah menggelelayar, rasa terbakar, terasa di lewati
serangga.
j) Nadi dorsalis pedis/posterior tibia : teraba atau tidak
k) Bengkak kaki
l) Kemerahan atau eritema (Kale et al., 2015).
5) Edukasi perawatan kaki
Edukasi perawatan kaki menurut PERKENI (2015) diberikan
secara rinci pada semua orang dengan ulkus maupun neuropati
perifer atau PAD:
(a) Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki, termasuk di pasir dan
air
(b) Periksa kaki setiap hari dan laporkan dengan dokter bila ada
luka
(c) Periksa alas kaki dari benda asing sebelum dipakai
(d) Selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih, kering dan
mengoles pelembab pada kulit kering
(e) Potong kuku secara teratur
(f) Keringkan kaki setelah dari kamar mandi
(g) Gunakan kaos kaki dari bahan katun dan tidak menyebabkan
lipatan pada ujung jari kaki
(h) Jika ada kalus atau mata ikan tipiskan secara teratur
(i) Gunakan alas kaki khusus bila ada kelainan bentuk kaki
(j) Sepatu tidak boleh longgar atau sempit, hindari hak tinggi
(k) Hindari menggunakan bantal atau botol berisi air panas untuk
menghangatkan kaki.
7. Penatalaksanaan
Dalam Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia
Tahun 2015 (PERKENI):, terdapat empat pilar penatalaksanaan DM,
yaitu:
a. Edukasi
Edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi
dibutuhkan untuk memberikan pengetahuan mengenai kondisi
pasien dan untuk mencapai perubahan perilaku. Pengetahuan
tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda, dan gejala
hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien.
b. Terapi nutrisi medis
Terapi nutrisi medis merupakan bagian dari penatalaksanaan
diabetes secara total. Prinsip pengaturan makanan penyandang
diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat
umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan
kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada pasien diabetes
perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal
makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama pada pasien yang
menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin. Diet pasien
DM yang utama adalah pembatasan karbohidrat kompleks dan lemak
serta peningkatan asupan serat.
c. Latihan jasmani
Latihan jasmani berupa aktivitas fisik sehari-hari dan olahraga
secara teratur 3-4 kali seminggu selama 30 menit. Latihan
jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan
berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin. Latihan jasmani
yang dianjurkan berupa latihan yang bersifat aerobik seperti jalan
kaki, bersepeda santai, joging, dan berenang. Latihan jasmani
disesuaikan dengan usia dan status kesehatan.
d. Terapi farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makanan
dan latihan jasmani. Terapi berupa suntikan insulin dan obat
hipoglikemik oral, diantaranya adalah metformin dan gibenklamid.
Metformin adalah obat golongan biguanid yang berfungsi
meningkatkan sensitivitas reseptor insulin. Selain itu, metformin
juga mencegah terjadinya glukoneogenesis sehingga menurunkan
kadar glukosa dalam darah. Masa kerja metformin adalah 8 jam
sehingga pemberiannya 3 kali sehari atau per 8 jam. Metformin
digunakan untuk menjaga kadar glukosa sewaktu tetap
terkontrol. Glibenklamid adalah golongan sulfonilurea yang
mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat
badan normal ataupun kurang. Penggunaan obat golongan
sulfonilurea lebih efektif untuk mengontrol kadar gula 2 jam
setelah makan.
Gambar 1
Lokasi Pemeriksaan ABI
3) Catat hasil pengukuran tekanan sistol brachial tertinggi dari
kedua lengan.
4) Kemudian ukur tekanan sistol pada kaki (ankle) kanan dengan
memasang manset di kaki bagian bawah 2,5 cm di atas mata
kaki (meleolus), tekanan diukur pada arteri dorsalis pedis dan
tibia posterior menggunakan dopler vaskuler dan kemudian
ukur tekanan sistol pada kaki kiri dengan tehnik yang sama.
5) Catat hasil pengukuran tekanan sistol ankle tertinggi dari kedua
kaki
6) Kalkulasi ABI sesuai rumus
P ankle
ABI =
P brachial
Keterangan:
P ankle = tekanan sistolik tertinggi pada ankle (arteri
dorsalis pedis atau arteri posterior tibial)
P brachial = tekanan sistolik tertinggi pada lengan (arteri
brachialis)
d. Interpretasi ABI
Tabel 2.2
Interpretasi Nilai Ankle Brachial Index (ABI)
Interprestasi
Nilai ABI
ABI 0,91 – 1,3 Batas normal
B. Penelitian Terkait
1. Penelitian serupa pernah dilakukan oleh Pratomo tahun 2014 dengan
judul gambaran nilai ankle brachial index (ABI) penderita dm tipe 2
di Puskesmas Kotabumi II, Kecamatan Kotabumi Selatan Kabupaten
Lampung Utara. Subyek penelitian diambil sebanyak 98 orang dengan
tehnik total populasi. Analisis data menggunakan analisis univariat
dengan hasil didapatkan bahwa 76 responden (77,5 %) memiliki ABI
normal dengan jumlah terbanyak pada perempuan yaitu 49 orang
(79,0 %), sebanyak 22,5 % penderita DM tipe 2 di Puskesmas
Kotabumi II memiliki interpretasi ABI borderline perfusion(Pratomo,
et al., 2014)
2. Senam kaki diabetik efektif meningkat ABI pada pasien DM 2
(Wahyuni, 2016)
Hasil penelitian senam kaki diabetik pada pasien DM tipe 2
didapatkan mean sebelum senam kaki diabetik adalah 0.62 artinya
dalam kategori nilai ABI berada pada obstruksi sedang dan nilai ABI
sesudah senam kaki diabetik adalah 0.93 yang artinya rata-rata
pasien sesudah senam diabetik nilai ABI dalam keadaan normal .
Selisih rata-rata nilai ABI sebelum dan sesudah melakukan senam
diabetik adalah 0,31. Pada uji statistik lebih lanjut menggunakan
Wilcoxon test didapatkan hasil ada perbedaan yang signifikan antara
nilai ABI sebelum dan sesudah senam kaki diabetic. Kesimpulan hasil
uji lebih lanjut menggunakan Wilcoxon test didapatkan hasil bahwa
senam kaki diabetik efektif meningkatkan nilai ABI
3. Hubungan ABI dengan keparahan ulkus DM (Kristiani et al., 2016)
Proporsi penderita kaki diabetik berdasarkan klasifikasi Wagner yang
terbanyak ialah yang dengan ulkus derajat 4 (10 pasien - 26,3%),
diikuti grade 1 (9 pasien - 23,7%), grade 2 dan 3 masing- masing
sebanyak 8 pasien (21,05%), dan terakhir grade 5 (3 pasien -
7,9%). Hasil Nilai ABI normal didapatkan paling banyak yaitu
pada 22 pasien (57,9%), diikuti oleh obstruksi vaskular sedang
(8 pasien - 21,1%), iskemi ringan (7 pasien (18,4%), dan hanya 1
pasien (2,6%) dengan obstruksi vaskular berat. Pada penelitian ini
nilai ABI normal banyak didapatkan pada ulkus derajat 1 dan 3
(77,8% dan 75%), sedangkan obstruksi vaskular berat hanya
didapatkan pada ulkus derajat 5. Kesimpulannya terdapat hubungan
bermakna antara ABI dengan keparahan ulkus. Semakin rendah nilai
ABI keparahan ulkus semakin tinggi.
C. Kerangka Konseptual
1. Kerangka teori
Peripheral Arterial
Disease (PAD)
1. Klaudikasio intermiten
2. Nyeri ekstremitas saat
istirahat Risiko luka kaki
3. Gangguan saat berjalan, diabetik
4. Iskemik saat istirahat
5. Nadi ekstremitas bawah
abnormal
6. Bruit vaskuler
7. Luka ekstremitas bawah
sulit sembuh
8. Gangren ekstremitas
bawah
9. Pucat saat ditinggikan atau
bengkak saat kaki
tergantung
Nilai ABI
D. Hipotesis
1. Ho: Tidak terdapat hubungan antara nilai ankle brachial indexI(ABI)
dengan kejadian luka pada penderita DM tipe 2 di RS Santa Maria
Pekanbaru
2. Ha: Terdapat hubungan antara nilai ankle brachial indexI(ABI)
dengan kejadian luka pada penderita DM tipe 2 di RS Santa Maria
Pekanbaru
oklusi ringan
Tabel 3.1
Jadwal Kegiatan Penelitian
No Uraian Kegiatan Tahun 2018
Mar April Mei Juni
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Persiapan (Pengajuan Judul
1
Skripsi)
2 Pembuatan Proposal
3 Seminar Proposal Skripsi
Pelaksanaan, pengumpulan
4
dan pengolahan data
5 Penyusunan laporan skripsi
6 Seminar hasil skripsi
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah 1426 pasien DM tipe 2 tahun 2016
di ruang rawat inap dan rawat jalan di RS Santa Maria.
2. Sampel
a. Prosedur pengambilan sampel
Metode pengambilan sampel dengan consecutive sampling yaitu
memilih semua individu yang ditemui dan memenuhi kriteria
pemilihan, sampai jumlah sampel yang diinginkan terpenuhi
(Dharma,2011). Prosedur pengambilan sampel adalah pasien DM tipe
2 di RS Santa Maria yang ditentukan berdasar kriteria inklusi dan
eksklusi.
1) Kriteria inklusi
a) Pasien DM tipe 2 yang tidak mengalami luka diabetik
b) Pasien bersedia menjadi responden
2) Kriteria eksklusi
a) Pasien DM tipe 2 yang mengalami luka diabetik
b) Edema kaki yang berat sehingga mengganggu pemeriksaan
ABI.
c) Pasien mengidap acute deep vein thrombosis(acute DVT).
d) Pasien yang sesak napas sehingga sulit untuk berbaring 5-10
menit
b. Jumlah sampel
Rumus yang digunakan untuk mengukur sampel, digunakan rumus
Slovin yakni ukuran sampel yang merupakan perbandingan dari
ukuran populasi dengan presentasi kelonggaran ketidaktelitian,
karena dalam pengambilan sampel dapat ditolerir atau diinginkan
(Sugiyono, 2013). Dalam pengambilan sampel ini digunakan taraf
kesalahan sebesar 10%. Adapun rumus yang digunakan yaitu
sebagai berikut :
N
n=
1 + Ne2
n = Ukuran Sampel
N = Jumlah populasi
n=
1+ Ne2
119
n=
1 + 119(0.1)2
119
n=
2,19
n= 54,3
n= 55 (dibulatkan)
Jumlah sampel adalah 55 pasien DM tipe 2.
D. Instrumen Penelitian
Alat yang digunakan dalam pengumpulan data ini berupa lembar observasi
yang berisi data karakteristik pasien meliputi nama, umur, jenis kelamin, lama
menderita DM, riwayat pernah mengalami luka DM, status kulit dan nilai
ABI. Nilai ABI diperoleh dengan cara melakukan pengukuran tekanan darah
sistolik kedua ekstremitas pada ankle dan brachial menggunakan tensimeter
dan dopler vaskuler 5 MHz untuk mempermudah mendeteksi nadi pada ankle.
E. Definisi Operasional
Definisi operasional ini bermanfaat untuk mengarahkan kepada pengukuran
atau pengamatan terhadap variabel-variabel yang bersangkutan serta
pengembangan variable terhadap alat ukur (Notoatmo djo, 2012). Adapun
dalam penelitian ini, variable yang akan didefinisikan secara operasional dapat
dijelaskan, sebagai berikut:
Tabel 3.2
Definisi Operasional
Variabel Definisi Alat Cara Hasil Ukur skala
Operasional ukur pengukuran
Variabel ABI adalah Tensime Mengukur 1. ABI 0,91-1,3 = normal ordinal
independen: rasio tekanan - ter dan tekanan darah 2. ABI 0,7-0,9 = oklusi
Nilai Ankle darah sistolik dopler sistol lengan ringan
Brachial index kaki (ankle) vasku dan kaki 3. ABI 0,4 - 0,69 = oklusi
(ABI) dengan tekanan ler 5 sedang
darah sistolik MHz 4. ABI < 0,4 = oklusi berat
lengan 5. ABI > 1,3 = kalsifikasi
(brachial) pembuluh darah
2. Cara pengukuran
a. Alat pengukuran
1) Tensimeter anaroid yang sudah dikalibrasi
2) Stetoskop
3) Dopler vaskuler 5 MHz
4) Jelly
b. Cara pengukuran
Sebelum pengukuran ABI dilakukan, responden diminta berbaring
pada posisi supinasi selama 5-10 menit, kemudian peneliti mengukur
tekanan darah responden pada lengan (brachial) kanan kemudian pada
lengan kiri menggunakan tensimeter dan mencatat tekan sistolik pada
masing-masing lengan. Setelah itu, peneliti mengukur tekanan darah
pada kaki (ankle) kanan kemudian kaki kiri menggunakan tensimeter
dan dopler vaskuler dan mencatat tekanan sistolik pada masing-masing
kaki. Data tekanan darah sistolik pada ankle dan brachial yang telah
terkumpul dalam lembar observasi, kemudian diaplikasikan dalam
rumus penghitungan ABI yaitu dengan membagi tekanan sistolik
tertinggi dari kedua ekstremitas pada area ankle dengan sistol tertinggi
pada area brachial sehingga hasilnya dapat diinterpretasikan.
1. Pengolahan data
Menurut Notoatmodjo (2012) setelah data terkumpul agar analisis
penelitian menghasilkan informasi yang benar harus melalui empat tahap
dalam pengolahan data, yaitu :
a. Editing
Editing merupakan tahap mengumpulkan dan memeriksa data lembar
observasi yang ada, lalu diperiksa apakah data sudah sesuai jumlah
sampel dan apakah cara pengisiannya sudah benar atau terdapat
kekeliruan atau tidak.
b. Coding
Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik terhadap data
yang terdiri atas beberapa kategori. Kode yang diberikan dalam
penelitian ini adalah 1 = normal, 2 = oklusi ringan, 3 = okluasi sedang,
4 = oklusi berat dan 5=kalsifikasi pembuluh darah.
c. Processing
Processing merupakan kegiatan memproses data agar data yang sudah
dimasukkan dapat dianalisis. Pemprosesan data dilakukan dengan cara
mengisi data tekanan darah sistolik pada kolom yang telah ditentukan
kemudian diaplikasikan dalam rumus perhitungan ABI dan dari hasil
nilai ABI dianalisis dengan risiko terjadinya luka diabetik.
d. Cleaning
Cleaning merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah
dimasukkan apakah ada kesalahan atau tidak
2. Analisa data
a. Analisa Univariat
Menurut Notoatmodjo (2012) menjelaskan, analisa univariat bertujuan
untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap variabel
penelitian. Pada umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan
distribusi frekuensi dan persentasi dari setiap variabel. Pada penelitian
analisis univariat yang diteliti adalah nilai ABI pasien DM 2.
b. Analisa Bivariat
Menurut Notoatmodjo (2012) menjelaskan, analisa bivariat yaitu
analisa yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga
berhubungan atau berkorelasi. Dalam penelitian ini di lakukan pada
variabel independen yaitu nilai Ankle Brachial Index(ABI) terhadap
variabel dependen yaitu risiko luka diabetik. Teknik analisis data
pada penelitian ini menggunakan uji Chi Square untuk menguji
tingkat kemaknaan statistik antara nilai ankle brachial index dengan
kejadian diabetic foot ulcer pada penderita DM tipe 2. Data yang
sudah diperoleh pada penelitian ini akan diolah secara komputerisasi
( Dharma, 2011).
Tabel 3.3
Tabel Uji Chi Square
Risiko luka N P
Tidak Risiko luka Value
berisiko
ABI luka
ABI 0,9-1,3 =normal
ABI 0,7- 0,9=oklusi ringan
Keterangan:
N = total pasien
P Value = nilai p
DAFTAR PUSTAKA
Berbasis, D., Dan, L., Sebagai, E., & Monitoring, A. (2016). Jurnal ipteks
terapan, 1, 199–209. https://doi.org/10.22216/jit.2016.v10i2.440
Defronzo, R. A. (n.d.).2009. From the Triumvirate to the Ominous Octet : A New
Paradigm for the Treatment of Type 2 Diabetes Mellitus, 773–795.
https://doi.org/10.2337/db09-9028
Gerhard-Herman, M. D., Gornik, H. L., Barrett, C., Barshes, N. R., Corriere, M.
A., Drachman, D. E., … Walsh, M. E. (2017). 2016. AHA/ACC Guideline
on the Management of Patients With Lower Extremity Peripheral Artery
Disease: Executive Summary: A Report of the American College of
Cardiology/American Heart Association Task Force on Clinical Practice
Guidelines. Journal of the American College of Cardiology, 69(11), 1465–
1508. https://doi.org/10.1016/j.jacc.2016.11.008
Gitarja, W. S. (2008). Perawatan Luka Diabetes. (T. W. Publishing, Ed.) (Seri
Peraw). bogor: WOCARE INDONESIA.
Huang, Y., Ogurtsova, K., Fernandes, R., Cavan, D., Makaroff, L. E., Shaw, J., &
Cho, N. H. (2015). IDF Diabetes Atlas estimates for the global diabetes
prevalence of adults aged 18 to 99 years, (1671), 1671.
International Diabetes Federation (IDF). 2011. IDF Diabetes Atlas Fifth edition
(Januari 2011).
Ilmiah, K. T., Kesehatan, K., Indonesia, R., Kesehatan, P., Tanjungkarang, K.,
Studi, P., & Kotabumi, K. (2014). Gambaran Nilai Ankle Brachial Index (
Abi ) Penderita Dm Tipe 2 Di Puskesmas Kotabumi Ii Kabupaten Lampung
Utara Tahun 2014 Oleh : Imam Budi Pratomo, 1–37.
World Health Organization (WHO). 2017. Diabetes On The Rise. ( Januari 2017).
(pp. 1–2).
J.M. Black & J.H. Hawks. (2009). Medical Surgical Nursing : Clinical
Management for Positive out comes. (eight edit). Singapore: Elsevier
Saunders.
Kale, E. D., Akoit, E. E., Risiko, A., Kaki, L., Pada, D., Dm, P., & Poliklinik, D.
(2015). Analisis risiko luka kaki diabetik pada penderita dm di poliklinik dm
dan penyakit dalam. Jurnal Info Kesehatan, 14(Dm), 1006–1018.
Kelana Kusuma Dharma. (2011). Metodologi Penelitian Keperawatan (edisi revi).
Jakarta: Trans Info Media.
Kesehatan, P., & Riau, P. 2015. Profil Kesehatan Provinsi Riau.
Kristiani, A. L., Sumangkut, R. M., Limpeleh, H. P., Bedah, B., Bagian, S.,
Vaskuler, B., & Prof, R. (n.d.). Hubungan Ankle Brachial Index Dengan
Keparahan Ulkus Pada Penderita Kaki Diabetik, (Dm), 171–177.
Medis, R. (n.d.). RS Santa Maria 2016. Pekanbaru.
Nathan, D. M., Balkau, B., Bonora, E., Borch-Johnsen, K., Buse, J. B., Colagiuri,
S., … Kahn, R. (2009). International expert committee report on the role of
the A1C assay in the diagnosis of diabetes. Diabetes Care, 32(7), 1327–
1334. https://doi.org/10.2337/dc09-9033
Notoatmodjo, S. (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Of, S., & Carediabetes, M. (2017). STANDARDS OF MEDICAL CARE IN
DIABETES — 2017 Standards of Medical Care in Diabetes d 2017,
40(January).
Pasien, I., & Melitus, D. (2016). Jurnal ipteks terapan, 2, 155–164.
RISET KESEHATAN DASAR. Penelitian, B., & Pengembangan, (2013).
PERKENI. (2015). Konsensus Pencegahan dan pengelolaan diabetes.
Permenkes. (2013). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75
Tahun 2013 Tentang Angka Kecukupan Gizi Yang Dianjurkan Bagi Bangsa
Indonesia. Menkes RI, 1–10.
Potier, L., Khalil, C. A., Mohammedi, K., & Roussel, R. (2011). Use and Utility
of Ankle Brachial Index in Patients with Diabetes. European Journal of
Vascular & Endovascular Surgery, 41(1), 110–116.
https://doi.org/10.1016/j.ejvs.2010.09.020
Resnick, H. E., Lindsay, R. S., Mcdermott, M. M., Devereux, R. B., Jones, K. L.,
Fabsitz, R. R., & Howard, B. V. (2014). Relationship of High and Low Ankle
Brachial Index to All-Cause and Cardiovascular Disease Mortality.
https://doi.org/10.1161/01.CIR.0000112642.63927.54
RS Kirsner, M. F. (2010). the Standard of care for evaluation and treadment of
diabetic foot ulcers.
Sudigdo Sastroasmoro & Sofyan Ismael. (2011). Dasar-dasar Metodologi
Penelitilian Klinis (Edisi ke 4). Jakarta: CV. Sagung Seto.
Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Pendidikan Kuantitatif, Kuantitatif dan
R&D. Bandung: Alfabeta.
Sumangkrut, S., Supit, W., & Onibala, F. (2013). Hubungan Pola Makan Dengan
Kejadian Penyakit Diabetes Mellitus Tipe-2 Di Poli Interna BLU. RSUP.
Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Ejournal Keperawatan (E-Kp), 1(1), 1–6.
Retrieved from
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jkp/article/view/2235/1792
World Health Organization (WHO). (2016). GLOBAL REPORT ON
DIABETES.