Anda di halaman 1dari 65

NAMA DOSEN : AMRIATI MUTMAINNAH,S.kep.Ns.

,MSN

MATA KULIAH : KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH III

ASUHAN KEPERAWATAN PADA FRAKTUR

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 1

Agil Muhammad (NH0117004) Attin Nur Hidayah (NH0117015) Fauzia (NH0117037)

Agil Saputra (NH0117005) Ayu Sasmita (NH01117017) Febrianty (NH0117038)

Ainun Amalia (NH0117006) Ayuni Kurnia (NH0117018) Feiby (NH0117041)

Ainun Annisa (NH0117007) Delvia (NH0117022) Gamar (NH0117045)

Andi Karmila (NH0117009) Fadli Kamil (NH0117032) Gretzia (NH0117046)

Anugerah (NH0117011) Fajrianti Hasmi (NH0117034) Iga Juwita (NH0117051)

Ashar HM (NH0117013) Farila (NH0117036) Eli (NH0116042)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

NANI HASANUDDIN

MAKASSAR

2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan
Makalah ini yang Alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “Asuhan
Keperawatan Pada Fraktur”. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata , kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga
Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

Makassar , 24 September 2019

KELOMPOK 1

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................2

DAFTAR ISI....................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................4

1.1 Latar Belakang.............................................................................................................4

1.2 Rumusan Masalah........................................................................................................4

1.3 Tujuan..........................................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................6

2.1 Pengertian Fraktur.......................................................................................................6

2.2 Etiologi........................................................................................................................6

2.3 Patofisiologi.................................................................................................................7

2.4 Klasifikasi....................................................................................................................8

2.5 Manifestasi Klinik.....................................................................................................10

2.6 Test Diagnostik..........................................................................................................12

2.7 Penatalaksanaan Medis..............................................................................................12

2.8 Komplikasi.................................................................................................................15

2.9 Pengkajian.................................................................................................................17

2.10 Diagnosa Keperawatan............................................................................................26

2.11 Intervensi Keperawatan...........................................................................................27

BAB III KASUS


FRAKTUR.....................................................................................................................34

BAB IV PENUTUP........................................................................................................61

4.1 Kesimpulan................................................................................................................61

4.2 Saran..........................................................................................................................61

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................62

EVIDENCE BASED......................................................................................................63

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Umumnya fraktur disebabkan oleh trauma atau aktivitas fisik dimana terdapat
tekanan yang berlebihan pada tulang. Fraktur lebih sering terjadi pada laki-laki
daripada perempuan dengan umur dibawah 45 tahun dan sering berhubungn dengan
olahraga, Pekerjaan atau luka yang disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor
(Ningsih, 2011).

Jumlah korban kecelakaan lalu lintas di Indonesia cenderung turun, yaitu


47.401 orang pada tahun 1989, menjadi 32.815 orang pada tahun 1995. Rasio
jumlah korban cedera sebesar 16,80 per 10.000 penduduk dan rasio korban
meninggal sebesar 5,63 per 100.000 penduduk. Angka kematian tertinggi berada
diwilayah Kalimantan Timur, yaitu 11,07 per 100.000 penduduk dan terendah di
Jawa Tengah, yaitu sebesar 2,67 per 100.000 penduduk (Ningsih, 2011).

1.2 Rumusan Masalah

a. Apa yang dimaksud dengan fraktur?

b. Bagaimana etiologi dari fraktur ?

c. Bagaimana patofisiologi dari fraktur?

d. Apa saja Klasifikasi dari fraktur?

e. Bagaimana manifestasi klinis dari fraktur?

f. Apa saja test diagnostik yang dilakukan pada pasien fraktur?

g. Apa saja Penatalaksanaan medis dari fraktur?

h. Apa saja komplikasi yang ditimbulkan dari fraktur?

i. Bagaimana Pengkajian yang dilakukan pada pasien fraktur?

j. Apa saja diagnosa yang muncul pada pasien fraktur?

4
k. Apa saja intervensi yang muncul pada pasien fraktur?

1.3 Tujuan

a. Untuk mengetahui dan memahami pengertian fraktur

b. Untuk mengetahui dan memahami etiologi dari fraktur

c. Untuk mengetahui dan memahami patofisiologi dari fraktur

d. Untuk mengetahui dan memahami klasifikasi dari fraktur

e. Untuk mengetahui dan memahami manifestasi klinis dari fraktur

f. Untuk mengetahui dan memahami test diagnostik pada fraktur

g. Untuk mengetahui dan memahami penatalaksanaan medis dari fraktur

h. Untuk mengetahui dan memahami komplikasi yang ditimbulkan dari fraktur

i. Untuk mengetahui dan memahami pengkajian dari fraktur

j. Untuk mengetahui dan memahami diagnosa apa saja yang muncul dari fraktur

k. Untuk mengetahui dan memahami intervensi yang muncul dari fraktur

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Fraktur

Fraktur adalah terputusnya kontiunitas jaringan tulang yang umumnya


disebabkan oleh rudapaksa (Mensjoer et al, 2000). Sedangkan menurut Linda Juall
C.dalam buku Nursing Care Plans and Dokumentation menyebutkan bahwa fraktur
adalah rusaknya kontuinitas tulang yang disebabkan tekanan dari luar yang datang
lebih besar dari yang dapat di serap oleh tulang (Rosyidi, 2013).

Fraktur merupakan istilah dari hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan, baik
yang bersifat total maupun sebagian. Secara ringkas dan umum, fraktur adalah
patah tulang yang disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan sudut
tenaga fisik, keadaan tulang itu sendiri, serta jaringan lunak di sekitar tulang akan
menentukan apakah fraktur yang terjadi lengkap atau tidak lengkap (Noor, 2016).

Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan pada ftraktur
tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang. Pada beberapa keadaan
trauma musculoskeletal, fraktur dan dislokasi terjadi bersamaan (Noor, 2016).

2.2 Etiologi

a. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebakan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis
patah melintang atau miring (Rosyidi, 2013).
b. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menebabkan patah tulang di tempat yang jauh dari
tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling
lemahdalam jalur hantaran vektor kekerasan (Rosyidi, 2013).
c. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa
pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari
ketiganya dan penarikan (Rosyidi, 2013).

6
2.3 Patofisiologi

Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk
menahan tekanan. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta
saraf dalam korteks, sumsum tulang, dan jaringan lunak yang membungkus tulang
menjadi rusuk. Akibatnya, terjadilah perdarahan dan dan pembentukan hematoma
di rongga medula tulang. Jaringan tulang akan langsung berdekatan ke bagian
tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya
respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit,
serta inflamasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses
penyembuhan tulang nantinya (Rosyidi, 2013).

Fraktur

Periosteum, pembuluh darah,


dan jaringan lunak
pembungkus tulang rusak.

Perdarahan

Hematoma di rongga
medula tulang

Jaringan tulang berdekatan


Vasolidasi, eksudasi plasma dan
ke tulang yang patah
leukosit, serta infiltrasi sel darah
putih

Respons inflamasi
Dasar proses peyembuhan
tulang

7
Faktor faktor yang mempengaruhi fraktur

1) Faktor ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung
terhadap besar, waktu dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur
(Rosyidi, 2013).
2) Faktor intrinsik
Beberapasifat yang terpenting dari tulang yang menetukan daya tahan
untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan,
elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang (Rosyidi,
2013).

2.4 Klasifikasi

Penampilan fraktur daapt angan bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis,
dibagi menjadi beberapa kelompok (Rosyidi, 2013):
a. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
1) Fraktur tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit
masih utuh) tanpa komplikasi (Rosyidi, 2013).
2) Fraktur terbuka (Open/ Compound), bila terdapat hubungan abtara
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya
perlukaan kulit (Rosyidi, 2013).
b. Berdasarkan komplit atau ketidakkomplitan fraktur.
1) Fraktur komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau
melalui kedua korteks tulang.
2) Fraktur inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penmpang
tulang seperti :
a) Hair Line Fraktur (patah retak rambut).
b) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks
dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
c) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks
lainnya yang terjadi pada tulang panjang (Rosyidi, 2013).

8
c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme
trauma
1) Fraktur transversal : fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2) Fraktur oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat trauma angulasi juga.
3) Fraktur spiral : fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral
yang disebebkan trauma rotasi.
4) Fraktur komprensi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi
yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5) Fraktur avulasi : fraktur yang di akibatkan karena trauma tarikan
atau traksi otot pada insersinya pada tulang (Rosyidi, 2013).
d. Berdasarkan jumlah garis patah
1) Fraktur komunitif : fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan
saling berhubungan.
2) Fraktur segmental : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak berhubungan.
3) Fraktur multiple : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak pada tulang yang sama (Rosyidi, 2013).
e. Berdasarkan pergeseran fragmen fraktur.
1) Fraktur undisplace (tidak bergeser) : garis patah lengkap tetapi kedua
fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
2) Fraktur displaced (bergeser) : terjadi pergeseran fragmen tulang yang
juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas :
a) Dislokasi ad longitudinam cum contravtionum ( pergeseran
searah).
b) Dislokasi ad axim ( pergeseran yang membentuk sudut).
c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling
menjauh) (Rosyidi, 2013).

9
f. Berdasarkan posisi fraktur
Satu batang tulang terbagi menjadi 3 bagian :
a. 1/3 proksimal.
b. 1/3 medial.
c. 1/3 distal.
1) Fraktur kelelahan : fraktur akibat tekana yang berulang ulang.
2) Fraktur patologis : fraktur yang diakibatkan karena proses
patologis tulang.

g. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan


jaringan lunak sekitar trauma yaitu :

a. Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan


lunak sekitar.
b. Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
c. Tingkat 2 : fraktur yang lebuh berat dnegan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
d. Tingkat 3 : cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata
dan ancaman sindroma kompartement (Rosyidi, 2013).

2.5 Manifestasi Klinik

a. Deformitas.
b. Bengkak/edema.
c. Echimosis (memar)
d. Spasme otot.
e. Nyeri.
f. Kurang/ hilang sensasi.
g. Krepitasi.
h. Pergerakan abnormal.
i. Rontgen abnormal
(Rosyidi, 2013).

10
Gejala-gejala fraktur tergantung pada lokasi, berat dan jumlah kerusakan pada
struktur lain. Pengkajian gejala klinis untuk fraktur meliputi (Istianah, 2016):

1. Aktivitas/istirahat

Pasien memperlihatkan keterbatasan/kehilangan fungsi pada bagian yang


cedera. Kemungkinan terjadi sebagai akibat langsung dari fraktur atau
akibat sekunder pembengkakan jaringan dan nyeri (Istianah, 2016).

2. Sirkulasi

Pasien menunjukkan gejala/tanda peningkatan tekanan darah, mungkin


terjadi akibat respons terhadap nyeri atau kecemasan. Sebaliknya penurunan
tekanan darah mungkin terjadi bila terjadi perdarahan (Istianah, 2016).

3. Neurosensori

Pasien menunjukkan gejala dan tanda :

a. Hilang gerakan atau sensasi

b.Parastesia (kesemutan), deformitas lokal, angulasi abnormal, pemendekan,


rotasi, krepitasi, spasme otot, kelemahan atau kehilangan fungsi.

c. Keterbatasan atau kehilangan fungsi pada bagian yang cedera sebagai


akibat langsung dari fraktur atau pembengkakan jaringan dan nyeri.

d. Agitasi, mungkin berhubungan dengan nyeri, kecemasan atau trauma lain.

4. Rasa tidak nyaman

Pasien menunjukkan gejala/tanda :

a. Nyeri hebt tiba-tiba pada saat cedera, mungkin terlokalisasi pada area
fraktur, berkurang imobilisasi.

b. Spasme/kram otot setelah imobilisasi

c. Pembengkakan lokal yang dapat meningkat bertahap atau tiba-tiba.

(Istianah, 2016).

11
2.6 Test Diagnostik

a. Pemeriksaan rontgen : menentukan lokasi/ luasnya fraktur/ luasnya trauma, scan


tulang, temogram, scan CI : memperlihatkan fraktur juga dapat di gunakan untuk
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
b. Hitung darah lengkap : HB mungkin meningkat/ menurun.
c. Peningkatan jumlah sop adalah respon stress normal setelah trauma.
d. Kreatinin : trauma otot meningkat beban kreatinin untuk ginjal.
e. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi
multiple, atau cedera hati (Rosyidi, 2013).

2.7 Penatalaksanaan Medis

a. Fraktur terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri dan
disertai perdarahan yang hebat daalm waktu 6-8 jam(ngolden period). Kuman
belum terlalu jauh meresap dilakukan (Rosyidi, 2013):
1) Pembersihan luka.
2) Exici.
3) Hacting situasi.
4) Antibiotik.
b. Seluruh fraktur
1) Rekognisis/pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk menentukan diagnosa dan tindakan
selanjutnya.
2) Redukasi / manipulasi / reposisi
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperi
semula secara optimun. Dapat juga diartikan redukasi fraktur (setting
tulang) adalah mengembalikan fragmen tulang pada kesejajaran dan
rotasfanatimis (Rosyidi, 2013).
a) Redukasi tertutup, traksi atau redukasi terbuka dapat dilakukan untuk
meredukasi fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat
fraktur, namun prinsip yang mendasarinya segera mungkin untuk
mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi

12
karena edema dan perdarahan.pada kebanyakan kasus, redukasi
fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami
penyembuhan. Sebelum redukasi dan imobilisasi fraktur, pasien
harus dipersiapkan untuk menjalani prisedur ; memperoleh izin untuk
melakukan prosedur, dan analgetika diberikan sesuai ketentuan.
Mungkin perlu dilakukan anastesi. Ekstremitas yang akan
dimanipulasi harus ditangani dengan lembut untuk mencegah
karusakan lebih lanjut (Rosyidi, 2013).
b) Redukasi tertutup
Pada kebanyakan kasus redukasi, redukasi tertutup dilakukan dengan
mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling
berhubungan ) dengan manipulasi dan traksi manual. Ekstremitas di
pertahankan daalm posisi yang diinginkan, smentara gips, bidai dan
alat lain di pasang oleh dokter. Alat immobilitas akan menjaga
redukasi dan menstabilkan ekteremitas untuk penyembuhan tulang.
Sinar x harus di lakukan untuk mengetahui apakah fragmen tulang
telah dalam kesejajaran yang benar (Rosyidi, 2013).
c) Traksi
Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek redukasi dan
immobilitas. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang
terjadi. Sinar x digunakan untuk memantau redukasi fraktur dan
aproksimasi fragmen tulang. Ketikas tulang sembuh, akan terlihat
pembentukan kalus pada sinar X. Ketika kalus telah kuat dapat
dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan imobilitas (Rosyidi,
2013).
d) Redukasi terbuka
Pada fraktur tertentu memerlukan redukasi terbuka. Dengan
pendekatan bedah, fragmen tulang di redukasi. Alat fiksasi interna
dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat paku, atau batangan logam
digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya
sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi. Alat ini dapat
diletakka di sisi tulang atau langsung ke rongga sumsum tulang, alat

13
tersebut menjaga aprokasimasi dan fiksasi yang kuat bagi fragmen
tulang (Rosyidi, 2013).
3) Retensi / immobilitas
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimun.
a) Immobilotas fraktur
Setelah fraktur redukasi, fragmen tulang harus di immobilisasi, atau
dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan. Imobilotas dapat dilakukan dengan fikasasi eksterna atau
interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan gips, bidai,
traksi kontinyu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan
logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai
bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur (Rosyidi, 2013).
4) Rehabilitasi

Menghindari atripo dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala upaya di


arahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Redukasi dan
imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neurovaskuler
(misalnya : pengkajian peredaran darah, nteri, perabaa, gerakan) di pantau,
dan ahli beddah ortopedi di beritahu segera bila ada tanda gangguan
neurovaskuler. Kegelisaan, antietas dan ketidaknyamanan di kontrol dengan
berbagai pendekatan (misalnya : menyakinkan, perubahan posis, strategi
peredahan nyeri, termasuk analgetika). Latihan isometrik dan setting otot di
usahakan untuk meminimalkan atrofi disuse (atrofi otot) dan meningkatkan
peredarah darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari hari di usahakan
untuk untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan harga diri. Pengembalian
bertahap pada aktivitas semula di usahakan sesuai batasan terpeutik.
Biasanya, fiksasi interna memungkinkan mobilitas lebih awal. Ahli bedah
yang memperkirakan stabilitas fiksasi fraktur, menetukan luasnya gerakan
dan stres pada ekstemitas yang diperbolehkan, dan menentukan tingkatan
aktivitas dan beban berat (Rosyidi, 2013).

14
2.8 Komplikasi

a. Komplikasi awal
1. Kerusakan arteri
Pecahnya arteri karena traumabisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT
menurut, sianosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dinding pada
ekstremitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan
posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan (Rosyidi, 2013).
2. Kompertement sindrom
Kompertemnet sindro merupakan komplikasi serius yang terjadi karena
terjebaknya otot, tulang, saraf dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini
disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan
pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan
pembebatan yang terlalu kuat (Rosyidi, 2013).
3. Fat embolism sindrom
Fat embolism syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi
pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadimkarena sel-sel lemak yang
dihasilkan bone morrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan
tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan
pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam (Rosyidi, 2013).
4. Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi ini dimulai pada kulit (superfisial) dan masuk ke dalam. Ini
biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan
bahan lain dalam pembedahan seperti pin atau plat (Rosyidi, 2013).
5. Avaskuler nekrosis
Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusa atau
terganggu yang bisa menyebabkan nekrosi tulang dan diawali dengan adanya
volkman’s ischemia (Rosyidi, 2013).
6. Shock
Shcok terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permebilitas
kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. I i biasanya terjadi
pada fraktur (Rosyidi, 2013).

15
b. Komplikasi dalam waktu lama
1. Delayed union
Delayed union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi (bergabung)
sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini
disebabkan karena penurunan suplai darah ke tulang (Rosyidi, 2013).
2. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9
bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada
sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoartrosis. Ini juga di
sebabkan karena aliran darah yang kurang (Rosyidi, 2013).
3. Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan
meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas).
Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik
(Rosyidi, 2013).

16
PROSES KEPERAWATAN

2.9 Pengkajian

Merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu
diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat
memberikan arahan terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses
keperawatan sangat bergantung pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas (Rosyidi,
2013) :
1. Pengumpulan Data
a. Anamnesa
1) Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, suku, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, golongan darah, nomor register,
tanggal MRS, diagnose medis (Rosyidi, 2013)
2) Keluhan utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri.
Nyeri tersebut bias akut atau kronik tergantung dari lamanya serangan.
Untuk memperoleh pengkajian lengkap tentang rasa nyeri klien di
gunakan (Rosyidi, 2013):
a) Provoking incident: apakah ada peristiwa yang menjadi factor
presiotasi nyeri
b) Quality of pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
c) Region: radiation, relief: apakah rasa sakit bias reda, apakah rasa
sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi
d) Severity (scale) of pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan
klien, bias berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan
seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, apakah bertambah buruk
pada malam hari atau siang hari (Rosyidi, 2013).

17
3) Riwayat penyakit sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari
fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan
terhadap klien. Ini bias berupa kronologi terjadi penyakit tersebut
sehingga nantinya bias ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian
tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahu mekanisme
terjadinya kecelakaan bias diketahui luka kecelakaan yang lain
(Rosyidi, 2013).
4) Riwayat penyakit dahulu
Pada pengkajian ini ditentukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s
yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk
menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dikaki sangan beresiko
terjadinya osteomiyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes
menghambat proses penyembuhan tulang (Rosyidi, 2013).
5) Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu factor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
diabetes, osterioporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan,
dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetic (Rosyidi,
2013).
6) Riwayat psykososial
Merupakan respon emosi klien terhadap penyakit klien yang diderita
dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga
maupun dalam masyarakat . (Rosyidi, 2013)

18
7) Pola-pola fungsi kesehatan
a) Pola presepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidak kuatan akan terjadinya
kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan
kesehatan untuk membantu menyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebuasan hidup klien seperti
penggunaan obat steroid (anti inflamasi) yang dapat mengganggu
metabolisme kalsium, pengkonsumsian alcohol yang bias
menggangu keseimbangannya dan apakah klien melakukan
olaraga atau tidak (Rosyidi, 2013).
b) Pola nutrisi dan metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi
kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit c,
dll. Untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi
terhadapt pola nutrisi klien bias membantu menentukan penyebab
masalah musculoskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari
nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan
terpapar sinar matahari yang kuat merupakan factor predisposisi
masalah muskoloskeletal terutama pada lansial. Selain itu juga,
obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
c) Pola eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola
eliminasi, tapi walapun begitu perlu jga dikaji frekuensi,
konsistensi, warna, serta bau feses pada pola eliminasi alvi.
Sedangkan pada pola eliminasi urine dikaji frekuensi, kepekatan,
warna, bau, dan jumblahnya. Pada kedua pola ini juga dikaji ada
kesulitan atau tidak.
d) Pola tidur dan istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak,
sehingga hal ini dapat menggangu pola dan kebutuhan klien.
Selain itu juga, mengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur,

19
suasana lingkungan, kebiasan tidur, dan kesulitan tidur serta
penggunaan obat tidur (Rosyidi, 2013).
e) Pola aktivitas
Karna timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk
kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan perlu banyak
dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji ada;ah bentuk
aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberepa
bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibandingkan
pekerjaan yang lain (Rosyidi, 2013).
f) Pola hubungan dan peran
Klien akan kehilangan peran dalm keluarga dan masyarakat.
Karna klien harus menjalani rawat nginap (Rosyidi, 2013).
g) Pola presepsi dan konsep diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul
ketidakkuatan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (Rosyidi, 2013).
h) Pola sensorik dan kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian
gistal fraktur, sedangkan pada indra yang lain tidak timbul
gangguan. Begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami
gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat sakit (Rosyidi,
2013).
i) Pola reproduksi seksual
Dampak pada klien frektur yaitu, klien tidak melakukan
hubungan seksual karena harus menjalani rawat nginap dan
keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang di alami klien. Selain itu
juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak,
lama perkawinannya (Rosyidi, 2013).

20
j) Pola penanggulanan stress
Pada klien frektur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya,
yaitu ketakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya.
Mekanisme koping yang ditempuh klien bias tidak efektif
(Rosyidi, 2013).
k) Pola tata nilai dan keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribada
dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bias
disebabakan oleh nyeri dan keterbatasan gerak klien (Rosyidi,
2013).
2. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua yaitu : yaitu pemeriksaan umum (status generalisata)
untuk mendapat gambaran umum dan meperiksaan setempat (local). Hal ini
perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderunangan di
mana spesialisasi hanya memperhatikan daerah yang hanya lebih sempit
tetapi lebih mendalam (Rosyidi, 2013).
a. Gambaran umum
Perlu menyebutkan:
1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda,
seperti (Rosyidi, 2013):
a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisa, komposmentis
tergantung pada keadaan klien.
b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat,
dan kasus fraktur biasanya akut.
c) TTV tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun
bentuk.
2) Secara sistemik dari kapala sampai kelamin
a) System integument: terdapat eritema, suhu sekitar daerah trauma
meningkat, bengkak, eodema, nyeri tekan.
b) Kepala: tidak ada gangguan yaitu, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.

21
c) Leher: tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan,
reflex menelan ada (Rosyidi, 2013).
d) Muka: wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada
perubahan fungsi maupun bentuk. Tidak ada lesi, simetris, tidak
eodema (Rosyidi, 2013).
e) Mata: tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak
anemis(karena tidak terjadi pendarahan)
f) Telinga: tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal.
Tidak ada lesi atau nyeri tekan (Rosyidi, 2013).
g) Hidung: tidak ada deformitas, tidak ada pernapasan cuping
hidung
h) Mulut dan faring: tidak ada pembesaran tongsil, gusi tidak
terjadi perdarahan, mukola mulut tidak pucat.
i) Thoraks: tidak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada
simetris
j) Perut:
 Ispeksi: pernapasan meningkat, regular atau tidaknya
tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan
denga paru
 Palpasi: pergerakan sama atau simetris. Fremitus raba sama.
 Perkusi: suara ketok sonor, tidak ada redup atau suara
tambahan lainnya.
 Auskultasi: suara nafas normal, tidak ada wheezing, atau
suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi (Rosyidi,
2013).
k) Jantung:
 Inspeksi: tidak tampak iktus jantung
 Palpasi: nadi meningkat, iktus tidak teraba
 Auskultasi: suara S1 dan S2 tunggal, tidak ada mur-mur
(Rosyidi, 2013)

22
l) Abdomen:
 Inspeksi: bentuk datar, simetris, tidak ada hernie
 Palpasi: tugor baik, tidak ada defands muskuler (nyeri tekan
pada seluruh lapang abdomen), hepar tidak teraba
 Perkusi: suara timpani, ada pantulan gelombang cairan
 Auskultasi: peristaltic usus normal ± 20x/menit (Rosyidi,
2013).
m) Inguinal-genetalia-anus:
Tidak ada hernia, tidak ada pembesaran limfe, tidak ada
kesulitan BAB (Rosyidi, 2013)
b. Keadaan local
Harus diperhitungkan bagian terdekat dan terjauh fraktur terutama
mengenai status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler → 5 P yaitu
pain, palor, paresthesia, pulse, pergerakan). Pemeriksaan pada system
musculoskeletal adalah (Rosyidi, 2013):
1) Look (inspeksi)
Perhatilan apa yang dapat dilihat antara lain:
a) Sikatrik (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti
bekas operasi)
b) Capek au lait spot (tanda lahir)
c) Fistulae (luka bernanah)
d) Warna lemerahan atau kebiruan (livide) atau hiperpigmentasi
e) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang
tidak biasa (abnormal)
f) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
g) Posisi jalan (pola berjalan, waktu masuk kekamar periksa)
(Rosyidi, 2013).
2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki
mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini
merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah baik
pemeriksa maupun klien (Rosyidi, 2013).

23
Yang perlu dicatat adalah (Rosyidi, 2013):
a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembapan kulit.
Capillary refill time → normal 3-5 .
b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau
oedema terutama disekitar persendian.
c) Nyeri tekan (tenderness), krepitas, catat letak kelainan (1/3
proksimal, tengah atau distal)
Otot : tonos pada waktu relaksasi atau kontraksi, benjolan yang
terdapat dipermukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga
diperiksa status neurocaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat
benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya,
pergerajan terhadap dasar, atau permukaannya, nyeri atau tidak
dan ukurannya (Rosyidi, 2013).
3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan
menggerakan ekstremitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri
pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat
mengevaluasi keaadan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi
dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari
titil 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini
menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak.
Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif (Rosyidi,
2013).
3. Pemeriksaan diagnostik
a. Pemeriksaan radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (ex-ray). Untuk mendapatkan gambara 3
dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan dua
proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu
diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk
memperlihatkan phatologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu
disadari bahwa permintaan ex-ray harus atas dasar indikasi pengguanaan

24
pemeriksaan penunjang dan harislnya dibaca sesuai dengan permintaan.
Hal yang harus dibaca pada ex-ray (Rosyidi, 2013):
1) Bayangan jaringan lunak
2) Tipis tabalnya korteks sebagai akibat reaksi periosterum atau
biomekanik atau juga rotasi.
3) Trobukulasi ada tidanya lare fracstion
4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi (Rosyidi, 2013)

Selain foto potol ex-ray (plane ex-ray) mungkin perlu teknik khususnya
seperti :

1) Tomografi : menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur


yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan
kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur
saja tetapi pada struktur lain juga mengalaminya
2) Myelografi : menggambarkan cabang-cabang sprinal dan pembuluh
darah di ruangan tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat
trauma

3) Arphrografi : menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak


karena ruda paksa (Rosyidi, 2013).

2.10 Diagnosa Keperawatan

Adapun diagnose keperawatan yang sering dijumpai pada klien fraktur adalah
sebagai berikut (Rosyidi, 2013) :
a) Nyeri akut berdasarkan dengan spasme otot, gerakan frakmen tulang,
edema, cedera jaringan tulang, pemasangan traksi, stress atau ansietas
b) Resiko disfungsi neurovaskuler perifer berdasarkan dengan penurunan
aliran darah (cedera faskuler, edema, pembentukan thrombus)
c) Gangguan pertukaran gas berdasarkan dengan perubahan aliran darah,
emboli, pertumbuhan membrane alveola atau kapiler (interstisial, edema
paru, kognesti).
d) Gangguan mobilitas fisik berdasarkan dengan kerusakan rangka
neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi).

25
e) Gangguan integritas kulit berdasarkan dengan fraktur terbuka, pemasangan
traksi (pen, kawat, sekrup).
f) Resiko infeksi berdasarkan dengan ketidakadekuatan pertahanan primer
(kerusakan kulit, trauma jaringan lunak, prosedur invasife atau traksi
tulang).
g) Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan
berdasarkan dengan kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap
informasi, keterbatasan kognitif, kurang adekuat/lengkapnya informasi yang
ada (Rosyidi, 2013).

2.11 Intervensi Keperawatan

INTERVENSI
NO DIAGNOSA TUJUAN RASIONAL
KEPERAWATAN
Nyeri akut Setelah dilakukan 1. Pertahankan imobilisasi 1. Mengurangi nyeri
berdasarkan dengan asuhan keperawatan bagian yang sakit dan mencegah
spasme otot, selama 1 × 48 jam dengan tirah baring, malformasi
gerakan frakmen diharapkan : gips, bebat, dan 2. Meningkatkan aliran
tulang, edema, Klien mengatakan atotraksi balik vena,
cedera jaringan nyeri berkurang atau 2. Tinggikan posisi mengurangi edema
tulang, pemasangan hilang dengan ekstremitas yang atau nyeri
traksi, stress atau menunjukan tindakan terkena 3. Mempertahankan
ansietas santai, mampu 3. Lakukan dan awasi kekuatan otot dan
1 berpartisipasi dalam latihan gerak pasif/aktif meningkatkan
beraktifitas, tidur, 4. Lakukan tindakan untuk sirkulasi faskuler
istirahat dengan tepat, meningkatkan 4. Meningkatkan
menujukan kenyamanan (masase, sirkulasi umum,
ketrampilan relaksasi perubahan posisi) menurunkan area
dan aktifitas trapeutik 5. Ajarkan penggunaan tekanan local dan
sesuai indikasi untuk teknik manajemen nyeri kelelahan otot
situasi individual (latihan napas dalam, 5. Mengalihkan
imajinasi visual, perhatian terhadap
aktifitas dipersional) nyeri, meningkatkan

26
6. Lakukan kompres control terhadap
dingin selama fase akut nyeri yang mungkin
(24-48 jam pertama) berlangsung lama
sesuai keperluan 6. Menurunkan adema
7. Kolaborasi pemberian dan mengurangi rasa
analgetik sesuai dengan nyeri
indikasi 7. Menurunkan nyeri
8. Evaluasi keluhan nyeri melalui mekanisme
(skala, petunjuk verbal penghambatan
dan non verbal, rangasangan nyeri
perubahan TTV) baik secara sentral
maupun perifer
8. Menilai
perkembangan
masalah klien
Resiko disfungsi Setelah dilakukan 1. Dorong klien untuk 1. Meningkatkan
neurovaskuler asuhan keperawatan secara rutin melakukan sirkulasi darah dan
perifer berdasarkan selama 1× 48 jam latihan menggerakan mencegah kekakuan
dengan penurunan diharapkan : jari atau sendi distal sendi
aliran darah (cedera Klien akan cidera 2. Mencegah stasis
faskuler, edema, menunjukan fungsi 2. Hindarkan restriksi vena dan sebagai
pembentukan neurofakkuler baik sirkulasi akibat tekanan petunjuk perlunya
thrombus) dengan kriteria akral bebat atau spalk yang penyesuaian
2 hangat, tidak pucat dan terlalu ketat keketatan bebat atau
sianosis, bias bergerak 3. Pertahankan letak tinggi spalk
secara aktif ekstremitas yang cedera 3. Meningkatkan
kesuali ada drainase (aliran
kontraindikasi adanya darah) vena dan
sindroma kompartemen menurunkan adema
4. Berikan obat anti kecuali pada adanya
koagulan bila keadaan hambatan
diperlukan aliran arteri yang

27
5. Pantai kualitas nadi menyebabkan
perifer, aliran kapiler, penurunan perfusi
warna kulit dan 4. Diberikan sebagai
kehangatan kulit distal upaya profilaktik
cedera, dibandingkan (pencegahan) untuk
dengan sisi yang menurunkan troma
normal bus vena
5. Mengevaluasi
perkembangan
masalah klien dan
perlunya intervensi
sesuai keadaan klien
Gangguan Setelah dilakukan 1. Dorong klien untuk 1. Meningkatkan
pertukaran gas asuhan keperawatan secara rutin melakukan sirkulasi darah dan
berdasarkan dengan selama 1 × 48 jam latihan menggerakan mencegah kekakuan
perubahan aliran diharapkan : jari atau sendi distal sendi
darah, emboli, Klien akan cedera 2. Mencegah stasis
pertumbuhan menunjukan kebutuhan 2. Hindari restriksi vena dan sebagai
membrane alveola oksigenasi terpenuhi sirkulasi akibat tekanan petunjuk perlunya
atau kapiler dengan kriteria klien bebat atau splak yang penyesuaian
(interstisial, edema tidak sesak napas, tidak terlalu ketat keketatan bebat atau
paru, kognesti). sianosis analisa gas 3. Pertahankan letak tinggi spalk
3
darah dalam batas ekstremitas yang cedera 3. Meningkatkan
normal kecuali adanya drainase vena dan
kontraindikasi adanya menurunkan adema
sindroma kompartemen kecuali pada adanya
4. Berikan obat anti keadaan hambatan
koagulasi bila aliran arteri yang
diperlukan menyebabkan
5. Pantau kualitas nadi penurunan perfusi
perifer, aliran kapilerm 4. Diberikan sebagai
warna kulit dan upaya profilaktik

28
kehangatan kulit distal (pencegahan) untuk
cedera bandingan menurunkan troma
dengan sisi yang bus vena
normal 5. Mengevaluasi
perkembangan
masalah klien dan
perlunya intervensi
sesuai keadaan klien
Gangguan Setelah dilakukan 1. Mempertahankan 1. Memfokuskan
mobilitas fisik asuhan keperawatan pelaksanaan aktivitas perhatian,
berdasarkan dengan selama 1× 48 jam rekreasi terapeutik meningkatkan rasa
kerusakan rangka diharapkan : (radio, Koran, control diri atau
neuromuskuler, Klien dapat kunjungan teman atau harga diri, membantu
nyeri, terapi meningkatkan atau keluarga) sesuai kedaan menurunkan isolasi
restriktif mempertahankan klien social
(imobilisasi). mobilitas pada tingkat 2. Bantu latihan rentang 2. Meningkatkan
paling tinggi yang pasif aktif pada sirkulasi darah
mungkin dapat ekstremitas yang sakit muskuloskeletal,
mempertahankan maupun yang sehat mempertahankan
posisi fungsional sesuai keadaan klien tonus otot,
4
meningkatkan 3. Berikan papan mempertahankan
kekuatan atau fungsi penyangga kaki, gerak sendi,
yang sakit dan gulungan trokanter atau mencegah kontraktur
mengkompensasi tangan sesuai indikasi atau atrofi dan
bagian tubuh 4. Bantu dan dorong mencegah reabsobsi
menunjukan teknik perawatan diri kalsium karena
yang mampu (keberseihan atau imobilisasi
menunjukan aktifitas eliminasi) sesuai 3. Mempertahkan posis
keadaan klien fungsional
5. Ubah posisi secara ekstremitas
periodik (rutin) seusai 4. Meningkatkan
keadaan klien kemandirian klien

29
6. Dorong atau dalam perawatan diri
pertahankan asupan seuai kondiri
cairan 2000 – 3000 keterbatasan klien
ml/hari 5. Menurunkan insiden
7. Berikan diet TKTP komplikasi kulit dan
8. Kolaborasi pelaksanaan pemafasan
fisioterapi seuai (decubitus,
indikasi atelectasis,
9. Evaluasi kemampuan penumonis)
mobilisasi klien dan 6. Mempertahankan
program imobilisasi hidrasi adekuat,
mencegah
komplikasi urinarius
dan konstipasi
7. Kalori dan protein
yang cukup
diperlukan untuk
proses penyembuhan
dan mempertahakan
fungsi fisiologis
tubuh
8. Kerja sama dengan
fisioterapis perlu
untuk menyusun
program aktifitas
fisik secara
indivisual
9. Menilai
perkembangan
masalah klien
Gangguan Setelah dilakukan 1. Mempertahankan 1. Menurunkan resiko
5
integritas kulit asuhan keperawatan tempat tidur yang kerusakan atau abrasi

30
berdasarkan dengan selama 1 × 48 jam nyaman dan aman kulit yang lebih luas
fraktur terbuka, diharapkan : (kering, bersih, alat 2. Meningkatkan
pemasangan traksi Klien mengatakan tenun kencang, bantalan sirkulasi perifer dan
(pen, kawat, ketidaknyamanan bawah siku, tumit) meningkatkan
sekrup). hilang, menunjukan 2. Memasase kulit kelemasan kulit dan
perilaku teknik untuk terutama daerah otot terhadap
mencegah kerusakan menonjolan tulang terhadap tekanan
kulit atau memudahkan daerah distal bebat atau yang relative konstan
penyembuhan sesuai gips pada imobilisasi
indikasi, mencapai 3. Lindungi kulit dan gips 3. Mencegah gangguan
penyembuhan luka pada daerah perianal integritas kulit dan
sesuai waktu atau 4. Observasi keadaan jaringan akibat
penyembuhan lesi kulit, penekanan gips kontaminasi fekal
terjadi atau bebat terhadap 4. Menilai
kulit, insersi pen atau perkembangan
traksi masalah klien
Resiko infeksi Setelah dilakukan 1. Lakukan perawatan 1. Mencegah infeksi
berdasarkan dengan asuhan keperawatan pensteril dan perawatan sekunder dan
ketidakadekuatan selama 1 kali 48 jam luka memercepat
pertahanan primer diharapkan : 2. Ajarkan klien untuk penyembuhan luka
(kerusakan kulit, Klien mencapai mempertahankan 2. Meminimalkan
trauma jaringan penyembuhan luka sterilisasi insersi pen kontaminasi
lunak, prosedur sesuai waktu, bebas 3. Kolaborasi pemberian 3. Antibiotika spectrum
invasife atau traksi drainase purulent atau anti biotika dan toksoid luas atau spesifik
6
tulang). eritema dan demam tetanus sesuai indikasi dapat digunakan
4. Analisa hasil secara profilaksis,
pemeriksaan mencegah atau
laboratorium (hitung mengatasi infeksi.
darah lengkap LED, Toksoid tetanus
kultur dan sensitivitas untuk mencegah
luka atau serum atau infeksi tetanus
tulang) 4. Leukositosis

31
5. Observasi TTV dan biasanya terjadi pada
tanda-tanda peradangan proses infeksi,
local pada luka anemia, dan
peningkatan LED
dapat terjadi pada
oksteomienitis.
Kultur untuk
mengidektifikasi
organisme penyebab
infeksi
5. Mengevaluasi
perkembangan
masalah klien
Kurang Setelah dilakukan 1. Kaji persiapan klien 1. Evektifitas proses
pengetahuan asuhan keperawatan mengikuti program pembelajaran
tentang kondisi, selama 1 kali 48 jam pembelajaran dipengaruhi oleh
prognosis, dan diharapkan : 2. Diskusikan metode kesiapan fisik dan
kebutuhan Klien akan mobiulitas dan mental klien untuk
pengobatan menunjukan ambulasi sesuai dengan mengikuti program
berdasarkan dengan pengetahuan program terapi fisik pembelajaran
kurang terpajan meningkat dengan 3. Ajarkan tanda atau 2. Meningkatkan
atau salah kriteria klien mengerti gejah klinis yang partisipasi dan
7. interpretasi dan memamhami memerlukan evaluasi kemandirian klien
terhadap informasi, tentang penyakitnya medic (nyeri berat, dalam perencanaan
keterbatasan demam, perubahan dan pelaksanaan
kognitif, kurang sensai kulit, distal program terapi fisik
adekuat/lengkapnya cidera) 3. Meningkatkan
informasi yang ada. 4. Persiapan klien untuk kewaspadaan klien
mengikuti terapi untuk mengenali
pembedahan bila tanda atau gejalah
diperlukan dini yang
memerlukan

32
intervensi lebih
lanjut
4. Upayah pembedahan
mungkin diperlukan
untuk mengatasi
masalah sesuai
kondisi klien

33
BAB III

KASUS FRAKTUR

A. Pengkajian

Pengkajian dilakukan pada tanggal 10 Agustus di RSUD Haji Makassar hari


jumat jam 09.00. Data diperoleh dari pasien dan keluarga pasien, catatan
keperawatan pasien dan tim kesehatan lainnya dengan metode Autoanamnesa dan
Alloanamnesa.

1. Identitas Pasien

Nama : Tn. H

Umur : 49 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Swasta

Pendidikan : SMP

Alamat : Jl.Nuri Baru

Agama : Islam

Tanggal masuk : 8 Agustus 2019

No. RM : 26754

Diagnosa Medis : Fraktur tibia 1/3 proksimal dextra

34
2. Identitas Penanggung Jawab

Nama : Ny. I

Umur : 40 tahun

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Pendidikan : SMP

Alamat : Jl.Nuri Baru

Hubungan dengan pasien : Istri pasien

3. Keluhan Utama

Nyeri pada tungkai kanan bagian bawah

4. Riwayat Kesehatan

a. Riwayat Kesehatan Sekarang

Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien mengalami patah tulang


pada tungkai kanan dan mengalami nyeri berat, skala nyeri 6. Pasien
mengalami kecelakaan sepeda motor pada hari kamis tanggal 8 Agustus
2019, 2 hari yang lalu sewaktu pulang dari bekerja jam 17.00 WIB. Pasien
mengatakan mengendarai sepeda motor sendiri untuk menuju ke rumah
kemudian terserempet sepeda motor lain dan terjatuh dengan posisi
tengkurap ke kanan. Kemudian tungkainya yang sebelah kanan terkena
aspal jalan karena pasien menggunakan tungkai kanannya sebagai
tumpuan. Oleh sebab itu pasien menderita patah tulang. Saat jatuh pasien
tidak pingsan. Beberapa saat setelah kecelakaan pasien dibawa ke RSUD
Haji Makassar diberikan pengobatan dan dilakukan pembidaian dan diberi
perban. Pasien dirawat di RSUD Haji sudah 1 hari. Di IGD pasien
mendapatkan terapi pemasangan infus RL 20 tpm (tetes per menit) pada
tangan kiri kemudian pukul 22.00 WIB pasien dipindahkan ke bangsal

35
Rinra I. Keesokan harinya pasien dilakukan pemeriksaan rontgen,
laboratorium serta EKG (Elektro Kardio Grafi). Sekarang pada saat
pengkajian yaitu Jumat tanggal 10 Agustus 2019 pasien mengatakan nyeri
pada tungkai kakinya sebelah kanan post operasi hari pertama. Nyeri
timbul jika untuk bergerak, nyeri seperti tertusuk-tusuk, nyeri berlangsung
terus menerus berhenti jika posisi nyaman dan tidak bergerak. Saat ini
pasien mendapatkan terapi injeksi Cefotaxime 2×1 gram per IV (Intra
Venous) dan injeksi Ketorolac 3×1 ampul per IV infus. Selain itu pasien
juga mendapatkan terapi injeksi Actrapid 4 IU setiap sebelum makan.

b. Riwayat Kesehatan Dahulu

Pasien mengatakan sebelumnya tidak pernah dirawat inap di RS. Bila


sakit pasien langsung dibawa ke Puskesmas/ mantri di
daerahnya. Keluarga pasien mengatakan bahwa sebelumnya pasien tidak
pernah mengalami kecelakaan sepeda motor seperti sekarang ini dan
belum pernah dioperasi. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit asma,
jantung dan hipertensi. Tetapi sekarang ini pasien menderita penyakit DM
(Diabetes Mellitus) terbukti dengan kadar GDS (Gula Darah Sewaktu)
tanggal 8 April 2019 yaitu 198 mg/dl dan gula darah 2 jam PP (Post
Prandial) yaitu 225 mg/dl.

c. Riwayat Kesehatan Keluarga

Keluarga pasien mengatakan tidak ada anggota keluarga yang pernah


mengalami kecelakaan. Pasien mengatakan di dalam keluarganya tidak
ada yang mengalami sakit yang diderita suaminya. Di dalam keluarganya
juga tidak ada yang menderita penyakit keturunan seperti DM, hipertensi,
jantung dan penyakit menular seperti TBC, AIDS, Hepatitis. Pasien juga
mengatakan bahwa di dalam keluarganya tidak ada yang mempunyai
alergi baik obat-obatan maupun makanan.

36
5. Pola Kehidupan Sehari-hari

a. Pola persepsi kesehatan

Sebelum sakit : Pasien mengatakan bahwa ia dan keluarganya sangat


memperhatikan masalah kesehatan. Jika ada
anggota keluarga yang sakit, segera diberi obat atau
diperiksakan ke Puskesmas atau mantri.

Selama sakit : Keluarga pasien mengatakan bahwa kesehatan itu


mahal harganya jadi keluarga akan merawat Tn. H
dengan baik. Pasien mengatakan jika sudah sembuh
nanti akan lebih memperhatikan kesehatan dan akan
berhati-hati jika naik kendaraan.

b. Pola Nutrisi

Sebelum sakit : Pasien mengatakan biasanya makan 3x/ hari dengan


menu nasi, sayur (bayam, buncis, wortel, kangkung),
lauk (tempe, telur, tahu, daging). Porsi 1 piring
habis. Pasien tidak suka makanan (sayuran yang
bersantan contohnya: sayur nangka, kluwih, dan
opor). Pasien biasa minum 6-7 gelas perhari ± 1400
cc, pasien biasanya minum air putih dan teh.

Selama sakit : Pasien mengatakan makan 3 kali sehari dengan menu


yang disediakan RS yaitu nasi, sayur, lauk, buah,
porsi makan sedang tetapi pasien hanya makan dan
habis ½ porsi makanan karena masakan yang
disediakan dari RS tidak enak. Setiap sebelum makan
pasien selalu diberikan injeksi Actrapid 4 IU
(IntraUnit) pada lengannya secara SC
(SubCutan). Pasien minum air putih ± 5-6 gelas

37
setiap harinya ± 1200 cc. Diit dari RS yaitu RKTP (
Rendah Kalori Tinggi Protein ).

c. Pola Eliminasi

Sebelum sakit : Pasien mengatakan BAB (Buang Air Besar) 1 kali


sehari biasanya saat pagi hari dengan konsistensi
feses lunak, warna kuning kecoklatan, bau khas,
tidak ada lendir/ darah, tidak ada keluhan. Pasien
mengatakan sehari BAK (Buang Air Kecil) 7-8 x/
hari dengan konsistensi jernih, kekuningan dan bau
khas.

Selama sakit : Pasien mengatakan semenjak dirawat, BAB tidak ada


masalah tetap 1 kali dalam sehari tetapi waktunya
tidak tentu. Warna feses kuning kecoklatan, bau khas
dan tidak ada lendir/ darah. Pasien mengatakan BAK
4-5 x/ hari dengan konsistensi jernih, kekuningan dan
bau khas. Pasien BAB dan BAK dibantu oleh
keluarga dengan menggunakan pispot.

d. Pola Istirahat dan Tidur

Sebelum sakit : Pasien mengatakan tidur malam ± 5-6 jam dimulai


pukul 22.00–04.00 WIB, tidurnya tidak ada
gangguan. Pasien mengatakan bahwa dirinya tidak
pernah tidur siang.

Selama sakit : Pasien mengatakan tidur setelah minum obat. Selama


di RSUD Haji pasien bisa tidur tetapi jika nyeri bekas
operasi kambuh pasien terbangun. Pasien tidur
malam ± 8 jam dimulai pukul 21.00–05.00 WIB dan
tidur siang ± 2 jam dimulai pukul 12.00–14.00
WIB. Pasien tidur dengan posisi elevasi tungkai.

38
e. Pola Aktivitas dan Latihan

Sebelum sakit : Pasien mengatakan sehari-hari bekerja sebagai sopir.


Berangkat jam 06.00 pagi dan pulang tidak tentu,
tapi rata-rata pulang jam 20.00 WIB. Keseharian
pasien hanya dilakukan untuk bekerja mencari
nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Pasien
tidak pernah mengikuti kegiatan yang ada di desanya
karena pekerjaannya yang selalu pulang malam.

Selama sakit : Pasien mengatakan izin bekerja selama masih


sakit. Pasien mengatakan aktivitas sehari-harinya
dibantu keluarga yang tidak lain adalah istrinya (Ny.
I). Untuk makan disuapi, minum diambilkan, BAK
dan BAB dengan pispot. Pasien dibantu keluarga
karena tidak bisa bergerak. Pasien setiap pagi
disibin oleh istrinya.

f. Pola Kognitif

Sebelum sakit : Pasien mengatakan tidak tahu bahaya dari patah tulang
jika tidak segera diatasi.

Selama sakit : Pasien mengatakan sudah tahu tentang tindakan


penangananan dari patah tulang yang sedang
dideritanya, pasien mendapatkan informasi dari dokter
dan perawat yang merawatnya.

g. Pola Konsep Diri

1) Gambaran diri : Pasien mengatakan sedih dengan keadaannya saat


ini, tetapi pasien bisa menerima kondisinya saat
ini karena masih banyak orang yang lebih
menderita.

39
2) Harga diri : Pasien mengatakan tidak malu/ rendah diri
dengan keadaannya sekarang ini, keluarga dan
sahabat selalu memberi semangat menjalani
hidup.

3) Peran : Pasien mengatakan perannya sebagai ayah, kepala


keluarga, dan pencari nafkah. Sekarang ini pasien
tidak bisa lagi bekerja karena kondisi pasien yang
sedang sakit. Untuk biaya RS pasien menggunakan
uang tabungannya di Bank.

4) Identitas : Pasien mengatakan bahwa dirinya sebagai seorang


ayah yang berumur 49 tahun dan beragama Islam.

5) Ideal diri : Pasien berharap untuk cepat sembuh sehingga


dapat beraktivitas seperti sediakala sebelum
sakit dan dapat berkumpul dengan keluarga,
saudara, dan sahabat.

h. Pola Hubungan Pasien

Sebelum sakit : Pasien mengatakan hubungan dengan keluarga,


teman, tetangga baik tidak ada masalah.

Selama sakit : Pasien mengatakan hubungan dengan dokter,


perawat di Rumah Sakit dengan pasien lain
baik. Istri selalu setia menunggu pasien di RS
(Rumah Sakit)

40
i. Pola Seksual dan Reproduksi

Sebelum sakit : Pasien mengatakan tidak ada keluhan dengan alat


genetalianya. Pasien mengatakan masih
melakukan hubungan seksual dengan istrinya ± 2
kali dalam seminggu.

Selama sakit : Pasien mengatakan tidak ada keluhan dengan alat


genetalianya. Pasien mengatakan selama dirinya
dirawat di RS pasien belum melakukan hubungan
seksual dengan istrinya karena saat ini yang
dipikirkan pasien adalah tungkai kakinya bisa cepat
sembuh.

j. Pola Koping dan Toleransi Peran

Sebelum sakit : Bila ada masalah, pasien menceritakan kepada


keluarga. Pasien mengatakan bila ada masalah
maka diselesaikan secara musyawarah.

Selama sakit : Pasien mengatakan berusaha sabar, pasrah dan


menerima keadaannya serta menyerahkan kepada
Tuhan dengan keadaannya saat ini, serta
menyerahkan pengobatannya kepada tim medis
RS.

k. Pola Nilai dan Kepercayaan

Sebelum sakit : Pasien mengatakan selalu rajin sembahyang ke


gereja setiap 1 minggu sekali pada hari Sabtu sore
bersama istri dan anak-anaknya.

Selama sakit : Pasien mengatakan tidak bisa menjalankan ibadah


karena keadaannya sekarang ini tetapi pasien selalu

41
berdo’a kepada Tuhan agar cepat diberi
kesembuhan.

6. Pemeriksaan Umum pada tanggal 10 Agustus 2019 jam 09.00

1. Keadaan umum : Sedang


2. Kesadaran : Compos mentis
3. Tanda-tanda vital :

1) TD (Tekanan Darah) : 130/90 mmHg

2) N (Nadi) : 80 x/ menit

3) S (Suhu) : 367 oC

4) RR (Respirasi) : 24 x/ menit

GCS (Glasgow Coma Scale) : E4 V5 M6

a. Kepala : Mesochepal, tidak terdapat lesi.

b. Rambut : Kulit kepala bersih, rambut hitam, lurus, tidak beruban,


rambut pendek, tidak berketombe, rambut bersih.

c. Mata : Simetris, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik,


tidak ada nyeri tekan, tidak ada gangguan penglihatan,
pupil isokor.

d. Telinga : Simetris, bersih, tidak ada gangguan pendengaran, tidak


terdapat serumen, tidak ada nyeri saat telinga ditekan dan
ditarik.

e. Hidung : Simetris, bersih, tidak ada polip, tidak ada gangguan


penciuman, tidak ada massa, tidak ada sekret, tidak ada
nyeri tekan, tidak ada perdarahan, tidak terpasang O2.

42
f. Mulut : Mulut berbau, gigi tidak caries, lidah kotor, tidak ada
stomatitis, tidak memakai gigi palsu, fungsi
pengecapan baik, membran mukosa bibir lembab.

g. Wajah : Tampak segar, tampak bekas luka jatuh tetapi luka sudah
mengering, kening berkerut menahan nyeri pada tungkai
kakinya sebelah kanan.

h. Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar tyroid, simetris, tidak ada


nyeri tekan dan nyeri telan, tidak ada peningkatan JVP
(Jugular Venous Pressure).

7. Pemeriksaan Fisik

1) Jantung :

a) Inspeksi : IC (Ictus Cordis) tidak nampak

b) Palpasi : IC (Ictus Cordis) tidak kuat angkat

c) Perkusi : Pekak, batas jantung kesan tidak melebar

d) Auskultasi : Bunyi jantung I dan II normal terdengar lupdup,


bising negatif, tidak ada suara tambahan.

2) Paru-paru :

a) Inspeksi : Pengembangan paru kanan dan kiri simetrik

b) Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, gerakan fokal fremitus antara


kanan dan kiri sama.

c) Perkusi : Bunyi paru resonan

d) Auskultasi : Suara dasar paru normal, terdengar vesikuler, tidak


ada whezzing.

43
3) Abdomen :

a) Inspeksi : Tidak ada asites, tidak ada nodul, bentuk simetris,


kontur kulit lentur, tidak ada benjolan/ massa.

b) Auskultasi : Bising usus 16 x/ menit

c) Perkusi : Tidak ada pembesaran pada hati, tidak ada nyeri tekan,
suara tympani.

d) Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, tidak ada massa.

4) Genetalia : Menolak dilakukan pemeriksaan. Tidak terpasang


kateter. Untuk BAB dan BAK dengan pispot.

5) Ekstremitas :

Ekstremitas atas: Tangan kanan dan kiri dapat melawan tahanan pemeriksa
dengan kekuatan maksimal, tangan kiri terpasang infus RL
20 tpm (tetes per menit), tidak ada luka pada ekstremitas
atas, dapat digerakkan dengan bebas, dan tidak ada edema.

Ekstremitas bawah :

a) Kanan : Ada gerakan pada sendi tetapi tidak dapat melawan gravitasi,
tungkai kanan terpasang balutan bekas operasi hari pertama,
balutan kering, tidak tembus, tampak pada jari-jari kaki
kanan mengalami pembengkakan, tidak terpasang drain.

P (Paliatif) : tungkai sebelah kanan, nyeri jika untuk bergerak

Q (Quality) : nyeri seperti tertusuk-tusuk

R (Regio) : tungkai sebelah kanan menempel lutut (sebelah 1/3


proksimal pada tulang tibia).

44
S (Scale) : skala nyeri: 6 saat dilakukan pengkajian post operasi hari
kedua.

T (Time) : terus menerus berhenti jika posisi enak dan tidak bergerak.

b) Kiri : Pasien dapat melawan tahanan pemeriksa dengan kekuatan


maksimal, tampak pada lutut dan di bawah lutut sebelah kiri
luka-luka post trauma, luka sedikit kering dan warna merah.

6) Kulit : Warna kulit sawo matang, turgor kulit baik (< 2 detik), tidak
ada biang keringat, tidak ada decubitus, pada tungkai kaki
kanan yang telah di operasi ORIF tampak adanya 10
jahitan, daerah luka tampak berwarna kemerahan dan
bengkak.

45
B. Analisa Data

Nama Klien : Tn. H

Ruang/RS : Rinra I/ RSUD Haji Makassar

Tgl/Jam Data fokus Problem Etiologi TTD


10 Agustus DS :Pasien mengatakan nyeri pada Nyeri akut Agen-agen yang
2019 luka post operasi hari pertama pada menyebabkan cidera
tungkai kakinya sebelah kanan, fisik, luka insisi post
09.00
skala nyeri: 6 operasi.

DO :

1. P : Tungkai sebelah kanan nyeri


jika untuk bergerak

2. Q : Nyeri seperti tertusuk-tusuk

3. R : Tungkai sebelah kanan


menempel lutut (sebelah 1/3
proksimal tepatnya pada
tulang tibia)

4. S : Skala nyeri: 6

5. T : Nyeri terus menerus berhenti


saat posisi enak dan tidak
bergerak

6. Pasien tampak menahan sakit

7. Ekspresi wajah pasien tampak


tegang

46
8. TTV : TD : 130/ 90 mmHg

N : 80 x/ menit

S : 367 oC

RR : 24 x/ menit

9. Pasien tampak takut


menggerakkan kakinya sebelah
kanan
10 Agustus DS : Hambatan Kerusakan
2019 1. Pasien mengatakan takut untuk mobilitas neuromuskuler dan
bergerak dan nyeri pada tungkai fisik muskuloskeletal, nyeri
09.00
kakinya sebelah kanan jika untuk post operasi
bergerak

2. Pasien mengatakan kaki kanan


tidak bisa digerakkan dan nyeri
jika untuk bergerak

DO :

1. Pasien tampak bedrest, posisi


elevasi tungkai

2. Tampak balutan post operasi hari


kedua

1. 3. Pasien tampak lemah


2. 4. Pasien tampak takut bergerak
3. Dalam aktivitasnya pasien
dibantu oleh keluarga dan
perawat
4. Pasien tampak membatasi

47
gerakan
5. Tampak pada tungkai dan kaki
sebelah kanan bengkak

10 Agustus DS :Pasien mengatakan ini hari Risiko Luka insisi bedah,


2019 pertama post operasi infeksi prosedur invasif,
kehancuran jaringan
09.00 DO :

1. Tampak pada tungkai kanan 1/3


proksimal terpasang balutan luka
post operasi, balutan kering,
tidak tembus

2. Pasien tidak terpasang drain di


tungkai kaki kanannya

3. Leukosit : 17.300/ mm3

4. GDP : 146 mg/dl, GDS : 189


mg/ dl

5. Hasil rontgen didapatkan


gambaran tibia 1/3 proksimal
post platting dengan 5 sekrup
dan pinning os fibula 1/3
proksimal 4 sekrup
10 Agustus DS :Pasien mengatakan terdapat Kerusakan Bedah perbaikan dan
2019 luka bekas operasi pada integritas imobilisasi
tungkainya kulit
09.00

48
DO :

1. Tampak adalanya luka post ORIF


pada tungkai kaki kanan, 10
jahitan

2. Daerah luka post ORIF tampak


kemerahan dan bengkak

C. Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen-agen yang menyebabkan cidera fisik, luka
insisi post operasi.
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler dan
muskuloskeletal, nyeri post operasi.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan bedah perbaikan dan imobilisas
4. Risiko infeksi berhubungan dengan luka insisi bedah, prosedur invasif.

49
D. Intervensi Keperawatan

Tanggal/Jam No. Tujuan dan Intervensi Rasional


Dx Kriteria Hasil
10 Agustus 1. Setelah dilakukan a. Ajarkan dan dorong untuk a. Untuk mengetahui
2019 tindakan manajemen stress perkembangan kesehatan
keperawatan selama (relaksasi, nafas dalam, klien.
09.00
3×24 jam diharapkan imajinasi, sentuhan
b. Mengurangi nyeri dan
nyeri berkurang atau terapeutik).
pergerakan.
hilang dengan
b. Monitor TTV dan observasi
kriteria hasil:
c. Nyeri dan spasme
KU pasien dan keluhan
dikontrol dengan
1. a. Skala nyeri 2-3. pasien.
imobilisasi.
2. Ekspresi wajah
c. Atur posisi yang aman dan
santai dan tenang
d. Program pengobatan
nyaman.
3. TTV dalam batas
untuk menurunkan nyeri.
normal.
d. Pertahankan imobilisasi
pada bagian yang sakit.
b. Pasien tampak
rileks.Kaji tingkat
e. Kolaborasi dengan dokter
nyeri dengan
dalam pemberian analgetik.
standar PQRST.
f. Mengetahui tindakan
keperawatan yang
diberikan sesuai dengan
tingkatan nyeri.

g. Memfokuskan kembali
perhatian koping terhadap
stress sehingga dapat
menurunkan nyeri.
10 Agustus 2. Setelah dilakukan a. (Range Of Motion) pasif a. Posisi elevasi mengurangi
tindakan dan aktif.

50
2019 keperawatan selama edema.
b. Bantu dan dorong pasien
3×24 jam diharapkan
09.00 untuk melakukan aktivitas b. Meningkatkan kekuatan
masalah hambatan
perawatan secara bertahap. otot.
mobilitas fisik dapat
teratasi dengan
c. Beri bantuan dalam c. Mobilisasi menurunkan
kriteria hasil:
menggunakan alat gerak. komplikasi.

a. Kemampuan
d. Kolaborasi dengan ahli d. Melatih otot dan sendi-
mobilitas pasien
fisioterapi untuk melatih sendi agar tidak
meningkat.
pasien. mengalami kontraktur
dan komplikasi.
b. Pasien menjadi
e. Meminimalkan nyeri dan
tidak takut untuk
mencegah salah posisi.
bergerak.

c. Pasien mampu
beraktivitas secara
bertahap.

d. Pasien mampu
menggunakan alat
bantu gerak.

e. Pertahankan tirah
baring dan melatih
tangan serta
ekstremitas sakit
dengan lembut.

f. Atur posisi elevasi


tungkai.

51
g. Latih dan bantu
ROM
10 Agustus 3. Setelah dilakukan a. Lakukan perawatan pada a. Meminimalkan risiko
2019 tindakan area kulit yang dilakukan terjadinya decubitus.
keperawatan selama tindakan bedah.
09.00 b. Mencegah terjadinya
3×24 jam diharapkan b. Kaji/ catat ukuran, warna,
kerusakan kulit.
tidak terjadi kedalaman luka, perhatikan
kerusakan integritas jaringan nekrotik dan
c. Mengetahui indikasi
kulit dengan kriteria kondisi di sekitar luka.
keefektifan dan terapi
hasil: c. Kolaborasi dengan dokter
yang diberikan.
dalam pemberian obat-
a. Pasien mengatakan
obatan topikal. d. Mempercepat proses
ketidaknyamanan
d. Kolaborasi dengan ahli gizi regenerasi jaringan.
hilang.
untuk pemberian diit.
e. Mempercepat proses
b. Pasien mencapai
penyembuhan.
proses
penyembuhan
secara maksimal
dengan cepat.

c. Pasien
menunjukkan
regenerasi
jaringan pada area
yang luka.

d. Ubah posisi pasien


dengan sering.

1.

10 Agustus 4. Setelah dilakukan a. Perhatikan adanya keluhan a. Mempercepat


tindakan penyembuhan luka dan

52
2019 keperawatan selama peningkatan nyeri. mencegah infeksi.
3×24 jam diharapkan
09.00 b. Kaji tonus otot dan refleks b. Mengetahui tanda-tanda
tidak terjadi infeksi
tendon. infeksi gas gangren.
dengan kriteria hasil:

c.Selidiki adanya nyeri yang c. Mencegah terjadinya


a. TTV dalam batas
muncul tiba-tiba. kerusakan kulit yang
normal.
lebih luas.
d. Kolaborasi dengan dokter
b. Tidak ada
dalam pemberian antibiotik d. Untuk mengidentifikasi
bengkak.
dan Vitamin C keluhan nyeri.
c. Luka tidak tambas,
e. Mengetahui perkembangan e. Mengkaji tanda-tanda
kering dan bersih.
kesehatan pasien. tetanus.
d. Tidak ada tanda-
tanda infeksi.

e. Mencapai
penyembuhan
luka sesuai waktu.

f. Bebas drainase
purulen atau
eritema dan
demam.

g. Pantau KU pasien
dan monitor TTV,
kaji tanda-tanda
infeksi.

h. Lakukan
perawatan luka
dengan tepat dan

53
steril.

i.Observasi keadaan
luka terhadap
pembentukan bulla,
krepitasi dan bau
drainase yang tidak
enak.

j. Inspeksi kulit
terhadap adanya
iritasi.

54
E. Implementasi Keperawatan

Nama Klien : Tn. H

Ruang/RS : Rinra I/ RSUD Haji Makassar

NO DIAGNOSA IMPLEMENTASI TTD

1. a. Mengajarkan dan dorong untuk


manajemen stress (relaksasi, nafas
10-08-
dalam, imajinasi, sentuhan terapeutik).
2019

10.00 b. Melakukan Monitor TTV dan observasi


KU pasien dan keluhan pasien.

c. Mengatur posisi yang aman dan nyaman.

d. Mempertahankan imobilisasi pada


I bagian yang sakit.

e. Melakukan Kolaborasi dengan dokter


dalam pemberian analgetik.

f. Mengetahui tindakan keperawatan yang


diberikan sesuai dengan tingkatan nyeri.

g. Memfokuskan kembali perhatian koping


terhadap stress sehingga dapat
menurunkan nyeri.
2 a. Melakukan (Range Of Motion) pasif dan
aktif.
10-08-
2019 II b. Membantu dan dorong pasien untuk
13.00 melakukan aktivitas perawatan secara
bertahap.

55
c. Memberi bantuan dalam menggunakan
alat gerak.

d. Melakukan Kolaborasi dengan ahli


fisioterapi untuk melatih pasien.

e. Meminimalkan nyeri dan mencegah


salah posisi.
3 a. Melakukan perawatan pada area kulit
yang dilakukan tindakan bedah.
10-08-
b. Mengkaji/ catat ukuran, warna,
2019
kedalaman luka, perhatikan jaringan
15.00 III nekrotik dan kondisi di sekitar luka.
c. Melakukan Kolaborasi dengan dokter
dalam pemberian obat-obatan topikal.
d. Melakukan Kolaborasi dengan ahli gizi
untuk pemberian diit.
4 a. Memperhatikan adanya keluhan
peningkatan nyeri.
10-08-
2019 b. Mengkaji tonus otot dan refleks tendon.
19.00
c.Menyelidiki adanya nyeri yang muncul
tiba-tiba.
IV

d. Melakukan Kolaborasi dengan dokter


dalam pemberian antibiotik dan Vitamin
C

e. Mengetahui perkembangan kesehatan


pasien.

56
F. Evaluasi Keperawatan

Nama Klien : Tn. H

Ruang/RS : Rinra I/ RSUD Haji Makassar

Hari/Tanggal Diagnosa Data Perkembangan


Jumat S : Pasien mengatakan nyeri pada tungkai
10-08-2019 kakinya, masih terasa jika untuk bergerak tapi
10.00 berkurang dengan nafas dalam, skala nyeri:6 :

P : Nyeri jika untuk bergerak

Q : Nyeri seperti tertusuk-tusuk

R : Nyeri pada luka post operasi hari kedua pada


tungkai sebelah kanan, 1/3 proksimal
mendekati lutut.

S : Skala nyeri 6

I
T : Nyeri terus menerus berhenti jika posisi
nyaman dan dan tidak bergerak.Pasien
tampak menahan sakit, ekspresi wajah tegang

A : Masalah nyeri akut belum teratasi

P : Lanjutkan intevensi:

1. Kaji tingkat nyeri.

2. Monitor TTV, observasi KU dan keluhan


pasien

3. Atur posisi aman dan nyaman

57
1. Imobilisasikan bagian yang sakit
2. Lakukan program terapi dari dokter

Jumat S : Pasien mengatakan sudah tidak takut untuk


10-08-2019 bergerak dan sudah latihan bergerak di
13.00 tempat tidur.

O : Pasien tampak mencoba latihan di tempat


tidur dengan bergerak dan duduk di tempat
tidur.

Pasien tampak tenang, pasien tampak


menahan nyeri jika bergerak/ tidak berhati-
hati.

Kekuatan otot
II
5 5

2 5

A : Masalah hambatan mobilitas fisik teratasi


sebagian

P : Lanjutkan intervensi:

1. Pertahankan tirah baring


2. Atur posisi elevasi tungkai
3. Kolaborasi dengan Fisioterapi

Jumat S : Pasien mengatakan telah menghabiskan 2/3


10-08-2019 III dari porsi yang disediakan oleh RS, pasien
15.00 mengatakan banyak makan putih telur, pasien

58
mengatakan bersedia rajin untuk mengubah
posisi dan bersedia untuk dilakukan tindakan
keperawatan yaitu perawatan luka.

O : Tampak 10 jahitan pada luka post ORIF,


balutan luka tampak bersih, tidak terdapat
jahitan yang lepas, tidak terdapat jaringan
nekrotik, tidak ada bulla.

A : Masalah kerusakan integritas kulit belum


teratasi

P : Lanjutkan intervensi:

1. Pantau KU & monitor TTV


2. Lakukan perawatan luka
3. Anjurkan banyak makan tinggi protein,
vitamin C dan D
4. Kolaborasi pemberian antibiotik

Jumat S : Pasien mengatakan balutan luka sudah diganti


10-08-2019 tadi pagi
19.00
O : Balutan luka post ORIF tidak tambas, kering,
tidak berbau, balutan sudah dimedikasi, post
operasi hari ketiga tampak kaki kanan dan

IV kiri terdapat luka post trauma mulai


mengering dan kemerahan, tidak ada bengkak
pada area operasi hanya bengkak pada jari
kaki dan telapak kaki sebelah kanan, pada
luka post operasi tidak terpasang drain,
terpasang pinning pada os fibula 1/3
proksimal dengan 4 sekrup dan platting pada

59
os tibia 1/3 proksimal dengan 5 sekrup. TD :
110/ 70 mmHg, N: 80x/ menit, S : 363 oC,
RR : 20 x/ menit

A : Masalah risiko infeksi teratasi sebagian

P : Pertahankan intervensi:

1. Ubah posisi dengan sering


2. Lakukan perawatan pada area kulit yang
di operasi.
3. Kaji adanya jaringan nekrotik.
4. Lanjutkan pemberian obat topikal
(sofratulle).
5. Pemberian diit RKTP.

60
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Umumnya fraktur disebabkan oleh trauma atau aktivitas fisik dimana terdapat
tekanan yang berlebihan pada tulang. Fraktur lebih sering terjadi pada laki-laki
daripada perempuan dengan umur dibawah 45 tahun dan sering berhubungn dengan
olahraga, Pekerjaan atau luka yang disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor
(Ningsih, 2011).

Fraktur adalah terputusnya kontiunitas jaringan tulang yang umumnya


disebabkan oleh rudapaksa (Mensjoer et al, 2000). Sedangkan menurut Linda Juall
C.dalam buku Nursing Care Plans and Dokumentation menyebutkan bahwa fraktur
adalah rusaknya kontuinitas tulang yang disebabkan tekanan dari luar yang datang
lebih besar dari yang dapat di serap oleh tulang (Rosyidi, 2013).

4.2 Saran

Makalah ini jauh dari kata sempurna, maka dari itu kritik dan saran dari
pembaca kami butuhkan untuk mengoreksi makalah kami. Dan semoga makalah ini
bermanfaat bagi orang yang membacanya.

61
DAFTAR PUSTAKA

Istianah, U. (2016). Asuhan Keperawatan kKlien Dengan Gangguan Sistem


Muskuloskeletal. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.

Ningsih, L. &. (2011). Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika.

Noor, Z. (2016). Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta Selatan: Salemba


Medika.

Rosyidi, K. (2013). Muskuloskeletal. Jakarta Timur : Trans Info Media.

62
EVIDENCE BASED

Evidence Based Medical (EMB) terkait terapi musik pada pasien post op
fraktur dengan judul artikel PENGARUH TERAPI MUSIK TERHADAP
PERUBAHAN TANDA-TANDA VITAL PADA PASIEN POST OPERASI
FRAKTUR YANG MENGALAMI NYERI oleh Maksimilianus Lopes, Moh
Alimansur, Edi Santoso. Tujuan penelitian ini untuk menganalisa pengaruh terapi
musik terhadap perubahan tanda-tanda vital pada pasien post operasi fraktur yang
mengalami nyeri di RSUD dr. Harjono Ponorogo.
Berbagai upaya asuhan keperawatan dikembangkan untuk membantu
memperbaiki tanda vital pasien, antara lain: oksigenasi, pengaturan posisi kepala,
stimulasi dengan pendekatan komunikasi baik verbal maupun non verbal serta
terapi musik. Terapi musik akan memberikan efek relaksasi dan meningkatkan
produksi hormon norepinephrin sehingga mendorong terhadap normalisasi denyut
nadi, menstabilkan tekanan darah dan meningkatkan keteraturan napas responden.
Jenis musik yang dapat mendorong proses normalisasi tanda-tanda vital adalah
jenis musik instrumental yang dapat mendorong rasa damai pada pasien (Muttaqin,
2008).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut :

1. Pemberian terapi musik berpengaruh terhadap tekanan darah pada pasien post
operasi fraktur yang mengalami nyeri di RSUD dr. Harjono Ponorogo.
2. Pemberian terapi musik berpengaruh terhadap denyut nadi pada pasien post
operasi fraktur yang mengalami nyeri di RSUD dr. Harjono Ponorogo.
3. Pemberian terapi musik berpengaruh terhadap pernafasan pada pasien post
operasi fraktur yang mengalami nyeri di RSUD dr. Harjono Ponorogo.
4. Pemberian terapi musik tidak berpengaruh terhadap suhu tubuh pada pasien
post operasi fraktur yang mengalami nyeri di RSUD dr. Harjono Ponorogo.

63
Trend dan Issue Terbaru Tentang Fraktur

Sekitar tahun 1951 diperkenalkan satu bedah orthopedi yang ditemukan oleh
Gavriel Ilizarov, seorang ahli ortopedik asal Rusia. Teknik yang dikenal dengan
nama “ Ilizarov “ Selama ini, operasi yang dilakukan di Indonesia masih
menggunakan metode ilizarov. Metode itu digunakan untuk mengoreksi bentuk
kaki yang tidak simetris atau dikenal dengan istilah osteogenesis distraksi. Caranya,
dengan melakukan pembukaan tulang dari luar ke dalam. ''Kelemahannya, pasien
merasa tidak nyaman, luka sayatan pun menjadi lebih besar, proses
penyembuhannya menjadi lebih lama, bila tidak hati-hati, bisa timbul infeksi.
Sekarang telah diketemukan metode pembedahan tulang baru yang disebut
dengan metode “ Fitbone “.Berbeda dengan Ilizarov, metode fitbone dilakukan
pertama kali di Singapura pada Tahun 2001, teknik fitbone ini merupakan teknik
dengan teknologi tinggi dan efek samping yang sangat kecil. Selain itu, teknik ini
bisa membuat pasien kembali beraktivitas seperti semula.
Menurut Prof Sarbijt Singh, seorang ahli bedah orthopedi di Moun Elizabeth
Medical Centre, Singapura, Metode Fitbone merupkaan implant orthopedi pertama,
teknik terbaru dan satu-satunya di dunia yang dikendalikan oleh computer yang
bertujuan untuk perbaikan struktur tulang. Teknik terbaru ini menggunakan
teknologi yang dapat dikendalikan sendiri oleh si pasien dengan alat pengendali
jarak jauh. Metode fitbone sangat berguna untuk kelainan tulang bawaan atau
kerusakan tulang akibat kecelakaan.
Metode ini diterapkan dengan terlebih dahulu melakukan foto rontgen pada
pasien. Ini untuk melihat bentuk tulang yang akan diterapi dan ukuran rongga yang
memungkinkan dimasukkannya alat fitbone. Dari gambaran tadi bisa direka-reka
panjang gagang baja yang akan dimasukkan ke tubuh pasien di samping tulang.
Lalu dokter membuat sayatan di lengan atau tulang paha. Sayatan itu digunakan
untuk memotong tulang. Kemudian alat berupa gagang yang terbuat dari stainless
steel dimasukkan diantara tulang. Dan beberapa komponennya diletakkan dibawah
kulit, sehingga luka tidak terlihat dimasukkan. Selanjutnya dokter
menancapkan pen untuk menyangga alat itu di bagian atas dan bawah tulang. Di
bagian ujung atas gagang tadi terpasang kabel dan pemancar yang ditaruh di bawah
kulit. Lalu ada kabel lagi yang menghubungkannya dengan sensor. Lewat sensor

64
inilah, pasien mengetahui pertumbuhan tulang barunya. Sedangkan gagang itu
bekerja mendorong tulang untuk segera menyatu. Bila tulang sudah menyatu, alarm
akan berbunyi. Dalam pembedahan ini, pasien dibius total karena operasi ini
merupakan operasi besar karena harus memotong tulang. Kendala
utama penerapan teknologi Fitbone ini adalah masalah biaya yang tidak murah. (
Biayanya sekitar $ 50.000 ).

65

Anda mungkin juga menyukai