Asuhan Keperawatan Fraktur 1
Asuhan Keperawatan Fraktur 1
,MSN
DISUSUN OLEH
KELOMPOK 1
NANI HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan
Makalah ini yang Alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “Asuhan
Keperawatan Pada Fraktur”. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata , kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga
Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
KELOMPOK 1
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................2
DAFTAR ISI....................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................4
1.3 Tujuan..........................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................6
2.2 Etiologi........................................................................................................................6
2.3 Patofisiologi.................................................................................................................7
2.4 Klasifikasi....................................................................................................................8
2.8 Komplikasi.................................................................................................................15
2.9 Pengkajian.................................................................................................................17
BAB IV PENUTUP........................................................................................................61
4.1 Kesimpulan................................................................................................................61
4.2 Saran..........................................................................................................................61
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................62
EVIDENCE BASED......................................................................................................63
3
BAB I
PENDAHULUAN
Umumnya fraktur disebabkan oleh trauma atau aktivitas fisik dimana terdapat
tekanan yang berlebihan pada tulang. Fraktur lebih sering terjadi pada laki-laki
daripada perempuan dengan umur dibawah 45 tahun dan sering berhubungn dengan
olahraga, Pekerjaan atau luka yang disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor
(Ningsih, 2011).
4
k. Apa saja intervensi yang muncul pada pasien fraktur?
1.3 Tujuan
j. Untuk mengetahui dan memahami diagnosa apa saja yang muncul dari fraktur
5
BAB II
PEMBAHASAN
Fraktur merupakan istilah dari hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan, baik
yang bersifat total maupun sebagian. Secara ringkas dan umum, fraktur adalah
patah tulang yang disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan sudut
tenaga fisik, keadaan tulang itu sendiri, serta jaringan lunak di sekitar tulang akan
menentukan apakah fraktur yang terjadi lengkap atau tidak lengkap (Noor, 2016).
Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan pada ftraktur
tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang. Pada beberapa keadaan
trauma musculoskeletal, fraktur dan dislokasi terjadi bersamaan (Noor, 2016).
2.2 Etiologi
a. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebakan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis
patah melintang atau miring (Rosyidi, 2013).
b. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menebabkan patah tulang di tempat yang jauh dari
tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling
lemahdalam jalur hantaran vektor kekerasan (Rosyidi, 2013).
c. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa
pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari
ketiganya dan penarikan (Rosyidi, 2013).
6
2.3 Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk
menahan tekanan. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta
saraf dalam korteks, sumsum tulang, dan jaringan lunak yang membungkus tulang
menjadi rusuk. Akibatnya, terjadilah perdarahan dan dan pembentukan hematoma
di rongga medula tulang. Jaringan tulang akan langsung berdekatan ke bagian
tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya
respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit,
serta inflamasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses
penyembuhan tulang nantinya (Rosyidi, 2013).
Fraktur
Perdarahan
Hematoma di rongga
medula tulang
Respons inflamasi
Dasar proses peyembuhan
tulang
7
Faktor faktor yang mempengaruhi fraktur
1) Faktor ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung
terhadap besar, waktu dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur
(Rosyidi, 2013).
2) Faktor intrinsik
Beberapasifat yang terpenting dari tulang yang menetukan daya tahan
untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan,
elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang (Rosyidi,
2013).
2.4 Klasifikasi
Penampilan fraktur daapt angan bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis,
dibagi menjadi beberapa kelompok (Rosyidi, 2013):
a. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
1) Fraktur tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit
masih utuh) tanpa komplikasi (Rosyidi, 2013).
2) Fraktur terbuka (Open/ Compound), bila terdapat hubungan abtara
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya
perlukaan kulit (Rosyidi, 2013).
b. Berdasarkan komplit atau ketidakkomplitan fraktur.
1) Fraktur komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau
melalui kedua korteks tulang.
2) Fraktur inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penmpang
tulang seperti :
a) Hair Line Fraktur (patah retak rambut).
b) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks
dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
c) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks
lainnya yang terjadi pada tulang panjang (Rosyidi, 2013).
8
c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme
trauma
1) Fraktur transversal : fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2) Fraktur oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat trauma angulasi juga.
3) Fraktur spiral : fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral
yang disebebkan trauma rotasi.
4) Fraktur komprensi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi
yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5) Fraktur avulasi : fraktur yang di akibatkan karena trauma tarikan
atau traksi otot pada insersinya pada tulang (Rosyidi, 2013).
d. Berdasarkan jumlah garis patah
1) Fraktur komunitif : fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan
saling berhubungan.
2) Fraktur segmental : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak berhubungan.
3) Fraktur multiple : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak pada tulang yang sama (Rosyidi, 2013).
e. Berdasarkan pergeseran fragmen fraktur.
1) Fraktur undisplace (tidak bergeser) : garis patah lengkap tetapi kedua
fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
2) Fraktur displaced (bergeser) : terjadi pergeseran fragmen tulang yang
juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas :
a) Dislokasi ad longitudinam cum contravtionum ( pergeseran
searah).
b) Dislokasi ad axim ( pergeseran yang membentuk sudut).
c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling
menjauh) (Rosyidi, 2013).
9
f. Berdasarkan posisi fraktur
Satu batang tulang terbagi menjadi 3 bagian :
a. 1/3 proksimal.
b. 1/3 medial.
c. 1/3 distal.
1) Fraktur kelelahan : fraktur akibat tekana yang berulang ulang.
2) Fraktur patologis : fraktur yang diakibatkan karena proses
patologis tulang.
a. Deformitas.
b. Bengkak/edema.
c. Echimosis (memar)
d. Spasme otot.
e. Nyeri.
f. Kurang/ hilang sensasi.
g. Krepitasi.
h. Pergerakan abnormal.
i. Rontgen abnormal
(Rosyidi, 2013).
10
Gejala-gejala fraktur tergantung pada lokasi, berat dan jumlah kerusakan pada
struktur lain. Pengkajian gejala klinis untuk fraktur meliputi (Istianah, 2016):
1. Aktivitas/istirahat
2. Sirkulasi
3. Neurosensori
a. Nyeri hebt tiba-tiba pada saat cedera, mungkin terlokalisasi pada area
fraktur, berkurang imobilisasi.
(Istianah, 2016).
11
2.6 Test Diagnostik
a. Fraktur terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri dan
disertai perdarahan yang hebat daalm waktu 6-8 jam(ngolden period). Kuman
belum terlalu jauh meresap dilakukan (Rosyidi, 2013):
1) Pembersihan luka.
2) Exici.
3) Hacting situasi.
4) Antibiotik.
b. Seluruh fraktur
1) Rekognisis/pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk menentukan diagnosa dan tindakan
selanjutnya.
2) Redukasi / manipulasi / reposisi
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperi
semula secara optimun. Dapat juga diartikan redukasi fraktur (setting
tulang) adalah mengembalikan fragmen tulang pada kesejajaran dan
rotasfanatimis (Rosyidi, 2013).
a) Redukasi tertutup, traksi atau redukasi terbuka dapat dilakukan untuk
meredukasi fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat
fraktur, namun prinsip yang mendasarinya segera mungkin untuk
mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi
12
karena edema dan perdarahan.pada kebanyakan kasus, redukasi
fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami
penyembuhan. Sebelum redukasi dan imobilisasi fraktur, pasien
harus dipersiapkan untuk menjalani prisedur ; memperoleh izin untuk
melakukan prosedur, dan analgetika diberikan sesuai ketentuan.
Mungkin perlu dilakukan anastesi. Ekstremitas yang akan
dimanipulasi harus ditangani dengan lembut untuk mencegah
karusakan lebih lanjut (Rosyidi, 2013).
b) Redukasi tertutup
Pada kebanyakan kasus redukasi, redukasi tertutup dilakukan dengan
mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling
berhubungan ) dengan manipulasi dan traksi manual. Ekstremitas di
pertahankan daalm posisi yang diinginkan, smentara gips, bidai dan
alat lain di pasang oleh dokter. Alat immobilitas akan menjaga
redukasi dan menstabilkan ekteremitas untuk penyembuhan tulang.
Sinar x harus di lakukan untuk mengetahui apakah fragmen tulang
telah dalam kesejajaran yang benar (Rosyidi, 2013).
c) Traksi
Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek redukasi dan
immobilitas. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang
terjadi. Sinar x digunakan untuk memantau redukasi fraktur dan
aproksimasi fragmen tulang. Ketikas tulang sembuh, akan terlihat
pembentukan kalus pada sinar X. Ketika kalus telah kuat dapat
dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan imobilitas (Rosyidi,
2013).
d) Redukasi terbuka
Pada fraktur tertentu memerlukan redukasi terbuka. Dengan
pendekatan bedah, fragmen tulang di redukasi. Alat fiksasi interna
dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat paku, atau batangan logam
digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya
sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi. Alat ini dapat
diletakka di sisi tulang atau langsung ke rongga sumsum tulang, alat
13
tersebut menjaga aprokasimasi dan fiksasi yang kuat bagi fragmen
tulang (Rosyidi, 2013).
3) Retensi / immobilitas
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimun.
a) Immobilotas fraktur
Setelah fraktur redukasi, fragmen tulang harus di immobilisasi, atau
dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan. Imobilotas dapat dilakukan dengan fikasasi eksterna atau
interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan gips, bidai,
traksi kontinyu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan
logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai
bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur (Rosyidi, 2013).
4) Rehabilitasi
14
2.8 Komplikasi
a. Komplikasi awal
1. Kerusakan arteri
Pecahnya arteri karena traumabisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT
menurut, sianosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dinding pada
ekstremitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan
posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan (Rosyidi, 2013).
2. Kompertement sindrom
Kompertemnet sindro merupakan komplikasi serius yang terjadi karena
terjebaknya otot, tulang, saraf dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini
disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan
pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan
pembebatan yang terlalu kuat (Rosyidi, 2013).
3. Fat embolism sindrom
Fat embolism syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi
pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadimkarena sel-sel lemak yang
dihasilkan bone morrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan
tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan
pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam (Rosyidi, 2013).
4. Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi ini dimulai pada kulit (superfisial) dan masuk ke dalam. Ini
biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan
bahan lain dalam pembedahan seperti pin atau plat (Rosyidi, 2013).
5. Avaskuler nekrosis
Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusa atau
terganggu yang bisa menyebabkan nekrosi tulang dan diawali dengan adanya
volkman’s ischemia (Rosyidi, 2013).
6. Shock
Shcok terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permebilitas
kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. I i biasanya terjadi
pada fraktur (Rosyidi, 2013).
15
b. Komplikasi dalam waktu lama
1. Delayed union
Delayed union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi (bergabung)
sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini
disebabkan karena penurunan suplai darah ke tulang (Rosyidi, 2013).
2. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9
bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada
sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoartrosis. Ini juga di
sebabkan karena aliran darah yang kurang (Rosyidi, 2013).
3. Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan
meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas).
Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik
(Rosyidi, 2013).
16
PROSES KEPERAWATAN
2.9 Pengkajian
Merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu
diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat
memberikan arahan terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses
keperawatan sangat bergantung pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas (Rosyidi,
2013) :
1. Pengumpulan Data
a. Anamnesa
1) Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, suku, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, golongan darah, nomor register,
tanggal MRS, diagnose medis (Rosyidi, 2013)
2) Keluhan utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri.
Nyeri tersebut bias akut atau kronik tergantung dari lamanya serangan.
Untuk memperoleh pengkajian lengkap tentang rasa nyeri klien di
gunakan (Rosyidi, 2013):
a) Provoking incident: apakah ada peristiwa yang menjadi factor
presiotasi nyeri
b) Quality of pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
c) Region: radiation, relief: apakah rasa sakit bias reda, apakah rasa
sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi
d) Severity (scale) of pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan
klien, bias berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan
seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, apakah bertambah buruk
pada malam hari atau siang hari (Rosyidi, 2013).
17
3) Riwayat penyakit sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari
fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan
terhadap klien. Ini bias berupa kronologi terjadi penyakit tersebut
sehingga nantinya bias ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian
tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahu mekanisme
terjadinya kecelakaan bias diketahui luka kecelakaan yang lain
(Rosyidi, 2013).
4) Riwayat penyakit dahulu
Pada pengkajian ini ditentukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s
yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk
menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dikaki sangan beresiko
terjadinya osteomiyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes
menghambat proses penyembuhan tulang (Rosyidi, 2013).
5) Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu factor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
diabetes, osterioporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan,
dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetic (Rosyidi,
2013).
6) Riwayat psykososial
Merupakan respon emosi klien terhadap penyakit klien yang diderita
dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga
maupun dalam masyarakat . (Rosyidi, 2013)
18
7) Pola-pola fungsi kesehatan
a) Pola presepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidak kuatan akan terjadinya
kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan
kesehatan untuk membantu menyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebuasan hidup klien seperti
penggunaan obat steroid (anti inflamasi) yang dapat mengganggu
metabolisme kalsium, pengkonsumsian alcohol yang bias
menggangu keseimbangannya dan apakah klien melakukan
olaraga atau tidak (Rosyidi, 2013).
b) Pola nutrisi dan metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi
kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit c,
dll. Untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi
terhadapt pola nutrisi klien bias membantu menentukan penyebab
masalah musculoskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari
nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan
terpapar sinar matahari yang kuat merupakan factor predisposisi
masalah muskoloskeletal terutama pada lansial. Selain itu juga,
obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
c) Pola eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola
eliminasi, tapi walapun begitu perlu jga dikaji frekuensi,
konsistensi, warna, serta bau feses pada pola eliminasi alvi.
Sedangkan pada pola eliminasi urine dikaji frekuensi, kepekatan,
warna, bau, dan jumblahnya. Pada kedua pola ini juga dikaji ada
kesulitan atau tidak.
d) Pola tidur dan istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak,
sehingga hal ini dapat menggangu pola dan kebutuhan klien.
Selain itu juga, mengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur,
19
suasana lingkungan, kebiasan tidur, dan kesulitan tidur serta
penggunaan obat tidur (Rosyidi, 2013).
e) Pola aktivitas
Karna timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk
kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan perlu banyak
dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji ada;ah bentuk
aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberepa
bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibandingkan
pekerjaan yang lain (Rosyidi, 2013).
f) Pola hubungan dan peran
Klien akan kehilangan peran dalm keluarga dan masyarakat.
Karna klien harus menjalani rawat nginap (Rosyidi, 2013).
g) Pola presepsi dan konsep diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul
ketidakkuatan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (Rosyidi, 2013).
h) Pola sensorik dan kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian
gistal fraktur, sedangkan pada indra yang lain tidak timbul
gangguan. Begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami
gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat sakit (Rosyidi,
2013).
i) Pola reproduksi seksual
Dampak pada klien frektur yaitu, klien tidak melakukan
hubungan seksual karena harus menjalani rawat nginap dan
keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang di alami klien. Selain itu
juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak,
lama perkawinannya (Rosyidi, 2013).
20
j) Pola penanggulanan stress
Pada klien frektur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya,
yaitu ketakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya.
Mekanisme koping yang ditempuh klien bias tidak efektif
(Rosyidi, 2013).
k) Pola tata nilai dan keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribada
dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bias
disebabakan oleh nyeri dan keterbatasan gerak klien (Rosyidi,
2013).
2. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua yaitu : yaitu pemeriksaan umum (status generalisata)
untuk mendapat gambaran umum dan meperiksaan setempat (local). Hal ini
perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderunangan di
mana spesialisasi hanya memperhatikan daerah yang hanya lebih sempit
tetapi lebih mendalam (Rosyidi, 2013).
a. Gambaran umum
Perlu menyebutkan:
1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda,
seperti (Rosyidi, 2013):
a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisa, komposmentis
tergantung pada keadaan klien.
b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat,
dan kasus fraktur biasanya akut.
c) TTV tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun
bentuk.
2) Secara sistemik dari kapala sampai kelamin
a) System integument: terdapat eritema, suhu sekitar daerah trauma
meningkat, bengkak, eodema, nyeri tekan.
b) Kepala: tidak ada gangguan yaitu, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
21
c) Leher: tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan,
reflex menelan ada (Rosyidi, 2013).
d) Muka: wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada
perubahan fungsi maupun bentuk. Tidak ada lesi, simetris, tidak
eodema (Rosyidi, 2013).
e) Mata: tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak
anemis(karena tidak terjadi pendarahan)
f) Telinga: tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal.
Tidak ada lesi atau nyeri tekan (Rosyidi, 2013).
g) Hidung: tidak ada deformitas, tidak ada pernapasan cuping
hidung
h) Mulut dan faring: tidak ada pembesaran tongsil, gusi tidak
terjadi perdarahan, mukola mulut tidak pucat.
i) Thoraks: tidak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada
simetris
j) Perut:
Ispeksi: pernapasan meningkat, regular atau tidaknya
tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan
denga paru
Palpasi: pergerakan sama atau simetris. Fremitus raba sama.
Perkusi: suara ketok sonor, tidak ada redup atau suara
tambahan lainnya.
Auskultasi: suara nafas normal, tidak ada wheezing, atau
suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi (Rosyidi,
2013).
k) Jantung:
Inspeksi: tidak tampak iktus jantung
Palpasi: nadi meningkat, iktus tidak teraba
Auskultasi: suara S1 dan S2 tunggal, tidak ada mur-mur
(Rosyidi, 2013)
22
l) Abdomen:
Inspeksi: bentuk datar, simetris, tidak ada hernie
Palpasi: tugor baik, tidak ada defands muskuler (nyeri tekan
pada seluruh lapang abdomen), hepar tidak teraba
Perkusi: suara timpani, ada pantulan gelombang cairan
Auskultasi: peristaltic usus normal ± 20x/menit (Rosyidi,
2013).
m) Inguinal-genetalia-anus:
Tidak ada hernia, tidak ada pembesaran limfe, tidak ada
kesulitan BAB (Rosyidi, 2013)
b. Keadaan local
Harus diperhitungkan bagian terdekat dan terjauh fraktur terutama
mengenai status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler → 5 P yaitu
pain, palor, paresthesia, pulse, pergerakan). Pemeriksaan pada system
musculoskeletal adalah (Rosyidi, 2013):
1) Look (inspeksi)
Perhatilan apa yang dapat dilihat antara lain:
a) Sikatrik (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti
bekas operasi)
b) Capek au lait spot (tanda lahir)
c) Fistulae (luka bernanah)
d) Warna lemerahan atau kebiruan (livide) atau hiperpigmentasi
e) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang
tidak biasa (abnormal)
f) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
g) Posisi jalan (pola berjalan, waktu masuk kekamar periksa)
(Rosyidi, 2013).
2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki
mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini
merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah baik
pemeriksa maupun klien (Rosyidi, 2013).
23
Yang perlu dicatat adalah (Rosyidi, 2013):
a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembapan kulit.
Capillary refill time → normal 3-5 .
b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau
oedema terutama disekitar persendian.
c) Nyeri tekan (tenderness), krepitas, catat letak kelainan (1/3
proksimal, tengah atau distal)
Otot : tonos pada waktu relaksasi atau kontraksi, benjolan yang
terdapat dipermukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga
diperiksa status neurocaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat
benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya,
pergerajan terhadap dasar, atau permukaannya, nyeri atau tidak
dan ukurannya (Rosyidi, 2013).
3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan
menggerakan ekstremitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri
pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat
mengevaluasi keaadan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi
dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari
titil 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini
menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak.
Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif (Rosyidi,
2013).
3. Pemeriksaan diagnostik
a. Pemeriksaan radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (ex-ray). Untuk mendapatkan gambara 3
dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan dua
proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu
diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk
memperlihatkan phatologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu
disadari bahwa permintaan ex-ray harus atas dasar indikasi pengguanaan
24
pemeriksaan penunjang dan harislnya dibaca sesuai dengan permintaan.
Hal yang harus dibaca pada ex-ray (Rosyidi, 2013):
1) Bayangan jaringan lunak
2) Tipis tabalnya korteks sebagai akibat reaksi periosterum atau
biomekanik atau juga rotasi.
3) Trobukulasi ada tidanya lare fracstion
4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi (Rosyidi, 2013)
Selain foto potol ex-ray (plane ex-ray) mungkin perlu teknik khususnya
seperti :
Adapun diagnose keperawatan yang sering dijumpai pada klien fraktur adalah
sebagai berikut (Rosyidi, 2013) :
a) Nyeri akut berdasarkan dengan spasme otot, gerakan frakmen tulang,
edema, cedera jaringan tulang, pemasangan traksi, stress atau ansietas
b) Resiko disfungsi neurovaskuler perifer berdasarkan dengan penurunan
aliran darah (cedera faskuler, edema, pembentukan thrombus)
c) Gangguan pertukaran gas berdasarkan dengan perubahan aliran darah,
emboli, pertumbuhan membrane alveola atau kapiler (interstisial, edema
paru, kognesti).
d) Gangguan mobilitas fisik berdasarkan dengan kerusakan rangka
neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi).
25
e) Gangguan integritas kulit berdasarkan dengan fraktur terbuka, pemasangan
traksi (pen, kawat, sekrup).
f) Resiko infeksi berdasarkan dengan ketidakadekuatan pertahanan primer
(kerusakan kulit, trauma jaringan lunak, prosedur invasife atau traksi
tulang).
g) Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan
berdasarkan dengan kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap
informasi, keterbatasan kognitif, kurang adekuat/lengkapnya informasi yang
ada (Rosyidi, 2013).
INTERVENSI
NO DIAGNOSA TUJUAN RASIONAL
KEPERAWATAN
Nyeri akut Setelah dilakukan 1. Pertahankan imobilisasi 1. Mengurangi nyeri
berdasarkan dengan asuhan keperawatan bagian yang sakit dan mencegah
spasme otot, selama 1 × 48 jam dengan tirah baring, malformasi
gerakan frakmen diharapkan : gips, bebat, dan 2. Meningkatkan aliran
tulang, edema, Klien mengatakan atotraksi balik vena,
cedera jaringan nyeri berkurang atau 2. Tinggikan posisi mengurangi edema
tulang, pemasangan hilang dengan ekstremitas yang atau nyeri
traksi, stress atau menunjukan tindakan terkena 3. Mempertahankan
ansietas santai, mampu 3. Lakukan dan awasi kekuatan otot dan
1 berpartisipasi dalam latihan gerak pasif/aktif meningkatkan
beraktifitas, tidur, 4. Lakukan tindakan untuk sirkulasi faskuler
istirahat dengan tepat, meningkatkan 4. Meningkatkan
menujukan kenyamanan (masase, sirkulasi umum,
ketrampilan relaksasi perubahan posisi) menurunkan area
dan aktifitas trapeutik 5. Ajarkan penggunaan tekanan local dan
sesuai indikasi untuk teknik manajemen nyeri kelelahan otot
situasi individual (latihan napas dalam, 5. Mengalihkan
imajinasi visual, perhatian terhadap
aktifitas dipersional) nyeri, meningkatkan
26
6. Lakukan kompres control terhadap
dingin selama fase akut nyeri yang mungkin
(24-48 jam pertama) berlangsung lama
sesuai keperluan 6. Menurunkan adema
7. Kolaborasi pemberian dan mengurangi rasa
analgetik sesuai dengan nyeri
indikasi 7. Menurunkan nyeri
8. Evaluasi keluhan nyeri melalui mekanisme
(skala, petunjuk verbal penghambatan
dan non verbal, rangasangan nyeri
perubahan TTV) baik secara sentral
maupun perifer
8. Menilai
perkembangan
masalah klien
Resiko disfungsi Setelah dilakukan 1. Dorong klien untuk 1. Meningkatkan
neurovaskuler asuhan keperawatan secara rutin melakukan sirkulasi darah dan
perifer berdasarkan selama 1× 48 jam latihan menggerakan mencegah kekakuan
dengan penurunan diharapkan : jari atau sendi distal sendi
aliran darah (cedera Klien akan cidera 2. Mencegah stasis
faskuler, edema, menunjukan fungsi 2. Hindarkan restriksi vena dan sebagai
pembentukan neurofakkuler baik sirkulasi akibat tekanan petunjuk perlunya
thrombus) dengan kriteria akral bebat atau spalk yang penyesuaian
2 hangat, tidak pucat dan terlalu ketat keketatan bebat atau
sianosis, bias bergerak 3. Pertahankan letak tinggi spalk
secara aktif ekstremitas yang cedera 3. Meningkatkan
kesuali ada drainase (aliran
kontraindikasi adanya darah) vena dan
sindroma kompartemen menurunkan adema
4. Berikan obat anti kecuali pada adanya
koagulan bila keadaan hambatan
diperlukan aliran arteri yang
27
5. Pantai kualitas nadi menyebabkan
perifer, aliran kapiler, penurunan perfusi
warna kulit dan 4. Diberikan sebagai
kehangatan kulit distal upaya profilaktik
cedera, dibandingkan (pencegahan) untuk
dengan sisi yang menurunkan troma
normal bus vena
5. Mengevaluasi
perkembangan
masalah klien dan
perlunya intervensi
sesuai keadaan klien
Gangguan Setelah dilakukan 1. Dorong klien untuk 1. Meningkatkan
pertukaran gas asuhan keperawatan secara rutin melakukan sirkulasi darah dan
berdasarkan dengan selama 1 × 48 jam latihan menggerakan mencegah kekakuan
perubahan aliran diharapkan : jari atau sendi distal sendi
darah, emboli, Klien akan cedera 2. Mencegah stasis
pertumbuhan menunjukan kebutuhan 2. Hindari restriksi vena dan sebagai
membrane alveola oksigenasi terpenuhi sirkulasi akibat tekanan petunjuk perlunya
atau kapiler dengan kriteria klien bebat atau splak yang penyesuaian
(interstisial, edema tidak sesak napas, tidak terlalu ketat keketatan bebat atau
paru, kognesti). sianosis analisa gas 3. Pertahankan letak tinggi spalk
3
darah dalam batas ekstremitas yang cedera 3. Meningkatkan
normal kecuali adanya drainase vena dan
kontraindikasi adanya menurunkan adema
sindroma kompartemen kecuali pada adanya
4. Berikan obat anti keadaan hambatan
koagulasi bila aliran arteri yang
diperlukan menyebabkan
5. Pantau kualitas nadi penurunan perfusi
perifer, aliran kapilerm 4. Diberikan sebagai
warna kulit dan upaya profilaktik
28
kehangatan kulit distal (pencegahan) untuk
cedera bandingan menurunkan troma
dengan sisi yang bus vena
normal 5. Mengevaluasi
perkembangan
masalah klien dan
perlunya intervensi
sesuai keadaan klien
Gangguan Setelah dilakukan 1. Mempertahankan 1. Memfokuskan
mobilitas fisik asuhan keperawatan pelaksanaan aktivitas perhatian,
berdasarkan dengan selama 1× 48 jam rekreasi terapeutik meningkatkan rasa
kerusakan rangka diharapkan : (radio, Koran, control diri atau
neuromuskuler, Klien dapat kunjungan teman atau harga diri, membantu
nyeri, terapi meningkatkan atau keluarga) sesuai kedaan menurunkan isolasi
restriktif mempertahankan klien social
(imobilisasi). mobilitas pada tingkat 2. Bantu latihan rentang 2. Meningkatkan
paling tinggi yang pasif aktif pada sirkulasi darah
mungkin dapat ekstremitas yang sakit muskuloskeletal,
mempertahankan maupun yang sehat mempertahankan
posisi fungsional sesuai keadaan klien tonus otot,
4
meningkatkan 3. Berikan papan mempertahankan
kekuatan atau fungsi penyangga kaki, gerak sendi,
yang sakit dan gulungan trokanter atau mencegah kontraktur
mengkompensasi tangan sesuai indikasi atau atrofi dan
bagian tubuh 4. Bantu dan dorong mencegah reabsobsi
menunjukan teknik perawatan diri kalsium karena
yang mampu (keberseihan atau imobilisasi
menunjukan aktifitas eliminasi) sesuai 3. Mempertahkan posis
keadaan klien fungsional
5. Ubah posisi secara ekstremitas
periodik (rutin) seusai 4. Meningkatkan
keadaan klien kemandirian klien
29
6. Dorong atau dalam perawatan diri
pertahankan asupan seuai kondiri
cairan 2000 – 3000 keterbatasan klien
ml/hari 5. Menurunkan insiden
7. Berikan diet TKTP komplikasi kulit dan
8. Kolaborasi pelaksanaan pemafasan
fisioterapi seuai (decubitus,
indikasi atelectasis,
9. Evaluasi kemampuan penumonis)
mobilisasi klien dan 6. Mempertahankan
program imobilisasi hidrasi adekuat,
mencegah
komplikasi urinarius
dan konstipasi
7. Kalori dan protein
yang cukup
diperlukan untuk
proses penyembuhan
dan mempertahakan
fungsi fisiologis
tubuh
8. Kerja sama dengan
fisioterapis perlu
untuk menyusun
program aktifitas
fisik secara
indivisual
9. Menilai
perkembangan
masalah klien
Gangguan Setelah dilakukan 1. Mempertahankan 1. Menurunkan resiko
5
integritas kulit asuhan keperawatan tempat tidur yang kerusakan atau abrasi
30
berdasarkan dengan selama 1 × 48 jam nyaman dan aman kulit yang lebih luas
fraktur terbuka, diharapkan : (kering, bersih, alat 2. Meningkatkan
pemasangan traksi Klien mengatakan tenun kencang, bantalan sirkulasi perifer dan
(pen, kawat, ketidaknyamanan bawah siku, tumit) meningkatkan
sekrup). hilang, menunjukan 2. Memasase kulit kelemasan kulit dan
perilaku teknik untuk terutama daerah otot terhadap
mencegah kerusakan menonjolan tulang terhadap tekanan
kulit atau memudahkan daerah distal bebat atau yang relative konstan
penyembuhan sesuai gips pada imobilisasi
indikasi, mencapai 3. Lindungi kulit dan gips 3. Mencegah gangguan
penyembuhan luka pada daerah perianal integritas kulit dan
sesuai waktu atau 4. Observasi keadaan jaringan akibat
penyembuhan lesi kulit, penekanan gips kontaminasi fekal
terjadi atau bebat terhadap 4. Menilai
kulit, insersi pen atau perkembangan
traksi masalah klien
Resiko infeksi Setelah dilakukan 1. Lakukan perawatan 1. Mencegah infeksi
berdasarkan dengan asuhan keperawatan pensteril dan perawatan sekunder dan
ketidakadekuatan selama 1 kali 48 jam luka memercepat
pertahanan primer diharapkan : 2. Ajarkan klien untuk penyembuhan luka
(kerusakan kulit, Klien mencapai mempertahankan 2. Meminimalkan
trauma jaringan penyembuhan luka sterilisasi insersi pen kontaminasi
lunak, prosedur sesuai waktu, bebas 3. Kolaborasi pemberian 3. Antibiotika spectrum
invasife atau traksi drainase purulent atau anti biotika dan toksoid luas atau spesifik
6
tulang). eritema dan demam tetanus sesuai indikasi dapat digunakan
4. Analisa hasil secara profilaksis,
pemeriksaan mencegah atau
laboratorium (hitung mengatasi infeksi.
darah lengkap LED, Toksoid tetanus
kultur dan sensitivitas untuk mencegah
luka atau serum atau infeksi tetanus
tulang) 4. Leukositosis
31
5. Observasi TTV dan biasanya terjadi pada
tanda-tanda peradangan proses infeksi,
local pada luka anemia, dan
peningkatan LED
dapat terjadi pada
oksteomienitis.
Kultur untuk
mengidektifikasi
organisme penyebab
infeksi
5. Mengevaluasi
perkembangan
masalah klien
Kurang Setelah dilakukan 1. Kaji persiapan klien 1. Evektifitas proses
pengetahuan asuhan keperawatan mengikuti program pembelajaran
tentang kondisi, selama 1 kali 48 jam pembelajaran dipengaruhi oleh
prognosis, dan diharapkan : 2. Diskusikan metode kesiapan fisik dan
kebutuhan Klien akan mobiulitas dan mental klien untuk
pengobatan menunjukan ambulasi sesuai dengan mengikuti program
berdasarkan dengan pengetahuan program terapi fisik pembelajaran
kurang terpajan meningkat dengan 3. Ajarkan tanda atau 2. Meningkatkan
atau salah kriteria klien mengerti gejah klinis yang partisipasi dan
7. interpretasi dan memamhami memerlukan evaluasi kemandirian klien
terhadap informasi, tentang penyakitnya medic (nyeri berat, dalam perencanaan
keterbatasan demam, perubahan dan pelaksanaan
kognitif, kurang sensai kulit, distal program terapi fisik
adekuat/lengkapnya cidera) 3. Meningkatkan
informasi yang ada. 4. Persiapan klien untuk kewaspadaan klien
mengikuti terapi untuk mengenali
pembedahan bila tanda atau gejalah
diperlukan dini yang
memerlukan
32
intervensi lebih
lanjut
4. Upayah pembedahan
mungkin diperlukan
untuk mengatasi
masalah sesuai
kondisi klien
33
BAB III
KASUS FRAKTUR
A. Pengkajian
1. Identitas Pasien
Nama : Tn. H
Umur : 49 tahun
Pekerjaan : Swasta
Pendidikan : SMP
Agama : Islam
No. RM : 26754
34
2. Identitas Penanggung Jawab
Nama : Ny. I
Umur : 40 tahun
Pendidikan : SMP
3. Keluhan Utama
4. Riwayat Kesehatan
35
Rinra I. Keesokan harinya pasien dilakukan pemeriksaan rontgen,
laboratorium serta EKG (Elektro Kardio Grafi). Sekarang pada saat
pengkajian yaitu Jumat tanggal 10 Agustus 2019 pasien mengatakan nyeri
pada tungkai kakinya sebelah kanan post operasi hari pertama. Nyeri
timbul jika untuk bergerak, nyeri seperti tertusuk-tusuk, nyeri berlangsung
terus menerus berhenti jika posisi nyaman dan tidak bergerak. Saat ini
pasien mendapatkan terapi injeksi Cefotaxime 2×1 gram per IV (Intra
Venous) dan injeksi Ketorolac 3×1 ampul per IV infus. Selain itu pasien
juga mendapatkan terapi injeksi Actrapid 4 IU setiap sebelum makan.
36
5. Pola Kehidupan Sehari-hari
b. Pola Nutrisi
37
setiap harinya ± 1200 cc. Diit dari RS yaitu RKTP (
Rendah Kalori Tinggi Protein ).
c. Pola Eliminasi
38
e. Pola Aktivitas dan Latihan
f. Pola Kognitif
Sebelum sakit : Pasien mengatakan tidak tahu bahaya dari patah tulang
jika tidak segera diatasi.
39
2) Harga diri : Pasien mengatakan tidak malu/ rendah diri
dengan keadaannya sekarang ini, keluarga dan
sahabat selalu memberi semangat menjalani
hidup.
40
i. Pola Seksual dan Reproduksi
41
berdo’a kepada Tuhan agar cepat diberi
kesembuhan.
2) N (Nadi) : 80 x/ menit
3) S (Suhu) : 367 oC
4) RR (Respirasi) : 24 x/ menit
42
f. Mulut : Mulut berbau, gigi tidak caries, lidah kotor, tidak ada
stomatitis, tidak memakai gigi palsu, fungsi
pengecapan baik, membran mukosa bibir lembab.
g. Wajah : Tampak segar, tampak bekas luka jatuh tetapi luka sudah
mengering, kening berkerut menahan nyeri pada tungkai
kakinya sebelah kanan.
7. Pemeriksaan Fisik
1) Jantung :
2) Paru-paru :
43
3) Abdomen :
c) Perkusi : Tidak ada pembesaran pada hati, tidak ada nyeri tekan,
suara tympani.
5) Ekstremitas :
Ekstremitas atas: Tangan kanan dan kiri dapat melawan tahanan pemeriksa
dengan kekuatan maksimal, tangan kiri terpasang infus RL
20 tpm (tetes per menit), tidak ada luka pada ekstremitas
atas, dapat digerakkan dengan bebas, dan tidak ada edema.
Ekstremitas bawah :
a) Kanan : Ada gerakan pada sendi tetapi tidak dapat melawan gravitasi,
tungkai kanan terpasang balutan bekas operasi hari pertama,
balutan kering, tidak tembus, tampak pada jari-jari kaki
kanan mengalami pembengkakan, tidak terpasang drain.
44
S (Scale) : skala nyeri: 6 saat dilakukan pengkajian post operasi hari
kedua.
T (Time) : terus menerus berhenti jika posisi enak dan tidak bergerak.
6) Kulit : Warna kulit sawo matang, turgor kulit baik (< 2 detik), tidak
ada biang keringat, tidak ada decubitus, pada tungkai kaki
kanan yang telah di operasi ORIF tampak adanya 10
jahitan, daerah luka tampak berwarna kemerahan dan
bengkak.
45
B. Analisa Data
DO :
4. S : Skala nyeri: 6
46
8. TTV : TD : 130/ 90 mmHg
N : 80 x/ menit
S : 367 oC
RR : 24 x/ menit
DO :
47
gerakan
5. Tampak pada tungkai dan kaki
sebelah kanan bengkak
48
DO :
C. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen-agen yang menyebabkan cidera fisik, luka
insisi post operasi.
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler dan
muskuloskeletal, nyeri post operasi.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan bedah perbaikan dan imobilisas
4. Risiko infeksi berhubungan dengan luka insisi bedah, prosedur invasif.
49
D. Intervensi Keperawatan
g. Memfokuskan kembali
perhatian koping terhadap
stress sehingga dapat
menurunkan nyeri.
10 Agustus 2. Setelah dilakukan a. (Range Of Motion) pasif a. Posisi elevasi mengurangi
tindakan dan aktif.
50
2019 keperawatan selama edema.
b. Bantu dan dorong pasien
3×24 jam diharapkan
09.00 untuk melakukan aktivitas b. Meningkatkan kekuatan
masalah hambatan
perawatan secara bertahap. otot.
mobilitas fisik dapat
teratasi dengan
c. Beri bantuan dalam c. Mobilisasi menurunkan
kriteria hasil:
menggunakan alat gerak. komplikasi.
a. Kemampuan
d. Kolaborasi dengan ahli d. Melatih otot dan sendi-
mobilitas pasien
fisioterapi untuk melatih sendi agar tidak
meningkat.
pasien. mengalami kontraktur
dan komplikasi.
b. Pasien menjadi
e. Meminimalkan nyeri dan
tidak takut untuk
mencegah salah posisi.
bergerak.
c. Pasien mampu
beraktivitas secara
bertahap.
d. Pasien mampu
menggunakan alat
bantu gerak.
e. Pertahankan tirah
baring dan melatih
tangan serta
ekstremitas sakit
dengan lembut.
51
g. Latih dan bantu
ROM
10 Agustus 3. Setelah dilakukan a. Lakukan perawatan pada a. Meminimalkan risiko
2019 tindakan area kulit yang dilakukan terjadinya decubitus.
keperawatan selama tindakan bedah.
09.00 b. Mencegah terjadinya
3×24 jam diharapkan b. Kaji/ catat ukuran, warna,
kerusakan kulit.
tidak terjadi kedalaman luka, perhatikan
kerusakan integritas jaringan nekrotik dan
c. Mengetahui indikasi
kulit dengan kriteria kondisi di sekitar luka.
keefektifan dan terapi
hasil: c. Kolaborasi dengan dokter
yang diberikan.
dalam pemberian obat-
a. Pasien mengatakan
obatan topikal. d. Mempercepat proses
ketidaknyamanan
d. Kolaborasi dengan ahli gizi regenerasi jaringan.
hilang.
untuk pemberian diit.
e. Mempercepat proses
b. Pasien mencapai
penyembuhan.
proses
penyembuhan
secara maksimal
dengan cepat.
c. Pasien
menunjukkan
regenerasi
jaringan pada area
yang luka.
1.
52
2019 keperawatan selama peningkatan nyeri. mencegah infeksi.
3×24 jam diharapkan
09.00 b. Kaji tonus otot dan refleks b. Mengetahui tanda-tanda
tidak terjadi infeksi
tendon. infeksi gas gangren.
dengan kriteria hasil:
e. Mencapai
penyembuhan
luka sesuai waktu.
f. Bebas drainase
purulen atau
eritema dan
demam.
g. Pantau KU pasien
dan monitor TTV,
kaji tanda-tanda
infeksi.
h. Lakukan
perawatan luka
dengan tepat dan
53
steril.
i.Observasi keadaan
luka terhadap
pembentukan bulla,
krepitasi dan bau
drainase yang tidak
enak.
j. Inspeksi kulit
terhadap adanya
iritasi.
54
E. Implementasi Keperawatan
55
c. Memberi bantuan dalam menggunakan
alat gerak.
56
F. Evaluasi Keperawatan
S : Skala nyeri 6
I
T : Nyeri terus menerus berhenti jika posisi
nyaman dan dan tidak bergerak.Pasien
tampak menahan sakit, ekspresi wajah tegang
P : Lanjutkan intevensi:
57
1. Imobilisasikan bagian yang sakit
2. Lakukan program terapi dari dokter
Kekuatan otot
II
5 5
2 5
P : Lanjutkan intervensi:
58
mengatakan bersedia rajin untuk mengubah
posisi dan bersedia untuk dilakukan tindakan
keperawatan yaitu perawatan luka.
P : Lanjutkan intervensi:
59
os tibia 1/3 proksimal dengan 5 sekrup. TD :
110/ 70 mmHg, N: 80x/ menit, S : 363 oC,
RR : 20 x/ menit
P : Pertahankan intervensi:
60
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Umumnya fraktur disebabkan oleh trauma atau aktivitas fisik dimana terdapat
tekanan yang berlebihan pada tulang. Fraktur lebih sering terjadi pada laki-laki
daripada perempuan dengan umur dibawah 45 tahun dan sering berhubungn dengan
olahraga, Pekerjaan atau luka yang disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor
(Ningsih, 2011).
4.2 Saran
Makalah ini jauh dari kata sempurna, maka dari itu kritik dan saran dari
pembaca kami butuhkan untuk mengoreksi makalah kami. Dan semoga makalah ini
bermanfaat bagi orang yang membacanya.
61
DAFTAR PUSTAKA
Ningsih, L. &. (2011). Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika.
62
EVIDENCE BASED
Evidence Based Medical (EMB) terkait terapi musik pada pasien post op
fraktur dengan judul artikel PENGARUH TERAPI MUSIK TERHADAP
PERUBAHAN TANDA-TANDA VITAL PADA PASIEN POST OPERASI
FRAKTUR YANG MENGALAMI NYERI oleh Maksimilianus Lopes, Moh
Alimansur, Edi Santoso. Tujuan penelitian ini untuk menganalisa pengaruh terapi
musik terhadap perubahan tanda-tanda vital pada pasien post operasi fraktur yang
mengalami nyeri di RSUD dr. Harjono Ponorogo.
Berbagai upaya asuhan keperawatan dikembangkan untuk membantu
memperbaiki tanda vital pasien, antara lain: oksigenasi, pengaturan posisi kepala,
stimulasi dengan pendekatan komunikasi baik verbal maupun non verbal serta
terapi musik. Terapi musik akan memberikan efek relaksasi dan meningkatkan
produksi hormon norepinephrin sehingga mendorong terhadap normalisasi denyut
nadi, menstabilkan tekanan darah dan meningkatkan keteraturan napas responden.
Jenis musik yang dapat mendorong proses normalisasi tanda-tanda vital adalah
jenis musik instrumental yang dapat mendorong rasa damai pada pasien (Muttaqin,
2008).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut :
1. Pemberian terapi musik berpengaruh terhadap tekanan darah pada pasien post
operasi fraktur yang mengalami nyeri di RSUD dr. Harjono Ponorogo.
2. Pemberian terapi musik berpengaruh terhadap denyut nadi pada pasien post
operasi fraktur yang mengalami nyeri di RSUD dr. Harjono Ponorogo.
3. Pemberian terapi musik berpengaruh terhadap pernafasan pada pasien post
operasi fraktur yang mengalami nyeri di RSUD dr. Harjono Ponorogo.
4. Pemberian terapi musik tidak berpengaruh terhadap suhu tubuh pada pasien
post operasi fraktur yang mengalami nyeri di RSUD dr. Harjono Ponorogo.
63
Trend dan Issue Terbaru Tentang Fraktur
Sekitar tahun 1951 diperkenalkan satu bedah orthopedi yang ditemukan oleh
Gavriel Ilizarov, seorang ahli ortopedik asal Rusia. Teknik yang dikenal dengan
nama “ Ilizarov “ Selama ini, operasi yang dilakukan di Indonesia masih
menggunakan metode ilizarov. Metode itu digunakan untuk mengoreksi bentuk
kaki yang tidak simetris atau dikenal dengan istilah osteogenesis distraksi. Caranya,
dengan melakukan pembukaan tulang dari luar ke dalam. ''Kelemahannya, pasien
merasa tidak nyaman, luka sayatan pun menjadi lebih besar, proses
penyembuhannya menjadi lebih lama, bila tidak hati-hati, bisa timbul infeksi.
Sekarang telah diketemukan metode pembedahan tulang baru yang disebut
dengan metode “ Fitbone “.Berbeda dengan Ilizarov, metode fitbone dilakukan
pertama kali di Singapura pada Tahun 2001, teknik fitbone ini merupakan teknik
dengan teknologi tinggi dan efek samping yang sangat kecil. Selain itu, teknik ini
bisa membuat pasien kembali beraktivitas seperti semula.
Menurut Prof Sarbijt Singh, seorang ahli bedah orthopedi di Moun Elizabeth
Medical Centre, Singapura, Metode Fitbone merupkaan implant orthopedi pertama,
teknik terbaru dan satu-satunya di dunia yang dikendalikan oleh computer yang
bertujuan untuk perbaikan struktur tulang. Teknik terbaru ini menggunakan
teknologi yang dapat dikendalikan sendiri oleh si pasien dengan alat pengendali
jarak jauh. Metode fitbone sangat berguna untuk kelainan tulang bawaan atau
kerusakan tulang akibat kecelakaan.
Metode ini diterapkan dengan terlebih dahulu melakukan foto rontgen pada
pasien. Ini untuk melihat bentuk tulang yang akan diterapi dan ukuran rongga yang
memungkinkan dimasukkannya alat fitbone. Dari gambaran tadi bisa direka-reka
panjang gagang baja yang akan dimasukkan ke tubuh pasien di samping tulang.
Lalu dokter membuat sayatan di lengan atau tulang paha. Sayatan itu digunakan
untuk memotong tulang. Kemudian alat berupa gagang yang terbuat dari stainless
steel dimasukkan diantara tulang. Dan beberapa komponennya diletakkan dibawah
kulit, sehingga luka tidak terlihat dimasukkan. Selanjutnya dokter
menancapkan pen untuk menyangga alat itu di bagian atas dan bawah tulang. Di
bagian ujung atas gagang tadi terpasang kabel dan pemancar yang ditaruh di bawah
kulit. Lalu ada kabel lagi yang menghubungkannya dengan sensor. Lewat sensor
64
inilah, pasien mengetahui pertumbuhan tulang barunya. Sedangkan gagang itu
bekerja mendorong tulang untuk segera menyatu. Bila tulang sudah menyatu, alarm
akan berbunyi. Dalam pembedahan ini, pasien dibius total karena operasi ini
merupakan operasi besar karena harus memotong tulang. Kendala
utama penerapan teknologi Fitbone ini adalah masalah biaya yang tidak murah. (
Biayanya sekitar $ 50.000 ).
65