NIM ; 1911440007
DOSEN PEMIMBING;
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur marilah kita panjatkan kehadiran Allah SWT yang telah memberikan
kesehatan jasmani dan rohani sehingga kita masih tetatap bias menikmati indahnya alam
ciptaan-nya. Sholawat dan salam tetaplah kita curahkan kepada baginda Habibillah Muhammad
SAW yang telah menunjukkan kepada penulis jalan yang lurus berupa ajaran agama yang
sempurna dan bahasa yang indah. Penulis disini akhirnya dapat merasa sangat bersyukur karena
telah menyelesaikan makalah yang berjudul”Filsafat Agustinus”sebagai tugas membuat makalah
pada mata kuliahFilsafat Barat
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak yang telah membantu hingga
terselesaikan makalah ini. Dan penulis memahami jika makalah ini tentu jauh dari sempurna
maka kritik dan saran sangat penulis butuhkan.
Bengkulu,November 2021
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
BAB II
PEMBAHASAN
3
A.Biografi Agustinus
Agustinus dilahirkan pada tahun 354 M di municipium (kota atau kotamadya) Tagaste,
Numidia (sekarang Souk Ahras, Aljazair) di Afrika Romawi.Ibunya, Monika, adalah seorang
Kristen yang saleh; sementara ayahnya Patrisius adalah seorang Pagan yang kemudian
memohon dibaptis menjelang kematiannya.Para akademisi umumnya sepakat bahwa Agustinus
dan keluarganya adalah orang Berber, suatu kelompok etnis asli Afrika Utara,akan tetapi
mereka banyak mendapat pengaruh Romanisasi, hanya berbicara bahasa Latin di rumah sebagai
suatu kebanggaan dan martabat.Dalam tulisan-tulisannya, Agustinus meninggalkan sejumlah
informasi mengenai kesadarannya akan warisan Afrika-nya. Sebagai contoh, ia menyebut
Apuleius sebagai "yang paling terkenal buruk di antara kita orang Afrika",hingga Ponticianus
sebagai "orang sebangsa kita, sebatas menjadi orang Afrika", dan menyebut Faustus dari
Milevum sebagai "seorang Pria Sejati Afrika".
Mengajar Retorika
Agustinus mengajar tata bahasa di Tagaste selama tahun 373-374. Tahun berikutnya ia
pindah ke Kartago untuk membuka sekolah retorika, dan tetap di sana selama 9 tahun
berkutnya.[33] Pada tahun 383, karena merasa terganggu oleh murid-murid yang sulit diatur di
Kartago, ia pindah ke Roma untuk mendirikan sekolah di sana, di mana ia meyakini bahwa
Roma adalah tempatnya para ahli retorika cemerlang dan terbaik. Namun, Agustinus kecewa
dengan penerimaan apatis yang dialaminya. Merupakan suatu kebiasaan di Roma saat itu
bahwa para murid membayar biaya sekolah pada hari terakhir masa studi, dan banyak murid
mengikuti seluruh masa studi dengan tekun sampai akhir, namun tidak membayar biaya
sekolah. Teman-temannya sesama penganut Manikean memperkenalkannya dengan prefek
4
Kota Roma, Symmachus, yang telah diminta oleh istana kekaisaran di Milan[43] untuk
menyediakan seorang guru besar ilmu retorika.
Memeluk Kekristenan
Pada musim panas tahun 386, dalam usianya yang ke-31, setelah mendengar dan terinspirasi
serta tersentuh oleh kisah dari Ponticianus (seorang Kristen kenalannya di istana kaisar)
mengenai pengalamannya bersama teman-temannya yang membaca kisah kehidupan Santo
Antonius Agung, Agustinus melakukan konversi ke Kekristenan. Sebagaimana diceritakan
Agustinus kemudian, keputusan bulat untuk menjadi seorang Kristen adalah setelah ia didorong
oleh suatu suara seperti anak kecil yang ia dengar menyuruhnya agar "Ambillah, bacalah!"
(bahasa Latin: tolle, lege), yang dianggapnya sebagai perintah ilahi untuk membuka Alkitab
dan membaca hal pertama yang dilihatnya. Agustinus membaca dari Surat Paulus kepada
Jemaat di Roma – bagian "Transformasi Umat Beriman", yang meliputi bab 12 sampai 15 – di
mana Paulus menguraikan bagaimana Injil mengubah umat beriman dan perilaku yang
dihasilkannya. Bagian spesifik yang dilihat Agustinus saat ia membuka Alkitab adalah Roma,
yaitu:Marilah kita hidup dengan sopan, seperti pada siang hari, jangan dalam pesta pora dan
kemabukan, jangan dalam percabulan dan hawa nafsu, jangan dalam perselisihan dan iri hati.
Tetapi kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata terang dan janganlah
merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya.
Agustinus adalah salah seorang penulis Latin yang paling produktif dari segi karya-karya
yang masih terlestarikan hingga saat ini, dan daftar karyanya mencakup lebih dari 1.000 judul
berbeda.Karya Agustinus misalnya karya-karya apologetik dalam perlawanannya terhadap
bidah Arianisme, Donatisme, Manikeisme, dan Pelagianisme; teks-teks mengenai doktrin
Kristen, khususnya De Doctrina Christiana (Tentang Doktrin Kristen); karya-karya eksegesis
seperti komentar mengenai Kitab Kejadian, Mazmur, dan Surat Roma karya Paulus; banyak
khotbah dan surat; serta Retractationes, suatu tinjauan yang ia tulis menjelang wafatnya atas
karya-karya sebelumnya. Selain itu, Agustinus mungkin paling dikenal karena Pengakuan-
Pengakuan karyanya, yang adalah suatu laporan pribadi kehidupannya dahulu, dan De civitate
Dei (Kota Allah, meliputi 22 buku), yang ia tulis untuk memulihkan rasa percaya diri
sesamanya umat Kristen, yang sangat terguncang oleh peristiwa penjarahan Roma yang
dilakukan suku bangsa Visigoth pada tahun 410. Tentang Trinitas karyanya, yang di dalamnya
5
ia mengembangkan apa yang dikenal sebagai 'analogi psikologis' Tritunggal, juga termasuk di
antara adikarya Agustinus, dan dapat dikatakan sebagai salah satu karya teologis terbesar
hingga zaman sekarang. Ia juga menulis Tentang Pilihan Bebas Kehendak (De libero arbitrio),
membahas alasan mengapa Allah memberikan manusia kehendak bebas yang dapat digunakan
untuk berbuat jahat.
Penelaahan tentang Allah dalam filsafat lazimnya disebut teologi filosofi. Hal ini bukan
menyelidiki tentang Allah sebagai obyek, namun eksistensi alam semesta, yakni makhluk yang
diciptakan, sebab Allah dipandang semata-mata sebagai kausa pertama, tetapi bukan pada diri-
Nya sendiri, Allah sebenarnya bukan materi ilmu, bukan pula pada teodise. Aci pemahaman
Allah di dalam agama harus dipisahkan Allah dalam filsafat. Namun argumen ini ditampik oleh
para agamawan, sebab dapat menimbulkan kekacauan berpikir pada orang beriman. Maka
ditempuhlah agenda ilmiah untuk membedakan dari teologi dengan menyejajarkan filsafat
ketuhanan dengan filsafat lainnya (Filsafat manusia, filsafat alam dll). Maka para filsuf
6
memberikan definisinya sebagai usaha yang dilakukan untuk menilai dengan semakin patut,
dan secara refleksif, realitas tertinggi yang dinamakan Allah itu, ide dan cerminan Allah
menempuh sekitar diri kita.
Ide tentang Allah pada orang beragama secara umum biasanya dinyatakan dalam tabiat
Allah; "Yang Maha Tinggi" (Anselmus mengatakan: "Allah adalah sesuatu yang semakin
agung dari padanya tidak dapat dipikirkan manusia)Yang Maha Besar, Yang Maha Kuasa,
Yang Maha Patut dsb-nya.
Menurut Anselmus, ajaran-ajaran kristiani bisa dikembangkan dengan rasional, aci tanpa
bantuan otoritas lain (Kitab Suci, wahyu, nasihat Bapa Gereja).Bahkan dia bisa menjelaskan
eksistensi Allah dengan suatu argumen yang bisa diterima bahkan juga oleh mereka yang tidak
beriman. Eksistensi Allah dimulai dari ingatan manusia yang menerima begitu saja nasihat
agama, namun juga menanyakannya dari siapa dan mengapa dirinya berada, alam alam, dan
Allah sendiri bisa diterima beradanya.
Beberapa sikap orang beriman dalam mencari pencerahan hendak beradanya Allah:
Manusia yang menerima begitu saja dikarenakan nasihat turun-temurun dari para
pendahulunya, manusia ditekankan harus percaya, bahkan tanpa berdiskusi.
Kemudian menanyakan Allah terkait; siapa, intinya, dan mengapa Dia ada?
Semua jawaban itu hendak dijawab oleh para berbakat dalam anggota yang disebut teologi;
theos dan logos, ilmu tentang hubungan manusia dan ciptaan dengan Allah. Jawaban-
jawabannya bisa sangat beragam, tergantung agama dan keyakinan yang mana yang
memberikan jawaban. Namun setidaknya berada beberapa kesimpulan yang mereka berikan
sebagai jawaban:
- Allah berada, dan beradanya Allah itu dapat dibuktikan secara rasional juga; - Allah
berada, tetapi tidak dapat dibuktikan adanya; - tidak dapat diketahui apakah Allah benar-benar
ada; - Allah tidak berada, dan kepastian ini dapat dibuktikan juga.
7
Oleh karena itu filsafat berupaya membuktikan keyakinan-keyakinan manusia itu
menempuh berbagai jalan; metafisika, empirisme, rasionalisme, positivisme, spiritualisme dan
lain-lain.
Teisme
Teisme adalah faham yang mempercayai beradanya Tuhan. Berasal dari bahasa Yunani
Θεός=Teos dan νόμος=hukum=aturan=paham, aci sebuah anggaran atau paham tentang Tuhan
atau pengakuan beradanya Tuhan.
Di bawah ini beberapa pemikir yang mempercayai beradanya Allah, maka dengan begitu mereka
pasti orang beragama:
a.Santo Agustinus(354-430)
Santo Agustinus percaya bahwa Allah berada dengan melihat sejarah dari drama penciptaan,
yang melibatkan Allah dan manusia. Allah membuat daratan untuk manusia, membuat manusia
(Adam) yang berdosa melawan Allah. Lalu Adam dan Hawa tidak diterima dari Taman Eden.
Kemudian setelah manusia berkembang, mereka berdosa semakin lagi dan dihukum dengan
cairan bah dalam sejarah Nuh. Orang-orang Yahudi yang diberikan akad Allah ternyata tidak
dapat memeliharanya sehingga dihukum menempuh bangsa-bangsa lain. Lalu Allah yang maha
kasih menebus manusia menempuh Yesus Kristus.Dari sejarah ini Allah dapat selalu berada di
tengah-tengah manusia. Memang Agustinus adalah Bapa gereja, Uskup dari Hippo yang
membela eksistensi Allah dari pandangan-pandangan lain yang mau meruntuhkan paham
teisme. Tuhan dirumuskan dari sifat-sifatnya; maha tahu, maha ada, abadi, pencipta segala
sesuatu. Namun semakin lagi, Tuhan bukan berada begitu saja, namun selalu terhubung dalam
peristiwa-peristiwa agung manusia.
8
seperti kesadaran manusia hendak eksistensi Allah, patut wahyu maupun rasa pengalaman
dipakai untuk membentuk persepsi tentang beradanya Allah.
Thomas Aquinas terkenal dengan lima jalan (dalam Bahasa Latin; quinque viae ad deum)
untuk mengetahui bahwa Allah benar-benar berada.
Jalan 1 adalah gerak, bahwa segala sesuatu memperagakan usaha, setiap aksi pasti berada
yang menggerakkan, namun pasti berada sesuatu yang menggerakkan sesuatu yang lain, namun
tidak digerakkan oleh sesuatu yang lain, Dialah Allah.
Jalan 2 adalah sebab kesudahan suatu peristiwa, bahwa setiap kesudahan suatu peristiwa ada
sebabnya, namun berada penyebab yang tidak diakibatkan, Dialah sebab pertaman, Allah.
Jalan 3 adalah keniscayaan, bahwa di alam ini berada hal-hal yang bisa berada dan berada
yang bisa tidak berada (contohnya adalah benda-benda yang dahulu berada ternyata berada
yang musnah, namun berada juga yang dulu tidak berada ternyata sekarang ada), namun berada
yang selalu berada (niscaya) Dialah Allah.
Jalan 5 adalah penyelenggaraan, bahwa segala ciptaan berakal budi ada tujuan yang terarah
menuju yang terbaik, semua itu pastilah berada yang mengaturnya, Dialah Allah.
c.Descartes (1596-1650)
Rene Descartes memikirkan Tuhan bermula dari prinsip utamanya yang adalah “gabungan
antara pietisme Katolik dan sains. Descartes adalah seorang filsuf rasionalis yang terkenal
dengan pemikiran ide Allah. Tantangan yang mendorong Descartes adalah keragu-raguan
radikalnya, The Methode of Doubt , bahkan menurutnya,"indera bisa saja menipu, Yang Maha
Kuasa dalam cerminan kita juga bisa saja menipu, sebab kita yang membayangkan". Dalam
menjawab skeptisisme orang-orang pada masanya, maka dalam tinggalnya di Neubau, tidak
9
jauh kota Ulm - Jerman, disebut sebagai “perjalanan menara”, kata lain dari meditasi yang
dilakukan, dia menemukan Cogito, ergo sum tahun 1618. Karena orang pada 100 tahunnya
meragukan apa yang mereka lihat, maka hal ini dipatahkan oleh Descartes bahwa apa yang
dipikirkan saja sebenarnya sudah berada, minimal di ingatan. Orang bisa menyangkal segala
sesuatu, namun dia tidak bisa menyangkal dirinya sendiri. Aci Allah di sini juga demikian,
Allah sudah berada dengan sendirinya, bahkan semakin jauh Descartes mencari bukti-bukti
empiris yang dia warisi dari para pendahulunya. Keterbukaan untuk mengemukakan ide dalam
ingatan, maka segala sesuatu yang dapat dipikirkan pasti bisa berada. Alkitab aib satu bukti
eksistensi Allah, kemudian juga relasi bahwa manusia, binatang, malaikat, dan obyek-obyek
lain berada karena natural light yang adalah Allah sendiri.
Filsafat Ketuhanan menurut Descartes adalah berawal dari fungsi iman, yang pada habis
berguna untuk menemukan Allah. Tanpa iman manusia cenderung menolak Allah. Berada dua
hal yang bisa ditempuh agar Aku sampai pada Allah:
Jalan yang pertama adalah sebab kesudahan suatu peristiwa, bahwa dirinya sendiri
(manusia) pasti diakibatkan oleh penyebab pertama, yaitu Allah.
Jalan yang kedua adalah secara ontologis, yang diwarisinya dari Anselmus. Allah yang
berada itu tidak mungkin berdiri sendiri, tanpa berada kaitan dengan suatu entitas lain, maka
Allah pasti berada dan bereksistensi.[1] Maka Allah yang berada dalam ide Descartes sempurna
sudah, bahwa Dia berada dan dapat diandalkan dalam relasi dengan entitas lainnya itu.
Nasihat Kant tentang Allah ditemui dalam hukum moralnya menempuh beberapa tahap: 1.
Allah adalah suara hati, 2. Allah adalah tujuan moralitas, 3. Allah adalah pribadi yang
menjamin bahwa orang yang memerankan patut demi kewajiban moral hendak mengalami
kebahagiaan sempurna. Menurut Kant berada tiga jalan untuk membuktikan beradanya Allah di
luar spekulasi belaka, dan hal ini dimungkinkan:
dimulai dari menganalisa pengalaman kemudian menemui kualitas dari sense alam kita, lalu
meningkat menjadi bukum kausalitas mencapai penyebab di luar alam.
berdasar hal pertama, kita sedang pada tataran pengalaman yang tidak bisa dinyatakan.
10
di luar konsep-konsep itu, manusia memiliki a priori dalam rasionya, dan itu menjadi
penyebab yang memang berada.
Lalu dari usaha dari pengalaman dianalisa dengan a priori (pemikiran awal sebelum
membutktikan sesuatu) dalam otak kita, kita membagi tiga bentuk ruang lingkup atas
pengalaman; Psikologi-teologi, kosmologi dan ontologi. Dari hal yang dialami (empiris)
menuju transendensi; bahwa manusia hanya hendak berspekulasi saja. Kritik Kant terhadap
Thomas Aquinas juga mengenai hal-hal spekulatif, padahal Allah nyata beradanya. Di sini Kant
kemudian mengakui bahwa Allah sebagai pemberi a priori dan pengalaman itu sendiri tidak
terdapat dalam patut pengalaman maupun a priori, namun melampaui hal itu. Maka Kant sangat
terkenal dengan kata-katanya '"Langit berbintang di atasku dan hukum moral di dalam
batinku".Di sinilah iman diperlukan, sebab Allah pada kenyataannya tidak bisa dibuktikan
hanya dengan pengalaman inderawi semata. Allah melampaui hal-hal rasio murni.
Sigmund Freud
Filsafat Ketuhanan dalam pandangan Sigmund Freud dengan terori psikoanalisnya dimulai
dengan pertanyaan, "Apakah keyakinan hendak Allah dapat dipertanggungjawabkan?" Hal ini
berawal dari analisanya tentang perkembangan manusia yang mempercayai agama yang
terkadang tidak mencari kebenaran-kebenaran di dalamnya. Manusia yang hanya menerima
begitu saja agama-agama yang diajarkan kepadanya. Ide Allah hanyalah ilusi, namun begitu
dibutuhkan manusia seperti seorang manusia yang membutuhkan seorang bapak yang
melindunginya. Namun Freud mengajukan pertanyaan selanjutnya, "Apakah agama benar-
benar patut bagi manusia?" Jawabannya adalah ambigu. Yang ditekankan olehnya adalah
seharusnya manusia berdiskusi hendak imannya sehingga dia tidak terjebak dalam bentuk-
bentuk infantil dan neurotis. Pendk kata, Freud tidak memperdebatkan realitas Allah, namun
semakin mengupas ilusi palsu kesadaran manusia.Karena berdiskusi, maka sesungguhnya
penjelasan yang diceritakan agama tidaklah memadai, Allah tidak bisa dinyatakan dalam
intelektual, sehingga perlu ditampik juga.[ Terlebih lagi jika dicari artinya, agama hanya
sebagai penghambat perkembangan pribadi, maka harus pula ditampik.
11