Anda di halaman 1dari 8

AGUSTINUS

Agustinus dari Hippo (dalam bahasa Latin: Aurelius Augustinus Hipponensis,[note 1] lahir 13
November 354 – meninggal 28 Agustus 430 pada umur 75 tahun), juga dikenal sebagai Santo
Agustinus, atau Saint Augustine dan Saint Austin dalam bahasa Inggris,[1] Beato
Agustinus,[2] dan Doktor Rahmat[3] (bahasa Latin: Doctor gratiae), adalah seorang filsuf[4]
dan teolog Kristen awal yang tulisannya mempengaruhi perkembangan Kekristenan Barat dan
filsafat Barat. Ia adalah uskup Hippo Regius (sekarang Annaba, Aljazair), yang terletak di
Numidia (provinsi Romawi di Afrika). Ia dipandang sebagai salah seorang Bapa Gereja
terpenting dalam Kekristenan Barat karena tulisan-tulisannya pada Era Patristik. Di antara
karya-karyanya yang terpenting misalnya Kota Allah dan Pengakuan-Pengakuan.

Menurut rekan sezamannya, Hieronimus, Agustinus telah memperbaharui "Iman kuno".[note 2]


Pada awal hidupnya, ia banyak dipengaruhi oleh Manikeisme dan sesudahnya oleh
Neoplatonisme dari Plotinus. Setelah dibaptis dan memeluk Kekristenan pada tahun 386,
Agustinus mengembangkan pendekatannya sendiri dalam filsafat dan teologi dengan
mengakomodir berbagai metode dan sudut pandang.[5] Dengan keyakinan bahwa kasih
karunia atau rahmat Kristus mutlak dibutuhkan bagi kebebasan manusia, ia membantu
merumuskan doktrin dosa asal dan memberikan kontribusi penting pada pengembangan teori
perang yang dapat dibenarkan.

Ketika Kekaisaran Romawi Barat mulai pecah, Agustinus mengembangkan konsep Gereja
sebagai suatu Kota Allah yang spiritual, berbeda dengan Kota Duniawi yang materiil.[6]
Pemikirannya sangat mempengaruhi cara pandang dunia abad pertengahan. Gereja yang
berpegang pada konsep Trinitas, sebagaimana didefinisikan dalam Konsili Nicea dan Konsili
Konstantinopel,[7] umumnya diidentifikasi sebagai Kota Allah-nya Agustinus.

Dalam Gereja Katolik dan Komuni Anglikan, ia dipandang sebagai seorang santo, seorang
Doktor Gereja atau Pujangga Gereja terkemuka, serta pelindung para biarawan dan biarawati
Agustinian. Hari peringatannya dirayakan pada tanggal 28 Agustus, hari wafatnya. Ia
dipandang sebagai santo pelindung para pembuat bir, penerbit dan percetakan, teolog,
pengentasan penyakit mata, serta sejumlah kota dan keuskupan.[8] Banyak kalangan
Protestan, terutama Calvinis, menganggapnya sebagai salah seorang bapa teologis
Reformasi Protestan karena ajarannya tentang rahmat ilahi dan keselamatan.[9][10][11]

Dalam Kekristenan Timur, beberapa ajarannya diperdebatkan dan secara khusus pada abad
ke-20 mendapat serangan dari teolog seperti John Romanides.[12] Namun, para tokoh dan
teolog lainnya dari Gereja Ortodoks Timur memperlihatkan banyak pemanfaatan dari karya-
karya tulisnya, terutama Georges Florovsky.[13] Kontrovesi doktrinal terpenting yang
dihubungkan dengan namanya adalah filioque,[14] yang ditolak oleh Gereja Ortodoks.[15]
Ajaran-ajaran lain yang diperdebatkan mencakup pandangannya mengenai dosa asal, doktrin
mengenai rahmat atau anugerah, dan predestinasi.[14] Bagaimanapun, meski dianggap keliru
dalam beberapa hal, ia tetap dipandang sebagai seorang suci (santo), dan bahkan telah
memberikan pengaruh pada sejumlah Bapa Gereja Timur, khususnya Gregorius Palamas.[16]
Dalam Gereja Ortodoks, pesta peringatannya dirayakan pada tanggal 28 Agustus, [14][17] dan
ia menyandang gelar Beato ("Yang Terberkati").
KEHIDUPAN

Masa kecil dan pendidikan

Agustinus dilahirkan pada tahun 354 M di municipium (kota atau kotamadya) Tagaste,
Numidia (sekarang Souk Ahras, Aljazair) di Afrika Romawi.[18][19] Ibunya, Monika, adalah
seorang Kristen yang saleh; sementara ayahnya Patrisius adalah seorang Pagan yang
kemudian memohon dibaptis menjelang kematiannya.[20] Para akademisi umumnya sepakat
bahwa Agustinus dan keluarganya adalah orang Berber, suatu kelompok etnis asli Afrika
Utara,[21][22][23][24] tetapi mereka banyak mendapat pengaruh Romanisasi, hanya berbicara
bahasa Latin di rumah sebagai suatu kebanggaan dan martabat.[21] Dalam tulisan-tulisannya,
Agustinus meninggalkan sejumlah informasi mengenai kesadarannya akan warisan Afrika-
nya. Sebagai contoh, ia menyebut Apuleius sebagai "yang paling terkenal buruk di antara kita
orang Afrika",[25] hingga Ponticianus sebagai "orang sebangsa kita, sebatas menjadi orang
Afrika",[26] dan menyebut Faustus dari Milevum sebagai "seorang Pria Sejati Afrika".[27]

Nama keluarga Agustinus, yaitu Aurelius, menunjukkan bahwa leluhur ayahnya adalah budak
yang dimerdekakan dari gens Aurelia yang diberikan kewarganegaraan Romawi sepenuhnya
melalui Maklumat Caracalla pada tahun 212. Dari sudut pandang hukum, keluarga Agustinus
telah menjadi bangsa Romawi selama setidaknya satu abad pada saat ia lahir.[28]
Diasumsikan bahwa ibu Agustinus, yakni Monika, memiliki asal usul Berber berdasarkan
namanya,[29][30] tetapi karena keluarga Agustinus tergolong honestiores, suatu kelompok
warga negara kelas atas yang dikenal sebagai orang-orang terhormat, kemungkinan besar
Agustinus telah menggunakan bahasa Latin sebagai bahasa pertamanya.[29]

Pada usia 11 tahun ia disekolahkan di Madaurus (sekarang M'Daourouch), sebuah kota kecil
di Numidia berjarak sekitar 31 km di sebelah selatan Tagaste. Di sana ia menjadi akrab
dengan sastra Latin, juga keyakinan dan praktik pagan.[31] Pemahaman awalnya mengenai
kodrat atau hakikat dosa adalah saat ia dan sejumlah temannya mencuri buah-buahan, yang
sebenarnya tidak mereka inginkan, dari sebuah kebun di lingkungan sekitarnya. Ia
menceritakan kisah ini dalam otobiografinya, Pengakuan-Pengakuan (bahasa Inggris: The
Confessions). Ia mengingatnya bahwa dulu ia tidak mencuri buah pir tersebut karena rasa
lapar, tetapi karena "hal itu tidak diperbolehkan".[32] Kodrat dasarnya cacat, katanya. "Buruk
kenakalan itu, tetapi aku menyukainya waktu itu; aku menyukai kehancuranku, aku menyukai
kesalahanku. Bukan apa yang kukejar dalam kesalahanku itu, melainkan kesalahan itu sendiri
yang kusukai."[32] Dari kejadian ini ia menyimpulkan bahwa pribadi manusia secara kodrati
cenderung untuk berbuat dosa, dan membutuhkan kasih karunia Kristus.

Karena kemurahan hati sesama warga kotanya, Romanianus,[33] pada umur 17 tahun
Agustinus melanjutkan pendidikan dalam bidang retorika di Kartago. Saat ia belajar di sanalah
ia membaca dialog karya Cicero yang berjudul Hortensius (sekarang telah hilang), yang ia
sebut meninggkalkan suatu kesan mendalam dan memicu minatnya dalam filsafat. [34]
Meskipun dididik sebagai seorang Kristiani, Agustinus meninggalkan Gereja untuk mengikuti
agama Manikean, sehingga menyebabkan ibunya sangat berputus asa.[35] Sebagai seorang
pemuda, Agustinus menjalani kehidupan yang hedonis dalam suatu kurun waktu, bergaul
dengan orang muda lainnya yang membanggakan eksploitasi seksual mereka. Kebutuhan
akan penerimaan dari sesama memaksa pemuda-pemuda tanpa pengalaman seperti
Agustinus untuk mencari ataupun mengarang cerita mengenai pengalaman-pengalaman
seksual.[36] Pada masa inilah ia mengucapkan doanya yang terkenal: "Berikanlah aku
kemurnian dan kemampuan untuk mengendalikan nafsu, tetapi jangan sekarang" (da mihi
castitatem et continentiam, sed noli modo).[37]

Pada usia sekitar 19 tahun, Agustinus mulai menjalin hubungan di luar perkawinan dengan
seorang wanita muda di Kartago. Meskipun sang ibu mengharapkan agar ia menikahi orang
yang sekelas dengannya, wanita tersebut tetap menjadi kekasihnya[38] selama lebih dari 15
tahun[39] dan melahirkan seorang putra baginya, Adeodatus,[40] yang dipandang sangat cerdas
oleh orang-orang pada masanya. Pada tahun 385, Agustinus mengakhiri hubungan dengan
kekasihnya demi mempersiapkan diri untuk menikahi seorang wanita berumur 10 tahun yang
akan menjadi pewarisnya. (Ia harus menunggu selama dua tahun karena usia yang sah
secara hukum untuk menikah adalah 12 tahun. Namun, pada saat ia dapat menikahinya, ia
malah memutuskan untuk menjadi seorang imam selibat.)[39][41]

Sejak awal Agustinus menunjukkan dirinya sebagai seorang murid yang brilian, dengan
keingintahuan intelektual yang besar, namun ia tidak pernah benar-benar menguasai bahasa
Yunani.[42] —ia menyampaikan bahwa guru bahasa Yunani pertamanya adalah seorang pria
brutal yang terus-menerus memukuli murid-muridnya, dan Agustinus memberontak serta
menolak untuk belajar. Pada saat ia menyadari bahwa ia perlu mengetahui bahasa Yunani,
hal itu sudah terlambat; dan walaupun ia sedikit menguasai bahasa itu, ia tidak pernah fasih
dengannya. Namun, penguasaannya atas bahasa Latin merupakan hal lain. Ia menjadi
seorang ahli yang fasih dalam penggunaan bahasa tersebut maupun dalam penggunaan
argumen-argumen cerdas untuk menyampaikan maksud-maksudnya.

Mengajar retorika

Agustinus mengajar tata bahasa di Tagaste selama tahun 373-374. Tahun berikutnya ia
pindah ke Kartago untuk membuka sekolah retorika, dan tetap di sana selama 9 tahun
berkutnya.[33] Pada tahun 383, karena merasa terganggu oleh murid-murid yang sulit diatur di
Kartago, ia pindah ke Roma untuk mendirikan sekolah di sana, di mana ia meyakini bahwa
Roma adalah tempatnya para ahli retorika cemerlang dan terbaik. Namun, Agustinus kecewa
dengan penerimaan apatis yang dialaminya. Merupakan suatu kebiasaan di Roma saat itu
bahwa para murid membayar biaya sekolah pada hari terakhir masa studi, dan banyak murid
mengikuti seluruh masa studi dengan tekun sampai akhir, namun tidak membayar biaya
sekolah. Teman-temannya sesama penganut Manikean memperkenalkannya dengan prefek
Kota Roma, Symmachus, yang telah diminta oleh istana kekaisaran di Milan[43] untuk
menyediakan seorang guru besar ilmu retorika.

Agustinus kemudian mendapatkan pekerjaan tersebut dan berangkat ke utara untuk


menerima jabatan itu pada akhir tahun 384. Di usianya yang ke-30, Agustinus telah
mendapatkan posisi akademik yang paling menonjol di dunia Latin saat itu, jabatan yang
memberikan akses ke karier politik. Kendati Agustinus memperlihatkan sejumlah kegairahan
pada Manikeisme, ia tidak pernah menjadi seorang "inisiasi" atau "terpilih", namun hanya
menjadi seorang "auditor", tingkatan terendah dalam hierarki sekte itu.[43]

Saat masih di Kartago, Agustinus pernah mengalami suatu pertemuan yang mengecewakan
dengan Uskup Manikean Faustus dari Milevum, seorang eksponen utama teologi Manikean;
sejak saat itu Agustinus mulai bersikap skeptis terhadap Manikeisme.[43] Di Roma, ia
dikabarkan berpaling dari Manikeisme dan menganut skeptisisme dari gerakan Akademi Baru.
Karena pendidikannya, Agustinus memiliki kecakapan retorikal yang luar biasa dan
berpengetahuan luas dalam filsafat berbagai keimanan atau agama.[44] Saat Agustinus pindah
ke Milan, kesalehan ibunya, studinya dalam Neoplatonisme, dan Simplicianus (yang kelak
menjadi uskup Milan, dan juga akhirnya digelari Santo) temannya, kesemuanya itu
mendorong dia untuk beralih ke Kekristenan.[33] Awalnya Agustinus tidak begitu terpengaruh
oleh Kekristenan dan ideologi-ideologinya, tetapi setelah menjalin hubungan dengan
Ambrosius (uskup Milan pada saat itu, dan kelak digelari sebagai salah seorang Doktor Agung
dalam Gereja Katolik), ia mulai mengevaluasi kembali dirinya dan mengalami perubahan
untuk seterusnya.
Sama seperti Agustinus, Ambrosius juga seorang ahli retorika (berarti juga ahli pidato), tetapi
lebih tua dan lebih berpengalaman.[45] Agustinus menerima banyak pengaruh dari Ambrosius,
terutama melalui khotbah-khotbah Ambrosius, bahkan lebih dari pengaruh ibunya sendiri dan
orang-orang lain yang ia kagumi. Sejak ia tiba di Milan, ia langsung berada di bawah pengaruh
Ambrosius. Dalam Pengakuan-Pengakuan Bab X-XIII, Agustinus menulis, "Abdi Allah itu
menerimaku dengan sikap kebapakan, dan sebagai seorang uskup sejati dinyatakannya
kesenangannya akan pemindahan saya."[46] Hubungan mereka segera berkembang,
sebagaimana Agustinus menuliskannya, "Begitulah aku mulai merasa sayang kepadanya,
meskipun mula-mula bukan sebagai seorang guru kebenaran yang sama sekali sudah tidak
kuharapkan dari Gereja-Mu, melainkan sebagai orang yang ramah terhadapku."[46] Agustinus
rutin mengunjungi Ambrosius untuk melihat apakah Ambrosius merupakan salah seorang ahli
retorika dan pembicara terbaik di dunia. Walau lebih tertarik pada ketrampilannya berbicara
daripada topiknya, Agustinus segera menyadari bahwa Ambrosius adalah seorang orator
yang menakjubkan. Pada akhirnya, Agustinus mengatakan bahwa melalui alam bawah
sadarnya ia dibawa ke dalam iman Kekristenan.[46]

Sang ibu, Monika, telah menyusulnya sampai ke Milan dan mengatur suatu pernikahan, yang
menyebabkan hubungan Agustinus dengan kekasihnya (di luar pernikahan) berakhir —yaitu
pada tahun 385. Meskipun Agustinus menerima rencana pernikahan itu, Agustinus sangatlah
terluka karena kehilangan kekasihnya. Ia mengatakan, "Wanita teman tetapku seranjang
direnggut dari sisiku ... hatiku yang melekat padanya tercabik-cabik dan terluka dan
mengalirkan darah." Agustinus mengakui bahwa ia bukanlah seseorang yang gandrung pada
ikatan perkawinan, tetapi lebih sebagai seorang budak nafsu birahi, sehingga ia mencari
kekasih lain untuk melayani nafsunya sepeninggal kekasih pertamanya karena ia harus
menunggu 2 tahun lagi hingga tunangannya cukup umur. Namun, ia mengungkapkan bahwa
lukanya tidak kunjung sembuh juga, malah mulai "bernanah".[47]

Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa Agustinus mungkin menganggap hubungan


sebelumnya itu setara dengan pernikahan.[48] Dalam Pengakuan-Pengakuan karyanya, ia
mengakui bahwa pengalaman tersebut akhirnya menghasilkan suatu penurunan kepekaan
terhadap rasa sakit. Di kemudian hari, Agustinus memutuskan pertunangan dengan
tunangannya yang berumur 11 tahun itu, tanpa pernah memperbarui hubungannya dengan
salah seorang pun kekasihnya. Seorang teman Agustinus, Alypius (yang kemudian menjadi
uskup Tagaste, dan juga kelak digelari Santo), yang mengarahkan Agustinus untuk menjauhi
pernikahan, mengatakan bahwa mereka tidak dapat menjalani suatu kehidupan bersama
dalam cinta akan hikmat jika ia menikah. Agustinus mengenang kembali tahun-tahun
berikutnya dalam kehidupannya saat tinggal di Cassiciacum, sebuah villa di luar Milan tempat
ia berkumpul dengan para pengikutnya sebelum ia memutuskan untuk dibaptis, dan
menggambarkan saat itu sebagai "waktu senggang kehidupan Kristiani" (Christianae vitae
otium).[49]

Memeluk Kekristenan

Pada musim panas tahun 386, dalam usianya yang ke-31, setelah mendengar dan terinspirasi
serta tersentuh oleh kisah dari Ponticianus (seorang Kristen kenalannya di istana kaisar)
mengenai pengalamannya bersama teman-temannya yang membaca kisah kehidupan Santo
Antonius Agung, Agustinus melakukan konversi ke Kekristenan. Sebagaimana diceritakan
Agustinus kemudian, keputusan bulat untuk menjadi seorang Kristen adalah setelah ia
didorong oleh suatu suara seperti anak kecil yang ia dengar menyuruhnya agar "Ambillah,
bacalah!" (bahasa Latin: tolle, lege), yang dianggapnya sebagai perintah ilahi untuk membuka
Alkitab dan membaca hal pertama yang dilihatnya. Agustinus membaca dari Surat Paulus
kepada Jemaat di Roma – bagian "Transformasi Umat Beriman", yang meliputi bab 12 sampai
15 – di mana Paulus menguraikan bagaimana Injil mengubah umat beriman dan perilaku yang
dihasilkannya. Bagian spesifik yang dilihat Agustinus saat ia membuka Alkitab adalah Roma
13:13-14, yaitu:[50]

Marilah kita hidup dengan sopan, seperti pada siang hari, jangan dalam pesta pora dan
kemabukan, jangan dalam percabulan dan hawa nafsu, jangan dalam perselisihan dan iri hati.
Tetapi kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata terang dan janganlah
merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya.

Ia kemudian menuliskan sebuah laporan mengenai konversinya – transformasinya yang


sesungguhnya, sebagaimana dideskripsikan oleh Paulus – dalam Pengakuan-Pengakuan
(bahasa Latin: Confessiones) karyanya, yang kelak menjadi sebuah karya klasik teologi
Kristen dan sebuah teks penting dalam sejarah otobiografi. Dalam karya tersebut, Agustinus
menyampaikan bahwa sejak peristiwa itu, yang menghantarnya pada konversinya dan
membahagiakan Monika ibunya, ia tidak lagi ingin mempunyai istri, dan ia merasa mantap
melepaskan jabatannya di istana. Kendati karya tersebut ditulis sebagai suatu laporan tentang
kehidupannya, Pengakuan-Pengakuan juga berbicara mengenai hakikat waktu, kausalitas,
kehendak bebas, dan topik-topik filosofis penting lainnya.[51] Suatu doa, yang terkenal dengan
judul berfrasa "Terlambat aku mencintai-Mu Tuhan" dan menggungkapkan perubahan radikal
dalam dirinya, dapat ditemukan pada karya tersebut:[52]

Betapa lambat aku akhirnya mencintai-Mu, Oh Keindahan lama yang selalu baru, betapa
lambat Kau kucintai!
Ketika Engkau berada di dalam diriku, aku malah berada di luar, dan di luar sanalah Kau
kucari.
Aku, yang tidak layak dicintai ini, melemparkan diri ke antara hal-hal indah yang Kau
ciptakan.
Dahulu Engkau bersamaku, namun aku sendiri malah tidak bersama-Mu.
Segala hal itu membuatku terpisah daripada-Mu; yang jikalau tidak ada dalam diri-Mu,
sesungguhnya semua itu bukanlah apa-apa!

Engkau memanggil dan berseru-seru, dan menghancurkan ketulianku.


Engkau memancarkan kilau dan sinar, dan menghalau kebutaanku.
Engkau menebarkan harum semerbak dan aku menghirupnya; dan sekarang aku terengah-
engah merindukan-Mu.
Aku telah mengecap, dan sekarang aku lapar dan haus.
Engkau menyentuhku, dan aku terbakar mendambakan damai-Mu.

Uskup Ambrosius membaptis Agustinus, dan Adeodatus putranya yang saat itu berumur 15
tahun, serta sejumlah temannya pada Malam Paskah tahun 387 di Milan. Setahun kemudian,
tahun 388, Agustinus menyelesaikan apologi karyanya yang berjudul Tentang Kekudusan
Gereja Katolik.[43] Pada tahun yang sama, Agustinus beserta seluruh kerabatnya, termasuk
Adeodatus anaknya dan juga Monika ibunya, pulang ke kampung halaman mereka di
Afrika.[33] Namun sang ibu meninggal dunia di Ostia, Italia, saat mereka sedang dalam
persiapan untuk berlabuh ke Afrika.[53] Setelah tiba di tujuan, mereka menjalani suatu
kehidupan senggang aristokratis di properti keluarga Agustinus.[54][55] Dan tidak lama
kemudian Adeodatus juga meninggal dunia, di usianya yang ke-16.[56] Agustinus lalu menjual
semua harta warisannya dan memberikan uang yang diperolehnya kepada orang-orang
miskin. Satu-satunya yang dipertahankan adalah rumah keluarganya di Tagaste, yang ia ubah
menjadi sebuah biara monastik bagi dirinya sendiri dan sejumlah temannya.[33]

Menjadi imam dan uskup

Pada tahun 391, ia ditahbiskan menjadi seorang imam di Hippo Regius (kini Annaba, di
Aljazair). Ia menjadi seorang pengkhotbah terkenal (lebih dari 350 catatan khotbahnya yang
masih terlestarikan diyakini otentik), dan ia juga dikenal karena perlawanannya terhadap
agama Manikeisme, yang pernah dianutnya.[43]

Pada tahun 395, ia diangkat menjadi uskup koajutor (seorang uskup dengan hak untuk
menggantikan apabila uskup diosesan yang menjabat meninggal dunia) Hippo, dan tidak lama
kemudian menjadi uskup sepenuhnya,[41] sehingga ia dikenal dengan nama "Agustinus dari
Hippo"; dan ia memberikan harta miliknya kepada Gereja di Tagaste. [57] Agustinus tetap
menjabat sebagai uskup di sana hingga wafatnya tahun 430. Ia menuliskan otobiografinya
yang berjudul Pengakuan-Pengakuan pada tahun 397-398. Kota Allah karyanya ditulis untuk
menghibur sesamanya umat Kristiani tidak lama setelah suku bangsa Visigoth menjarah
Roma pada tahun 410.

Agustinus bekerja tanpa lelah dalam upayanya meyakinkan penduduk Hippo untuk memeluk
Kekristenan. Meskipun ia telah meninggalkan biaranya, ia tetap menjalani kehidupan
monastik di wisma episkopal (tempat kediamannya sebagai uskup). Ia mewariskan sebuah
buku peraturan (bahasa Latin: regula) bagi biaranya yang kemudian membuatnya dijadikan
sebagai santo pelindung klerus regular (para anggota tarekat religius).[58]

Kebanyakan kisah kehidupan selanjutnya Agustinus dibukukan oleh Possidius, yang adalah
temannya dan uskup Calama (kini Guelma, Aljazair), dalam Sancti Augustini Vita karyanya.
Possidius mengagumi Agustinus sebagai seseorang yang sangat cerdas dan seorang
pembicara handal yang memanfaatkan setiap kesempatan untuk membela Kekristenan dari
para pencelanya. Possidius juga mendeskripsikan karakter pribadi Agustinus secara rinci,
misalnya: seseorang yang hanya makan sedikit, bekerja tanpa lelah, membenci gosip,
menjauhi godaan-godaan kedagingan, dan menerapkan kehatian-hatian dalam pengelolaan
keuangan keuskupannya.[59]

Wafatnya dan penghormatan atasnya

Sesaat menjelang kematian Agustinus, kaum Vandal (suatu suku bangsa Jermanik yang telah
menjadi penganut Arianisme) menyerbu Afrika Romawi. Kaum Vandal mengepung Hippo
pada musim semi tahun 430, saat Agustinus menderita penyakit terakhirnya sebelum
wafatnya. Menurut Possidius, salah satu dari beberapa mukjizat dikaitkan dengan Agustinus,
yaitu kesembuhan seorang sakit, pada saat pengepungan berlangsung.[59]:43 Possidius
mencatat bahwa Agustinus menghabiskan hari-hari terakhirnya dalam doa dan penyesalan,
serta meminta agar Mazmur Penitensial digantung di dinding kamarnya sehingga ia dapat
membacanya. Ia juga memberi instruksi agar perpustakaan gereja di Hippo dan semua buku
di dalamnya supaya dijaga dengan baik. Ia meninggal dunia pada tanggal 28 Agustus
430.[59]:57 Tak lama setelah wafatnya, kaum Vandal melepaskan pengepungan Hippo; tetapi
mereka kembali tidak lama setelah itu dan membakar kota tersebut. Mereka menghancurkan
semuanya selain perpustakaan dan katedral Agustinus, yang mereka tinggalkan begitu saja
tanpa menyentuhnya.[60]

Agustinus dikanonisasi melalui pengakuan populer, dan kemudian diakui sebagai seorang
Doktor Gereja (atau Pujangga Gereja) pada tahun 1298 oleh Paus Bonifasius VIII.[61] Pesta
perayaannya adalah tanggal 28 Agustus, tanggal ia wafat. Ia dipandang sebagai santo
pelindung para pembuat bir, penerbit dan percetakan, teolog, penderita penyakit mata, serta
sejumlah kota dan keuskupan.[8]

Dasar Etika Agustinus

Dasar etika Agustinus adalah etika yang menekankan pentingnya kehendak bebas dan
anugerah Allah sebagai dasar perbuatan etis manusia.[2] Menurut Agustinus, Allah
mengetahui segala hal sebelum manusia bertindak.[2] Namun, hal itu bukan berarti segala
sesuatu telah terjadi menurut takdirnya (takdir merupakan bentuk penolakan dari kamauan
kehendak bebas).[2] Allah memang berkuasa, tetapi Allah tetap memperbolehkan manusia
untuk berkehendak.[2]

Manusia tetap mempunyai kuasa untuk berkehendak bebas sama seperti Tuhan yang juga
mempunyai kuasa dan kehendak.[3] Agustinus menyebutkan dua buah kehendak, yaitu
kehendak bebas Allah dan kehendak bebas manusia.[3] Perbedaannya, kehendak manusia
seringkali digunakan dengan cara yang salah, seperti melontarkan kata-kata kotor,
kelancangan, dan fitnah.[3]

Tidak ada kejahatan di luar keinginan.[3] Allah sang pencipta menciptakan semuanya dengan
baik. Agustinus menolak segala bentuk teologi dualisme metafisik. Allah sendiri yang menjadi
sumber seluruh keberadaan dan segala sesuatu yang baik.[3] Menurut Agustinus, hal-hal yang
jahat bukan diciptakan Allah.[3] Menurut Agustinus kejahatan ditemukan dalam keinginan
ciptaan yang memiliki akal budi.[4] Dalam melakukan kejahatan setiap orang dibebaskan dari
keadilan dan menjadi hamba dosa. Namun, tidak ada seorangpun yang bisa bebas dari dosa
dengan melakukan hal-hal yang baik.[4][butuh klarifikasi] Seseorang hanya dapat dibebaskan dan
lepas dari yang jahat hanya melalui anugerah Allah.[4][butuh klarifikasi] Tanpa anugerah Allah,
perbuatan baik yang mereka lakukan tidak ada artinya.[4][meragukan] Allah sendiri yang bekerja
dalam diri manusia.[4] Allah yang memberi kesadaran kepada manusia mengapa manusia
harus berbuat baik dan tidak berbuat jahat.[4]

Pandangan Agustinus mengenai kehendak bebas dan anugerah ini dipengaruhi oleh
pengalaman masa mudanya.[4] Pada masa mudanya ia telah melukai hati ibunya dan hidup
bersama dengan seorang perempuan yang tidak pernah dinikahinya.[4] Ia merasa berkali-kali
jatuh ke dalam dosa.[4] Ia baru merasakan bebas dari hal-hal yang jahat setelah ia menerima
anugerah Allah melalui pertobatannya.[4]

Dua Kota Allah

Konsepsi kehendak bebas dan anugerah Allah ini menjadi dasar bagi etika sosial Agustinus.[5]
Konsepsi ini diekspresikan dalam bentuk yang matang dalam karyanya The City of God (Kota
Allah).[5] Karya ini ditulis sebagai sebuah apologet dari Agustinus karena orang-orang Kristen
dianggap membawa kehancuran bagi Roma.[5] Dalam buku ini, ia mengkritik ketidakadilan
dan kebejatan moral orang-orang Roma yang belum Kristen.[5] Menurutnya kecintaan
terhadap materi hanya merupakan ilusi.[5]

Agustinus membedakan kota Allah dan kota dunia.[5] Kota Allah berdasarkan cinta kepada
Allah dan berujung pada kekekalan.[5] Kota dunia berdasarkan kepada cinta diri serta barang-
barang yang dapat hancur dan berujung pada kebinasaan.[5] Menurut Agustinus, cinta yang
paling bawah adalah cinta yang diarahkan kepada barang-barang yang dapat hancur.[5]
Tingkatan selanjutnya adalah cinta kepada diri sendiri dan sesamanya.[5] Tingkatan yang
terluhur adalah cinta kepada Allah.[5] Dalam cinta sejati, yakni cinta yang diarahkan kepada
Allah, manusia menemukan pedoman bagi tindakannya.[5] Itulah sebabnya, Agustinus
berkata, "Dilige et quod vis fac" (cintailah dan lakukan apa saja yang kamu kehendaki).[5]

Damai dan Keadilan

Menurut Agustinus, kedamaian adalah tujuan universal seluruh umat manusia.[3] Bahkan
secara ekstrem dapat dikatakan bahwa kedamaian adalah tujuan dari perang, karena hakikat
dasar dari kemenangan dalam perang adalah membawa manusia ke dalam kemuliaan dan
kedamaian.[3] Namun, hal itu hanya merupakan bentuk pencarian kedamaian bagi diri sendiri
atau kelompok tertentu saja.[3] Menurut Agustinus, yang merupakan norma moral bukanlah
kedamaian seperti di atas, melainkan kedamaian yang dihubungkan dengan keadilan.[3]
Kedamaian yang seperti ini hanya berasal dari Allah. Keadilan yang terdapat dalam diri
manusia bersumber dari Allah.[3]

Namun, Agustinus bukanlah orang yang pasivis (anti perang).[3] Ia mengatakan bahwa perang
diperbolehkan hanya sebagai jalan terakhir.[3] Perang diperbolehkan ketika bertahan terhadap
serangan lawan dan melawan bidaah. Motivasi dalam berperang itu pun harus berlandaskan
cinta kasih, belas kasih dan ketenangan.[3]Agustinus mengatakan bahwa perang boleh
dilakukan atas otoritas seorang raja berdasarkan kepentingan rakyat.[3]. Perang baginya
merupakan suatu pengecualian dalam hal moral karena pembenaran dari perang tersebut
hanya terdapat dari sang penyerang bukan dari yang diserang.[3]

Seksualitas Manusia

Pengajaran Agustinus tentang seksualitas dipengaruhi pengalaman hidupnya.[3] Menurut


Agustinus, manusia perlu mengendalikan nafsu seksnya.[3] Agustinus sendiri telah merasakan
bagaimana menahan nafsunya, saat ia memutuskan untuk bertobat.[3] Ia tidak mengatakan
bahwa pernikahan adalah sesuatu yang tidak bermoral.[3] Namun ia mengutuk hubungan
seksual untuk tujuan apapun selain prokreasi. Ia menolak hubungan seksual di luar masa
subur. Menuruti nafsu seksual dianggap sebagai pemberontakan terhadap Allah.[3]

Pandangan Agustinus terhadap Kekayaan

Menurut Agustinus, kekayaan bukanlah kejahatan.[3] Kekayaan juga merupakan ciptaan Allah
yang baik adanya.[3] Namun, manusia -dengan kehendaknya- menyalahgunakan kekayaan
tersebut.[3] Beberapa orang bahkan ada yang menyembah Allah hanya untuk mendapatkan
kekayaan.[3] Padahal seharusnya kekayaan itu yang dipergunakan untuk memuliakan Allah.[3]

Anda mungkin juga menyukai