Anda di halaman 1dari 10

BAB V

PEMBAHASAN

A. Interpretasi Hasil
Penelitian tentang hubungan ankle brachial index (ABI) dengan risiko luka
diabetik pasien Diabetes Melitus (DM) tipe 2 yang telah dilakukan di RS Santa
Maria diteliti terhadap 55 responden pasien DM tipe 2 di rawat inap, rawat jalan
dan pasien rawat jalan yang mengikuti senam DM setiap hari sabtu pagi di RS
Santa Maria. Penelitian dilakukan oleh peneliti secara langsung. Dari hasil
penelitian sudah disajikan dalam bentuk tabel pada Bab IV hasil penelitian. Pada
bab ini akan membahas tentang hasil penelitian.
1. Analisa Univariat
a. Data demografi
1) Umur
Berdasar hasil penelitian, karakteristik responden berdasarkan umur
diperoleh bahwa pasien DM tipe 2 banyak diderita pasien umur 45-54 tahun
dan umur 55-64 tahun masing-masing sebanyak 29,1%. Penderita DM ketiga
terbanyak berdasar hasil penelitian adalah umur 65-74 tahun sebanyak 18,2
%. pasien dengan rentang usia 15-24 tahun dan 25-34 tahun adalah rentang
umur dengan jumlah pasien DM paling kecil yaitu masing-masing 1,8%.
Hal ini sesuai dengan laporan International Diabetes Federation (IDF)
bahwa angka pasien DM meningkat pada usia 19-74 tahun dan kelompok usia
70-74 tahun angka kejadian lebih tinggi sebanyak 19,4% diikuti kelompok
usia 55-59 tahun (Huang et al., 2015). American Diabetes Asosiation
(ADA), 2017) menjelaskan bahwa usia > 45 tahun berisiko mengalami
penyakit DM tipe 2, hal tersebut akan lebih mudah jika ada faktor pendukung
seperti obesitas, riwayat keluarga mengalami sakit DM dan kurang aktivitas
fisik.
Umur pasien di atas 45 tahun sangat berisiko menderita DM tipe 2,
Menurut WHO (2016) menyatakan bahwa dengan bertambahnya umur
kemampuan jaringan mengambil glukosa darah semakin menurun dan

38
39

biasanya pasien di atas umur 40 tahun. Pasien di atas 40 tahun dianjurkan


melakukan pemeriksaan gula darah puasa (GDP), tes toleransi glukosa oral
(TTGO) dan tes gula darah sewaktu (GDS). Jika hasil pemeriksaan normal
sebaiknya diulang setiap 3 tahun, kecuali kelompok prediabete pemeriksaan
diulang tiap 1 tahun. Berdasar penelitian Gratia, dkk tahun 2015
menunjukkan hubungan bermakna antara umur dan kejadian diabetes meltus
tipe 2 dengan p Value 0,017 dengan odd rasio (OR) sebesar 0,342.
Berdasarkan hasil penelitian Pratomo tahun 2014 distribusi pasien DM
tipe 2 berdasarkan umur, pasien DM tipe 2 paling banyak umur > 60 tahun
sebanyak 37,7%, urutan kedua umur 51-55 tahun sebanyak 25,5% dan ketiga
56-60 tahun sebanyak 18,4%. Sedangkan penelitian Kristiani tahun 2015 di
Manado umur terbanyak pasien DM tipe berada pada usia >50 tahun yaitu
sebanyak 76,3%. Berdasar hasil di atas dapat disimpulkan pasien DM
terbanyak adalah pasien diatas usia 50 tahun dan semakin bertambah pada
pasien dengan usia > 60 tahun.

2) Jenis kelamin
Total responden sebanyak 55 responden dengan total responden
perempuan 52,7% dan laki-laki 47,3% , rasio perempuan dan laki-laki 1,1 : 1.
Penelitian lain oleh Osei.et.al.(2013) di Amerika mendapatkan rasio
penyandang DM perempuan : laki- laki 2:1, sedangkan penelitian oleh
Choi et al (2014) di Korea Selatan mendapatkan rasio penyandang DM laki-
laki : perempuan dengan perbandingan 2:1. Hal-hal ini memperlihatkan
bahwa perbedaan jenis kelamin pada beberapa penelitian tidak sama
walaupun acuan teori menyatakan bahwa jenis kelamin laki-laki mempunyai
faktor risiko tinggi terhadap penyakit DM (American Diabetes Association
(ADA), 2017).
Laki-laki memiliki risiko lebih tinggi mengalami penyakit DM tipe 2
dibanding perempuan, walaupun demikian perempuan mempunyai juga
faktor risiko tinggi juga. Berdasarkan PERKENI tahun 2015 dari 10 faktor
risiko dua diantaranya hanya dimiliki oleh kaum perempuan saja yaitu
40

perempuan dengn riwayat melahirkan bayi dengan BBL > 4 kg atau


mempunyai rawayat diabetes gestasional dan perempuan dengan sindrom
polikistik ovarium.

3) Pendidikan
Berdasarkan pendidikan pasien, pasien DM tipe 2 di RS Santa Maria
pendidikan paling banyak adalah responden dengan tingkat pendidikan
menengah yaitu SMP dan SMA yaitu sebanyak 43,6%. Responden dengan
pendidikan rendah sebanyak 32,7% dan pendidikan tinggi sebanyak 23,7%.
Dalam kasus pasien DM pendidikan bukan faktor risiko pasien mengalami
sakit DM, tetapi pendidikan akan bermanfaat saat seseorang sudah terkena
penyakit DM maka latar belakang pendidikan akan membantu pasien dalam
pengelolaan dan pelaksanaan cara mencegah komplikasi DM dan menjaga
kestabilan gula darah.
Pasien DM tipe 2 dengan pendidikan tinggi akan mampu mengelola
makanan, aktivitas, obat dan cara mencegah komplikasi dengan baik karena
pasien dengan pendidikan tinggi diharapkan mempunyai pengetahuan lebih
tentang DM tipe 2 dibanding pasien dengan pendidikan rendah dan
menengah. Bagi pasien yang belum terdiagnosa DM tipe 2, pendidikan akan
bermanfaat dalam proses pemeriksaan penyaring untuk menegakkan diagnosa
DM jika pasien tersebut sudah mengalami tanda gejala klasik DM yaitu
poliuri, polidipsi dan polipagi. Pasien dengan gejala tersebut seharusnya
mempunyai kesadaran untuk memeriksakan diri ke rumah sakit atau klinik
terdekat untuk mendeteksi DM.

b. Data Khusus
1) Lamanya menderita DM tipe 2
Hasil penelitian rata-rata pasien menderita DM tipe 2 paling banyak
adalah 1-5 tahun yaitu sebanyak 38,2% dan selanjutnya < 1 tahun sebanyak
29,1%. Dari hasil tersebut dapat kita ketahui bahwa banyak pasien yang baru
terdiagnosa DM tipe 2. Hal ini sesuai dengan yang diungkapakan
41

International Diabetes Ferderation (IDF) tahun 2015 penderita DM dunia


terus meningkat setiap tahun, tahun 2015 berjumlah 415 juta jiwa dan
diperkirakan meningkat menjadi sekitar 642 juta penderita DM pada tahun
2040. World Health Organization (WHO,2017) menyebutkan jumlah pasien
DM tahun 2017 adaalah 422 juta jiwa.
Berdasarkan penelitian jumlah pasien yang menderita DM urutan ke 3
adalah pasien yang menderita DM selama 6-10 tahun sebanyak 12,7%,
selama 10-16 tahun sebanyak 10,9%, 11-15 tahun sebnayak 7,3% dan > 20
tahun sebanyak 1,8%. Penyakit DM adalah salah satu penyakit degenarif
yang tidak dapat sembuh tetapi dapat terkontrol. Sehingga penting bagi
pasien yang sudah terdiagnosa DM terutama DM tipe 2 untuk melakukan
anjuran Perkumpulan Endokrinologis Indonesia dalam Konsensus
Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia Tahun 2015
(PERKENI):, terdapat empat pilar penatalaksanaan DM, yaitu edukasi
pengetahuan tentang DM, terapi nutrisi medis untuk pengaturan diet, latihan
jasmani dan terapi farmakologis. Dalam hal ini peran tenaga kesehatan
terutama dokter dan perawat sangat diperlukan dalam pelaksanaan empat
pilar PERKENI agar sampai pada pasien DM untuk membantu menjaga
kualitas hidup pasien DM dan mencegah komplikasi akibat penyakit DM.

2) Penyakit penyerta DM tipe 2


IDF tahun 2015 menjelaskan komplikasi utama diabetes adalah
menyerang organ seperti mata, kesehatan mulut, jantung, ginjal, sistem saraf
dan menyebabkan luka diabetik. Dari hasil penelitian pasien dengan penyakit
DM tipe 2 di RS Santa Maria memiliki penyakit penyerta paling banyak
adalah penyakit hipertensi sebanyak 16,7%, stroke infark 12,7% dan TBC
9,09%.
Menurut AHA tahun 2016, paling kurang 65% penderita DM meninggal
akibat penyakit jantung koroner (PJK) atau stroke, selain itu dewasa yang
menderita DM berisiko dua sampai empat kali lebih besar terkena penyakit
jantung daripada orang yang tidak menederita DM. Mekanisme terjadinya
42

PJK pada DM tipe 2 sangat kompleks dan dikaitkan dengan adanya


aterosklerosis yang dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain hipertensi,
hiperglikemia, dislipidemia, merokok, riwayat keluarga dengan PJK, dan
obesitas. Dalam Penelitian Yanti, dkk dalam Yuliani tahun 2014 di RSUP
Dr. Kariadi Semarang tahun 2008 dalam penelitiannya melaporkan bahwa
faktor risiko yang terbukti berpengaruh terhadap kejadian PJK pada
penderita DM tipe 2 yaitu hipertensi, kadar trigliserida lebih
d a r i 150 mg/dl, kadar kolesterol HDL <45 mg/dl, dan kadar
glukosa darah puasa lebih dari 126 mg/dl. Dalam penelitian Yuliani, et.al
(2014) nilai p < 0,05 pada pasien hipertensi (p=0,007) sehingga dapat
disimpulkan terdapat hubungan yang bermakna hipertensi dengan penderita
DM tipe 2.
Dalam penelitian Antonious & Silliman pada tahun 2005 dalam
jurnalnya Northeast Florida Medicine mengungkapkan bahwa diabetes
melitus terbukti sebagai faktor risiko stroke dengan peningkatan risiko
relatif pada stroke iskemik 1.6 sampai 8 kali. Hal ini didukung dengan
penelitian dalam jurnal National Stroke Association yang menyatakan
orang dengan diabetes berisiko terkena stroke 4 kali dari pada seseorang
yang tidak menderita diabetes (Ramadany,et.al. 2013). Penelitian
Ramadany,et.al tahun 2013 mengungkapkan bahwa dari 135 responden
kejadian stroke iskemik dan kejadian bukan stroke iskemik terhadap DM
dan non DM, didapatkan hasil 71,21% penderita stroke iskemik dengan
DM. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi DM berpengaruh positif dan
merupakan faktor risiko stroke iskemik.
DM merupakan penyakit kronik yang berkaitan dengan gangguan fungsi
imunitas tubuh, sehingga penderita lebih rentan terserang infeksi, termasuk
tuberkulosis paru (TB paru). Penyebab infeksi RB paru pada penderita DM
adalah karena defek fungsi sel imun dan mekanisme pertahanan tubuh,
termasuk gangguan fungsi dan epitel pernapasan serta motilitas silia
(Wulandari, 2013). Penderita TB Paru dengan DM memiliki risiko kematian
lebih tinggi dibandingkan penderita TB paru tanpa DM selama terapi dan
43

juga peningkatan risiko kekambuhan setelah pengobatan dan penularan yang


lebih besar. Peningkatan prevalensi DM diikuti dengan prevalensi TB paru.
Penderita DM mempunya risiko 2 hingga 3 kali lebih tinggi untuk mengidap
penyakit TB paru dan banyak ditemukan pada usia lebih dari 40 tahun
(Wijaya, 2015)
3) Kadar gula darah sewaktu
WHO mengungkapkan proses pengukuran gula darah dibagi menjadi 3
nilai normal yaitu gula darah puasa(GDP) < 110 mg/dl, pra diabet 110-125
mg/dl. Gula darah setelah makan(GDPP) < 110 mg/dl, pra diabet 110-199
mg/dl dan gula darah sewaktu(GDS) adalah <85 mg/dl untuk sebelum makan
dan <110 mg/dl untuk menjelang tidur. Pre diabet jika GDS 85-130
mg/dl(WHO, 2016). Sedangkan menurut WHO diagnosis pasien DM jika
pasien mengalami gejala klasik DM yaitu poliuri, poliphagi, polidispi dan
memiliki GDS > 200 mg/dl atau GDP >126 mg/dl, atau GDPP > 200 mg/dl.
Dari hasil penelitian pasien DM yang dilakukan pengukuran ABI hasil
pengukuran GDS > 200 mg/dl sebanyak 54,5% dan sisanya memiliki GDS <
200 mg/dl sebanyak 45,5%.
Hasil penelitian saat pengukuran ABI responden juga dilakukan
pengukuran GDS. Hasil pengukuran beragam baik rawat inap dan rawat jalan.
Lebih dari 90% pasien rawat inap memiliki hasil GDS > 200 mg/dl saat
masuk rawat inap,sedangkan pasien rawat jalan memiliki GDS yang lebih
beragam karena pasien rawat jalan merupakan pasien yang rutin kontrol
untuk penyakit DM atau penyakit penyerta DM. Atau pasien yang memang
ada keluhan tetapi masih bisa diatasi di rawat jalan saja. Walaupun ada juga
pasien rawat jalan dengan hasil GDS > 200 mg/dl, tetapi hasil GDS pasien
rawat jalan tidak ada yang lebih dari 350 mg/dl. Hasil GDS bukan merupakan
indikasi utama pasien dirawat, pasien masuk rawat inap bisa karena penyakit
penyertanya seperti stroke atau hipertensi. Nilai ABI dengan hasil GDS juga
tidak selalu saling mendukung, GDS yang tinggi tidak selalu memiliki nilai
ABI rendah.
44

4) Nilai ABI
Pengukuran nilai ABI telah dikenalkan sejak tahun 1960, pengukuran
nilai ABI menjadi pemeriksaan sederhana untuk mendeteksi penyakit PAD.
ADA menganjurkan pemeriksaan ABI pada pasien diabetes terutama pasien
di atas 50 tahun atau menderita PAD atau mempunyai risiko penyakit
kardiovaskuler. Menurut Potier tahun 2011 nilai ABI dibawah normal dapat
menjadi tanda awal terjadinya proses eterosklerosis pada arteri ektremitas.
Berdasarkan hasil penelitian dari 55 responden, 70,9% hasil pengukuran
ABI normal yaitu 0,91-1,3, hasil ABI dengan oklusi ringan yaitu 0,7-0,9
sebanyak 23,6% dan sisanya 5,5% nilai ABI > 1,3 atau mengalami kalsifikasi
pembuluh darah. Berdasar jenis kelamin responden laki-laki sebanyak 26
pasien yang memiliki ABI normal 76,95, oklusi ringan 19,2% dan kalsifikasi
pembuluh darah 3,8%, sedangkan responden perempuan sebanyak 29 pasien
memiliki ABI normal 65,5%, ABI oklusi ringan 27,6% dan ABI dengan
kalsifikasi pembuluh darah 6,9%.
Berdasarkan hasil di atas dapat dilihat bahwa perempuan lebih banyak
memiliki ABI abnormal dibanding laki-laki, baik pada oklusi ringan maupun
pada kalsifikasi pembuluh darah. Perbandingannya adalah 1,3:1. Penelitian
Pratomo (2014) di Lampung, dari 98 pasien DM tipe 2 dengan jumlah pasien
yang memiliki nilai ABI abnormal sebanyak 22,5% juga mendapatkan hasil
bahwa perbandingan abnormal ABI yaitu Bordeline ABI pada pasien DM
Tipe 2 antara perempuan dan laki-laki adalah 1,3:1. Penelitian Najla, dkk.
Tahun 2016 di Pontianak mendapatkan hasil dari 80 responden didapatkan
nilai Abi abnormal lebih banyak daripada ABI normal yaitu sebanyak 51,25%
sedangkan yang normal sebanyak 48,75%.

2. Analisa Bivariat
Hasil penelitian yang telah dilakukan pada pasien DM tipe 2 untuk
mengetahui hubungan ABI dengan risiko luka diabetik diperoleh hasil berdasar uji
Chi Square dengan Pearson Chi Sguare adalah diperoleh nilai P adalah 0,000
(P < α dengan nilai α=0.05 ). Nilai P value kurang dari 0,05. Dari hasil tersebut
45

dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat hubungan bermakna antara nilai ABI
dengan risiko luka diabetik. Hasil ini sekaligus menjawab hipotesa bahwa H null
ditolak karena terdapat hubungan antara ABI dengan risiko luka diabetik. Dari
hasil penelitian dari 55 responden, 70,9% tidak berisiko mengalami luka diabetik
dan 29,1% pasien yang memiliki berisiko mengalami luka diabetik.
Berdasarkan definisi operasional risiko luka adalah jika pasien DM tipe 2
dengan nilai ABI abnormal yaitu ABI < 0,9 dan ABI > 1.3 dan memiliki satu
tanda gejala peripheral arterial disease (PAD). Gejala PAD menurut American
Asosiation Heart (AHA) adalah klaudikasio, nyeri saat istirahat, riwayat luka
yang sulit sembuh, nadi dorsalis pedis atau posterior tibialis tidak teraba atau
lemah, pucar dan kaki teraba dingin(Gerhard-Herman et al., 2017). PAD adalah
salah satu tanda aterosklerosis dan ini meningkat kejadiannya pada pasien DM.
Berdasar penelitian United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) pasien
DM tipe 2 berisiko mengalami PAD dibanding dengan pasien umum. Setiap
kenaikan 1% HbA1C , ada risiko 28% mengalami PAD (Potier et al., 2011).
Peripheral Arterial Disease (PAD) yaitu kondisi dimana terdapat plak di
pembuluh darah sehingga menyebabkan aliran darah dalam arteri yang mensuplai
darah ke otak, organ tubuh dan anggota tubuh menjadi terbatas (Resnick et al.,
2014). Karena aliran darah dalam arteri terbatas, sehingga perfusi darah ke perifer
juga terbatas, hal tersebut sebagai salah satu faktor risiko terjadi luka diabetik
pada pasien DM tipe 2. Arteri perifer yang sering terganggu ialah arteri tibialis
dan arteri peroneal atau arteri fibula, terutama daerah antara lutut dan sendi kaki
(Gerhard & Herman et al., 2017). Pasien di RS Santa Maria dengan DM tipe 2
yang memiliki gejala PAD sebanyak 36,4%. Gejala tersebut yang paling banyak
ditemukan adalah klaudikasio, nyeri saat istirahat , nadi dorsalis pedis atau
posterior yang teraba lemah dan riwayat luka yang sulit sembuh. Beberapa pasien
mengungkapkan bahwa pernah mengelami luka kecil tetapi sampai hampir satu
bulan tidak sembuh.
Pasien dengan ABI abnormal berdasar hasil penelitian hampir 100% memiliki
satu atau lebih gejala PAD. AHA tahun 2016 menganjurkan untuk mendiagnosa
pasien yang dicurigai PAD yang mempunya hasil pemeriksaan fisik sebagia salah
46

satu tanda PAD harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan ABI. Pemeriksaan ABI
pada pasien DM untuk mendeteksi PAD mempunyai nilai sensitas 100% dan
spesifikasi 88% (Potier et al., 2011).
Berdasarkan penelitian Rahmaningsing (2016) jumlah penderita diabetic
foot ulcer yang memiliki nilai ABI rendah sebanyak 10 orang (32,3%) dari
31 pasien, sedangkan pada pasien non diabetic foot ulcer sebagaian besar
memiliki nilai ABI normal sebanyak 30 orang (96,8%) dari 31 pasien. Hasil

analisis data didapatkan nilai p < 0,003 dengan nilai X2= dan OR= 14, 286.
Kristiani (2015) dalam penelitian yang berjudul hubungan ABI dengan tingkat
keperawahan ulkus DM didapatkan hasil Nilai ABI normal didapatkan paling
banyak yaitu pada 22 pasien (57,9%), diikuti oleh obstruksi vaskular sedang
(8 pasien - 21,1%), iskemi ringan (7 pasien -18,4%), dan hanya 1 pasien (2,6%)
dengan obstruksi vaskular berat. Pada penelitian ini nilai ABI normal banyak
didapatkan pada ulkus derajat 1 dan 3 (77,8% dan 75%), sedangkan obstruksi
vaskular berat hanya didapatkan pada ulkus derajat 5. Pengujian hubungan ABI
dan keparahan ulkus dianalisis dengan koefisien korelasi Spearman. Hasil yang
diperoleh ialah rs = - 0,388 dengan P = 0,008 yang menyatakan terdapat
hubungan bermakna antara ABI dengan keparahan ulkus. Makin rendah ABI
maka makin parah ulkus.
ADA tahun 2016 menganjurkan pasien DM dengan umur lebih dari 50 tahun
dilakukan pemeriksaan ABI untuk mendeteksi dini gejala PAD. Sesuai hasil
penelitian dari total pasien dengan ABI abnormal, 75% adalah pasien diabetes
dengan usia lebih dari 50 tahun dan 25% adalah pasien DM dengan usia kurang
dri 50 tahun. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa semua pasien diabetes
sebaiknya dilakukan pemeriksaan ABI guna mendeteksi gejala PAD dan tanda
oklusi pembuluh darah sehingga dapat membantu pasien diabetes dalam
melakukan pengelolaan tindakan untuk membuat nilai ABI kembali normal
sehingga aliran darah kembali normal. Aliran darah yang normal dapat mencegah
terjadinya sumbatan darah yang menimbulkan risiko tinggi terjadinya luka
diabetik dan memperparah luka jika pasien sudah mengalami luka diabetik.
47

B. Keterbatasan Penelitian
1. Pengambilan populasi dan sampel
Penelitian ini menggunakan populasi dengan menghitung jumlah pasien rawat
inap, rawat jalan dan pasien rawat jalan yang mengikuti senam DM di RS Santa
Maria. Peneliti mengalami keterbatasan dalam melakukan penelitian pada pasien
rawat jalan di RS Santa Maria karena pasien rawat jalan RS Santa Maria sudah
terbiasa datang dengan cepat, diperiksa dan penyiapan obat juga cepat sehingga
peneliti kesulitan untuk meminta waktu atau izin pada pasien untuk dilakukan
penelitian terutama pengukuran ABI yang harus berbaring dan menunggu waktu 5
menit berbaring telentang. Beberapa responden menolak dilakukan penelitian
karena sudah buru-buru ingin pulang. Sehingga selanjutnya lebih baik bagi
penelitian selanjutnya untuk mengambil sampel dari pasien rawat inap saja.
2. Tehnik pengukuran ABI
Tehnik pengukuran ABI adalah dengan mengukur tekanan sistole pada kedua
ankle dan kedua brachial. Beberapa responden minta agar diukur hanya satu sisi
saja karena terlalu lama dalam pengukuran. Terkadang responden merasa bosan
saat berbaring 10 menit yang merupakan salah satu prosedur dalam pemeriksaan
ABI, sehingga peneliti harus memberikan pengertian terhadap responden.

Anda mungkin juga menyukai