Anda di halaman 1dari 7

ORIENTALISME

DAN GERAKAN KRISTENISASI

oleh: - putri syahrani


- Muh. Sulaiman

A. Studi Bahasa Arab

Jika orientalisme menganggap bahwa pengetahuan bahasa-bahasa Timur


adalah merupakan perangkat penting yang dapat digunakan untuk mengenal
agama dan peradaban Timur, maka sesungguhnya dalam hal ini Orientalisme
sama dengan Kristenisasi. Hal ini (menguasai bahasa-bahasa Timur terutama
bahasa Arab) sangat ditekankan bagi para Juru dakwah Kristen yang akan
melakukan kristenisasi di daerah-daerah kaum muslimin yang akan menjadi
sasaran misi Kristen.Gerakan studi bahasa yang dilakukan oleh misionaris-
misionaris Kristen ini merupakan faktor penting bagi perkembangan
orientalisme, sehingga pada waktu itu sulit dibedakan antara gerakan
kristenisasi dan orientalisme. Karena gerakan kristenisasi (motivasi agama)
inilah yang merupakan sebab utama tumbuhnya gerakan orientalisme.
Roger Bacon (1214-1294 M) adalah salah seorang penyebar Kristen
yang sangat agressif meminta teman-temannya agar mempelajari bahasa kaum
muslimin untuk kepentingan kristenisasi. Bacon beranggapan bahwa kristenisasi
adalah satu-satunya cara yang mungkin dilakukan untuk perluasan dan
penyebaran agama kristen. Untuk mewujudkan tujuan itu maka diperlukan tiga
syarat, yaitu:
1. Harus mempelajari bahasa;
2. Mempelajari semua macam kekufuran, kemudian membedakan antara yangsatu
dengan yang lain;
3. Mempelajari semua dalil atau argumentasi agar dapat mematahkan lawan.
Gagasan Bacon ini kemudian didukung oleh Reymond Lull (1235-1316 M).
Reymond Lull lahir di Spanyol. Ia mempelajari bahasa Arab dari Abdun Arabi.
Ia mempunyai andil yang besar sekali dalam membina pengajaran bahasa Arab
di beberapa tempat, hanya saja tujuannya tidak lain adalah untuk kegiatan
kristenisasi. Mereka berusaha meyakinkan kaum muslimin dengan
menggunakan bahasa Arab mengenai kelemahan-kelemahan Islam serta
menarik kaum muslimin agar menjadi penganut Kristen.
Pertemuan gereja di Wina pada tahun 1312 M juga mendukung gagasan Bacon
dan Lull tentang penggalakan pengajaran bahasa-bahasa Islam (Arab). Sebagai
tindak lanjutnya, di beberapa Universitas Eropa seperti Paris, Oxford, Polonia,
Salmanka dan Universitas Kurie juga telah diajarkan bahasa Arab. Dalam hal
ini Reymond Lull sempat menyaksikan impiannya tersebut, ia beranggapan
bahwa sudah waktunya untuk menundukkan kaum muslimin dengan cara
kristenisasi, dengan demikian tantangan berat yang menghambat perubahan
manusia ke keyakinan Katolik dapat dihilangkan.
Pada tahun 1539 M di Colleage de France Perancis telah dilengkapi dengan
jurusan bahasa Arab yang dibina oleh Guillaume Postel (Wafat 1581 M) yang
terhitung sebagai orientalis tulen. Ia telah banyak memberikan jasanya dalam
membina pelajaran bahasa Timur di Eropa. Ketika ia berada di negara Timur, ia
menemukan manuskrip-manuskrip penting yang baru dijabarkan oleh
muridnya Joseph Scaliger (wafat 1609 M).
Postel tidak memisahkan diri dari kegiatan-kegiatan kristenisasi sama sekali,
walaupun dari segi lain ia memuji-muji ketinggian kesusasteraan Arab, dan
dalam bentuk khusus tentang tulisan-tulisan yang berkenaan dengan ilmu
kedokteran dan falak. Ia berkata:
“Tak ada seorang pun yang dapat menolak hasil pengobatan yang digali dari
ilmu kedokteran Arab; apa yang diuraikan Ibnu Sina dalam satu atau dua
halaman, lebih berbobot dari apa yang dikatakan oleh Galinius dalam 5 atau 6
jilid yang tebal. ”

Walupun demikian, Postel tetap mengingatkan tentang keputusan


pertemuan Wina yang disebutkan terdahulu, ia mengungkapkan betapa besar
manfaatnya menguasai bahasa Arab, seperti yang dikatakan: “...bahasa Arab
sangat besar manfaatnya karena merupakan bahasa internasional, sebagai alat
berkomunikasi dengan orang Maroko, Mesir, Syria, Persia, Turki, bangsa Tartar
dan India. Sasteranya sangat kaya. Ia mangatakan bahwa barangsiapa
menguasai bahasa Arab maka ia dengan mudah dapat mematahkan musuh-
musuh aqidah Kristen dengan kitab suci, dan dapat membantah aqidah mereka
yang dianutnya. Dengan jalan memahami bahasa Arab seseorang dapat
berkomunikasi dengan orang sedunia”. Mereka bangga dengan menguasai
bahasa Arab, karena dengan penguasaan bahasa Arab, mereka sanggup
menyeberangi Asia sampai ke daratan Cina tanpa memerlukan penterjemah.
Pada tahun 1586 M pencetakan dan penerbitan buku-buku bahasa Arab
di Eropa semakin terbuka jalannya, dan ketika itu buku-buku tersebut dicetak
pada percetakan yang didirikan oleh Kardinal Ferdinand de Medici Tuscany.
Telah banyak buku-buku berbahasa Arab yang dicetak, di antaranya adalah
karangan-karangan Ibnu Sina mengenai kedokteran dan filsafat.
Di antara orang yang berperan aktif dalam menunjang pengajaran
bahasa Arab di Eropa adalah seorang orientalis Thomas Erpenius (1584-1613
M). Ia adalah orang pertama yang memberikan pengajaran bahasa Arab di
Universitas Leiden pada tahun 1613 M. Melalui jerih payahnya dan ditunjang
dengan tulisan-tulisan tentang bahasa Arab ia telah menempatkan Belanda
sebagai tempat/ sumber pengajaran bahasa Arab di Eropa selama kurang lebih
dua abad.
Sungguhpun ia mengakui bahwa al-Qur’an memiliki nilai yang tinggi
dalam segi bahasanya, namun ia tidak mempunyai keyakinan bahwa sebenarnya
al-Qur’an mengandung banyak hal yang menyangkut kehidupan dunia dan
akhirat, ia bahkan berpendapat bahwa mereka yang mengamalkan ajaran-ajaran
al-Qur’an tidak lebih daripada taqlid yang menggelikan kepada kitab suci.
Sedangkan sikap dan pandangannya terhadap Nabi Muhammad Saw dan ajaran
yang dibawanya tidak ubahnya seperti pendapat kebanyakan orang orientalis
yang lain di Eropa yaitu memusuhi dan antipati.

B. Studi Islam
Walaupun kita mengetahui tujuan kristenisasi yang jelas-jelas bersikap
memusuhi Islam, tetapi di akhir abad ke-17 sampai abad ke-18 dari pihak lain
kita melihat kecenderungan yang berbeda mengenai apa yang dilakukan oleh
kaum orientalis pada umumnya. Kelompok ini memandang Islam dengan
pandangan yang obyektif dan ada kecenderungan untuk condong kepada Islam.
Kondisi demikian telah memberikan dorongan bagi timbulnya suatu pergolakan
pemikiran yang baru di Eropa pada waktu itu, di mana pada umunya mereka
tidak sejalan dengan kebijaksanaan gereja.
Orang orientalis yang termasuk dalam kelompok ini adalah Richard
Simon, dalam bukunya “Sejarah kritik terhadap keyakinan dan adat istiadat
bangsa-bangsa Timur”(tahun 1684); ia menulis dalam buku itu mengenai
tradisi dan agama kaum muslimin secara jujur dan berimbang. Selanjutnya ia
memberikan respek dan menunjukkan kekagumannya terhadap tradisi-tradisi
Islam. Terhadap sikap Simon ini, Arnould menuduhnya sebagai berlebih-
lebihan dalam keobyektivitasannya terhadap Islam. Selanjutnya Simon
menganjurkan Arnould agar mau mencermati ajaran akhlaq mulia kaum
muslimin.
Demikian juga Filosuf Pierre Bayle, ia adalah seorang yang
mengagumi toleransi yang dimiliki Islam. Sikap ini nampak pada tulisannya
tentang kehidupan Muhammad Saw dalam kamus tarikh dan kritik yang terbit
untuk pertama kalinya di Rotterdam pada tahun 1697 M. Sedangkan Simon
Ockley (1678-1720 M) dalam bukunya “Sejarah Arab Muslim”, ia menulis
dengan jujur dan tidak berat sebelah. Ia memuji Timur dan Islam serta
mengangkatnya/ memujinya melebihi Barat.
Contoh-contoh tadi merupakan peralihan perlahan-perlahan ke arah
pandangan baru yang benar mengenai Islam. Adapun usaha sungguh-sungguh
yang pertama dilakukan untuk memperkenalkan Islam adalah oleh Andrianus
Relandus (wafat 1718 M), seorang guru besar bahasa-bahasa Timur di
Universitas Utrech Belanda. Ia telah menerbitkan sebuah buku dalam bahasa
Latin tentang Islam yang berjudul “Agama Muhammad” dalam dua jilid. Pada
jilid pertama ia mengemukakan tentang aqidah Islamiah yang referensinya dari
sumber buku Latin dan Arab. Sedangkan pada jilid yang kedua ia berupaya
meluruskan pandangan-pamdangan Barat tentang Islam.
Buku tersebut kemudian mendapatkan tanggapan yang negatif dari
pihak gereja, dan menuduhnya sebagai ikut berperan dalam kegiatan dakwah
Islam. Akhirnya gereja mengelompokkan buku tersebut sebagai buku-buku
terlarang, tetapi anehnya buku tersebut kemudian masih diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris, Perancis, Jerman, Belanda dan Spanyol
Pada abad ke-18 M, dunia orientalisme Jerman juga menyaksikan
contoh-contoh lain yang serupa di antaranya adalah J.J. Reiske (1716-1773 M).
Ia adalah seorang cendekiawan ahli bahasa Arab pada masanya, ia juga dikenal
sebagai orientalis Jerman yang pertama; ia mendapat tempat terhormat dan
menonjol dalam bidang pengajaran bahasa Arab di Jerman.
Tetapi zaman dan teman-teman sejawatnya bersikap apatis kepadanya.
Sejumlah cendekiawan Kristen menyerang dan menuduhnya sebagai munafiq;
mungkin karena sikapnya yang positif terhadap Islam. Ia memuji Islam dalam
bukunya yang ditulis dalam bahasa Latin. Ia menolak mengidentikkan Nabi
Saw dengan kebohongan dan kesesatan, atau menolak pemberian sifat agama
khurafat dan menggelikan kepada Islam, sebagaimana yang banyak dilakukan
orang pada waktu itu. Ia juga dengan tegas menolak pembagian sejarah dunia
menjadi sejarah suci dan sejarah yang bukan suci, yang meletakkan sejarah
Islam pada jantung sejarah dunia. Lebih dari itu ia telah mengungkapkan
pendapatnya dengan jelas dan terang-terangan tanpa memikirkan akibat yang
akan dihadapinya. Ia menghadapi cobaan-cobaan itu, sepanjang hidupnya
dilalui dengan kondisi ekonominya yang memprihatinkan. Ia wafat setelah
sengsara menghadapi penyakit paru-paru pada usia 58 tahun. Fueck
berkomentar tentang dia:
“Reiske telah menjadi syahid sastra Arab; hidupnya menjadi sejarah
dari kepedihan yang diabadikan dalam buku hariannya.......sungguh suatu hal
memalukan bahwa seorang yang sangat menonjol pada masanya tidak dikenali
potensi luar biasa yang dimiliki Reiske yang menjadi salah seorang ahli dalam
bahasa Arab”.

Apa yang dilakukan oleh sebagian orientalis yang cenderung obyektif


dan terkadang malah memuji Islam tersebut memang dapat meringankan beban
dan tuduhan yang dilontarkan oleh cendekiawan Kristen kepada Islam, tetapi
usaha-usaha yang positif tersebut masih belum bisa mempengaruhi pikiran-
pikiran kebanyakan orang Eropa yang sudah terlanjur membenci Islam.
Begitulah gambaran negatif yang telah melekat di hati orang-orang Eropa
sebagai warisan dari abad pertengahan, yang terkadang masih bermunculan
hingga hari ini. Ada ungkapan Maxim Rodinson yang cukup menggembirakan
terhadap Islam, sebagai berikut:
“......Sesungguhnya di abad kedelapan belas kaum Kristen memandang Timur
Islam dengan pandangan persaudaraan yang penuh pengertian. Pemikiran yang
mengatakan bahwa pemberian akal yang sama kepada segenap manusialah yang
telah membantu penyebarannya semakin kuat dan kokoh; itulah dia agama yang
hakiki pada masa itu. Semakin terbuka kesempatan bagi masyarakat untuk
mengadakan kritik terhadap tuduhan yang dilemparkan kepada dunia Islam
pada abad-abad yang lalu.....dan pada abad kejayaan kaum muslimin baru
dianggap seperti manusia yang lain, malahan ada di antara mereka yang
mengungguli bangsa Eropa”.
Kalau kita menerima apa yang dikatakan Rodinson tentang ini, maka
sebenarnya dia sendiri tidak memungkiri bahwa pandangan yang
diungkapkannya itu selanjutnya beralih menjadi pandangan/sikap yang lebih
buruk dari sebelumnya; Ia berkata:
“Pada abad kesembilan belas ini, Timur Islam tetap merupakan musuh
bahkan ia adalah musuh yang sudah dinyatakan kalah. Dunia Timur menyerupai
panorama indah yang sudah binasa. Waktu itu seseorang dapat menikmati
kemegahan yang mereka puji di saat kaum politikus dan usahawan berbuat
segala sesuatu yang dalam wewenangnya untuk mempercepat proses
kehancurannya. Di masa datang mereka tidak mungkin menunjukkan
semangat, malahan dalam operasionalnya (pembaharuannya itu), mereka
kehilangan bau aneh yang dulu mereka dambakan.

Demikianlah pandangan bangsa Eropa sebelumnya, yang


dikumandangkan lewat ideologi internasional pada zamannya, yaitu
menghormati bangsa selain Eropa dan menghargai peradaban mereka. Namun
setelah itu yaitu pada abad ke-19 keadaan sudah berubah, pandangannya
menjadi sombong dan congkak, disusul kemudian dengan munculnya teori-teori
yang membagi manusia kepada dua jenis, yaitu yang maju dan yang
terbelakang; Yang pertama yakni yang maju adalah bangsa Ariyah, sedangkan
yang kedua yang terbelakang adalah bangsa Samiyah (Smit). Para orientalis dan
pemikir-pemikir Eropa yang berjalan menurut metodanya (dengan keterangan
yang mereka katakan) bahwa ciri-ciri khas bangsa Ariyah adalah mereka itu
orang-orang yang menciptakan peradaban dan datang dengan segala yang baru,
sedangkan bangsa Samiyah adalah mereka yang dangkal pemikiran dan
falsafahnya.
Demikian sekilas mengenai bagaimana sejarah orang Barat terutama
dari kalangan juru dakwah Kristen dan para orientalis menekuni kajian
bahasa Arab dan agama Islam. Dari telaah tersebut dapat difahami betapa
tidak mudahnya membedakan antara gerakan orientalisme dengan
Kristenisasi. Di sini motivasi agama (termasuk kristenisasi) sangat dominan
dalam menggerakkan orientalisme. Sungguhpun ada beberapa kelompok
orientalis yang secara jujur mengagumi bahasa dan sastra Arab serta ajaran
Islam, tetapi arus besar masih menunjukkan yang kebalikannya. Paling tidak
hal ini dapat dibaca perjalanan sejarahnya hingga abad ke-19.

Anda mungkin juga menyukai