Anda di halaman 1dari 5

STOA/STOIKISME

Stoikisme, juga disebut Stoa (bahasa Yunani: Στοά) adalah nama sebuah aliran atau mazhab
Filsafat Yunani Kuno yang didirikan di kota Athena, Yunani, oleh Zeno dari Citium pada awal
abad ke-3 SM.[1][2][3][4] Ada pula yang mencatat Stoikisme baru resmi pada tahun 108 SM.[5]
Setelah Zeno, orang yang paling berjasa mempertahankan sekolah Stoa adalah Cleanthes
dari Assos dan Chrysippus dari Soli.[3] Cleanthes menyumbangkan gagasan tentang
hubungan etika dengan iman atau teologi.[3] Sedangkan Chrysippus menuliskan 705 buku
(90% ) literatur sebagai doktrin Stoikisme, yaitu telaah tentang perbintangan astronomi.[6]

Ajaran sekolah atau mazhab Stoa ini sangat luas dan beragam, tetapi dapat disimpulkan
bahwa pijakannya adalah meliputi perkembangan logika (terbagi dalam retorika dan
dialektika), fisika, dan etika (memuat teologi dan (politik)[5] Pandangan yang mencolok tentang
etika adalah bagaimana manusia memilih sikap hidup dengan menekankan apatheia, hidup
pasrah atau tawakal menerima keadaannya di dunia.[5] Sikap tersebut merupakan cerminan
dari kemampuan nalar manusia, bahkan kemampuan tertinggi dari semua hal.[5]

Stoikisme populer hingga kurang lebih lima abad (3 SM - 3 M),selanjutnya mempengaruhi


banyak pemikir Kristen, baik dalam dunia akademis maupun sikap hidup.[3] Fokus filsafat
Stoikisme adalah dalam bidang etika.[3] Stoa memiliki perbedaan tajam dengan gagasan
intelektual tua lainnya, yaitu epikureanisme dan skeptisisme, dan Stoikisme merupakan aliran
filsafat yang paling berhasil dan sangat berpengaruh dalam aliran filsafat Yunani Kuno karena
relevansinya terhadap sikap manusia dan sistem pemerintahan saat itu.[1]

Terminologi

Stoik berasal dari bahasa Yunani stōïkos, yang berarti "dari stoa [serambi, atau beranda]".
Hal ini mengacu pada Stoa Poikile, atau "Beranda Berlukis", di Athena, dimana filsuf stoik
Zeno dari Citium yang berpengaruh besar terhadap stoikisme pernah mengajar.[7][8] Dalam
istilah awam stoikisme kadang-kadang disebut sebagai "menderita dalam kesunyian", dan
etika yang terkait dengan hal itu.[9]

Tokoh-tokoh Stoikisme

Semenjak Zeno dari Citium mendirikan aliran Stoa atau Stoikismenya, muncul beberapa filsuf
lainnya yang menjadi tokoh Stoa, misalnya Chrisippus dari Soli, Cleanthes dari Assos, Seneca
Muda, Cicero, Epictetus, dan Marcus Aurelius.[1][3] Dalam Kamus Filsafat Cambridge, tokoh
dan pandangan Stoa dibagi menjadi tiga:[4]

1. Stoa Awal, terdiri dari Zeno (334-262SM), Chrisipus (280-206), dan Cleanthes (331-232).[4]
2. Stoa Perantara (Middle Stoicsm), dikembangkan oleh Panaetius (185-110 SM) dan
Posidonius (135-50 SM) dari Rhodes, yang mempengaruhi Cicero (106 SM -43 M).[4]
3. Stoa Akhir Stoa Romawi (Roman Stoicsm) terdapat Cicero (106 SM -43 M), Seneca Muda
(1-65M), Epictetus (55-135M), dan Marcus Aurelius (121-180M).[4]
Sebagai catatan: tahun-tahun hidup dari tokoh Stoa tidak sama dalam beberapa buku,
misalnya jika dibandingkan dalam buku the Stoics, terpapar masa hidup Cleanthes (303-
233SM), Epictetus (60-117M), dan Seneca Muda (4SM-65M).[3]

Rupanya Zeno muda telah terinspirasi oleh ajaran etika Socrates, khususnya keberanian
Socrates dalam menempuh jalan kematian dengan sukarela.[3] Tindakan ini seolah menjadi
gambaran ajaran Stoa dalam etika, bahwa seseorang tidak perlu terbawa emosi negatif
(pathos), takut misalnya, tetapi bahagia dengan kemerdekaan penuh, termasuk menerima
cara kematian.[2]

Prinsip dan ajaran Stoikisme banyak mempengaruhi pemikiran para teolog Kristen dan filsuf
di sepanjang abad, bahkan hingga saat sekarang, dan warisan yang menyolok dari filsafat
Stoikisme adalah tentang hidup etis dengan moralitas yang baik, seperti diwarisi oleh
beberapa pemikir, yaitu Baruch Spinoza, Joseph Butler, Immanuel Kant,[1] dan Helmut Richard
Niebuhr.[10] Menurut filsuf Jerman bernama Dilthey, Stoikisme adalah filsafat terkuat dan
terlama yang dapat diterima ketimbang filsafat lainnya.[11]

Tokoh Etika Masa Kini yang sangat Stoik

Tokoh etika terkenal dari Amerika yang sangat dipengaruhi oleh cara berpikir Stoa misalnya
H. Richard Niebuhr.[10] Selain Niebuhr membangun diskursus etika yang sangat radikal
mengakui peran Ilahi dalam berbagai peristiwa kehidupan dunia yang tampak dalam salah
satu karyanya berjudul Radical Monotheism, Niebuhr juga sangat menekankan tindakan
manusia untuk tidak secara dikotomis memisahkan unsur-unsur alam secara bertentangan,
yang kemudian hanya akan melahirkan permusuhan antar manusia.[10] Niebuhr mengajak
manusia menyelaraskan diri terhadap perubahan-perubahan dalam masyarakat dengan tidak
panik, tidak melakukan perlawanan yang menghasilkan kekerasan, melainkan mengajak
manusia bertindak bertanggungjawab mulai dari diri sendiri.[10]

Inti-inti Ajaran Stoikisme

Orang-orang Stoik percaya bahwa emosi negatif yang menghancurkan manusia dihasilkan
dari keputusan yang salah, dan bahwa seorang sophis, yaitu orang yang memiliki
"kesempurnaan moral dan intelektual," tidak akan pernah mengalami emosi-emosi yang
merusak kebahagiaan, misalnya marah berlebihan, panik berlebihan, sedih berlebihan,
dsb.[12] Seorang Stoik, seperti kata Epictetus hendaknya tidak banyak bicara tentang ide-ide
besar, apalagi kepada orang-orang awam, melainkan bertindak selaras dengan apa yang
dipikirkannya tentang kebaikan.[13] Hal ini dibedakan dengan istilah filsuf atau filosof (pecinta
kebijaksanaan) yang hanya menyukai ide-ide kebijaksanaan, tetapi biasanya gagal
melakukan ide-ide kebijaksanaan itu (sophia).[13] Stoikisme adalah cara hidup yang
menekankan dimensi internal manusia, seorang Stoik dapat hidup bahagia ketika ia tidak
terpengaruh oleh hal-hal di luar dirinya.[13] Di mata kaum Stoa, Logos Universal (Sang Ilahi)
adalah yang menata alam semesta ini dengan rasional, senegatif apa pun kejadian yang
menimpa, seorang Stoa yang bijak akan melihat kejadian tersebut sebagai bagian dari
tenunan indah iahi atau Logos.[13] Ia akan menyesuaikan kodrat rasional dirinya sebagai
manusia dengan hukum alam (hukum sebab akibat) dari Alam Semesta.[13]

Landasan ajaran Stoa meminjam tiga elemen filsafat yang berkembang di Akademia yang
didirikan oleh Aristoteles yakni logika atau rasio, materi atau fisika, dan etika.[1] Tema-tema
yang sering dibicarakan terkait dimensi manusia sebagai fokus utama, di antaranya mengenai
takdir, kehendak bebas, pemeliharaan Ilahi, dan kejahatan.[3]

Ajaran Stoa yang paling menonjol adalah bagaimana manusia bertindak menurut keteraturan
hukum alam yang diselenggarakan yang Ilahi.[3][4] Cleanthes menulis beberapa versi dalam
ekspresi gamblang sebuah daya tarik elemen yang didesakkan oleh imannya,

“ Lead me, O Zeus, and lead me thou, O Fate,

Unto that place where you have stationed me: I shall not flinch, but follow: and if
become Wicked I should refuse, I still must follow

Terjemahan bebas:

Bimbing aku, oh Zeus, bimbing aku, wahai penciptaku Hingga di tempat di mana
Engkau akan menghantarku Aku tidak akan lari darimu, namun mengikutimu, dan
seandainya hatiku berontak, Aku tetap akan ikut dikau ”
— Cleanthes dari Assos

Sikap hidup yang menyelaraskan diri dengan kehendak ilahi yang tampak dalam sikap hidup
menyelaraskan diri dengan keteraturan alam ini disebut sebagai etika katekontik.[1][3][13] Dalam
Stoa mula-mula, ajaran Stoa selalu melibatkan peran dewa-dewa dalam miologi Yunani Kuno.
Demikian para pemikir etika Kristen yang dipengaruhi filsafat Stoa juga selalu melibatkan Allah
dalam konstruksi etikanya.[1]

Etika Katekontik

Menurut para Stoik, manusia adalah binatang bernalar, nalar (reason) itu didapatinya dari
Yang Ilahi, dan dengan nalar itu, manusia menjadi elemen terpenting bagi Sang Ilahi untuk
menyelenggarakan keteraturan dunia.[4] Namun, manusia bukan satu-satunya elemen, ia
hanya salah satu bagian dari semesta, ia hanya salah satu organ saja.[4] Eksistensi manusia
selalu terkait dengan eksistensi pihak lain, merusak tatanan semesta berarti merusak atau
mengancam eksistensi manusia itu sendiri.[4] Seorang sophis atau orang bijak sejati -orang
yang hidupnya selaras dengan ide-ide yang ia pelajari-, hendaknya dalam hidup mencari
pemenuhan kebutuhan, tidak melupakan relasinya terhadap pihak lain, termasuk Yang Ilahi
sebagai penyelenggara tunggal dunia.[4] Seorang sophis harus sadar bahwa ia hanya bagian
dari rangkaian tak terpisahkan keteraturan dunia, bahwa ia setara posisinya dengan ciptaan
lain, dan kepentingan dirinya harus terintegrasi terhadap kepentingan orang atau pihak lain
itu.[11] Perspektif kosmik (kesadaran akan alam) harusnya membayangi kehidupan pribadi,
walau tidak menggantikannya secara keseluruhan.[11] Rasio atau nalar manusia harus
terintegrasi terhadap penyelenggaraan kosmis Ilahi.[4] Jika seseorang bertindak selaras
(katekontik) sebagai tindakan yang sejati (katorthomata) sebagai tindakan yang tepat, ia akan
merasa bahagia, merdeka, bertindak secara tepat dalam kebaikan, dan hidup dalam harmoni
yang sempurna.[4]

Stoikisme dan Politik Yunani


Tokoh-tokoh Stoa atau para Stoik, dalam etika politik terbagi dalam dua golongan, yang anti-
politik atau menjauhi keterlibatan politik, dan yang terlibat aktif dalam politik. [3][11] Kedua
kelompok tersebut memiliki pandangan yang berbeda.[11] Bagi yang menjauhi dunia politik,
alasan mereka adalah karena muak dengan perilaku elit politik, dan meyakini bahwa hukum
yang patut ditaati bukanlah hukum negara, melainkan hukum alam yang diatur oleh sang
ilahi.[3][11] Selain itu, mereka masih sangat dipengaruhi oleh aliran Sinisisme yang mengecam
keras pemerintahan tiran kala itu.[11] Sedangkan yang memilih terlibat dan berkarier dalam
dunia politik, Cicero misalnya, mengatakan bahwa tugas politik terdapat tugas suci yang
dibebankan oleh Tuhan kepada manusia, ganjarannya adalah sorga.[11] Dalam relasi dengan
manusia lain, kita tak butuh hukum politik, tetapi harus hidup dalam persahabatan dan
kekeluargaan dengan semua makhluk, seperti kutipan Plutarch (Moralia, 329A) dari Politeia
karya Zeno[3],

“ Kita seharusnya hidup tidak dalam kota-kota atau wilayah yang terorganisasi,
masing-masing kelompok dibedakan oleh pandangan kebaikan sendiri, tetapi
seharusnya berpikir semua orang adalah warga dan anggota, dan seharusnya ada
satu jalan hidup dan satu tatanan, seperti segerumbul rumput menyatu di padang ”
— Zeno dari Citium

Alasannya sederhana, para Stoik awal menolak sistem pemerintahan kala itu, pemerintahan
yang sangat tirani.[11] Para Stoik awal juga menolak sistem dan ajaran pendidikan yang
mengabaikan pentingnya hidup bersama dalam persahabatan, persaudaraan, dan anti
permusuhan.[11] Setiap sistem politik agaknya mereka tolak, bahkan penggunaan mata uang
pun mereka tidak anjurkan.[11]

Sedangkan para Stoik yang kemudian, misalnya Cicero, Seneca Muda, dan Markus Aurelius
justru terlibat dalam kancah politik, Cicero adalah salah satu anggota dewan Kota, Seneca
pernah jadi penasihat Kaisar Nero, dan Marcus Aurelius adalah seorang Kaisar.[11] Jadi, Stoa
memang memiliki paradoks ajaran dalam berpolitik, ada yang anti-politik, dan ada pula yang
justru dalam lingkaran politik.[11]

Bagi Seneca, Cicero, dan Marcus Aurelius, seseorang yang memiliki jabatan politik harus
memiliki integritas diri. Pemerintahan yang baik seharusnya bukan hanya dihuni orang-orang
yang tahu kebijaksanaan -seperti pernah digagas oleh Plato dalam sistem pemerintahan
Aristokrasi-, melainkan harus juga seorang sophis, yaitu orang yang benar-benar melakukan
kebijaksanaan.[11] Marcus Aurelius sendiri mengarang buku berjudul Meditations hingga 4 jilid
yang berisi pentingnya seorang pejabat publik melakukan perenungan diri supaya dalam
memerintah ia memiliki ketenangan batin, dan berjiwa pengorbanan.[14][11] Jadi, Stoa memang
memiliki paradoks ajaran dalam berpolitik, ada yang anti-politik, dan ada pula yang justru
dalam lingkaran politik.

Etika Stoikisme

Etika Stoikisme berpijak pada prinsip bahwa kebajikanlah (virtue) yang baik, selain hal itu,
buruk adanya.[4] Hal-hal lain sifatnya netral saja (Inggris: indifferent, Yunani: adiaphora),
walaupun beberapa di antaranya, misalnya kesehatan, kemakmuran, kehormatan secara
alamiah dianjurkan, sedangkan yang berseberangan dari itu tidak dianjurkan. [4] Misalnya,
kepemilikan pribadi sama sekali tidak dianjurkan karena tidak selaras dengan prinsip manusia
yang ingin bahagia.[4] Jika manusia tidak sadar terhadap godaan hal-hal yang netral itu, ia
dapat terjebak pada tindakan menghalalkan cara untuk mencapai hal-hal yang netral, atau ia
justru tidak bahagia ketika diperalat hal-hal yang netral itu.[4] Misalnya, seseorang yang
mengejar harta benda terus menerus, sesungguhnya ia tak lagi dapat bahagia, karena dirinya
telah dikuasai hal-hal yang seharusnya tidak merintanginya untuk berbahagia.[4] Pertarungan
paling sengit adalah mengenai kebijaksanaan dan pengendalian diri manusia melawan
kesenangan pribadi.[2]

Selain Stoa menolak pengaruh hal-hal yang bersifat eksternal (kekayaan, kesehatan,
reputasi), Stoa juga menolak pengaruh hal-hal yang membengkokkan nalar, misalnya takut
terhadap kematian, takut kepa Dewa atau Tuhan, dan peristiwa-peristiwa buruk yang akan
mengganggu kebahagiaan.[2] Caranya adalah, bukan memutus hubungan terhadap hal-hal
yang menakutkan itu, melainkan dengan meluruskan nalar kita supaya tidak dikendalikan oleh
emosi-emosi yang muncul dari hal-hal itu.[2] Kebahagiaan tidak dapat direnggut oleh peristiwa-
peristiwa tersebut, walaupun kita tidak dapat mengendalikan semua peristiwa di tangan kita.[2]
Dengan memperbaiki nalar, kita mampu mengendalikan perilaku kita dalam
menghadapinya.[2] Ketakutan ketika menghadapi peristiwa-peristiwa yang tidak kita harapkan
sebenarnya lebih besar daripada akibat-akibat menakutkan yang akan ditimbulkan peristiwa-
peristiwa itu sendiri.[2]

Anda mungkin juga menyukai