Anda di halaman 1dari 30

SMF/Lab Ilmu Kedokteran Jiwa Refleksi Kasus

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

SKIZOFRENIA

Disusun Oleh:
Ibnu Sina
1810029062

Pembimbing:
dr. H. Jaya Mualimin , Sp.KJ., MARS

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


SMF/Lab Ilmu Kedokteran Jiwa
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
2019
I. RIWAYAT PSIKIATRI
A. Identitas Pasien
Nama : Tn. Sabirin
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 37 tahun
Agama : Islam
Status Pernikahan : belum menikah
Suku : Banjar
Pendidikan Terakhir : SD
Pekerjaan : Serabutan
Alamat : Tanjung Aru RT.3 Kabupaten Paser

B. Identitas Penanggung Jawab


Nama : Ny. Wasilah
Jenis Kelamin : Perempuan
Status dengan Pasien : Adik
Alamat : Tanjung Aru RT.3 Kabupaten Paser

C. Resume Masuk (IGD)


Pasien datang ke IGD RSJD Atma Husada Mahakam Samarinda pada
tanggal 19 September 2019 pukul 16.00 diantar oleh adik pasien dan rombongan
RS Panglima Sebaya. Pemeriksa melakukan pemeriksaan pada tanggal 19
September- 21 September 2019 .

Keluhan utama : Pasien mengamuk

D. Riwayat Penyakit Sekarang


Autoanamnesis
Sulit dievaluasi karena pasien mengamuk.

Heteroanamnesis (Adik Pasien)


Pasien merupakan pasien ulangan yang terakhir di rawat di RS Jiwa Atma
Husada Samarinda pada Maret tahun 2019 dan mengaku putus obat sudah 3
bulan. Di rumah pasien sering mengamuk, menghambur barang dan mengajak
orang berkelahi. Pasien juga sering bicara melantur dan berbicara tentang agama.
Pasien juga sulit untuk tidur dan makan. Di RS Panglima sebaya pasien mencoba
memukul perawat dan meludahinya.

E. Riwayat Penyakit Dahulu


1. Pernah dirawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Atma Husada pada tahun Maret
2019

F. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada.

G. Genogram
Genogram

Keterangan

Perempuan
Laki
Pasien
H. Riwayat Penggunaan Obat
Diazepam Injeksi Pukul 11.00 WITA
Clozapin 25 mg 2x1 pukul 14.30 WITA
Haloperidol 0.5 mg 2x1 pukul 14.30 WITA

I. Riwayat Pribadi

1. Masa anak-anak awal (0-3 tahun)


 Selama masa ini keluarga pasien mengaku pasien dalam keadaan
sehat, tidak mengalami sakit. Tidak pernah mengalami kejang demam.
Pertumbuhan dan perkembangannya normal seperti anak lainnya

2. Masa anak-anak pertengahan (3-11 tahun)


 Pasien pada masa ini mengalami pertumbuhan dan perkembangan
yang normal. Pasien berkembang menjadi anak seperti seumurannya.
Bersekolah dasar selama 6 tahun. Hubungan pasien dengan keluarga
baik.

3. Masa kanak-kanak akhir (Pubertas dan remaja)


 Hubungan dengan teman sebaya kurang baik .
 Riwayat Sekolah
Sekolah hanya sampai SD
 Perkembangan kognitif dan motorik
Kognitif kurang.
 Riwayat psikoseksual
-
 Latar belakang agama
Kehidupan agama pasien kuat dan selalu menjunjung nila-nilai agama
dan rajin beribadah, semua anggota keluarga pasien beragama Islam
4. Masa Dewasa
 Riwayat pekerjaan
Pasien bekerja sebagai pekerja serabutan.
 Aktivitas sosial
Pasien jarang beraktivitas dengan teman di lingkungan setelah
dirawat, hubungan dengan keluarga kurang baik.
 Seksualitas dewasa
Pasien belum pernah menikah
 Riwayat militer
Pasien tidak pernah berhubungan dengan pengadilan dan pengalaman
militer

J. Gambaran Premorbid
Pasien biasanya mengamuk, namum makan-minum serta mandi
mandiri. Pasien dapat berinteraksi dengan baik dengan teman satu kamar
di bangsal perawatan.

K. Faktor Pencetus
Putus obat 3 bulan terakhir

STATUS MENTAL
A. Kesan umum : Tidak rapi, tampak bingung dan gelisah, tidak
kooperatif
B. Kontak : Verbal (+) Visual (-)
C. Kesadaran : atensi (-) , Orientasi (-)
D. Mood dan afek` : Mood labil, afek sempit, agitasi (+)
E. Proses Berpikir
- Bentuk : Inkoheren
- Arus : Flight of ideas
- Isi : Waham (-), Ide bunuh diri dan membunuh (-)
F. Persepsi ` : Halusinasi auditori (+) Visual (-)
G. Intelegensia : kurang
H. Kemauan : mandiri
I. Psikomotor : Dalam Batas Normal

II. PEMERIKSAAN DIAGNOSIS LEBIH LANJUT


A. Pemeriksaan Fisik
Kesadaran : Komposmentis, GCS E4V5M6
Tanda Vital : TD 140/90 mmHg RR 24x/menit
N 100x/menit T 37 C
Keadaan gizi : Baik
Kepala : Anemis (-/-), Ikterik (-/-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Dada : Simetris
Paru : Vesikuler (+/+), Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung : S1 S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)
Perut : Soefl, BU (+) normal, nyeri tekan (-)
Anggota gerak : Akral Hangat (+/+), Edema (-/-)

B. Pemeriksaan Laboratorium 19/09/2019


Leukosit : 12.700
Eritrosit : 4.550.000
Hemoglobin : 14,1
Hematokrit : 39,1%
Trombosit : 381.000
GDS : 117

III. DIAGNOSIS MULTIAKSIAL


Axis I : Skizofrenia tak terinci (F20.3)
Axis II : Tidak ada diagnosis
Axis III :-
Axis IV : putus obat
Axis V : GAF scale 50-41

Rencana Terapi

1. Farmakoterapi
IGD :
Injeksi extra Haloperidol 1 ampul + Diazepam 1 Ampul/ IM
Ruangan :
 Clozapine 2x25 mg
 Haloperidol 2x 0,5 mg
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Skizofrenia adalah suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab
(banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis) yang
luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan pengaruh genetik,
fisik, dan sosial budaya (Maslim, 2013).Skizofrenia merupakan gangguan jiwa
berat yang ditandai dengan gangguan penilaian realita (waham dan halusinansi)
(Kemenkes RI, 2015). Hampir 1% penduduk didunia menderita skizofrenia
selama hidup mereka. Awitan pada laki-laki biasanya antara umur 15-25 tahun
dan pada perempuan antara 25-35 tahun (Amir, 2015).

2.2 Diagnosis
Menurut DSM-V, kriteria diagnosis skizofrenia sebagai berikut(Maslim,
2013):
A. Terdapat 2 atau lebih dari kriteria dibawah ini, masing-masing terjadi
dalam kurun waktu yang signifikan selama 1 bulan (atau kurang bila
telah berhasil diobati). Paling tidak salah satu harus ada (delusi),
(halusinasi), atau (bicara kacau) :
1. Delusi/waham
2. Halusinasi
3. Bicara kacau (sering melantur atau inkoherensi)
4. Perilaku yang sangat kacau atau katatonik
5. Gejala negatif (ekspresi emosi yang berkurang atau kehilangan
minat)
B. Selama kurun waktu yang signifikan sejak awitan gangguan, terdapat
satu atau lebih disfungsi pada area fungsi utama; seperti pekerjaan,
hubungan interpersonal, atau perawatan diri, yang berada jauh dibawah
tingkat yang dicapai sebelum awitan (atau jika awitan pada masa anak-
anak atau remaja, ada kegagalan untuk mencapai beberapa tingkat
pencapaian hubungan interpersonal, akademik, atau pekerjaanyang
diharapkan)
C. Tanda kontinu gangguan berlangsung selama setidaknya 6 bulan.
Periode 6 bulan ini harus mencakup setidaknya 1 bulan gejala (atau
kurang bila telah berhasil diobati) yang memenuhi kriteria A (seperti
Gejala fase aktif) dan dapat mencakup periode gejala prodromal atau
residual. Selama periode gejala prodromal atau residual ini, tanda
gangguan dapat bermanifestasi sebagai gejala negatif saja atau 2 atau
lebih gejala yang terdaftar dalam kriteria A yang muncul dalam bentuk
yang lebih lemah (keyakinan aneh, pengalaman perseptual yang tidak
lazim)
D. Gangguan skizoafektif dan gangguan depresif atau bipolar dengan ciri
psikotik telah disingkirkan baik karena :
1. Tidak ada episode depresif manik, atau campuran mayor yang
terjadi bersamaan dengan gejala fase aktif
2. Jika episode mood terjadi selama gejala fase aktif durasi totalnya
relatif singkat dibandingkan durasi periode aktif residual
E. Gangguan tersebut tidak disebabkan efek fisiologis langsung suatu zat
(obat yang disalahgunaan, obat medis)atau kondisi medis umum.
F. Jika terdapat riwayat gangguan autis atau keterlambatan
perkembangan global lainnya, diagnosis tambahan skizofrenia hanya
dibuat bila waham atau halusinasi yang prominen juga terdapat selama
setidaknya satu bulan (atau kurang bila telah berhasil diobati).

Pedoman diagnosis Skizofrenia menurut PPDGJ III


 Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (biasanya 2
gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas).
a) Isi Pikiran
- Thought Echo.
Isi pikiran dirinya sendiri yang berulang dan bergema dalam
kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya
sama, namun kualitasnya berbeda.
- Thought Insertion atau Withdrawl.
Isi pikiran yang asing dari luar masuk ke dalam pikirannya
(insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar
dirinya (withdrawl)
- Thought Broadcasting.
Isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum
mengetahuinya.
b) Delusi
- Delusion of Control.
Waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu
dari luar.
- Deluasions of Influence.
Waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu
dari luar.
- Delusions of Passivity.
Waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu
kekuatan dari luar. "Tentang dirinya" artinya secara jelas merujuk
ke pergerakan tubuh/anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau
penginderaan khusus).
- Delusional Perception.
Pengalaman inderawi yang tak wajar, yang bermakna sangat khas
bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat.
c) Halusinasi Auditorik.
- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus
terhadap perilaku penderita.
- Mendiskusikan perihal penderita di antara mereka sendiri (di
antara berbagai suara yang berbicara)
- Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian
tubuh.
d) Waham yang menurut budaya dianggap tidak wajar
Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya
setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil,
misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu, kekuatan
dan kemampuan di atas manusia biasa (misalnya mampu
mengendalikan cuaca, berkomunikasi dengan makhluk asing dari
dunia lain).
 Atau paling sedikit terdapat 2 (dua) gejala di bawah ini yang harus
selalu ada secara jelas.
e) Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila
disertai baik oleh waham yang mengembang maupun yang
setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun
disertai oleh ide-ide yang berlebihan (overvalued ideas) yang
menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu
atau berbulan-bulan terus menerus.
f) Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpolation), yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang
tidak relevan atau neologisme.
g) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement),
posisi tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea,
negativisme, mutisme, dan stupor.
h) Gejala-gejala "negatif", seperti sikap sangat apatis, bicara yang
jarang, dan respon emosional yang menumpul atau tidak wajar,
biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial.
Tetapi, harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh
depresi atau medikasi neuroleptika.
 Adanya gejala-gejala khas tersebut di atas telah berlangsung selama
kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase
nonpsikotik prodromal).
 Harus ada perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi
(personal behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak
bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self
absorbed attitude), dan penarikan diri secara sosial.
A. Klasifikasi
1. Skizofrenia Paranoid (F 20.0)
Pedoman Diagnostik

a. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.


b. Sebagai tambahan:
1) Halusinasi dan/atau waham harus menonjol
a) Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau
memberi perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk
verbal berupa bunyi pluit (whistling), mendengung
(humming), atau bunyi tawa (laughing)
b) Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat
seksual, atau lain-lain perasaan tubuh. Halusinasi visual
mungkin ada tetapi jarang menonjol
c) Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham
dikendalikan (delusion of control), dipengaruhi (delusion of
influence), atau passivity (delussion of passivity), dan
keyakinan dikejar-kejar beraneka ragam, adalah yang paling
khas
2) Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta
gejala katatonik secara relatif nyata/ tidak menonjol.

2. Skizofrenia Hebefrenik (F 20.1)


Pedoman Diagnostik

a. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.


b. Diagnosis hebefrenia untuk pertama kali hanya ditegakkan pada
usia remaja atau dewasa muda (onset biasanya mulai 15-25
tahun).
c. Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas : pemalu dan
senang menyendiri (solitary), namun tidak harus demikian untuk
menentukan diagnosis.
d. Untuk diagnosis hebefrenia yang menyakinkan umumnya
diperlukan pengamatan kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya,
untuk memastikan bahwa gambaran yang khas berikut ini
memang benar bertahan :
1) Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat
diramalkan, serta mannerisme; ada kecenderungan untuk
selalu menyendiri (solitary), dan perilaku menunjukkan
hampa tujuan dan hampa perasaan
2) Afek pasien dangkal dan tidak wajar, sering disertai oleh
cekikikan atau perasaan puas diri, senyum sendiri, atau oleh
sikap, tinggi hati, tertawa menyeringai, mannerisme,
mengibuli secara bersenda gurau, keluhan hipokondrial, dan
ungkapan kata yang diulang-ulang
3) Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak
menentu serta inkoheren.
e. Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses
pikir umumnya menonjol. Halusinasi dan waham mungkin ada
tetapi biasanya tidak menonjol. Dorongan kehendak dan yang
bertujuan (determination) hilang serta sasaran ditinggalkan,
sehingga perilaku penderita memperlihatkan ciri khas, yaitu
perilaku tanpa tujuan dan tanpa maksud. Adanya suatu preokupasi
yang dangkal dan bersifat dibuat-buat terhadap agama, filsafat
dan tema abstrak lainnya, makin mempersukar orang memahami
jalan pikiran pasien.

3. Skizofrenia Katatonik (F 20.2)


Pedoman Diagnostik

a. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.


b. Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendomaninasi
gambaran klinisnya:
1) Stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas terhadap
lingkungan dan dalam gerakan serta aktivitas spontan) atau
mutisme (tidak berbicara)
2) Gaduh gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang bertujuan,
yang tidak dipengaruhi oleh stimuli eksternal)
3) Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela
mengambil dan mempertahankan posisi tubuh tertentu yang
tidak wajar atau aneh)
4) Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif
terhadap semua perintah atau upaya untuk menggerakkan,
atau pergerakkan ke arah berlawanan)
5) Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk
melawan upaya menggerakkan diri)
6) Flexibilitas cerea (mempertahankan anggora gerak dan tubuh
dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar)
7) Gejala-gejala lain seperti “komen, automatism” (kepatuhan
secara otomatis terhadap perintah), dan pengulangan kata-kata
serta kalimat-kalimat
c. Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku
dari gangguan katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus
ditunda sampai diperoleh bukti yang memadai tentang adanya
gejala-gejala lain. Penting untuk diperhatikan bahwa gejala-gejala
katatonik bukan petunjuk diagnostik untuk skizofrenia. Gejala
katatonik dapat dicetuskan oleh penyakit otak, gangguan
metabolik, atau alkohol dan obat-obatan, serta dapat juga terjadi
pada gangguan afektif

4. Skizofrenia Tak Terinci (Undifferentiated) (F 20.3)


Pedoman Diagnostik

a. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.


b. Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid,
hebefrenik, atau katatonik
c. Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi
pasca skizofrenia
5. Depresi Pasca-skizofrenia (F 20.4)
Pedoman Diagnostik
a. Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau:
1) Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria
umum skizofrenia) selama 12 bulan terakhir ini
2) Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi
mendominasi gambaran klinisnya), dan
3) Gejala-gejala depresif menonjol dan mengganggu, memenuhi
paling sedikit kriteria untuk episode depresif dan telah ada
dalam kurun waktu paling sedikit 2 minggu
b. Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia,
diagnosis menjadi Episode Depresif. Bila gejala skizofrenia masih
jelas dan menonjol, diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe
skizofrenia yang sesuai (F 20.0 – F 20.3)

6. Skizofrenia Residual ( F 20.5)


Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini
harus dipenuhi semua:
a. Gejala negatif dari skizofrenia yang menonjol misalnya
perlambatan psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang
menumpul, sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam
kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi nonverbal yang buruk
seperti dalam ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara, dan
posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk
b. Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas dimana
masa lampau yang memenuhi kriteria untuk diagnostik skizofrenia
c. Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana
intensitas dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan
halusinasi telah sangat berkurang (minimal) dan telah timbul
sindrom negatif dari skizofrenia
d. Tidak terdapat dementia atau penyakit / gangguan otak organik
lain, depresi kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan
disabilitas negatif tersebut.

7. Skizofrenia Simpleks (F. 20.6)


a. Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan
karena tergantung pada pemantapan perkembangan yang berjalan
perlahan dan progresif dari:
1. Gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa
didahului riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari
episode psikotik.
2. Disertai dengan perubahan perilaku pribadi yang bermakna
bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak
berbuat sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara
sosial
b. Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan
subtipe skizofrenia lainnya
8. Skizofrenia lainnya (F20.8) dan Skizofrenia YTT (F20.9)

2.3. Diagnosis Banding


F.22. Gangguan Waham Menetap
Menurut PPDGJ-III kriteria diagnosis untuk gangguan waham menetap
adalah:
 Waham merupakan satu-satunya ciri klinis yang khas atau gejala yang
paling menonjol. Waham tersebut harus sudah ada sedikitnya tiga bulan
lamanya dan harus bersifat khas pribadi bukan budaya setempat.
 Gejala depresif atau bahkan suatu episode depresif lengkap mungkin terjadi
secara intermitten, dengan syarat bahwa waham-waham tersebut menetap
pada saat-saatp tidak terdapat gangguan afektif itu.
 Tidak boleh ada bukti-bukti tentang adanya penyakit otak.
 Tidak boleh ada halusinasi auditorik atau hanya kadang-kadang saja ada dan
bersifat sementara.
 Tidak ada riwayat gejala-gejala skizofrenia (waham dikendalikan, siar
pikiran, penumpukan afek, dsb)
F.25. Gangguan Skizoafektif
 Diagnosis gangguan skizoafektif hanya dibuat apabila gejala-gejala
definitif adanya skizofrenia dan gangguan afektif sama-sama menonjol
pada saat yang bersamaan , atau dalamm beberapa hari yang satu
sesudah yang lain, dalam satu episode penyakit yang sama, dan
bilamana, sebagai konsekuensi dari ini, episode penyakit tidak
memenuhi kriteria baik skizofrenia maupun episode manik atau depresif
 Tidak dapat digunakan untuk pasien yang menampilan gejala skizofrenia
dan gangguan afektif tetapi dalam episode penyakit yang berbeda.
 Bila seorang pasien skizofrenik menunjukkan gejala depresif setelah
mengalami suatu episode psikotik, diberi kode idagnosis F20.4 ( Depresi
Pasca-skizofrenia).
Beberapa pasien dapat mengalami episode skizoafektif berulang, baik
berjenis manik (F25.0) maupun depresif (F25.1) atau campuran dari
keduanya (F25.2). Pasien lain mengalami satu atau dua episode
skizoafektif terselip di antara episode manik atau depresif (F30-F33).

2.4. Tatalaksana
Farmakoterapi
Penggunaan Antipsikotika Pada Fase Akut Bila sudah ditegakkan
diagnosis, target terapi harus ditentukan supaya ukuran luaran, yang
mengukur efek terapi, dapat diperkirakan. Target terapi dan juga
penilaiannya, misalnya gejala positif, negatif, depresi, ide atau perilaku
bunuh diri, gangguan penyalahgunaan zat, komorbiditas dengan penyakit
medik, isolasi sosial, tidak mempunyai pekerjaan, keterlibatan dalam
kriminal, harus pula dievaluasi.
Faktor-faktor psiksosial harus pula dievaluasi dan kemudian
intervensinya diformulasikan dan diimplementasikan. Formulasikan pula
pemilihan modalitas terapi, tipe terapi yang spesifik, dan tempat
pemberian terapi. Mengevaluasi kembali diagnosis dan terapi secara
periodik perlu pula dilakukan agar tercapai praktik klinik yang baik.
Terapi farmakologi harus segera diberikan kepada ODS dengan
agitasi akut karena agitasi, baik pada episode pertama maupun eksaserbasi
akut, berkaitan dengan penderitaan, mengganggu kehidupan ODS, berisiko
melukai diri sendiri, orang lain, dan merusak benda-benda. Walaupun
demikian, terapi yang diberikan jangan sampai memengaruhi penilaian
terhadap diagnosis.
Sebelum pemberian antipsikotika, pemeriksaan laboratorium perlu
dilakukan. Selain itu, jika memungkinkan, manfaat dan risiko obat yang
akan diberikan didiskusikan terlebih dahulu dengan ODS dan keluarga.
Meskipun ODS dalam keadaan agitasi atau dengan gangguan isi pikir,
hubungan dokter-ODS harus dibangun sejak hari pertama.
Aliansi terapetik dapat meningkat bila dokter dan ODS, secara
bersama-sama, bisa mengidentifikasi target gejala, misalnya ansietas,
gangguan tidur, halusinasi dan waham yang secara subjektif merupakan
penderitaan bagi ODS. Selain itu, ODS dapat pula mengalami defisit
atensi dan kognitif lainnya yang sering menjadi lebih berat ketika
eksaserbasi akut. Gejala-gejala ini dapat dijadikan alasan untuk
mendorong ODS bersedia menerima pengobatan. Pemberian edukasi
kepada ODS bahwa antipsikotika berfungsi mengatasi gejala-gejala yang
dideritanya, dapat meningkatkan aliansi terapetik, pada keadaan akut. Jadi,
klinikus dapat mencari gejala yang mengganggu ODS (dengan
menanyakan kepada ODS) dan kemudian meyakinkan ODS bahwa obat
dapat mengatasi gejala tersebut. Kiat ini dapat membantu untuk
membangun aliansi terapetik.

Obat APG-I
Injeksi APG-I sering digunakan untuk mengatasi agitasi akut pada
skizofrenia. Kerja obat ini sangat cepat. Walaupun demikian, ada beberapa
efek samping yang sering dikaitkan dengan injeksi APG-I, misalnya
distonia akut dan pemanjangan QTc. Efek samping ini dapat menyebabkan
ketidakpatuhan terhadap pengobatan.
Penggabungan antara APG-I dengan benzodiazepin juga sering
digunakan. Penggunaannya juga terbatas karena seringnya terjadi efek
samping. Misalnya, benzodiazepin dapat menyebabkan depresi
pernafasan, sedasi berlebihan, atau dapat menginduksi perilaku disinhibisi
yang dapat memperburuk keadaan. Selanjutnya, APG-I, misalnya
haloperidol, dapat pula menyebabkan gejala ekstrapiramidal (EPS),
abnormalitas elektrokardiogram (EKG), sedasi berlebihan atau sindrom
neuroleptik malignansi (SNM). Efek samping ini dapat menimbulkan
penderitaan bagi ODS dan memberikan dampak buruk terhadap kepatuhan
dan penerimaan terhadap terapi jangka panjang.

Obat APG-II
Obat APG-II, baik oral maupun injeksi, bermanfaat dalam
mengendalikan agitasi pada fase akut skizofrenia. Selain itu, tolerabilitas
dan keamanannya lebih baik bila dibandingkan dengan APG-I. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa obat injeksi jangka pendek APG-II,
misalnya olanzapin, aripiprazol, dan ziprasidon efektif mengontrol agitasi
pada fase akut skizofrenia.
Saat ini, tersedia beberapa injeksi APG-II dengan efek samping
akut minimal. Meminimalkan efek samping akut, misalnya distonia akut,
dapat meningkatkan penerimaan ODS terhadap pengobatan dan keinginan
ODS melanjutkan terapi antipsikotika.
Inisiasi cepat pada terapi emergensi diperlukan bila ODS
memperlihatkan perilaku agresif terhadap dirinya, orang lain atau objek.
Ketika ODS di dalam ruangan gawat darurat, unit perawatan, atau fasilitas
terapi akut lainnya, protokol standar operasional baku untuk mengatasi
keadaan akut yang tersedia harus diikuti agar terapi yang diberikan sesuai
dengan yang diharapkan.
Sebagian besar ODS dalam fase akut, biasanya memperlihatkan
ketakutan d an kebingungan. Oleh karena itu, keterlibatan beberapa
petugas pada intervensi pertama sangat diperlukan. Petugas rumah sakit
harus berbicara kepada ODS dan berusaha menenangkannya. Usaha
menenangkan ODS harus dilakukan terlebih dahulu. Apabila gagal
menenangkan ODS, mengisolasi atau mengikat ODS dapat dilakukan.
Pengikatan ODS hanya dilakukan oleh tim yang sudah terlatih. Tindakan
pengikatan ODS bertujuan untuk mengurangi risiko ODS melukai dirinya
atau petugas lainnya. Oleh karena itu, pengikatan jangan sampai melukai
ODS.
Pemilihan obat sering ditentukan oleh pengalaman ODS dengan
antipsikotika sebelumnya, misalnya respon terhadap gejala, pengalaman
efek samping, dan cara (route) pemberian obat. Dalam pemilihan obat,
klinikus dapat mempertimbangkan respon ODS terahadap obat
sebelumnya -termasuk respon ODS yang sifatnya subjektif, misalnya
disforik- dan efek samping obat. Adanya komorbiditas dengan kondisi
medik umum, dan potensi interaksi dengan obat lain harus pula
diperhatikan.
Sebagian besar ODS memilih penggunaan obat secara oral. Jika
ODS bersedia menggunakan obat oral, bentuk sediaan yang cepat larut
(olanzapin dan risperdon), dapat digunakan untuk mendapatkan efek yang
lebih cepat dan mengurangi ketidakpatuhan. Selain itu, formula dalam
bentuk cair, misalnya risperidon dalam bentuk cair juga bermanfaat untuk
mengatasi agitasi akut. Apabila ODS tidak bersedia menggunakan obat
oral, pemberian obat injeksi dapat dilakukan meskipun ODS menolak.
Jadi, tawaran penggunaan obat oral merupakan usaha pertama yang
dilakukan untuk mengatasi keadaan agitasi.
Injeksi antipsikotika sangat membantu untuk mengurangi agitasi.
Formula injeksi jangka pendek APG-II, misalnya olanzapin, ziprasidon,
dan aripiprazol dengan atau tanpa benzodiazepin, misalnya lorazepam,
dapat digunakan untuk mengatasi agitasi. Dosis yang direkomendasikan
harus efektif dan tidak menyebabkan efek samping yang secara subjektif
sulit ditoleransi oleh ODS. Pengalaman yang tidak menyenangkan dapat
memengaruhi kepatuhan terhadap terapi jangka panjang.
Titrasi dosis harus dilakukan dengan cepat, hingga mencapai target
dosis terapetik. Walaupun demikian, kemampuan toleransi ODS terhadap
obat yang diberikan, harus pula dipertimbangkan. Apabila ada efek
samping yang tidak nyaman, pemantauan status klinik ODS selama 2-4
mingggu perlu dilakukan untuk mengevaluasi respon ODS terhadap
pengobatan. Pada ODS yang responnya lambat, klinikus harus lebih
bersabar dalam meningkatkan dosis. Dengan kata lain, peningkatan dosis
yang cepat harus dihindari. Bila tidak ada perbaikan, perlu dilakukan
evaluasi kemungkinan adanya ketidakpatuhan terhadap pengobatan,
cepatnya metabolisme, atau buruknya absorbsi obat.
Obat tambahan sering pula diberikan untuk mengatasi
komorbiditas pada fase akut. Misalnya, benzodiazepin sering digunakan
untuk mengatasi katatonia, ansietas, dan agitasi hingga efek terapetik
antipsikotika tercapai. Antidepresan dapat pula dipertimbangkan untuk
mengobati komorbiditas dengan depresi mayor atau dengan gangguan
obsesifkompulsif. Walaupun demikian, kewaspadaan terjadinya
eksaserbasi psikotik akibat pemberian antidepresan perlu pula
ditingkatkan. Stabilisator mood dan beta-bloker dapat pula
dipertimbangkan untuk mengurangi beratnya rekuren hostilitas dan agresi.
Terjadinya interaksi obat perlu diperhatikan terutama yang terkait dengan
ensim sitokrom P450.
Efek samping akut, misalnya hipotensi ortostatik, pusing, gejala
ekstrpiramidal (misalnya, reaksi distonia akut dan akatisia), insomnia,
sedasi, harus pula didiskusikan dengan ODS. Sebaliknya, efek samping
jangka panjang belum perlu dibahas hingga episode akut teratasi.
Menjelaskan kemungkinan efek samping akut dapat meningkatkan
kemampuan ODS untuk mengidentifikasi dan melaporkan keberadaan
efek samping tersebut dan hal ini dapat mempertahankan aliansi terapetik.
Obat Antipsikotik Rentang dosis anjuran Waktu Paruh ( jam)
(mg/hari)
Antipsikotik generasi I
Fenotiazin
Klorpromazin 150-1600 6
Flufenazin 5-60 33
Perfenazin 8-48 10
Thioridazin 100-900 24
Trifluoperazin 5-60 24
Butirofenon
Haloperidol 2-100 21
Lainnya
Loksapin 30-100 4
Antipsikotik Generasi II
Aripiprazol 10-30 75
Klozapin 25-200 12
Olanzapin 10-20 33
Quetiapin 50-400 6
Risperidon 2-9 24
Obat EPS/ Peningkatan Pertambahan Abnormalitas Abnormalitas Pemanjangan Sedasi Hipotensi Efek Samping
Diskensia Prolaktin Berat Badan Glukosa Lipid QTc Antikolinergik
Tardiva
Thioridazin + ++ + + + +++ ++ ++ ++
Perfenazin ++ ++ + + + 0 + + 0
Haloperidol +++ +++ + 0 0 0 ++ 0 0
Klozapin 0 0 +++ +++ +++ 0 +++ +++ +++
Risperidon + +++ ++ ++ ++ + + + 0
Olanzapin 0 0 +++ +++ +++ 0 + + ++
Quetiapin 0 0 ++ ++ ++ 0 ++ ++ 0
Aripripazol 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Terapi Psikososial
Terapi perilaku. Teknik perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan
latihan ketrampilan sosial untuk meningkatkan kemampuan sosial, kemampuan
memenuhi diri sendiri, latihan praktis, dan komunikasi interpersonal. Perilaku
adaptif adalah didorong dengan pujian atau hadiah yang dapat ditebus untuk hal-
hal yang diharapkan, seperti hak istimewa dan pas jalan di rumah sakit. Dengan
demikian, frekuensi perilaku maladaptif atau menyimpang seperti berbicara
lantang, berbicara sendirian di masyarakat, dan postur tubuh aneh dapat
diturunkan (Kaplan, Sadock, & Grebb, 2010).
Terapi berorintasi-keluarga. Terapi ini sangat berguna karena pasien
skizofrenia seringkali dipulangkan dalam keadaan remisi parsial, keluraga dimana
pasien skizofrenia kembali seringkali mendapatkan manfaat dari terapi keluarga
yang singkat namun intensif (setiap hari). Setelah periode pemulangan segera,
topik penting yang dibahas didalam terapi keluarga adalah proses pemulihan,
khususnya lama dan kecepatannya. Seringkali, anggota keluarga, didalam cara
yang jelas mendorong sanak saudaranya yang terkena skizofrenia untuk
melakukan aktivitas teratur terlalu cepat. Rencana yang terlalu optimistik tersebut
berasal dari ketidaktahuan tentang sifat skizofreniadan dari penyangkalan tentang
keparahan penyakitnya
Ahli terapi harus membantu keluarga dan pasien mengerti skizofrenia
tanpa menjadi terlalu mengecilkan hati. Sejumlah penelitian telah menemukan
bahwa terapi keluarga adalah efektifdalam menurunkan relaps. Didalam penelitian
terkontrol, penurunan angka relaps adalah dramatik. Angka relaps tahunan tanpa
terapi keluarga sebesar 25-50 % dan 5 - 10 % dengan terapi keluarga (Kaplan,
Sadock, & Grebb, 2010).
Terapi kelompok. Terapi kelompok bagi skizofrenia biasanya
memusatkan pada rencana, masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata.
Kelompok mungkin terorientasi secara perilaku, terorientasi secara psikodinamika
atau tilikan, atau suportif. Terapi kelompok efektif dalam menurunkan isolasi
sosial, meningkatkan rasa persatuan, dan meningkatkan tes realitas bagi pasien
skizofrenia. Kelompok yang memimpin dengan cara suportif, bukannya dalam
cara interpretatif, tampaknya paling membantu bagi pasien skizofrenia (Kaplan,
Sadock, & Grebb, 2010).
Psikoterapi individual. Penelitian yang paling baik tentang efek
psikoterapi individual dalam pengobatan skizofrenia telah memberikan data
bahwa terapi alah membantu dan menambah efek terapi farmakologis. Suatu
konsep penting di dalam psikoterapi bagi pasien skizofrenia adalah perkembangan
suatu hubungan terapetik yang dialami pasien sebagai aman. Pengalaman tersebut
dipengaruhi oleh dapat dipercayanya ahli terapi, jarak emosional antara ahli terapi
dan pasien, dan keikhlasan ahli terapi seperti yang diinterpretasikan oleh pasien
(Kaplan, Sadock, & Grebb, 2010).
BAB 3
PEMBAHASAN

A. Anamnesis dan Pemeriksaan Status Mental


Fakta Teori
Autoanamnesis Menurut DSM-V, kriteria diagnosis
skizofrenia sebagai berikut
Sulit dievaluasi
 Terdapat 2 atau lebih dari kriteria
Heteroanamnesis dibawah ini, masing-masing terjadi
dalam kurun waktu yang signifikan
Pasien merupakan pasien ulangan yang
selama 1 bulan (atau kurang bila
terakhir di rawat di RS Jiwa Atma telah berhasil diobati). Paling tidak
salah satu harus ada (delusi),
Husada Samarinda pada Maret tahun
(halusinasi), atau (bicara kacau) :
2019 dan mengaku putus obat sudah 3 - Delusi/waham
- Halusinasi
bulan. Di rumah pasien sering
- Bicara kacau (sering melantur atau
mengamuk, menghambur barang dan inkoherensi)
- Perilaku yang sangat kacau atau
mengajak orang berkelahi. Pasien juga
katatonik
sering bicara melantur dan berbicara - Gejala negatif (ekspresi emosi
yang berkurang atau kehilangan
tentang agama. Pasien juga sulit untuk
minat)
tidur dan makan. Di RS Panglima  Selama kurun waktu yang
sebaya pasien mencoba memukul signifikan sejak awitan gangguan,
terdapat satu atau lebih disfungsi
perawat dan meludahinya. pada area fungsi utama; seperti
pekerjaan, hubungan interpersonal,
atau perawatan diri, yang berada
Pemeriksaan Status Mental jauh dibawah tingkat yang dicapai
Kesan umum : Tidak sebelum awitan (atau jika awitan
pada masa anak-anak atau remaja,
rapi, tampak bingung dan ada kegagalan untuk mencapai
gelisah, tidak kooperatif beberapa tingkat pencapaian
hubungan interpersonal, akademik,
Kontak : Verbal atau pekerjaanyang diharapkan)
(+) Visual (-)  Tanda kontinu gangguan
berlangsung selama setidaknya 6
Kesadaran : atensi (- bulan. Periode 6 bulan ini harus
) , Orientasi (-) mencakup setidaknya 1 bulan gejala
(atau kurang bila telah berhasil
Mood dan afek` : Mood diobati) yang memenuhi kriteria A
labil, afek baik dan sesuai (seperti Gejala fase aktif) dan dapat
mencakup periode gejala prodromal
Proses Berpikir atau residual. Selama periode gejala
- Bentuk : prodromal atau residual ini, tanda
gangguan dapat bermanifestasi
Inkoheren sebagai gejala negatif saja atau 2
atau lebih gejala yang terdaftar
- Arus : Flight of dalam kriteria A yang muncul
dalam bentuk yang lebih lemah
ideas
(keyakinan aneh, pengalaman
- Isi : Waham perseptual yang tidak lazim)
(-), Ide bunuh diri dan  Gangguan skizoafektif dan
gangguan depresif atau bipolar
membunuh (-) dengan ciri psikotik telah
disingkirkan baik karena :
Persepsi ` :
 Tidak ada episode depresif manik,
Halusinasi auditori (+) atau campuran mayor yang terjadi
Visual (-) bersamaan dengan gejala fase aktif
 Jika episode mood terjadi selama
Intelegensia : kurang gejala fase aktif durasi totalnya
Kemauan : mandiri relatif singkat dibandingkan durasi
periode aktif residual
Psikomotor : Dalam  Gangguan tersebut tidak disebabkan
Batas Normal efek fisiologis langsung suatu zat
(obat yang disalahgunaan, obat
medis)atau kondisi medis umum.
 Jika terdapat riwayat gangguan autis
atau keterlambatan perkembangan
global lainnya, diagnosis tambahan
skizofrenia hanya dibuat bila
waham atau halusinasi yang
prominen juga terdapat selama
setidaknya satu bulan (atau kurang
bila telah berhasil diobati).

Skizofrenia Tak Terinci


(Undifferentiated) (F 20.3)
Pedoman Diagnostik

d. Memenuhi kriteria
umum diagnosis
skizofrenia.
e. Tidak memenuhi
kriteria untuk diagnosis
skizofrenia paranoid,
hebefrenik, atau
katatonik
f. Tidak memenuhi
kriteria untuk
skizofrenia residual
atau depresi pasca
skizofrenia

B. Terapi

Fakta Teori
IGD : Skizofrenia diobati dengan
Injeksi extra Haloperidol 1 antipsikotika (AP). Obat ini dibagi
ampul + Diazepam 1 Ampul/
dalam dua kelompok, berdasarkan
IM
Ruangan : mekanisme kerjanya, yaitu domanine
 Clozapine 2x25 mg receptor antagonist (DRA) atau
 Haloperidol 2x 0,5 mg
antipsikotika generassi I (dan
serotonin-dopamine receptor
antagonists (SDA) atau antipsikotika
generasi II (APG-II).
Obat APG-I berguna terutama untuk
mengkontrol gejala-gejala positif
sedangkan untuk gejala-gejala negatif
hampir tidak bermanfaat. Obat APG-II
bermanfaat baik untuk gejaa positif atay
negatif.
Standar baku emas baru adalah APG-II.
Meskipun harganya mahal tetapi
manfaatnya besar. Pilihlah APG-II yang
efektif dan efek samping yang lebih
ringan dan dapat digunakan secara
aman tanpa memerlukan pemnatauan
sel darah putih setiap minggu.
Gunakalanlah APG-II yang aman yang
anda tidak harus memantaunya secara
ketat.
Telah dilakukan heteroanamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang,
diagnosis, hingga penatalaksanaan didapatkan pasien dengan identitas Tn. Sabirin
berusia 37 tahun dengan diagnosis skizofrenia tak terinci dilakukan terapi
farmakologi. Secara umum keseluruhan pembahasan yang telah dibuat pada kasus
ini dapat disimpulkan bahwa fakta yang telah dilaporkan sesuai dengan teori yang
ada.
DAFTAR PUSTAKA
Sadock, B., & Sadock, V. (2015). Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Puri, B., Laking, P., & Treasaden, I. (2011). Buku Ajar Psikiatri . Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Maslim, R. (2013). Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari
PPDGJ-III dan DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika
Atmajaya.

Kaplan, H., Sadock, B., & Grebb, J. (2010). Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan
Perilaku Psikiatri Klinis. Tangerang: Binarupa Aksara Publisher.

Nurmiati, A. (2015). Skizofrenia. Dalam F. UI, Buku Ajar Psikiatri (hal. 173-
203). Jakarta: Badan Penerbit FKUI.

Maslim, R. (2007). Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik.


Jakarta: PT. Nuh Jaya.

Maramis, W., & Maramis, A. (2009). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya:
Pusat Penerbitan dan Percetakan (AUP).

Albers, L., Hahn, R., & Reist, C. (2008). Handbook of Psychiatric Drugs. USA:
Current Clinical Strategies Publishing.

PDSKJI. (2011). Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia. Jakarta:

Anda mungkin juga menyukai