Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
SKIZOFRENIA
Disusun Oleh:
Ibnu Sina
1810029062
Pembimbing:
dr. H. Jaya Mualimin , Sp.KJ., MARS
G. Genogram
Genogram
Keterangan
Perempuan
Laki
Pasien
H. Riwayat Penggunaan Obat
Diazepam Injeksi Pukul 11.00 WITA
Clozapin 25 mg 2x1 pukul 14.30 WITA
Haloperidol 0.5 mg 2x1 pukul 14.30 WITA
I. Riwayat Pribadi
J. Gambaran Premorbid
Pasien biasanya mengamuk, namum makan-minum serta mandi
mandiri. Pasien dapat berinteraksi dengan baik dengan teman satu kamar
di bangsal perawatan.
K. Faktor Pencetus
Putus obat 3 bulan terakhir
STATUS MENTAL
A. Kesan umum : Tidak rapi, tampak bingung dan gelisah, tidak
kooperatif
B. Kontak : Verbal (+) Visual (-)
C. Kesadaran : atensi (-) , Orientasi (-)
D. Mood dan afek` : Mood labil, afek sempit, agitasi (+)
E. Proses Berpikir
- Bentuk : Inkoheren
- Arus : Flight of ideas
- Isi : Waham (-), Ide bunuh diri dan membunuh (-)
F. Persepsi ` : Halusinasi auditori (+) Visual (-)
G. Intelegensia : kurang
H. Kemauan : mandiri
I. Psikomotor : Dalam Batas Normal
Rencana Terapi
1. Farmakoterapi
IGD :
Injeksi extra Haloperidol 1 ampul + Diazepam 1 Ampul/ IM
Ruangan :
Clozapine 2x25 mg
Haloperidol 2x 0,5 mg
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Skizofrenia adalah suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab
(banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis) yang
luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan pengaruh genetik,
fisik, dan sosial budaya (Maslim, 2013).Skizofrenia merupakan gangguan jiwa
berat yang ditandai dengan gangguan penilaian realita (waham dan halusinansi)
(Kemenkes RI, 2015). Hampir 1% penduduk didunia menderita skizofrenia
selama hidup mereka. Awitan pada laki-laki biasanya antara umur 15-25 tahun
dan pada perempuan antara 25-35 tahun (Amir, 2015).
2.2 Diagnosis
Menurut DSM-V, kriteria diagnosis skizofrenia sebagai berikut(Maslim,
2013):
A. Terdapat 2 atau lebih dari kriteria dibawah ini, masing-masing terjadi
dalam kurun waktu yang signifikan selama 1 bulan (atau kurang bila
telah berhasil diobati). Paling tidak salah satu harus ada (delusi),
(halusinasi), atau (bicara kacau) :
1. Delusi/waham
2. Halusinasi
3. Bicara kacau (sering melantur atau inkoherensi)
4. Perilaku yang sangat kacau atau katatonik
5. Gejala negatif (ekspresi emosi yang berkurang atau kehilangan
minat)
B. Selama kurun waktu yang signifikan sejak awitan gangguan, terdapat
satu atau lebih disfungsi pada area fungsi utama; seperti pekerjaan,
hubungan interpersonal, atau perawatan diri, yang berada jauh dibawah
tingkat yang dicapai sebelum awitan (atau jika awitan pada masa anak-
anak atau remaja, ada kegagalan untuk mencapai beberapa tingkat
pencapaian hubungan interpersonal, akademik, atau pekerjaanyang
diharapkan)
C. Tanda kontinu gangguan berlangsung selama setidaknya 6 bulan.
Periode 6 bulan ini harus mencakup setidaknya 1 bulan gejala (atau
kurang bila telah berhasil diobati) yang memenuhi kriteria A (seperti
Gejala fase aktif) dan dapat mencakup periode gejala prodromal atau
residual. Selama periode gejala prodromal atau residual ini, tanda
gangguan dapat bermanifestasi sebagai gejala negatif saja atau 2 atau
lebih gejala yang terdaftar dalam kriteria A yang muncul dalam bentuk
yang lebih lemah (keyakinan aneh, pengalaman perseptual yang tidak
lazim)
D. Gangguan skizoafektif dan gangguan depresif atau bipolar dengan ciri
psikotik telah disingkirkan baik karena :
1. Tidak ada episode depresif manik, atau campuran mayor yang
terjadi bersamaan dengan gejala fase aktif
2. Jika episode mood terjadi selama gejala fase aktif durasi totalnya
relatif singkat dibandingkan durasi periode aktif residual
E. Gangguan tersebut tidak disebabkan efek fisiologis langsung suatu zat
(obat yang disalahgunaan, obat medis)atau kondisi medis umum.
F. Jika terdapat riwayat gangguan autis atau keterlambatan
perkembangan global lainnya, diagnosis tambahan skizofrenia hanya
dibuat bila waham atau halusinasi yang prominen juga terdapat selama
setidaknya satu bulan (atau kurang bila telah berhasil diobati).
2.4. Tatalaksana
Farmakoterapi
Penggunaan Antipsikotika Pada Fase Akut Bila sudah ditegakkan
diagnosis, target terapi harus ditentukan supaya ukuran luaran, yang
mengukur efek terapi, dapat diperkirakan. Target terapi dan juga
penilaiannya, misalnya gejala positif, negatif, depresi, ide atau perilaku
bunuh diri, gangguan penyalahgunaan zat, komorbiditas dengan penyakit
medik, isolasi sosial, tidak mempunyai pekerjaan, keterlibatan dalam
kriminal, harus pula dievaluasi.
Faktor-faktor psiksosial harus pula dievaluasi dan kemudian
intervensinya diformulasikan dan diimplementasikan. Formulasikan pula
pemilihan modalitas terapi, tipe terapi yang spesifik, dan tempat
pemberian terapi. Mengevaluasi kembali diagnosis dan terapi secara
periodik perlu pula dilakukan agar tercapai praktik klinik yang baik.
Terapi farmakologi harus segera diberikan kepada ODS dengan
agitasi akut karena agitasi, baik pada episode pertama maupun eksaserbasi
akut, berkaitan dengan penderitaan, mengganggu kehidupan ODS, berisiko
melukai diri sendiri, orang lain, dan merusak benda-benda. Walaupun
demikian, terapi yang diberikan jangan sampai memengaruhi penilaian
terhadap diagnosis.
Sebelum pemberian antipsikotika, pemeriksaan laboratorium perlu
dilakukan. Selain itu, jika memungkinkan, manfaat dan risiko obat yang
akan diberikan didiskusikan terlebih dahulu dengan ODS dan keluarga.
Meskipun ODS dalam keadaan agitasi atau dengan gangguan isi pikir,
hubungan dokter-ODS harus dibangun sejak hari pertama.
Aliansi terapetik dapat meningkat bila dokter dan ODS, secara
bersama-sama, bisa mengidentifikasi target gejala, misalnya ansietas,
gangguan tidur, halusinasi dan waham yang secara subjektif merupakan
penderitaan bagi ODS. Selain itu, ODS dapat pula mengalami defisit
atensi dan kognitif lainnya yang sering menjadi lebih berat ketika
eksaserbasi akut. Gejala-gejala ini dapat dijadikan alasan untuk
mendorong ODS bersedia menerima pengobatan. Pemberian edukasi
kepada ODS bahwa antipsikotika berfungsi mengatasi gejala-gejala yang
dideritanya, dapat meningkatkan aliansi terapetik, pada keadaan akut. Jadi,
klinikus dapat mencari gejala yang mengganggu ODS (dengan
menanyakan kepada ODS) dan kemudian meyakinkan ODS bahwa obat
dapat mengatasi gejala tersebut. Kiat ini dapat membantu untuk
membangun aliansi terapetik.
Obat APG-I
Injeksi APG-I sering digunakan untuk mengatasi agitasi akut pada
skizofrenia. Kerja obat ini sangat cepat. Walaupun demikian, ada beberapa
efek samping yang sering dikaitkan dengan injeksi APG-I, misalnya
distonia akut dan pemanjangan QTc. Efek samping ini dapat menyebabkan
ketidakpatuhan terhadap pengobatan.
Penggabungan antara APG-I dengan benzodiazepin juga sering
digunakan. Penggunaannya juga terbatas karena seringnya terjadi efek
samping. Misalnya, benzodiazepin dapat menyebabkan depresi
pernafasan, sedasi berlebihan, atau dapat menginduksi perilaku disinhibisi
yang dapat memperburuk keadaan. Selanjutnya, APG-I, misalnya
haloperidol, dapat pula menyebabkan gejala ekstrapiramidal (EPS),
abnormalitas elektrokardiogram (EKG), sedasi berlebihan atau sindrom
neuroleptik malignansi (SNM). Efek samping ini dapat menimbulkan
penderitaan bagi ODS dan memberikan dampak buruk terhadap kepatuhan
dan penerimaan terhadap terapi jangka panjang.
Obat APG-II
Obat APG-II, baik oral maupun injeksi, bermanfaat dalam
mengendalikan agitasi pada fase akut skizofrenia. Selain itu, tolerabilitas
dan keamanannya lebih baik bila dibandingkan dengan APG-I. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa obat injeksi jangka pendek APG-II,
misalnya olanzapin, aripiprazol, dan ziprasidon efektif mengontrol agitasi
pada fase akut skizofrenia.
Saat ini, tersedia beberapa injeksi APG-II dengan efek samping
akut minimal. Meminimalkan efek samping akut, misalnya distonia akut,
dapat meningkatkan penerimaan ODS terhadap pengobatan dan keinginan
ODS melanjutkan terapi antipsikotika.
Inisiasi cepat pada terapi emergensi diperlukan bila ODS
memperlihatkan perilaku agresif terhadap dirinya, orang lain atau objek.
Ketika ODS di dalam ruangan gawat darurat, unit perawatan, atau fasilitas
terapi akut lainnya, protokol standar operasional baku untuk mengatasi
keadaan akut yang tersedia harus diikuti agar terapi yang diberikan sesuai
dengan yang diharapkan.
Sebagian besar ODS dalam fase akut, biasanya memperlihatkan
ketakutan d an kebingungan. Oleh karena itu, keterlibatan beberapa
petugas pada intervensi pertama sangat diperlukan. Petugas rumah sakit
harus berbicara kepada ODS dan berusaha menenangkannya. Usaha
menenangkan ODS harus dilakukan terlebih dahulu. Apabila gagal
menenangkan ODS, mengisolasi atau mengikat ODS dapat dilakukan.
Pengikatan ODS hanya dilakukan oleh tim yang sudah terlatih. Tindakan
pengikatan ODS bertujuan untuk mengurangi risiko ODS melukai dirinya
atau petugas lainnya. Oleh karena itu, pengikatan jangan sampai melukai
ODS.
Pemilihan obat sering ditentukan oleh pengalaman ODS dengan
antipsikotika sebelumnya, misalnya respon terhadap gejala, pengalaman
efek samping, dan cara (route) pemberian obat. Dalam pemilihan obat,
klinikus dapat mempertimbangkan respon ODS terahadap obat
sebelumnya -termasuk respon ODS yang sifatnya subjektif, misalnya
disforik- dan efek samping obat. Adanya komorbiditas dengan kondisi
medik umum, dan potensi interaksi dengan obat lain harus pula
diperhatikan.
Sebagian besar ODS memilih penggunaan obat secara oral. Jika
ODS bersedia menggunakan obat oral, bentuk sediaan yang cepat larut
(olanzapin dan risperdon), dapat digunakan untuk mendapatkan efek yang
lebih cepat dan mengurangi ketidakpatuhan. Selain itu, formula dalam
bentuk cair, misalnya risperidon dalam bentuk cair juga bermanfaat untuk
mengatasi agitasi akut. Apabila ODS tidak bersedia menggunakan obat
oral, pemberian obat injeksi dapat dilakukan meskipun ODS menolak.
Jadi, tawaran penggunaan obat oral merupakan usaha pertama yang
dilakukan untuk mengatasi keadaan agitasi.
Injeksi antipsikotika sangat membantu untuk mengurangi agitasi.
Formula injeksi jangka pendek APG-II, misalnya olanzapin, ziprasidon,
dan aripiprazol dengan atau tanpa benzodiazepin, misalnya lorazepam,
dapat digunakan untuk mengatasi agitasi. Dosis yang direkomendasikan
harus efektif dan tidak menyebabkan efek samping yang secara subjektif
sulit ditoleransi oleh ODS. Pengalaman yang tidak menyenangkan dapat
memengaruhi kepatuhan terhadap terapi jangka panjang.
Titrasi dosis harus dilakukan dengan cepat, hingga mencapai target
dosis terapetik. Walaupun demikian, kemampuan toleransi ODS terhadap
obat yang diberikan, harus pula dipertimbangkan. Apabila ada efek
samping yang tidak nyaman, pemantauan status klinik ODS selama 2-4
mingggu perlu dilakukan untuk mengevaluasi respon ODS terhadap
pengobatan. Pada ODS yang responnya lambat, klinikus harus lebih
bersabar dalam meningkatkan dosis. Dengan kata lain, peningkatan dosis
yang cepat harus dihindari. Bila tidak ada perbaikan, perlu dilakukan
evaluasi kemungkinan adanya ketidakpatuhan terhadap pengobatan,
cepatnya metabolisme, atau buruknya absorbsi obat.
Obat tambahan sering pula diberikan untuk mengatasi
komorbiditas pada fase akut. Misalnya, benzodiazepin sering digunakan
untuk mengatasi katatonia, ansietas, dan agitasi hingga efek terapetik
antipsikotika tercapai. Antidepresan dapat pula dipertimbangkan untuk
mengobati komorbiditas dengan depresi mayor atau dengan gangguan
obsesifkompulsif. Walaupun demikian, kewaspadaan terjadinya
eksaserbasi psikotik akibat pemberian antidepresan perlu pula
ditingkatkan. Stabilisator mood dan beta-bloker dapat pula
dipertimbangkan untuk mengurangi beratnya rekuren hostilitas dan agresi.
Terjadinya interaksi obat perlu diperhatikan terutama yang terkait dengan
ensim sitokrom P450.
Efek samping akut, misalnya hipotensi ortostatik, pusing, gejala
ekstrpiramidal (misalnya, reaksi distonia akut dan akatisia), insomnia,
sedasi, harus pula didiskusikan dengan ODS. Sebaliknya, efek samping
jangka panjang belum perlu dibahas hingga episode akut teratasi.
Menjelaskan kemungkinan efek samping akut dapat meningkatkan
kemampuan ODS untuk mengidentifikasi dan melaporkan keberadaan
efek samping tersebut dan hal ini dapat mempertahankan aliansi terapetik.
Obat Antipsikotik Rentang dosis anjuran Waktu Paruh ( jam)
(mg/hari)
Antipsikotik generasi I
Fenotiazin
Klorpromazin 150-1600 6
Flufenazin 5-60 33
Perfenazin 8-48 10
Thioridazin 100-900 24
Trifluoperazin 5-60 24
Butirofenon
Haloperidol 2-100 21
Lainnya
Loksapin 30-100 4
Antipsikotik Generasi II
Aripiprazol 10-30 75
Klozapin 25-200 12
Olanzapin 10-20 33
Quetiapin 50-400 6
Risperidon 2-9 24
Obat EPS/ Peningkatan Pertambahan Abnormalitas Abnormalitas Pemanjangan Sedasi Hipotensi Efek Samping
Diskensia Prolaktin Berat Badan Glukosa Lipid QTc Antikolinergik
Tardiva
Thioridazin + ++ + + + +++ ++ ++ ++
Perfenazin ++ ++ + + + 0 + + 0
Haloperidol +++ +++ + 0 0 0 ++ 0 0
Klozapin 0 0 +++ +++ +++ 0 +++ +++ +++
Risperidon + +++ ++ ++ ++ + + + 0
Olanzapin 0 0 +++ +++ +++ 0 + + ++
Quetiapin 0 0 ++ ++ ++ 0 ++ ++ 0
Aripripazol 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Terapi Psikososial
Terapi perilaku. Teknik perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan
latihan ketrampilan sosial untuk meningkatkan kemampuan sosial, kemampuan
memenuhi diri sendiri, latihan praktis, dan komunikasi interpersonal. Perilaku
adaptif adalah didorong dengan pujian atau hadiah yang dapat ditebus untuk hal-
hal yang diharapkan, seperti hak istimewa dan pas jalan di rumah sakit. Dengan
demikian, frekuensi perilaku maladaptif atau menyimpang seperti berbicara
lantang, berbicara sendirian di masyarakat, dan postur tubuh aneh dapat
diturunkan (Kaplan, Sadock, & Grebb, 2010).
Terapi berorintasi-keluarga. Terapi ini sangat berguna karena pasien
skizofrenia seringkali dipulangkan dalam keadaan remisi parsial, keluraga dimana
pasien skizofrenia kembali seringkali mendapatkan manfaat dari terapi keluarga
yang singkat namun intensif (setiap hari). Setelah periode pemulangan segera,
topik penting yang dibahas didalam terapi keluarga adalah proses pemulihan,
khususnya lama dan kecepatannya. Seringkali, anggota keluarga, didalam cara
yang jelas mendorong sanak saudaranya yang terkena skizofrenia untuk
melakukan aktivitas teratur terlalu cepat. Rencana yang terlalu optimistik tersebut
berasal dari ketidaktahuan tentang sifat skizofreniadan dari penyangkalan tentang
keparahan penyakitnya
Ahli terapi harus membantu keluarga dan pasien mengerti skizofrenia
tanpa menjadi terlalu mengecilkan hati. Sejumlah penelitian telah menemukan
bahwa terapi keluarga adalah efektifdalam menurunkan relaps. Didalam penelitian
terkontrol, penurunan angka relaps adalah dramatik. Angka relaps tahunan tanpa
terapi keluarga sebesar 25-50 % dan 5 - 10 % dengan terapi keluarga (Kaplan,
Sadock, & Grebb, 2010).
Terapi kelompok. Terapi kelompok bagi skizofrenia biasanya
memusatkan pada rencana, masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata.
Kelompok mungkin terorientasi secara perilaku, terorientasi secara psikodinamika
atau tilikan, atau suportif. Terapi kelompok efektif dalam menurunkan isolasi
sosial, meningkatkan rasa persatuan, dan meningkatkan tes realitas bagi pasien
skizofrenia. Kelompok yang memimpin dengan cara suportif, bukannya dalam
cara interpretatif, tampaknya paling membantu bagi pasien skizofrenia (Kaplan,
Sadock, & Grebb, 2010).
Psikoterapi individual. Penelitian yang paling baik tentang efek
psikoterapi individual dalam pengobatan skizofrenia telah memberikan data
bahwa terapi alah membantu dan menambah efek terapi farmakologis. Suatu
konsep penting di dalam psikoterapi bagi pasien skizofrenia adalah perkembangan
suatu hubungan terapetik yang dialami pasien sebagai aman. Pengalaman tersebut
dipengaruhi oleh dapat dipercayanya ahli terapi, jarak emosional antara ahli terapi
dan pasien, dan keikhlasan ahli terapi seperti yang diinterpretasikan oleh pasien
(Kaplan, Sadock, & Grebb, 2010).
BAB 3
PEMBAHASAN
d. Memenuhi kriteria
umum diagnosis
skizofrenia.
e. Tidak memenuhi
kriteria untuk diagnosis
skizofrenia paranoid,
hebefrenik, atau
katatonik
f. Tidak memenuhi
kriteria untuk
skizofrenia residual
atau depresi pasca
skizofrenia
B. Terapi
Fakta Teori
IGD : Skizofrenia diobati dengan
Injeksi extra Haloperidol 1 antipsikotika (AP). Obat ini dibagi
ampul + Diazepam 1 Ampul/
dalam dua kelompok, berdasarkan
IM
Ruangan : mekanisme kerjanya, yaitu domanine
Clozapine 2x25 mg receptor antagonist (DRA) atau
Haloperidol 2x 0,5 mg
antipsikotika generassi I (dan
serotonin-dopamine receptor
antagonists (SDA) atau antipsikotika
generasi II (APG-II).
Obat APG-I berguna terutama untuk
mengkontrol gejala-gejala positif
sedangkan untuk gejala-gejala negatif
hampir tidak bermanfaat. Obat APG-II
bermanfaat baik untuk gejaa positif atay
negatif.
Standar baku emas baru adalah APG-II.
Meskipun harganya mahal tetapi
manfaatnya besar. Pilihlah APG-II yang
efektif dan efek samping yang lebih
ringan dan dapat digunakan secara
aman tanpa memerlukan pemnatauan
sel darah putih setiap minggu.
Gunakalanlah APG-II yang aman yang
anda tidak harus memantaunya secara
ketat.
Telah dilakukan heteroanamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang,
diagnosis, hingga penatalaksanaan didapatkan pasien dengan identitas Tn. Sabirin
berusia 37 tahun dengan diagnosis skizofrenia tak terinci dilakukan terapi
farmakologi. Secara umum keseluruhan pembahasan yang telah dibuat pada kasus
ini dapat disimpulkan bahwa fakta yang telah dilaporkan sesuai dengan teori yang
ada.
DAFTAR PUSTAKA
Sadock, B., & Sadock, V. (2015). Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Puri, B., Laking, P., & Treasaden, I. (2011). Buku Ajar Psikiatri . Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Maslim, R. (2013). Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari
PPDGJ-III dan DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika
Atmajaya.
Kaplan, H., Sadock, B., & Grebb, J. (2010). Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan
Perilaku Psikiatri Klinis. Tangerang: Binarupa Aksara Publisher.
Nurmiati, A. (2015). Skizofrenia. Dalam F. UI, Buku Ajar Psikiatri (hal. 173-
203). Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
Maramis, W., & Maramis, A. (2009). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya:
Pusat Penerbitan dan Percetakan (AUP).
Albers, L., Hahn, R., & Reist, C. (2008). Handbook of Psychiatric Drugs. USA:
Current Clinical Strategies Publishing.