Anda di halaman 1dari 28

Biografi santo.

agustinus
Agustinus dari Hippo (dalam Latin: Agustinus Binus Hipponensi 13 November 354 – 28
Agustus 430), juga dikenal sebagai Santo Agustinus, atau Saint Augustine dan Saint Austin
dalam bahasa Inggris,[1] Beato Agustinus,[2] dan Doktor Rahmat[3] (Latin: Doctor gratiae),
adalah seorang filsuf[4] dan teolog Kristen awal yang tulisannya mempengaruhi perkembangan
Kekristenan Barat dan filsafat Barat. Ia adalah uskup Hippo Regius (sekarang Annaba,
Aljazair), yang terletak di Numidia (provinsi Romawi di Afrika). Ia dipandang sebagai salah
seorang Bapa Gereja terpenting dalam Kekristenan Barat karena tulisan-tulisannya pada Era
Patristik. Di antara karya-karyanya yang terpenting misalnya Kota Allah dan Pengakuan-
Pengakuan.

Menurut rekan sezamannya, Hieronimus, Agustinus telah memperbaharui "Iman kuno".[note 2]


Pada awal hidupnya, ia banyak dipengaruhi oleh Manikeisme dan sesudahnya oleh
Neoplatonisme dari Plotinus. Setelah dibaptis dan memeluk Kekristenan pada tahun 386,
Agustinus mengembangkan pendekatannya sendiri dalam filsafat dan teologi dengan
mengakomodir berbagai metode dan sudut pandang.[5] Dengan keyakinan bahwa kasih karunia
atau rahmat Kristus mutlak dibutuhkan bagi kebebasan manusia, ia membantu merumuskan
doktrin dosa asal dan memberikan kontribusi penting pada pengembangan teori perang yang
dapat dibenarkan.

Ketika Kekaisaran Romawi Barat mulai pecah, Agustinus mengembangkan konsep Gereja
sebagai suatu Kota Allah yang spiritual, berbeda dengan Kota Duniawi yang materiil.[6]
Pemikirannya sangat mempengaruhi cara pandang dunia abad pertengahan. Gereja yang
berpegang pada konsep Trinitas, sebagaimana didefinisikan dalam Konsili Nicea dan Konsili
Konstantinopel,[7] umumnya diidentifikasi sebagai Kota Allah-nya Agustinus.

Dalam Gereja Katolik dan Komuni Anglikan, ia dipandang sebagai seorang santo, seorang
Pujangga Gereja terkemuka, serta pelindung para biarawan dan biarawati Agustinian. Hari
peringatannya dirayakan pada tanggal 28 Agustus, hari wafatnya. Ia dipandang sebagai santo
pelindung para pembuat bir, penerbit dan percetakan, teolog, pengentasan penyakit mata, serta
sejumlah kota dan keuskupan.[8] Banyak kalangan Protestan, terutama Calvinis,
menganggapnya sebagai salah seorang bapa teologis Reformasi Protestan karena ajarannya
tentang rahmat ilahi dan keselamatan.[9]

Dalam Kekristenan Timur, beberapa ajarannya diperdebatkan dan secara khusus pada abad ke-
20 mendapat serangan dari teolog seperti John Romanides.[12] Namun, para tokoh dan teolog
lainnya dari Gereja Ortodoks Timur memperlihatkan banyak pemanfaatan dari karya-karya
tulisnya, terutama Georges Florovsky.[13] Kontrovesi doktrinal terpenting yang dihubungkan
dengan namanya adalah filioque,[14] yang ditolak oleh Gereja Ortodoks.[15] Ajaran-ajaran lain
yang diperdebatkan mencakup pandangannya mengenai dosa asal, doktrin mengenai rahmat
atau anugerah, dan predestinasi.[14] Bagaimanapun, meski dianggap keliru dalam beberapa hal,
ia tetap dipandang sebagai seorang suci (santo), dan bahkan telah memberikan pengaruh pada
sejumlah Bapa Gereja Timur, khususnya Gregorius Palamas.[16] Dalam Gereja Ortodoks, pesta
peringatannya dirayakan pada tanggal 28 Agustus,[14][17] dan ia menyandang gelar Beato
("Yang Terberkati").

Kehidupan
Masa kecil dan pendidikan

Santo Agustinus Disekolahkan oleh Santa Monika, lukisan karya Niccolò di Pietro (1413-15).
Agustinus dilahirkan pada tahun 354 M di municipium (kota atau kotamadya) Tagaste,
Numidia (sekarang Souk Ahras, Aljazair) di Afrika Romawi.[18][19] Ibunya, Monika, adalah
seorang Kristen yang saleh; sementara ayahnya Patrisius adalah seorang Pagan yang kemudian
memohon dibaptis menjelang kematiannya.[20] Para akademisi umumnya sepakat bahwa
Agustinus dan keluarganya adalah orang Berber, suatu kelompok etnis asli Afrika Utara,[21]
[22][23][24] tetapi mereka banyak mendapat pengaruh Romanisasi, hanya berbicara bahasa
Latin di rumah sebagai suatu kebanggaan dan martabat.[21] Dalam tulisan-tulisannya,
Agustinus meninggalkan sejumlah informasi mengenai kesadarannya akan warisan Afrika-nya.
Sebagai contoh, ia menyebut Apuleius sebagai "yang paling terkenal buruk di antara kita orang
Afrika",[25] hingga Ponticianus sebagai "orang sebangsa kita, sebatas menjadi orang Afrika",
[26] dan menyebut Faustus dari Milevum sebagai "seorang Pria Sejati Afrika".[27]
Nama keluarga Agustinus, yaitu Aurelius, menunjukkan bahwa leluhur ayahnya adalah budak
yang dimerdekakan dari gens Aurelia yang diberikan kewarganegaraan Romawi sepenuhnya
melalui Maklumat Caracalla pada tahun 212. Dari sudut pandang hukum, keluarga Agustinus
telah menjadi bangsa Romawi selama setidaknya satu abad pada saat ia lahir.[28] Diasumsikan
bahwa ibu Agustinus, yakni Monika, memiliki asal usul Berber berdasarkan namanya,[29][30]
tetapi karena keluarga Agustinus tergolong honestiores, suatu kelompok warga negara kelas
atas yang dikenal sebagai orang-orang terhormat, kemungkinan besar Agustinus telah
menggunakan bahasa Latin sebagai bahasa pertamanya.[29]

Pada usia 11 tahun ia disekolahkan di Madaurus (sekarang M'Daourouch), sebuah kota kecil di
Numidia berjarak sekitar 31 km di sebelah selatan Tagaste. Di sana ia menjadi akrab dengan
sastra Latin, juga keyakinan dan praktik pagan.[31] Pemahaman awalnya mengenai kodrat atau
hakikat dosa adalah saat ia dan sejumlah temannya mencuri buah-buahan, yang sebenarnya
tidak mereka inginkan, dari sebuah kebun di lingkungan sekitarnya. Ia menceritakan kisah ini
dalam otobiografinya, Pengakuan-Pengakuan (bahasa Inggris: The Confessions). Ia
mengingatnya bahwa dulu ia tidak mencuri buah pir tersebut karena rasa lapar, tetapi karena
"hal itu tidak diperbolehkan".[32] Kodrat dasarnya cacat, katanya. "Buruk kenakalan itu, tetapi
aku menyukainya waktu itu; aku menyukai kehancuranku, aku menyukai kesalahanku. Bukan
apa yang kukejar dalam kesalahanku itu, melainkan kesalahan itu sendiri yang kusukai."[32]
Dari kejadian ini ia menyimpulkan bahwa pribadi manusia secara kodrati cenderung untuk
berbuat dosa, dan membutuhkan kasih karunia Kristus.

Karena kemurahan hati sesama warga kotanya, Romanianus,[33] pada umur 17 tahun
Agustinus melanjutkan pendidikan dalam bidang retorika di Kartago. Saat ia belajar di sanalah
ia membaca dialog karya Cicero yang berjudul Hortensius (sekarang telah hilang), yang ia sebut
meninggkalkan suatu kesan mendalam dan memicu minatnya dalam filsafat.[34] Meskipun
dididik sebagai seorang Kristiani, Agustinus meninggalkan Gereja untuk mengikuti agama
Manikean, sehingga menyebabkan ibunya sangat berputus asa.[35] Sebagai seorang pemuda,
Agustinus menjalani kehidupan yang hedonis dalam suatu kurun waktu, bergaul dengan orang
muda lainnya yang membanggakan eksploitasi seksual mereka. Kebutuhan akan penerimaan
dari sesama memaksa pemuda-pemuda tanpa pengalaman seperti Agustinus untuk mencari
ataupun mengarang cerita mengenai pengalaman-pengalaman seksual.[36] Pada masa inilah ia
mengucapkan doanya yang terkenal: "Berikanlah aku kemurnian dan kemampuan untuk
mengendalikan nafsu, tetapi jangan sekarang" (da mihi castitatem et continentiam, sed noli
modo).[37]

Pada usia sekitar 19 tahun, Agustinus mulai menjalin hubungan di luar perkawinan dengan
seorang wanita muda di Kartago. Meskipun sang ibu mengharapkan agar ia menikahi orang
yang sekelas dengannya, wanita tersebut tetap menjadi kekasihnya[38] selama lebih dari 15
tahun[39] dan melahirkan seorang putra baginya, Adeodatus,[40] yang dipandang sangat cerdas
oleh orang-orang pada masanya. Pada tahun 385, Agustinus mengakhiri hubungan dengan
kekasihnya demi mempersiapkan diri untuk menikahi seorang wanita berumur 10 tahun yang
akan menjadi pewarisnya. (Ia harus menunggu selama dua tahun karena usia yang sah secara
hukum untuk menikah adalah 12 tahun. Namun, pada saat ia dapat menikahinya, ia malah
memutuskan untuk menjadi seorang imam selibat.)[39][41]

Sejak awal Agustinus menunjukkan dirinya sebagai seorang murid yang brilian, dengan
keingintahuan intelektual yang besar, namun ia tidak pernah benar-benar menguasai bahasa
Yunani.[42] —ia menyampaikan bahwa guru bahasa Yunani pertamanya adalah seorang pria
brutal yang terus-menerus memukuli murid-muridnya, dan Agustinus memberontak serta
menolak untuk belajar. Pada saat ia menyadari bahwa ia perlu mengetahui bahasa Yunani, hal
itu sudah terlambat; dan walaupun ia sedikit menguasai bahasa itu, ia tidak pernah fasih
dengannya. Namun, penguasaannya atas bahasa Latin merupakan hal lain. Ia menjadi seorang
ahli yang fasih dalam penggunaan bahasa tersebut maupun dalam penggunaan argumen-
argumen cerdas untuk menyampaikan maksud-maksudnya.

Mengajar retorika
Agustinus mengajar tata bahasa di Tagaste selama tahun 373-374. Tahun berikutnya ia pindah
ke Kartago untuk membuka sekolah retorika, dan tetap di sana selama 9 tahun berkutnya.[33]
Pada tahun 383, karena merasa terganggu oleh murid-murid yang sulit diatur di Kartago, ia
pindah ke Roma untuk mendirikan sekolah di sana, di mana ia meyakini bahwa Roma adalah
tempatnya para ahli retorika cemerlang dan terbaik. Namun, Agustinus kecewa dengan
penerimaan apatis yang dialaminya. Merupakan suatu kebiasaan di Roma saat itu bahwa para
murid membayar biaya sekolah pada hari terakhir masa studi, dan banyak murid mengikuti
seluruh masa studi dengan tekun sampai akhir, namun tidak membayar biaya sekolah. Teman-
temannya sesama penganut Manikean memperkenalkannya dengan prefek Kota Roma,
Symmachus, yang telah diminta oleh istana kekaisaran di Milan[43] untuk menyediakan
seorang guru besar ilmu retorika.

Potret Santo Agustinus yang paling awal diketahui dalam suatu fresko abad ke-6 di Lateran,
Roma.
Agustinus kemudian mendapatkan pekerjaan tersebut dan berangkat ke utara untuk menerima
jabatan itu pada akhir tahun 384. Di usianya yang ke-30, Agustinus telah mendapatkan posisi
akademik yang paling menonjol di dunia Latin saat itu, jabatan yang memberikan akses ke
karier politik. Kendati Agustinus memperlihatkan sejumlah kegairahan pada Manikeisme, ia
tidak pernah menjadi seorang "inisiasi" atau "terpilih", namun hanya menjadi seorang "auditor",
tingkatan terendah dalam hierarki sekte itu.[43]

Saat masih di Kartago, Agustinus pernah mengalami suatu pertemuan yang mengecewakan
dengan Uskup Manikean Faustus dari Milevum, seorang eksponen utama teologi Manikean;
sejak saat itu Agustinus mulai bersikap skeptis terhadap Manikeisme.[43] Di Roma, ia
dikabarkan berpaling dari Manikeisme dan menganut skeptisisme dari gerakan Akademi Baru.
Karena pendidikannya, Agustinus memiliki kecakapan retorikal yang luar biasa dan
berpengetahuan luas dalam filsafat berbagai keimanan atau agama.[44] Saat Agustinus pindah
ke Milan, kesalehan ibunya, studinya dalam Neoplatonisme, dan Simplicianus (yang kelak
menjadi uskup Milan, dan juga akhirnya digelari Santo) temannya, kesemuanya itu mendorong
dia untuk beralih ke Kekristenan.[33] Awalnya Agustinus tidak begitu terpengaruh oleh
Kekristenan dan ideologi-ideologinya, tetapi setelah menjalin hubungan dengan Ambrosius
(uskup Milan pada saat itu, dan kelak digelari sebagai salah seorang Pujangga Agung dalam
Gereja Katolik), ia mulai mengevaluasi kembali dirinya dan mengalami perubahan untuk
seterusnya.
Sama seperti Agustinus, Ambrosius juga seorang ahli retorika (berarti juga ahli pidato), tetapi
lebih tua dan lebih berpengalaman.[45] Agustinus menerima banyak pengaruh dari Ambrosius,
terutama melalui khotbah-khotbah Ambrosius, bahkan lebih dari pengaruh ibunya sendiri dan
orang-orang lain yang ia kagumi. Sejak ia tiba di Milan, ia langsung berada di bawah pengaruh
Ambrosius. Dalam Pengakuan-Pengakuan Bab X-XIII, Agustinus menulis, "Abdi Allah itu
menerimaku dengan sikap kebapakan, dan sebagai seorang uskup sejati dinyatakannya
kesenangannya akan pemindahan saya."[46] Hubungan mereka segera berkembang,
sebagaimana Agustinus menuliskannya, "Begitulah aku mulai merasa sayang kepadanya,
meskipun mula-mula bukan sebagai seorang guru kebenaran yang sama sekali sudah tidak
kuharapkan dari Gereja-Mu, melainkan sebagai orang yang ramah terhadapku."[46] Agustinus
rutin mengunjungi Ambrosius untuk melihat apakah Ambrosius merupakan salah seorang ahli
retorika dan pembicara terbaik di dunia. Walau lebih tertarik pada ketrampilannya berbicara
daripada topiknya, Agustinus segera menyadari bahwa Ambrosius adalah seorang orator yang
menakjubkan. Pada akhirnya, Agustinus mengatakan bahwa melalui alam bawah sadarnya ia
dibawa ke dalam iman Kekristenan.[46]

Sang ibu, Monika, telah menyusulnya sampai ke Milan dan mengatur suatu pernikahan, yang
menyebabkan hubungan Agustinus dengan kekasihnya (di luar pernikahan) berakhir —yaitu
pada tahun 385. Meskipun Agustinus menerima rencana pernikahan itu, Agustinus sangatlah
terluka karena kehilangan kekasihnya. Ia mengatakan, "Wanita teman tetapku seranjang
direnggut dari sisiku ... hatiku yang melekat padanya tercabik-cabik dan terluka dan
mengalirkan darah." Agustinus mengakui bahwa ia bukanlah seseorang yang gandrung pada
ikatan perkawinan, tetapi lebih sebagai seorang budak nafsu birahi, sehingga ia mencari kekasih
lain untuk melayani nafsunya sepeninggal kekasih pertamanya karena ia harus menunggu 2
tahun lagi hingga tunangannya cukup umur. Namun, ia mengungkapkan bahwa lukanya tidak
kunjung sembuh juga, malah mulai "bernanah".[47]

Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa Agustinus mungkin menganggap hubungan


sebelumnya itu setara dengan pernikahan.[48] Dalam Pengakuan-Pengakuan karyanya, ia
mengakui bahwa pengalaman tersebut akhirnya menghasilkan suatu penurunan kepekaan
terhadap rasa sakit. Di kemudian hari, Agustinus memutuskan pertunangan dengan
tunangannya yang berumur 11 tahun itu, tanpa pernah memperbarui hubungannya dengan salah
seorang pun kekasihnya. Seorang teman Agustinus, Alypius (yang kemudian menjadi uskup
Tagaste, dan juga kelak digelari Santo), yang mengarahkan Agustinus untuk menjauhi
pernikahan, mengatakan bahwa mereka tidak dapat menjalani suatu kehidupan bersama dalam
cinta akan hikmat jika ia menikah. Agustinus mengenang kembali tahun-tahun berikutnya
dalam kehidupannya saat tinggal di Cassiciacum, sebuah villa di luar Milan tempat ia
berkumpul dengan para pengikutnya sebelum ia memutuskan untuk dibaptis, dan
menggambarkan saat itu sebagai "waktu senggang kehidupan Kristiani" (Christianae vitae
otium).[49]

Memeluk Kekristenan

Konversi St. Agustinus, lukisan karya Fra Angelico.


Pada musim panas tahun 386, dalam usianya yang ke-31, setelah mendengar dan terinspirasi
serta tersentuh oleh kisah dari Ponticianus (seorang Kristen kenalannya di istana kaisar)
mengenai pengalamannya bersama teman-temannya yang membaca kisah kehidupan Santo
Antonius Agung, Agustinus melakukan konversi ke Kekristenan. Sebagaimana diceritakan
Agustinus kemudian, keputusan bulat untuk menjadi seorang Kristen adalah setelah ia didorong
oleh suatu suara seperti anak kecil yang ia dengar menyuruhnya agar "Ambillah, bacalah!"
(Latin: tolle, lege), yang dianggapnya sebagai perintah ilahi untuk membuka Alkitab dan
membaca hal pertama yang dilihatnya. Agustinus membaca dari Surat Paulus kepada Jemaat di
Roma – bagian "Transformasi Umat Beriman", yang meliputi bab 12 sampai 15 – di mana
Paulus menguraikan bagaimana Injil mengubah umat beriman dan perilaku yang dihasilkannya.
Bagian spesifik yang dilihat Agustinus saat ia membuka Alkitab adalah Roma 13:13-14, yaitu:
[50]

Marilah kita hidup dengan sopan, seperti pada siang hari, jangan dalam pesta pora dan
kemabukan, jangan dalam percabulan dan hawa nafsu, jangan dalam perselisihan dan iri hati.
Tetapi kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata terang dan janganlah
merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya.
St. Agustinus dan St. Monika (1846), karya Ary Scheffer.
Ia kemudian menuliskan sebuah laporan mengenai konversinya – transformasinya yang
sesungguhnya, sebagaimana dideskripsikan oleh Paulus – dalam Pengakuan-Pengakuan (Latin:
Confessiones) karyanya, yang kelak menjadi sebuah karya klasik teologi Kristen dan sebuah
teks penting dalam sejarah otobiografi. Dalam karya tersebut, Agustinus menyampaikan bahwa
sejak peristiwa itu, yang menghantarnya pada konversinya dan membahagiakan Monika ibunya,
ia tidak lagi ingin mempunyai istri, dan ia merasa mantap melepaskan jabatannya di istana.
Kendati karya tersebut ditulis sebagai suatu laporan tentang kehidupannya, Pengakuan-
Pengakuan juga berbicara mengenai hakikat waktu, kausalitas, kehendak bebas, dan topik-topik
filosofis penting lainnya.[51] Suatu doa, yang terkenal dengan judul berfrasa "Terlambat aku
mencintai-Mu Tuhan" dan menggungkapkan perubahan radikal dalam dirinya, dapat ditemukan
pada karya tersebut:[52]

Betapa lambat aku akhirnya mencintai-Mu, Oh Keindahan lama yang selalu baru, betapa lambat
Kau kucintai!
Ketika Engkau berada di dalam diriku, aku malah berada di luar, dan di luar sanalah Kau
kucari.
Aku, yang tidak layak dicintai ini, melemparkan diri ke antara hal-hal indah yang Kau ciptakan.
Dahulu Engkau bersamaku, namun aku sendiri malah tidak bersama-Mu.
Segala hal itu membuatku terpisah daripada-Mu; yang jikalau tidak ada dalam diri-Mu,
sesungguhnya semua itu bukanlah apa-apa!

Engkau memanggil dan berseru-seru, dan menghancurkan ketulianku.


Engkau memancarkan kilau dan sinar, dan menghalau kebutaanku.
Engkau menebarkan harum semerbak dan aku menghirupnya; dan sekarang aku terengah-engah
merindukan-Mu.
Aku telah mengecap, dan sekarang aku lapar dan haus.
Engkau menyentuhku, dan aku terbakar mendambakan damai-Mu.
Uskup Ambrosius membaptis Agustinus, dan Adeodatus putranya yang saat itu berumur 15
tahun, serta sejumlah temannya pada Malam Paskah tahun 387 di Milan. Setahun kemudian,
tahun 388, Agustinus menyelesaikan apologi karyanya yang berjudul Tentang Kekudusan
Gereja Katolik.[43] Pada tahun yang sama, Agustinus beserta seluruh kerabatnya, termasuk
Adeodatus anaknya dan juga Monika ibunya, pulang ke kampung halaman mereka di Afrika.
[33] Namun sang ibu meninggal dunia di Ostia, Italia, saat mereka sedang dalam persiapan
untuk berlabuh ke Afrika.[53] Setelah tiba di tujuan, mereka menjalani suatu kehidupan
senggang aristokratis di properti keluarga Agustinus.[54][55] Dan tidak lama kemudian
Adeodatus juga meninggal dunia, di usianya yang ke-16.[56] Agustinus lalu menjual semua
harta warisannya dan memberikan uang yang diperolehnya kepada orang-orang miskin. Satu-
satunya yang dipertahankan adalah rumah keluarganya di Tagaste, yang ia ubah menjadi sebuah
biara monastik bagi dirinya sendiri dan sejumlah temannya.[33]

Menjadi imam dan uskup

Konsekrasi Agustinus sebagai uskup, lukisan karya Jaume Huguet.


Pada tahun 391, ia ditahbiskan menjadi seorang imam di Hippo Regius (kini Annaba, di
Aljazair). Ia menjadi seorang pengkhotbah terkenal (lebih dari 350 catatan khotbahnya yang
masih terlestarikan diyakini otentik), dan ia juga dikenal karena perlawanannya terhadap agama
Manikeisme, yang pernah dianutnya.[43]

Pada tahun 395, ia diangkat menjadi uskup koajutor (seorang uskup dengan hak untuk
menggantikan apabila uskup diosesan yang menjabat meninggal dunia) Hippo, dan tidak lama
kemudian menjadi uskup sepenuhnya,[41] sehingga ia dikenal dengan nama "Agustinus dari
Hippo"; dan ia memberikan harta miliknya kepada Gereja di Tagaste.[57] Agustinus tetap
menjabat sebagai uskup di sana hingga wafatnya tahun 430. Ia menuliskan otobiografinya yang
berjudul Pengakuan-Pengakuan pada tahun 397-398. Kota Allah karyanya ditulis untuk
menghibur sesamanya umat Kristiani tidak lama setelah suku bangsa Visigoth menjarah Roma
pada tahun 410.
Agustinus bekerja tanpa lelah dalam upayanya meyakinkan penduduk Hippo untuk memeluk
Kekristenan. Meskipun ia telah meninggalkan biaranya, ia tetap menjalani kehidupan monastik
di wisma episkopal (tempat kediamannya sebagai uskup). Ia mewariskan sebuah buku peraturan
(Latin: regula) bagi biaranya yang kemudian membuatnya dijadikan sebagai santo pelindung
klerus regular (para anggota tarekat religius).[58]

Kebanyakan kisah kehidupan selanjutnya Agustinus dibukukan oleh Possidius, yang adalah
temannya dan uskup Calama (kini Guelma, Aljazair), dalam Sancti Augustini Vita karyanya.
Possidius mengagumi Agustinus sebagai seseorang yang sangat cerdas dan seorang pembicara
handal yang memanfaatkan setiap kesempatan untuk membela Kekristenan dari para
pencelanya. Possidius juga mendeskripsikan karakter pribadi Agustinus secara rinci, misalnya:
seseorang yang hanya makan sedikit, bekerja tanpa lelah, membenci gosip, menjauhi godaan-
godaan kedagingan, dan menerapkan kehatian-hatian dalam pengelolaan keuangan
keuskupannya.[59]

Wafatnya dan penghormatan atasnya


Sesaat menjelang kematian Agustinus, kaum Vandal (suatu suku bangsa Jermanik yang telah
menjadi penganut Arianisme) menyerbu Afrika Romawi. Kaum Vandal mengepung Hippo
pada musim semi tahun 430, saat Agustinus menderita penyakit terakhirnya sebelum wafatnya.
Menurut Possidius, salah satu dari beberapa mukjizat dikaitkan dengan Agustinus, yaitu
kesembuhan seorang sakit, pada saat pengepungan berlangsung.[59]:43 Possidius mencatat
bahwa Agustinus menghabiskan hari-hari terakhirnya dalam doa dan penyesalan, serta meminta
agar Mazmur Penitensial digantung di dinding kamarnya sehingga ia dapat membacanya. Ia
juga memberi instruksi agar perpustakaan gereja di Hippo dan semua buku di dalamnya supaya
dijaga dengan baik. Ia meninggal dunia pada tanggal 28 Agustus 430.[59]:57 Tak lama setelah
wafatnya, kaum Vandal melepaskan pengepungan Hippo; tetapi mereka kembali tidak lama
setelah itu dan membakar kota tersebut. Mereka menghancurkan semuanya selain perpustakaan
dan katedral Agustinus, yang mereka tinggalkan begitu saja tanpa menyentuhnya.[60]

Agustinus dikanonisasi melalui pengakuan populer, dan kemudian diakui sebagai seorang
Pujangga Gereja pada tahun 1298 oleh Paus Bonifasius VIII.[61] Pesta perayaannya adalah
tanggal 28 Agustus, tanggal ia wafat. Ia dipandang sebagai santo pelindung para pembuat bir,
penerbit dan percetakan, teolog, penderita penyakit mata, serta sejumlah kota dan keuskupan.
[8]

Relikui
Menurut Martirologi Sejati karya Beda, jenazah Agustinus kemudian dipindahkan ke Cagliari,
Sardinia, oleh para uskup Katolik yang diusir oleh Huneric dari Afrika Utara. Sekitar tahun
720, jenazahnya dibawa kembali oleh Petrus, uskup Pavia dan paman Raja Langobardi
Liutprand, ke Gereja San Pietro in Ciel d'Oro di Pavia, demi menyelamatkannya dari seringnya
serangan pesisir oleh kaum Saracen. Pada bulan Januari 1327, Paus Yohanes XXII
mengeluarkan bulla kepausan Veneranda Santorum Patrum, yang berisi penunjukan para
Agustinian sebagai penjaga makam Agustinus (disebut Arca), yang dibuat kembali pada tahun
1362 dan berhiaskan ukiran kompleks dengan relief-rendah seputar adegan-adegan kehidupan
Agustinus.

Pada bulan Oktober 1695, sejumlah pekerja dalam Gereja San Pietro in Ciel d'Oro di Pavia
menemukan sebuah kotak marmer berisi beberapa tulang manusia (termasuk bagian dari sebuah
tengkorak). Timbul perbedaan pendapat antara para pertapa Agustinian (Ordo Santo Agustinus,
OSA) dan para kanonik regular (Kanonik Regular Santo Agustinus) apakah temuan itu
merupakan tulang-tulang Agustinus. Para pertapa tidak memercayainya; para kanonik
menegaskan sebaliknya. Akhirnya Paus Benediktus XIII (1724–1730) memerintahkan uskup
Pavia, Monsinyur Pertusati, untuk membuat suatu keputusan. Sang uskup menyatakan bahwa,
menurut pendapatnya, tulang-tulang itu adalah tulang-tulang Santo Agustinus.[62]

Para Agustinian diusir dari Pavia pada tahun 1700, mengungsi ke Milan dengan membawa
relikui Agustinus, dan membongkar Arca, yang dipindahkan ke katedral di sana. San Pietro
mengalami kerusakan, tetapi kemudian dibangun kembali pada tahun 1870-an, atas desakan
Agostino Gaetano Riboldi, serta dikonsekrasi ulang pada tahun 1896 saat penempatan kembali
relikui Agustinus dan tempat ziarahnya.[63][64]

Pandangan dan pemikirannya


Antropologi Kristen
Agustinus adalah salah seorang penulis Latin kuno pertama, di kalangan Kristen, dengan suatu
visi yang sangat jelas mengenai antropologi teologis.[65] Ia memandang manusia sebagai satu
kesatuan sempurna dari dua substansi: tubuh dan jiwa. Dalam risalah terakhirnya yang berjudul
Tentang Kepedulian yang Diperlukan bagi Orang Meninggal (De cura pro mortuis gerenda) bab
5, yang ditulisnya pada tahun 420, ia mendesak untuk menghormati jenazah karena tubuh
adalah bagian dari kodrat dasar pribadi manusia.[66] Figur favorit Agustinus untuk
mendeskripsikan kesatuan tubuh-jiwa adalah perkawinan: "tubuhmu adalah istrimu" (caro tua,
coniunx tua).[67][68][69] Pada awal mula, kedua elemen tersebut berada dalam keselarasan
yang sempurna. Setelah jatuhnya umat manusia, tubuh dan jiwa mengalami pertempuran
dramatis antara satu dengan yang lainnya. Keduanya merupakan 2 hal yang berbeda secara
kategoris. Tubuh adalah sebuah objek 3 dimensi yang terdiri dari 4 elemen, sedangkan jiwa
tidak memiliki dimensi spasial (ruang).[70] Jiwa adalah suatu jenis substansi, turut serta dalam
akal atau daya pikir, dan layak untuk berkuasa atas tubuh.[71] Berbeda dengan Plato dan
Descartes, Agustinus tidak disibukkan dengan penelusuran rincian mendetail yang terlalu
banyak dalam upaya untuk menjelaskan metafisika persatuan tubuh-jiwa. Baginya cukup untuk
mengakui bahwa ada perbedaan metafisik di antara keduanya: menjadi seorang manusia berarti
menjadi satu gabungan tubuh dan jiwa, dan jiwa lebih unggul daripada tubuh. Pernyataan yang
terakhir itu didasarkan pada klasifikasi hierarkisnya akan segala hal ke dalam: yang sekadar
ada, yang ada dan hidup, serta yang ada, hidup, dan memiliki akal.[72][73]

Sebagaimana para Bapa Gereja lainnya seperti Athenagoras,[74] Tertulianus,[75] Klemens dari
Aleksandria dan Basilius Agung,[76] Agustinus dengan gigih mengutuk praktik aborsi
langsung, dan meskipun ia tidak menyetujui aborsi dalam tahap kehamilan manapun, ia
membedakan antara aborsi tahap awal dan yang kemudian.[77] Ia mengakui perbedaan antara
janin "berbentuk" dan "belum berbentuk" yang disebutkan dalam Keluaran 21:22-23
terjemahan Septuaginta, yang dipandang sebagai terjemahan yang salah atas kata "bahaya" atau
"kerugian" (Alkitab TB LAI menyebutnya "kecelakaan") dari teks asli Ibrani menjadi "bentuk"
di dalam Septuaginta Yunani dan berakar pada pembedaan Aristotelian atas janin sebelum dan
setelah momen yang diduga sebagai "pemerolehan" kehidupannya, serta tidak
mengklasifikasikan aborsi janin "belum berbentuk" sebagai pembunuhan karena ia berpikir
bahwa belum dapat dikatakan secara pasti apakah sang janin telah menerima jiwanya.[77][78]
Agustinus menyatakan bahwa waktu "pemasukan" jiwa merupakan suatu misteri yang hanya
diketahui oleh Allah saja.[79] Bagaimanapun, ia memandang prokreasi sebagai salah satu
produk dari perkawinan; aborsi dibayangkan sebagai suatu cara, bersama dengan obat-obatan
yang menyebabkan sterilitas, yang merusak kebenaran ini. Aborsi terhampar di sepanjang
rangkaian yang mencakup infantisida sebagai suatu contoh 'kekejaman yang penuh nafsu'
ataupun 'hawa nafsu yang kejam'. Agustinus menyebut penggunaan segala sarana untuk
menghindari kelahiran seorang anak sebagai suatu 'perbuatan jahat': suatu acuan pada aborsi
ataupun kontrasepsi atau juga keduanya.[80] Karena "ilmu pengetahuan yang cacat pada
zamannya", Uskup Robert F. Vasa mengklaim bahwa Agustinus akan yakin kalau suatu janin
yang "belum berbentuk" telah menerima jiwanya "apabila Agustinus telah memiliki akses ke
gambar-gambar USG atau apabila ia telah melihat film The Silent Scream."[80]

Perbudakan
Agustinus menyebabkan banyak klerus di bawah kepemimpinannya di Hippo membebaskan
budak mereka "sebagai suatu tindakan kesalehan".[81] Ia dengan berani menulis surat kepada
kaisar yang berisi desakan untuk menetapkan suatu hukum baru menentang para pedagang
budak dan ia menyampaikan keprihatinan yang besar terkait perdagangan anak-anak. Para
kaisar Kristen pada zamannya, selama kurun waktu 25 tahun, mengizinkan perdagangan anak-
anak sebagai salah satu cara untuk mencegah infantisida oleh orang tua yang tidak mampu
merawat anaknya, bukan karena mereka menyetujui praktik itu. Agustinus mengetahui bahwa
para petani penyewa, khususnya, terpaksa menyewakan atau menjual anak-anak mereka sebagai
suatu cara untuk bertahan hidup.[82] Dalam Kota Allah, salah satu bukunya yang terkenal, ia
menguraikan berkembanganya perbudakan sebagai suatu produk dari dosa dan bertentangan
dengan rencana ilahi Allah. Ia menuliskan bahwa Allah "tidak menghendaki makhluk rasional
ini, yang diciptakan menurut citra-Nya, untuk berkuasa atas segala sesuatu selain ciptaan
irasional – bukan manusia atas manusia, tetapi manusia atas binatang." Dengan demikian ia
menuliskan bahwa orang-orang yang dibenarkan pada zaman primitif dijadikan sebagai para
gembala ternak, bukan para raja atas manusia. "Keadaan perbudakan merupakan akibat dari
dosa," katanya.[83]
Astrologi
Orang-orang sezaman Agustinus sering kali meyakini astrologi sebagai suatu ilmu pasti dan
orisinal. Para praktisinya dianggap sebagai orang-orang terpelajar sejati dan disebut
mathemathici. Astrologi memegang suatu peranan utama dalam doktrin Manikean, dan, pada
masa mudanya, Agustinus sendiri sempat tertarik dengan buku-buku mereka serta sempat
sangat terpesona oleh mereka yang mengklaim mampu meramalkan masa depan. Kelak,
sebagai seorang uskup, ia sering memperingatkan agar orang menghindari para astrolog yang
menggabungkan ilmu pengetahuan dan horoskop. (Istilah "mathematici" yang dicetuskan
Agustinus, yang berarti "astrolog-astrolog", terkadang diterjemahkan secara salah menjadi
"matematikawan-matematikawan".) Menurut Agustinus, mereka bukan murid-murid
sebenarnya dari Hipparkhos ataupun Eratosthenes, tetapi "penipu-penipu biasa".[84][85]:63[86]
[87]

Lukisan detail St. Agustinus di sebuah jendela kaca patri karya Louis Comfort Tiffany di
Museum Lightner, St. Augustine, Florida, Amerika Serikat.
Penciptaan
Lihat pula: Penafsiran alegoris Kitab Kejadian
Dalam Kota Allah, Agustinus menolak gagasan mengenai keabadian umat manusia yang
diajukan oleh kaum pagan maupun pemikiran kontemporer mengenai zaman (seperti yang
dikemukakan oleh beberapa orang Yunani dan Mesir) yang berbeda dengan tulisan-tulisan suci
Gereja.[88] Dalam Interpretasi Literal Kitab Kejadian (De Genesi ad litteram), Agustinus
berpandangan bahwa segala sesuatu di alam semesta diciptakan secara bersamaan oleh Allah,
dan bukan dalam 7 hari kalender sebagaimana penafsiran secara literal atau harfiah atas Kitab
Kejadian. Ia berpendapat bahwa struktur enam-hari penciptaan dalam Kitab Kejadian
menggambarkan suatu kerangka logis, bukan suatu perjalanan waktu secara fisik; maksudnya
adalah peristiwa itu mengandung suatu makna spiritual, bukan fisik, yang berarti bukan literal.
Salah satu alasan yang menjadi dasar interpretasi ini adalah kutipan dalam Sirakh 18:1 bahwa
"Dia ... menciptakan segala-galanya bersama-sama" (creavit omnia simul), yang digunakan oleh
Agustinus sebagai bukti bahwa hari-hari dalam Kejadian 1 bukan untuk diartikan secara
harfiah.[89] Agustinus juga tidak membayangkan kalau dosa asal menyebabkan perubahan
struktural di alam semesta, bahkan mengemukakan bahwa tubuh Adam dan Hawa telah tercipta
fana sebelum kejatuhan mereka.[90] Terlepas dari pandangan-pandangan spesifiknya,
Agustinus mengakui bahwa penafsiran kisah penciptaan adalah sulit, dan menyatakan bahwa
setiap orang seharusnya bersedia untuk mengubah pandangannya mengenai hal tersebut
seandainya ada informasi-informasi baru.[91]

Eklesiologi

St. Agustinus, karya Carlo Crivelli.


Agustinus secara khusus mengembangkan ajarannya mengenai Gereja sebagai reaksi terhadap
sekte Donatis. Ia mengajarkan bahwa hanya terdapat satu Gereja, tetapi di dalam Gereja ini
terdapat dua realitas, yaitu aspek yang kelihatan atau terlihat (hierarki institusional, sakramen-
sakramen Katolik, dan umat awam) dan aspek yang tak terlihat (jiwa-jiwa dari orang-orang
dalam Gereja, baik yang telah meninggal dunia, umat yang berdosa, ataupun yang terpilih untuk
memasuki Surga). Yang pertama disebutkan adalah tubuh institusional yang didirikan oleh
Kristus di bumi untuk mewartakan keselamatan dan menyelenggarakan pelayanan sakramen,
sementara yang terakhir disebutkan adalah tubuh yang tak terlihat dari umat pilihan, terdiri dari
orang-orang percaya sejati dari segala zaman, dan hanya diketahui oleh Allah saja. Gereja, yang
terlihat dan bermasyarakat, terdiri dari "gandum" dan "lalang", yaitu orang-orang baik dan jahat
(berdasarkan Matius 13:30), hingga berakhirnya dunia ini. Konsep tersebut digunakan untuk
menentang klaim Donatis yang menyebutkan bahwa hanya mereka yang berada dalam keadaan
rahmat yang adalah Gereja "sejati" atau "murni" di bumi, dan bahwa para imam serta uskup
yang tidak berada dalam keadaan rahmat tidak memiliki kewenangan atau kemampuan untuk
melayankan sakramen-sakramen.[10]:28 Eklesiologi Agustinus lebih jauh lagi dibahas dalam
Kota Allah karyanya. Di dalam karyanya itu ia menyampaikan pemahamannya bahwa Gereja
adalah suatu kerajaan atau kota surgawi, yang diperintah oleh kasih, yang pada akhirnya akan
berjaya di atas semua kerajaan duniawi yang mengejar kepuasan diri dan diperintah oleh
kebanggaan. Agustinus mengikuti pandangan Siprianus dengan mengajarkan bahwa para uskup
dan imam Gereja adalah penerus-penerus Para Rasul,[10] dan bahwa otoritas mereka di dalam
Gereja adalah pemberian Allah.

Eskatologi
Awalnya Agustinus meyakini paham premilenialisme, yaitu bahwa Kristus akan mendirikan
suatu kerajaan 1.000 tahun (secara harfiah) sebelum kebangkitan universal, tetapi belakangan
menolak keyakinan tersebut, memandangnya duniawi. Ia adalah teolog pertama yang
menguraikan suatu doktrin sistematis amilenialisme, kendati beberapa teolog dan sejarawan
Kristen meyakini bahwa posisinya lebih mendekati paham yang dianut oleh kaum
postmilenialis modern. Gereja Katolik pada abad pertengahan membangun sistem
eskatologinya berdasarkan paham amilenialisme Agustinian, di mana Kristus memerintah dunia
ini secara rohani melalui Gereja-Nya yang berjaya.[92] Pada saat Reformasi Protestan, para
teolog seperti Yohanes Calvin juga menerima paham amilenialisme. Agustinus mengajarkan
bahwa nasib kekal jiwa ditentukan pada saat kematian jasmaniahnya,[93][94] dan bahwa api
purgatorial dalam keadaan peralihan hanya memurnikan atau menyucikan mereka yang wafat
dalam persekutuan dengan Gereja. Ajarannya itu menjadi bekal bagi teologi belakangan.[93]

Epistemologi
Kepedulian epistemologis membentuk perkembangan intelektual Agustinus. Dialog-dialog awal
karyanya, yaitu Contra academicos (386) dan De Magistro (389), keduanya ditulis tidak lama
setelah konversinya ke Kekristenan, merefleksikan penerimaannya atas argumen-argumen
skeptis dan memperlihatkan perkembangan ajarannya mengenai iluminasi batin. Ajaran
mengenai iluminasi ("penerangan") menyatakan bahwa Allah memainkan suatu peranan aktif
dan teratur dalam persepsi (bukannya Allah merancang budi manusia agar dapat tetap
diandalkan, misalnya seperti yang terkandung dalam gagasan Descartes mengenai persepsi-
persepsi yang jelas dan berbeda) dan pemahaman manusia dengan cara menerangi budi
sehingga manusia dapat mengenali realitas yang dapat dimengerti bahwa Allah ada. Menurut
Agustinus, iluminasi dapat diperoleh pada semua budi rasional, dan berbeda dengan bentuk-
bentuk lain persepsi indra. Hal ini dimaksudkan sebagai suatu penjelasan tentang kondisi-
kondisi yang dibutuhkan budi agar terhubung dengan entitas-entitas yang dapat dimengerti.[4]
Agustinus juga mengajukan masalah budi lain pada berbagai karyanya, yang paling terkenal
mungkin dalam Tentang Trinitas (De Trinitate, VIII.6.9), dan ia mengembangkan apa yang
telah menjadi suatu solusi baku: argumen dari analogi menuju budi lainnya.[95] Berbeda
dengan Plato dan para filsuf lain sebelumnya, Agustinus mengakui sentralitas kesaksian
("testimoni") pada pengetahuan manusia dan berpendapat bahwa apa yang dikatakan orang-
orang lain kepada kita dapat memberikan pengetahuan sekalipun kita tidak memiliki alasan
yang independen untuk meyakini laporan-laporan kesaksian mereka.[96]

Lukisan Agustinus karya Sandro Botticelli, tahun 1480.


Perang yang dapat dibenarkan
Lihat pula: Teori perang yang benar
Agustinus menegaskan bahwa orang Kristen harus bersikap pasifis sebagai suatu pendirian
pribadi dan filosofis.[97] Namun, sikap berdamai dalam menghadapi suatu kesalahan berat dan
serius, yang hanya dapat dihentikan melalui kekerasan, adalah suatu dosa. Pertahanan atas diri
sendiri atau orang lain dapat menjadi suatu keharusan, terutama ketika diizinkan oleh otoritas
yang resmi dan sah. Meskipun tidak merinci kondisi-kondisi yang diperlukan agar suatu
peperangan dapat dibenarkan, yang biasa disebut dengan istilah just war (perang yang dapat
dibenarkan), Agustinus mencetuskan istilah ini dalam Kota Allah karyanya.[98] Pada dasarnya,
pencarian akan perdamaian tetap menyertakan pilihan untuk berjuang demi terpeliharanya
kedamaian jangka panjang.[99] Perang semacam ini tidak diperkenankan bersifat preemptif
(melumpuhkan sebagai tindakan antisipasi), tetapi harus defensif (untuk bertahan), untuk
memulihkan perdamaian.[100] Berabad-abad kemudian, Thomas Aquinas menggunakan
argumentasi Agustinus dalam upayanya menentukan kondisi-kondisi untuk membenarkan atau
menjustifikasi dilangsungkannya suatu peperangan.[101][102]

Mariologi
Lihat pula: Mariologi
Walaupun Agustinus tidak mengembangkan suatu teologi khusus mengenai Mariologi, namun
pernyataan-pernyataannya mengenai Maria mengungguli para penulis awal yang lain dalam hal
kedalamannya dan banyaknya.[103] Bahkan sebelum Konsili Efesus diselenggarakan ia telah
membela Maria yang tetap perawan sebagai Bunda Allah, yang adalah "penuh rahmat" (full of
grace, Alkitab TB LAI menulisnya "yang dikaruniai") karena keperawanannya.[104] Dan ia
juga menegaskan bahwa Perawan Maria "mengandung sebagai perawan, melahirkan sebagai
perawan, dan tetap perawan selamanya".[105]

Pengetahuan kodrati dan penafsiran Alkitab


Ketika berbicara mengenai penafsiran alegoris Kitab Kejadian dalam De Genesi ad literam,
Agustinus berpandangan bahwa teks Alkitab seharusnya ditafsirkan secara metaforis atau
sebagai kiasan apabila suatu penafsiran literal (harfiah) bertentangan dengan ilmu pengetahuan
dan akal pemberian Allah. Walau setiap bagian Kitab Suci memiliki suatu makna harfiah,
"makna harfiah" itu tidak selalu berarti bahwa Kitab Suci adalah sekadar sejarah belaka;
terkadang ayat-ayat tersebut lebih merupakan suatu perluasan metafora.[106]

Dosa asal

Lukisan karya Philippe de Champaigne, abad ke-17.


Agustinus mengajarkan bahwa dosa asal dari Adam dan Hawa merupakan suatu tindakan
kebodohan (insipientia) yang diikuti oleh kesombongan dan ketidaktaatan kepada Allah, atau
mungkin juga sebenarnya berawal dari kesombongan.[note 3] Pasangan pertama tersebut tidak
mematuhi Allah, yang telah mengatakan kepada mereka untuk tidak makan dari Pohon
pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat (Kejadian 2:17).[107] Pohon itu merupakan
sebuah simbol dari keteraturan penciptaan.[108] Sikap mementingkan diri sendiri menyebabkan
Adam dan Hawa memakan buah pohon itu, karenanya mereka gagal memahami dan
menghormati dunia yang telah diciptakan Allah, beserta tatanan ciptaan dan nilai-nilainya.[note
4] Mereka jatuh ke dalam kesombongan dan ketiadaan hikmat karena Setan menabur "akar
kejahatan" (radix Mali) ke dalam indra-indra mereka.[109] Kodrat mereka terluka oleh
konkupisensi atau libido, yang mempengaruhi kehendak dan inteligensi manusia, serta afeksi
dan hasrat (atau nafsu), termasuk hasrat seksual.[note 5] Dari segi metafisika, konkupisensi
bukanlah suatu keberadaan tetapi merupakan suatu kualitas buruk, kurangnya kebaikan, atau
suatu luka.[110]

Pemahaman Agustinus mengenai konsekuensi-konsekuensi dari dosa asal dan perlunya rahmat
penebusan dikembangkan dalam perjuangan dia melawan Pelagius dan murid-muridnya
penganut Pelagianisme, yaitu Selestius dan Yulianus dari Eklanum, yang telah terinspirasi oleh
Rufinus dari Siria, salah seorang murid Theodorus dari Mopsuestia.[111] Mereka menolak
untuk sependapat bahwa dosa asal telah melukai budi dan kehendak manusia, bersikeras bahwa
kodrat manusia telah diberi kuasa untuk bertindak, berbicara, dan berpikir, saat Allah
menciptakannya. Kodrat manusia tidak dapat kehilangan kemampuan moralnya untuk berbuat
baik, tetapi setiap orang bebas untuk bertindak ataupun tidak bertindak dengan suatu cara yang
benar. Pelagius mencontohkan mata: keduanya memiliki kemampuan untuk melihat, tetapi
setiap orang dapat mempergunakannya untuk tujuan yang baik ataupun buruk.[85]:355–
356[112] Sama seperti Jovinianus, kaum Pelagian bersikeras bahwa hasrat maupun afeksi
manusia tidak terpengaruh oleh kejatuhan manusia pertama. Imoralitas, misalnya percabulan,
adalah semata-mata suatu persoalan kehendak, yaitu seseorang tidak menggunakan hasrat alami
dengan cara yang tepat. Berlawanan dengan paham tersebut, Agustinus menekankan
ketidaktaatan nyata tubuh kepada jiwa, dan menjelaskan hal itu sebagai salah satu akibat dosa
asal, hukuman atas ketidaktaan Adam dan Hawa kepada Allah.[113]

Agustinus pernah berperan sebagai seorang "Pendengar" kaum Manikean selama sekitar 9
tahun,[114] yang mengajarkan bahwa dosa asal adalah persetubuhan.[115] Tetapi
pergulatannya untuk memahami penyebab kejahatan di dunia ini telah dimulai sebelum itu,
pada usia 19 tahun.[116] Melalui malum (kejahatan) ia memahami sebagian besar dari seluruh
konkupisensi, yang ia tafsirkan sebagai suatu tindakan atau kebiasaan buruk (bahasa Inggris:
vice, Latin: vitium) yang menguasai manusia dan menyebabkan gangguan moral pada pria
maupun wanita. Agostino Trapè menegaskan bahwa pengalaman pribadi Agustinus tidak dapat
dikaitkan dengan ajarannya tentang konkupisensi. Di luar konteks perkawinan Kristen, ia
menganggap pengalaman Agustinus dalam hal perkawinan adalah sangat normal dan tidak
menyedihkan.[117] Sebagaimana ditunjukkan oleh J. Brachtendorf, Agustinus menggunakan
konsep Stoikisme dari Cicero mengenai penderitaan, untuk menafsirkan ajaran Paulus
mengenai dosa dan penebusan universal.[118]

Pandangan bahwa tidak hanya jiwa manusia, tetapi juga semua indra, yang terkena dampak
kejatuhan Adam dan Hawa adalah sesuatu yang lazim pada zaman Agustinus —dan para Bapa
Gereja.[119] Jelas bahwa alasan Agustinus menjaga jarak dengan hal-hal kedagingan berbeda
dengan Plotinus, seorang Neoplatonis,[note 6] yang mengajarkan bahwa manusia dapat
mencapai tingkatan tertingginya hanya dengan memandang rendah hasrat kedagingan.[120]
Agustinus mengajarkan bahwa penebusan, yaitu transformasi dan pemurnian, pada tubuh
adalah pada saat kebangkitan.[121]

St. Agustinus karya Peter Paul Rubens.


Beberapa penulis menganggap ajaran Agustinus diarahkan untuk melawan seksualitas manusia,
serta menghubungkan desakannya untuk melakukan abstinensi seksual atau mengendalikan
nafsu dan berdevosi kepada Allah berasal dari kebutuhan Agustinus untuk menolak kodrat
sensualnya sendiri yang besar sebagaimana ia ceritakan dalam Pengakuan-Pengakuan. Tetapi
jika melihat semua tulisannya, tampaknya ada kesalahpahaman.[85]:312[note 7] Agustinus
mengajarkan bahwa seksualitas manusia telah terluka, bersamaan dengan seluruh kodratnya,
dan membutuhkan penebusan oleh Kristus. Penyembuhannya merupakan suatu proses yang
diwujudkan dalam tindakan perkawinan (conjugal acts). Kebajikan atau keutamaan abstinensi
seksual diperoleh berkat rahmat dari Sakramen Perkawinan, yang karenanya menjadi suatu obat
atas konkupisensi (remedium concupiscentiae).[122][123] Namun, penebusan atas seksualitas
manusia hanya akan tercapai sepenuhnya dalam kebangkitan badan.[124]

Dosa Adam diwariskan kepada semua manusia. Sejak tulisan-tulisan awal Agustinus sebelum
perlawanannya terhadap Pelagianisme, ia telah mengajarkan bahwa dosa asal ditularkan kepada
semua keturunannya melalui konkupisensi,[125] yang dipandangnya sebagai penderitaan dari
jiwa maupun raga,[note 8] menjadikan umat manusia suatu massa damnata (massa/kumpulan
yang dikutuk atau ditentukan untuk binasa) dan banyak melemahkan kehendak bebas, kendati
tidak menghancurkannya.[93]:1200–1204
Rumusan Agustinus tentang doktrin dosa asal diteguhkan dalam berbagai konsili, misalnya
Kartago (418), Efesus (431), Orange (529), dan Trente (1546), serta oleh para paus, misalnya
Paus Innosensius I (401–417) dan Paus Zosimus (417–418). Anselmus dari Canterbury
menyatakan dalam Cur Deus Homo karyanya suatu definisi yang kemudian diikuti oleh para
terpelajar terkemuka pada abad ke-13, yaitu bahwa dosa asal adalah "ketiadaan kebenaran yang
seharusnya dimiliki setiap orang", sehingga membedakannya dengan konkupisensi, sedangkan
beberapa pengikut Agustinus menyamakannya[85]:371[126] sebagaimana juga kelak Luther
dan Calvin.[93]:1200–1204 Pada tahun 1567, Paus Pius V mengutuk pandangan yang
menyamakan dosa asal dengan konkupisensi.[93]:1200–1204

Predestinas
Agustinus mengajarkan bahwa Allah mengatur segala sesuatunya namun tetap
mempertahankan kebebasan manusia.[127]:44 Sebelum tahun 396, ia meyakini bahwa
predestinasi didasarkan pada prapengetahuan (foreknowledge) Allah mengenai siapa individu
yang akan percaya kepada-Nya, bahwa rahmat atau kasih karunia Allah adalah "suatu ganjaran
atas persetujuan manusia".[127]:48-49 Belakangan, dalam tanggapannya terhadap Pelagius,
Agustinus mengatakan bahwa dosa kesombongan terkandung dalam anggapan bahwa "kita
adalah orang-orang yang memilih Allah atau juga Allah yang memilih kita (dalam
prapengetahuan-Nya) karena sesuatu yang layak dalam diri kita", dan berpendapat bahwa
rahmat Allah menyebabkan tindakan keimanan seseorang.[127]:47–48 Para akademisi berbeda
pendapat dalam hal apakah ajaran Agustinus menyiratkan predestinasi ganda, yaitu keyakinan
bahwa Allah telah memilih sejumlah orang untuk menerima kebinasaan sementara yang lainnya
menerima keselamatan. Para akademisi Katolik cenderung membantah kalau ia memegang
pandangan seperti itu, sedangkan beberapa akademisi Protestan dan sekuler menyatakan bahwa
Agustinus percaya akan predestinasi ganda.[128] Beberapa teolog Protestan, misalnya Justo L.
González[10]:44 dan Bengt Hägglund,[129] menafsirkan kalau ajaran Agustinus
mengimplikasikan bahwa kasih karunia atau anugerah adalah sesuatu yang tidak dapat ditolak
oleh mereka yang ditentukan untuk menerima keselamatan, menyebabkan konversi atau
pertobatan mereka, dan menimbulkan ketekunan.
Dalam Tentang Teguran dan Rahmat (De correptione et gratia), Agustinus menulis: "Dan apa
yang tertulis, bahwa 'Ia menghendaki supaya semua orang diselamatkan', sementara tidak
semua orang terselamatkan, dapat dipahami dalam banyak cara, beberapa di antaranya telah
saya sebutkan dalam tulisan-tulisan saya yang lain; tetapi di sini saya akan mengatakan satu hal:
Ia menghendaki semua orang untuk diselamatkan, dikatakan demikian bahwa semua yang telah
ditentukan [untuk selamat] dapat dipahami dengan hal itu, karena segala jenis orang termasuk
di antara mereka."[130]

Kehendak bebas
Pernyataan bahwa Allah menciptakan manusia dan malaikat sebagai makhluk-makhluk rasional
yang memiliki kehendak bebas dapat ditemukan dalam teodisi Agustinus. Kehendak bebas
tidak dimaksudkan untuk berbuat dosa, berarti bahwa kehendak bebas tidak memiliki
predisposisi yang sama pada kebaikan dan kejahatan. Suatu kehendak yang telah dikotori oleh
dosa tidak lagi dianggap "bebas" seperti sebelumnya karena kehendak tersebut telah terikat
dengan hal-hal duniawi, yang dapat saja hilang atau sulit dilepaskan, sehingga menyebabkan
ketidakbahagiaan. Dosa merusak kehendak bebas, kendati tidak sampai menghancurkannya,
sementara anugerah atau rahmat memulihkannya. Hanya suatu kehendak yang dulunya bebas
yang dapat terkorupsi oleh dosa.[131] Dengan kata lain, kehendak bebas memungkinkan
manusia dapat berbuat dosa sehingga kehendak bebasnya rusak, namun rahmat memulihkan
kembali kehendak bebasnya.

Gereja Katolik memandang ajaran Agustinus konsisten dengan kehendak bebas.[132] Ia sering
mengatakan bahwa setiap orang dapat diselamatkan jika mereka menginginkannya.[132]
Walaupun Allah mengetahui siapa yang akan dan tidak akan terselamatkan, dengan tidak
adanya kemungkinan bagi yang tidak ingin diselamatkan untuk dapat diselamatkan dalam
kehidupan mereka, hal ini menggambarkan pengetahuan sempurna Allah mengenai bagaimana
setiap manusia akan memilih sendiri nasib mereka dengan bebas.[132]
Teologi sakramental

St. Agustinus dalam Studinya, karya Vittore Carpaccio, 1502.


Dalam perlawanannya terhadap Donatisme, Agustinus juga mengembangkan suatu pembedaan
antara "kelayakan" dan "validitas" sakramen-sakramen. Menurutnya suatu sakramen dikatakan
layak apabila dilayankan oleh klerus dari Gereja Katolik, sementara sakramen yang dilayankan
oleh kaum skismatik dipandang tidak layak (irregular). Namun demikian, validitas atau
keabsahan sakramen tidak bergantung pada kesucian pastor atau imam yang melayankannya
(ex opere operato); oleh karena itu, sakramen yang tidak layak masih dapat diterima secara
valid apabila dilayankan dalam nama Kristus dan sesuai prosedur yang telah ditetapkan oleh
Gereja. Dalam hal ini Agustinus berbeda dengan ajaran sebelumnya dari Siprianus, yang
mengajarkan bahwa para konver dari gerakan skismatik harus dibaptis ulang.[10]

Agustinus mengukuhkan pemahaman Kristen awal tentang kehadiran nyata Kristus dalam
Ekaristi (yang disebut transubstansiasi di dalam Gereja Katolik) dengan mengatakan bahwa
pernyataan Kristus, "Inilah tubuh-Ku", mengacu pada roti yang dipegang-Nya,[133][134] dan
orang-orang Kristen harus mengimani bahwa roti dan anggur tersebut pada kenyataannya
adalah Tubuh dan Darah Kristus, terlepas dari apa yang mereka lihat melalui mata jasmani
mereka.[135]

Menentang Pelagianisme, Agustinus sangat menekankan pentingnya baptisan bayi.


Bagaimanapun, mengenai pertanyaan apakah baptisan adalah syarat mutlak bagi keselamatan,
tampaknya Agustinus mengembangkan keyakinannya seiring perjalanan hidupnya, sehingga
menyebabkan beberapa kebingungan di antara para teolog setelahnya mengenai posisinya
dalam hal ini. Ia mengatakan dalam salah satu khotbahnya bahwa hanya orang yang telah
dibaptis yang diselamatkan.[136] Keyakinan ini dianut oleh banyak kalangan Kristen awal.
Namun, suatu bagian dari Kota Allah, yang membahas tentang Apokalips, mungkin
mengindikasikan bahwa Agustinus meyakininya dalam pengecualian bagi anak-anak yang lahir
dari orang tua Kristen.[137]
Orang Yahudi
Untuk menentang gerakan Kekristenan tertentu, yang beberapa di antaranya menolak
penggunaan Alkitab Ibrani, Agustinus menjawab bahwa Allah telah memilih kaum Yahudi
sebagai suatu bangsa pilihan,[138] dan ia menganggap tindakan Kekaisaran Romawi
menceraiberaikan orang-orang Yahudi sebagai suatu penggenapan nubuat.[139] Ia menolak
perilaku membunuh, dengan mengutip bagian dari nubuat yang sama, yaitu "Jangan bunuh
mereka, supaya mereka tidak lupa akan hukum-Mu" (Mazmur 59:11). Agustinus, yang
meyakini bahwa orang-orang Yahudi akan memeluk Kristen pada "akhir zaman", berpendapat
bahwa Allah telah memungkinkan mereka bertahan hidup dalam dispersi mereka sebagai suatu
peringatan kepada orang-orang Kristen; karena itu ia berpendapat bahwa mereka seharusnya
diizinkan untuk tinggal di tanah orang-orang Kristen.[140] Sentimen yang terkadang dikaitkan
dengan Agustinus yang menyebutkan bahwa orang-orang Kristen seharusnya membiarkan
orang-orang Yahudi "untuk bertahan hidup tetapi tidak untuk berkembang" (contohnya, hal ini
diulang oleh penulis James Carroll dalam bukunya Constantine's Sword)[141][142] adalah
apokrif dan tidak ditemukan dalam satu pun tulisannya.[143]

Lukisan Santo Agustinus karya Antonio Rodríguez.


Karya-karya
Artikel utama: Bibliografi Agustinus dari Hippo
Agustinus adalah salah seorang penulis Latin yang paling produktif dari segi karya-karya yang
masih terlestarikan hingga saat ini, dan daftar karyanya mencakup lebih dari 1.000 judul
berbeda.[144] Karya Agustinus misalnya karya-karya apologetik dalam perlawanannya
terhadap bidah Arianisme, Donatisme, Manikeisme, dan Pelagianisme; teks-teks mengenai
doktrin Kristen, khususnya De Doctrina Christiana (Tentang Doktrin Kristen); karya-karya
eksegesis seperti komentar mengenai Kitab Kejadian, Mazmur, dan Surat Roma karya Paulus;
banyak khotbah dan surat; serta Retractationes, suatu tinjauan yang ia tulis menjelang wafatnya
atas karya-karya sebelumnya. Selain itu, Agustinus mungkin paling dikenal karena Pengakuan-
Pengakuan karyanya, yang adalah suatu laporan pribadi kehidupannya dahulu, dan De civitate
Dei (Kota Allah, meliputi 22 buku), yang ia tulis untuk memulihkan rasa percaya diri
sesamanya umat Kristen, yang sangat terguncang oleh peristiwa penjarahan Roma yang
dilakukan suku bangsa Visigoth pada tahun 410. Tentang Trinitas karyanya, yang di dalamnya
ia mengembangkan apa yang dikenal sebagai 'analogi psikologis' Tritunggal, juga termasuk di
antara adikarya Agustinus, dan dapat dikatakan sebagai salah satu karya teologis terbesar
hingga zaman sekarang. Ia juga menulis Tentang Pilihan Bebas Kehendak (De libero arbitrio),
membahas alasan mengapa Allah memberikan manusia kehendak bebas yang dapat digunakan
untuk berbuat jahat.[145]

Pengaruh

St. Agustinus Mendebat Para Bidat, lukisan karya Keluarga Vergós.


Dalam pemikiran filosofis maupun teologisnya, Agustinus banyak dipengaruhi oleh Stoikisme,
Platonisme, dan Neoplatonisme, terutama oleh karya Plotinus (penulis Enneades),
kemungkinan melalui perantaraan Porfirius dan Victorinus (sebagaimana didalilkan oleh Pierre
Hadot). Meskipun ia kemudian meninggalkan Neoplatonisme, beberapa gagasan terkait masih
terlihat dalam tulisan-tulisan awalnya.[146] Tulisan awalnya yang berpengaruh mengenai
kehendak manusia, suatu topik sentral dalam etika, kelak menjadi fokus para filsuf seperti
Schopenhauer, Kierkegaard, dan Nietzsche. Ia juga dipengaruhi oleh karya-karya Virgil atau
Vergilius (dikenal karena ajarannya mengenai bahasa) dan Cicero (dikenal karena ajarannya
mengenai argumen).[4]

Dalam filsafat
Filsuf Bertrand Russell terkesan dengan permenungan Agustinus mengenai hakikat dari waktu
yang tertulis di dalam Pengakuan-Pengakuan, memandangnya lebih baik daripada versi
Immanuel Kant yang menganggap waktu adalah subjektif.[147] Para teolog Katolik umumnya
mengikuti keyakinan Agustinus bahwa Allah hadir di luar waktu dalam "masa kini yang kekal";
bahwa waktu hanya terdapat di dalam alam ciptaan karena waktu hanya dapat dirasakan dalam
dimensi ruang, yaitu melalui gerak dan perubahan.[148] Permenungan Agustinus tentang
hakikat waktu terkait erat dengan pertimbangannya mengenai kemampuan ingatan manusia.
Frances Yates dalam studinya pada tahun 1966, The Art of Memory (Seni Daya Ingat),
berpendapat bahwa suatu paragraf singkat dari Pengakuan-Pengakuan, X-VIII.12, di mana
Agustinus menuliskan tentang perjalanan menaiki suatu tangga dan memasuki bidang ingatan
yang sangat luas,[149] jelas menunjukkan bahwa orang-orang Romawi kuno memahami
bagaimana menggunakan metafora spasial dan arsitektural sebagai suatu teknik mnemonik
untuk mengelola sejumlah besar informasi.

Santo Agustinus Bermenung tentang Trinitas ketika Kanak-Kanak Yesus Menampakkan Diri di
Hadapannya, karya Keluarga Vergós.
Metode filosofis Agustinus, terutama yang ditunjukkannya dalam Pengakuan-Pengakuan, telah
menunjukkan pengaruh yang berkesinambungan dalam filsafat Eropa sepanjang abad ke-20.
Pendekatan deskriptifnya atas niat atau intensionalitas, daya ingat, dan bahasa, saat fenomena-
fenomena ini dialami di dalam alam kesadaran serta waktu, menginspirasi cara pandang
hermeneutika dan fenomenologi modern.[150] Edmund Husserl menuliskan: "Analisis
kesadaran akan waktu adalah suatu intisari purba dari psikologi deskriptif dan teori
pengetahuan. Pemikir pertama yang memiliki kepekaan mendalam pada kesulitan luar biasa
yang dapat ditemukan di sini tersebut adalah Agustinus, yang telah bekerja keras hampir-
hampir tanpa harapan dalam mengatasi masalah ini."[151] Martin Heidegger merujuk pada
filsafat deskriptif Agustinus di beberapa bagian dalam karyanya yang berpengaruh, Wujud dan
Waktu.[note 9] Hannah Arendt memulai tulisannya mengenai filsafat dengan suatu disertasi
mengenai konsep cinta menurut Agustinus, Der Liebesbegriff bei Augustin (1929): "Arendt
muda berupaya untuk menunjukkan bahwa dasar filosofis untuk vita socialis (kehidupan sosial)
pada Agustinus dapat dipahami sebagai berdiam dalam cinta yang bersahabat, berakar dalam
pemahamannya mengenai asal mula kemanusiaan."[152] Jean Bethke Elshtain dalam Augustine
and the Limits of Politics berusaha untuk mengaitkan Agustinus dengan Arendt dalam konsep
mereka mengenai kejahatan: "Agustinus tidak melihat kejahatan sebagai kedurjanaan yang
mengagumkan tetapi lebih sebagai ketiadaan kebaikan, sesuatu yang secara paradoks benar-
benar tidak ada. Arendt ... bahkan membayangkan kejahatan ekstrem yang menghasilkan
Holokaus benar-benar banal [dalam Eichmann in Jerusalem]."[153] Peninggalan filosofis
Agustinus terus mempengaruhi teori kritis kontemporer melalui kontribusi-kontribusi dan para
figur pewarisnya dari abad ke-20. Dilihat dari suatu perspektif historis, terdapat tiga perspektif
utama dalam pemikiran politik Agustinus: pertama, Agustinianisme politik; kedua, teologi
politik Agustinian; dan ketiga, teori politik Agustinian.[154]
Dalam teologi
Thomas Aquinas banyak dipengaruhi oleh Agustinus. Tentang topik dosa asal, Aquinas
mengajukan suatu pandangan yang lebih optimis mengenai manusia daripada Agustinus;
menurut Aquinas, akal, kehendak, dan penderitaan manusia pertama yang telah jatuh dalam
dosa, dan semua keturunannya, hanya bergantung pada daya-daya alamiahnya saja, tanpa
"karunia-karunia supranatural".[93]:1203 Dalam tulisan-tulisan awal sebelum perlawanannya
terhadap Pelagianisme, Agustinus mengajarkan bahwa rasa bersalah Adam yang diteruskan ke
semua keturunannya memperlemah kebebasan kehendak mereka, kendati tidak
menghancurkannya, sedangkan para reformis Protestan seperti Martin Luther dan Yohanes
Calvin menyatakan bahwa dosa asal sepenuhnya menghancurkan kebebasan (lih. kerusakan
total).[93]:1200–1204

Menurut Leo Ruickbie, argumen-argumen Agustinus dalam melawan sihir, membedakannya


dengan mukjizat, sangat penting dalam perjuangan Gereja perdana melawan paganisme serta
menjadi suatu tesis sentral dalam penolakan terhadap para penyihir dan praktik sihir. Menurut
Profesor Deepak Lal, visi Agustinus mengenai kota surgawi telah mempengaruhi berbagai
tradisi serta proyek sekuler Abad Pencerahan, Marxisme, Freudianisme, dan eko-
fundamentalisme.[155]

Hannah Arendt, seorang ahli teoretikus politik abad ke-20, menulis disertasi doktoralnya dalam
filsafat dengan subjek Agustinus, dan tetap mengandalkan pemikiran Agustinus di sepanjang
kariernya. Ludwig Wittgenstein banyak mengutip Agustinus dalam Investigasi-Investigasi
Filosofis untuk pendekatannya dalam hal bahasa, dan dengan penuh kekaguman menjadikan
Agustinus seorang 'rekan kerja' dalam mengembangkan gagasan-gagasannya sendiri, termasuk
suatu bagian pembukaan yang ekstensif dari Pengakuan-Pengakuan. Para ahli bahasa
kontemporer juga berpendapat bahwa Agustinus telah secara signifikan mempengaruhi
pemikiran Ferdinand de Saussure, yang tidak 'menciptakan' disiplin modern semiotika,
melainkan membangunnya di atas dasar pengetahuan Aristotelian dan Neoplatonis dari Abad
Pertengahan, melalui perantaraan Agustinus: "Adapun untuk konstitusi teori semiotika
Saussure, pentingnya kontribusi pemikiran Agustinus (yang dikorelasikan dengan Stoik) juga
telah diakui. Saussure tidak melakukan apa-apa selain mereformasi suatu teori kuno di Eropa,
berdasarkan urgensi-urgensi konseptual modern."[156]

Tuduhan
Beberapa kalangan, misalnya dari Gereja Ortodoks Timur, memandang beberapa ajaran
Agustinus (terutama mengenai dosa dan anugerah) tidak tepat, salah dimengerti dan
kontroversial (sehingga menimbulkan perpecahan dalam Kekristenan Barat), bahkan ada pula
yang menjulukinya "bidat terbesar". Namun tidak sedikit juga yang membelanya, bahkan dari
kalangan Gereja Ortodoks sendiri. Uskup Agung Chrysostomos dalam sebuah resensi buku
karya Pastor Seraphim Rose, The Place of Blessed Augustine in the Orthodox Church,
menuliskan bahwa, "Walau ide-ide Agustinus mungkin telah digunakan dan terdistorsi di Barat
untuk menghasilkan teori-teori lebih modern (seperti predestinasinya Calvinisme, sola gratia,
atau bahkan Deisme), sang Santo sendiri tidaklah bersalah atas beragam jenis teologi inovatif ...
."[157] Sebuah artikel dalam Orthodox Tradition (Vol.XIV, No.4, p. 33-35) menuliskan, " ...
berbagai distorsi dan pernyataan berlebihan tertentu dalam ajaran-ajaran teologisnya oleh para
pemikir Abad Pertengahan dan Reformasi telah dikaitkan dengan tidak adil kepada sang Santo
sendiri."[157] Uskup Agung Mark dari Gereja Ortodoks Rusia di Luar Rusia mengatakan
bahwa, "Kita dapat menemukan titik-titik lemah yang serupa dalam tulisan-tulisan hampir
semua bapa Suci (Bapa Gereja) ... ."[157]

Anda mungkin juga menyukai