Anda di halaman 1dari 17

PENANGGULANAGN BENCANA BERBASIS HOSPITAL

DISUSUN OLEH:

1. Dewi pangestuti
2. Katarina Hepitawati
3. Merry Lusia
4. Murgiyati
5. Maria Bernadeta Beto

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PAYUNG NEGERI
PEKANBARU
2018

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah dengan judul Risiko Bencana Lantai 2 RS Santa Maria ini dapat
selesai. Penulis juga mengucapkan terima kasih atas bantuan dari semua pihak
baik dalam bentuk materi maupun pikirannya. Harapan penulis semoga makalah
ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, untuk itu
kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar
menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman, penulis yakin


masih ada kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu penulis sangat
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Pekanbaru, Juli 2018

Penulis

2
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rumah sakit memiliki fungsi kritis dalam manajemen bencana, demikian
yang dikatakan Robert Powers (Pinkowski, 2008). Konferensi PBB tentang
Pengurangan Bencana menegaskan bahwa rumah sakit wajib mengoperasikan
beberapa fasilitas segera setelah bencana untuk membatasi dampak dari bencana
hilangnya nyawa. Mereka memiliki fungsi kritis yang tidak dimiliki bisnis lain.
Artinya, jika mereka gagal untuk berfungsi selama bencana, mereka akan
memberikan kontribusi yang signifikan terhadap dampak bencana di masyarakat.
Rumah sakit dalam kondisi normal saat ini sudah terkendala dengan
kurangnya fasilitas dan sarana-prasarana. Oleh karena itu untuk dapat beroperasi
secara baik pada saat bencana, pertama-tama yang harus dilakukan adalah
memberikan mitigasi, perencanaan dan kesiapan prioritas yang mereka butuhkan,
baik menyangkut peralatan, keahlian staf pelaksana, dana untuk mengimbangi
biaya selama penanganan bencana serta kewenangan yang diberikan kepada
rumah sakit untuk melaksanakan implementasi program penanggulangan bencana.
Perencanaan untuk lonjakan kapasitas juga penting dalam rangka mengantisipasi
masuknya pasien ke rumah sakit baik segera setelah bencana atau dalam kasus
bencana biologis, ketika mulai terjadi gejala pada korban.
Rumah sakit merupakan area publik yang rentan dengan bencana. Di dalam
RS banyak alat kesehatan dan peralatan yang sangat rentan terhadap bencana
seperti risiko kebakaran karena kebakaran lata kesehatan atau korsleting listrik.
Rumah sakit merupakan salah satu lembaga publik yang terlibat langsung dalam
merespon suatu bencana yang terjadi dalam wilayah kerjanya. Begitu juga dengan
ruangan Lantai 2 RS Santa Maria yang terdiri dari ruangan intesif, ruang operasi
dan ruang poli spesialis. Sangat rentas terjadi bencana karena alat kesehatan yang
terdapat di dalamnya. Dari hal di atas makan penulis membuat makalah dengan
judul Analisis Bencana Lantai 2 RS Santa Maria.

3
B. Tujuan
1. Mengetahui risiko bencana yang terjadi di lantai 2 RS Santa Maria
2. Mengetahui Managemen risiko di RS Santa Maria
3. Mengetahui Maping Bencana di RS Santa Maria

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Manajemen Risiko Bencana RS


Rumah sakit dalam kondisi normal saat ini sudah terkendala
dengan kurangnya fasilitas dan sarana-prasarana. Oleh karena itu untuk
dapat beroperasi secara baik pada saat bencana, pertama-tama yang harus
dilakukan adalah memberikan mitigasi, perencanaan dan kesiapan
prioritas yang mereka butuhkan, baik menyangkut peralatan, keahlian staf
pelaksana, dana untuk mengimbangi biaya selama penanganan bencana
serta kewenangan yang diberikan kepada rumah sakit untuk melaksanakan
implementasi program penanggulangan bencana. Perencanaan untuk
lonjakan kapasitas juga penting dalam rangka mengantisipasi masuknya
pasien ke rumah sakit baik segera setelah bencana atau dalam kasus
bencana biologis, ketika mulai terjadi gejala pada korban.
Dalam konteks perencanaan penanganan bencana oleh rumah sakit,
Robert Powers menekankan perlunya fokus terhadap beberapa item untuk
memastikan bahwa mereka benar siap dalam kegiatan-kegiatan mitigasi
seperti perlunya keberlanjutan rumah sakit tanpa bantuan dari luar selama
72 jam pasca-bencana; waktu standar yang diperkirakan untuk
memperoleh bantuan dari luar. Upaya mitigasi Rumah Sakit dimulai
dengan penilaian kerentanan bahaya. Hal ini memungkinkan rumah sakit
untuk mendapatkan kesiapan dengan biaya yang rendah. Rumah sakit
tidak perlu memiliki rencana yang berbeda untuk setiap jenis bencana,
hanya perlu satu rencana yang diperlukan untuk prosedur penanganan
semua jenis bahaya. Hal ini juga untuk menyederhanakan respon dimana
setiap staf diajarkan hanya salah satu cara untuk tampil saat bencana dan
tidak memiliki waktu untuk berhenti dan membuat penentuan mana cara
untuk merespon. Dengan demikian, kebingungan berkurang dan ada

5
penurunan risiko staf melakukan prosedur yang salah pada kondisi
bencana tersebut.

B. Mitigasi Rumah Sakit


Rumah sakit memiliki dua cara dalam merespon bencana yaitu:
1. Mitigasi struktural
Mitigasi struktural di rumah sakit direncanakan untuk meningkatkan
kesinambungan struktur yang ada melalui langkah-langkah seperti
perencanaan bangunan rumah sakit tahan gempa untuk membatasi
kerusakan pada fasilitas saat gempa bumi atau merancang sebuah pintu
masuk gawat darurat yang memiliki kemampuan untuk dengan mudah
diperluas dan menangani masuknya sebagian besar pasien yang tiba
dengan kendaraan pribadi saat bencana.
2. Mitigasi non struktural
Mitigasi non Struktural oleh rumah sakit dapat dilakukan dengan
pengaturan-pengaturan peran setiap orang yang terlibat dalam pelayanan
kesehatan saat bencana. Mitigasi non struktural juga dapat berupa apa
yang disebut jalur hidup. Sistem yang disebut sebagai jalur hidup ini
penting dalam menjaga keberlanjutan fasilitas. Lifelines menjaga
hubungan yang diperlukan dari rumah sakit ke luar berbagai entitas atau
pemasok bahan. Ini termasuk komunikasi, utilitas, dan transportasi.
Komunikasi bisa datang dari management darurat lokal, pelayanan medis
darurat, atau departemen kesehatan dan diperlukan untuk menjaga agar
para pejabat rumah sakit tahu tentang situasi saat ini. Komunikasi juga
diperlukan untuk mengisi sumber daya yang minim dan mendiskusikan
pilihan regional dengan rumah sakit lainnya. Utilitas, seperti listrik dan
air, harus direncanakan dan dikelola dengan baik.
Latihan sendiri bagi rumah sakit merupakan strategi lain kesiapan bencana
yang penting. Latihan dapat dilakukan bervariasi mulai dari berbasis kertas
atau meja untuk simulasi maupun skala penuh dengan pasien yang
sebenarnya. Perencanaan untuk latihan sering tidak dilakukan sebab staf

6
apatis berpartisipasi. Latihan juga sering gagal mensimulasikan kondisi
nyata. Latihan yang dijalankan dengan benar, adalah strategi penting untuk
pengukuran dan meningkatkan kesiapan rumah sakit. Evaluator harus berasal
dari instansi luar, sehingga ada kebebasan untuk proses dan prosedur kritik.
Evaluasi harus memberikan informasi yang relevan yang memandu rumah
sakit dalam perubahan apa yang perlu terjadi pada kesiapsiagaan dan respon
untuk benar-benar efisien dalam kondisi yang nyata.
Koordinator utama bencana juga harus bekerja untuk mendaftar dan mendidik
pelaku kunci dari seluruh rumah sakit. Para pelaku kunci adalah pemimpin
administrasi seperti bagian gawat darurat, radiologi, pengendalian infeksi,
laboratorium dan teknik untuk memperoleh kesiapan seluruh rumah sakit.
Komite keamanan rumah sakit atau manajemen komite khusus darurat adalah
wadah untuk membawa semua pelaku bersama-sama dan memastikan bahwa
mereka berbagi visi bersama untuk benar-benar siap menanggapi peristiwa
bencana.
Rumah sakit tidak akan berfungsi sendirian pada saat bencana sehingga
administrator rumah sakit juga harus melihat melampaui rumah sakit.
Interaksi antar komunitas adalah penting karena rumah sakit harus tahu dan
membantu membimbing masyarakat untuk memberikan respon terhadap
bencana sehingga operasi rumah sakit berjalan sesuai dengan rencana sebab
untuk respon optimal dan keberlanjutan rumah sakit selama bencana secara
langsung tergantung pada sumber daya dan dukungan yang diterimanya dari
lembaga masyarakat lainnya. Sebuah komponen kunci dari interaksi
masyarakat adalah respon regional. Rumah Sakit menggunakan rencana
saling membantu dan respon regional berencana untuk saling mendukung.
Rumah sakit di luar daerah dampak bencana berpotensi bisa mengirim
dukungan personel dan peralatan dalam beberapa jam ke rumah sakit.
Sten Lennquist (2012) secara lebih rinci mengemukakan berbagai hal yang
berkaitan dengan respon rumah sakit terhadap bencana, di antaranya adalah
kebutuhan akan perencanaan, proses dan level alert, koordinasi dan komando,
kartu tindakan, persiapan rumah sakit, penerimaan korban, pengobatan

7
lanjutan untuk pasien yang terluka, registrasi pasien, pusat informasi rumah
sakit, manajemen media, suplai, fungsi-fungsi teknis, komunikasi, dukungan
psikologis dari lingkungan sosial, kejadian-kejadian terutama yang
melibatkan rumah sakit, jenis kejadian yang spesial dan tahap pemulihan.
Rincian dimaksud dapat dipakai sebagai acuan untuk menilai seberapa besar
tingkat kesiapan rumah sakit dalam menghadapi bencana.

C. Implementasi Kesiapan RS di Indonesia


1. Konstruksi bangunan rumah sakit yang kita miliki di Indonesia.
Semestinya sebagai negara yang berada di antara dua lempeng benua
dengan konsekwensi rawan terhadap gempa tektonik; ditambah lagi
wilayah kita juga terdiri dari gugusan gunung berapi yang juga rawan
terhadap gempa vulkanik, konstruksi bangunan rumah sakit harus
didesain untuk tahan terhadap gempa bumi sebab dalam kondisi semacam
itu, rumah sakit harus tetap siap menampung para korban bencana. Yang
terjadi adalah bahwa dalam desain konstruksi rumah sakit kita, aspek
kesiapan terhadap bencana diabaikan, bahkan tidak masuk dalam
pertimbangan kebijakan. Ada banyak faktor yang mengakibatkan
pengabaian terhadap pertimbangan kebencanaan dalam perencanaan
konstruksi rumah sakit kita, misalnya karena alasan biaya, alasan politis,
alasan bisnis dan sebagainya.
2. Daya tampung
Rumah sakit belum siap menerima lonjakan pasien akibat bencana
sehingga banyak korban yang tidak dapat ditangani dengan semestinya,
bahkan mengakibatkan hilangnya nyawa. Dalam kondisi normal saja
sering terjadi penolakan terhadap pasien karena alasan daya tampung
yang minim, bagaimana nanti jika terjadi lonjakan drastis sebagai akibat
suatu bencana? Hal ini harusnya dapat diatasi melalui sistem komunikasi
yang baik, namun dalam hal komunikasipun, kita belum memiliki standar
sistem komunikasi rumah sakit yang baku yang dapat diberlakukan secara

8
umum untuk semua rumah sakit baik dalam keadaan normal maupun
dalam kondisi khusus ketika terjadi bencana.
3. Komando dan koordinasi di dalam rumah sakit dalam penanganan
bencana.
Hal ini memiliki kaitan erat dengan sistem dan alat komunikasi internal
yang sangat minim dan tidak didesain khusus untuk kondisi bencana
sehingga ketika bencana terjadi, sistem dan peralatan komunikasi tersebut
masih tetap berfungsi. Koordinasi juga berkaitan dengan pembagaian
peran masing-masing komponen dalam rumah sakit serta latihan-latihan
bagi setiap orang yang berperan di dalamnya. Hal-hal semacam ini jarang
dilakukan di rumah sakit kita.
4. Alur evakusi
Alur evakuasi jika terjadi bencana di setiap unit dan setiap lantai RS.
Alur evakuasi dijelaskan kepada semua pasien dan keluarga pasien.

D. Faktor Resiko dan Hazard Di Rumah Sakit


Istilah hazard atau potensi bahaya menunjukan adanya sesuatu yang potensial
untuk mengakibatkan cedera atau penyakit, kerusakan atau kerugian yang
dapat dialami oleh tenaga kerja atau instansi. Sedang kemungkinan potensi
bahaya menjadi manifest, sering disebut resiko. Baik “hazard” maupun
“resiko” tidak selamanya menjadi bahaya, asalkan upaya pengendaliannya
dilaksanakan dengan baik. Ditempat kerja, kesehatan dan kinerja seseorang
pekerja sangat dipengaruhi oleh (effendi, Ferry. 2009: 233):
1. Beban Kerja berupa beban fisik, mental dan sosial sehingga upaya
penempatan pekerja yang sesuai dengan kemampuannya perlu
diperhatikan. Beban kerja yang terlalu berat atau kemampuan fisik yang
terlalu lemah dapat mengakibatkan seorang pekerja menderita gangguan
atau penyakit akibat kerja.
Kerja yang banyak tergantung pada pendidikan, keterampilan, kesegaran
jasmani, ukuran tubuh, keadaan gizi dan sebagainya. Kapasitas kerja
yang baik seperti status kesehatan kerja dan gizi kerja yang baik serta

9
kemampuan fisik yang prima diperlukan agar seorang pekerja dapat
melakukan pekerjaannya dengan baik. Kondisi atau tingkat kesehatan
pekerja sebagai modal awal seseorang untuk melakukan pekerjaan harus
pula mendapat perhatian. Kondisi awal seseorang untuk bekerja dapat
dipengaruhi oleh kondisi tempat kerja, gizi kerja, dll.
2. Lingkungan Kerja sebagai beban tambahan, baik berupa faktor fisik,
kimia, biologik, ergonomik, maupun aspek psikososial. Kondisi
lingkungan kerja (misalnya, panas, bising, berdebu, zat-zat kimia, dll)
dapat menjadi beban tambahan terhadap pekerja. Beban-beban tambahan
tersebut secara sendiri atau bersama-sama dapat menimbulkan gangguan
atau penyakit akibat kerja.

Jenis-jenis safety hazard, antara lain :


1. Hazard Fisik
a. Radiasi Ultraviolet
Sinar Ultraviolet digunakan pada biological safety cabinet dalam
menyiapkan obat-obatan kanker dan sering juga untuk mencuci
hamakan ruangan yang terkontaminasi dengan virus, misalnya
campak, varisella.
b. Laser
Sinar laser digunakan diruang operasi minor dan mayor untuk
proteksi dan kateterisasi jaringan. Pernapasan umumnya terjadi jika
proses tersebut dilaksanakan secara kurang tepat.
Efek yang ditimbulkan : kulit terbakar, kebutaan, iritasi mata dan
infeksi saluran pernapasan dan mual.
c. Radiasi Ionisasi
Pernapasan dapat terjadi pada pekerja di radiologi yang tidak
menggunakan alat pelindung diri (APD) dan berada didekat
pesawat rontgen. Derajat pernapasan tergantung pada jumlah
radiasi, lama pernapasan, jarak sumber radiasi dan jenis alat
pelindung diri yang digunakan. Spesimen jaringan maupun sekret

10
manusia yang mengandung isotop radioaktif dapat berbahaya. Efek
yang ditimbulkan: eritema dan dermatitis, mual,muntah, diare dan
dapat menyebabkan kematian. Efek kesehatan kronik dapat
menimbulkan kangker kulit, tulang, kelainan genetik, dan dapat
terjadi cacat bawaan.
d. Radiasi Magnetik
Berasal dari instrumentasi resonasi magnetik yang berasal dari
ruang MRI
2. Mechanical Hazard, bahaya yang terdapat pada benda atau proses
yang bergerak yang dapat menimbulkan dampak, seperti tertusuk,
terpotong, terjepit, tergores, terbentur, dan lain-lain
3. Electrical Hazard, merupakan bahaya yang berasal dari arus listrik.
4. Chemical Hazard, bahaya bahan kimia baik dalam bentuk gas, cair,
dan padat yang mempunyai sifat mudah terbakar, mudah meledak, dan
korosif.
5. Hazard Biologis
Hazard ini seluruhnya berasal dari makhluk hidup dan berdampak
pada kesehatan, berupa jamur, bakteri, virus.
6. Hazard ergonomi yang termasuk didalam kategori ini antara lain
desain
tempat kerja yang tidak sesuai, postur tubuh yang salah saat
melakukan aktifitas, desain pekerjaan yang dilakukan, pergerakan
yang berulang-ulang.
7. Hazard Mekanis, semua jenis bahaya yang berasal dari benda-benda
bergerak atau bersifat mekanis. Contoh : mesin-mesin pemotong,
bahaya getar
E. Tahapan proses manajemen risiko
1. Penetapan ruang lingkup
Menetapkan tujuan, kebijakan, strategi penerapan, metode atau cara
pelaksanaan manajemen risiko, serta pencapaian yang ditargetkan oleh
rumah sakit.

11
2. Identifikasi risiko
Melakukan identifikasi terhadap risiko yang akan dikelola, mencari tahu
jenis hazardapa saja yang mungkin menimbulkan risiko, bagaimana dan
mengapa risiko tersebut muncul.
3. Analisis risiko
Melakukan estimasi risiko dengan mengkombinasikan faktor probabilitas
ataulikelihood dan konsekuensi, dengan mempertimbangkan upaya
pengendalian risiko yang telah dilakukan.
4. Evaluasi risiko
Membandingkan tingkat risiko yang didapat dalam proses analisis risiko
dengan kriteria evaluasi yang digunakan, menentukan apakah suatu risiko
dapat diterima atau tidak.
5. Pengendalian risiko
Melakukan penanganan atau pengendalian terhadap risiko, terutama risiko
dengan tingkat tinggi dengan mempertimbangkan aspek efektifitas dan
efisiensi
6. Monitoring dan review
Melakukan pemantauan dan pengkajian utama terhadap tingkat risiko,
serta efektifitas program, penanganan risiko yang telah dilakukan agar
selanjutnya dapat ditentukan tindakan koreksi dan perbaikan yang perlu
dilakukan.
7. Komunikasi dan konsultasi
Melakukan komunikasi dua arah antara pihak manajemen dan pekerja
untuk mendapatkan masukan mengenai implementasi pengelolaan risiko
di tempat kerja guna perbaikan system pengelolaan risiko tersebut.

12
BAB III
RISIKO BENCANA RS SANTA MARIA

13
A. Ruang Intensif (ICU, ICCU, HCU, SU)
1. Risiko bencana
Kebakaran akibat korsleting listrik atau kebakaran karena kossletik alat
kesehatan. Alat kesehatan di unit intensif antara lain syringe pump, infus
pump, ventilator, monitor, dll.
2. Mapping
1. Alur evakuasi
Alur evakuasi jika terjadi kebakaran mengikuti alur evakuasi. Alur
mengikuti denah mapping RS yang ada di atas. Alur evakuasi keluar
RS melalui pinte terdekat dan dilarang menggunakan lift. Dari
instensif bisa keluar RS melalui RAM atau tangga depan lift tengah
sebelah stroke unit. Jika pasien dan keluarga di poli spesialis maka
pasien dan keluarga dapat keluar melalui pintu utama keluar RS
depan pendaftaran poli spesialis.
2. Titik kumpul
a. Titik kumpul pasien yang melalui pintu depan poli spesialis
adalah depan IGD
b. Titik kumpul pasien yang keluar melalui tangga sebelah stroke
unit dan RAM di lapangan sebelah Gereja Maria Fatima
3. APAR
APAR atau alat pemadam api ringan tersedia di setiap ruang unit:
a. unit intensif : ICU, ICCU, HCU, SU.
b. Ruang operasi
c. Laboratorium
d. Poli spesialis di sebelah satelit farmasi sebelah kanan dan kiri
e. Poli kulit
4. Hydran
Hydran terdapat di depan Stroke Unit
3. Mitigasi Bencana RS
1. Mitigasi non struktural lengkapi yaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
2. Mitigasi struktural

14
3.

B. Ruang OK ( Kamar Operasi)


1.

C. Poli Spesialis

1. Risiko bencana
2. Mapping
3. Mitigasi Bencana

D. Laboratorium
1. Risiko bencana
2. Mapping
3. Mitigasi Bencana

15
DAFTAR PUSTAKA

A.W. Copburn dkk. 1994. Mitigasi Bencana untuk Program Pelatihan Manajemen
Bencana. UNDP

Pan American Health Organization. 2006. Bencana Alam, Perlindungan Kesehatan


Masyarakat. Terjemahan oleh Munaya Fauziah. Jakarta: EGC.

Kepmenkes No. 145/Menkes/SK/I/2007 tentang Pedoman Penanggulangan Bencana


Bidang Kesehatan

Academia. Makalah Konsep Dasar Hazard Dan Pengendaliannya. 10 September.


(akses:https://www.academia.edu/8779943/MAKALAH_Konsep_Dasar_K3_Haz
ard_dan_Pengendaliannya
Anonim. Asuhan Keperawatan Kesehatan Kerja. 09 September. (akses
:http://www.tappdf.com/read/446175-asuhan-keperawatan-kesehatan-kerja-ners-
unair
Anonim. 2013. Asuhan Keperawatan. 09 September. (akses :
http://dinranudien.blogspot.co.id/2013/03/asuhan-keperawatan.html
Anonim. 2014. Risiko Dan Hazard Kasus Pengkajian. 11 September. (akses
:https://www.scribd.com/doc/312057056/Risiko-Dan-Hazard-Kasus-Pengkajian
Anonim. Kesehatan Dan Keselamatan Kerja. 09 September. (
akses:https://www.scribd.com/doc/216292944/Kesehatan-Dan-Keselamatan-Kerja
Anonim. 2015. Asuhan Keperawatan Kesehatan dan Keselamatan Kerja. 10 September.
(akses : https://www.scribd.com/doc/134878219/Asuhan-Keperawatan-
Kesehatan-Dan-Keselamatan-Kerja-k3

A. Pinkowski, Jack (Edt.); 2008. Disaster Management Handbook, CRC


Press. Boca Raton, Florida, USA.
B. Coppola, Damon P.;2007. Introduction to International Disaster
Management, Elsevier Inc. USA.
C. Beach, Michael; 2010. Disaster Preparedness and Management, F. A.
Davis Company, Philadelphia, USA.
D. Lennquist, Sten (Edt.);2012. Medical Response to Major Incidents and
Disasters, (A Practical Guide for All Medical Staf) ,Spri.

16
17

Anda mungkin juga menyukai